Semua binatang yang diharamkan , ketentuan itu berlaku ketika dalam keadaan normal. Adapun ketika dalam keadaan darurat , maka hukumnya tersendiri, yaitu halal
Allah Taala berfirman: "Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia telah haramkan atas kamu, kecuali kamu dalam keadaan terpaksa." (QS al-An'am: 119) Dan di ayat lain, setelah Allah menyebut tentang haramnya bangkai, darah dan sebagainya kemudian diikutinya dengan mengatakan:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS al-Baqarah: 173)
Batas Darurat Darurat yang sudah disepakati oleh semua ulama , yaitu darurat dalam masalah makanan , karena ditahan oleh kelaparan. Sementara ulama memberikan batas darurat itu berjalan sehari-semalam, sedang dia tidak mendapatkan makanan kecuali barang-barang yang diharamkan itu. Waktu itu dia boleh makan sekedarnya sesuai dengan dorongan darurat itu dan guna menjaga dari bahaya. Imam Malik memberikan suatu pembatas, yaitu sekadar kenyang, dan boleh menyimpannya sehingga mendapat makanan yang lain.
Ahli fiqih yang lain berpendapat: dia tidak boleh makan, melainkan sekadar dapat mempertahankan sisa hidupnya. Syaikh Muhammad Yusuf Al-Qardhawi dalam buku Halal dan Haram dalam Islam berpendapat barangkali di sinilah jelasnya apa yang dimaksud dalam firman Allah ghaira baghin wala 'adin (dengan tidak sengaja dan melewati batas) itu. Perkataan ghairah baghin maksudnya: Tidak mencari-cari alasan karena untuk memenuhi keinginan (seleranya). Sedang yang dimaksud dengan wala 'adin, yaitu: tidak melewati batas ketentuan darurat. Sedang apa yang dimaksud dengan daruratnya lapar, yaitu seperti yang dijelaskan Allah dalam firmannya, dengan tegas Ia mengatakan:
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Dan barangsiapa yang terpaksa pada (waktu) kelaparan dengan tidak sengaja untuk berbuat dosa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih. " (QS al-Maidah: 3)
Daruratnya Berobat Daruratnya berobat, yaitu ketergantungan sembuhnya suatu penyakit pada memakan sesuatu dari barang-barang yang diharamkan itu. Dalam hal ini para ulama fiqih berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, berobat itu tidak dianggap sebagai darurat yang sangat memaksa seperti halnya makan. Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis Nabi yang mengatakan: "Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu dengan sesuatu yang Ia haramkan atas kamu." (Riwayat Bukhari) Sementara mereka ada juga yang menganggap keadaan seperti itu sebagai keadaan darurat, sehingga dianggapnya berobat itu seperti makan, dengan alasan bahwa kedua-duanya itu sebagai suatu keharusan kelangsungan hidup.
Dalil yang dipakai oleh golongan yang membolehkan makan haram karena berobat yang sangat memaksakan itu, ialah hadis Nabi yang sehubungan dengan perkenan beliau untuk memakai sutra kepada Abdur-Rahman bin Auf dan az-Zubair bin Awwam yang justru karena penyakit yang diderita oleh kedua orang tersebut, padahal memakai sutera pada dasarnya adalah terlarang dan diancam. Barangkali pendapat inilah yang lebih mendekati kepada jiwa Islam yang selalu melindungi kehidupan manusia dalam seluruh perundang-undangan dan rekomendasinya.
perkenan (rukhsah) dalam menggunakan obat yang haram itu harus dipenuhinya syarat-syarat sebagai berikut:
1. Terdapat bahaya yang mengancam kehidupan manusia jika tidak berobat.
2. Tidak ada obat lain yang halal sebagai ganti Obat yang haram itu.
3. Adanya suatu pernyataan dari seorang dokter muslim yang dapat dipercaya, baik pemeriksaannya maupun agamanya (i'tikad baiknya). "Kami katakan demikian sesuai dengan apa yang kami ketahui, dari realita yang ada dari hasil penyelidikan dokter-dokter yang terpercaya, bahwa tidak ada darurat yang membolehkan makan barang-barang yang haram seperti obat," jelas Syaikh Yusuf Qardhawi. "Tetapi kami menetapkan suatu prinsip di atas adalah sekadar ikhtiyat' (bersiap-siap dan berhati-hati) yang sangat berguna bagi setiap muslim, yang kadang-kadang dia berada di suatu tempat yang di situ tidak ada obat kecuali yang haram," lanjutnya. Syaikh Yusuf Qardhawi juga menjelaskan perseorangan tidak boleh dianggap darurat kalau dia berada dalam masyarakat yang di situ ada sesuatu yang dapat mengatasi keterpaksaannya Itu Tidak termasuk syarat darurat hanya karena seseorang itu tidak mempunyai makanan, bahkan tidak termasuk darurat yang membolehkan seseorang makan makanan yang haram, apabila di masyarakatnya itu ada orang, muslim atau kafir, yang masih mempunyai sisa makanan yang kiranya dapat dipakai untuk mengatasi keterpaksaannya itu. Karena prinsip masyarakat Islam adalah harus ada perasaan saling bertanggung jawab dan saling bantu-membantu dan bersatu padu bagaikan satu tubuh atau bangunan yang satu sama lain saling kuat-menguatkan.
Salah satu hasil tinjauan yang sangat bernilai oleh para ahli fiqih Islam terhadap masalah solidaritas sosial, yaitu seperti yang pernah dikatakan oleh Ibnu Hazm: "Bahwa tidak halal bagi seorang muslim yang dalam keadaan terpaksa untuk makan bangkai atau babi, sedangkan dia masih mendapatkan makanan dari kelebihan kawannya yang muslim ataupun kafir zimmi. Karena suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang yang mempunyai makanan, yaitu memberikan makanan tersebut kepada rekannya yang sedang kelaparan. Kalau betul keadaannya demikian, dia tidak dapat dikategorikan terpaksa yang boleh makan bangkai dan babi. Dan dia boleh memerangi keadaan seperti itu. Kalau dia terbunuh dalam persengketaan itu, si pembunuhnya dikenakan hukuman qisas, dan kalau yang menahan uangnya itu sampai terbunuh, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, karena dia menahan hak orang. Dia akan dapat digolongkan sebagai bughat (orang-orang yang
Seperti firman Allah:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. (QS al-Hujurat: 9)
Orang yang menentang suatu perbuatan baik adalah orang berbuat jahat kepada kawannya yang mempunyai hak. Justru itulah Khalifah Abu Bakar as-Siddiq memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat.