Perceraian menjadi hal yang paling tidak diinginkan para pasangan. Namun terkadang, ada permasalahan yang terpaksa membuat perceraian menjadi solusi terbaik. Masa-masa untuk melewati perceraian memang cukup sulit. Tak sedikit bahkan yang menggunakan jasa konseling untuk membantu memulihkan trauma pascacerai. Dalam hal ini, teknik hipnosis menjadi salah satu terapi untuk memulihkan kondisi psikologis.
Ns. Imelda Yanti selaku terapis hipnoterapi dan Instruktur dari Indonesia Board of Hypnoteraphy (IBH) menjelaskan, untuk mengatasi terapi pasca perceraian, pasien akan dibawa ke dalam kondisi rileks untuk menceritakan kembali apa yang di rasakan, bagaimana perasaannya terkait dengan perceraian yang dia alami.
"Jika kita belajar ilmu jiwa kan itu pasti ada fase-fase berduka ya. Yaitu masa denial (menyangkal), angry (marah), bargaining (negosiasi). Nah pada saat hipnoterapi itu kita bawa pasien melalui tahapan-tahapan itu sampai ke tahap acceptance (menerima). Sampai tahap dia menerima kondisi perceraiannya tersebut."
Biasanya digunakan metode forgivement therapy, yaitu memaafkan mantan pasangannya itu, memaafkan diri sendiri, memaafkan situasi yang harus dialaminya, yaitu perceraian itu sendiri.
"Jadi hipnoterapi dalam terapi pasca perceraian ini bukan untuk melupakan tapi membuat perasaan pasien menjadi netral terhadap kejadian itu. Karena kan tidak bijak ya kalau menghapus ingatan. Tetap ingat akan perceraiannya tersebut, tetapi perasaannya biasa-biasa saja," ujar Imelda.
Jika sudah bisa mengatasi perasaannya terhadap perceraian, artinya pasien sudah bisa berdamai dengan keadaan sehingga terapis pun bisa memberikan sugesti motivasi kepada pasien mengenai cara memberdayakan diri pascacerai.
Namun, jika ternyata teknik hipnoterapi belum berhasil membuat pasien bersikap netral terhadap perceraiannya, sebaiknya tidak memaksakan. Hal ini karena, teknik hipnoterapi sendiri merupakan self hypnosis, dimana pasien sendiri lah yang memberikan sugesti kepada dirinya sendiri. Terapis hanya bertugas untuk memandu proses hipnoterapi tersebut.
Itu semua kembali kepada diri pasien masing-masing apakah ia mau berusaha menerima situasi tersebut dengan ikhlas atau masih ada hal-hal yang mengganjal dalam proses perceraiannya tersebut.
Biasanya saat seperti ini, terapis memberikan nasehat kepada para pasien, misalnya dari sisi spiritualnya, agar pasien mau memaafkan situasi yang dialaminya tersebut. Terapis biasanya akan memberikan kesadaran bahwa dengan memaafkan bisa terlepas dari beban masa lalu.
"Jadi memaafkan bukan untuk mengizinkan kejadian seperti ini terulang kembali, memaafkan bukan berarti membenarkan apa yang dilakukan orang itu. Memaafkan lebih kepada melepaskan diri kita dari efek negatif kejadian itu. Biasanya dengan kesadaran seperti itu pasien baru mau memaafkan," tukas Imelda.