Senin, 03 Oktober 2022

Syariat dan Harta Haram

Usaha dan harta yang halal pada zaman ini mesti menjadi perhatian utama bagi setiap muslim, mengingat sangat besar pengaruhnya terhadap kebaikan dan keberkahan harta yang diperolehnya. Manakala saat ini telah menyebar secara cepat dan luas usaha haram, sehingga banyak yang juga tidak peduli terhadap harta yang dimilikinya, dari mana dan bagaimana mendapatkannya?! Realita saat ini pernah disinyalir oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan dalam Shahîh al-Bukhâri dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:    يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ؛ أَمِنَ الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَامِ؟!    Akan datang kepada manusia suatu zaman (ketika itu) seseorang tidak lagi peduli dengan apa yang ia dapatkan, apakah dari yang halal atau haram?! [HR al-Bukhâri 2059].    Nikmat yang Harus Dikendalikan  Harta, merupakan salah satu nikmat Allâh bagi hamba-Nya dalam kehidupan di dunia ini, menjadi sarana menikmati manfaat dan perhiasan dunia. Juga bisa menjadi sarana mencapai keridhaan Allâh. Allah berfirman:    الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا    Harta dan anak-anak adalah perhiasaan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. [al-Kahfi/18:46].    Oleh karena itu, syariat tidak melarang kaum Muslimin memiliki harta, namun kepemilikan itu harus diraih dengan cara-cara yang dibenarkan syari’atkan begitu juga penggunaannya. Islam memandang harta sebagai satu diantara lima darurat (adh-Dharuriyat al-Khams) yang sangat dijaga dan perlu diperhatikan penjagaannya. Syariat memberikan hukuman secara tegas dan keras pada seseorang yang mengambil harta orang lain dengan cara bathil, bahkan dalam tahapan tertentu diberlakukan potong tangan dalam pencurian. Semua ini demi menjaga dan melindungi harta dari ganguan dan perampasan.    Pada hakikatnya harta itu milik Allâh Azza wa Jalla. Manusia hanya memilikinya sebagai amanah dan titipan. Allâh Azza wa Jalla akan terus memantau dan melihat apa yang dilakukan oleh orang yang dititipi harta tersebut, apakah ia memanfaatkannya pada sesuatu yang halal ataukah dipergunakan dalam suatu yang haram ?    Allâh tidak membiarkan manusia memiliki harta atau mengeluarkannya tanpa aturan dan undang-undang. Allâh Azza wa Jalla, sebagai pembuat syariat membatasi usaha manusia dalam meraih harta dengan halal dan haram, serta dengan kaidah-kaidah akhlak mulia. Syari’at inilah yang menjadi landasan dalam penentuan halal dan haram, bukan dengan hasil fikiran manusia. Tujuannya adalah agar maksud dari pengadaan harta itu bisa tercapai secara sempurna. Jika diserahkan kepada manusia dan hawa nafsunya maka manusia akan semena-mena menggunakannya, memuaskan hawa nafsu dan syahwatnya sebagaimana diperbuat kaum kapitalis.    Syari’at Mengatur Harta  Syariat yang mulia ini menetapkan batasan dan hukum-hukum yang mengatur masalah harta untuk menyempurnakan pembentukan pribadi yang beraqidah dan berakhlak mulia. Di dalamnya terdapat penjagaan hak individu dan hak masyarakat, sehingga memiliki keistimewaan yang tidak ada dalam aturan lainnya.    Pertama : Komitmen penuh terhadap hukum-hukum syariat yang mengatur tuntunan tata cara mendapatkan harta, mengembangkan dan mengeluarkannya (pemakaian). Seorang Muslim dalam mencari harta harus memperhatikan dan berpegang dengan sarana atau cara-cara yang diperbolehkan saja.    Kedua : Menunaikan hak-hak wajib pada harta, baik yang berhubungan dengan pemilik harta maupun dengan orang lain. Hak-hak wajib yang berhubungan dengan pemilik harta ialah memakainya sesuai dengan batasan yang diwajibkan syari’at. Yakni tidak berlebihan dan tidak kikir. Itulah syiar dan ciri Islam, seperti dijelaskan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :    وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا    Baca Juga  Apa yang Harus Dilakukan Bunga Dari Bank  Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. [al-Isrâ/17:29].    Adapun hak-hak wajib yang berhubungan dengan orang lain, ialah semua yang diwajibkan syariat pada harta, seperti zakat, infaq kepada keluarga dan anak-anak, dan hak-hak lain yang diwajibkan syariat.    Ketiga : Pemilik harta yang hakiki ialah Allâh, sedangkan manusia hanya diberikan hak untuk menggunakan harta dalam membantu merealisasikan kemaslahatan individu dan umat.    Keempat : Syariat Islam memandang harta pada dzatnya dan tidak bisa berkembang sendiri. Harta berkembang dengan usaha, amal dan kegiatan bernilai profit yang diperbolehkan syariat. Tujuannya, untuk pemenuhan kebutuhan manusia dengan mendapatkan keuntungan yang halal, dan menghindarkan bahaya harta yang membuatnya menjadi haram; misalnya riba. Allâh mengharamkan dan memerangi pelaku riba tanpa kompromi.    Kelima : Harta merupakan alat atau sarana untuk dikembangkan dan bukan hanya untuk disimpan. Ini dikarenakan Allâh Subhanahu wa Ta’ala menciptakan harta untuk diputar dan berpindah-pindah tangan. Misalnya, mengembangkannya dalam pendirian pabrik dan perusahan, sarana memutar roda ekonomi dan mengembangkan sumber daya manusia untuk merealisasikan pembangunan masyarakat. Penimbunan harta dapat menimbulkan penganguran, kurangnya manfaat harta dan hanya berputar pada sebagian manusia saja.    Suatu hal ironis nampak dalam kehidupan Muslimin sekarang. Sebagian kaum Muslimin menyimpan harta dan kekayaan pada bank-bank dunia yang bermarkas di Amerika dan Eropa. Sehingga akibat dari penimbunan ini memunculkan pengangguran di negara-negara Islam, lantaran sedikitnya proyek-proyek produktif dan hilangnya sumber perekonomian yang dibutuhkan sebagai modal. Sedangkan negara-negara yang menyimpan kekayaan tersebut menggunakannya untuk mempercepat perputaran roda ekonomi, sehingga perekonomiannya bisa bangkit dan berkembang pesat, penghasilan individu meningkat dan jumlah pengangguran dapat ditekan. Mereka memanfaatkan simpanan kaum Muslimim itu untuk peningkatan produksi, seperti pesawat, mobil, senjata perang dan lain-lainnya.    Oleh karena itu, Islam melarang keras penimbunan harta dan mengajak kaum Muslimin untuk mengembangkan dan mengelolanya. Semisal dengan syarikat mudhârabah. Yaitu satu sarana menghilangkan penimbunan harta dengan memberikan permodalan kepada orang yang memiliki kemampuan mengembangkannya.    Umat Tidak Lepas Dari Pelanggaran  Islam secara tegas memberikan tuntunan berkaitan dengan masalah harta sehingga terhindar dari harta haram dan menutup semua celah yang menjadi jalan masuk harta haram. Misalnya, melarang riba, transaksi barang haram, ataupun pembatalan transaksi yang diharam. Meski demikian tidak sedikit manusia terjerumus ke dalam perbuatan yang tidak diperbolehkan ini. Pun tidak terkecuali, juga ada kaum Muslimin yang terperdaya.    Memang, perbuatan haram seolah tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Mereka diuji dengannya setiap saat dan waktu, meski dengan tingkatkan berbeda antara seseorang dengan lainnya, antara satu zaman dengan zaman lainnya. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Muslimin agar menjauhi harta haram untuk mengujinya.    Meratanya harta haram pada zaman ini dan pada setiap lini tidak bisa diingkari, karena riba sudah menjadi perkara umum di seluruh dunia, baik di negara Islam maupun di negara kafir. Harta yang halal bercampur dengan yang haram. Akhirnya kita mengalami kesulitan saat harus mengambil keputusan atau sikap, karena tercampurnya antara yang halal dan yang haram. Ini menuntut seorang Muslim berhati-hati agar tidak terjebak dalam harta haram. Juga menuntutnya agar memiliki ilmu dan pengetahuan tentang hukum halal dan haram. Pengetahuan ini untuk membantunya terhindar dari semua usaha dan mu’amalah yang menghasilkan harta haram, ataupun berisikan harta haram. Dengan demikian mengenal harta yang haram menjadi satu kewajiban agar terhindar dari dosa dan implikasi buruknya.    Harta Haram dan Pembagiannya  Para Ulama menjelaskan harta haram dalam beberapa definisi. Diantaranya, harta haram adalah semua yang ada padanya sifat haram. Ada juga yang menyatakan, semua yang diharamkan secara syariat pemanfaatannya dari semua sisi. Juga ada yang menyatakan, semua yang tidak halal pemanfaatannya untuk pemiliknya karena adanya nash shahih dan jelas tentang pengharamannya, atau adanya larangan secara tegas, atau adanya balasan siksa bagi penggunanya.    Baca Juga  Apakah Rumah yang Dibangun Dari Uang Riba Harus Dirobohkan?  Dengan demikian jelaslah bahwa harta haram adalah semua yang diharamkan syariat akan kepemilikan dan pemanfaatannya atas seorang Muslim karena adanya sifat haram.    Para Ulama membagi harta haram menjadi dua.  Pertama : Harta haram karena dzatnya. Yaitu haram pada asal dan sifatnya. Ini menyangkut semua yang diharamkan syariat karena faktor tertentu pada dzat atau materinya, tidak terpisah dalam segala keadaan, seperti minuman keras, babi, bangkai, darah dan lain-lainnya. Pengharaman ini dijelaskan dalam beberapa ayat, diantaranya:    حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ    Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allâh, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. [al-Mâ`idah/5:3].    Pengharaman ini tidak hanya untuk pembatasan pada barang tersebut saja, tetapi semua yang menyebabkan kemudharatan bagi manusia dianalogikan kepadanya, seperti narkotik, rokok, dan sejenisnya yang sudah dipastikan membahayakan manusia.    Kedua : Harta haram karena faktor luar. Atau sering disebut dengan haram dengan sebab tertentu (al-muharram bi sababihi). Atau harta haram karena cara mendapatkannya (al-haraam li kasbihi).    Harta yang demikian ini semuanya diharamkan syariat karena ada faktor luar yang mempengaruhi sifatnya dan bukan karena dzatnya. Faktor yang menjadikannya haram tidak ada pada dzat dan hakikatnya, tetapi datang dari faktor luar yang terpisah dari dzatnya. Pengharaman harta ini tidak berpengaruh pada dzat dan hakikat harta itu sendiri, seperti harta riba. Harta riba diharamkan bukan karena dzat atau materi harta itu, tetapi diharamkan karena sifatnya. Dzat harta ini tidak tercela, bahkan seharusnya terpuji karena menjadi penyebab tercapainya maslahat dunia dan agama. Allâh Azza wa Jalla memuji harta dengan sebutan kebaikan (al-khair) yang menjadi pokok kehidupan, seperti dalam firman-Nya:    وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا    Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. [an-Nisâ’/4:5].    Dari uraian singkat ini jelaslah perbedaan antara harta haram karena dzatnya dan harta haram karena usaha dan cara mendapatkannya. Dan komitmen pada hukum halal dan haram merupakan asas pondasi. Jika pondasinya kuat dan lurus, maka akan kuat. Sebaliknya, bila asas pondasinya lemah dang tidak lurus, maka akan mudah runtuh dan hancur. Semoga bermanfaat.  Wallâhu a’lam bish-Shawâb.  Maraji:  1. Ahkâm al-Mâl al-Harâm wa Dhawâbit al-Intifa’ wat-Tasharruf bihi fil-Fiqhil-Islâmi, Dr. Abbas Ahmad Muhammad al-Bâz, Darun-Nafâ-is, Yordania.  2. At-Taubah min al-Makâsib al-Muharrâmah, Khalid bin Abdillah al-Mushlih.
Usaha dan harta yang halal pada zaman ini mesti menjadi perhatian utama bagi setiap muslim, mengingat sangat besar pengaruhnya terhadap kebaikan dan keberkahan harta yang diperolehnya. Manakala saat ini telah menyebar secara cepat dan luas usaha haram, sehingga banyak yang juga tidak peduli terhadap harta yang dimilikinya, dari mana dan bagaimana mendapatkannya?! Realita saat ini pernah disinyalir oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan dalam Shahîh al-Bukhâri dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:


يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ؛ أَمِنَ الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَامِ؟!


Akan datang kepada manusia suatu zaman (ketika itu) seseorang tidak lagi peduli dengan apa yang ia dapatkan, apakah dari yang halal atau haram?! [HR al-Bukhâri 2059].


Nikmat yang Harus Dikendalikan

Harta, merupakan salah satu nikmat Allâh bagi hamba-Nya dalam kehidupan di dunia ini, menjadi sarana menikmati manfaat dan perhiasan dunia. Juga bisa menjadi sarana mencapai keridhaan Allâh. Allah berfirman:


الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا


Harta dan anak-anak adalah perhiasaan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. [al-Kahfi/18:46].


Oleh karena itu, syariat tidak melarang kaum Muslimin memiliki harta, namun kepemilikan itu harus diraih dengan cara-cara yang dibenarkan syari’atkan begitu juga penggunaannya. Islam memandang harta sebagai satu diantara lima darurat (adh-Dharuriyat al-Khams) yang sangat dijaga dan perlu diperhatikan penjagaannya. Syariat memberikan hukuman secara tegas dan keras pada seseorang yang mengambil harta orang lain dengan cara bathil, bahkan dalam tahapan tertentu diberlakukan potong tangan dalam pencurian. Semua ini demi menjaga dan melindungi harta dari ganguan dan perampasan.


Pada hakikatnya harta itu milik Allâh Azza wa Jalla. Manusia hanya memilikinya sebagai amanah dan titipan. Allâh Azza wa Jalla akan terus memantau dan melihat apa yang dilakukan oleh orang yang dititipi harta tersebut, apakah ia memanfaatkannya pada sesuatu yang halal ataukah dipergunakan dalam suatu yang haram ?


Allâh tidak membiarkan manusia memiliki harta atau mengeluarkannya tanpa aturan dan undang-undang. Allâh Azza wa Jalla, sebagai pembuat syariat membatasi usaha manusia dalam meraih harta dengan halal dan haram, serta dengan kaidah-kaidah akhlak mulia. Syari’at inilah yang menjadi landasan dalam penentuan halal dan haram, bukan dengan hasil fikiran manusia. Tujuannya adalah agar maksud dari pengadaan harta itu bisa tercapai secara sempurna. Jika diserahkan kepada manusia dan hawa nafsunya maka manusia akan semena-mena menggunakannya, memuaskan hawa nafsu dan syahwatnya sebagaimana diperbuat kaum kapitalis.


Syari’at Mengatur Harta

Syariat yang mulia ini menetapkan batasan dan hukum-hukum yang mengatur masalah harta untuk menyempurnakan pembentukan pribadi yang beraqidah dan berakhlak mulia. Di dalamnya terdapat penjagaan hak individu dan hak masyarakat, sehingga memiliki keistimewaan yang tidak ada dalam aturan lainnya.


Pertama : Komitmen penuh terhadap hukum-hukum syariat yang mengatur tuntunan tata cara mendapatkan harta, mengembangkan dan mengeluarkannya (pemakaian). Seorang Muslim dalam mencari harta harus memperhatikan dan berpegang dengan sarana atau cara-cara yang diperbolehkan saja.


Kedua : Menunaikan hak-hak wajib pada harta, baik yang berhubungan dengan pemilik harta maupun dengan orang lain. Hak-hak wajib yang berhubungan dengan pemilik harta ialah memakainya sesuai dengan batasan yang diwajibkan syari’at. Yakni tidak berlebihan dan tidak kikir. Itulah syiar dan ciri Islam, seperti dijelaskan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :


وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. [al-Isrâ/17:29].


Adapun hak-hak wajib yang berhubungan dengan orang lain, ialah semua yang diwajibkan syariat pada harta, seperti zakat, infaq kepada keluarga dan anak-anak, dan hak-hak lain yang diwajibkan syariat.


Ketiga : Pemilik harta yang hakiki ialah Allâh, sedangkan manusia hanya diberikan hak untuk menggunakan harta dalam membantu merealisasikan kemaslahatan individu dan umat.


Keempat : Syariat Islam memandang harta pada dzatnya dan tidak bisa berkembang sendiri. Harta berkembang dengan usaha, amal dan kegiatan bernilai profit yang diperbolehkan syariat. Tujuannya, untuk pemenuhan kebutuhan manusia dengan mendapatkan keuntungan yang halal, dan menghindarkan bahaya harta yang membuatnya menjadi haram; misalnya riba. Allâh mengharamkan dan memerangi pelaku riba tanpa kompromi.


Kelima : Harta merupakan alat atau sarana untuk dikembangkan dan bukan hanya untuk disimpan. Ini dikarenakan Allâh Subhanahu wa Ta’ala menciptakan harta untuk diputar dan berpindah-pindah tangan. Misalnya, mengembangkannya dalam pendirian pabrik dan perusahan, sarana memutar roda ekonomi dan mengembangkan sumber daya manusia untuk merealisasikan pembangunan masyarakat. Penimbunan harta dapat menimbulkan penganguran, kurangnya manfaat harta dan hanya berputar pada sebagian manusia saja.


Suatu hal ironis nampak dalam kehidupan Muslimin sekarang. Sebagian kaum Muslimin menyimpan harta dan kekayaan pada bank-bank dunia yang bermarkas di Amerika dan Eropa. Sehingga akibat dari penimbunan ini memunculkan pengangguran di negara-negara Islam, lantaran sedikitnya proyek-proyek produktif dan hilangnya sumber perekonomian yang dibutuhkan sebagai modal. Sedangkan negara-negara yang menyimpan kekayaan tersebut menggunakannya untuk mempercepat perputaran roda ekonomi, sehingga perekonomiannya bisa bangkit dan berkembang pesat, penghasilan individu meningkat dan jumlah pengangguran dapat ditekan. Mereka memanfaatkan simpanan kaum Muslimim itu untuk peningkatan produksi, seperti pesawat, mobil, senjata perang dan lain-lainnya.


Oleh karena itu, Islam melarang keras penimbunan harta dan mengajak kaum Muslimin untuk mengembangkan dan mengelolanya. Semisal dengan syarikat mudhârabah. Yaitu satu sarana menghilangkan penimbunan harta dengan memberikan permodalan kepada orang yang memiliki kemampuan mengembangkannya.


Umat Tidak Lepas Dari Pelanggaran

Islam secara tegas memberikan tuntunan berkaitan dengan masalah harta sehingga terhindar dari harta haram dan menutup semua celah yang menjadi jalan masuk harta haram. Misalnya, melarang riba, transaksi barang haram, ataupun pembatalan transaksi yang diharam. Meski demikian tidak sedikit manusia terjerumus ke dalam perbuatan yang tidak diperbolehkan ini. Pun tidak terkecuali, juga ada kaum Muslimin yang terperdaya.


Memang, perbuatan haram seolah tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Mereka diuji dengannya setiap saat dan waktu, meski dengan tingkatkan berbeda antara seseorang dengan lainnya, antara satu zaman dengan zaman lainnya. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Muslimin agar menjauhi harta haram untuk mengujinya.


Meratanya harta haram pada zaman ini dan pada setiap lini tidak bisa diingkari, karena riba sudah menjadi perkara umum di seluruh dunia, baik di negara Islam maupun di negara kafir. Harta yang halal bercampur dengan yang haram. Akhirnya kita mengalami kesulitan saat harus mengambil keputusan atau sikap, karena tercampurnya antara yang halal dan yang haram. Ini menuntut seorang Muslim berhati-hati agar tidak terjebak dalam harta haram. Juga menuntutnya agar memiliki ilmu dan pengetahuan tentang hukum halal dan haram. Pengetahuan ini untuk membantunya terhindar dari semua usaha dan mu’amalah yang menghasilkan harta haram, ataupun berisikan harta haram. Dengan demikian mengenal harta yang haram menjadi satu kewajiban agar terhindar dari dosa dan implikasi buruknya.


Harta Haram dan Pembagiannya

Para Ulama menjelaskan harta haram dalam beberapa definisi. Diantaranya, harta haram adalah semua yang ada padanya sifat haram. Ada juga yang menyatakan, semua yang diharamkan secara syariat pemanfaatannya dari semua sisi. Juga ada yang menyatakan, semua yang tidak halal pemanfaatannya untuk pemiliknya karena adanya nash shahih dan jelas tentang pengharamannya, atau adanya larangan secara tegas, atau adanya balasan siksa bagi penggunanya.

Dengan demikian jelaslah bahwa harta haram adalah semua yang diharamkan syariat akan kepemilikan dan pemanfaatannya atas seorang Muslim karena adanya sifat haram.


Para Ulama membagi harta haram menjadi dua.

Pertama : Harta haram karena dzatnya. Yaitu haram pada asal dan sifatnya. Ini menyangkut semua yang diharamkan syariat karena faktor tertentu pada dzat atau materinya, tidak terpisah dalam segala keadaan, seperti minuman keras, babi, bangkai, darah dan lain-lainnya. Pengharaman ini dijelaskan dalam beberapa ayat, diantaranya:


حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ


Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allâh, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. [al-Mâ`idah/5:3].


Pengharaman ini tidak hanya untuk pembatasan pada barang tersebut saja, tetapi semua yang menyebabkan kemudharatan bagi manusia dianalogikan kepadanya, seperti narkotik, rokok, dan sejenisnya yang sudah dipastikan membahayakan manusia.


Kedua : Harta haram karena faktor luar. Atau sering disebut dengan haram dengan sebab tertentu (al-muharram bi sababihi). Atau harta haram karena cara mendapatkannya (al-haraam li kasbihi).


Harta yang demikian ini semuanya diharamkan syariat karena ada faktor luar yang mempengaruhi sifatnya dan bukan karena dzatnya. Faktor yang menjadikannya haram tidak ada pada dzat dan hakikatnya, tetapi datang dari faktor luar yang terpisah dari dzatnya. Pengharaman harta ini tidak berpengaruh pada dzat dan hakikat harta itu sendiri, seperti harta riba. Harta riba diharamkan bukan karena dzat atau materi harta itu, tetapi diharamkan karena sifatnya. Dzat harta ini tidak tercela, bahkan seharusnya terpuji karena menjadi penyebab tercapainya maslahat dunia dan agama. Allâh Azza wa Jalla memuji harta dengan sebutan kebaikan (al-khair) yang menjadi pokok kehidupan, seperti dalam firman-Nya:


وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا


Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. [an-Nisâ’/4:5].


Dari uraian singkat ini jelaslah perbedaan antara harta haram karena dzatnya dan harta haram karena usaha dan cara mendapatkannya. Dan komitmen pada hukum halal dan haram merupakan asas pondasi. Jika pondasinya kuat dan lurus, maka akan kuat. Sebaliknya, bila asas pondasinya lemah dang tidak lurus, maka akan mudah runtuh dan hancur. Semoga bermanfaat.

Wallâhu a’lam bish-Shawâb.

Maraji:

1. Ahkâm al-Mâl al-Harâm wa Dhawâbit al-Intifa’ wat-Tasharruf bihi fil-Fiqhil-Islâmi, Dr. Abbas Ahmad Muhammad al-Bâz, Darun-Nafâ-is, Yordania.

2. At-Taubah min al-Makâsib al-Muharrâmah, Khalid bin Abdillah al-Mushlih.