Perselisihan orang tua yang berujung pada perceraian seringkali menjadikan anak-anak sebagai korban. Mereka secara langsung ataupun tidak bakal merasakan imbas perpisahan kedua orang tuanya. Efek langsung yang dialami anak adalah perasaan kehilangan salah satu sosok orang tua yang biasanya mereka jumpai setiap hari. Lalu, dampak lain pun akan muncul perlahan-lahan. Ini dapat terlihat pada kesehatan mental anak. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh profesor dari Unversity of Montreal, Jennifer O'Loughlin, menunjukkan anak-anak remaja yang menghadapi perceraian orang tua biasanya akan mengalami gejala gangguan kesehatan mental jangka pendek, seperti stres, cemas, dan depresi.
Tentu saja gangguan tersebut tidak boleh dibiarkan. Anak-anak membutuhkan dukungan untuk mencegah peningkatan depresi dan gangguan kesehatan mental lain. "Salah satu yang kita ketahui tentang perceraian adalah bahwa hal itu mengganggu perkembangan normal dalam kehidupan anak-anak," ujar Profesor Family Social Science di University of Minnesota, Steven Harris. "Misalnya, (perceraian) mengakibatkan anak menjadi tidak fokus dengan studinya atau hubungan dengan teman sebayanya."
Lebih jauh lagi, Harris menjelaskan, bahwa anak-anak yang tidak terpapar soal konflik rumah tangga orang tuanya, biasanya tidak akan memiliki tingkat kecemasan yang tinggi terhadap pernikahan orang tua.
"Mereka [anak-anak] hanya akan berpikir soal makanan di atas meja, masalah harian mereka, pekerjaan rumah," katanya. "Tapi kemudian ketika Anda menambahkan pikirannya dengan perceraian. Maka itu dapat membuat anak akan memikirkan hal-hal yang sebelumnya tidak ia pikirkan."
Para ahli juga menuturkan bahwa tingkat depresi setiap anak berbeda-beda. Namun, kata Harris, gender pun agaknya mempunyai peran pada respon anak menghadapi perceraian.
Selain itu, efek perceraian pada remaja perempuan cenderung akan membuat mereka lebih tertekan dan terisolasi.
"Mereka akan menutup diri. Sedangkan anak laki-laki cenderung meluapkannya. Mereka akan mengeskpresikan kemarahan mereka dengan cara yang berbeda," ujarnya.
Kesedihan dan kemarahan itu muncul dikarenakan banyaknya hal yang harus dihadapi anak-anak. Seorang psikolog di Austin, Carl Pickhardt, mengatakan, anak-anak pasti akan patah semangat karena merasa kehilangan. "Mereka merasa telah kehilangan keluarga utuh," katanya.
"Anak berasumsi bahwa orang tua mereka akan terus bersama dan keluarganya akan utuh. Sekarang orang tua mereka justru memutuskan untuk berpisah. Maka akan ada begitu banyak perubahan untuk menyesuaikan diri," jelas Pickhardt.
Walau demikian, Pickhardt menilai, respon tersebut wajar adanya. "Jadi yang harus diperhatikan adalah bagaimana sang anak menghadapi kecemasan, kemarahan dan stres mereka."
Salah satu cara yang bisa dilakukan, dikutip dari U.S.News, adalah dengan membuat rutinitas baru untuk anak sesegera mungkin. Misalnya, dengan menulis daftar aturan baru, seperti jadwal kunjungan untuk anak-anak.
"Semakin cepat Anda memberikan struktur keluarga yang baru untuk anak-anak, maka akan semakin baik," ujar Pickhardt. Hal itu bertujuan untuk membuat anak-anak merasa nyaman dengan sistem terbaru.
Orang tua dapat menentukan di mana anak akan tinggal dan bersekolah. Namun juga harus memiliki waktu yang fleksibel agar anak dapat menghubungi dan berbicara dengan orang tuanya kapan saja.
Untuk itu, menurut Pickhardt, penting bagi pasangan yang akan bercerai untuk membaca buku soal perceraian ataupun mendatangi pakar konseling pernikahan.
Referensi : Beda Dampak Perceraian bagi Anak Perempuan dan Laki-laki