Menolong Orang yang Zalim, Kalau menolong orang yang dizalimi adalah suatu yang wajar dan seharusnya dibantu dan ditolong . Bagaimana dengan menolong orang yang menzalimi/yang maksutnya gar orang yang dzalim tersebut selamat dari dosa-dosanya yang diperbuat atasnya dan diampuni oleh Allah Swt dan segera bertoubat kepada Allah Swt dan tidak mengulang atas ke dzalimannnya tersebut.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا
“Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim dan yang dizalimi.”
Kemudian ada seseorang bertanya tentang bagaimana cara menolong orang yang berbuat zalim?
Beliau menjawab, “Kamu cegah dia dari berbuat zalim, maka sesungguhnya engkau telah menolongnya.” (HR. Bukhari)
Berarti kita hanya menolong orang yang dizalimi atau disakiti, seperti dipukul dan dirampok. Namun orang yang menzalimi juga ditolong yaitu mencegah ia dari berbuat jahat berarti sudah menolongnya dari berbuat dosa. Bisa jadi kita mengatakan pada yang ingin berbuat zalim, “Stop, berhenti.” Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam berkata,
“Jika ada saudaramu yang menzalimi lainnya, maka katakanlah pada orang yang ingin berbuat zalim, “Jangan perbuat seperti itu, berhentilah!”
Jika ada yang ingin menzalimi dengan mengambil harta orang lain, maka tahanlah atau cegahlah dia. Itu termasuk menolongnya jika memang engkau punya kemampuan untuk mencegahnya. Bentuk menolong orang yang berbuat zalim adalah mencegahnya dari kejahatan dirinya dan dari kejahatan setannya. Itu termasuk pula mencegah setannya berbuat jahat dan mencegahnya dari hawa nafsu yang batil.
Memaafkan, meminta maaf juga membutuhkan keberanian yang luar biasa. Oleh karena itu, terdapat keterangan mengenai hadis tentang meminta maaf yang juga telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sebab, setiap orang pasti melakukan kesalahan dan saling memaafkan akan menjadi kunci dari ketentraman hati. Bahkan, hal tersebut bisa menjadi sebuah terapi. Menurut studi Nuansa Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan, hasilnya menunjukkan bahwa sikap memaafkan dan meminta maaf dapat dijadikan sebagai terapi kejiwaan. Seperti diketahui, Alquran dapat menjadi peyembuh atau obat, terutama untuk penyakit di dalam hati atau penyakit mental. Alquran hadir sebagai pembelajaran, penyembuh, petunjuk, dan rahmat.
Psikoterapi memaaf dan meminta maaf merupakan bagian dari psikoterapi tasawuf, sebuah upaya psikoterapi yang menggabungkan pendekatan tasawuf dan psikoterapi. Menurut ahli tafsir terkemuka di Indonesia M Quraish Shihab, tidak ditemukan perintah untuk meminta maaf. Namun hal tersebut ditemukan dalam hadis tentang meminta maaf. Dalam hadis, ditemukan perintah untuk berusaha dihalalkan dosa-dosa kepada saudara, yang berarti seseorang diminta meminta maaf atau dimaafkan.
Terdapat beberapa hadis tentang meminta maaf, di antaranya:
Artinya: “Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rasulullah SAW: ‘Barangsiapa pernah melakukan kezaliman terhadap saudaranya, baik menyangkut kehormatannya atau sesuatu yang lain, maka hendaklah ia minta dihalalkan darinya hari ini, sebelum dinar dan dirham tidak berguna lagi (hari kiamat).
(Kelak) jika dia memiliki amal saleh, akan diambil darinya seukuran kezalimannya. Dan jika dia tidak mempunyai kebaikan (lagi), akan diambil dari keburukan saudara (yang dizalimi) kemudian dibebankan kepadanya.” (HR Bukhari)
Satu hal positif yang semestinya dilakukan untuk menghapus perbuatan salah adalah meminta maaf. Ini akan berguna untuk meredam amarah yang ada dalam diri orang yang dizalimi. Penyesalan atas kata-kata atau perbuatan di masa lalu, serta janji untuk tidak mengulangi perbuatan salah berfungsi untuk meredam amarah yang bergejolak dalam diri seseorang yang disakiti.
Artinya: "Sedekah itu tidak mengurangi harta dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat), serta tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya (di dunia dan akhirat)."
3. Hadis tentang Meminta Maaf dan Kemuliaan
Di dalam riwayat lainnya, Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah Allah memberi tambahan kepada seseorang hamba yang suka memberi maaf melainkan kemuliaan.” (HR. Muslim)
Dan hadis lain yang masih memiliki keterkaitan dengan hal ini adalah: “Tidak halal bagi seorang mukmin untuk tak bersapaan dgn saudaranya (sesama muslim) lebih dari tiga hari.” (HR Muslim)
Memaafkan sama sekali bukan merupakan perkara yang kecil. Dibutuhkan sebuah hati yang lapang dan pikiran yang jernih untuk bisa memaafkan seseorang.
Begitupun meminta maaf dan mengakui kesalahan itu adalah perbuatan yang butuh keberanian besar. Maka, sungguh perbuatan maaf memaafkan sangat dimuliakan oleh Islam.
Sebab, tidak diperkenankan bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya selama lebih dari 3 hari. Kemudian yang paling baik di antara keduanya adalah yang terlebih dahulu memberi salam.
Artinya telah timbul sebuah kelegaan hati dari salah satu di antara mereka yang memiliki potensi mencairkan suasana dan yang lebih indah adalah saat hal tersebut diakhiri dengan saling maaf memaafkan.
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS Al-A’raf: 199)
Memaafkan adalah salah satu di antara akhlak Islam yang paling utama. Tapi, tak sebanyak itu orang berbicara tentang keutamaan meminta maaf. Padahal, meminta maaf juga merupakan akhlak yang amat mulia yang harus dimiliki oleh umat Islam. Beberapa keutamaan meminta maaf yakni:
4. Memperbaiki Silaturahmi
Selaturahmi akan meningkatkan rasa kedamaian dari pihak-pihak yang pernah berseteru atau pernah mengalami kekeliruan karena suatu hal. Berdamai dengan diri sendiri juga menjadi keutamaan setelah seseorang telah berusaha untuk meminta maaf terlebih dahulu atas kesalahan yang pernah diperbuat. Hadis dari Abu Hurairah RA yang telah disebutkan di atas menunjukkan betapa pentingnya meminta maaf. Bahkan, terdapat ‘ancaman’ kerugian yang luar biasa bagi orang yang terlambat meminta maaf. Misalnya dengan terhapusnya amal-amal baik yang pernah dilakukan atau ditambahkannya amal-amal buruk orang yang pernah dizalimi kepada tumpukan amal buruknya.
5. Kesalahan Karena Memutus Silaturahmi
Meski Rasulullash SAW tetap menganjurkan orang yang dizalimi untuk meminta maaf, tapi orang yang berbuat zalim yang lebih mungkin dihukumi memutus silaturrahim. Padahal Alquran mengancam dengan keras tindakan memutuskan silaturrahim ini. Terkait dengan hal ini, Allah SWT berfirman dalam Alquran:
(Wallażīna yangquḍụna 'ahdallāhi mim ba'di mīṡāqihī wa yaqṭa'ụna mā amarallāhu bihī ay yụṣala wa yufsidụna fil-arḍi ulā`ika lahumul-la'natu wa lahum sū`ud-dār)
Artinya: “Orang-orang yang merusakkan janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan (yakni, silaturrahim), dan mengadakan kerusakan di bumi. Orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (neraka jahanam).” (QS Ar-Ra’d: 25)
Rasulullah SAW juga menegaskan hal ini dengan sabdanya: “Tidak akan masuk surga orang yang memutus (silaturahim)” (HR. Bukhari)
6. Kesalahan Akan Menjadi Beban
Perbuatan salah yang dilakukan kepada orang lain akan menjadi beban yang terus memberatkan hati jika belum dimaafkan. Perasaan bersalahpun akan terus menghantui. Kaena termasuk penyambung dalam silaturahmi, Rasulullah SAW menunjukkan bahwa meminta maaf bukan sesuatu yang akan menghinakan, tapi merupakan tindakan yang amat mulia. Sedemikian mulianya sehingga terbukanya pintu surga dan keterbebasan dari neraka sebagai ganjarannya. Terkait dengan ini, Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa saja yang senang diberi lebih banyak rezeki dan umur panjang, maka dia harus menjalin hubungan baik (silaturrahim) dengan orangtua dan saudaranya.” (HR Bukhari)
Dalam hadis tentang meminta maaf ini menunjukkan bagaimana Islam memuliakan silaturahmi, sehingga meminta maaf merupakan bagian dari mempertahankan hal tersebut.
Islam memberi pahala bagi orang yang mampu maaf memaafkan dengan hati ikhlas dan ringan. Perbuatan yang dipandang kecil namun sungguh dibutuhkan usaha yang besar.
Materialisme atau terlalu berlebihan dalam mencintai harta, akan memberikan sejumlah efek negatif. Ia mengatakan bahwa ada dua dampak buruk materialisme. Pertama, memperburuk kesejahteraan individu. Kedua, memperparah efek trauma dan stres terhadap kejadian buruk.
Yang menarik dari riset tersebut adalah pada temuan atau kesimpulan kedua. Rindfleisch menyatakan bahwa orang-orang yang materialistis, ketika berhadapan dengan persoalan kehidupan yang parah, seperti ketidaksesuaian antara rencana dengan hasil yang didapat, maka mereka akan cenderung lebih sulit menerima kenyataan dan mudah stres. Kondisi ini mengakibatkan orang tersebut untuk melakukan “maladaptive consumption”, yaitu ketidakrasionalan pola konsumsi. Misalnya, dengan membeli barang yang tidak perlu atau tidak dibutuhkan olehnya, maupun mengkonsumsi barang dan jasa yang mengancam kehidupannya. Kesabaran terhadap tekanan hidup menjadi berkurang, dan ia akan memiliki kecenderungan untuk menjadi paranoid, terutama terhadap kematian. Rasa takut akan mati sangat menghantuinya.
Dengan kata lain, perilaku materialisme akan menyebabkan ketidaktenangan hidup. Orang akan lebih mudah gelisah dan resah. Sehingga, pada jangka panjang, kondisi ini akan mengancam tingkat produktivitas seseorang, yang pada akhirnya berpotensi menurunkan tingkat produktivitas suatu bangsa secara keseluruhan. Jika ini terjadi, maka tingkat kemakmuran akan mengalami penurunan.
Dari hasil studi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa ada dua solusi yang harus dikembangkan, untuk mengatasi problem materialisme dan dampak buruk yang ditimbulkannya. Pertama, peningkatan kualitas pengendalian diri, terutama terkait dengan konsumsi pribadi. Kedua, mendorong semangat berbagi, sebagai antitesa dari sifat serakah terhadap harta.
Terkait poin yang pertama, harus disadari bahwa sumber utama penyakit materialisme adalah ketidakmampuan diri untuk mengendalikan hawa nafsu dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Untuk itu, jiwa harus dilatih agar memiliki kemampuan pengendalian diri yang baik. Salah satunya adalah melalui momentum ibadah puasa di bulan suci Ramadhan.
Imam Al Ghazali mengatakan bahwa tingkat puasa seseorang itu dibagi menjadi tiga, yaitu puasa awam, puasa khusus, dan puasa yang sangat khusus. Pada puasa awam, seseorang hanya mampu menahan diri dari lapar dan haus semata, serta belum mampu mengendalikan diri dari syahwat yang lain. Sedangkan pada puasa jenis kedua, seseorang sudah mampu mengendalikan hawa nafsu yang lain, selain makan dan minum. Misalnya, mengendalikan nafsu amarah yang berlebihan. Sementara pada tingkatan ketiga, kualitas puasa seseorang sudah mampu menghantarkannya pada kebersihan nurani dan hati, sehingga tidak sedikitpun terlintas dalam benaknya keinginan untuk bermaksiat dan berbuat keburukan. Jadi memikirkan hal negatif saja tidak, apalagi melakukannya. Berbeda dengan puasa level kedua dimana pada diri seseorang masih mungkin terlintas hal-hal negatif, meski kemudian mampu dicegahnya.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa puasa pada dasarnya adalah instrumen untuk mengendalikan diri, termasuk pengendalian terhadap konsumsi berlebihan. Ini adalah antitesa dari teori konsumsi konvensional yang berorientasi sepenuhnya pada pencapaian tingkat kepuasan maksimum, dimana kondisi ini bisa dicapai melalui konsumsi barang dan jasa secara maksimal dengan faktor pembatasnya adalah anggaran keuangan yang dimiliki.
Selanjutnya, solusi kedua adalah dengan mendorong semangat berbagi, melalui pelaksanaan ibadah zakat, infak dan shadaqah(ZIS). Ibadah ZIS adalah metode yang efektif dalam mengikis keserakahan. Melalui ibadah ini, seseorang diajarkan untuk tidak mencintai harta secara berlebihan, karena hakekat hidup pada dasarnya adalah untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi umat manusia. Ibadah ZIS juga merupakan instrumen “alami” yang diciptakan ajaran Islam untuk mencegah konsentrasi kekayaan di tangan segelintir kelompok, dan mendorong tumbuhnya solidaritas sosial yang kuat. Jika kesenjangan ekstrim bisa dicegah, dan solidaritas sosial dapat diperkuat, maka ketenteraman dan ketertiban dalam kehidupan sosial masyarakat bisa menjadi kenyataan.
Materialisme merupakan suatu aliran yang menganggap kebutuhan materi di atas kebutuan spiritual, ideologi, sosial, budaya dan agama. Ideologi materialisme yang berkembang pesat khususnya di Barat pada dasarnya bukanlah aliran yang baru, atau hasil dari zaman modern, namun kepercayaan aliran ini, sudah ada sejak zaman filsafat Yunani kuno. Materialisme merupakan salah satu persoalan masyarakat modem saat ini baik pada dunia Barat maupun pada dunia Timur sendiri.
Beberapa filosof Barat yang materialis menganggap perkembangan aliran tersebut seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Semakin tinggi ilmu pengetahuan seseorang semakin pesat juga perkembangan materialisme.
Materialisme di Barat tidaklah sama dengan materialisme dalam dunia Timur, baik dari segi sejarahnya maupun konteks doktrin orientasinya, karena aliran tersebut dalam Islam hanya merupakan sentuhan-sentuhan kekuasaan yang sedang berkuasa, sementara di Barat selain aliran ini memiliki sejarah yang jelas, dan juga ada beberapa faktor yang dapat mendukung kemajuan aliran tersebut.
Faktor-faktor tersebut adalah pertama, kelemahan doktrin-doktrin Gereja dan keangkuhan serta kekerasan yang dilakukannya. Kedua, kelemahan ide-ide filsafat Barat, dan yang ketiga adalah kelemahan konsep-konsep sosial politik di Barat. Beberapa alasan tersebut merupakan faktor yang paling dominan dan fundamental dalam penggiringan masyarakat Barat pada materialisme.
Murtadha Muthahhari salah satu tokoh intelektual Islam yang keras mengkritik kepada kaum materialis, apalagi aliran tersebut sudah menunjukkan eksistensinya pada dunia Islam, khususnya Iran, karena dalam sejarahnya, Islam dengan dinasti Abbasiahnya pernah memberi peluang besar pada masyarakatnya dengan aliran tesebut, meskipun kebebasan berpikir di antara para intelektualnya tidak boleh menentang kekuasaan yang sedang berkuasa.
Bahkan ada di antara tokoh intelektual Islam seperti Ali Wardi yang menganggap materialisme sejarah bagian dari doktrin Islam. Namun pendapat ini dibantah oleh Muthahhari, karena menurutnya, orang-orang yang mencari hakikat kebenaran materialisme sejarah terterah dalam kitab suci Al-Qur'an pada dasarnya ia kurang memahami benar tentang ajaran Islam.
Penelitian ini bersifat kepustakaan murni yang didasarkan pada karya-karya Murtadha Muthahhari sebagai sumber data primer, sementara sumber data sekunder adalah beberapa literatur yang dapat mendukung dalam penelitian ini. Metode yang dipakai dalam penelitian ini yakni metode deskriptif-analitik dan sejarah pemikiran yang berupaya memaparkan pemikiran Murtadha Muthahhari tentang Islam dan materialisme secara jelas, akurat dan sistematis.
Hasil penelitian ini dapat diperoleh jawabannya, bahwa ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kecenderungan materialisme pada dunia Barat, salah satunya adalah otoritas Gereja. Klaim materialisme memiliki relevansi dalam Al-Qur'an pada hakikatnya adalah penafsiran yang keliru, justru Islam menganggap aliran tersebut bukan hanya tidak cocok dengan ajarannya, akan tetapi juga dapat membahayakan baik pada masyarakat Islam sendiri maupun pada doktrin agamanya, dengan muncul kesamaran-kesamaran dalam penafsirannya.
Pemikiran Murtadha Muthahhari tidak hanya dapat meramaikan pergulatan wacana mengenai Islam dan materialisme, dan mengkonter hegomoni pemikiran orang-orang Barat, namun ia juga dapat memberi beberapa penawaran yang dapat memuaskan intelektual. Maka dengan demikian, pemikiran Murtadha Muthahhari ini adalah sangat relevan dan kontekstual dengan perkembangan zaman sekarang.
Materialisme, merupakan suatu pemahaman hanya bersandar pada materi. Paham ini tidak meyakini apa yang ada di balik alam ghaib dan norma di atas manusia, yaitu Tuhan dan wahyu.
Orang-orang yang mengikuti paham ini tidak meyakini adanya kekuatan yang menguasai alam semesta ini, sehingga secara otomatis menafikan adanya Tuhan sebagai pencipta alam, karena menurut paham ini alam beserta isinya berasal dari satu sumber, yaitu materi.
“Pemikiran ini sama halnya dengan atheisme dalam bentuk dan subtansinya yang tidak mengakui adanya Tuhan secara mutlak,” kata Dr. Tgk. H. Amri Fatmi Anzis Lc, MA (Doktor Aqidah Filsafat dari Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir) saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (21/2) malam. Pengajian dimoderatori oleh Kasi Kurikulum pada Dinas Pendidikan Dayah Aceh, Badaruddin SPd MSi.
Tgk Amri Fatmi yang meraih gelar doktor dengan predikat tertinggi “Summa Cumlaude” pada Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo, memaparkan, para penganut paham materialisme ini menolak agama sebagai hukum kehidupan manusia. Mereka lebih mengedepankan akal sebagai sumber segala hukum.
Prinsip ini melahirkan suatu ideologi, hukum hanyalah apa yang bisa diterima oleh akal manusia, tidak perlu agama, dan menjadikan kecondongan dan kesenangan manusia sebagai hak yang harus diakui. Meskipun itu bertentangan dengan dengan agama dan jauh dari nilai-nilai Islam.
Pemikiran materialisme ini membawa pada kehidupan konsumerisme, hedonisme, dan cinta dunia berlebihan (wahn). Ini sangat berbahaya bagi kehidupan kita sebagai seorang muslim, karena dalam kehidupan materialisme ini, tidak ada akhlak. Semua berburu pada materi tanpa peduli halal atau haram.
Dijelaskannya, salah satu fitnah zaman modern dewasa ini adalah merebaknya ideologi materialisme. Bahwa materi, harta kekayaan atau jabatan merupakan tolok ukur mulia tidaknya seseorang. Semakin kaya seseorang berarti ia dipandang sebagai orang yang mulia, dan semakin sedikit materi atau harta yang dimilikinya berarti ia dipandang sebagai orang yang hina dan tidak patut dihormati.
Dalam sebuah masyarakat yang berideologi materialisme, seseorang menjadi sangat iri dan berambisi menjadi kaya setiap kali melihat ada orang yang berlimpah harta lewat di tengah kehidupan mereka. Maka di dalam masyarakat yang telah diwarnai materialisme, setiap anggota masyarakat akan berlomba mengumpulkan harta sebanyak mungkin dengan cara bagaimanapun, baik itu dengan cara yang halal, syubhat, maupun haram.
Solusi terhadap paham materialisme yang harus dijauhi oleh setiap umat Islam, yaitu dengan kembali kepada ajaran agama Islam. Kemudian tidak mencintai dan mengejar materi dunia secara berlebihan, sehingga lupa pada kepentingan akhirat.
Andaikan setiap kita berpegang teguh kepada prinsip dan ajaran agama kita, niscaya akan terhindar dari ideologi materialisme. Tidak mungkin akan muncul suatu anggapan bahwa harta merupakan tolok ukur kemuliaan seseorang. Setiap orang akan senantiasa rajin mensyukuri segenap karunia Allah yang telah diterimanya dengan sifat zuhud dan qanaah. Islam mengajarkan tolok ukur kemuliaan sejati ialah taqwa seseorang kepada Allah Swt.
Munculnya fenomena masyarakat yang begitu mudah mempercayai kemampuan seseorang yang bisa mendatangkan kekayaan secara instan meski irasional dinilai merupakan gejala semakin kuatnya nilai materialisme. Masyarakat yang terjangkit materialisme cenderung memiliki sikap hidup yang menghargai materi secara berlebihan. Materi menjadi tolok ukur utama dalam menilai kesuksesan seseorang. Sayangnya, sikap yang mengukur segala sesuatunya dengan materi ini erat kaitannya dengan merosotnya nilai-nilai sosial yang menjadi ciri khas bangsa, seperti gotong royong, sukarela, dan tanpa pamrih.
Sebagaimana disampaikan Rektor UII, Dr. Ir. Harsoyo, M.Sc ketika memberi sambutan dalam acara Sumpah Profesi Psikolog ke-32 yang digelar oleh Magister Profesi Psikologi UII di Ruang Auditorium FPSB UII, Sabtu (22/10). Acara tersebut diikuti oleh empat orang lulusan Magister Profesi Psikolog.
Kondisi ini tidak dipungkiri semakin nyata adanya di tengah masyarakat kita. Di mana tidak hanya menjangkiti golongan masyarakat di akar rumput, namun juga kaum menengah atas, dan bahkan sebagian kaum intelektual.
Rektor menilai sebagai kalangan intelektual, lebih-lebih yang membawa nilai Islam, para psikolog juga memiliki kewajiban untuk kembali menyehatkan kondisi psikologis masyarakat. Keunikan psikolog UII yang tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu saintifik namun juga mengamalkan akhlak-akhlak Islami dalam berprofesi bisa menjadi celah untuk terlibat dalam hal itu.
Di sisi lain, Ketua HIMPSI Wilayah DIY, Drs. Helly P. Soetjipto, MA mengatakan salah satu tantangan menjadi psikolog adalah selama ini psikolog dianggap sebagai sosok yang dapat memulihkan kesehatan jiwa individu. “Namun apakah psikolog bisa menterapi dirinya sendiri manakala dia memiliki masalah kejiwaan?. Ini belum dapat dipastika.
Menanggapi fenomena di masyarakat yang mudah tergiur hal-hal berbau irasional, Helly P. Soetjipto berpendapat sebenarnya masyarakat cukup mempraktekkan tiga hal untuk menghindarinya. Selalu utamakan berperilaku jujur, ikhlas, dan saling membantu sesama manusia. Insyaallah hal ini dapat menjaga kesehatan mental kita.
Pendidikan Islam harus dijauhkan dari materialisme. Apalagi, Pendidikan Islam merupakan salah satu pilar utama yang dimiliki Kementerian Agama yang bertanggungjawab mengawal kualitas generasi muda muslim. Pesan ini disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Muhibbin, Caringin, Bogor, KH M. Luqmanul Hakim di hadapan jajaran Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag, di Jakarta. KH M. Luqmanul Hakim yang hadir mengisi tausiyah pada acara Buka Bersama di rumah dinas Direktur Jenderal Pendidikan Islam itu mengingatkan pentingnya membentuk generasi muda muslim untuk menjadi umat terbaik (khoiro ummah).
Dan itu hanya bisa dilakukan jika kita mampu menjauhkan proses pendidikan dari materialism,” terang penulis buku Psikologi Sufi ini. Hadir pada acara ini Dirjen Pendidikan Islam Kamaruddin Amin, Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam Imam Safe’i, para Direktur, pejabat eselon III dan IV, serta pelaksana di lingkungan Ditjen Pendidikan Islam Kemenag. Lebih lanjut KH Luqman menyampaikan, untuk menjauhkan gaya hidup materialisme, anak-anak harus diajari tentang makna pendidikan dan kerja keras. “Pendidikan harus dilakukan dengan kerja keras karena pendidikan enak adalah racun. Anak-anak menjadi sangat manja, mudah frustasi, dan berakhir bisa putus dari Allah Swt
Dirinya juga mengingatkan akan bahaya materialisme. Menurutnya materialisme akan menjauhkan manusia pada Tuhan, karena semua hal perbuatan diukur dengan materi. “Padahal ujung dari semua perbuatan tertuju pada Lillah (Allah Swt). Ia pun mengajak jajaran Ditjen Pendis untuk senantiasa berdoa. "Ada dua doa yang harus selalu kita panjatkan kepada Allah, yaitu agar diberikan ketenangan hati, dan agar diberikan tetap iman," tutur KH Luqmanul Hakim. Orang yang diberi ketenangan hati oleh Allah, dia tidak pernah tersinggung, dan selalu menghadapi masalah dengan mudah. Sementara doa tetap iman agar di akhir hayat kita mampu menyebut Allah Swt.
Allah SWT Berfirman:” Dan (ingatlah) ketika kamu berkata, “Wahai Musa! Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas,” maka halilintar menyambarmu, sedang kamu menyaksikan” (al Baqarah ayat 55).
Dalam sejarah Bani Israil ada sebuah kisah bagaimana mereka meminta kepada Musa as untuk ikut mendengarkan dialog kalam Allah SWT dengan Musa as, akhirnya merekapun diberikan kesempatan mendengarkan dialog Musa dengan Allah swt, akan tetapi mereka masih belum puas, sehingga meminta Musa untuk mereka dapat melihat Allah SWT dengan panca inderanya. Inilah logika materialisme ketuhanan. Mereka ingin melihat Tuhan dengan panca Indera, sebuah kesalahan logika (logical fallacy) yang fatal, bagaimana mungkin inderawi yang bersifat fisik mampu menemui sesuatu yang bersifat non materi (immateri).
Memandang eksistensi sesuatu hanya pada yang nampak oleh inderawi adalah sebuah kesalahan besar, karena indera sangatlah menipu. Hal inilah yang menyebabkan al-Ghazali melakukan uzlah untuk mendapatkan hakikat pengetahuan. Akhir dari perenunganya adalah makrifatullah sebagai ilmu paling tinggi. Karena dia memandang panca indera penuh tipuan, sebuah contoh bagaimana kayu dalam air terlihat bengkok, hal inilah menjadi dasar bagi al-ghazali bahwa inderawi penuh tipuan. Begitu juga fatamorgana, inderawi manusia tertipu olehnya.
Menipu manusia akan eksistensi Tuhan dengan indera adalah kebodohan, akan tetapi banyak sekali di dunia ini yang terjebak dengan hal itu. Akhir dari kebodohan ini adalah lahirnya ateisme atau faham ketidak percayaan pada eksistensi Tuhan. Karena mereka menjadikan panca indera sebagai standar ada dan tidaknya sesuatu.
Secara epistimologis manusia memiliki sumber pengetahuan inderawi, akali dan qalbi. Melihat Tuhan tidak mungkin dengan inderawi dan akali, maka memandang Tuhan seharusnya dengan potensi hati, hati yang dibimbing oleh kitab suci, karena di dalam kitab suci ada cara mengenal Tuhan. Sebagai seorang muslim, Allah swt telah mengenalkan dirinya di dalam al Qur’an, menunjukan kekuasaan Nya dalam alam semesta, sehingga melihat Allah bukan dengan indera tetapi dengan Iman yang lahir dari hati yang bersih.
Konsep memandang Allah SWT ada ketika manusia berada di akhirat, sebagaimana dalam ayat al Qur’an: “Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnyalah mereka melihat” (QS Al-Qiyaamah:22-23). Dalam ayat lain : “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah Ta’ala). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya” (QS Yunus:26).
Dalam hadits yang shahih dari seorang sahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah Ta’ala Berfirman: “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka? Maka (pada waktu itu) Allah Membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai daripada melihat (wajah) Allah Ta’ala”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut di atas (Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah Ta’ala). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya” (QS Yunus:26).) (HR. Imam Muslim)
Melihat Allah SWT adalah sebuah kemustahilan di dunia ini, akan tetapi sebuah kepastian di akhirat bagi mereka yang mendapatkan tambahan kenikmatan, mereka orang-orang yang beriman dan menetapi perintah Allah SWT. Sangat nampak logika iman dan logika kufur dalam memahami hal ini, karena keimanan akan membangun keyakinan dalam hati mereka, sedangkan kekafiran akan menghancurkan logika sehat mereka.
Oleh sebab itu Allah SWT menghukum mereka orang-orang yang tidak mau beriman sampai melihat wajahnya dengan sambaran halilintar, sedangkan mereka menyaksikan satu sama lainya. Hal ini menunjukan buruknya pola pikir mereka, dan menjengkelkanya prilaku mereka, sehingga Allah SWT menghukum mereka.
Tentu orang-orang yang terjebak dengan faham materialisme dan berujung pada ateisme ini akan mendapatkan hukuman Allah SWT yang sangat keras, karena mereka begitu sombong meniadakan Tuhan yang telah menciptakanya. Kesombongan inilah yang akan menjadikan mereka hancur baik di dunia maupun di akhirat. Dalam hal ini memang antara rasio dan iman akan terus berhadapan, bagi mereka yang jauh dari nilai keimanan. Akan tetapi bagi mereka yang menjadikan iman sebagai dasar maka mampu mendialogkan antara rasio dan iman, antara sains dan iman, demikianlah islam mengajarkan.
Insan profetis adalah mereka yang senantiasa menjadikan Iman sebagai dasar segalanya, sebagai dasar melihat sesuatu bahkan memikirkan sesuatu. Mereka adalah orang yang mampu mendialogkan antara indera, akal dan hati, antara iman dan sains, bahkan antara dunia dan akhirat. Dengan inilah peradaban akan terbentuk dengan baik, dan mampu memimpin dunia yang dipenuhi faham materialisme saat ini.
Islam telah mengajarkan banyak cara untuk mengatasi setiap persoalan hidup yang dialami umatnya, termasuk dalam menghadapi gangguan mental seperti depresi. Cara mengatasi depresi menurut Islam ini pun beragam dan bisa menambah timbangan pahala seseorang. Buku Berobatlah dengan Menikah oleh Moh. Zainul Akhyar menerangkan, depresi adalah gangguan mood yang ditandai dengan kondisi emosional berkepanjangan pada seluruh proses mental (berpikir, berperilaku, dan berperasaan).
Terdapat beberapa hal penyebab depresi, di antaranya peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, perubahan kimia pada otak, efek samping obat, beberapa penyakit fisik, dan masih banyak lagi. Selain dengan berobat dan mengikuti saran psikolog, mengatasi depresi sesuai dengan syariat Islam juga perlu dicoba. Simak uraian artikel di bawah ini.
Cara Mengatasi Depresi Menurut Islam
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setidaknya terdapat 350 juta orang di seluruh dunia yang mengalami depresi dan lebih dari 800 ribu orang meninggal bunuh diri akibat depresi. Akan tetapi, masih banyak penderita depresi yang tidak mengakui kondisi mereka, sehingga tidak pernah ditangani atau setidaknya dibicarakan. Biasanya, depresi lebih sering terjadi pada wanita daripada pria dengan rasio 2:1. Sementara di Indonesia, penyebab kematian akibat depresi menduduki peringkat kedelapan dengan menyumbang 3 persen dari total angka kematian. Hal ini menunjukkan bahwa depresi dapat mengancam siapa pun. Namun, sebagai manusia yang beragama, kita tidak perlu khawatir karena sebenarnya Allah SWT telah memberikan pedoman kepada manusia untuk mengatasinya.
Salah satu di antara sekian banyak konsep yang terkandung dalam kitab suci Alquran adalah konsep yang mempunyai relevansi dengan depresi atau keputusasaan. Terkait hal ini, Alquran memberikan beberapa konsep pengobatan yang bisa membangun manusia dari buaian depresi dan kembali kepada jiwa optimis dan progresif. Merujuk buku Model Pendidikan Islam bagi Pecandu Narkotika oleh Ahmad Saefulloh dan Mellyarti Syarif, cara mengatasi depresi menurut Islam sesuai dengan apa yang termaktub dalam Alquran, di antaranya sebagai berikut:
Islam telah mengajarkan banyak cara untuk mengatasi setiap persoalan hidup yang dialami umatnya, termasuk dalam menghadapi gangguan mental seperti depresi. Cara mengatasi depresi menurut Islam ini pun beragam dan bisa menambah timbangan pahala seseorang. Buku Berobatlah dengan Menikah oleh Moh. Zainul Akhyar menerangkan, depresi adalah gangguan mood yang ditandai dengan kondisi emosional berkepanjangan pada seluruh proses mental (berpikir, berperilaku, dan berperasaan). Terdapat beberapa hal penyebab depresi, di antaranya peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, perubahan kimia pada otak, efek samping obat, beberapa penyakit fisik, dan masih banyak lagi.
Selain dengan berobat dan mengikuti saran psikolog, mengatasi depresi sesuai dengan syariat Islam juga perlu dicoba. Simak uraian artikel di bawah ini. Cara Mengatasi Depresi Menurut Islam
4 Cara Mengatasi Depresi Menurut Islam Sesuai Alquran (1)
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setidaknya terdapat 350 juta orang di seluruh dunia yang mengalami depresi dan lebih dari 800 ribu orang meninggal bunuh diri akibat depresi. Akan tetapi, masih banyak penderita depresi yang tidak mengakui kondisi mereka, sehingga tidak pernah ditangani atau setidaknya dibicarakan. Biasanya, depresi lebih sering terjadi pada wanita daripada pria dengan rasio 2:1. Sementara di Indonesia, penyebab kematian akibat depresi menduduki peringkat kedelapan dengan menyumbang 3 persen dari total angka kematian.
Hal ini menunjukkan bahwa depresi dapat mengancam siapa pun. Namun, sebagai manusia yang beragama, kita tidak perlu khawatir karena sebenarnya Allah SWT telah memberikan pedoman kepada manusia untuk mengatasinya. Salah satu di antara sekian banyak konsep yang terkandung dalam kitab suci Alquran adalah konsep yang mempunyai relevansi dengan depresi atau keputusasaan.
Terkait hal ini, Alquran memberikan beberapa konsep pengobatan yang bisa membangun manusia dari buaian depresi dan kembali kepada jiwa optimis dan progresif. 4 Cara Mengatasi Depresi Menurut Islam Sesuai Alquran (2)
1. Penguatan keimanan dan ketakwaan
Seorang sufi, Al-Qusyayri, menyebutkan bahwa takwa ditandai oleh tiga sikap, yaitu: (1) tawwakal terhadap apa yang belum dianugerahkan; (2) berpuas diri dengan apa yang telah dianugerahkan; (3) dan bersabar dalam menghadapi milik yang hilang. Manusia yang benar-benar bertakwa akan senantiasa bercahaya hatinya dengan cahaya Allah SWT, ini berarti bahwa Allah SWT senantiasa menyertai dalam setiap langkah umatnya. Bila manusia tersebut dalam kehilangan, Allah SWT akan senang menghargai penggantiannya. Sebagaimana yang terdapat di dalam Firman Allah SWT dalam surat At Thalaq ayat 4, berikut bunyinya:
Artinya: “Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.”
2. Penguatan kesabaran
Islam sebagai pembawa kedamaian tidak menghendaki terjadinya depresi di dalam kehidupan manusia. Islam tidak ingin melihat manusia mati dalam kehidupan. Sebaliknya, Islam menghendaki manusia mempunyai jiwa yang tegar dalam menghadapi segala musibah yang menimpa. Oleh sebab itu, untuk masalah ini Alquran datang dengan konsep kesabaran. Melalui kesabaran, Alquran mengajak manusia untuk menyadari bahwa mati, jodoh dan lainnya ada di tangan Allah SWT. Dengan kesabaran, Alquran mengajak umat Islam untuk menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT. Sebagaimana terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 155-156, Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).”
Kumpulan artikel yang membahas informasi seputar kesehatan.
Islam telah mengajarkan banyak cara untuk mengatasi setiap persoalan hidup yang dialami umatnya, termasuk dalam menghadapi gangguan mental seperti depresi. Cara mengatasi depresi menurut Islam ini pun beragam dan bisa menambah timbangan pahala seseorang.
Rice PL dalam buku Berobatlah dengan Menikah oleh Moh. Zainul Akhyar menerangkan, depresi adalah gangguan mood yang ditandai dengan kondisi emosional berkepanjangan pada seluruh proses mental (berpikir, berperilaku, dan berperasaan).
Terdapat beberapa hal penyebab depresi, di antaranya peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, perubahan kimia pada otak, efek samping obat, beberapa penyakit fisik, dan masih banyak lagi.
Selain dengan berobat dan mengikuti saran psikolog, mengatasi depresi sesuai dengan syariat Islam juga perlu dicoba. Simak uraian artikel di bawah ini. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setidaknya terdapat 350 juta orang di seluruh dunia yang mengalami depresi dan lebih dari 800 ribu orang meninggal bunuh diri akibat depresi.
Akan tetapi, masih banyak penderita depresi yang tidak mengakui kondisi mereka, sehingga tidak pernah ditangani atau setidaknya dibicarakan. Biasanya, depresi lebih sering terjadi pada wanita daripada pria dengan rasio 2:1. Sementara di Indonesia, penyebab kematian akibat depresi menduduki peringkat kedelapan dengan menyumbang 3 persen dari total angka kematian. Hal ini menunjukkan bahwa depresi dapat mengancam siapa pun. Namun, sebagai manusia yang beragama, kita tidak perlu khawatir karena sebenarnya Allah SWT telah memberikan pedoman kepada manusia untuk mengatasinya. Salah satu di antara sekian banyak konsep yang terkandung dalam kitab suci Alquran adalah konsep yang mempunyai relevansi dengan depresi atau keputusasaan.
Terkait hal ini, Alquran memberikan beberapa konsep pengobatan yang bisa membangun manusia dari buaian depresi dan kembali kepada jiwa optimis dan progresif.
1. Penguatan keimanan dan ketakwaan
Seorang sufi, Al-Qusyayri, menyebutkan bahwa takwa ditandai oleh tiga sikap, yaitu: (1) tawwakal terhadap apa yang belum dianugerahkan; (2) berpuas diri dengan apa yang telah dianugerahkan; (3) dan bersabar dalam menghadapi milik yang hilang. Manusia yang benar-benar bertakwa akan senantiasa bercahaya hatinya dengan cahaya Allah SWT, ini berarti bahwa Allah SWT senantiasa menyertai dalam setiap langkah umatnya. Bila manusia tersebut dalam kehilangan, Allah SWT akan senang menghargai penggantiannya. Sebagaimana yang terdapat di dalam Firman Allah SWT dalam surat At Thalaq ayat 4, berikut bunyinya:
Artinya: “Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.”
2. Penguatan kesabaran
Islam sebagai pembawa kedamaian tidak menghendaki terjadinya depresi di dalam kehidupan manusia. Islam tidak ingin melihat manusia mati dalam kehidupan. Sebaliknya, Islam menghendaki manusia mempunyai jiwa yang tegar dalam menghadapi segala musibah yang menimpa.
Oleh sebab itu, untuk masalah ini Alquran datang dengan konsep kesabaran. Melalui kesabaran, Alquran mengajak manusia untuk menyadari bahwa mati, jodoh dan lainnya ada di tangan Allah SWT.
Dengan kesabaran, Alquran mengajak umat Islam untuk menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT. Sebagaimana terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 155-156, Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).”
3. Pemantapan Dzikir
Dzikir atau dzikrullah merupakan cara yang paling esensial untuk menyembuhkan lemah iman. Ini juga merupakan upaya untuk membersihkan hati dan mengobatinya tatkala manusia sakit serta merupakan ruh amal yang shalih. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al Anfal ayat 4, yang berbunyi:
Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.”
4. Memperbanyak membaca Alquran
Stres juga termasuk penyakit lemah iman. Maka, hal yang selanjutnya dilakukan untuk mengobati depresi adalah banyak membaca ayat Alquran. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Surat Yunus ayat 57 yang berbunyi:
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur'an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.”
Perubahan besar perilaku manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Banyak orang merasa cemas, takut, dan memikirkan hal-hal buruk tentang masa depan, terutama bagi korban positif virus Corona. Tentu saja kondisi tersebut menyebabkan kesehatan mental terganggu. Kesehatan mental yang baik adalah kondisi ketika batin seseorang berada dalam keadaan tentram dan tenang, sehingga bisa menikmati kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, orang yang mentalnya terganggu akan mengalami gangguan suasana hati, kemampuan berpikir, dan akhirnya mengarah pada perilaku buruk.
Salah satu gangguan mental yang saat ini banyak dialami adalah depresi. Biasanya, seseorang yang mengalami depresi akan merasa kesepian dan sulit berhubungan dengan orang lain. Dalam Islam, sering kali diperintahkan untuk menyerahkan segala kesulitan hidup yang kita hadapi kepada Allah SWT.
Gejala Depresi
Sebelum mengetahui cara menghilangkan depresi menurut Islam, ketahui terlebih dahulu gejala apa saja yang muncul. Depresi merupakan gangguan kesehatan mental yang ditandai dengan suasana hati yang terus mengalami tekanan dan kehilangan semangat untuk menjalani aktivitas sehari-hari.
Selain itu, seseorang yang mengalami depresi juga tidak bisa membina hubungan baik dengan lingkungan sekitar. Kondisi ini bisa disebabkan oleh banyak faktor, seperti mengalami kesedihan yang mendalam dan memiliki pengalaman traumatis.
Kondisi traumatis ini dapat bersifat objektif maupun subjektif, baik itu karena kekerasan fisik, emosional, hingga kejadian yang bisa mengancam nyawa. Gangguan depresi jika tidak segera diatasi maka dapat memicu penderita melakukan tindakan bunuh diri.
Depresi menjadi salah satu masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, depresi menempati peringkat ke-4 sebagai penyakit yang ada di dunia. Adapun ciri-ciri depresi bisa dilihat dari dua aspek, yakni fisik dan psikologi yang ditandai seperti berikut:
1. Merasa putus asa dan tidak berharga
2. Sering merasa cemas dan khawatir yang berlebihan
3. Kehilangan selera untuk melakukan aktivitas sehari-hari
4. Sering merasakan suasana hati yang buruk dan perasaan sedih yang berkelanjutan
5. Selalu merasa kelelahan dan kehilangan gairah seksual
6. Kehilangan selera makan dan sering merasa pusing yang tidak jelas alasannya
7. Berat badan turun secara drastis atau naik drastis
8. Memiliki keinginan untuk bunuh diri
Penyebab Depresi
Sebelum mengetahui cara menghilangkan depresi menurut Islam, ketahui juga penyebab depresi. Seseorang yang menderita gangguan depresi maka akan kehilangan minat untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Kondisi ini bisa memicu masalah fisik maupun emosional. Bahkan tak jarang pengidap depresi akan selalu merasa putus asa, tidak berharga dan menyalahkan diri sendiri. Penyebab depresi belum diketahui secara pasti, namun biasanya seseorang yang mengidap depresi disebabkan oleh beberapa faktor berikut ini:
Trauma
Trauma merupakan pengalaman emosional yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk melepaskan diri dari memori kejadian buruk di masa silam. Kondisi kejiwaan ini biasanya disebabkan oleh suatu kejadian buruk dan cara seseorang dalam memaknai peristiwa menyakitkan tersebut. Kondisi ini bisa menyebabkan seseorang kehilangan semangat untuk menjalani aktivitas sehari-hari dan mengalami gangguan depresi.
Riwayat Keluarga
Seseorang yang memiliki riwayat keluarga dengan gangguan depresi maka lebih berisiko mengalami depresi. Depresi bersifat sangat kompleks, artinya banyak gen berbeda yang masing-masing memberi efek kecil, daripada gen tunggal yang berkontribusi terhadap risiko penyakit. Selain itu, memiliki riwayat penyalahgunaan narkoba atau alkohol bisa memengaruhi risiko seseorang mengalami depresi. Tak heran, jika banyak pengidap gangguan depresi karena memiliki riwayat dengan obat-obatan terlarang.
Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual juga dapat meninggalkan trauma yang mendalam bagi korban. Salah satu kelompok paling rentan yang bisa mengalami kondisi ini adalah anak-anak. Kejadian ini bisa menyebabkan seseorang mengalami gangguan stres dan depresi.
Cara Menghilangkan Depresi Menurut Islam
Setiap orang pernah mengalami suatu peristiwa menyakitkan di dalam hidupnya. Tak jarang, pengalaman pahit masa lalu ini sering mengganggu aktivitas sehari-hari. Namun jangan khawatir, dengan berdamai dengan kenyataan, seseorang bisa bangkit dari segala keterpurukan.
Secara umum, depresi berat harus melibatkan bantuan medis profesional dari psikolog atau psikiater. Hal ini perlu dilakukan untuk mengidentifikasi masalah yang sebenarnya terjadi. Meski begitu, ada beberapa cara menghilangkan depresi menurut Islam yang efektif dilakukan. Dilansir dari Help Guide, berikut beberapa cara menghilangkan depresi menurut Islam :
Senantiasa Bersyukur kepada Allah SWT
Cara menghilangkan depresi menurut Islam yang pertama ialah senantiasa bersyukur kepada Allah SWT. Seperti yang diketahui, sebagai manusia tentu tidak akan pernah lepas dari permasalahan hidup. Hampir dapat dipastikan setiap orang memiliki masalahnya sendiri-sendiri. Hal inilah yang kemudian harus disadari bahwa kita tidak hidup sendiri dan masih banyak orang di luar sana yang mengalami masalah lebih besar.
Salah satu puncak kebahagiaan ialah ketika seseorang mampu bersyukur dengan apa yang dimiliki. Selalu percaya bahwa semua masalah yang kita hadapi sekarang adalah upaya mendewasakan diri agar ke depan dapat menjadi pribadi yang lebih baik. Selain itu, masih banyak hal di dunia ini yang patut kita syukuri seperti memiliki sahabat, keluarga, dan pekerjaan.
Menjalankan Ibadah Salat
Cara menghilangkan depresi menurut Islam selanjutnya, yaitu menjalankan ibadah salat. Ibadah ini memiliki menfaat besar untuk membuat hati menjadi lebih tenang dalam Islam. Selain itu, salat juga memiliki tujuan gara seseorang lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Berdoa agar Lebih Tenang
Cara menghilangkan depresi menurut Islam dianjurkan untuk terus mengingat Allah SWT. Berdoa dan meminta pada Sang Pencipta. Selain itu, juga dapat dengan membaca doa di bawah ini yang termuat dalam Alquran surat Ar Rad, ayat 28.
"Alladziina aamanuu watathmainnu quluubuhum bi dzikrillaahi alaa bi dzikrillaahi tathmainnul quluubu."
Artinya:
" (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram."
Dzikir
Dzikir juga menjadi cara menghilangkan depresi menurut Islam. Dzikir merupakan aktivitas umat muslim untuk menyebut nama Allah SWT. Setiap muslim dianjurkan untuk selalu mengingat Allah dengan cara berdzikir. Selain untuk memuja kebesaran Allah SWT, berdzikir juga dapat membuat hati dan pikiran seseorang menjadi lebih tenang. Dzikir merupakan salah satu terapi psikiatrik yang efektif diterapkan pada jiwa manusia. Dengan memperbanyak bacaan dzikir, hati seseorang akan lebih tenang dan terhindar dari depresi.
Depresi Menurut Alquran (2): dan 7 Terapi Qurani Obat Depresi. Sekarang muncul pertanyaan bagaimana terapi Alquran dalam mengatasi problem depresi berupa ‘huzn” (حزنٌ), “ghamm”( غمٌّ), “hamm (همٌّ)”, dlaiq (ضيقٌ) , dan “asaf” (أسف ) itu?
Alquran sebagai mukjizat sepanjang masa telah memberikan terapinya antara lain:
Qulnahbiṭụ min-hā jamī'ā, fa immā ya`tiyannakum minnī hudan fa man tabi'a hudāya fa lā khaufun 'alaihim wa lā hum yaḥzanụn
“Kami berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran (“khauf”) atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati (“huzn”)". (QS Al Baqarah: 38).
Dalam menghadapi Covid-19 kita harus tetap beraktivitas, tetapi beraktifitas yang sesuai dengan petunjuk Allah SWT. Diantara petunjuk-Nya yaitu kita dilarang menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan (QS Al Baqarah: 195). Dalam konteks sekarang ini ayat ini memberi pelajaran kepada kita antara lain untuk menjaga kesehatan, menjaga jarak, dan tidak berkerumun. Kalau hal ini dipatuhi, maka gangguan mental berupa kekhawatiran dan kesedihan akan jauh dari kehidupan kita.
2. Istiqamah teguh pendirian dalam bertauhid kepada Allah SWT
Innallażīna qālụ rabbunallāhu ṡummastaqāmụ fa lā khaufun 'alaihim wa lā hum yaḥzanụn
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", Kemudian mereka tetap istiqamah. Maka tidak ada kekhawatiran (khafun) terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita (yahzanun).” (QS Al Ahqaf 13). Pengakuan dan keyakinan bahwa hanya Allah-lah yang memelihara kita dan hanya Allah-lah yang menjaga kita, akan memberi ketenangan dalam kehidupan kita, tidak akan takut (khaufun) tentang apa yang akan terjadi di masa yang akan datang dan tidak kwatir (yahzanun) atas apa yang telah terjadi dengan musibah ini, karena Allah SWT tetap memelihara dan menjaga kita.
Wa lā tahinụ wa lā taḥzanụ wa antumul-a'launa in kuntum mu`minīn
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran: 139)
Sikap mental yang lemah dalam menghadapi musibah covid-19 ini akan berakibat pada sikap mental yang serba kawatir dan sedih. Maka jauhkanlah sikap-sikap seperti itu sehingga kita menjadi manusia unggul di hadapan Allah SWT
4. Senantiasa merasa bersama Allah SWT
لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ۖ
lā taḥzan innallāha ma'anā. “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS At Taubah: 40)
Jika kita dalam keadaan depresi, serba kawatir atau takut, maka usahakanlah mensugesti diri bahawasanya Allah beserta kita dan semua yang ada di dunia ini ada dalam pengawasan dan pengaturan Allah SWT. Sehingga jika sudah terjadi merasa ma’iyyah (kebeersamaan dengan Allah SWT) penyakit atau musibah apapun akan dihadapi dengan tenang dan kepasrahan kepada Allah, sambil berikhtiar yang optimal, karena kepasrahan dan ikhtiar keduanya diperintah Allah SWT.
Wa qālul-ḥamdu lillāhillażī aż-haba 'annal-ḥazan, inna rabbanā lagafụrun syakụr
Dan mereka berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Mahapengampum lagi Mahamensyukuri." (QS Fațir: 34)
Betapa banyak karunia dan nikmat yang Allah berikan kepada kita selama ini, nikmat udara yang bisa kita peroleh secara gratis, nikmat bisa bernafas dan kenikmatan-kenikmatan lainnya. Jangan sampai musibah yang sedang dihadapi ini menghapuskan kenikmatan yang selama ini Allah berikan. Maka sikap yang selalu bersyukur atas nikmat yang Allah SWT berikan akan menghilangkan kesedihan dan kekhawatiran yang menghantui diri kita.
Am may yujībul-muḍṭarra iżā da'āhu wa yaksyifus-sū`a wa yaj'alukum khulafā`al-arḍ, a ilāhum ma'allāh, qalīlam mā tażakkarụn
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).” (QS An Naml: 62)
Dalam hadits sahih disebutkan bahwa doa itu senjata bagi orang yang beriman. Rasulullah telah mengajarkan kita berdoa agar dihilangkan rasa kawatir dan kesedihan:
“Allāhumma innī a’ūżubika minal hammi wal hazan. wa a’ūżu bika minal ‘ajzi wal kasali, wa a’ūzu bika minal jubni wal bukhli, wa a’ūźubika min ghalabatid daini wa qahrir rijāl.”
“(Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari rasa sedih dan gelisah, aku berlindung pada-Mu dari sifat lemah dan malas, dan aku berlindung pada-Mu dari sikap pengecut dan bakhil, dan aku berlindung pada-Mu dari cengkaman hutang dan penindasan orang)”
Wa innī lagaffārul liman tāba wa āmana wa 'amila ṣāliḥan ṡummahtadā. “Dan Sesungguhnya Aku Mahapengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar." (QS Taha: 82)
Musibah covid-19 ini jangan sampai mematikan kreativitas. Berkarya apa saja yang bisa dilakukan selama tidak melanggar protokol kesehatan, sebaiknya tetap dilakukan. Berkarya dan beramal saleh di samping akan menambah penghasilan juga akan mengurangi perasan kawatir, cemas, dan sedih.
Di samping itu, berkarya dan beramal saleh itu hendaklah disertai dengan istighfar (permohonan ampunan), karena boleh jadi musibah yang dihadapi ini adalah akibat dari dosa yang kita kerjakan. Di samping itu dengan beristighfar kita akan dapat jaminan dari Rasulullah SAW. Dalam suatu hadīś yang diriwayatkan Ahmad dari Ibnu Abbās
"Barang siapa memperbanyak istighfar, niscaya Allah memberikan jalan keluar bagi setiap kesedihannya, kelapangan untuk setiap kesempitannya, dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka." Amiin.
Depresi menurut Al Qur'an : jenis dan pengertiannya. Lamanya isolasi mandiri dengan tinggal di rumah berpekan-pekan membuat banyak orang sedih, gelisah, sampai merasa tertekan. Seperti saat sekarang ini, keluar rumah pun dibatasi karena alasan kesehatan, sehingga bisa menimbulkan depresi.
Depresi adalah suatu kondisi medis berupa perasaan sedih yang berdampak negatif terhadap pikiran, tindakan, perasaan, dan kesehatan mental seseorang.
Dalam Alquran ada beberapa kosa kata yang punya makna sama atau berdekatan makna dengan depresi, antara lain ‘huzn” (حزنٌ), “ghamm”( غمٌّ), “hamm (همٌّ)”, dlaiq (ضيقٌ) , dan “asaf” (أسف ).
“Huzn” menurut al-Aşfahāni dalam Mufradāt al-Fāzhil Qur'ān adalah keadaan jiwa yang sedih. Ada juga yang berpendapat bahwa “huzn” adalah perasaan sedih karena tidak beruntung, kehilangan sesuatu yang disayangi, dan ketidakberdayaan.
Tentu saja, perasaan ini biasanya bersikap pasif, ketika seseorang menjadi pendiam, kurang aktif, emosional dan tertutup.
“Huzn” terkadang berupa perasaan tidak senang dengan apa yang terjadi, dengan berbagai problem yang dihadapi atau kondisi di luar kehendak manusia yang membuatnya secara psikologis berada di bawah tekanan, sehingga yang bersangkutan tidak merasa nyaman dengannya.
Diksi “huzn” disebutkan dalam Alquran sebanyak 42 kali dengan berbagi derivasinya dalam 25 surat. Misalnya firman Allah SWT:
“Washbir wa mā shabruka illā billāh wa lā tahzan ‘alaihim wa lā taku fī dlaiqin mimmā yamkurūn.”
“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati (huzn) terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada (dlaiq) terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (QS An Nahl: 127)
Ibnu ‘Āsyur dalam al-Tahrīr wal-Tanwīr mengulas, bahwa ayat ini menunjukkan betapa tingginya kesabaran yang harus dimiliki Rasulullah SAW tatkala menghadapi gangguan orang-orang kafir, sehingga kesabarannya dibutuhkan adanya keterlibatan Allah SWT.
Dari ayat ini bisa diambil pelajaran bahwa pada dasarnya manusia dituntut untuk bersabar dalam menghadap berbagai problem yang dihadapi, termasuk menghadapi Covid-19 dengan mengikuti berbagai protokol kesehatan, antara lain melakukan physical distancing (jarak fisik), tidak boleh keluar rumah kecuali ada keperluan yang mendesak.
Jika tahap kesabaran ini tidak dilakukan maka akan masuk pada level “huzn” yaitu berupa perasaan tidak senang dengan apa yang terjadi yang membuatnya berada di bawah tekanan psikologis, sehingga yang bersangkutan tidak merasa nyaman dengannya.
Kalau gangguan mental seperti ini tidak segera dikendalikan maka akan semakin memuncak lalu masuk ke level “dlaiq” perasaan sempit dan sulit, sehingga dalam kondisi seperti ini yang bersangkutan sulit mengekpresikan keadaannya dengan kata-kata.
“Ghamm” adalah kesedihan yang meningkat berupa kecemasan tatkala suatau peristiwa atau musibah terjadi. Misalnya kesedihan dan kegelisahan yang menimpa seorang mahasiswa tatkala ia melihat nilai buruk dalam ujian.
Atau kesedihan dan kegelisahan yang diderita seseorang pada musim covid-19 ini, ia tidak bisa hidup bebas, harus menetap di rumah, jenuh dan tidak bisa beraktifitas sebagaimana bisanya. Diksi “gamm” disebutkan dalam Alquran sebanyak 11 kali dengan berbagai derivasinya. Misalnya firman Allah SWT:
“Fastajabnā lahụ wa najjaināhu minal-gamm, wa każālika nunjil-mu`minīn.”
“Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS Al Anbiya: 88)
Ayat ini mengabarkan tentang nabi Yunus AS ketika ia pergi, tanpa ada perintah dari Allah, dalam keadaan marah terhadap kaumnya yang terus-menerus berada dalam kemaksiatan.
Dia menyangka bahwa Allah SWT tidak akan menghukumnya atas kepergiannya, sehingga ia pun diuji dengan ujian yang sulit dan berat tatkala ditelan oleh ikan besar dan terpenjara didalamnya.
Lalu dalam kegelapan perut ikan, kegelapan laut dan kegelapan malam, ia pun berdoa sembari mengakui dosanya dan bertobat kepada Allah, ia berkata, "Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain-Mu, Engkau Mahasuci lagi Agung, sungguh aku termasuk orang-orang yang zalim. Maka tatkala ia dalam kesedihan dan duka (ghamm) ini Allah SWT memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan.
“Hamm” adalah gangguan mental berupa berpikir negatif secara terus menerus tentang kemungkinan ancaman di masa depan dan bagaimana cara mengatasinya. Gangguan itu bisa dalam bentuk pertanyaan internal (dalam bahasa Jawa pertanyaan gek-gek) seperti "Bagaimana jika ini atau itu terjadi?", “bagaimana jika Covid-19 ini tidak segera berakhir? Apa persediaan makanan bisa mencukupi?” dan sebagainya.
Dengan demikian ada perbedaan yang jelas antara “huzn”, “ghamm”, dan “hamm”. Menurut Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya Fawaid al-Fawaid bahwa “huzn” adalah kesedihan karena peristiwa atau musibah yang sudah terjadi, “ghamm” adalah kesedihan yang yang sedang terjadi, sedangkan “hamm” adalah kesedihan atau kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi.
Adapun “asaf” , menurut al-Rāgib al-Aşfahāni, adalah kesedihan yang dibarengi dengan amarah seperti firman Allah SWT:
“Fa raja'a mụsā ilā qaumihī gaḍbāna asifā, qāla yā qaumi a lam ya'idkum rabbukum wa'dan ḥasanā, a fa ṭāla 'alaikumul-'ahdu am arattum ay yaḥilla 'alaikum gaḍabum mir rabbikum fa akhlaftum mau'idī”
“Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Musa: "Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu, dan kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?." (QS Thaha: 86)
Ternyata ada cara untuk minta maaf kepada orang yang sudah wafat. Buya Yahya menyampaikan hal tersebut dalam salah satu ceramahnya. Jangan khawatir bila punya salah kepada orang yang sudah meninggal, kita masih bisa minta maaf kepadanya. Setiap umat muslim wajib untuk merawat tali silaturahmi dan tidak boleh saling menyakiti. Kita mesti menghindari entah itu menyakiti secara material seperti merugikan orang lain, atau menyakiti lewat gunjingan. Bila ternyata kita membuat kesilapan, wajib pula untuk segera minta maaf atas kesalahan yang kita perbuat. Yang menjadi persoalan adalah bila kita ingin minta maaf kepada orang yang sudah tidak ada lagi di dunia.
Syukurlah Buya Yahya menyampaikan cara untuk minta maaf kepada orang yang sudah meninggal. Sekiranya orang yang kita sakiti atau zalimi sudah meninggal dunia, maka ada cara yang bisa ditempuh. Semisal kalau kita merenggut harta benda almarhum, maka kita bisa tobat dengan mengembalikan hak almarhum. Yang dimaksud tentu bukan mengembalikan harta benda almarhum ke makamnya, tapi berikanlah kepada ahli waris almarhum. “Tidak cukup hanya nyesel saja. Makanya kita lihat. Dosanya apa sih, kesalahannya apa sih? Berbeda-beda (cara maafnya),” terang Buya Yahya. Kalau permasalahannya adalah kita dulu sering menggunjing serta menjelek-jelekannya, maka ada cara yang bisa ditempuh.
“Aduh saya dulu sering ngomongin dia, saya sering gunjing dia, tapi dia sudah meninggal dunia. Gimana cara minta maaf? Saya nyesel, saya tidak mau dihukum Allah,” kata Buya Yahya. Apabila kita melakukan dosa yang dimaksud, jangan khawatir, lakukanlah 2 hal ini. “Yang pertama, sebut kebaikan dia sesering mungkin. Yang kedua adalah mintakan ampun kepada Allah, selesai, itu urusan Allah mengampunimu,” tegas Buya Yahya. “Intinya, selalu ada cara meminta maaf kepada orang yang kita dzolimi, yang kita sakiti,” pungkas Buya Yahya.
Caranya Minta Maaf pada Orang yang Pernah Disakiti. Cara meminta maaf kepada orang yang sudah meninggal
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Bagaimana cara meminta maaf orang yang pernah kita zalimi yang kita tidak tahu keberadaannya?
Pertanyaan:
Pernah ghibah kepada seseorang di akun medsos (menggunakan akun palsu) dan sekarang menyesal. Bagaimana cara agar tobat diterima?
Jawaban:
Barang siapa yang berbuat zalim (walaupun nama disamarkan), mungkin Fulan/Fulana yang disakiti tidak tahu, namun perlu kita ingat, Allah Swt Maha Mengetahui segala sesuatu. Maka tidak cukup hanya dengan Istighfar, apabila berkaitan dengan hak manusia. Segera minta untuk dihalalkan (meminta maaf). Sedangkan apabila keberadaan orang tersebut tidak diketahui di mananya, maka doakan kebaikan untuknya. Mohon kepada Allah Swt agar Fulan/Fulana tidak menuntut kita di Akhirat nanti.
Allah Swt Maha Pengampun, apabila seseorang hamba bertobat. Dan rahmat serta kasih sayang-Nya begitu luas. Sedangkan kezaliman antar manusia adalah perkara berat. Apabila belum dihalalkan di dunia, maka akan dituntut kelak di Akhirat (pada saat Hisab). Dan urusan menjadi panjang, karena jiwa manusia itu agak sulit memaafkan.
Surga merupakan ganjaran bagi hamba-hamba Allah Swt yang bersungguh-sungguh di dunia dengan keimanan dan ketakwaan. Mereka bisa menikmati dan bergembira atas keindahan di dalamnya serta dapat memperoleh segala yang diinginkan. Mereka yang menikmati hal itu adalah yang senantiasa berbuat baik dan taat dalam melaksanakan ibadah. Allah Swtberfirman:
"Mereka itulah orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi (surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya." (QS Al Mu’minun ayat 10-11)
Syekh Muhammad Abu Bakar menjelaskan, seorang Muslim bisa masuk surga tanpa ada hisab atau dimintai pertanggungjawaban.
Menurutnya, ada beberapa perbuatan yang jika dilakukan maka itu bisa menlancarkan seorang Muslim untuk masuk surga tanpa hisab. "Maka pastikan Anda termasuk di antara mereka karena mereka itulah penghuni surga," jelasnya, seperti dilansir Elbalad, Pertama yaitu bersabar yang tanpa batas dan tidak mengeluh atas apa yang dialaminya, sebagaimana yang pernah dicontohkan Nabi Yaqub alaihissalam.
"Dia (Yakub) menjawab, "Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS Yusuf ayat 86). Kedua, ialah memaafkan orang. Maksud memaafkan di sini bukan karena ketidakmampuan tetapi justru karena dia punya kemampuan untuk memaafkan. Ketiga adalah janda yang menjaga anak-anaknya setelah suaminya meninggal dunia. Keempat, tidak senang memiliki rasa bersalah. Kelima yakni senantiasa berprasangka baik kepada AllahSwt tanpa ada rasa pesimis atau cemas.