This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Senin, 25 Juli 2022

Koreksi Diri Dan Mintalah Ampunan kepada Allah Swt

Allah SWT menciptakan manusia dengan keadaan yang sempurna serta mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Manusia dikaruniai akal oleh Allah SWT yang fungsinya untuk berpikir.

Semua umat islam berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik dan mendapatkan ridlo-Nya, salah satunya dengan melakukan muhasabah / introspeksi / mengoreksi diri sendiri, hal ini bertujuan untuk memperkirakan lebih banyak mana amal baik yang kita lakukan dari pada dosa yang kita lakukan.

Seluruh manusia tidak akan terlepas dari dosa dan kesalahan, bisikan syaitan senantiasa dihembus-hembuskan di telinga anak Adam. Jeratan syubhat dan rayuan syahwat senantiasa membayangi setiap langkah kehidupan manusia. Hingga tidak akan ada sosok manusia yang suci dari dosa dan kesalahan. Dosa sudah menjadi watak dan tabiat manusia.

Namun Allah selalu membuka lebar-lebar ampunan untuk semua hambanya yang mau bertaubat dan berubah menjadi lebih baik, Salah satu bukti kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, Allah membuka pintu ampunan dan taubat bagi seluruh hamba-Nya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah, wahai para hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri-diri mereka sendiri, janganlah kalian putus asa terhadap rahmat dari Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni seluruh dosa, sungguh Dialah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Az Zumar : 53).

Allah Ta’ala mengampuni setiap dosa seorang hamba, jika hamba tersebut bertaubat kepada Allah, dengan taubat yang hakiki. Bahkan, Allah Ta’ala mengampuni dosa yang paling besar sekalipun, yaitu dosa syirik, selama orang tersebut ikhlas bertaubat kepada Allah. Bukankah para Sahabat radhiyallahu ‘anhum, dahulunya adalah orang-orang yang tenggelam dalam lumpur kemusyrikan, tenggelam dalam kubangan dosa dan kemaksiatan. Namun, dengan sebab taubat mereka Allah Ta’ala pun mengangkat kedudukan atau derajat mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda dalam hadits qudsy, Allah Ta’ala berfirman : “Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa di siang dan malam hari, dan Aku akan mengampuni seluruh dosa, maka minta ampunlah kepada-Ku, niscaya akan Aku ampuni dosa-dosa kalian” (HR. Muslim).

Allah Ta’ala berfirman : “Bersegeralah menuju ampunan dari Rabb kalian dan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang dipersiapkan bagi orang-orang yang beriman” (QS. Ali ‘Imran : 133).

Taubat memiliki syarat-syarat. Setidaknya ada tiga syarat taubat jika dosa tersebut berupa pelanggaran terhadap hak Allah Ta’ala. Pertama : Seseorang dikatakan bertaubat dari sebuah dosa jika dia berhenti mengerjakannya. Kedua : Taubat tidak akan pernah ada tanpa diawali dengan rasa penyesalan. Seandainya seorang yang bertaubat tidak menyesali dosa yang dia lakukan, maka hal ini menunjukkan bahwa dirinya ridha dan menikmati dosa tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Penyesalan adalah taubat” (HR. Ibnu Majah, Shahih). Ketiga : Bertekad kuat untuk tidak mengulangi dosa tersebut pada kesempatan yang lain.

Sungguh betapa sombongnya diri kita, seandainya kita enggan memohon ampun kepada Allah Ta’ala. Orang-orang sholeh terdahulu adalah orang yang selalu membasahi lisan mereka dengan istighfar.

Dalam perjalanan hidup di dunia, tentunya seorang muslim tidak akan lepas dari kesalahan dan dosa sebagai akibat hawa nafsu yang diperturutkan. Selain itu, buah pemikiran yang dihasilkan manusia, yang dibangga-banggakan oleh pemiliknya, tidak jarang yang menyelisihi kebenaran, tidak sedikit yang bertentangan dengan ajaran yang ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. Oleh karenanya, seiring waktu yang diberikan Allah kepada manusia di dunia, sepatutnya dipergunakan untuk mengintrospeksi segala perilaku dan pemikiran yang dia miliki, sehingga mendorongnya untuk mengoreksi diri ke arah yang lebih baik.

Introspeksi Diri, Akhlak yang Terlupakan, Dalam perjalanan hidup di dunia, tentunya seorang muslim tidak akan lepas dari kesalahan dan dosa sebagai akibat hawa nafsu yang diperturutkan. Selain itu, buah pemikiran yang dihasilkan manusia, yang dibangga-banggakan oleh pemiliknya, tidak jarang yang menyelisihi kebenaran, tidak sedikit yang bertentangan dengan ajaran yang ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. Oleh karenanya, seiring waktu yang diberikan Allah kepada manusia di dunia, sepatutnya dipergunakan untuk mengintrospeksi segala perilaku dan pemikiran yang dia miliki, sehingga mendorongnya untuk mengoreksi diri ke arah yang lebih baik.

Introspeksi, Pintu untuk Mengoreksi Diri

Di dalam kitab Shahih-nya, imam Bukhari membuka salah satu bab kitab ash-Shaum dengan perkataan Abu az-Zinad,

إن السنن ووجوه الحق لتأتي كثيرًا على خلاف الرأي

“Sesungguhnya mayoritas sunnah dan kebenaran bertentangan dengan pendapat pribadi” (HR. Bukhari).

Memang benar apa yang dikatakan beliau, betapa seringnya seseorang enggan menerima kebenaran karena bertentangan dengan pendapat dan tendensi pribadi. Bukankah dakwah tauhid yang ditawarkan nabi kepada kaum musyrikin, ditolak karena bertolak belakang dengan keinginan pribadi mereka, terutama tokoh-tokoh terpandang di kalangan kaum musyrikin?

Tidak jarang seseorang tidak mampu selamat dari hawa nafsu dan terbebas dari kekeliruan pendapat karena bersikukuh meyakini sesuatu dan tidak mau menerima koreksi. Hal ini tentu berbeda dengan kasus seorang mujtahid yang keliru dalam berijtihad. Ketika syari’at menerangkan bahwa seorang mujtahid yang keliru memperoleh pahala atas ijtihad yang dilakukannya, hal ini bukan berarti mendukung dirinya untuk menutup mata dari kesalahan ijtihad dan bersikukuh memegang pendapat jika telah nyata akan kekeliruannya. Betapa banyak ahli fikih yang berfatwa kemudian rujuk setelah meneliti ulang fatwanya dan melihat bahwa kebenaran berada pada pendapat pihak lain.

Kita bisa mengambil pelajaran dari penolakan para malaikat terhadap kalangan yang hendak datang ke al-Haudh (telaga rasulullah di hari kiamat). Mereka tidak bisa mendatangi al-Haudh dikarenakan dahulu di dunia, mereka termasuk kalangan yang bersikukuh untuk berpegang pada kekeliruan, kesalahan dan kesesatan, padahal kebenaran telah jelas di hadapan mereka. Hal ini ditunjukkan dalam hadits, ketika para malaikat memberikan alasan kepada nabi,

إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ، وَلَمْ يَزَالُوا يَرْجِعُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ، فَأَقُولُ: أَلَا سُحْقًا، سُحْقًا

“Mereka telah mengganti-ganti (ajaranmu) sepeninggalmu” maka kataku: “Menjauhlah sana… menjauhlah sana (kalau begitu)” (Shahih. HR. Ibnu Majah).

Kita dapat melihat bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan kecelakaan kepada mereka, karena enggan untuk melakukan introspeksi, enggan melakukan koreksi dengan menerima kebenaran yang ada di depan mata. Oleh karenanya, evaluasi diri merupakan perantara untuk muhasabah an-nafs, sedangkan koreksi diri merupakan hasil yang pengaruhnya ditandai dengan sikap rujuk dari kemaksiatan dan kekeliruan dalam suatu pendapat dan perbuatan.

Sarana-sarana untuk Mengevaluasi Diri

Diantara sarana yang dapat membantu seseorang untuk mengevaluasi diri adalah sebagai berikut:

Pertama, tidak menutup diri dari saran pihak lain

Seorang dapat terbantu untuk mengevaluasi diri dengan bermusyawarah bersama rekan dengan niat untuk mencari kebenaran. Imam Bukhari mengeluarkan suatu riwayat yang menceritakan usul Umar kepada Abu Bakr radhiallahu anhuma untuk mengumpulkan al-Quran. Tatkala itu Abu Bakr menolak usul tersebut, namun Umar terus mendesak beliau dan mengatakan bahwa hal itu merupakan kebaikan. Pada akhirnya Abu Bakr pun menerima dan mengatakan,

فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي فِيهِ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ لِذَلِكَ صَدْرِي، وَرَأَيْتُ الَّذِي رَأَى عُمَرُ

“Umar senantiasa membujukku untuk mengevaluasi pendapatku dalam permasalahan itu hingga Allah melapangkan hatiku dan akupun berpendapat sebagaimana pendapat Umar” (HR. Bukhari).

Abu Bakr tidak bersikukuh dengan pendapatnya ketika terdapat usulan yang lebih baik. Dan kedudukan beliau yang lebih tinggi tidaklah menghalangi untuk menerima kebenaran dari pihak yang memiliki pendapat berbeda.

Kedua, bersahabat dengan rekan yang shalih

Salah satu sarana bagi seorang muslim untuk tetap berada di jalan yang benar adalah meminta rekan yang shalih untuk menasehati dan mengingatkan kekeliruan kita, meminta masukannya tentang solusi terbaik bagi suatu permasalahan, khususnya ketika orang lain tidak lagi peduli untuk saling mengingatkan. Bukankah selamanya pendapat dan pemikiran kita tidak lebih benar dan terarah daripada rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, padahal beliau bersabda,

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ، أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي

“Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian lupa. Oleh karenanya, ingatkanlah aku ketika diriku lupa” (HR. Bukhari).

Ketika budaya saling menasehati dan mengingatkan tertanam dalam perilaku kaum mukminin, maka seakan-akan mereka itu adalah cermin bagi diri kita yang akan mendorong kita berlaku konsisten. Oleh karena itu, dalam menentukan jalan dan pendapat yang tepat, anda harus berteman dengan seorang yang shalih. Anda jangan mengalihkan pandangan kepada maddahin (kalangan penjilat) yang justru tidak akan mengingatkan akan kekeliruan saudaranya.

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالْأَمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ صِدْقٍ، إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ، وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ

“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi diri seorang pemimpin/pejabat, maka Allah akan memberinya seorang pendamping/pembantu yang jujur yang akan mengingatkan jika dirinya lalai dan akan membantu jika dirinya ingat” (Shahih. HR. Abu Dawud).

Contoh nyata akan hal ini disebutkan dalam kisah al-Hur bin Qais, orang kepercayaan Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu. Pada saat itu, Umar murka dan hendak memukul Uyainah bin Husn karena bertindak kurang ajar kepada beliau, maka al-Hur berkata kepada Umar,

يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِينَ} [الأعراف: 199] ، وَإِنَّ هَذَا مِنَ الجَاهِلِينَ، «وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلاَهَا عَلَيْهِ، وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّهِ»

“Wahai amir al-Mukminin, sesungguhnya Allah ta’ala berfirman kepada nabi-Nya, “Berikan maaf, perintahkan yang baik dan berpalinglah dari orang bodoh.” Sesungguhnya orang ini termasuk orang yang bodoh”. Perawi hadits ini mengatakan, “Demi Allah Umar tidak menentang ayat itu saat dibacakan karena ia adalah orang yang senantiasa tunduk terhadap al-Quran.” (HR. Bukhari).

Betapa banyak kezhaliman dapat dihilangkan dan betapa banyak tindakan yang keliru dapat dikoreksi ketika rekan yang shalih menjalankan perannya.

Ketiga, menyendiri untuk melakukan muhasabah

Salah satu bentuk evaluasi diri yang paling berguna adalah menyendiri untuk melakukan muhasabah dan mengoreksi berbagai amalan yang telah dilakukan.

Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, beliau mengatakan,

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ

“Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (dengan amal shalih) untuk pagelaran agung (pada hari kiamat kelak)” (HR. Tirmidzi).

Diriwayatkan dari Maimun bin Mihran, beliau berkata,

لَا يَكُونُ العَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ

“Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi rekannya” (HR. Tirmidzi).

Jika hal ini dilakukan, niscaya orang yang melaksanakannya akan beruntung. Bukanlah sebuah aib untuk rujuk kepada kebenaran, karena musibah sebenarnya adalah ketika terus-menerus melakukan kebatilan.

Faedah Mengintrospeksi Diri  

Mengintrospeksi diri memiliki beberapa faedah, yaitu:

Pertama, musibah terangkat dan hisab diringankan

Pada lanjutan atsar Umar di atas disebutkan bahwa sebab terangkatnya musibah dan diringankannya hisab di hari kiamat adalah ketika seorang senantiasa bermuhasabah. Umar radhiallahu anhu mengatakan,

وَإِنَّمَا يَخِفُّ الحِسَابُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا

“Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia” (HR. Tirmidzi).

Ketika berbagai kerusakan telah merata di seluruh lini kehidupan, maka jalan keluar dari hal tersebut adalah dengan kembali (rujuk) kepada ajaran agama sebagaimana yang disabdakan nabi shallallahu alaihi wa sallam,

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

“Apabila kamu berjual beli dengan cara inah (riba), mengambil ekor-ekor sapi (berbuat zhalim), ridha dengan pertanian (mementingkan dunia) dan meninggalkan jihad (membela agama), niscaya Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian, Dia tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada ajaran agama”

Dalam riwayat lain, disebutkan dengan lafadz,

حتى يراجعوا دينهم

“Hingga mereka mengoreksi pelaksanaan ajaran agama mereka” (Shahih. HR. Abu Dawud).

Anda dapat memperhatikan bahwa rujuk dengan mengoreksi diri merupakan langkah awal terangkatnya musibah dan kehinaan.

Kedua, hati lapang terhadap kebaikan dan mengutamakan akhirat daripada dunia

Demikian pula, mengoreksi kondisi jiwa dan amal merupakan sebab dilapangkannya hati untuk menerima kebaikan dan mengutamakan kehidupan yang kekal (akhirat) daripada kehidupan yang fana (dunia). Dalam sebuah hadits yang panjang dari Ibnu Mas’ud disebutkan, “Suatu ketika seorang raja yang hidup di masa sebelum kalian berada di kerajaannya dan tengah merenung. Dia menyadari bahwasanya kerajaan yang dimilikinya adalah sesuatu yang tidak kekal dan apa yang ada di dalamnya telah menyibukkan dirinya dari beribadah kepada Allah. Akhirnya, dia pun mengasingkan diri dari kerajaan dan pergi menuju kerajaan lain, dia memperoleh rezeki dari hasil keringat sendiri. Kemudian, raja di negeri tersebut mengetahui perihal dirinya dan kabar akan keshalihannya. Maka, raja itupun pergi menemuinya dan meminta nasehatnya. Sang raja pun berkata kepadanya, “Kebutuhan anda terhadap ibadah yang anda lakukan juga dibutuhkan oleh diriku”. Akhirnya, sang raja turun dari tunggangannya dan mengikatnya, kemudian mengikuti orang tersebut hingga mereka berdua beribadah kepada Allah azza wa jalla bersama-sama” (Hasan. HR. Ahmad).

Perhatikan, kemampuan mereka berdua untuk mengoreksi kekeliruan serta keinginan untuk memperbaiki diri setelah dibutakan oleh kekuasaan, timbul setelah merenungkan dan mengintrospeksi hakikat kondisi mereka.

Ketiga, memperbaiki hubungan diantara sesama manusia

Introspeksi dan koreksi diri merupakan kesempatan untuk memperbaiki keretakan yang terjadi diantara manusia. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تُفْتَحُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ، فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا، إِلَّا رَجُلٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ: أَنْظِرُوهُمَا حَتَّى يَصْطَلِحَا ” مَرَّتَيْنِ

“Sesungguhnya pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis, di kedua hari tersebut seluruh hamba diampuni kecuali mereka yang memiliki permusuhan dengan saudaranya. Maka dikatakan, “Tangguhkan ampunan bagi kedua orang ini hingga mereka berdamai” (Sanadnya shahih. HR. Ahmad).

Menurut anda, bukankah penangguhan ampunan bagi mereka yang bermusuhan, tidak lain disebabkan karena mereka enggan untuk mengoreksi diri sehingga mendorong mereka untuk berdamai?

Keempat, terbebas dari sifat nifak

Sering mengevaluasi diri untuk kemudian mengoreksi amalan yang telah dilakukan merupakan salah satu sebab yang dapat menjauhkan diri dari sifat munafik. Ibrahim at-Taimy mengatakan,

مَا عَرَضْتُ قَوْلِي عَلَى عَمَلِي إِلَّا خَشِيتُ أَنْ أَكُونَ مُكَذِّبًا

“Tidaklah diriku membandingkan antara ucapan dan perbuatanku, melainkan saya khawatir jika ternyata diriku adalah seorang pendusta (ucapannya menyelisihi perbuatannya).”

Ibnu Abi Malikah juga berkata,

أَدْرَكْتُ ثَلاَثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ، مَا مِنْهُمْ أَحَدٌ يَقُولُ: إِنَّهُ عَلَى إِيمَانِ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ

“Aku menjumpai 30 sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, merasa semua mengkhawatirkan kemunafikan atas diri mereka. Tidak ada satupun dari mereka yang mengatakan bahwa keimanannya seperti keimanan Jibril dan Mikail” (HR. Bukhari).

Ketika mengomentari perkataan Ibnu Abi Malikah, Ibnu Hajar mengutip perkataan Ibnu Baththal yang menyatakan,

إِنَّمَا خَافُوا لِأَنَّهُمْ طَالَتْ أَعْمَارُهُمْ حَتَّى رَأَوْا مِنَ التَّغَيُّرِ مَا لَمْ يَعْهَدُوهُ وَلَمْ يَقْدِرُوا عَلَى إِنْكَارِهِ فَخَافُوا أَنْ يَكُونُوا دَاهَنُوا بِالسُّكُوتِ

“Mereka khawatir karena telah memiliki umur yang panjang hingga mereka melihat berbagai kejadian yang tidak mereka ketahui dan tidak mampu mereka ingkari, sehingga mereka khawatir jika mereka menjadi seorang penjilat dengan sikap diamnya” (Fath al-Baari 1/111).

Kesimpulannya, seorang muslim sepatutnya mengakui bahwa dirinya adalah tempatnya salah dan harus mencamkan bahwa tidak mungkin dia terbebas dari kesalahan. Pengakuan ini mesti ada di dalam dirinya, agar dia dapat mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukannya sehingga pintu untuk mengoreksi diri tidak tertutup bagi dirinya. Allah ta’ala berfirman,

إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم

“Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum sampai mereka mengubahnya sendiri” (Al-Ra`d 11).

Manusia merupakan makhluk yang lemah,  betapa seringnya dia memiliki pendirian dan sikap yang berubah-ubah. Namun, betapa beruntungnya mereka yang dinaungi ajaran agama dengan mengevaluasi diri untuk berbuat yang tepat dan mengoreksi diri sehingga melakukan sesuatu yang diridhai Allah. Sesungguhnya rujuk kepada kebenaran merupakan perilaku orang-orang yang kembali kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.

Referensi sebagai berikut ini ; 













Introspeksi Diri, Akhlak yang Terlupakan

Introspeksi Diri, Akhlak yang Terlupakan, Dalam perjalanan hidup di dunia, tentunya seorang muslim tidak akan lepas dari kesalahan dan dosa sebagai akibat hawa nafsu yang diperturutkan. Selain itu, buah pemikiran yang dihasilkan manusia, yang dibangga-banggakan oleh pemiliknya, tidak jarang yang menyelisihi kebenaran, tidak sedikit yang bertentangan dengan ajaran yang ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. Oleh karenanya, seiring waktu yang diberikan Allah kepada manusia di dunia, sepatutnya dipergunakan untuk mengintrospeksi segala perilaku dan pemikiran yang dia miliki, sehingga mendorongnya untuk mengoreksi diri ke arah yang lebih baik.

Introspeksi, Pintu untuk Mengoreksi Diri

Di dalam kitab Shahih-nya, imam Bukhari membuka salah satu bab kitab ash-Shaum dengan perkataan Abu az-Zinad,

إن السنن ووجوه الحق لتأتي كثيرًا على خلاف الرأي

“Sesungguhnya mayoritas sunnah dan kebenaran bertentangan dengan pendapat pribadi” (HR. Bukhari).

Memang benar apa yang dikatakan beliau, betapa seringnya seseorang enggan menerima kebenaran karena bertentangan dengan pendapat dan tendensi pribadi. Bukankah dakwah tauhid yang ditawarkan nabi kepada kaum musyrikin, ditolak karena bertolak belakang dengan keinginan pribadi mereka, terutama tokoh-tokoh terpandang di kalangan kaum musyrikin?

Tidak jarang seseorang tidak mampu selamat dari hawa nafsu dan terbebas dari kekeliruan pendapat karena bersikukuh meyakini sesuatu dan tidak mau menerima koreksi. Hal ini tentu berbeda dengan kasus seorang mujtahid yang keliru dalam berijtihad. Ketika syari’at menerangkan bahwa seorang mujtahid yang keliru memperoleh pahala atas ijtihad yang dilakukannya, hal ini bukan berarti mendukung dirinya untuk menutup mata dari kesalahan ijtihad dan bersikukuh memegang pendapat jika telah nyata akan kekeliruannya. Betapa banyak ahli fikih yang berfatwa kemudian rujuk setelah meneliti ulang fatwanya dan melihat bahwa kebenaran berada pada pendapat pihak lain.

Kita bisa mengambil pelajaran dari penolakan para malaikat terhadap kalangan yang hendak datang ke al-Haudh (telaga rasulullah di hari kiamat). Mereka tidak bisa mendatangi al-Haudh dikarenakan dahulu di dunia, mereka termasuk kalangan yang bersikukuh untuk berpegang pada kekeliruan, kesalahan dan kesesatan, padahal kebenaran telah jelas di hadapan mereka. Hal ini ditunjukkan dalam hadits, ketika para malaikat memberikan alasan kepada nabi,

إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ، وَلَمْ يَزَالُوا يَرْجِعُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ، فَأَقُولُ: أَلَا سُحْقًا، سُحْقًا

“Mereka telah mengganti-ganti (ajaranmu) sepeninggalmu” maka kataku: “Menjauhlah sana… menjauhlah sana (kalau begitu)” (Shahih. HR. Ibnu Majah).

Kita dapat melihat bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan kecelakaan kepada mereka, karena enggan untuk melakukan introspeksi, enggan melakukan koreksi dengan menerima kebenaran yang ada di depan mata. Oleh karenanya, evaluasi diri merupakan perantara untuk muhasabah an-nafs, sedangkan koreksi diri merupakan hasil yang pengaruhnya ditandai dengan sikap rujuk dari kemaksiatan dan kekeliruan dalam suatu pendapat dan perbuatan.

Sarana-sarana untuk Mengevaluasi Diri

Diantara sarana yang dapat membantu seseorang untuk mengevaluasi diri adalah sebagai berikut:

Pertama, tidak menutup diri dari saran pihak lain

Seorang dapat terbantu untuk mengevaluasi diri dengan bermusyawarah bersama rekan dengan niat untuk mencari kebenaran. Imam Bukhari mengeluarkan suatu riwayat yang menceritakan usul Umar kepada Abu Bakr radhiallahu anhuma untuk mengumpulkan al-Quran. Tatkala itu Abu Bakr menolak usul tersebut, namun Umar terus mendesak beliau dan mengatakan bahwa hal itu merupakan kebaikan. Pada akhirnya Abu Bakr pun menerima dan mengatakan,

فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي فِيهِ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ لِذَلِكَ صَدْرِي، وَرَأَيْتُ الَّذِي رَأَى عُمَرُ

“Umar senantiasa membujukku untuk mengevaluasi pendapatku dalam permasalahan itu hingga Allah melapangkan hatiku dan akupun berpendapat sebagaimana pendapat Umar” (HR. Bukhari).

Abu Bakr tidak bersikukuh dengan pendapatnya ketika terdapat usulan yang lebih baik. Dan kedudukan beliau yang lebih tinggi tidaklah menghalangi untuk menerima kebenaran dari pihak yang memiliki pendapat berbeda.

Kedua, bersahabat dengan rekan yang shalih

Salah satu sarana bagi seorang muslim untuk tetap berada di jalan yang benar adalah meminta rekan yang shalih untuk menasehati dan mengingatkan kekeliruan kita, meminta masukannya tentang solusi terbaik bagi suatu permasalahan, khususnya ketika orang lain tidak lagi peduli untuk saling mengingatkan. Bukankah selamanya pendapat dan pemikiran kita tidak lebih benar dan terarah daripada rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, padahal beliau bersabda,

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ، أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي

“Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian lupa. Oleh karenanya, ingatkanlah aku ketika diriku lupa” (HR. Bukhari).

Ketika budaya saling menasehati dan mengingatkan tertanam dalam perilaku kaum mukminin, maka seakan-akan mereka itu adalah cermin bagi diri kita yang akan mendorong kita berlaku konsisten. Oleh karena itu, dalam menentukan jalan dan pendapat yang tepat, anda harus berteman dengan seorang yang shalih. Anda jangan mengalihkan pandangan kepada maddahin (kalangan penjilat) yang justru tidak akan mengingatkan akan kekeliruan saudaranya.

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالْأَمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ صِدْقٍ، إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ، وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ

“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi diri seorang pemimpin/pejabat, maka Allah akan memberinya seorang pendamping/pembantu yang jujur yang akan mengingatkan jika dirinya lalai dan akan membantu jika dirinya ingat” (Shahih. HR. Abu Dawud).

Contoh nyata akan hal ini disebutkan dalam kisah al-Hur bin Qais, orang kepercayaan Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu. Pada saat itu, Umar murka dan hendak memukul Uyainah bin Husn karena bertindak kurang ajar kepada beliau, maka al-Hur berkata kepada Umar,

يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِينَ} [الأعراف: 199] ، وَإِنَّ هَذَا مِنَ الجَاهِلِينَ، «وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلاَهَا عَلَيْهِ، وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّهِ»

“Wahai amir al-Mukminin, sesungguhnya Allah ta’ala berfirman kepada nabi-Nya, “Berikan maaf, perintahkan yang baik dan berpalinglah dari orang bodoh.” Sesungguhnya orang ini termasuk orang yang bodoh”. Perawi hadits ini mengatakan, “Demi Allah Umar tidak menentang ayat itu saat dibacakan karena ia adalah orang yang senantiasa tunduk terhadap al-Quran.” (HR. Bukhari).

Betapa banyak kezhaliman dapat dihilangkan dan betapa banyak tindakan yang keliru dapat dikoreksi ketika rekan yang shalih menjalankan perannya.

Ketiga, menyendiri untuk melakukan muhasabah

Salah satu bentuk evaluasi diri yang paling berguna adalah menyendiri untuk melakukan muhasabah dan mengoreksi berbagai amalan yang telah dilakukan.

Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, beliau mengatakan,

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ

“Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (dengan amal shalih) untuk pagelaran agung (pada hari kiamat kelak)” (HR. Tirmidzi).

Diriwayatkan dari Maimun bin Mihran, beliau berkata,

لَا يَكُونُ العَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ

“Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi rekannya” (HR. Tirmidzi).

Jika hal ini dilakukan, niscaya orang yang melaksanakannya akan beruntung. Bukanlah sebuah aib untuk rujuk kepada kebenaran, karena musibah sebenarnya adalah ketika terus-menerus melakukan kebatilan.

Faedah Mengintrospeksi Diri  

Mengintrospeksi diri memiliki beberapa faedah, yaitu:

Pertama, musibah terangkat dan hisab diringankan

Pada lanjutan atsar Umar di atas disebutkan bahwa sebab terangkatnya musibah dan diringankannya hisab di hari kiamat adalah ketika seorang senantiasa bermuhasabah. Umar radhiallahu anhu mengatakan,

وَإِنَّمَا يَخِفُّ الحِسَابُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا

“Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia” (HR. Tirmidzi).

Ketika berbagai kerusakan telah merata di seluruh lini kehidupan, maka jalan keluar dari hal tersebut adalah dengan kembali (rujuk) kepada ajaran agama sebagaimana yang disabdakan nabi shallallahu alaihi wa sallam,

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

“Apabila kamu berjual beli dengan cara inah (riba), mengambil ekor-ekor sapi (berbuat zhalim), ridha dengan pertanian (mementingkan dunia) dan meninggalkan jihad (membela agama), niscaya Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian, Dia tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada ajaran agama”

Dalam riwayat lain, disebutkan dengan lafadz,

حتى يراجعوا دينهم

“Hingga mereka mengoreksi pelaksanaan ajaran agama mereka” (Shahih. HR. Abu Dawud).

Anda dapat memperhatikan bahwa rujuk dengan mengoreksi diri merupakan langkah awal terangkatnya musibah dan kehinaan.

Kedua, hati lapang terhadap kebaikan dan mengutamakan akhirat daripada dunia

Demikian pula, mengoreksi kondisi jiwa dan amal merupakan sebab dilapangkannya hati untuk menerima kebaikan dan mengutamakan kehidupan yang kekal (akhirat) daripada kehidupan yang fana (dunia). Dalam sebuah hadits yang panjang dari Ibnu Mas’ud disebutkan, “Suatu ketika seorang raja yang hidup di masa sebelum kalian berada di kerajaannya dan tengah merenung. Dia menyadari bahwasanya kerajaan yang dimilikinya adalah sesuatu yang tidak kekal dan apa yang ada di dalamnya telah menyibukkan dirinya dari beribadah kepada Allah. Akhirnya, dia pun mengasingkan diri dari kerajaan dan pergi menuju kerajaan lain, dia memperoleh rezeki dari hasil keringat sendiri. Kemudian, raja di negeri tersebut mengetahui perihal dirinya dan kabar akan keshalihannya. Maka, raja itupun pergi menemuinya dan meminta nasehatnya. Sang raja pun berkata kepadanya, “Kebutuhan anda terhadap ibadah yang anda lakukan juga dibutuhkan oleh diriku”. Akhirnya, sang raja turun dari tunggangannya dan mengikatnya, kemudian mengikuti orang tersebut hingga mereka berdua beribadah kepada Allah azza wa jalla bersama-sama” (Hasan. HR. Ahmad).

Perhatikan, kemampuan mereka berdua untuk mengoreksi kekeliruan serta keinginan untuk memperbaiki diri setelah dibutakan oleh kekuasaan, timbul setelah merenungkan dan mengintrospeksi hakikat kondisi mereka.

Ketiga, memperbaiki hubungan diantara sesama manusia

Introspeksi dan koreksi diri merupakan kesempatan untuk memperbaiki keretakan yang terjadi diantara manusia. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تُفْتَحُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ، فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا، إِلَّا رَجُلٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ: أَنْظِرُوهُمَا حَتَّى يَصْطَلِحَا ” مَرَّتَيْنِ

“Sesungguhnya pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis, di kedua hari tersebut seluruh hamba diampuni kecuali mereka yang memiliki permusuhan dengan saudaranya. Maka dikatakan, “Tangguhkan ampunan bagi kedua orang ini hingga mereka berdamai” (Sanadnya shahih. HR. Ahmad).

Menurut anda, bukankah penangguhan ampunan bagi mereka yang bermusuhan, tidak lain disebabkan karena mereka enggan untuk mengoreksi diri sehingga mendorong mereka untuk berdamai?

Keempat, terbebas dari sifat nifak

Sering mengevaluasi diri untuk kemudian mengoreksi amalan yang telah dilakukan merupakan salah satu sebab yang dapat menjauhkan diri dari sifat munafik. Ibrahim at-Taimy mengatakan,

مَا عَرَضْتُ قَوْلِي عَلَى عَمَلِي إِلَّا خَشِيتُ أَنْ أَكُونَ مُكَذِّبًا

“Tidaklah diriku membandingkan antara ucapan dan perbuatanku, melainkan saya khawatir jika ternyata diriku adalah seorang pendusta (ucapannya menyelisihi perbuatannya).”

Ibnu Abi Malikah juga berkata,

أَدْرَكْتُ ثَلاَثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ، مَا مِنْهُمْ أَحَدٌ يَقُولُ: إِنَّهُ عَلَى إِيمَانِ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ

“Aku menjumpai 30 sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, merasa semua mengkhawatirkan kemunafikan atas diri mereka. Tidak ada satupun dari mereka yang mengatakan bahwa keimanannya seperti keimanan Jibril dan Mikail” (HR. Bukhari).

Ketika mengomentari perkataan Ibnu Abi Malikah, Ibnu Hajar mengutip perkataan Ibnu Baththal yang menyatakan,

إِنَّمَا خَافُوا لِأَنَّهُمْ طَالَتْ أَعْمَارُهُمْ حَتَّى رَأَوْا مِنَ التَّغَيُّرِ مَا لَمْ يَعْهَدُوهُ وَلَمْ يَقْدِرُوا عَلَى إِنْكَارِهِ فَخَافُوا أَنْ يَكُونُوا دَاهَنُوا بِالسُّكُوتِ

“Mereka khawatir karena telah memiliki umur yang panjang hingga mereka melihat berbagai kejadian yang tidak mereka ketahui dan tidak mampu mereka ingkari, sehingga mereka khawatir jika mereka menjadi seorang penjilat dengan sikap diamnya” (Fath al-Baari 1/111).

Kesimpulannya, seorang muslim sepatutnya mengakui bahwa dirinya adalah tempatnya salah dan harus mencamkan bahwa tidak mungkin dia terbebas dari kesalahan. Pengakuan ini mesti ada di dalam dirinya, agar dia dapat mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukannya sehingga pintu untuk mengoreksi diri tidak tertutup bagi dirinya. Allah ta’ala berfirman,

إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم

“Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum sampai mereka mengubahnya sendiri” (Al-Ra`d 11).

Manusia merupakan makhluk yang lemah,  betapa seringnya dia memiliki pendirian dan sikap yang berubah-ubah. Namun, betapa beruntungnya mereka yang dinaungi ajaran agama dengan mengevaluasi diri untuk berbuat yang tepat dan mengoreksi diri sehingga melakukan sesuatu yang diridhai Allah. Sesungguhnya rujuk kepada kebenaran merupakan perilaku orang-orang yang kembali kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.

Referensi sebagai berikut ini ; 









Bahaya ghibah

Ghibah seringkali menjadi penyebab retaknya persaudaraan, persahabatan, bahkan kehidupan rumah tangga. Selain itu, ghibah juga bisa membuat jatuhnya harga diri seseorang serta rusaknya kepercayaan seseorang kepada orang lain. (Janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian oranglain, Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Tentu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sunguh Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang. Al Hujurat 12).

Ghibah berasal dari kata ghaib berarti tidak hadir.Karena itu ghibah adalah menyebut orang lain yang tidak hadir di hadapan penyebutnya dengan sesuatu yang tidak disenangi oleh yang bersangkutan. Artinya jika seseorang menyebut prihal keadaan orang lain yang sekiranya ia akan marah jika mendengarnya sendiri atau apabila yang dikatakan itu disampaikan oleh orang lain kepadanya juga disebut ghibah. Seringkali  yang menjadi objek ghibah itu adakalanya berhubungan dengan kekurangan-kekurangannya yang bersifat negatif, seperti keadaan bentuk tubuh, perbuatan, ucapan atau prilaku agama atau dunianya.

Menceritakan keadaan orang lain apalagi yang bersifat  negatif, kemudian pembicaraan tersebut didengar oleh yang bersangkutan dan ia merasa  tidak senang, boleh  jadi karena pembicaraan itu sesuatu aib yang menyebabkan ia malu, maka itulah yang dinamakan ghibah. Namun jika menyebut orang lain, tetapi yang disebut tidak merasa keberatan jika ia mendengar pembicaraan tersebut,  disebabkan karena sesuatu yang bukan aib, maka itu tidaklah dilarang dan tidak termasuk kategore ghibah. Jadi ghibah itu adalah membicarakan orang lain dan orang yang dibicarakan merasa keberatan atau tidak setuju dengan isi pembicaraannya karena  aib baginya.

Ghibah atau dalam bahasa Indonesia sering disebut mengupat atau menggunjing  orang lain. Al-Qur’an melarang terbuatan tesebut seperti   dijelaskan di dalam surat al-Hujurat ayat 12. Dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat. Maha penyayang.

Suatu hari Rasulullah pernah menanyakan perihal ghibah kepada para shahabatnya. Mereka menjawab, Allah dan Rasul  lebih mengetahui. Rasulullah bersabda, ghibah itu adalah apabila engkau menyebutkan prihal  saudaramu dengan sesuatu yang  tidak disukainya. Seorang  shahabat  bertanya lagi, bagaimana jika yang disebut itu benar-benar ada  padanya. Nabi menjawab kalau yang engkau sebut itu memang sebenarnya begitu, maka itulah yang dinamakan ghibah. Jika yang engkau sebut ternyata tidak benar maka itu namanya kebohongan.

Ghibah adakalanya  berhubungan dengan kekurangan-kekurangan yang ada pada diri orang lain seperti keturunannya, dalam bentuk tubuhnya, dalam ucapannya, dalam prilaku agama atau dunianya, bahkan juga dalam hal pakaian, rumah maupun kenderaannya.

Mengenai keturunan misalnya seseorang menyebut ayah temannya seorang yang fasik, seorang yang hina atau seseorang yang kurang luas pergaulannya dan lain-lainnya.

Sedangkan menyangkut prihal budi pekerti atau kelakuannya misalnya menyebut orang lain berbudi rendah tidak berakhlak, kikir, angkuh, suka pamer, pemarah, penakut, lemah pendirian, pembohong, suka minum-minuman keras, sering meninggalkan shalat, jarang berpuasa dan lain-lain.

Adapun yang berhubungan dengan pakaian seperti menyebut orang lain bajunya tidak sesuai dengan perkembangan zaman, jadul atau yang sejenisnya yang bila orang yang bersangkutan mendengar dan merasa tidak suka semua itu dapat dikategorekan ghibah. Sebagaimana sabda rasul yang diriwayatkan oleh Muslim “ Ghibah itu engkau menyebutkan prihal saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya”

Dalam hadits di atas menjelaskan bahwa orang yang menyebut cela orang lain baik itu teman, tetangga atau kenalannya  dengan lidah atau ucapan yang dengan ucapan itu dapat dipahami  apa yang menjadi kekurangan orang lain, dan jika ucapan tersebut diketahui oleh yang bersangkutan dan ia merasa tidak senang mendengarnya, maka perbuatan itu sudah dinamakan ghibah.

Mengumpat atau mengghibah hukumnya haram dan seyogianya pelakunya harus menyesal dan kemudian bertaubat serta merasa sedih karena perbuatan itu. Selanjunya ia hendaknya meminta maaf kepada orang yang diumpat/yang dighibah serta meminta halalnya agar ia dapat lepas dari dosanya.

Menurut Imam al-Gazali cara agar dapat menghilangkan sifat  suka mengghibah adalah dengan cara menyadari bahwa betapa sakit dan tidak enaknya orang lain saat cela dan aibnya dibuka. Dan menyadari pula  bagaimana luka perasaannya  ketika  mendengar kekurangan dan celanya diketahui orang lain. Jika ia telah merasakan betapa tidak senangnya bila aib dan celanya sendiri diketahui oleh orang lain. Karena itu janganlah mengumpat/mengghibah kalau tidak senang dighibah oleh orang lain. Apa yang dirasakan tidak enak oleh dirinya jangan diterapkan pada orang lain.

Selain itu, yang paling manjur  untuk menghindari ghibah adalah dengan kekuatan iman dalam  jiwa, barangsiapa yang sudah kuat dan kokoh keimanan dan keyakinannya kepada Allah,  tentu mulutnya  dapat menghindari dari segala ucapan yang buruk, seperti   menghibah orang lain. Karena itu salah satu yang harus dihindari  saat  berpuasa adalah ghibah, karena ia akan dapat merusak kesempurnaan dan bahkan membatalkan puasa. 

Referensi sebagai berikut ini ;












Bahaya Ghibah, Hati Mengeras Hingga Memicu Perpecahan

Bahaya Ghibah, Hati Mengeras Hingga Memicu Perpecahan, Bahaya Ghibah, Hati Mengeras Hingga Memicu Perpecahan

Ghibah artinya membicarakan mengenai hal negatif atau positif tentang orang lain yang tidak ada kehadirannya di antara yang berbicara.

Dari segi istilah, ghibah berarti pembicaraan antar sesama muslim tentang muslim lainnya dalam hal yang bersifat kejelekkan, keburukan, atau yang tidak disukai.

Bedanya dengan dusta, sesuatu yang diperbincangkan dalam ghibah memang benar adanya.

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda yang artinya;

"‘Tahukah kalian, apakah itu ghibah? Para sahabat menjawab, ‘Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘engkau membicarakan sesuatu yang terdapat dalam diri saudaramu mengenai sesuatu yang tidak dia sukai. Salah seorang sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah SAW, bagaimana pendapatmu jika yang aku bicarakan benar-benar ada pada diri saudaraku? Rasulullah SAW menjawab, jika yang kau bicarakan ada pada diri saudaramu, maka engkau sungguh telah mengghibahinya. Sedangkan jika yang engkau bicarakan tidak terdapat pada diri saudaramu, maka engkau sungguh telah mendustakannya." (H.R. Muslim)

Beberapa dalil mengenai larangan berbuat ghibah dalam Al-Qur’an dan hadist:

Dalil Al-Qur’an, Allah SWT berfirman yang artinya;

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Q. S. 49 : 12).

“Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Q. S. Al-Hujurat : 12).

Dalil hadist, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya;

Diriwayatkan oleh Said bin Zaid RA, Rasulullah SAW bersabda yang artinya; “Sesungguhnya riba yang paling bahaya adalah berpanjang kalam (ucapan) dalam membicarakan (keburukan) seorang muslim dengan (cara) yang tidak benar.” (H. R. Abu Daud).

Hadits riwayat Ahmad dari Jabir bin Abdullah; “Kami pernah bersama Nabi tiba-tiba tercium bau busuk yang tidak mengenakan. Kemudian Rasulullah berkata; ‘Tahukah kamu, bau apakah ini? Ini adalah bau orang-orang yang mengghibah (menggosip) kaum mukminin.”

Bahaya Ghibah dalam Pandangan Islam

Ghibah merupakan perbuatan yang tergolong dalam dosa besar, sebagaimana Imam Al-Qurthubi ungkapkan dalam kitab Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an, bahwasanya ghibah itu sebanding dengan dosa zina, pembunuhan, dan dosa besar lainnya.

Sedangkan menurut Hasan Al Bashri, perbuatan bergunjing lebih cepat merusak agama dibandingkan dengan penyakit yang menggerogoti tubuh.  

Ghibah sendiri membahayakan baik bagi orang yang dibicarakan, diri sendiri, bahkan masyarakat.

1. Mendapat murka Allah SWT

Seorang muslim yang mempergunjingkan saudaranya dalam hal bukan ghibah yang diperbolehkan, sama saja artinya ia telah menghina makhluk ciptaan Allah. Selain itu, ia juga telah melanggar larangan Allah SWT, sehingga pantas jika ia mendapat kemarahan dan kemurkaan dari Allah SWT. Tiada ada balasan kepada orang yang mendapat kebencian daripadan Allah SWT kecuali siksa neraka.

2. Hatinya menjadi keras

Ghibah yang buruk itu dimana bibirnya terasa seperti diberi manisnya madu sehingga sangat senang ketika membicarakan keburukan orang lain. Tidak jarang diiringi dengan kata-kata yang tidak pantas atau umpatan. Dalam keadaan begini, bukan Allah yang berada di hatinya, melainkan iblis yang turut bersarang di hati bahkan di bibirnya. Tiada ada kebaikan atau keberkahan yang ia peroleh melainkan dosa.

3. Memicu terjadinya pertikaian dan perpecahan

Tidak ada yang senang ketika aibnya diumbar-umbar kepada khalayak. Sedangkan mereka yang berghibah, artinya telah membeberkan sesuatu yang mungkin saja memalukan dan sangat dirahasiakan. Saat hal demikian terjadi, tak jarang timbul rasa kebencian yang akhirnya berujung pada permusuhan, pengrusakan, perkelahian, bahkan sampai tindak kejahatan pembunuhan.

Andai kata dendam itu hanya dipendam sekalipun, pasti akan membuat hubungan di antara keduanya menjadi renggang karena menyimpan perasaan tidak suka satu sama lain.

4. Berani berbuat maksiat

Orang yang senang bergunjing berarti senang berbuat maksiat. Ia tidak malu menceritakan aib saudaranya kepada orang lain bahkan ia justru merasa bangga karena telah berhasil mempermalukan orang yang ia gunjing.

Tidak ada lagi rasa segan dan takut dalam berbuat dosa, maka tidak menutup kemungkinan perbuatan maksiat lainnya juga akan ia lakukan.5. Melenyapkan amal ibadah seorang mukmin

Dengan mengghibah, sebenarnya tanpa sadar seseorang sudah menghapuskan sendiri kebaikan-kebaikan yang ia miliki. Dengan kata lain, ghibah dapat melenyapkan amal ibadah.

6. Amal ibadah ditolak Allah

Ghibah juga menjadi penyebab mengapa amal ibadah seseorang tidak diterima di sisi Allah SWT.

7. Allah menjadi murka

Ghibah menjadikan Allah murka sehingga Ia meninggalkan orang tersebut dan tidak lagi melindunginya. Dalam keadaan demikian, adalah iblis menjadi lebih mudah dalam mempengaruhi manusia sehingga ia pun semakin gencar berbuat maksiat sekaligus semakin jauh dari Allah SWT

Referensi sebagai berikut ini ;









Bahaya Ghibah Tidak Hanya Bagi Korban, Namun Juga Pelakunya

Bahaya Ghibah Tidak Hanya Bagi Korban, Namun Juga Pelakunya. Bahaya ghibah tidak hanya dirasakan oleh orang yang menjadi topik ghibah, tapi juga dapat memengaruhi kesehatan mental dan fisik orang-orang yang terlibat di dalamnya

Ghibah atau gibah merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang berarti membicarakan keburukan orang lain. Dalam bahasa sehari-hari, ghibah sebenarnya serupa dengan bergosip, yakni menyebarkan kabar negatif yang belum tentu kebenarannya secara luas, baik dari mulut ke mulut atau melalui media.

Kebanyakan orang menganggap ghibah hal yang wajar sehingga tidak jarang menjadi bagian dari komunikasi dan bersosialisasi sehari-hari. Padahal bahaya ghibah tidak sedikit dan bisa berdampak pada kesehatan fisik dan mental.

Ciri-ciri ghibah

Ghibah biasanya adalah cerita yang menarik banyak orang, tapi esensinya untuk mempermalukan atau menyakiti orang lain yang menjadi korbannya. Informasi yang disebarkan juga tidak diketahui kebenarannya.

Topik ghibah biasanya merupakan informasi yang dianggap sebagai skandal. Konten yang disebarkan biasanya berupa informasi yang bersifat pribadi dan bukan hal-hal yang dapat dibicarakan secara terbuka.

Bahaya ghibah

Bahaya ghibah tidak hanya menyakiti orang yang menjadi korbannya, tapi juga bisa memengaruhi kesehatan mental dan fisik orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Khususnya jika Anda memiliki perasaan kuat terhadap orang yang menjadi topik ghibah. Baik Anda mengenalnya atau tidak, merasa simpati atau bahkan antipati pada orang yang diperghibahkan.

1. Ghibah dapat menguras emosi dan merusak suasana hati

Bahaya ghibah yang paling utama adalah membuat perhatian dan emosi Anda terkuras. Pada akhirnya, hal ini dapat membuat Anda memikirkan dan merasakan hal yang bersifat negatif. Padahal itu hal yang seharusnya tidak perlu Anda rasakan. Khususnya pada kabar yang tidak jelas kebenarannya.

Selain menguras emosi, bahaya ghibah juga dapat merusak suasana hati dengan cepat. Saat mood Anda sebenarnya sedang baik dan bahagia, sebuah kabar negatif dari berghibah bisa secara instan mengubah suasana hati menjadi buruk.

Semakin kuat emosi yang Anda rasakan terhadap kabar yang Anda terima, semakin kuat juga dampaknya bagi Anda. Kondisi ini bisa terus melekat di pikiran Anda. Bahkan setelah Anda mengetahui kebenarannya, emosi negatif dapat kembali setiap kali teringat kabar ghibah sebelumnya.

2. Dapat merusak reputasi diri

Bahaya ghibah bukan hanya merusak reputasi orang yang menjadi topik pembicaraan, tapi juga pelakunya. Jika Anda kerap menyebarkan atau membicarakan keburukan orang lain yang belum tentu benar, maka Anda akan dianggap sebagai orang yang tidak bisa dipercaya.

Orang-orang sekeliling Anda dapat merasa resah untuk dekat atau bersikap terbuka kepada Anda karena mereka khawatir suatu saat dapat menjadi bahan ghibah Anda.

3. Pelaku ghibah mudah menghakimi dan merasa insecure

Orang dengan kebiasaan berghibah juga dapat membentuk tabiat yang negatif. Anda jadi mudah sekali menghakimi orang lain dan mungkin akan menjadi insecure, yakni sering merasa tidak aman atau selalu curiga.

4. Merusak relasi

Salah satu alasan berghibah biasanya dilakukan karena rasa kesal terhadap korban ghibah tersebut. Namun, berghibah sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan, hal ini bisa jadi malah memperburuk situasi dan merusak relasi Anda dengan orang yang dibicarakan.  

5. Gangguan fisik dan mental

Bahaya ghibah juga dapat menyebabkan masalah mental, seperti kelelahan, kecemasan, dan depresi. Khususnya, jika ghibah tersebut terkait Anda sendiri atau orang yang Anda pedulikan.

Lebih jauh lagi, ghibah juga dapat mendorong terjadinya perundungan (bullying), yang dapat melibatkan kekerasan fisik. Jika tidak segera ditangani, bahaya ghibah dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya masalah fisik dan mental, seperti depresi klinis, gangguan stres pascatrauma, serangan panik, perasaan bersalah, hingga bunuh diri.

Menghindari bahaya ghibah

Mengingat bahaya ghibah di atas, ada baiknya untuk mulai mengurangi hobi untuk berghibah atau menghentikannya sama sekali. Satu hal yang perlu Anda mengerti, bahaya ghibah lebih besar dari manfaatnya.

Untuk menghindari ghibah, sebaiknya jangan mudah mempercayai informasi yang tidak jelas kebenarannya. Apalagi sampai ikut menyebarkannya. Tahan diri Anda untuk tidak berkomentar dan terlibat untuk ghibah.

Hentikan kebiasaan membicarakan orang lain di belakang mereka. Jika Anda memiliki masalah dengan orang lain, akan lebih bijak jika menghadapinya secara langsung dan berbicara dengan baik-baik.

Sementara jika Anda menjadi topik ghibah, maka langkah terbaik adalah dengan memblokir semua akses komunikasi dengan pelaku dan benar-benar mengabaikannya.

Referensi sebagai berikut ini ;









Memakan Hak Orang Lain

Dalam situasi yang serba sulit ditambah lagi dengan berkembangnya wabah Covid-19, banyak orang yang merasakan kesulitan dalam mendapatkan kebutuhan hidupnya sehingga tidak jarang seseorang memakan apa yang bukan haknya. Padahal yang seperti itu itu dilarang dalam Islam, dalam sebuah hadits dari sahabat Iyas bin Tsa’labah Al-Haritsi Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang mengambil hak seorang muslim dengan sumpahnya maka Allah menentukan neraka baginya dan mengharamkan surga baginya,” ada seorang lelaki yang bertanya: “Walaupun itu adalah sesuatu yang sangat sederhana wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Walaupun sebatang kayu siwak dari pohon arak”. (HR. Muslim)

Begitu berbahayanya memakan harta seorang muslim yang bukan haknya, sehingga walau sesuatu itu sangat remeh dalam pandangan manusia, tetapi Allah SWT tidak membiarkan hak orang tersebut lenyap begitu saja tanpa keridhoan pemilik hak tersebut. apalagi jika yang dirampas tersebut adalah sesuatu yang sangat berharga, sangat besar, maka dengan sebab perbuatannya itu dia diwajibkan oleh Allah untuk masuk ke neraka dan Allah haramkan dia dari surga-Nya.

Karena itu mari kita memperhatikan harta yang kita peroleh, pastikan itu bukan dengan sumpah yang diucapkan untuk memakan harta muslim saudara kita.

Juga penting untuk diingat bahwa sesama muslim itu bersaudara, tidak pantas untuk menjerumuskannya kepada kesengsaraan, menyerahkannya kepada musuhnya dengan cara-cara licik dan penuh tipu daya dan kepalsuan. Kembalilah ke jalan Allah yang lurus wahai saudaraku kaum muslimin.

Referensi sebagai berikut ini ;











Halalkah Penghasilan Mantan Musisi dan Pekerja Riba yang Bertaubat

Halalkah Penghasilan Mantan Musisi dan Pekerja Riba yang Bertaubat. Alhamdulillah, kata-kata “hijrah” sekarang menjadi familiar dan memang mulai banyak kaum muslimin yang hijrah. Yang sebelumnya banyak melanggar aturan agama, sekarang menjadi lebih baik, berusaha mempelajari agama dan mengamalkannya dengan baik.

Yang melakukan hijrah bisa jadi orang yang dahulunya melakukan pekerjaan yang haram sehingga mendapatkan penghasilan yang haram pula, seperti pelacur, pekerja riba, musisi, menjual-beli barang-barang haram, dan lain-lainnya. Sekarang muncul pertanyaan, bagaimana dengan uang hasil pekerjaan haram yang dia dapatkan dahulu setelah dia bertaubat sekarang? Apakah halal atau tidak? Apakah dia harus sumbangkan dan  sedekahkan semuanya?

Berikut sedikit pembahasannya:

Terkait dengan harta yang didapatkan dengan cara yang haram, berikut rincian ringkasnya

  1. Apabila didapatkan dengam cara zalim dan mengambil hak orang lain, maka harus dikembalikan kepada yang mempunyai hak. Misalnya, mencuri, merampas, merampok, dan lain-lain.
  2. Apabila didapatkan dengan saling ridha dan suka sama suka, ini ada rincian:

  • Apabila dia sudah tahu itu hukumnya haram, maka penghasilannya haram dipakai dan dimanfaatkan. Dia wajib menyalurkan dan menyedekahkan harta tersebut untuk kemaslahatan kaum muslimin.
  • Apabila belum tahu itu hukumnya haram (ingat: “benar-benar tidak tahu”), maka dia boleh memanfaatkan harta tersebut karena mendapatkan uzur serta tidak harus menyedekahkan semuanya.

Poin nomor 2b ini yang menjadi pembahasan kita. Ada beberapa dalil yang menunjukkan bahwa penghasilan semacam ini boleh digunakan dan tidak harus disedekahkan semuanya.

Dahulu beberapa sahabat mendapatkan uang dan penghasilan dengan menjual khamar dan melakukan praktek riba jahiliyyah sebagaimana yang dilakukan oleh paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Transaksi ini dilakukam dengan saling rida dan suka sama suka, lalu tatkala turun ayat larangam khamar dan praktek riba jahiliyyah, tidak ada perintah kepada para sahabat untuk tidak memanfaatkan uang yang didapatkan dahulu.

Ketidaktahuan ini  adalah uzur sebagaimana kaidah umum,

جهل المكلف بالحكم موجب للعذر

“Ketidaktahuan mukallaf terhadap hukum, mengharuskan adanya uzur.”

Beberapa ulama juga berdalil dengan ayat berikut. Allah Ta’ala berfirman,

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah” (QS. Al-Baqarah: 275).

Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah menjelaskan ayat ini. Beliau rahimahullah berkata,

فهذه الآية الكريمة يستفاد منها حل الكسب الماضي من العمل غير المشروع إذا تاب العبد إلى الله ورجع عن ذلك وإن تصدقتم به أو بشيء منه احتياطا فحسن

“Dari ayat yang mulia ini, bisa diambil faidah mengenai status halal harta sebelumnya yang didapatkan dengan cara yang tidak masyru’ (tidak halal) apabila seorang hamba telah bertaubat dan rujuk dari pekerjaan haram tersebut. Apabila dia menyedekahkannya atau sebagian disedekahkan, maka ini lebih hati-hati dan lebih baik” (Majmu’ Fatwa, 4: 306).

Demikian juga penjelasan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,

وما قبضه الإنسان بعقد مختلف فيه يعتقد صحته لم يجب عليه رده في أصح القولين، ومن كسب مالاً حرامًا برضاء الدافع ثم تاب: كثمن خمر ومهر البغي وحلوان الكاهن، فالذي يتلخص من كلام أبي العباس أن القابض إذا لم يعلم التحريم ثم علم جاز له أكله، وإن علم التحريم أولاً ثم تاب فإنه يتصدق به. كما نص عليه أحمد في حامل الخمر

“Harta yang didapatkan oleh manusia dari akad yang diyakini keabsahannya, maka tidak wajib baginya mengembalikan -pendapat terkuat dari dua pendapat-. (Hal ini) bagi mereka yang mendapatkan harta haram dengan ridha dari yang membayar/memberikan (saling ridha) kemudian bertaubat, seperti hasil menjual khamr, hasil berzina, atau hasil perdukunan. Disimpulkan dari perkataan Abul Abbas bahwa orang yang mendapatkan harta tersebut, apabila tidak tahu sebelumnya lalu bertaubat, maka boleh memakan hasilnya (memanfaatkan harta tersebut). Apabila dia tahu bahwa itu pekerjaan haram di awal lalu bertaubat, maka dia harus menyedekahkannya, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ahmad terkait kurir khamr.” (Al-Mustadrak ‘Ala Majmu’ Fatawa, 4: 77).

Hal ini juga sesuai dengan kemudahan dalam syariat. Karena apabila seseorang tahu cara taubatnya dengan menyedekahkan semua harta, padahal dia mendapat uzur karena tidak tahu, bisa jadi dia akan menunda-nunda taubat karena dia masih butuh harta tersebut.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan,

وأُمر برد جميع ما اكتسبه من الأموال ، والخروج عما يحبه من الأبضاع إلى غير ذلك صارت التوبة في حقه عذابا ، وكان الكفر حينئذ أحب إليه من ذلك الإسلام الذي كان عليه

“Perintah mengembalikan semua harta yang dia dapatkan dan keluar dari keadaan tersebut (zona nyaman), maka akan menjadikan taubat adalah azab baginya. Bisa jadi kekafiran ini lebih ia sukai daripada Islam dengan keadaan tersebut.” (Majmu’ Al-Fatawa, 22: 21)

Setelah bertaubat hendaknya tunaikan zakat pembersih harta yang terlupakan dan perbanyak sedekah.

Apabila telah bertaubat dengan keadaan ini, hendaknya taubat diikuti dengan memperbaiki diri dan mengiringi (membalas) perbuatan buruk dengan perbuatan baik.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kepada Allah di mana saja Engkau berada dan iringilah sesuatu perbuatan dosa (kesalahan)  dengan kebaikan, pasti akan menghapuskannya dan bergaullah sesama manusia dengan akhlak yang baik.” (HR Tirmidzi, Shahih at-Targhib no. 3139)

Perbuatan baik akan menghapus perbuatan yang buruk di masa lalu. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Huud: 114)

Karena ini terkait dengan harta, hendaknya bayarkan zakat-zakat terdahulu yang lalai ditunaikan karena zakat akan menjadi pembersih harta. Allah Ta’ala berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103)

Tidak lupa memperbanyak sedekah terutama sedekah sembunyi-sembunyi karena bisa meredam murka Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

صَدَقَةُ السِّرِّ تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ.

“Sedekah secara sembunyi-sembunyi itu meredamkan kemurkaan Rabb (Allah).” (HR. Ath-Thabrani)

Semoga dengan sedekah tesebut bisa menjaga kita dari api neraka atas dosa-dosa yang kita lakukan di masa lalu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ

“Jagalah diri kalian dari neraka meskipun hanya dengan sedekah setengah biji kurma. Barangsiapa yang tidak mendapatkannya, maka ucapkanlah perkataan yang baik.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan bahwa sedekah dari ahli maksiat sekalipun bisa mencegah bala’, apalagi seorang muslim yang sudah bertaubat. Beliau rahimahullah menjelaskan,

“إن للصدقة تأثيرا عجيبا في دفع أنواع البلاء، ولو كانت من فاجر أو من ظالم، بل من كافر، فإن الله تعالى يدفع بها عنه أنواعا من البلاء، وهذا أمر معلوم عند الناس خاصتهم وعامتهم، وأهل الأرض كلهم مقرون به؛ لأنهم جرَّبوه”

“Sedekah memiliki pengaruh yang ajaib dalam mencegah berbagai bala’, walaupun sedekah dari seorang fajir (ahli maksiat) atau zalim bahkan dari orang kafir. Karena Allah mencegah dengan sedekah berbagai bala’. Hal ini telah diketahui oleh manusia, baik yang awam ataupun tidak. Penduduk bumi mengakui hal ini karena mereka telah membuktikannya.” (Al-Waabilus Shayyib hal. 49, Darul Kitab Al-‘Iraqi).

Referensi sebagai berikut ini ;










Bagaimana Bertaubat Dari Dosa Mengambil Hak Orang Lain Sementara Yang Bersangkutan Sudah Meninggal

Bagaimana Bertaubat Dari Dosa Mengambil Hak Orang Lain Sementara Yang Bersangkutan Sudah Meninggal. 

PERTANYAAN : 

P ustad sy tanya lagi, dulu waktu kecil sy pernah hutang kpd teman atau jajan tidak bayar, dan sekaramg tidak tahu keberadaannya atau sdh lupa bagaimana sy membayarnya sekarang krn sy takut ini sbg hutang dan besaran rupiahnya juga sdh lupa, dan bagaimana juga seandainya dulu kita pinjam barang tp lupa ngembalikan? Jazakumullah

JAWAB : 

Syaikh Shalih Utsamin mengatakan ;

أما إذا كان الذنب بينك وبين الخلق، فإن كان مالاً فلابد أن تؤديه إلى صاحبه، ولا تقبل التوبة إلا بأدائه مثل أن تكون قد سرقت مالاً من شخص وتبت من هذا، فلابد أن توصل المسروق إلى المسروق منه.

        أو جحدت حقاً لشخص؛ كأن يكون في ذمتك دين لإنسان وأنكرته، ثم تبت ، فلابد أن تذهب إلى صاحب الدين الذي أنكرته، وتقرَّ عنده وتعترف حتى يأخذ حقه. فإن كان قد مات، فإنك تعطيه ورثته، فإن لم تعرفهم، أو غاب عنك هذا الرجل ولم تعرف له مكاناً، فتصدق به عنه تخلصاً منه، والله- سبحانه وتعالى- يعلمه ويعطيه إياه.

“Adapun apabila dosa itu antara engkau dan sesama manusia yang lain, jika itu berkaitan dengan harta maka WAJIB engkau tunaikan kepada pemiliknya, dan TIDAK DI TERIMA TAUBAT melainkan dengan di tunaikannya hak orang lain yang telah engkau ambil, semisal engkau mencuri harta orang lain dan engkau ingin bertaubat maka wajib engkau mengembalikan harta yang telah engkau curi kepada pemiliknya.

Atau contoh yang lain, emgkau mengingkari hak orang lain, semisal engkau sebenarnya memiliki tanggungan hutang kepada orang lain namun engkau mengingkarinya, kemudian engkau bertaubat, maka engkau harus pergi kepada orang yang telah memberimu pinjaman hutang tadi yang telah engkau ingkari, dan engkau mengakui kesalahan yang telah engkau ingkari, hingga ia kemudian mengambil kembali haknya. JIKA DIA TELAH MENINGGAL DUNIA MAKA ENGKAU BERIKAN KEPADA AHLI WARISNYA, jika engkau tidak mengenal mereka, atau tidak mengetahui keberadaan mereka saat ini maka ENGKAU SEDEKAHKAN DENGAN NIATAN UNTUK ORANG YANG TELAH ENGKAU AMBIL HAKNYA TADI. Sesungguhny Alloh Maha Mengetahui hal tersebut, dan akan memberikan ganjaranya pada orang tersebut.” (Syarhu Riyadhis Shalihin Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin jilid 1 halaman 89)

Dari uraian Syaikh Utsaimin di atas kita tahu bahwa cara bertaubat dari dosa semacam itu (hutang pada teman atau jajan tidak bayar), maka selama kita masih bisa menemuinya kita temui dan kita berikan haknya yang telah kita ambil, jika ia telah meninggal maka kita berikan kepada ahli warisnya, dan jika ahli warisnya kita tidak mengenalnya dan tidak tahu keberadaanya maka KITA SEDEKAHKAN ATAS NAMA ORANG TERSEBUT. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui.

Bagaimana jika kita dulu pernah meminjam barang tapi lupa mengembalikan,..?

Jika memang saat ini kita ingat maka segera di kembalikan jika mampu, dan jika memang kita sama sekali tidak ingat maka berlaku sabda nabi :

 إن الله تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان ، وما استكرهوا عليه . حديث حسن رواه ابن ماجه والبيهقي وغيرهما

“Sesungguhnya Alloh memaafkan kesalahan yang tanpa di sengaja, lupa, atau juga karena keadaan di paksa” (HR Ibnu Majah dan Baihaqi, hadits hasan)

Referensi sebagai berikut ini ;












Solusi Lepaskan Dosa Harta yang Diambil dari Orang lain

Harta haram bisa mendatangkan malapetaka bagi kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari, kadangkala kita tidak sadar dengan harta yang kita dapatkan, apakah diperoleh dengan cara yang halal atau bukan. Harta haram bukan hanya karena bendanya yang haram, melainkan cara mendapatkannya pun bisa menjadi haram.

Jika Anda mengambil harta atau hak milik saudara tanpa izin darinya alias dengan cara-cara yang tidak dibenarkan, maka harta dan hak itupun haram untuk anda gunakan. Misalnya dari harta haram jenis ini ialah harta hasil riba, atau harta hasil curian, penipuan, dan yang serupa.

Dan untuk melepaskan diri dari dosa harta haram ini, Anda memiliki dua pilihan solusi:

Solusi Pertama: Mengembalikan kepada pemiliknya

Simaklah firman Allah Ta’ala tentang solusi melepaskan diri dari riba yang terlanjur anda sepakati dengan saudara anda:

وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ

“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Qs. Al Baqarah: 280)

Dan tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di padang Arafah, beliau bersabda:

وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ. رواه مسلم

“Riba jahiliyyah dihapuskan, dan riba pertama yang aku hapuskan ialah riba kami (kabilah kami), yaitu riba Abbas bin Abdul Mutthalib, sesungguhnya ribanya dihapuskan semua.” (Riwayat Imam Muslim)

Dan pada harta saudara anda yang anda ambil tanpa seizinnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَأْخُذْ أَحَدُكُمْ عَصَا أَخِيهِ، وفي رواية: مَتَاعَ أَخِيهِ لاَعِبًا أَوْ جَادًّا فَمَنْ أَخَذَ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرُدَّهَا إِلَيْهِ. رواه أبو داوج والترمذي وحسنه الألباني

“Janganlah salah seorang darimu mengambil tongkat saudaranya, -pada riwayat lain: barang saudaranya- baik karena bermain-main atau sungguh-sungguh. Dan barang siapa yang terlanjur mengambil tongkat saudaranya, hendaknya ia segera mengembalikan tongkat itu kepadanya.” (Riwayat Abu Dawud, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Al Albani)

Bila barang yang anda ambil terlanjur rusak atau berubah wujud, sedangkan tidak didapatkan gantinya, maka anda dapat menebus harganya.

Solusi Kedua: Meminta maaf kepada pemiliknya

Bila solusi pertama karena suatu hal tidak dapat anda lakukan , maka anda memiliki solusi kedua, yaitu meminta maaf kepada pemiliknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا ، فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ ، فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ. رواه البخاري

“Barang siapa yang pernah melakukan kezhaliman terhadap saudaranya, hendaknya segera ia meminta saudaranya agar memaafkannya sekarang juga, karena kelak (di hari kiamat) tidak ada lagi uang dinar atau dirham (harta benda), dan sebelum sebagian dari pahala kebaikannya diambil guna menebus apa yang pernah ia lakukan terhadap saudaranya. Dan bila ia telah tidak lagi memiliki pahala kebaikan, maka akan diambilkan dari dosa-dosa saudaranya lalu dicampakkan kepadanya.” (Riwayat Bukhari)

Berikut adalah doa agar kita selalu dijauhkan dari harta haram:

اللَّهُمَّ اكْفِنِا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

“Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami dengan rizqi-Mu yang halal dari memakan harta yang Engkau haramkan, dan cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu dari mengharapkan uluran tangan selain-Mu.”

Referensi sebagai berikut ini ;











Bagaimana Menghapus Dosa Mengambil Hak Orang Lain

Pertanyaan : Assalamu’alaikum Pak Ustaz, Bismillahirrohmaanirrohiim. Saya banyak melakukan dosa selama saya dua tahun bekerja di kantor saya, terutama beberapa bulan terakhir. Dosa yang saya perbuat adalah tidak jujur kepada orang-orang yang saya sayangi, yang saya kagumi dan saya cintai di sekeliling saya. Dosa yang lain adalah saya mengambil hak orang lain, mengambil milik orang lain, semuanya yang saya ambil adalah untuk kepentingan duniawi semata.

Astaghfirullah, apa yang saya lakukan ini tidak ada seorang pun yang tahu kecuali Allah Yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Saya tergelincir oleh apa yang saya lakukan akhirnya saya di-PHK.

Astaghfirullah, padahal dari upah yang saya dapatkan dari tempat saya bekerja cukup untuk kami sekeluarga, namun nafsu saya terus mendorong hal haram ini. Sejak Oktober 2014 saya menganggur sampai saya ketemukan website ini. Bismillah saya mohon kepada Allah supaya diampuni dosa saya yang menyebabkan saya menjadi tidak punya pekerjaan dan penghasilan, saya mohon kepada Allah supaya apa yang saya ambil dan bukan hak saya itu dibersihkan dari apa yang ada di rumah saya, apa yang kami makan dan apa yang kami gunakan. Saya mulai bersedekah dari sebagian apa yang kami punya, setiap hari saya keluar rumah untuk ke masjid berusaha untuk melakukan salat berjamaah, membaca Quran dan beristighfar. Mengirimkan lamaran ke banyak tempat namun belum ada yang berhasil.

Mohon bantuan bimbingan dari Pak Ustadz, apa yang harus saya lalukan untuk mendapatkan ridho Allah atas permohonan ampun saya dan ridho atas hajat saya. Wassalamualaikum,

Jawaban :

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh, Bismillahirrahmanirrahim, Anda patut bersyukur bahwa Anda masih diberi kesadaran atas kesalahan yang Anda lakukan. Itu pertanda Anda masih berada di jalan yang benar, pertanda bahwa Allah masih sayang kepada Anda.

Anda “hanya” tergelincir, dan insya Allah pasti bisa bangkit lagi. Coba bayangkan andai saja Anda tidak sadar dan terus melakukan dosa, berapa banyak sudah dosa yang menumpuk! Orang yang baik itu bukan orang yang tidak bersalah atau tidak berdosa sama sekali (sebab, setiap manusia pasti bersalah dan berdosa), tetapi orang yang segera menyadari kesalahannya lalu bertobat.

Namun demikian, dosa yang Anda lakukan itu tergolong dosa yang berat. Tidak jujur, misalnya. Tidak jujur itu identik dengan berbohong. Sementara, berbohong itu sejatinya tidak boleh ada dalam diri seorang mukmin.

Suatu waktu Nabi saw. pernah ditanya, “Wahai Rasulullah! Apakah (mungkinkah) seorang mukmin itu memiliki sifat penakut?” Rasulullah menjawab, “Mungkin.” Beliau ditanya lagi, “Mungkinkah seorang mukmin itu bakhil?” “Mungkin,” jawab Rasulullah saw. Ketiga kalinya beliau ditanya, “Mungkinkah seorang mukmin itu berbohong?” Rasulullah saw menjawab, “Tidak.” (Diriwayatkan oleh Al-Mundziri dalam Bab “Anjuran Berbuat Jujur dan Larangan Berbuat Bohong” dalam bukunya Al-Targhîb wa al-Tarhîb). Terlihat di situ bahwa berbohong (tidak jujur) adalah sesuatu yang semestinya tidak ada sama sekali pada diri seorang mukmin.

Juga dosa mengambil hak orang lain, ini termasuk dosa yang tidak ringan. Terkait dengan hak orang lain ini, selain kita harus memohon ampun kepada Allah dan meminta maaf kepada yang bersangkutan, kita juga harus mengembalikan hak mereka yang telah kita ambil secara tidak benar itu. Ini yang berat. Sebelum mati, urusan antarsesama manusia itu harus sudah selesai. Kalau tidak, pertanggungjawabannya di akhirat akan sangat berat dan sulit.

Kesyukuran yang kedua, dengan menyadari kesalahan lalu bertobat, Anda berpeluang mendapat ampunan Allah jika tobat itu Anda lakukan dengan penuh penyesalan, penuh kesadaran, takut akan siksa Allah, dan penuh harap akan rahmat kasih sayang-Nya.

Dan, orang yang bertobat/menyesali dosanya itu bagaikan orang yang tidak berbuat dosa (al-tâ’ibu min al-dzanbi kaman lâ dzanba lahu). Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja selama matahari masih terbit dari timur, selama belum datang sekaratulmaut. Tangan Allah juga selalu terbuka pada siang hari untuk menerima tobatnya orang-orang yang berdosa pada malam hari, dan selalu terbuka juga pada malam hari untuk menerima tobatnya orang-orang yang berdosa pada siang hari.

Apa yang Anda lakukan dengan banyak beristigfar dan bersedekah, itu insya Allah sudah benar. Tetapi dapat saya tambahkan di sini, jika memungkinkan kembalikanlah hak orang lain yang Anda ambil secara tidak benar itu kepada pemiliknya, atau minta kepada mereka untuk merelakannya agar harta itu menjadi halal buat Anda. Jika tidak mungkin, perbanyaklah sedekah dan niatkan pahala sedekah itu untuk mereka yang telah Anda zalimi.

Saya ikut berdoa semoga Allah swt. terus membimbing kita semua ke jalan yang diridai-Nya, dan memberi kemudahan hidup dalam rangka berbakti dan beribadah kepada-Nya. Amin.

Referensi sebagai berikut ini ;












Hati-Hati Bisa Jadi Taubat Tidak Diterima, Karena Sering Mengambil Hak Orang Lain

Hati-Hati Bisa Jadi Taubat Tidak Diterima, Karena Sering Mengambil Hak Orang Lain. Menahan hak orang lain hingga tidak mengambil hak atas orang lain itu merupakan sebuah kejahatan.  Dalam islam perbuatan tersebut sangat berdosa dan bisa menjadi penyebab susah diterimanya taubat oleh Allah SWT. Semua perbuatan haram atau maksiat dan yang terbesarnya adalah syirik diterima taubatnya, seperti firman Allah SWT: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa kesyirikan dan mengampuni dosa selainnya bagi orang yang ia kehendaki (ketika mereka mati dan masih membawanya),” (QS. An-Nisa : 48 dan 116).

Kemudian Allah berfirman dalam ayat taubat “Katakan (wahai Muhammad para hamb yang melampaui batas terhadap dirinya, janganlah kalian berputus asa dari rahmat (ampunan) Allah, sungguh! Allah mengampuni semua dosa,” (QS. Az-Zumar:53).

Dalam hadist Qudsi Allah berkata “Wahai para hamba-Ku kalian berbuat kesalahan dimalam dan siang hari dan aku mengampuni seluruh jenis dosa maka mintalah ampun kepada-Ku, pasti akan Ku ampuni kalian!” (HR. Muslim no. 2577).

Akan tetapi apabil ada perbuatan haram yang berkaitan dengan hak orang lain, maka taubat tidak sempurna kecuali setelah memberikan hak kepada pemiliknya.

Jadi barang siapa berlaku zalim pada seseorang terkait jiwa, harta, atau kehormatan kemudian ia bertaubat kepada Allah, maka ia harus memberikan hak kepada orang tersebut atau meminta kerelaan atau memberi ganti.

Atau dia memohon ampunan kepada Allah SWT apabila hak itu tidak berbentuk harta, ia meminta ampun kepada Allah maka Allah pun akan memberi pahala kepadanya atas taubatnya, apabila ia benar-benar jujur niatnya.

Referensi sebagai berikut ini ;












Pernah Mengambil Hak Orang Lain, Apakah Cukup dengan Taubat? (Ustadz Syafiq Riza Basalamah)

Pernah Mengambil Hak Orang Lain, Apakah Cukup dengan Taubat? (Ustadz Syafiq Riza Basalamah), Mengambil hak orang lain merupakan perbuatan dosa yang sangat dilarang oleh Allah SWT.

Lalu, bagaimana cara menebus kesalahan terhadap orang yang haknya pernah diambil.

Apakah menebus kesalahan tersebut cukup dengan taubat kepada Allah SWT. 

Syarat taubat jika berkaitan dengan Allah SWT ada tiga yaitu menyesali perbuatan, meninggalkan, dan bertekad untuk tidak mengulangi," katanya. 

"Tapi jika berkaitan dengan makhluk Allah SWT dimana kita pernah menyakiti orang lain, mengambil hak orang lain, ghibah dan mencaci orang lain," sambungnya.

"Maka kita harus minta maaf kepada orang tersebut. Jika hak itu kita ambil, maka balikkan pada orang tersebut," lanjutnya.

"Sebelum nanti suatu hari sudah tidak ada harta lagi. Dan tidak cukup kita hanya bertaubat pada Allah SWT saja," ujarnya.

Kemudian bagaimana jika menghadapi kondisi tidak mengetahui keberadaan orang tersebut.

Hal ini sering terjadi, seperti saat masih, SD, SLTP, SLTA, ataupun pada masih Kuliah, ataupun maish sedang dalam saat bekerja di Instansi tertentu kemudian lalu berpisah. Sehingga tidak mengetahui keberadaan orang tersebut.

Ustadz Syafiq Riza Basalamah melanjutkan, maka caranya adalah jika uang yang diambil, maka berusahalah sedekah uang itu untuk orang tersebut. Hal ini dilakukan jika tidak mengetahui keberadaan orang tersebut. 

"Tetapi jika itu kehormatan, pernah menghina, mencacinya dan tidak bertemu lagi dengan orang itu. Maka doakan orang itu, doakan dengan kebaikan-kebaikan orang tersebut," lanjutnya.

"Semoga itu menjadi penutup kesalahan kelak, ketika ia menuntut di hari kiamat nanti," tandasnya

Referensi sebagai berikut ini ;