Senin, 03 Oktober 2022

Hukuman Bagi Pezina di Dunia dan di Akhirat

Allâh Azza wa Jalla berfirman.  مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِى اسْتَوْقَدَ نَارًا ۚ فَلَمَّآ اَضَاۤءَتْ مَا حَوْلَهٗ ذَهَبَ اللّٰهُ بِنُوْرِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِيْ ظُلُمٰتٍ لَّا يُبْصِرُوْنَ – صُمٌّ ۢ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُوْنَۙ  Perumpamaan mereka (orang-orang munâfiqîn) adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar) [al-Baqarah/2:17-18]  Salah Satu Permisalan Kondisi Kaum Munâfiqîn Di sini, Allâh Azza wa Jalla menyerupakan para musuh-Nya, kaum munâfiqîn, dengan sekumpulan orang yang menyalakan api untuk penerangan bagi mereka. Melalui cahayanya, mereka dapat melihat hal-hal yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi mereka. Jalan pun bisa mereka saksikan setelah sebelumnya berada dalam kebingungan lagi tersesat. Namun, setelah diterangi cahaya dan mereka dapat melihat dan mengetahui,, tiba-tiba api tersebut padam. Akhirnya, mereka berada dalam kegelapan (kembali).[1]  Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla memisalkan kaum munâfiqîn dengan permisalan seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tidak dapat melihat kebenaran untuk kemudian mereka katakan. Sehingga ketika keluar dari kegelapan kekufuran dengan cahaya (keimanan tersebut), mereka memadamkan cahaya itu dengan kekufuran dan nifâq mereka. Allâh Azza wa Jalla pun kemudian membiarkan mereka dalam kegelapan kekufuran, sehingga mereka tidak dapat melihat petunjuk dan tidak istiqomah di atas kebenaran”.[2]  Demikianlah potret kaum munâfiqîn, gambaran yang sangat tepat untuk melukiskan kondisi mereka, kaum yang sebenarnya menyembunyikan kekufuran dalam relung hati terdalam, meski bibir-bibir mereka melontarkan pengakuan keimanan. Mereka memperoleh penerangan melalui cahaya iman yang dimiliki kaum Mukminin yang berada di sekitar mereka. Lantaran lentera iman itu bukan melekat pada mereka, akibatnya mereka hanya dapat memanfaatkannya sementara waktu saja. Konkretnya, darah mereka terpelihara, harta juga terjaga, dan setidaknya situasi aman sempat mereka rasakan di dunia ini. Namun ketika tiba-tiba kematian menerjang mereka, secercah cahaya yang sebelumnya menerangi hidup mereka akan hilang. Akhirnya, kegelapan demi kegelapan menerpa mereka; kegelapan alam kubur, kegelapan kekufuran, kegelapan nifak, kegelapan maksiat dengan berbagai jenisnya. Dan terakhir, kegelapan neraka. Itulah seburuk-buruknya tempat kembali. Wal ‘iyâdzu billâh.. Demikian paparan Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengenai ayat pertama pada pembahasan ini.[3]  Sementara itu, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah dengan merujuk penafsiran beberapa Ulama Salaf memandang bahwa cahaya yang dimaksud adalah keimanan yang sebelumnya ada di hati kaum munâfiqin. Artinya, mereka telah beriman sebelum kekufuran dan nifâq yang merasuki hati mereka. Mereka lebih mengutamakan kesesatan (dhalâlah) daripada hidayah, lebih menyukai penyimpangan setelah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran. Kondisi ini diserupakan dengan permisalan yang telah disebutkan.[4]  Di akherat kelak, mereka akan menjadi penghuni neraka terbawah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:  اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ فِى الدَّرْكِ الْاَسْفَلِ مِنَ النَّارِۚ  Sesungguhnya orang-orang munâfiq itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. [an-Nisâ/4:145]  Tiga Pintu Hidayah Tertutup dan Tidak Berfungsi Pada diri kaum munâfiqîn, perangkat untuk memperoleh hidayah (kebenaran) yang telah disediakan bagi setiap manusia telah tertutup. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa hidayah akan masuk pada seorang hamba melalui tiga pintu; melalui apa yang ia dengar dengan telinganya, yang terlihat oleh matanya dan yang dipahami oleh hatinya. Ketiga akses hidayah ini  tidak berfungsi, sehingga hidayah pun terhalangi masuk. Akibatnya, hati mereka tidak mengetahui hal-hal yang bermanfaat bagi diri mereka sendiri.[5] سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنْزَلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ﴿١﴾الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ  (Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan dia (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalamnya), dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kalian selalu mengingatnya. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh , jika kalian beriman kepada Allâh dan hari akhirat. Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman [An-Nur/24:1–2]  RINGKASAN TAFSIR   “ (Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan,” Ini adalah surat yang termasuk Kitab Allâh, Kami turunkan kepada hamba Kami dan Rasul Kami, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . “Dan Kami wajibkan dia,” kami wajibkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya kepada umat Islam. “Dan Kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kalian selalu mengingatnya,” yaitu agar kalian bisa mengambil pelajaran dan mengamalkan kandungan surat ini yang berupa perintah, larangan, adab dan akhlak.  “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,” maksudnya barangsiapa berzina dengan seorang laki-laki dan keduanya merdeka (bukan budak), belum menikah dan tidak dimiliki oleh orang lain, “maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera,” maksudnya pukulah di kulit punggungnya dengan tongkat yang tidak menyebabkan luka, tidak mematahkan tulang dan tidak mememarkan. Dan ditambahkan di dalam hadits, dengan hukuman pengasingan selama satu tahun.    “Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh ,” maksudnya janganlah kalian merasa kasihan kepada mereka berdua sehingga kalian membatalkan hudud (hukuman yang telah ditetapkan oleh Allâh )[1] dan kalian menahan mereka berdua untuk mendapatkan pembersihan dosa dengan hudud ini, karena hudud adalah penghapus dosa untuk para pelakunya.  “Jika kalian beriman kepada Allâh  dan hari akhirat,” maksudnya adalah laksanakanlah oleh kalian hudud tersebut kepada mereka berdua.  “Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman,” maksudnya pelaksanaan tersebut disaksikan oleh tiga orang atau lebih. Jika disaksikan oleh empat orang maka itu lebih utama, karena persaksian dalam perzinaan hanya bisa ditetapkan dengan empat orang saksi. Jika jumlahnya lebih banyak maka lebih utama.[2]  PENJABARAN AYAT  Firman Allâh Azza wa Jalla :  سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنْزَلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ  Satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan dia (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalamnya), dan Kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kalian selalu mengingatnya.  Satu surat” maksudnya, surat an-Nûr ini.  Perkataan Allâh Azza wa Jalla :  أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا  “Yang Kami turunkan dan Kami wajibkan dia” terdapat dua qiraat. Ibnu Katsir dan Abu ‘Amr membacanya dengan râ’ yang ditasydid, yaitu:  أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَّضْنَاهَا  Adapun yang lainnya membaca dengan tanpa ditasydid, seperti dicantumkan di atas.  APAKAH TERJADI PERBEDAAN MAKNA?  Sebagian Ulama tafsir memandang terdapat perbedaan antara arti keduanya. Jika dibaca (وَفَرَضْنَاهَا) maka artinya adalah Kami wajibkan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya dan kami wajibkan untuk diamalkan. Sedangkan makna dari (وَفَرَّضْنَاهَا) adalah Kami rincikan dan jelaskan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya.  Dan sebagian Ulama tafsir memandang tidak ada perbedaan makna dari keduanya, yang berarti Kami wajibkan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya dan kami wajibkan untuk diamalkan. Hanya saja lafaz yang kedua, yaitu (وَفَرَّضْنَاهَا) menunjukkan bahwa kewajiban yang terdapat di dalam surat ini sangat banyak.[3] Karena memang kita dapatkan banyak sekali hukum-hukum yang terkandung dalam surat ini. Di antara hukum yang disebutkan adalah: hukuman bagi orang yang berzina, orang yang menuduh orang lain berzina, saling melaknat, hukum memasuki rumah seseorang, menundukkan pandangan, pernikahan, aurat dll.  Firman Allâh Azza wa Jalla :  الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ  “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.”  SIAPAKAH ORANG YANG BERZINA YANG DIMAKSUD DALAM AYAT INI?  Yang dimaksud dalam ayat ini adalah pezina yang belum pernah menikah, karena itu disebutkan hukumannya yaitu didera (dipukul/dicambuk) sebanyak 100 kali. Adapun untuk orang yang sudah menikah maka hukumannya dirajam.  HUKUMAN BAGI ORANG YANG BERZINA YANG BELUM MENIKAH  Para Ulama sepakat bahwa orang yang berzina yang belum menikah dihukum dengan 100 kali dera, tetapi mereka berselisih pendapat tentang penambahan hukuman pengasingan di daerah lain selama satu tahun. Jumhur Ulama memandang bahwa selain didera sebanyak 100 kali maka dia juga harus diasingkan ke daerah lain selama satu tahun. Namun, Abu Hanifah t berpendapat bahwa pengasingan selama setahun itu adalah hukuman yang ditentukan oleh sang hakim. Jika hakim memandang perlu untuk dilakukan maka dilaksanakan pengasingan dan jika tidak, maka tidak dilaksanakan.    Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur Ulama, karena pengasingan disebutkan dalam beberapa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , di antaranya adalah:  Hadits Pertama: Hadits Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Radhiyallahu anhuma, beliau berdua berkata:  كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: أَنْشُدُكَ اللَّهَ إِلاَّ قَضَيْتَ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللهِ, فَقَامَ خَصْمُهُ وكَانَ أَفْقَهَ مِنْهُ فَقَالَ: اقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللهِ وَأْذَنْ لِي؟ قَالَ: قُلْ. قَالَ: إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا عَلَى هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِئَةِ شَاةٍ وَخَادِمٍ, ثُمَّ سَأَلْتُ رِجَالاً مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّ عَلَى ابْنِي جَلْدَ مِئَةٍ وَتَغْرِيبَ عَامٍ، وَعَلَى امْرَأَتِهِ الرَّجْمَ. فَقَالَ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم-: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللهِ -جَلَّ ذِكْرُهُ- الْمِائَةُ شَاةٍ وَالْخَادِمُ رَدٌّ، وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِئَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ. وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا. فَغَدَا عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا.  “Dulu kami berada di sisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdirilah seorang laki-laki dan berkata, ‘Saya memohon kepadamu dengan mengangkat suaraku agar engkau menghukumi di antara kami dengan menggunakan Kitab Allâh . Kemudian berdirilah orang yang berselisih dengannya – dan dia lebih paham darinya – dan berkata, ‘Hukumilah kami dengan menggunakan Kitab Allâh  dan izinkanlah saya berbicara!’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Bicaralah!’ Dia berkata, ‘Sesungguhnya anakku dipekerjakan oleh orang ini kemudian dia berzina dengan istrinya. lalu saya menebusnya dengan 100 ekor kambing dan seorang pembantu. Kemudian saya bertanya kepada para lelaki di kalangan ahli ilmu bahwa hukuman bagi anakku adalah didera sebanyak 100 kali dan diasingkan selama setahun dan hukuman untuk istrinya adalah dirajam.’ Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  berkata, “Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, saya akan menghukumi antara kalian dengan Kitab Allâh  -jalla dzikruhu-. Adapun 100 ekor kambing dan pembantu maka dikembalikan (kepadamu), hukuman untuk anakmu adalah didera sebanyak 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Pergilah ya Unais ke istri orang ini! Apabila dia mengakuinya maka rajamlah dia!’ Kemudian Unais pun pergi menemuinya dan dia mengakuinya, kemudian dia merajamnya.” [4]  Hadits Kedua: Hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:  خُذُوا عَنِّى, خُذُوا عَنِّى, قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً. الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْىُ سَنَةٍ, وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ.  “Ambillah dariku! Ambillah dariku! Sesungguhnya Allâh  telah menjadikan untuk mereka (para wanita yang berzina) jalan keluar [5]. Perzinaan antara yang belum menikah dengan yang belum menikah adalah didera sebanyak 100 kali dan diasingkan selama setahun, sedangkan perzinaan antara orang yang sudah menikah dengan yang sudah menikah adalah didera sebanyak 100 kali dan dirajam.” [6]  Dengan kedua hadits di atas kita memahami bahwa hukuman bagi orang yang berzina yang belum menikah adalah didera sebanyak 100 kali dan diasingkan ke negeri lain selama satu tahun dan hukuman bagi orang yang berzina yang muhshan adalah dirajam. Orang yang muhshan adalah orang yang sudah menggauli pasangannya setelah terjadi pernikahan yang sah.  BAGAIMANA CARA MENDERANYA?  Para Ulama fiqh sepakat bahwa yang didera atau di-jald/dipukul adalah orang yang sehat dan kuat untuk didera (dipukul) adapun yang tidak kuat maka tidak didera. Kemudian dideranya menggunakan cambuk yang sedang, tidak basah dan tidak juga sangat kering, tidak tipis sehingga tidak menyakiti dan tidak juga tebal sehingga membuat luka. Yang menderanya tidak mengangkat tangannya sampai di atas kepalanya, sehingga terlihat ketiaknya. Kemudian tidak boleh memukul wajah, kelamin dan anggota tubuh yang mematikan (jika dipukul). Menurut Jumhur Ulama pakaian tidak perlu dilepas dan laki-laki didera dengan berdiri sedangkan wanita duduk, sedangkan menurut Imam Malik rahimahullah, pakaiannya harus dilepas dan laki-laki dan wanita didera dengan duduk.[7]  BAGAIMANA CARA PENGASINGANNYA SELAMA SETAHUN?  Menurut madzhab al-Malikiyah, asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah pengasingannya adalah ke tempat yang boleh meng-qashar shalat jika bersafar ke sana atau lebih jauh dari itu. Pendapat inilah yang diamalkan sebelumnya oleh Al-Khulafâ’ Ar-Râsyidîn dan tidak diketahui ada yang menyelisihinya.  Menurut madzhab asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah pengasingan tersebut dilakukan tanpa memenjarakan orang yang diasingkan tersebut, tetapi orang tersebut harus terus diawasi agar tidak kembali ke negerinya. Pengasingan ini dilakukan baik untuk orang yang berzina laki-laki maupun wanita, hanya saja jika dia wanita, maka wanita tersebut harus ditemani oleh mahramnya. Sedangkan menurut madzhab al-Malikiyah pengasingan tersebut disertai dengan memenjarakannya, hanya berlaku untuk laki-laki dan tidak berlaku untuk wanita.[8]  Allâhu a’lam, pendapat asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah lebih cocok dengan yang disebutkan pada zahir hadits.  Adapun di Saudi Arabia, penulis pernah bertanya kepada seorang teman yang beliau adalah penduduk asli kota Madinah, tentang penerapan pengasingan ini, beliau berkata, “Dia dikirim ke kota lain, kemudian dia wajib melaporkan dirinya ke polisi setiap hari dan dia tidak ditahan.” Di negara kita hal seperti ini dikenal dengan istilah “tahanan kota” dan “wajib lapor”.  BAGAIMANA CARA MERAJAMNYA?  Hukuman rajam adalah hukuman dengan dilempar dengan batu oleh orang banyak sampai orang yang dihukum meninggal. Batu yang digunakan adalah batu sebesar genggaman tangan, bukan batu yang sangat besar sehingga cepat meninggalnya dan bukan juga batu yang kecil sehingga terlalu lambat meninggalnya. Ketika melemparkan batu, maka diajuhi dari melempar wajah, karena kemuliaan wajah. Laki-laki yang dirajam, dirajam dalam keadaan berdiri, tidak diikat dan tidak dikubur sampai setengah dadanya. Adapun wanita yang dirajam, dirajam dengan dikubur sampai setengah dadanya agar tidak tersingkap auratnya.  Orang-orang yang melemparnya mengelilingi orang yang akan dirajam, kemudian mereka ber-shaf-shaf. Setelah shaf pertama selesai, dilanjutkan dengan shaf berikutnya. Mereka melemparinya sampai meninggal.[9]  BENARKAH HUKUMAN RAJAM TIDAK ADA DI DALAM AL-QUR’AN?  Allâh Azza wa Jalla pernah menurunkan ayat tentang rajam, kemudian Allâh  hapuskan penulisannya di dalam al-Qur’an, tetapi hukumnya tetap berlaku dan dikerjakan di zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  dan para al-Khulafâ’ ar-Râsyidîn.  Terdapat sebuah atsar dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:  قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ جَالِسٌ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ مُحَمَّدًا -صلى الله عليه وسلم- بِالْحَقِّ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ فَكَانَ مِمَّا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ, قَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا, فَرَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ, فَأَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ مَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِى كِتَابِ اللَّهِ, فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ. وَإِنَّ الرَّجْمَ فِى كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أَحْصَنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوْ الاِعْتِرَافُ.  “Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu pernah berkata ketika beliau duduk di atas mimbar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Sesungguhnya Allâh  telah mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam  dengan haq dan telah menurunkan Al-Kitab kepadanya. Dan dulu yang termasuk yang diturunkan adalah ayat tentang rajam. Kami dulu membacanya, memahami dan mengerti kandungannya. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  pernah menerapkan rajam dan kami juga pernah menerapkannya sepeninggal Beliau. Saya takut jika manusia melalui zaman lama, ada seseorang yang berkata, ‘Kami tidak mendapatkan tentang rajam di Kitab Allâh ,’ sehingga mereka tersesat karena meninggalkan suatu kewajiban yang Allâh  turunkan. Sesungguhnya rajam terdapat di Kitab Allâh , dia adalah kewajiban (yang harus dihukumkan) kepada orang yang berzina yang telah menikah dari kalangan laki-laki dan wanita, apabila telah tegak bukti atau (didapatkan wanita) sedang hamil atau adanya pengakuan (berzina).”[10]  Pada hadits-hadits di atas disebutkan dengan jelas tentang adanya syariat rajam untuk orang yang berzina yang sudah menikah. Begitu pula rajam pernah dilakukan di zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  kepada seorang wanita al-Ghâmidiyah, kepada seorang laki-laki yang bernama Mâ’iz dan kepada yang lainnya.  APAKAH ORANG YANG BERZINA YANG SUDAH MENIKAH JUGA DI DERA SELAIN DIRAJAM?  Para Ulama berbeda pendapat dalam hal ini, menurut madzhab Imam Ahmad, hukuman untuknya ada dua, yang pertama adalah didera, kemudian dirajam. Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu bahwasanya didatangkan kepada beliau seorang wanita bernama Syurâhah yang telah berzina dan dia telah menikah, kemudian beliau menderanya di hari Kamis dan merajamnya di hari Jumat. Kemudian beliau berkata:  جَلَدْتُهَا بِكِتَابِ اللهِ ، وَرَجَمْتُهَا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.  “Saya dera dia dengan Kitab Allâh  dan saya rajam dia dengan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[11]  Adapun madzhab Imam Abu Hanifah, Malik dan Asy-Syafî memandang bahwa orang tersebut tidak perlu didera tetapi langsung dirajam, karena tidak didapatkan dalil dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan rajam dengan dera. Allâhu a’lam. Pendapat yang dipegang oleh Imam Ahmad lebih berhati-hati, karena ini:  Disebutkan pada hadits kedua, hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu anhudi atas bahwasanya orang yang sudah menikah mendapatkan dua hukuman, yaitu didera kemudian dirajam.  Termasuk sunnah dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu(salah satu al-Khulafâ’ ar-Râsyidîn) yang kita diperintahkan untuk mengikutinya.  Tidak ada kabar bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menderanya, tidak menjadi dalil akan tidak adanya dera, karena al-mutsbit muqaddam ‘alan-nâfi (yang menetapkan didahulukan dari yang mentiadakan) Allâhu a’lam.  Firman Allâh Azza wa Jalla :  وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ  “Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh , jika kalian beriman kepada Allâh  dan hari akhirat.”  Para Ulama berselisih pendapat dalam mengartikan “Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh,” di antara pendapat yang disebutkan adalah sebagai berikut [12]:  Janganlah kalian kasihan kepada mereka berdua sehingga kalian mentiadakan dan tidak menegakkan hudud (hukuman yang telah ditetapkan oleh Allâh ). Ini adalah pendapat Mujahid, ‘Ikrimah, ‘Atha’, Sa’id bin Jubair, an-Nakha’i dan asy-Sya’bi rahimahumullâh.  Ini juga sesuai dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:  تَعَافَوُا الْحُدُودَ فِيمَا بَيْنَكُمْ, فَمَا بَلَغَنِى مِنْ حَدٍّ فَقَدْ وَجَبَ  “Saling memaafkanlah kalian di dalam perkara hudud di antara kalian. Adapun jika salah satu hudud telah sampai kepadaku maka hukumnya menjadi wajib.”[13]  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  menyatakan bahwa wajib menjalankan hudud jika perkara tersebut sudah sampai kepada sang hakim, sehingga sang hakim tidak boleh menunda-nunda penyelesaiannya.  Janganlah kalian kasihan ketika melaksanakan prosesi hukuman tersebut, sehingga kalian memelankan pukulan, tetapi pukulah dia dengan pukulan yang menyakitkan. Ini adalah pendapat Sa’id bin al-Musayyab dan al-Hasan al-Bashri rahimahumallâh.  Terdapat atsar dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan anaknya yang bernama ‘Ubaidullah, beliau berkata:  أَنَّ جَارِيَةً لِابْنِ عُمَرَ زَنَتْ، فَضَرَبَ رِجْلَيْهَا، -قَالَ نَافِعٌ: أَرَاهُ قَالَ: وَظَهْرَهَا-، قَالَ: قُلْتُ: وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ. قَالَ: يَا بُنَيَّ جَلْدُهَا فِي رَأْسِهَا، وَقَدْ أَوْجَعْتُ حَيْثُ ضَرَبْتُ.  “Sesungguhnya seorang budak wanita Ibnu Umar telah berzina, kemudian beliau memukul kedua kakinya -Nafi’ (perawi hadits) berkata, ‘Menurut saya dia juga berkata, ‘dan punggungnya’.’ (Ubaidullah berkata), Kemudian saya berkata, ‘dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh .’ Kemudian beliau pun mengatakan, ‘Wahai anak kecilku, saya telah men-jald-nya (memukulnya) di kepalanya dan saya telah menyakitinya ketika saya pukul.’.”[14]  Atsar ini menunjukkan bahwa yang lebih tepat adalah pendapat yang kedua (pendapat Sa’id bin al-Musayyab dan al-Hasan al-Bashri), karena ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Umar menggunakan dalil ini ketika terjadi prosesi dera tersebut dan Ibnu ‘Umar tidak mengingkari pemahamannya terhadap ayat tersebut. Allâhu a’lam.  Firman Allâh Azza wa Jalla :  إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ   “Jika kalian beriman kepada Allâh  dan hari akhirat.  Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Lakukanlah hal tersebut, yaitu tegakkanlah hudud kepada orang yang berzina dan keraskanlah ketika memukulnya, tetapi jangan sampai membuat memar, agar dia berhenti dan berhenti juga orang yang melakukan hal serupa dengan perbuatan tersebut.”[15]  Firman Allâh Azza wa Jalla :  وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ  “Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”  Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Di dalam ayat ini terdapat hukuman kepada orang yang berzina, ketika dia di-jald (didera), maka disaksikan oleh orang-orang. Hukuman ini jika disaksikan oleh orang banyak, maka sangat berguna untuk orang yang berzina agar tidak mengulanginya. Ini jika sebagai bentuk penghinaan atas apa yang telah mereka lakukan jika disaksikan oleh orang banyak.”[16]  Para Ulama berselisih tentang berapa jumlah minimal saksi yang menyaksikan prosesi penghukuman ini, di antara pendapat-pendapat yang disebutkan adalah sebagai berikut[17]:  Paling sedikit disaksikan oleh satu orang. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan an-Nakha’i. Paling sedikit disaksikan oleh dua orang. Ini adalah pendapat ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair dan ‘Atha’. Paling sedikit disaksikan oleh tiga orang. Ini adalah pendapat az-Zuhri dan Qatadah. Paling sedikit disaksikan oleh empat orang, karena ini sejumlah saksi dalam persaksian zina. Ini adalah pendapat Malik dan Ibnu Zaid. Paling sedikit disaksikan oleh lima orang. Ini adalah pendapat ar-Rabi’ah. Dan disebutkan pendapat yang lain. Rahimahumullâh al-jamî’.  HUKUMAN BAGI PELAKU ZINA DI AKHIRAT  Orang yang berzina diancam akan diazab oleh Allâh Azza wa Jalla  di neraka dengan azab yang pedih jika dia tidak bertaubat kepada Allâh. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  pernah menceritakan mimpinya kepada para sahabat –dan mimpi beliau layaknya wahyu-. Beliau menceritakan bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibawa oleh dua malaikat, yaitu Jibril dan Mikail untuk menyaksikan berbagai jenis manusia. Kemudian tibalah beliau di sebuah lubang seperti tempat pemanggangan roti, bagian atasnya sempit dan bagian bawahnya luas, di bawahnya dinyalakan api. Ketika api tersebut mendekat atau menyambar maka orang-orang di dalamnya pun terangkat hingga hampir keluar darinya. Kemudian apabila apinya mulai memadam, maka mereka pun kembali masuk di dalamnya. Di dalam lubang itu ada laki-laki dan wanita-wanita telanjang. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bertanya, “Siapakah orang-orang itu?” Tetapi tidak dijawab oleh mereka berdua. Kemudian Beliau pun beralih ke tempat lain. Hingga akhirnya, Malaikat Jibril pun memberitahukan, “Adapun orang-orang yang engkau lihat di lubang tadi, mereka adalah para pezina.”[18]  Demikianlah hukuman yang Allâh  berikan kepada para pezina di akhirat nanti. Akan tetapi, perlu kita pahami, jika seorang muslim berzina dan mati dalam keadaan belum bertaubat dari perbuatan tersebut, maka dia telah melakukan dosa besar, apabila Allâh  ingin mengazabnya maka Allâh  akan azab dia, tetapi jika Allâh  ingin mengampuninya maka itu adalah hak Allâh  untuk mengampuninya. Tetapi selama dia masih beragama Islam, jika ternyata dia masuk ke dalam neraka, maka dia tidak akan kekal di dalamnya, dan akhirnya dia juga akan dimasukkan ke dalam surga.  Dengan demikian kita tidak boleh melontarkan kata-kata yang tidak pantas kepada orang yang telah ketahuan berzina, seperti mengatakan, “Dia itu adalah penghuni neraka,” atau dengan perkataan, “tidak mungkin dia masuk surga.”  Surat an-Nûr memiliki banyak hukum di dalamnya dan Allâh mewajibkan umat Islam untuk mengamalkannya.  Hukuman bagi orang yang berzina yang belum menikah adalah didera/dicambuk sebanyak 100 kali dan diasingkan selama satu tahun di daerah lain yang bisa mengqashar shalat jika bersafar ke sana.  Pengasingannya dilakukan seperti “tahanan kota” dan “wajib lapor”.  Hukuman bagi orang yang berzina yang sudah menggauli pasangannya setelah terjadi pernikahan yang sah adalah dirajam, yaitu dilempar oleh orang banyak dengan batu sampai meninggal. Tetapi sebelum dirajam, maka dia juga didera sebanyak 100 kali, menurut salah satu pendapat.  Adapun di akhirat orang-orang yang berzina akan dimasukkan ke dalam lubang seperti tempat pemanggangan roti, bagian atasnya sempit dan bagian bawahnya luas, di bawahnya dinyalakan api. Ketika api tersebut mendekat atau menyambar maka orang-orang di dalamnya pun terangkat hingga hampir keluar darinya. Kemudian apabila apinya mulai memadam, maka mereka pun kembali masuk di dalamnya. Mereka di sana tidak mengenakan pakaian sehelai pun.  Demikian tulisan ini. Semoga bermanfaat dan kita memohon kepada Allâh agar senantiasa menjaga kita dari fitnah syahwat dan tidaklah menyalurkannya kecuali pada suatu yang dihalalkan oleh Allâh Azza wa Jalla , Allâh Azza wa Jalla berfirman.  مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِى اسْتَوْقَدَ نَارًا ۚ فَلَمَّآ اَضَاۤءَتْ مَا حَوْلَهٗ ذَهَبَ اللّٰهُ بِنُوْرِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِيْ ظُلُمٰتٍ لَّا يُبْصِرُوْنَ – صُمٌّ ۢ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُوْنَۙ  Perumpamaan mereka (orang-orang munâfiqîn) adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar) [al-Baqarah/2:17-18]  Salah Satu Permisalan Kondisi Kaum Munâfiqîn Di sini, Allâh Azza wa Jalla menyerupakan para musuh-Nya, kaum munâfiqîn, dengan sekumpulan orang yang menyalakan api untuk penerangan bagi mereka. Melalui cahayanya, mereka dapat melihat hal-hal yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi mereka. Jalan pun bisa mereka saksikan setelah sebelumnya berada dalam kebingungan lagi tersesat. Namun, setelah diterangi cahaya dan mereka dapat melihat dan mengetahui,, tiba-tiba api tersebut padam. Akhirnya, mereka berada dalam kegelapan (kembali).[1]  Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla memisalkan kaum munâfiqîn dengan permisalan seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tidak dapat melihat kebenaran untuk kemudian mereka katakan. Sehingga ketika keluar dari kegelapan kekufuran dengan cahaya (keimanan tersebut), mereka memadamkan cahaya itu dengan kekufuran dan nifâq mereka. Allâh Azza wa Jalla pun kemudian membiarkan mereka dalam kegelapan kekufuran, sehingga mereka tidak dapat melihat petunjuk dan tidak istiqomah di atas kebenaran”.[2]  Demikianlah potret kaum munâfiqîn, gambaran yang sangat tepat untuk melukiskan kondisi mereka, kaum yang sebenarnya menyembunyikan kekufuran dalam relung hati terdalam, meski bibir-bibir mereka melontarkan pengakuan keimanan. Mereka memperoleh penerangan melalui cahaya iman yang dimiliki kaum Mukminin yang berada di sekitar mereka. Lantaran lentera iman itu bukan melekat pada mereka, akibatnya mereka hanya dapat memanfaatkannya sementara waktu saja. Konkretnya, darah mereka terpelihara, harta juga terjaga, dan setidaknya situasi aman sempat mereka rasakan di dunia ini. Namun ketika tiba-tiba kematian menerjang mereka, secercah cahaya yang sebelumnya menerangi hidup mereka akan hilang. Akhirnya, kegelapan demi kegelapan menerpa mereka; kegelapan alam kubur, kegelapan kekufuran, kegelapan nifak, kegelapan maksiat dengan berbagai jenisnya. Dan terakhir, kegelapan neraka. Itulah seburuk-buruknya tempat kembali. Wal ‘iyâdzu billâh.. Demikian paparan Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengenai ayat pertama pada pembahasan ini.[3]  Sementara itu, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah dengan merujuk penafsiran beberapa Ulama Salaf memandang bahwa cahaya yang dimaksud adalah keimanan yang sebelumnya ada di hati kaum munâfiqin. Artinya, mereka telah beriman sebelum kekufuran dan nifâq yang merasuki hati mereka. Mereka lebih mengutamakan kesesatan (dhalâlah) daripada hidayah, lebih menyukai penyimpangan setelah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran. Kondisi ini diserupakan dengan permisalan yang telah disebutkan.[4]  Di akherat kelak, mereka akan menjadi penghuni neraka terbawah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:  اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ فِى الدَّرْكِ الْاَسْفَلِ مِنَ النَّارِۚ  Sesungguhnya orang-orang munâfiq itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. [an-Nisâ/4:145]  Tiga Pintu Hidayah Tertutup dan Tidak Berfungsi Pada diri kaum munâfiqîn, perangkat untuk memperoleh hidayah (kebenaran) yang telah disediakan bagi setiap manusia telah tertutup. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa hidayah akan masuk pada seorang hamba melalui tiga pintu; melalui apa yang ia dengar dengan telinganya, yang terlihat oleh matanya dan yang dipahami oleh hatinya. Ketiga akses hidayah ini  tidak berfungsi, sehingga hidayah pun terhalangi masuk. Akibatnya, hati mereka tidak mengetahui hal-hal yang bermanfaat bagi diri mereka sendiri.[5]
سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنْزَلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ﴿١﴾الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

  1. (Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan dia (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalamnya), dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kalian selalu mengingatnya.
  2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh , jika kalian beriman kepada Allâh dan hari akhirat. Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman [An-Nur/24:1–2]

RINGKASAN TAFSIR

 “ (Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan,” Ini adalah surat yang termasuk Kitab Allâh, Kami turunkan kepada hamba Kami dan Rasul Kami, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . “Dan Kami wajibkan dia,” kami wajibkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya kepada umat Islam. “Dan Kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kalian selalu mengingatnya,” yaitu agar kalian bisa mengambil pelajaran dan mengamalkan kandungan surat ini yang berupa perintah, larangan, adab dan akhlak.

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,” maksudnya barangsiapa berzina dengan seorang laki-laki dan keduanya merdeka (bukan budak), belum menikah dan tidak dimiliki oleh orang lain, “maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera,” maksudnya pukulah di kulit punggungnya dengan tongkat yang tidak menyebabkan luka, tidak mematahkan tulang dan tidak mememarkan. Dan ditambahkan di dalam hadits, dengan hukuman pengasingan selama satu tahun.


“Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh ,” maksudnya janganlah kalian merasa kasihan kepada mereka berdua sehingga kalian membatalkan hudud (hukuman yang telah ditetapkan oleh Allâh )[1] dan kalian menahan mereka berdua untuk mendapatkan pembersihan dosa dengan hudud ini, karena hudud adalah penghapus dosa untuk para pelakunya.

“Jika kalian beriman kepada Allâh  dan hari akhirat,” maksudnya adalah laksanakanlah oleh kalian hudud tersebut kepada mereka berdua.

“Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman,” maksudnya pelaksanaan tersebut disaksikan oleh tiga orang atau lebih. Jika disaksikan oleh empat orang maka itu lebih utama, karena persaksian dalam perzinaan hanya bisa ditetapkan dengan empat orang saksi. Jika jumlahnya lebih banyak maka lebih utama.[2]

PENJABARAN AYAT

Firman Allâh Azza wa Jalla :

سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنْزَلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan dia (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalamnya), dan Kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kalian selalu mengingatnya.

Satu surat” maksudnya, surat an-Nûr ini.

Perkataan Allâh Azza wa Jalla :

أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا

“Yang Kami turunkan dan Kami wajibkan dia” terdapat dua qiraat. Ibnu Katsir dan Abu ‘Amr membacanya dengan râ’ yang ditasydid, yaitu:

أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَّضْنَاهَا

Adapun yang lainnya membaca dengan tanpa ditasydid, seperti dicantumkan di atas.

APAKAH TERJADI PERBEDAAN MAKNA?

Sebagian Ulama tafsir memandang terdapat perbedaan antara arti keduanya. Jika dibaca (وَفَرَضْنَاهَا) maka artinya adalah Kami wajibkan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya dan kami wajibkan untuk diamalkan. Sedangkan makna dari (وَفَرَّضْنَاهَا) adalah Kami rincikan dan jelaskan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya.

Dan sebagian Ulama tafsir memandang tidak ada perbedaan makna dari keduanya, yang berarti Kami wajibkan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya dan kami wajibkan untuk diamalkan. Hanya saja lafaz yang kedua, yaitu (وَفَرَّضْنَاهَا) menunjukkan bahwa kewajiban yang terdapat di dalam surat ini sangat banyak.[3] Karena memang kita dapatkan banyak sekali hukum-hukum yang terkandung dalam surat ini. Di antara hukum yang disebutkan adalah: hukuman bagi orang yang berzina, orang yang menuduh orang lain berzina, saling melaknat, hukum memasuki rumah seseorang, menundukkan pandangan, pernikahan, aurat dll.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.”

SIAPAKAH ORANG YANG BERZINA YANG DIMAKSUD DALAM AYAT INI?

Yang dimaksud dalam ayat ini adalah pezina yang belum pernah menikah, karena itu disebutkan hukumannya yaitu didera (dipukul/dicambuk) sebanyak 100 kali. Adapun untuk orang yang sudah menikah maka hukumannya dirajam.

HUKUMAN BAGI ORANG YANG BERZINA YANG BELUM MENIKAH

Para Ulama sepakat bahwa orang yang berzina yang belum menikah dihukum dengan 100 kali dera, tetapi mereka berselisih pendapat tentang penambahan hukuman pengasingan di daerah lain selama satu tahun. Jumhur Ulama memandang bahwa selain didera sebanyak 100 kali maka dia juga harus diasingkan ke daerah lain selama satu tahun. Namun, Abu Hanifah t berpendapat bahwa pengasingan selama setahun itu adalah hukuman yang ditentukan oleh sang hakim. Jika hakim memandang perlu untuk dilakukan maka dilaksanakan pengasingan dan jika tidak, maka tidak dilaksanakan.


Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur Ulama, karena pengasingan disebutkan dalam beberapa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , di antaranya adalah:

Hadits Pertama: Hadits Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Radhiyallahu anhuma, beliau berdua berkata:

كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: أَنْشُدُكَ اللَّهَ إِلاَّ قَضَيْتَ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللهِ, فَقَامَ خَصْمُهُ وكَانَ أَفْقَهَ مِنْهُ فَقَالَ: اقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللهِ وَأْذَنْ لِي؟ قَالَ: قُلْ. قَالَ: إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا عَلَى هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِئَةِ شَاةٍ وَخَادِمٍ, ثُمَّ سَأَلْتُ رِجَالاً مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّ عَلَى ابْنِي جَلْدَ مِئَةٍ وَتَغْرِيبَ عَامٍ، وَعَلَى امْرَأَتِهِ الرَّجْمَ. فَقَالَ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم-: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللهِ -جَلَّ ذِكْرُهُ- الْمِائَةُ شَاةٍ وَالْخَادِمُ رَدٌّ، وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِئَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ. وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا. فَغَدَا عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا.

“Dulu kami berada di sisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdirilah seorang laki-laki dan berkata, ‘Saya memohon kepadamu dengan mengangkat suaraku agar engkau menghukumi di antara kami dengan menggunakan Kitab Allâh . Kemudian berdirilah orang yang berselisih dengannya – dan dia lebih paham darinya – dan berkata, ‘Hukumilah kami dengan menggunakan Kitab Allâh  dan izinkanlah saya berbicara!’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Bicaralah!’ Dia berkata, ‘Sesungguhnya anakku dipekerjakan oleh orang ini kemudian dia berzina dengan istrinya. lalu saya menebusnya dengan 100 ekor kambing dan seorang pembantu. Kemudian saya bertanya kepada para lelaki di kalangan ahli ilmu bahwa hukuman bagi anakku adalah didera sebanyak 100 kali dan diasingkan selama setahun dan hukuman untuk istrinya adalah dirajam.’ Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  berkata, “Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, saya akan menghukumi antara kalian dengan Kitab Allâh  -jalla dzikruhu-. Adapun 100 ekor kambing dan pembantu maka dikembalikan (kepadamu), hukuman untuk anakmu adalah didera sebanyak 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Pergilah ya Unais ke istri orang ini! Apabila dia mengakuinya maka rajamlah dia!’ Kemudian Unais pun pergi menemuinya dan dia mengakuinya, kemudian dia merajamnya.” [4]

Hadits Kedua: Hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:

خُذُوا عَنِّى, خُذُوا عَنِّى, قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً. الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْىُ سَنَةٍ, وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ.

“Ambillah dariku! Ambillah dariku! Sesungguhnya Allâh  telah menjadikan untuk mereka (para wanita yang berzina) jalan keluar [5]. Perzinaan antara yang belum menikah dengan yang belum menikah adalah didera sebanyak 100 kali dan diasingkan selama setahun, sedangkan perzinaan antara orang yang sudah menikah dengan yang sudah menikah adalah didera sebanyak 100 kali dan dirajam.” [6]

Dengan kedua hadits di atas kita memahami bahwa hukuman bagi orang yang berzina yang belum menikah adalah didera sebanyak 100 kali dan diasingkan ke negeri lain selama satu tahun dan hukuman bagi orang yang berzina yang muhshan adalah dirajam. Orang yang muhshan adalah orang yang sudah menggauli pasangannya setelah terjadi pernikahan yang sah.

BAGAIMANA CARA MENDERANYA?

Para Ulama fiqh sepakat bahwa yang didera atau di-jald/dipukul adalah orang yang sehat dan kuat untuk didera (dipukul) adapun yang tidak kuat maka tidak didera. Kemudian dideranya menggunakan cambuk yang sedang, tidak basah dan tidak juga sangat kering, tidak tipis sehingga tidak menyakiti dan tidak juga tebal sehingga membuat luka. Yang menderanya tidak mengangkat tangannya sampai di atas kepalanya, sehingga terlihat ketiaknya. Kemudian tidak boleh memukul wajah, kelamin dan anggota tubuh yang mematikan (jika dipukul). Menurut Jumhur Ulama pakaian tidak perlu dilepas dan laki-laki didera dengan berdiri sedangkan wanita duduk, sedangkan menurut Imam Malik rahimahullah, pakaiannya harus dilepas dan laki-laki dan wanita didera dengan duduk.[7]

BAGAIMANA CARA PENGASINGANNYA SELAMA SETAHUN?

Menurut madzhab al-Malikiyah, asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah pengasingannya adalah ke tempat yang boleh meng-qashar shalat jika bersafar ke sana atau lebih jauh dari itu. Pendapat inilah yang diamalkan sebelumnya oleh Al-Khulafâ’ Ar-Râsyidîn dan tidak diketahui ada yang menyelisihinya.

Menurut madzhab asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah pengasingan tersebut dilakukan tanpa memenjarakan orang yang diasingkan tersebut, tetapi orang tersebut harus terus diawasi agar tidak kembali ke negerinya. Pengasingan ini dilakukan baik untuk orang yang berzina laki-laki maupun wanita, hanya saja jika dia wanita, maka wanita tersebut harus ditemani oleh mahramnya. Sedangkan menurut madzhab al-Malikiyah pengasingan tersebut disertai dengan memenjarakannya, hanya berlaku untuk laki-laki dan tidak berlaku untuk wanita.[8]

Allâhu a’lam, pendapat asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah lebih cocok dengan yang disebutkan pada zahir hadits.

Adapun di Saudi Arabia, penulis pernah bertanya kepada seorang teman yang beliau adalah penduduk asli kota Madinah, tentang penerapan pengasingan ini, beliau berkata, “Dia dikirim ke kota lain, kemudian dia wajib melaporkan dirinya ke polisi setiap hari dan dia tidak ditahan.” Di negara kita hal seperti ini dikenal dengan istilah “tahanan kota” dan “wajib lapor”.

BAGAIMANA CARA MERAJAMNYA?

Hukuman rajam adalah hukuman dengan dilempar dengan batu oleh orang banyak sampai orang yang dihukum meninggal. Batu yang digunakan adalah batu sebesar genggaman tangan, bukan batu yang sangat besar sehingga cepat meninggalnya dan bukan juga batu yang kecil sehingga terlalu lambat meninggalnya. Ketika melemparkan batu, maka diajuhi dari melempar wajah, karena kemuliaan wajah. Laki-laki yang dirajam, dirajam dalam keadaan berdiri, tidak diikat dan tidak dikubur sampai setengah dadanya. Adapun wanita yang dirajam, dirajam dengan dikubur sampai setengah dadanya agar tidak tersingkap auratnya.

Orang-orang yang melemparnya mengelilingi orang yang akan dirajam, kemudian mereka ber-shaf-shaf. Setelah shaf pertama selesai, dilanjutkan dengan shaf berikutnya. Mereka melemparinya sampai meninggal.[9]

BENARKAH HUKUMAN RAJAM TIDAK ADA DI DALAM AL-QUR’AN?

Allâh Azza wa Jalla pernah menurunkan ayat tentang rajam, kemudian Allâh  hapuskan penulisannya di dalam al-Qur’an, tetapi hukumnya tetap berlaku dan dikerjakan di zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  dan para al-Khulafâ’ ar-Râsyidîn.

Terdapat sebuah atsar dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:

قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ جَالِسٌ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ مُحَمَّدًا -صلى الله عليه وسلم- بِالْحَقِّ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ فَكَانَ مِمَّا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ, قَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا, فَرَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ, فَأَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ مَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِى كِتَابِ اللَّهِ, فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ. وَإِنَّ الرَّجْمَ فِى كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أَحْصَنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوْ الاِعْتِرَافُ.

“Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu pernah berkata ketika beliau duduk di atas mimbar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Sesungguhnya Allâh  telah mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam  dengan haq dan telah menurunkan Al-Kitab kepadanya. Dan dulu yang termasuk yang diturunkan adalah ayat tentang rajam. Kami dulu membacanya, memahami dan mengerti kandungannya. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  pernah menerapkan rajam dan kami juga pernah menerapkannya sepeninggal Beliau. Saya takut jika manusia melalui zaman lama, ada seseorang yang berkata, ‘Kami tidak mendapatkan tentang rajam di Kitab Allâh ,’ sehingga mereka tersesat karena meninggalkan suatu kewajiban yang Allâh  turunkan. Sesungguhnya rajam terdapat di Kitab Allâh , dia adalah kewajiban (yang harus dihukumkan) kepada orang yang berzina yang telah menikah dari kalangan laki-laki dan wanita, apabila telah tegak bukti atau (didapatkan wanita) sedang hamil atau adanya pengakuan (berzina).”[10]

Pada hadits-hadits di atas disebutkan dengan jelas tentang adanya syariat rajam untuk orang yang berzina yang sudah menikah. Begitu pula rajam pernah dilakukan di zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  kepada seorang wanita al-Ghâmidiyah, kepada seorang laki-laki yang bernama Mâ’iz dan kepada yang lainnya.

APAKAH ORANG YANG BERZINA YANG SUDAH MENIKAH JUGA DI DERA SELAIN DIRAJAM?

Para Ulama berbeda pendapat dalam hal ini, menurut madzhab Imam Ahmad, hukuman untuknya ada dua, yang pertama adalah didera, kemudian dirajam. Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu bahwasanya didatangkan kepada beliau seorang wanita bernama Syurâhah yang telah berzina dan dia telah menikah, kemudian beliau menderanya di hari Kamis dan merajamnya di hari Jumat. Kemudian beliau berkata:

جَلَدْتُهَا بِكِتَابِ اللهِ ، وَرَجَمْتُهَا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.

“Saya dera dia dengan Kitab Allâh  dan saya rajam dia dengan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[11]

Adapun madzhab Imam Abu Hanifah, Malik dan Asy-Syafî memandang bahwa orang tersebut tidak perlu didera tetapi langsung dirajam, karena tidak didapatkan dalil dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan rajam dengan dera. Allâhu a’lam. Pendapat yang dipegang oleh Imam Ahmad lebih berhati-hati, karena ini:

Disebutkan pada hadits kedua, hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu anhudi atas bahwasanya orang yang sudah menikah mendapatkan dua hukuman, yaitu didera kemudian dirajam.

Termasuk sunnah dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu(salah satu al-Khulafâ’ ar-Râsyidîn) yang kita diperintahkan untuk mengikutinya.

Tidak ada kabar bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menderanya, tidak menjadi dalil akan tidak adanya dera, karena al-mutsbit muqaddam ‘alan-nâfi (yang menetapkan didahulukan dari yang mentiadakan) Allâhu a’lam.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

“Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh , jika kalian beriman kepada Allâh  dan hari akhirat.”

Para Ulama berselisih pendapat dalam mengartikan “Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh,” di antara pendapat yang disebutkan adalah sebagai berikut [12]:

Janganlah kalian kasihan kepada mereka berdua sehingga kalian mentiadakan dan tidak menegakkan hudud (hukuman yang telah ditetapkan oleh Allâh ). Ini adalah pendapat Mujahid, ‘Ikrimah, ‘Atha’, Sa’id bin Jubair, an-Nakha’i dan asy-Sya’bi rahimahumullâh.

Ini juga sesuai dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:

تَعَافَوُا الْحُدُودَ فِيمَا بَيْنَكُمْ, فَمَا بَلَغَنِى مِنْ حَدٍّ فَقَدْ وَجَبَ

“Saling memaafkanlah kalian di dalam perkara hudud di antara kalian. Adapun jika salah satu hudud telah sampai kepadaku maka hukumnya menjadi wajib.”[13]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  menyatakan bahwa wajib menjalankan hudud jika perkara tersebut sudah sampai kepada sang hakim, sehingga sang hakim tidak boleh menunda-nunda penyelesaiannya.

Janganlah kalian kasihan ketika melaksanakan prosesi hukuman tersebut, sehingga kalian memelankan pukulan, tetapi pukulah dia dengan pukulan yang menyakitkan. Ini adalah pendapat Sa’id bin al-Musayyab dan al-Hasan al-Bashri rahimahumallâh.

Terdapat atsar dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan anaknya yang bernama ‘Ubaidullah, beliau berkata:

أَنَّ جَارِيَةً لِابْنِ عُمَرَ زَنَتْ، فَضَرَبَ رِجْلَيْهَا، -قَالَ نَافِعٌ: أَرَاهُ قَالَ: وَظَهْرَهَا-، قَالَ: قُلْتُ: وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ. قَالَ: يَا بُنَيَّ جَلْدُهَا فِي رَأْسِهَا، وَقَدْ أَوْجَعْتُ حَيْثُ ضَرَبْتُ.

“Sesungguhnya seorang budak wanita Ibnu Umar telah berzina, kemudian beliau memukul kedua kakinya -Nafi’ (perawi hadits) berkata, ‘Menurut saya dia juga berkata, ‘dan punggungnya’.’ (Ubaidullah berkata), Kemudian saya berkata, ‘dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh .’ Kemudian beliau pun mengatakan, ‘Wahai anak kecilku, saya telah men-jald-nya (memukulnya) di kepalanya dan saya telah menyakitinya ketika saya pukul.’.”[14]

Atsar ini menunjukkan bahwa yang lebih tepat adalah pendapat yang kedua (pendapat Sa’id bin al-Musayyab dan al-Hasan al-Bashri), karena ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Umar menggunakan dalil ini ketika terjadi prosesi dera tersebut dan Ibnu ‘Umar tidak mengingkari pemahamannya terhadap ayat tersebut. Allâhu a’lam.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

 “Jika kalian beriman kepada Allâh  dan hari akhirat.

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Lakukanlah hal tersebut, yaitu tegakkanlah hudud kepada orang yang berzina dan keraskanlah ketika memukulnya, tetapi jangan sampai membuat memar, agar dia berhenti dan berhenti juga orang yang melakukan hal serupa dengan perbuatan tersebut.”[15]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Di dalam ayat ini terdapat hukuman kepada orang yang berzina, ketika dia di-jald (didera), maka disaksikan oleh orang-orang. Hukuman ini jika disaksikan oleh orang banyak, maka sangat berguna untuk orang yang berzina agar tidak mengulanginya. Ini jika sebagai bentuk penghinaan atas apa yang telah mereka lakukan jika disaksikan oleh orang banyak.”[16]

Para Ulama berselisih tentang berapa jumlah minimal saksi yang menyaksikan prosesi penghukuman ini, di antara pendapat-pendapat yang disebutkan adalah sebagai berikut[17]:

  • Paling sedikit disaksikan oleh satu orang. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan an-Nakha’i.
  • Paling sedikit disaksikan oleh dua orang. Ini adalah pendapat ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair dan ‘Atha’.
  • Paling sedikit disaksikan oleh tiga orang. Ini adalah pendapat az-Zuhri dan Qatadah.
  • Paling sedikit disaksikan oleh empat orang, karena ini sejumlah saksi dalam persaksian zina. Ini adalah pendapat Malik dan Ibnu Zaid.
  • Paling sedikit disaksikan oleh lima orang. Ini adalah pendapat ar-Rabi’ah. Dan disebutkan pendapat yang lain. Rahimahumullâh al-jamî’.

HUKUMAN BAGI PELAKU ZINA DI AKHIRAT

Orang yang berzina diancam akan diazab oleh Allâh Azza wa Jalla  di neraka dengan azab yang pedih jika dia tidak bertaubat kepada Allâh. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  pernah menceritakan mimpinya kepada para sahabat –dan mimpi beliau layaknya wahyu-. Beliau menceritakan bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibawa oleh dua malaikat, yaitu Jibril dan Mikail untuk menyaksikan berbagai jenis manusia. Kemudian tibalah beliau di sebuah lubang seperti tempat pemanggangan roti, bagian atasnya sempit dan bagian bawahnya luas, di bawahnya dinyalakan api. Ketika api tersebut mendekat atau menyambar maka orang-orang di dalamnya pun terangkat hingga hampir keluar darinya. Kemudian apabila apinya mulai memadam, maka mereka pun kembali masuk di dalamnya. Di dalam lubang itu ada laki-laki dan wanita-wanita telanjang. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bertanya, “Siapakah orang-orang itu?” Tetapi tidak dijawab oleh mereka berdua. Kemudian Beliau pun beralih ke tempat lain. Hingga akhirnya, Malaikat Jibril pun memberitahukan, “Adapun orang-orang yang engkau lihat di lubang tadi, mereka adalah para pezina.”[18]

Demikianlah hukuman yang Allâh  berikan kepada para pezina di akhirat nanti. Akan tetapi, perlu kita pahami, jika seorang muslim berzina dan mati dalam keadaan belum bertaubat dari perbuatan tersebut, maka dia telah melakukan dosa besar, apabila Allâh  ingin mengazabnya maka Allâh  akan azab dia, tetapi jika Allâh  ingin mengampuninya maka itu adalah hak Allâh  untuk mengampuninya. Tetapi selama dia masih beragama Islam, jika ternyata dia masuk ke dalam neraka, maka dia tidak akan kekal di dalamnya, dan akhirnya dia juga akan dimasukkan ke dalam surga.

Dengan demikian kita tidak boleh melontarkan kata-kata yang tidak pantas kepada orang yang telah ketahuan berzina, seperti mengatakan, “Dia itu adalah penghuni neraka,” atau dengan perkataan, “tidak mungkin dia masuk surga.”

Surat an-Nûr memiliki banyak hukum di dalamnya dan Allâh mewajibkan umat Islam untuk mengamalkannya.

Hukuman bagi orang yang berzina yang belum menikah adalah didera/dicambuk sebanyak 100 kali dan diasingkan selama satu tahun di daerah lain yang bisa mengqashar shalat jika bersafar ke sana.

Pengasingannya dilakukan seperti “tahanan kota” dan “wajib lapor”.

Hukuman bagi orang yang berzina yang sudah menggauli pasangannya setelah terjadi pernikahan yang sah adalah dirajam, yaitu dilempar oleh orang banyak dengan batu sampai meninggal. Tetapi sebelum dirajam, maka dia juga didera sebanyak 100 kali, menurut salah satu pendapat.

Adapun di akhirat orang-orang yang berzina akan dimasukkan ke dalam lubang seperti tempat pemanggangan roti, bagian atasnya sempit dan bagian bawahnya luas, di bawahnya dinyalakan api. Ketika api tersebut mendekat atau menyambar maka orang-orang di dalamnya pun terangkat hingga hampir keluar darinya. Kemudian apabila apinya mulai memadam, maka mereka pun kembali masuk di dalamnya. Mereka di sana tidak mengenakan pakaian sehelai pun.

Demikian tulisan ini. Semoga bermanfaat dan kita memohon kepada Allâh agar senantiasa menjaga kita dari fitnah syahwat dan tidaklah menyalurkannya kecuali pada suatu yang dihalalkan oleh Allâh Azza wa Jalla