Shalawat dan salam, kita haturkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seorang Rasul yang diutus sebagai rahmatan lil alamin, sehingga tidaklah mungkin beliau menuntunkan sesuatu, melainkan nilai rahmat dan kasih sayang tersebut memenuhi tuntunan-tuntunanya.
Sebagai seorang muslim, kita harus bangga dengan ajaran Islam, ajaran yang telah dijadikan sempurna oleh Allâh Azza wa Jalla , dan diridhai-Nya :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian. [al-Mâidah/5:3]
Tidak boleh merasa rendah diri dalam mengemban ajaran ini, dimanapun tempatnya, kapanpun waktunya, dan bagaimanapun keadaannya. Jangan sampai kita menerapkan ajaran ini setengah-setengah. Kita harus masuk Islam dan menerapkan ajarannya secara kaffah. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. [al-Baqarah/2:208]
Inilah konsekuensi ikrar kita dengan syahadatain. Sebagaimana kita ketahui bersama, Islam tidak hanya mengatur masalah ibadah, tetapi juga mengatur segala sisi kehidupan manusia, baik tentang kenegaraan, perbisnisan, pernikahan, kehakiman, bahkan dalam sesuatu yang mungkin dianggap remeh oleh manusia yaitu adab makan dan minum, bahkan adab dalam buang hajat.
Islam tidak hanya memberikan rambu-rambu peraturan dalam hal-hal yang dipandang baik, tapi Islam juga menggariskan sanksi-sanksi apabila ada pelanggaran, tidak lain agar peraturan tersebut berjalan dengan baik. Diantara sanksi-sanksi tersebut adalah apa yang diistilahkan dalam bahasa Fikih Islam sebagai Hudûd. Hudûd itu berarti Sanksi-sanksi karena maksiat yang kadarnya ditentukan oleh Syariat dengan tujuan agar pelanggaran berat itu tidak terjadi lagi serta untuk menebus dosa pelakunya. (Lihat asy-Syarhul Mumti’ 14/206). Misalnya, hukuman qishash (hukum mati bagi pelaku pembunuhan bila sudah memenuhi persyaratan-red), cambuk, rajam (hukum mati bagi pezina yang sudah pernah menikah dengan pernikahan yang sah-red), potong tangan. Yang semua hukuman tersebut, mengandung maslahat yang jauh lebih besar dibanding mafsadatnya.
Paling tidak, kita dapat melihat besarnya maslahat tersebut dari hal-hal berikut ini:
Hukuman tersebut hanya diberlakukan pada sebagian kecil orang saja, demi melindungi kesalamatan umat manusia yang sangat banyak, baik dalam agama, jiwa, kehormatan, akal, dan hartanya.
Hukuman tersebut hanya diberlakukan pada orang yang bersalah dan memenuhi syarat saja , dengan tujuan memberikan peringatan kepada umat manusia yang sangat banyak agar tidak nekad melakukan atau mengulangi kesalahan yang sama.
Hukuman tersebut hanya diberikan kepada para pelaku pelanggaran-pelanggaran tertentu yang dampak buruknya sangat besar bagi manusia, baik di dunia maupun akhirat. Belum lagi ada syarat-syarat yang banyak dan semuanya harus terpenuhi dalam setiap hukuman yang ada tersebut. Sehingga terwujudlah keadilan dari dua belah pihak; pihak yang bersalah, dan pihak yang disalahi.
Tanpa mengetahui hal-hal diatas pun, kita harusnya yakin bahwa tidaklah Allâh Azza wa Jalla menentukan sesuatu dalam syariat, kecuali maslahatnya lebih besar daripada mafsadatnya. Karena bagaimana mungkin Allâh Azza wa Jalla Yang Maha Tahu, Yang Maha Penyayang, dan Yang Maha Hikmah, menentukan sesuatu yang akibat buruknya lebih besar. Sungguh ini sangat bertentangan dengan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla yang maha baik dan mulia.
Tergerak dengan banyaknya argumen dan pandangan miring tentang syariat hudûd ini, baik yang berasal dari kaum kafir yang ingin menjatuhkan kemuliaan Islam, ataupun dari sebagian kaum Muslimin yang membeo kepada orang-orang kafir –hadâhumullâh (semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan petunjuk kepada mereka-red)-, maka sudah seharusnya kita menjawabnya dan meluruskan opini-opini miring tersebut. Ini demi membela agama Allâh Azza wa Jalla ini dan melindungi kaum Muslimin dari pengaruh buruk argumen tersebut.
Berikut ini, argumen-argumen miring dan jawaban-jawabannya, semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan taufiq-Nya kepada kita semua :
1. Hukuman potong tangan adalah hanya menimbulkan keburukan bagi pencuri, dan menjadikannya cacat dan beban bagi masyarakat
Jawaban :
Allâh Azza wa Jalla telah berfirman:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allâh Azza wa Jalla . Dan Allâh Azza wa Jalla Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al-Mâidah/5:38]
Jika Allâh Azza wa Jalla telah memutuskan sesuatu, maka tidak ada yang berhak menentang putusan-Nya. Jika putusan dari raja saja, tidak boleh ada yang menentang, bagaimana bila keputusan itu turun dari rajanya para raja. Sungguh tidak ada yang menentang keputusan-Nya, kecuali orang yang merendahkan kemuliaan-Nya.
Hukuman tersebut tidak hanya menimbulkan dampak buruk semata bagi pencuri, karena hal tersebut bisa menjadi pelebur dosanya. Apakah peleburan dosa ini merupakan keburukan bagi sang pencuri ? Juga bisa menjadi pelajaran berharga bagi dia, sehingga memudahkan baginya untuk bertaubat dari kesalahannya. Apalagi bila ia mau mengingat-ingat beratnya hukuman maksiat di dunia ini yang tidak seberapa atau jauh lebih ringan dibandingkan hukuman di akhirat nantinya. Dengan begitu ia akan banyak taubat dari segala dosa yang dilakukannya di dunia. Munculnya kesadaran seperti ini merupakan maslahat yang sangat besar baginya.
Seandainya pun benar, hukuman itu murni keburukan bagi pencuri (namun anggapan ini tidak benar sebagaimana penjelasan di atas), namun jika pelaksanaan hukuman itu akan menimbulkan kebaikan murni bagi masyarakat luas, maka hukuman itu tetap harus dijalankan. Karena mengorbankan satu orang karena kesalahannya demi melindungi masyarakat luas dari kejahatannya, lebih diutamakan.
Bila benar, orang yang dipotong tangannya karena mencuri akan menjadi beban bagi masyarakat, karena dia tidak bisa bekerja[1]. Namun kondisi dia yang lemah pasca menerima hukuman berat itu masih jauh lebih baik bila dibandingkan dengan keadaannya bila ia tetap sempurna badannya, tapi terus melakukan pencurian dan makan harta haram, sehingga menjadikan masyarakat terus dihantui rasa takut akan keselamatan hartanya.
Sungguh sangat mengherankan, bagaimana satu orang yang salah dibela mati-matian untuk tidak dihukum dengan hukum Allâh Azza wa Jalla , sedangkan masyarakat luas yang tidak bersalah dibiarkan begitu saja, tanpa diperhatikan haknya untuk mendapatkan keamanan. Adilkah tindakan ini, sungguh sangat jauh dari keadilan. Sungguh maha benar firman Allâh Azza wa Jalla
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Siapakah yang lebih baik hukumnya dari Allâh Azza wa Jalla , bagi orang-orang yang yakin ?! [al-Maidah/5:50]
Adapun hukuman penjara, sungguh tidak pantas dijadikan sebagai ganti potong tangan yang diturunkan Allâh Azza wa Jalla , karena beberapa hal :
Ia semakin membebani masyarakat, karena selama mereka di penjara, mereka harus dihidupi oleh Lembaga Pemasyarakatan yang tidak lain uangnya dari masyarakat. Semakin lama masa buinya, semakin banyak biaya yang dikeluarkan, padahal untuk orang yang telah terbukti melakukan kesalahan.
Banyak dari para pencuri tidak jera dengan tindak kriminalnya, bahkan sebaliknya. Mereka malah mendapatkan banyak pelajaran praktek kriminal dari teman-teman seprofessinya yang kebetulan berada dalam satu penjara. Sehingga ketika keluar, banyak dari mereka akan beraksi lagi dengan kriminal yang lebih besar dari sebelumnya.
Orang lain yang melihat mereka keluar dari penjara, tidak akan takut melakukan hal yang sama, karena sanksi yang terlalu ringan, apalagi di zaman sekarang ini, saat rasa malu telah banyak terkikis dari hati banyak orang, apalagi dari hati para pelaku kejahatan. WAllâh Azza wa Jalla ul musta’an.
Perlu digarisbawahi pula, bahwa hukum potong tangan ini, -begitu pula hukuman hudûd yang lainnya- memiliki banyak syarat, sehingga tidak setiap terjadi pencurian harus dipotong tangannya, tidak setiap terjadi perzinaan harus dirajam, tidak setiap terjadi pembunuhan harus dibunuh pelakunya, dan seterusnya.
2. Penegakan Hudud, tidak selaras dengan Hak Asasi Manusia untuk melangsungkan hidup
Jawaban:
Tuduhan diatas telah jauh hari terjawab oleh firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang yang berakal. [al-Baqarah/2:179]
Dalam ayat ini, kita bisa memahami bahwa qishâsh tidaklah disyariatkan kecuali untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Tidak ada orang yang membantah ayat Allâh Azza wa Jalla ini, kecuali orang yang kurang panjang akalnya.
Sungguh tidak ada aturan yang lebih menghargai hidup melebihi penghargaan Islam. Tidakkah kita tahu, diyât[2] 100 unta bagi mereka yang terbunuh tanpa sengaja. Bahkan dalam pembunuhan terencana diyât dari orang yang terbunuh bisa tanpa batas, sesuai permintaan wali orang yang terbunuh !… Bahkan bisa haddul qatl (hukum mati) itu sendiri, memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Bagaimana Islam sangat menghargai hidup seseorang, karena terkadang nyawa itu terlalu murah bila dihargai dengan harta betapapun banyaknya, sehingga nyawa yang seperti ini, harus ditebus dengan nyawa pula. Begitulah Islam menghargai nyawa orang yang tidak bersalah.
Dalam Syariat Islam hukuman mati, bukanlah diterapkan pada orang yang bebas dari kesalahan, sehingga bisa dikatakan bahwa hukuman mati tersebut, bertentangan dengan hak asasi manusia. Akan tetapi Islam menerapkan hukuman mati itu, pada orang yang telah melanggar hak asasi orang lain atau telah merampas hak hidup orang lain. Jika mereka konsekuen dengan landasan HAM, maka tidakkah mereka membela HAM-nya orang yang sudah terbunuh tersebut ?! Jika mereka ingin membela, bukanlah orang yang disalahi dan dibunuh atau keluarganya lebih berhak untuk dibela?!. Maha suci Allâh Azza wa Jalla dengan segala keputusan-Nya.
Islam adalah agama yang adil, Islam tidak menyamakan orang yang salah dengan orang yang tidak salah. Tidak menyamakan si pembunuh dengan yang lainnya. Memang orang yang bersih harus mendapatkan haknya untuk hidup, akan tetapi apakah orang yang telah membunuh orang lain dengan sengaja, berhak mendapatkan hak yang sama?! Allâh Azza wa Jalla berfirman :
أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ ۚ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka, bahwa Kami akan menjadikan mereka sama seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka putuskan itu. [al-Jatsiyah/45:21]
Jika mereka menentang hukuman mati ini, harusnya mereka juga tidak menerapkan hukuman mati kepada siapa pun, tapi nyatanya mereka juga menerapkan hukuman mati pada orang-orang tertentu, yang menurut mereka pantas dibunuh. Bukankah dengan begitu, mereka juga melanggar HAM ?! Jawablah pertanyaan ini, maka jawabannya sama dengan jawaban mengapa Islam menerapkan hukuman mati pada sebagian orang.
3.Membunuh pezina muhshân[3] dengan batu, adalah penghinaan terhadap martabat kemanusiaan, bukankah ada cara yang lebih cepat dan lebih halus dari itu?!.
Jawaban.
Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu ketika sedang berada di atas mimbar mengatakan:
لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ يَطُولَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ حَتَّى يَقُولَ قَائِلٌ: مَا أَجِدُ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ، فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ، أَلَا وَإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ، إِذَا أُحْصِنَ الرَّجُلُ وَقَامَتِ الْبَيِّنَةُ، أَوْ كَانَ حَمْلٌ أَوِ اعْتِرَافٌ، وَقَدْ قَرَأْتُهَا الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ، رَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ.
Sungguh aku khawatir, seiring berjalannya waktu, ada orang yang mengatakan: aku tidak menemukan hukum rajam di dalam Kitabullah, sehingga mereka menjadi sesat karena telah meninggalkan salah satu dari kewajiban-kewajiban Allâh Azza wa Jalla . Camkanlah, bahwa sesungguhnya rajam itu benar-benar ada jika orang itu dalam keadaan muhshân dan telah terbukti (melakukannya), atau bila terjadi kehamilan, atau ada pengakuan. Aku dulu telah membaca ayat al-Qur’an itu, (yang artinya) “Orang tua laki-laki dan orang tua perempuan jika keduanya berzina, maka rajamlah mereka berdua tanpa ampun”. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah merajam, dan kami juga pernah merajam setelahnya. [HR. Ibnu Majah: 2553, dan dishahihkan oleh Syaikh Albani rahimahullah]
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam tindakan Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu yang mengumumkan hukum rajam ketika beliau berada di atas mimbar, dan keadaan para sahabat yang tidak mengingkarinya, terdapat dalil yang menunjukkan adanya hukuman rajam” [Syarah Shahih Muslim 11/191]
Tujuan hukuman Rajam, bukanlah hanya untuk mematikan pelaku zina muhshân, tetapi juga untuk memberikan gambaran kepada orang lain, betapa perbuatan zina yang dilakukan si pelaku sangat keji dan buruk, sehingga tidak ada lagi yang tergoda untuk melakukan hal yang sama. Itulah sebabnya mengapa Allâh Azza wa Jalla memerintahkan agar hukuman tersebut disaksikan oleh banyak orang. Juga karena dorongan untuk melakukan zina biasanya sangat kuat, maka untuk mencegahnya juga membutuhkan hukuman yang keras pula.
Hukuman yang berat itu, disamping karena sangat buruk dan kejinya perbuatan itu, juga karena besarnya pengaruh buruk dari perbuatan itu. Lihatlah bagaimana perbuatan itu menyumbangkan banyak penyakit berbahaya, merusak kehormatan korbannya, melahirkan banyak anak yang tidak jelas, menurunkan martabat masyarakat yang dihuninya, dan masih banyak lagi bencana lainnya.
Lalu pantaskah orang yang demikian dibela ?! Manakah yang lebih pantas diperhatikan haknya, satu orang yang bersalah, ataukah masyarakat luas yang tidak melakukan kesalahan itu ?!
4.Hukum Hudûd sudah tidak relevan lagi dengan zaman modern ini, karena itu adalah hukuman yang dijalankan pada zaman klasik, yang hanya akan mengantarkan umat manusia kembali lagi ke abad pertengahan yang ke abad yang kelam
Jawaban:
Pernyataan bahwa hukum hudud sudah tidak relevan lagi di zaman ini, hanyalah tuduhan dan dugaan belaka. Karena faktanya, kejahatan yang terjadi di Negara yang menerapkan Syariat Hudûd dengan baik ternyata jauh lebih sedikit, bila dibandingkan dengan kejahatan yang terjadi di Negara yang tidak menerapkan syariat hudûd. Dan tidak ada yang mengingkari hal ini, kecuali orang yang sengaja menutup matanya dari fakta dan kenyataan.
Tidak semua yang lama, harus kita tinggalkan, bahkan betapa banyak hal-hal yang lama harus terus dipertahankan, karena manfaatnya begitu besar bagi masyarakat luas.
Apakah kita akan meninggalkan air, karena itu sesuatu yang lama?!
Apakah kita akan meninggalkan bahasa kita, karena itu sesuatu yang lama?!
Apakah kita tidak perlu lagi berdoa, karena itu adalah sesuatu yang lama?!
Tentu jawabannya adalah tidak, dan seribu tidak! Kita tidak akan meninggalkan sesuatu yang telah terbukti masih terus mendatangkan maslahat bagi kita, begitu pula syariat hudûd ini.
Memang abad pertengahan adalah zaman yang kelam bagi kaum kuffar, tapi tidak bagi kaum Muslimin. Justru saat itulah kaum Muslimin mencapai kejayaannya, saat itulah Islam menguasai dunia, karena masih dekatnya kaum Muslimin dengan ajaran Islam yang diantaranya adalah syariat hudûd. Inilah rahasia kekuatan kaum Muslimin, yaitu pada penerapan Syariat Islam dalam kehidupan mereka, kita tentunya masih ingat dengan perkatan Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu :
إنَّا كُنَّا أَذَلَّ قَوْمٍ، فَأَعَزَّنَا اللهُ بِالإسْلامِ، فَمَهْمَا نَطْلُبُ العِزَّ بِغَيْرِ مَا أعَزَّنا الله بِهِ أذَلَّنا الله
Kita dulu adalah kaum yang paling hina, lalu Allâh Azza wa Jalla memuliakan kita dengan ajaran Islam, maka selama kita mencari kemuliaan dari selainnya, Allâh Azza wa Jalla akan menghinakan kita. [Lihat Silsilah Shahîhah, 1/118]
Dari sini kita juga tahu, mengapa setiap ada suatu negeri yang mayoritas penduduknya Muslim, selalu dihalang-halangi untuk menjadikan Syariat Islam sebagai dasar negaranya. Itu disebabkan karena musuh Islam takut bila Kaum Muslimin menjadi kuat kembali, padahal Syariat Islam adalah syariat yang rahmatan lil alamin, aturan menaungi seluruh umat, dan menjamin keadilan bagi seluruh umat manusia.
Semoga tulisan ringkas ini sedikit bisa menggugah kesadaran kita terhadap berbagai makar orang-orang yang tidak menginginkan Islam bangkit kembali, sehingga kita semakin waspada. Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kita.