Masih menjadi tradisi di kalangan ummat Islam di Indonesia begitu selesai pengantin laki-laki mengucapkan ijab kabul dalam acara akad nikah, selalu pengantin laki-laki disuruh membaca janji sighat taklik talak. Taklik talak adalah talak suami yang digantungkan pada suatu sifat tertentu, yang apabila sifat tertentu itu terwujud maka jatuhlah talak suami itu. Taklik talak menurut ketentuan pasal 1 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah “perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang”. Perjanjian taklik talak ini sebenarnya bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan dalam setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan maka tidak dapat dicabut kembali. Jadi sighat taklik talak itu tidak harus dibaca dalam setiap kali perkawinan, tetapi kalau pihak isteri meminta pihak suami untuk membaca taklik talak maka suami harus membaca taklik talak.
Pembacaan taklik talak dalam akad perkawinan ini agak aneh, kenapa?. Karena akad pernikahan baru saja diucapkan, calon suami dan calon isteri belum bersatu membina rumah tangga bahkan belum terjadi tamkin antara suami isteri, tetapi langsung disusul dengan suami mengucapkan taklik talak. Pasangan suami isteri belum membina rumah tangga sebagaimana mestinya, tetapi sudah ada pengucapan talak dari suami. Aneh tetapi ini sudah menjadi tradisi dari zaman dahulu, yang dimaksudkan untuk melindungi para isteri dari kesewenang-wenangan para suami.
Taklik talak dalam versi fikih Indonesia ini berbeda dengan taklik talak yang diatur dalam kitab fikih (kitab kuning). Dalam kajian kitab fikih, kalau keadaan tertentu yang disyaratkan dalam taklik talak itu terjadi maka dengan sendirinya talak itu jatuh. Disebutkan dalam kitab al-Syarqowiy ‘Ala at-Tahrir juz 2 halaman 302: “Man ‘alaqa thalaqan bisifatin waqa’a biwujudiha ‘amalan bi muqtadhallafdhi, barang siapa (suami) yang menggantungkan talak pada suatu sifat, maka jatuhlah talaknya itu dengan terwujudnya sifat tersebut sesuai dengan ucapannya itu”. Jadi talaknya itu langsung jatuh begitu sifat yang dijanjikan/digantungkan itu terwujud.
Berbeda ketentuannya dalam versi fikih Indonesia. Kalau keadaan tertentu yang disyaratkan dalam taklik talak itu betul-betul terjadi, maka supaya talak itu sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama (PA). Kalau tidak mengadukan persoalannya ke PA, maka talak suami itu selamanya tidak akan jatuh.
Selengkapnya bunyi taklik talak ala fikih Indonesia adalah sebagai berikut:
“Sesudah akad nikah saya (pengantin laki-laki) berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan mempergauli isteri saya bernama (pengantin perempuan) dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran Islam. Kepada isteri saya tersebut saya menyatakan sighat taklik sebagai berikut:
Apabila saya:
- Meninggalkan isteri saya 2 (dua) tahun berturut-turut;
- Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya;
- Menyakiti badan/jasmani isteri saya, atau
- Membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya 6 (enam) bulan atau lebih;
dan karena perbuatan saya tersebut isteri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut, kemudian isteri saya membayar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada Pengadilan tersebut saya memberi kuasa untuk menerima uang iwadh tersebut dan menyerahkannya kepada Badan Amil Zakat Nasional setempat untuk keperluan ibadah sosial”
Kalau kita perhatikan, dalam sighat taklik talak tersebut mengandung 2 syarat, yaitu syarat alternatif dan syarat kumulatif. Syarat alternatif harus dilanggar oleh suami sedang syarat kumulatif harus dilakukan oleh isteri. Syarat alternatifnya adalah angka 1 sampai dengan angka 4. Apabila suami telah melakukan salah satu dari angka 1 sampai 4 atau semuanya, maka suami telah melanggar taklik talak yang alternatif. Tetapi itu belum cukup syarat untuk jatuhnya talak suami. Untuk jatuhnya talak suami maka isteri harus memenuhi syarat kumulatif, yaitu 1. isteri tidak ridho 2. mengajukan gugatan pada PA 3. gugatannya diterima dan 4. isteri menyerahkan uang iwadh Rp.10.000,-. Empat syarat kumulatif ini harus terpenuhi semuanya. Kalau 4 syarat kumulatif ini sudah terpenuhi semuanya, maka jatuhlah talak satu suaminya itu.
Masyarakat awam terkadang datang ke PA untuk meminta surat cerai dengan alasan suaminya telah melanggar salah satu dari syarat alternatif taklik talak, misalnya suaminya telah tidak memberi nafkah kepadanya lebih dari 3 bulan. Sudah barang tentu hal itu tidak akan dipenuhi oleh PA. Pandangan masyarakat awam ini salah sebagai akibat dari memahami taklik talak yang ada pada ajaran fikih kitab kuning. Sebab dalam taklik talak versi kitab kuning tidak ada syarat alternatif dan syarat kumulatif. Yang ada hanya syarat secara umum saja. Jatuhnya talak karena suami melanggar taklik talak adalah langsung terjadi begitu pelanggaran taklik terjadi.
Setidaknya ada 3 perbedaan antara taklik talak ala fikih kitab kuning dan ala fikih Indonesia, yaitu terletak pada syarat talak, jenis talak dan iwadh.
Dalam kajian fikih kitab kuning, syarat taklik talak hanya satu, yaitu syarat secara mutlak saja. Misalnya seorang suami berkata kepada isterinya “kalau kamu keluar dari rumah ini sekarang, maka kamu tertalak”. Kalaulah kemudian isterinya itu keluar lumah, maka jatuhlah talak suaminya itu secara langsung, saat itu juga.
Berbeda dengan taklik talak versi fikih Indonesia. Karena dalam fikih Indonesia syarat taklik talak tidak hanya syarat alternative saja, tetapi ada syarat kumulatif, yaitu harus diajukan ke PA dengan mengajukan gugatan taklik talak. Kalau gugatannya dikabulkan dan si isteri membayar iwadh, barulah kemudian Pengadilan akan menyatakan syarat taklik telah terpenuhi dan jatuhlah talak suami. Kalau proses ke PA ini tidak ditempuh, maka selamanya talak suami itu tidak akan jatuh.
Perbedaan yang kedua adalah jenis talak. Kalau dalam kajian fikih kitab kuning, maka taklik talak ini termasuk talak raj’i, karena yang mengucapkan adalah suami. Talak raj’i adalah talak kesatu, atau kedua. Dalam talak ini suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah. Jadi ada hak rujuk suami terhadap isteri yang dijatuhi talak dengan cara suami melanggar taklik talak. Hak rujuk itu ada selama isteri menjalani masa iddah.
Dalam kajian fikih Indonesia, cerai karena pelanggaran taklik talak termasuk dalam kategori talak ba’in sughra (cerai gugat), walaupun yang jatuh itu adalah talak suami. Talak bain sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. Mengapa cerai taklik talak termasuk dalam talak bain sughra, karena untuk jatuhnya talak suami itu isteri harus mengajukan gugatan pelanggaran taklik talak ke PA dan harus membayar iwadh. Untuk jatuhnya talak suami itu tergantung pada inisiatif isteri. Jatuhnya talak suami yang melanggar taklik talak adalah oleh Pengadilan. Cerai karena pelanggaran taklik talak adalah talak bain sughra. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam pasal 119 ayat (2) huruf c. KHI, “talak bain sughra sebagaimana tersebut dalam pada ayat (1) adalah c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama”. Jadi karena perceraian disebabkan pelanggaran taklik talak itu yang menjatuhkan adalah PA, maka jenis talaknya adalah ba’in sughra, sehingga suami tidak mempunyai hak rujuk terhadap isterinya. Kalau terjadi kesepakatan untuk menbangun rumah tangga lagi maka harus dengan akad nikah yang baru.
Perbedaan yang ketiga adalah iwadh. Dalam kajian fikih kitab kuning, tidak ada pembayaran iwadh oleh isteri dalam cerai karena pelanggaran taklik talak. Kalau harus dengan adanya syarat isteri membayar iwadh, maka itu bukan cerai taklik talak, tetapi dinamakan dengan khuluk atau talak tebus, yaitu perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadh kepada/dan atas persetujuan suaminya. Kalau dalam fikih Indonesia, pembayaran iwadh dari isteri kepada suami merupakan syarat komulatif pelanggaran taklik talak. Kalau isteri tidak membayar uang iwadh yang besarnya Rp.10.000,-, maka talak suami tidak akan jatuh.
Hukum Islam dapat diklasifikasikan kepada yang bersifat diyani (keagamaan) dan qadha’i (yuridis). Hukum Islam seluruhnya bersifat diyani, tetapi hanya hukum Islam yang bersifat qadha’i saja yang membutuhkan kekuasaan Negara untuk menegakkannya. Hukum Islam yang bersifat diyani sangat mengandalkan ketaatan individu yang menjadi subyek hukum. Hukum Islam yang bersifat diyani seperti hukum-hukum dalam bidang ibadah, shalat, zakat, puasa dan haji. Sedang hukum Islam yang bersifat qadha’i antara lain adalah hukum-hukum dalam bidang hukum muamalah, hukum keluarga dan hukum pidana. Dalam sengketa jual beli (ekonomi syari’ah) dan perselisihan suami isteri dalam berumah tangga perlu adanya campur tangan Pengadilan untuk mengadilinya.
Pemeriksaan pelanggaran Taklik Talak adalah hukum Islam yang bersifat qadhai yang memerlukan campur tangan Pengadilan untuk menyelesaikannya. dalam hal ini Pengadilan Agama untuk tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Agama untuk tingkat banding dan Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi.