لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
Sesungguhnya Allâh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allâh mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur`ân) dan al-Hikmah (Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata [Ali-‘Imrân/3: 164]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah insan yang terbaik, memiliki budi pekerti yang paling luhur, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung [al-Qalam/68:4]
Demikian juga, petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik petunjuk. Beliau n bersabda:
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Sesungguhnya sebaik-baik berita adalah kitab Allâh, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru (dalam agama), dan semua bid’ah adalah kesesatan. [HR.Muslim no. 864]
Allâh Azza wa Jalla berfirman menjelaskan kaedah yang sangat agung ini dalam firman-Nya:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allâh [al-Ahzâb/33:21]
Walaupun ayat ini turun ketika di dalam keadaan perang Ahzâb, akan tetapi hukumnya umum meliputi keadaan kapan saja dan dalam hal apa saja. Atas dasar itu, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Ayat yang mulia ini merupakan fondasi/dalil yang agung dalam meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua perkataan, perbuatan, dan keadaan beliau. Orang-orang diperintahkan meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Ahzâb, dalam kesabaran, usaha bersabar, istiqomah, perjuangan, dan penantian beliau terhadap pertolongan dari Rabbnya. Semoga sholawat dan salam selalu dilimpahkan kepada beliau sampai hari Pembalasan”. [Tafsir Ibnu Katsir, 6/391, penerbit: Daru Thayyibah]
Demikian juga Syaikh Abdur Rahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan kaedah menaladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dengan menyatakan, “Para Ulama ushul (fiqih) berdalil (menggunakan) dengan ayat ini untuk berhujjah dengan perbuatan-perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bahwa (hukum asal) umat beliau adalah meneladani (beliau) dalam semua hukum, kecuali perkara-perkara yang ditunjukkan oleh dalil syari’at sebagai kekhususan bagi beliau. Kemudian uswah (teladan) itu ada dua: uswah hasanah (teladan yang baik) dan uswah sayyi`ah (teladan yang buruk).
Uswah hasanah (teladan yang baik) ada pada diri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena orang yang meneladani beliau adalah orang yang menapaki jalan yang akan menghantarkan menuju kemuliaan dari Allâh Azza wa Jalla , dan itu adalah shirâthâl mustaqîm (jalan yang lurus).
Adapun meneladani (mengikuti orang) selain beliau, jika menyelisihi beliau, maka dia adalah uswah sayyi`ah (teladan yang buruk). Sebagaimana perkataan orang-orang kafir ketika diajak oleh para rasul untuk meneladani mereka, (namun orang-orang kafir itu mengatakan):
إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ
Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka. [Az-Zukhruf/43:22]
Orang yang mengikuti uswah hasanah (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dan mendapatkan taufik ini hanyalah orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari Kiamat. Karena keimanan yang ada padanya, demikian juga rasa takut kepada Allâh Azza wa Jalla , dan mengharapkan pahala-Nya, serta takut terhadap siksa-Nya, (semua itu) mendorongnya untuk meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. [Taisîr Karîmir Rahmân, surat al-Ahzâb/33:21]
عَنْ عُرْوَةَ قَالَ:” دَخَلَتِ امْرَأَةُ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ – أَحْسِبُ اسْمَهَا خَوْلَةَ بِنْتَ حَكِيمٍ – عَلَى عَائِشَةَ وَهِىَ بَاذَّةُ الْهَيْئَةِ فَسَأَلَتْهَا:”مَا شَأْنُكِ ؟”. فَقَالَتْ :”زَوْجِى يَقُومُ اللَّيْلَ وَيَصُومُ النَّهَارَ”. فَدَخَلَ النَّبِىُّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَذَكَرَتْ عَائِشَةُ ذَلِكَ لَهُ فَلَقِىَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عُثْمَانَ فَقَالَ :”يَا عُثْمَانُ إِنَّ الرَّهْبَانِيَّةَ لَمْ تُكْتَبْ عَلَيْنَا أَفَمَا لَكَ فِىَّ أُسْوَةٌ فَوَاللَّهِ إِنِّى أَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَحْفَظُكُمْ لِحُدُودِهِ “.
Dari ‘Urwah, dia berkata, “Istri ‘Utsmân bin Mazh’ûn – menurutku namanya adalah Khaulah binti Hakîm- menemui ‘Aisyah dengan pakaian seadanya. ‘Aisyah bertanya kepadanya, “Kenapa engkau ini?” Dia menjawab, “Suamiku selalu (sibuk) sholat malam dan berpuasa di siang hari”. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk, ‘Aisyah pun menyampaikan hal itu kepada beliau. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui ‘Utsmân seraya berkata, “‘Utsmân, sesungguhnya kependetaan tidak diwajibkan atas kita. Tidakkah pada diriku terdapat uswah (teladan) bagimu? Demi Allâh, aku adalah orang yang paling takut kepada Allâh dan orang yang paling menjaga hukum-hukumNya di antara kamu’. [HR. Ahmad dan dishahîhkan oleh al-Albâni dalam Silsilah ash-Shahîhah no.1782]
Allâhu Akbar, alangkah lembutnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur Sahabat ini, “Utsmân, sesungguhnya kependetaan tidak diwajibkan atas kita. Tidakkah pada diriku terdapat uswah (teladan) bagimu?”
Wahai orang-orang yang menelantarkan keluarganya dengan alasan dakwah dan memikirkan umat, tidakkah pada diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat uswah (teladan) bagi kalian?”
Wahai, orang-orang yang membuat-buat ibadah sendiri, tanpa tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dengan hanya mengikuti seorang ustadz, kyai dan figur tertentu saja, tidakkah pada diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat uswah (teladan) bagi kalian?”
Marilah kita perhatikan kejadian berikut ini:
Sahabat ‘Ubaid bin Khâalid al-Muharibi Radhiyallahu anhu berkata:
إِنِّي لَبِسُوقِ ذِي الْمَجَازِ عَلَيَّ بُرْدَةٌ لِي مَلْحَاءُ أَسْحَبُهَا قَالَ فَطَعَنَنِي رَجُلٌ بِمِخْصَرَةٍ فَقَالَ ارْفَعْ إِزَارَكَ فَإِنَّهُ أَبْقَى وَأَنْقَى( أَمَا لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ ) فَنَظَرْتُ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَظَرْتُ فَإِذَا إِزَارُهُ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ
Aku berada di pasar Dzil Majâz mengenakan burdah (semacam selimut) bergaris-garis hitam dan putih milikku dengan menyeretnya. Lalu seorang laki-laki menekanku dengan tongkatnya, sambil berkata: “Angkatlah sarungmu, itu (akan membuatnya) lebih awet dan lebih bersih. (Tidakkah pada diriku terdapat teladan baik bagimu?)”. Lalu aku melihatnya, ternyata dia (lelaki itu) adalah Rasûlullâh, lalu aku memandang ternyata sarung beliau sampai pertengahan kedua betis beliau. [HR. Ahmad, no:22007; tambahan dalam kurung riwayat at-Tirmidzi dalam asy-Syamâil]
Maka, orang-orang yang sengaja memanjangkan sarung atau celananya melebihi mata kaki, dengan alasan tidak sombong, dengan dalih Sahabat Abu Bakar Radhiyallahu anhu juga melakukannya tanpa kesombongan, tidakkah pada diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat uswah (teladan) bagi mereka?”
Padahal, Sahabat Abu Bakar Radhiyallahu anhu selalu menjaga diri untuk tidak isbal, beliau tidak sengaja melakukan isbal. Oleh karenanya, mendapatkan rekomendasi dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia tidak melakukannya karena sombong!
Ibnu ‘Umar berkata:
مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ فَرَفَعْتُهُ ثُمَّ قَالَ زِدْ فَزِدْتُ فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ إِلَى أَيْنَ فَقَالَ أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ
Aku melewati Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan sarungku turun, maka beliau bersabda: “Wahai ‘Abdullâh, angkatlah sarungmu!”, maka aku mengangkatnya. Lalu beliau bersabda; “Tambahlah (Naikkan lagi)!” Maka aku menambahkan (menaikkannya lagi). Setelah itu aku selalu menjaganya.” Sebagian orang bertanya: “Sampai mana?” Ibnu ‘Umar berkata: “Pertengahan betis”. [HR. Muslim, no: 2086. Riyâdhus Shâlihîn, no: 800]
Pada riwayat Imam Ahmad rahimahullah disebutkan, Zaid bin Aslam berkata: bahwa Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu bercerita, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya memakai sarung baru, kemudian beliau bertanya: “Siapa ini?” Aku menjawab: “’Abdullâh”. Beliau bersabda: “Jika engkau ‘Abdullâh, maka angkatlah sarungmu!”, maka aku mengangkatnya. Kemudian beliau bersabda; “Tambahlah (Naikkan lagi)!” Maka aku menaikkannya sehingga sampai pertengahan betis”. Kemudian beliau menoleh kepada Abu Bakar sambil bersabda: “Barangsiapa menyeret pakaiannya karena ke sombongan, Allâh tidak akan melihatnya pada hari Kiamat”. Lalu Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya terkadang sarungku turun”. Maka Nabi bersabda: “Engkau tidak termasuk mereka”. [HR. Ahmad, no: 6056]
Namun Anda, wahai orang yang memanjangkan celana sampai menutupi mata kaki, sengaja melakukannya, tidak menjaga dengan menaikkannya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan rekomendasi kepada Anda bahwa anda tidak sombong! Jika Anda beranggapan diri Anda seperti Abu Bakar Radhiyallahu anhu – insan terbaik dari umat ini setelah Nabinya- maka alangkah besarnya kesombongan Anda!
Tidakkah Anda mengetahui bahwa isbal merupakan kesombongan atau sarana menuju kesombongan. Marilah kita perhatikan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jâbir bin Sulaim Radhyiallahu anhu di bawah ini:
وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ
Angkatlah sarungmu sampai pertengahan betis, jika engkau enggan maka sampai kedua mata kaki. Janganlah engkau menjulurkan kain sarung, karena sesungguhnya itu termasuk kesombongan, dan Allâh tidak menyukai kesombongan. [HR.Abu Dâwud, no: 4084, dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni]
PRAKTEK SAHABAT NABI TERHADAP KAEDAH DI ATAS
Para Sahabat Radhiyallahu anhu juga mengikuti pemahaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berhujjah dengan ayat yang artinya “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu”. Contoh bagaimana mereka mengaplikasikan kaedah agung ini sangat banyak, berikut beberapa permisalannya.
Marilah kita amati sikap ‘Abdullâh bin ‘Umar Radhayallahu anhu yang tertuang dalam riwayat berikut:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّهُ قَالَ: ” كُنْتُ أَسِيرُ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بِطَرِيقِ مَكَّةَ “. فَقَالَ سَعِيدٌ : “فَلَمَّا خَشِيتُ الصُّبْحَ نَزَلْتُ فَأَوْتَرْتُ ، ثُمَّ لَحِقْتُهُ”. فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ : “أَيْنَ كُنْتَ ؟”. فَقُلْتُ : “خَشِيتُ الصُّبْحَ ، فَنَزَلْتُ فَأَوْتَرْتُ “.. فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ:” أَلَيْسَ لَكَ فِى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ ؟” فَقُلْتُ :”بَلَى وَاللَّهِ “. قَالَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُوتِرُ عَلَى الْبَعِيرِ“.
Dari Sa’îd bin Yasâr, dia berkata, “(Pernah) aku pergi bersama ‘Abdullâh bin ‘Umar di suatu jalan di kota Mekah. Ketika aku khawatir (masuk waktu) Subuh, aku turun (dari ontaku, lalu aku mengerjakan shalat witir, kemudian aku menyusulnya”. ‘Abdullâh bin ‘Umar bertanya, ‘Dimana saja engkau?’ Aku menjawab,”‘Aku khawatir (masuk waktu) Subuh, aku turun (dari ontaku) untuk mengerjakan sholat witir”. ‘Abdullâh bin ‘Umar berkata, “Tidakkah pada diri Rasûlullâh terdapat uswah (teladan baik) bagimu?” Maka aku menjawab, ‘Ya, demi Allâh’. ‘Abdullâh bin ‘Umar berkata, ‘Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan sholat witir di atas onta’. [HR. al-Bukhari, no. 999]
Contoh lain, berkait dengan ketulusan Sahabat Nabi menerima kebenaran ketika diingatkan dengan kaedah yang agung ini. Karena kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti. Lihatlah kisah yang menakjubkan di bawah ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ طَافَ مَعَ مُعَاوِيَةَ بِالْبَيْتِ فَجَعَلَ مُعَاوِيَةُ يَسْتَلِمُ الْأَرْكَانَ كُلَّهَا فَقَالَ لَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ لِمَ تَسْتَلِمُ هَذَيْنِ الرُّكْنَيْنِ وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَلِمُهُمَا فَقَالَ مُعَاوِيَةُ لَيْسَ شَيْءٌ مِنْ الْبَيْتِ مَهْجُورًا فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ { لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ } فَقَالَ مُعَاوِيَةُ صَدَقْتَ.
Dari Ibnu ‘Abbâs, dia mengerjakan tawaf di Baitullâh bersama Mu’âwiyah. Lalu Mu’âwiyah mulai menyentuh semua sudutnya (sudut Ka’bah). Maka Ibnu ‘Abbâs berkata kepadanya, “Mengapa Anda menyentuh dua pojok (Syami) ini, padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh keduanya?”. Mu’awiyah menjawab, “Tidak ada sesuatu (pojok) dari Baitullâh ini yang ditinggalkan!”. Maka Ibnu ‘Abbâs berkata kepadanya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu”. Maka Mu’âwiyah berkata, “Engkau benar!”. [HR. Ahmad, no. 1877]
Mu’âwiyah bin Abu Sufyân Radhiyallahu anhu, salah seorang Sahabat penulis wahyu di masa kenabian, penguasa di zamannya, raja pertama dan terbaik di antara umat ini, beliau tidak malu menerima kebenaran dari Sahabat yang usianya di bawahnya, yaitu Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu, karena memang “sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagi orang beriman”, maka selayaknya kita tidak malu untuk terbuka menerima kepada kebenaran. Karena berpaling dari kesalahan untuk kembali kepada kebenaran adalah keutamaan, bukan kehinaan.
PRAKTEK ULAMA TERHADAP KAEDAH DI ATAS
Bukan hanya generasi Sahabat saja yang menjunjung tinggi keteladanan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kehidupan mereka, generasi-generasi berikutnya pun juga berjalan di atas jalan mereka (para Sahabat) yang baik itu. Marilah kita perhatikan bagaimana sikap Imam Mâlik bin Anas Radhiyallahu anhu , terhadap orang yang menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kisah berikut ini:
Sufyân bin ‘Uyainah rahimahullah berkata: “Imam Mâlik rahimahullah didatangi seorang lelaki, lalu bertanya: “Wahai Abu ‘Abdullâh, dari mana aku memulai ihrom?” Beliau menjawab: “Dari Dzul Hulaifah, tempat berihrom Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Lelaki tadi berkata: “Aku ingin berihrom dari masjid di dekat kubur (saja)”. Imam Mâlik rahimahullah berkata: “Jangan engkau lakukan (itu), aku khawatir musibah akan menimpamu”. Dia menjawab: “Musibah apa?” Imam Malik rahimahullah berkata: “Apakah ada musibah yang lebih besar dari anggapanmu bahwa engkau meraih keutamaan yang tidak dapat diraih oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Sesungguhnya aku mendengar Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-nya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (an-Nûr/24:63). [Riwayat al-Khathîb dalam al-Faqîh wal Mutafaqqih, 1/148; dll. Lihat ‘Ilmu Ushûl Bida’, hlm. 72]
Semoga Allâh Azza wa Jalla merahmati Imam Mâlik rahimahullah, yang telah memberikan contoh mulia dalam menasehati umat agar tetap mengikuti teladan terbaik mereka.
Dengan sedikit penjelasan dan contoh-contoh di atas maka sepantasnya kita bertanya kepada diri kita, “Sudahkan kita menjadikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai uswah hasanah bagi kita, dalam seluruh sisi kehidupan?”. Jika ya, maka marilah berharap dan memohon Allâh Azza wa Jalla mencurahkan rahmat-Nya dan balasan baik di akherat. Jika tidak (belum), maka kita perlu memperbaiki diri kita ke arah yang lebih baik. Semoga Allâh selalu membimbing kita di atas jalan-Nya yang lurus.