Politik uang dari perspektif ulama jelas-jelas hukumnya haram. Hal ini berdasar fatwa yang dihasilkan dalam Itjima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Pondok Pesantren Al Falah, Banjarbaru pada 7-9 Mei 2018. Politik uang hukumnya haram bagi yang memberi maupun yang menerima karena sama dengan suap.
Politik uang juga ditegaskan dalam Itjima Ulama Komisi Fatwa MUI di Banjarbaru itu akan menyingkirkan orang-orang yang baik, sehingga yang terpilih adalah wakil rakyat yang berperilaku buruk akhlaknya, akibat suara pemilih telah dibeli dengan uang.
Berdasar hasil riset yang dilakukan Pusat Kajian dan Kebijakan Publik Banjarmasin pun mencatat mayoritas pemilih di ibukota Provinsi Kalimantan Selatan ini sangat toleran dengan politik uang. Tercatat, sebanyak 65 hingga 70 persen pilihan masih tergantung pada politik uang, mengacu ke hasil survei dan kuisioner yang dibagikan kepada responden di Banjarmasin.
Keprihatinan ini juga disuarakan Ustadz Wahyudi Ibnu Yusuf saat menjadi narasumber dalam diskusi di Rumah Demokrasi Banjarmasin, Mubaligh dan pendidik Islam ini mengatakan politik bukan sekadar mengejar menang dan kalah, tapi harusnya mengutamakan halal dan haram.
“Politik uang terjadi karena para politisi sangat berambisi pada kekuasaan. Akhirnya, dia menghalalkan segala cara termasuk politik uang,” tutur Ustadz Wahyudi Ibnu Yusuf.
Pengasuh Majelis Darul Ma’arif Banjarmasin ini mengatakan sangat penting peran ulama dalam menjelaskan bahwa kekuasaan itu adalah amanah, kehinaan dan penyesalan di hari kiamat, kecuali memperolehnya dengan cara yang benar dan menjalankan roda kekuasaan dengan aturan yang benar. “Cara yang benar salah satunya dengan tidak melakukan money politics atau politik uang dan ketika berkuasa wajib menjalankan aturan yang bersumber dari Alquran dan Assunnah, karena keduanya adalah sumber kebenaran mutlak,” cetus Wahyudi.
Menurut dia, politik uang juga disebabkan karena kondisi pemilih yang belum ideal dan memang dibuat tidak ideal. Kemiskinan dan kurang pemahaman agama menjadikan pemilih. “Jangan heran lalu muncul idiom di masyarakat wani piro atau mumpung sebagai rumus politik. Di sini, peran ulama untuk menjelaskan bahwa angpau atau amplop yang diterima adalah harta haram yang jauh dari keberkahan. Karena angpau politik termasuk harta risywah (suap) padahal pihak yang menyuap, disuap, dan perantaranya mendapat laknat dari Allah dan Rasul-Nya,” tegas Wahyudi.
Ia juga mengaitkan dengan ajakan atau seruan yang berkembang belakangan ini seperti ambil uangnya jangan pilih orangnya. Menurut Wahyudi, seruan semacam ini justru melanggengkan politik uang, meski sang politisi bisa saja tidak terpilih. “Semestinya para penyeru slogan ini mengubah seruannya menjadi tolak uangnya, jangan pilih orangnya,” ucapnya. Wahyudi juga menyinggung dalam sistem demokrasi hanya menghitung jumlah kepala, tidak melihat isi kepala. Akhirnya, suara seorang profesor sama dengan suara orang yang terganggu jiwa, atau suara seorang kiai sama dengan suara seorang penzina.
“Ya, dengan kata lain, banyak pemilih yang sebenarnya tidak layak memilih, namun dalam sistem demokrasi dilegalkan. inilah yang membuka celah politik uang. Sekaligus menjadikan demokrasi adalah sistem yang mahal tanpa jaminan terpilih pemimpin yang baik,” ucapnya.
Untuk itu, Wahyudi menyarankan agar peran ulama dalam menjelaskan sistem yang menjamin terpilihnya pemimpin yang baik dengan tiga mekanisme yakni siapa yang layak memilih, siapa yang layak dipilih, dan dengan aturan apa ia akan mengatur rakyatnya jika terpilih. “Sistem Islam dengan konsep ahlul halli wal aqdi adalah cara untuk memilih calon pemilik yang layak memilih, syarat muslim, adil, mampu dan seterusnya adalah syarat seseorang bisa dipilih,” paparnya.Wahyudi menjelaskan lagi dengan sistem apa dia dia melayani rakyat menjadi faktor utama menakar keadilan seseorang. “Keadilan sejati hanya ada pada Islam. Maka tawaran solusinya adalah gantilah demokrasi dengan sistem Islam, karena demokrasi adalah ekspor Amerika paling mematikan. Mau mati dengan demokrasi?” cecarnya.