Talak khuluk merupakan gugatan istri untuk bercerai dari suaminya dengan tebusan. Proses penyelesaian gugatan tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur cerai gugat dan harus diputus oleh hakim.
Ketentuan khuluk sebagaimana tersebut dalam pasal 148 KHI harus dikesampingkan pelaksanaannya. Gugatan khukuk tetap dilaksanakan sesuai ketentuan huruf a, b, dan c di atas.
Dari muatan pasal 148 KHI dan membandingkannya dengan pedoman Mahkamah Agung dalam Buku II 2013 halaman 151 tentu yang tepat dan relistis dalam proses penyelesaiannya agar mengikuti petunjuk Mahkamah Agung, karena itu penulis sepakat untuk mengesampingkan pasal 148 KHI sekalipun Mahkamah Agung sendiri menggunakan istilah Talak Khuluk, berikut ini tahapan yang harus dilakukan pihak istri dalam mengajukan perceraian dengan khuluk yaitu :
Setelah gugatan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri, sesuai dengan peraturan perundangan, istri maupun suami akan dipanggil oleh Pengadilan Agama untuk melaksanakan sidang pertama.
Dalam sidang pertama jika suami istri hadir , maka majelis hakim akan mendamaikan suami istri sesuai maksud pasal 130 HIR dan kalau tidak berhasil damai maka suami istri diperintahkan untuk mengikuti proses mediasi sesuai Perma Nomor 01 tahun 2016 tentang proses mediasi di Pengadilan.
Dalam mediasi harus ada iktikad baik dari suami istri untuk menyelesaikan masalahnya terutama kalau ada inisiatif istri untuk melakukan perceraian dengan khuluk karenanya, setelah tidak berhasil damai, mediator berusaha mengarahkan agar terjadi kesepakatan tentang tebusannya.
Mediator melaporkan secara tertulis kepada ketua majelis hakim tentang pelaksanaan mediasi apakah berhasil atau tidak.
Kalau masalah tebusan tidak terjadi sekepakatan baik dalam mediasi maupun dalam persidangan maka prosesnya dilakukan sebagaimana memeriksa perkara cerai gugat dengan tahapan-tahapan jawab menjawab, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan dan musyawarah hakim untuk membacakan putusan.
Berbeda dengan penyelesaian menurut Mahkamah Agung yang langsung memberlakukan putusannya, memudahkan eksekusi dan tidak perlu ada ketergantungan suami sehingga cara seperiti inilah yang telah dipilih Mahkamah Agung, kan sudah jelas tujuan perceraian dengan khuluk sudah tercapai kenapa harus ada ikrar suami itulah mungkin pertimbangan Mahkamah Agung kenapa mengesampingkan proses 148 KHI.
Selanjutnya ternyata belum berhenti pada putusan khuluk belaka akan tetapi ada masalah lain yang mengikutinya yaitu :
Khulu’ di Masa Haid.
Khulu’ tidak terikat dengan waktu tertentu[16], untuk itu boleh dilakukan diwaktu suci atau haidh, hal ini berbeda dengan talak yang diharamkan untuk dilakukan di saat haidh. Yang demikian itu dimaksudkan agar suami tidak mengulur-ulur waktu ‘iddah, sedangkan khulu’ adalah permintaan istri untuk menghilangkan “bahaya” yang dialaminya. Begitu juga karena Rasululllah Saw. tidak menanyakan keadaan Mukhtali’ah (Istri Tsabit bin Qais tatakala ia meminta khulu’ dari suaminya) apakah ia saat itu dalam keadaan suci atau haidh. Dan tidak adanya dalil yang mengatakan tidak boleh meminta khulu’ ketika haidh. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa khulu’ dapat dilakukan kapan saja meskipun sang istri sedang haidh.
Khulu' Dilakukan Orang Yang Tengah Sakit
Sah khulu' yang dilakukan oleh orang yang sedang sakit parah[17]. Karena jika dia menjatuhkan talak yang tidak memiliki 'iwadh, maka sah talaknya, apalagi talak yang memiliki 'iwadh. Juga karena ahli warisnya tidak akan mendapatkan kerugian apa-apa dengan tindakan khulu'nya.
Mazhab Maliki mengungkapkan mengenai hal ini dengan pendapat mereka, terlaksana khulu' yang dilakukan oleh orang yang tengah terkena penyakit yang mengkhawatirkan. Sebagai isyarat bahwa secara prinsipil mereka tidak mengharamkan talak pada masa ini yang menyebabkan keluarnya ahli waris.
Menurut pendapat yang masyhur, istri yang dia khulu' pada masa dia sakit mendapatkan warisan dari suami jika suami meninggal dunia pada masa khulu' ini akibat penyakit yang mengkhawatirkan. Meskipun masa iddahnya telah selesai, dan dia kawin lagi dengan orang lain. Sedangkan istri tidak mewarisi suaminya jika istri meninggal dunia sebelum suami pada masa suami sakit, meskipun istri tengah sakit pada saat terjadi khulu'; karena suamilah yang membuat hilang apa yang seharusnya berhak untuk dia dapatkan.
Demikian juga Setiap pasangan suami istri atau salah satu dari keduanya berhak untuk mewakilkan orang lain dalam khuluk[18].
Masa ‘Iddah Bagi Khulu’.
Sebagaimana talak, bagi wanita yang khulu’ juga diharuskan untuk ‘Iddah. Dengan maksud istibra’ (meyakinkan bahwa dalam rahimnya tidak ada janin/kandungan). Namun berapakah tempo I’ddah yang harus ditempuh wanita dalam khulu’?, ulama telah berbeda pendapat dalam hal ini. Salah satunya adalah pendapat Jumhur ulama (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) yang mengatakan bahwa ‘iddah seorang wanita yang meminta khulu’ adalah sama dengan ‘iddah wanita yang ditalak, yaitu tiga quru’ (tiga kali haid). Landasannya adalah firman Allah Swt. dalam QS. Al-Baqarah ayat 228: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'”. Dan juga karena khulu’ adalah perpisahan antara suami istri setelah adanya perkawinan (dukhul), maka ‘iddah-nya tiga quru’ sebagaimana perpisahan selain khulu’.
Selain pendapat jumhur, terdapat juga pendapat kedua yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ustman bin Affan, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa ‘iddah bagi wanita khulu’ adalah cukup dengan satu kali haidh. Dalilnya yaitu; sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dan Ibnu Majah bahwa Rasulullah Saw. telah menjadikan ‘iddah istri Tsabit bin Qais satu haidh saja.
Apakah Khulu’ Talak atau
Ulama telah berbeda pendapat. Menurut Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafii’yyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad mengatakan bahwa khulu’ adalah thalaq ba-in. Sedangkan menurut riwayat lain dari Imam Ahmad bahwa khulu’ adalah faskh.
Konsekuensi dari perbedaan pendapat di atas dapat terlihat ketika seorang suami telah men-thalaq istrinya dua kali, kemudian meng-khulu’-nya, maka; Bagi yang mengangap khulu’ itu thalaq, berarti telah jatuh thalaq tiga, yang berarti suami tidak lagi halal untuk merujuk kembali istrinya, kecuali wanita tersebut telah menikah dengan laki-laki lain kemudian diceraikan.
Sedangkan bagi yang menganggap khulu’ itu faskh, maka suami tersebut berhak untuk merujuk istrinya, meskipun wanita tersebut belum menikah lagi dengan laki-laki lain, apabila sudah habis masa ‘iddah-nya.
Rujuk Setelah Khulu’.
Tidak ada rujuk bagi seorang suami dari seorang istri yang telah pisah dengan sebab khulu’. Baik itu bagi yang menganggap khulu’ itu thalaq ba-in maupun faskh. Jika dia menginginkan kembali kepada isterinya maka harus dengan akad pernikahan dan mahar yang baru.
Akibat hukum perceraian dengan khuluk:
istri tidak bisa dirujuk, berakhir dengan takak ba’in, kalau ingin rujuk harus menikah baru lagi, berlaku pasal 161 Kompasi Hukum Islam.
Tentang akibat hukum terhadap anak atau anak-anaknya sama dengan akibat hukum yang telah diatur dalam pasal 149 huruf d kompilasi hukuk Islam (memberikan biaya hadhanah untuk anakanaknya yang belum mencapai umur 21 tahun).