Derita Anak Kala Perceraian Menelikung Orang Tuanya. Hak asuh anak yang masih di bawah umur itu, berada di tangan ibunya. Perebutan hak asuh anak menjadi salah satu hal yang kerap terjadi di tengah proses perceraian. Kejadian tersebut, justru membuat sang anak menjadi korban. Sebab, anak seharusnya mendapat kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Koordinator dan Advokat Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) Kota Bogor, Iit Rahmatin, mengatakan, pihaknya kerap menghadapi kasus serupa. Beberapa waktu lalu, P2TP2A menangani kasus dimana seorang anak di bawah umur, kesulitan untuk bertemu dengan ibunya. Lantaran, kedua orang tuanya tengah dalam proses perceraian.
Saat itu, sang anak berada di rumah ayahnya. Sementara ibunya dilarang untuk bertemu dengan darah dagingnya sendiri.
“Posisi anak ada di ayahnya, ibunya dihalangi untuk akses bertemu, akses untuk ambil juga susah. Makanya, ibunya minta bantuan P2TP2A,” kata Iit kepada Republika, Rabu (28/7).
Padahal, keluarga sang ayah menyarankan agar anak tersebut diambil oleh ibunya. Sebab, sang ayah tidak memiliki pekerjaan dan kerap melampiaskan amarah kepada anaknya.
Pihak P2TP2A pun menginginkan, hak asuh anak yang masih di bawah umur itu, berada di tangan ibunya. Namun, akses kepada ayahnya tetap diizinkan.
Iit mengatakan, saat ini, P2TPA yang berada di bawah Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bogor tengah melakukan konseling kepada sang ibu. Sambil menunggu perkembangan hingga sang ayah memberikan akses.
“Kami khawatir kalau dengan kita, ayahnya nggak suka kalau ada keterlibatan pihak ke-tiga. Jadi diupayakan dibujuk sama keluarga dulu. Sambil tunggu proses peradilan, jadi satu per satu,” tuturnya.
Selain kasus perebutan hak asuh anak, Iit mengungkapkan, pada hingga pertengahan Juli 2021, pihaknya menerima beberapa laporan permasalahan terhadap anak. Laporan tersebut berupa penahanan anak sebagai jaminan utang dan pelecehan seksual terhadap anak dibawah umur. Hingga Juli 2021, tercatat ada 63 laporan ke P2TP2A, dimana 25 kasus di antaranya merupakan kasus kekerasan terhadap anak.