This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Senin, 01 Agustus 2022

5 Hal yang Harus Orangtua Pahami jika Anaknya Sudah Menikah

5 Hal yang Harus Orangtua Pahami jika Anaknya Sudah Menikah. Cepat atau lambat, semua orangtua pasti merasakan fase di mana anaknya menikah. Hal iniadalah suatu hal yang tidak bisa dihindari, dan untuk itu orangtua pun harus menerima dan memahami bahwa akan ada perubahan yang terjadi setelah anak menikah.

Bahwa orangtua tidak mempunyai hak penuh lagi terhadap hidup anak jika ia sudah berumah tangga. Untuk lebih jelasnya tentang apa-apa saja yang harus dipahami orangtua setelah anak menikah bisa simak pembahasan di bawah ini, ya.

1. Pengelolaan uangnya sudah tidak seperti saat belum menikah 

Saat anak menikah maka sebagai orangtua kamu harus memahami bahwa pengelolaan finansial atau keuangannya sudah tidak seperti saat belum menikah dulu. Jumlah pengeluarannya akan berubah, dan kamu tidak bisa menuntut ia untuk memberi uang pada orangtuanya dengan penuh seperti dulu.

Hal lainnya yang semestinya orangtua pahami ketika anak menikah ialah gak perlu ikut campur permasalahan rumah tangganya. Dalam hubungan pernikahan pasti ada masalah dan konflik,namun biarkanlah ia menyelesaikan masalahnya sendiri supaya ia belajar menjadi orang dewasa.

3. Membiarkannya belajar mandiri 

Kemudian orangtua juga harus membiarkan anaknya belajar mandiri. Memilih untuk menikah berarti sudah berani menanggung beban sendiri, jadi jangan membiarkannya untuk terus bergantung. Bukannya jahat atau tega, namun ini juga tugas orangtua untuk mendidik anaknya agar bertanggung jawab atas kehidupan pernikahannya.

4. Gak boleh mengatur dan hanya bisa memberi nasihat 

Orangtua juga gak diperbolehkan lagi untuk mengatur hidup anak ketika ia sudah menikah, dan hanya boleh sebatas memberinya nasihat atau saran-saran saja. Sebenarnya ini lebih kepada tindakan yang tidak pantas jika masih tetap mengatur anak. Karena kalau sudah menikah anak sudah bukan tanggung jawab orangtua lagi,kan.

5. Menghargai caranya mengelola keluarga sendiri 

Hal terakhir yang patut orangtua pahami ialah untuk menghargai cara anak mengelola rumah tangga dan keluarganya sendiri. Contohnya seperti bagaimana ia menjadi kepala keluarga, menata tempat tinggal, caranya mendidik anak-anak dan afeksi sayangnya terhadap pasangan. Orangtua tidak memiliki hak untuk ikut campur dalam hal ini.

Ketika anak memutuskan menikah tentu ada hal-hal tertentu yang berubah, dan orangtua sebaiknya memahami lima hal di atas setelah anaknya menikah.

Referensi sbb ini : 5 Hal yang Harus Orangtua Pahami jika Anaknya Sudah Menikah 















Bakti Anak Perempuan yang sudah Menikah

Bakti Anak Perempuan yang sudah Menikah.  Sebagai anak perempuan yang sudah menikah, mungkin ada beberapa yang bertanya-tanya bagaimanakah cara agar kita tetap bisa berbakti kepada orang tua kita, namun tentunya kita ingin melakukan hal tersebut tanpa harus menjadi istri yang durhaka pada suami. Berikut ini ada beberapa cara agar kita sebagai anak perempuan tetap bisa berbakti kepada orang tua meski sudah menikah:

1. Tetap menjalin silaturahmi dengan orang tua

Silaturahmi yang harus didahulukan adalah silaturahmi terhadap orang tua. Walaupun sudah menikah, tidak berarti bahwa hubungan orang tua dan anak harus diputus begitu saja. Allah tidak menyukai orang yang memutus tali silaturahmi, apalagi anak terhadap orang tuanya. Jika demikian, anak perempuan yang memutus tali silaturahmi akan menjadi anak durhaka terhadap orang tuanya.

2. Merawat orang tua

Baiknya, yang mendapatkan tanggung jawab dan kewajiban untuk merawat orang tua adalah anak laki-laki. Sesuai dengan ajaran Islam bahwa kewajiban laki-laki setelah menikah adalah kepada orang tuanya lebih dulu, baru kemudian kepada istri dan anaknya.

Namun kondisi ini seringkali sulit dicapai karena satu dan lain hal. Seringkali hanya ada anak perempuan dalam sebuah keluarga, atau hanya anak perempuannya yang bisa merawat orang tuanya. Dalam kondisi seperti ini, kewajiban tersebut akan jatuh kepada anak perempuan dengan seizin suaminya.

3. Menafkahi orang tua

Kewajiban anak terhadap orang tua setelah menikah antara lain untuk membantu menafkahi orang tua. Jika perempuan tidak memiliki penghasilan sendiri, tentu ia dapat memberi nafkah kepada orang tuanya jika direstui suaminya. Bagi perempuan yang memiliki penghasilan sendiri, uangnya adalah miliknya sendiri sehingga ia bebas menggunakannya untuk membantu nafkah orang tua. Namun alangkah baiknya jika meminta izin suami terlebih dulu untuk melakukan hal tersebut, sebab bagaimanapun suami adalah pemimpin dalam rumah tangga.

4. Berbuat baik kepada orang tua

Menikah bukanlah alasan untuk memperlakukan orang tua dengan buruk. Berbuat baik tidak hanya menjadi kewajiban orang tua terhadap anak saja, melainkan juga merupakan kewajiban yang harus dipenuhi anak terhadap orang tua. Berbuat baik terhadap orang tua dan keutamaan berbakti kepada orang tua disebutkan dalam hadits berikut:

“Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu tidak beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu dan bapakmu. Jika salah seorang atau keduanya berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali mengatakan ‘ah’ kepada keduanya dan janganlah membentak keduanya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. “ (QS. Al Israa: 23)

5. Merendahkan diri di hadapan orang tua

Salah satu kewajiban wanita yang sudah menikah terhadap orang tua adalah merendahkan diri di hadapan orang tuanya. Merendahkan diri adalah cara menghormati orang tua. Misalnya dengan menundukkan pandangan saat diberi nasihat, tidak membantah dan tidak merasa diri lebih tahu dari orang tua, memanggil orang tua dengan hormat, berjalan tidak mendahului orang tua. Mengalah walaupun belum tentu memiliki kesalahan juga salah satu bentuk merendahkan diri di hadapan orang tua, sebagaimana disebutkan untuk merendahkan diri dalam ayat berikut ini:

“Rendahkanlah dirimu terhadap kedua orang tuamu dengan kasih sayang dan katakanlah: ‘ Ya Tuhanku, kasihanilah kedua orang tuaku sebagaimana mereka telah mengasihiku sewaktu aku kecil’.” (QS. Al Israa: 24)

6. Berkata baik kepada orang tua

Misalnya berbicara kepada orang tua perkataan yang baik, yang dapat menyejukkan hatinya. Usahakan untuk tidak membentak dan berkata kasar, apalagi membantah perkataan orang tua yang ditujukan untuk menasihati anak. Bila ada ucapan yang keliru dari orang tua, perbaikilah dengan lemah lembut dan bahasa yang baik.

7. Membahagiakan orang tua

Kewajiban anak perempuan kepada orang tua yang sudah menikah antara lain adalah untuk mencari cara membahagiakan orang tua dengan benar. Jauhkan segala hal yang bisa menyusahkan hati orang tua dan dekatkanlah berita gembira serta kabar baik kepada mereka. Bila terpaksa menyampaikan kabar buruk, sampaikanlah dengan perlahan dan teratur, serta dengan cara bersikap tenang.

8. Memenuhi kebutuhan orang tua

Kita tidak akan bisa tahu cara menjadi orang tua yang baik apabila tidak bisa memenuhi kewajiban kepada orang tua sendiri. Bila memungkinkan, memenuhi berbagai kebutuhan orang tua dapat dilakukan oleh anak perempuan yang telah menikah sekalipun. Contohnya ketika orang tua perlu ke dokter, perlu membeli obat, perlu diantar ke suatu tempat, bahkan juga bila hanya sekedar memerlukan teman mengobrol.

9. Meminta izin dan restu orang tua

Bagi wanita yang sudah menikah, mungkin izin orang tua bukanlah hal yang utama lagi karena lebih utama untuk meminta izin kepada suami. Namun restu dan doa orang tua adalah segalanya, bila tidak mempertimbangkan perasaan orang tua maka anak dapat menjadi durhaka.

Selain itu, meminta restu orang tua dapat membuat mereka senang bahwa sang anak masih membutuhkan saran dan pendapat mereka, dan tidak mengabaikan orang tua begitu saja dalam membuat keputusan besar.

Keutamaan berbakti kepada orang tua dapat diperoleh semua anak, baik itu anak lakI-laki atau perempuan. Kewajiban anak perempuan terhadap orang tua setelah menikah tetap bisa dijalankan dengan izin dan restu suami, karena itulah diperlukan kebijaksanaan bagi para suami untuk berlapang dada dan mengerti pentingnya bagi para istri untuk mencari surga dengan juga berbakti kepada orang tuanya selama hal itu memungkinkan tidak merugikan keluarganya sendiri.

Referensi : Bakti Anak Perempuan yang sudah Menikah














10 Kewajiban Orang Tua kepada Anak yang Sudah Menikah

10 Kewajiban Orang Tua kepada Anak yang Sudah Menikah. kewajiban, orang tua kepada anak yang sudah menikah ada banyak, para orang tua pastinya akan senang saat anaknya sudah menemukan sosok pasangan yang tepat dalam membangun bahtera rumah tangga, namun tentunya bukan berarti kita lepas tangan begitu saja.

Ada beberapa kewajiban orang tua terhadap anak yang sudah menikah yang perlu kita tahu. Apa sajakah itu? Berikut penjelasannya. Berikut 10 kewajiban orangtua kepada anak yang sudah menikah:

Kewajiban orang tua kepada anak yang sudah menikah: Tetap Menyayangi Anaknya

Sama halnya dengan memastikan kesehatan anaknya, menyayangi anak juga tetap harus dilakukan hingga kapanpun. Karena kasih sayang orang tua sangat berarti bagi seorang anak. Dan seorang anak akan terus memerlukannya. (baca: Keutamaan Berbakti Kepada Orang tua)

Kewajiban orang tua kepada anak yang sudah menikah: Menyayangi Anak dari Anaknya

Keinginan terbesar bagi seseorang yang telah menikah adalah memiliki anak. Ketika anak tersebut telah lahir di dunia, maka wajib bagi orang tuanya untuk menyayangi dan memberikan yang terbaik untuk anaknya.

Hal tersebut juga berlaku bagi orang tua dari pasangan yang telah memiliki anak tersebut. Menyayangi anak dari anaknya menjadi suatu kewajiban karena anak tersebut merupakan keterunannya yang tetap membutuhkan kasih sayang, terutama dari orang tua dan orang tua dari orang tuanya (kakek/nenek).

Kewajiban orang tua kepada anak yang sudah menikah: Menyayangi Istri/Suami dari Anaknya

Kasih sayang memang sangat diperlukan bagi siapapun. Akan tetapi, memberikan kasih sayang dapat menjadi wajib hukumnya, seperti kepada anak, orang tua, suami/istri, dan keluarga.

Seseorang yang telah menikah otomatis anggota keluarganya akan bertambah. Istri/suami dari anaknya juga akan menjadi anaknya sendiri. Oleh karena itu, orang tua memiliki kewajiban untuk menyayangi istri/suami dari anaknya.

Kewajiban orang tua kepada anak yang sudah menikah: Tetap Mejalin Silaturahmi

Sebagai orang tua yang baik, menjalin silaturahmi harus tetap dilakukan meskipun anaknya telah menikah. Pernikahan yang membuat seorang anak dan orang tuanya berpisah secara tempat tinggal, tidaklah menjadi penghalang atau memutuskan silatuhrami kepada anak.

Akan tetapi, harusnya silaturahmi tersebut semakin erat. Selain itu, dengan silaturahmi juga dapat mempermudah jalannya rejeki dan diperpanjang umurnya.

Dari Abu Hurairah Ra., Rasullah ﷺ. bersabda, “Barang siapa yang ingin diluaskan rizkinya, dan dipanjangkan umurnya, hendaklah dia menyambungkan silaturahmi.” (HR. Bukhari)

Kewajiban orang tua kepada anak yang sudah menikah: Mengingatkan Kepada Kebaikan dan Tetap pada Jalan Allah

Pernikahan biasanya identik dengan kemandirian dan kemampuan seseorang untuk bertanggungjawab terhadap segala hal. Dapat mengetahui mana yang baik dan buruk bagi dirinya dan orang disekitarnya. Akan tetapi, peran orang tua untuk membimbing anaknya juga masih dibutuhkan ketika anaknya telah menikah.

Seorang anak yang telah menikah juga tetap perlu diingatkan kepada kebaikan oleh orang tuanya. Karena hal ini tidak terlepas dari sifat dasar manusia yang sering melakukan kesalahan. Hal ini ditegaskan dalam hasits.

Nabi Muhammad ﷺ. bersabda:

“Setiap anak Adam sering melakukan dosa dan sebaik-baiknya orang yang melakukan dosa adalah orang-orang yang bertaubat.” (HR. Ibnu Majah).

Kewajiban orang tua kepada anak yang sudah menikah: Menghormati Keputusan Baik Anaknya

Setiap keputusan yang dibuat seorang anak hendaknya dihormati dan didukung, asalkan masih dalam koridor kebaikan. Misal, ketika sudah menikah seorang anak akan memilih atau memutuskan untuk pisah tempat tinggal dengan orang tuanya.

Maka, orang tua wajib menghormati keputusan itu, dan membiarkan bahkan mendukung untuk keputusan tersebut.

Kewajiban orang tua kepada anak yang sudah menikah: Memberikan Bantuan Ketika Dibutuhkan

Meskipun seorang anak telah menikah, terkadang ia tetap memerlukan bantuan dari orang tuanya. Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan orang lain untuk hidup.

Ketika dibutuhkan, orang tua wajib membantu anaknya dalam berbagai hal yang mampu orang tua berikan.

Kewajiban orang tua kepada anak yang sudah menikah: Sebagai Sarana Tukar Pikiran

Ketika ada satu atau berbagai hal di mana sang anak membutuhkan masukan untuk masalahnya, ia dapat menjadikan orang tua sebagai sarana tukar pikiran setelah istrinya/suaminya.

Dalam hal ini, kewajiban orang tua hanya memberikan masukkan kepada permasalahan yang tengah dihadapi sang anak, bukan memberikan keputusan. Adapun keputusan dikembalikan lagi pada sang anak.

Kewajiban orang tua kepada anak yang sudah menikah: Bersikap Adil

Bersikap adil bukanlah membagi sama rata terhadap sesuatu, melainkan membagi sesuatu sesuai pada porsinya. Artinya, perlakuan adil orang tua terhadap anak yang belum menikah dan telah menikah tentu berbeda.

Karena kebutuhan perlakuan orang tua terhadap anak yang belum menikah dan telah menikah juga berbeda. Maka, orang tua harus mengerti bagaimana bersikap adil kepada anak-anak mereka.

Kewajiban orang tua kepada anak yang sudah menikah: Mendoakan Kebaikan untuk Anaknya

Kewajiban terakhir orang tua kepada anaknya yang sudah menikah adalah mendoakan kebaikan untuknya. Sebenarnya dalam kasus ini, orang tua tetap memiliki kewajiban untuk mendoakan kebaikan kepada anaknya hingga ajal menjemput mereka. Karena baik tidaknya kehidupan seorang anak juga tergantung pada doa orang tua

Referensi : 10 Kewajiban Orang Tua kepada Anak yang Sudah Menikah
















Orang Tua Boleh Lakukan Ini Jika Anak Sudah Menikah (Ustadz Khalid Basalamah)

Orang Tua Boleh Lakukan Ini Jika Anak Sudah Menikah (Ustadz Khalid Basalamah). Semua orang tua tentunya menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Namun, kelak nantinya anak juga akan menikah.Ketika anak sudah menikah, maka ada batasan-batasan tertentu bagi orang tua. Ada yang boleh dan tidak boleh dilakukan orang tua ketika anak sudah memulai hidup rumah tangga. Ustadz Khalid Basalamah menerangkan, jika anak sudah menikah, maka jangan ikut campur dengan rumah tangga anak.

Dalam Islam juga tidak boleh ada campur tangan orang tua ketika anak sudah menikah. “Apalagi, 80 persen perceraian terjadi karena adanya campur tangan orang tua,” ujar Ustadz Khalid Basalamah. Biarkan anak hidup menjalani suka dukanya kehidupan rumah tangga. Kalau kehidupan rumah tangganya bahagia, maka biarkan bahagia. Kemudian, sebagai orang tua kepada anak yang sudah menikah juga tidak boleh memaksakan kehendak.

“Apalagi, kalau orang tua berkunjung ke rumah anak yang sudah menikah, maka kita tidak boleh menanggapi apapun,” kata Ustadz Khalid Basalamah. Misalnya, ketika disuguhkan dengan gelas yang retak, maka orang tua tidak boleh protes. Intinya, orang tua tidak boleh mengomentari atau marah-marah terhadap keadaan rumah anak yang sudah menikah tersebut. “Bahkan, ketika menantunya laki-laki lalu tinggal di rumah mertuanya. Maka, laki-laki tersebut mempunyai hak untuk membawa istrinya keluar dari rumah tersebut,” tutur Ustadz Khalid Basalamah. Jadi, ketika menantu laki-laki tersebut memutuskan untuk keluar dari rumah mertuanya. Maka, mertuanya tidak boleh memaksa untuk terus tetap tinggal di rumah mertuanya.

Tentunya, memutuskan untuk keluar rumah dari mertuanya tersebut juga bukan tindakan yang buruk. Terutama, jika anaknya ingin hidup mandiri setelah menikah. Namun, ternyata ada satu hal yang boleh dilakukan oleh orang tua kepada anaknya yang sudah menikah. Khususnya, ketika sang anak meminta usulan atau pendapat orang tuanya terhadap kisah rumah tangganya. “Jadi, kalau ada masalah, terus anak konsultasi ke orang tua, maka pecahkan masalah tersebut bersama-sama,” kata Ustadz Khalid Basalamah. Namun, jika anak tersebut tidak meminta pendapat atau usulan apapun, maka orang tua tidak boleh ikut campur dengan urusan rumah tangga sang anak.

Referensi : Orang Tua Boleh Lakukan Ini Jika Anak Sudah Menikah (Ustadz Khalid Basalamah)

















Pentingnya Memenuhi Kewajiban Terhadap Anak

Pentingnya Memenuhi Kewajiban Terhadap Anak. Berikut beberapa alasan mengapa penting menjalankan kewajiban orang tua terhadap anak yang sudah menikah, antara lain :

1. Mendapat Pahala yang Tetap Mengalir Meski Telah Meninggal Dunia

Begitu banyak kewajiban orang tua terhadap anak yang harus dipenuhi. Hal tersebut semata untuk menjadikan seorang anak yang berbakti kepada orang tua dan Allah SWT. Karena salah satu amal yang pahalanya akan tetap mengalir meski telah mininggal dunia adalah doa seorang anak yang soleh dan solehah. Rasullah Saw. bersabda:

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang sholeh.” (HR. Muslim)

2. Diangkat Derajatnya di sisi Allah SWT

Orang tua yang berhasil memenuhi kewajiban terhadap anaknya tentu akan menciptakan seorang anak yang dapat dibanggakan. Maksud dari dibanggakan disini adalah anak yang patuh kepada kedua orang tua, anak yang pintar dan cerdas, dan sukses di dunia dan akhirat. Dengan begitu, derajat orang tua dapat terangkat oleh anaknya.

Dari Abu Hurairah Ra. Rasulullah Saw. juga menerangkan bahwa setelah meninggal dunia, derajat orang masih bisa diangkat. Si mayit yang merasa diangkat derajatnya terkejut dan berkata,” Ya Allah, apa ini?” maka akan dijawab,” Itu karena anakmu selalu memintakan ampun untukmu.” (HR.Bukhori).

3. Ditambah Umurnya

Dari Abu Darda, Rasulullah Saw. bersabda, ”Sesungguhnya Allah tidak akan menangguhkan umur seseorang apabila ia telah sampai ajalnya. Penambahan umur itu hanyalah apabila menganugerahkan keturunan yang shalih kepada seorang hamba. Orang tuanya didoakan maka sampailah doanya ke alam kuburnya.” (HR.Hakim).

4. Meringankan Beban Orang Tua

Lebih dari itu, hidup orang tua juga akan menjadi lebih tenang dan bahagia serta segala kebutuhan orang tua kelak akan terpenuhi dengan baik oleh anaknya. Anak yang berbakti kepada orang tua tidak akan segan mengurus segala kebutuhan orang tuanya kelak. Apakah keadaan orang tua sedang sakit ataupun sehat wal afiat.

5. Anak Soleh Akan Menjaga Nama Baik Keluarga

Anak yang soleh tentu akan menjaga nama baik kelurga dan orang tuanya. Adapun masalah yang akan mengahampiri keluarga dan orang tuanya kelak, ia akan mencari jalan keluar dari masalah tersebut dan menjaga serta merahasiakan aib keluarganya dari orang lain.

6. Menasihati dan Membimbing Keluarga dan Orang Tua

Anak yang soleh dan solehah akan selalu menjaga dan menasihati keluarga dan orang tuanya agar tetap berada di jalan Allah.

Allah SWT. berfirman:

”Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu”. (QS. At Tahrim: 6)

Orang tua merupakan sosok yang sangat berarti bagi seorang anak. Tanpa orang tua, seorang anak tidak akan mampu menjalani hidup di dunia ini. Seperti yang telah kita ketahui, orang tua memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi untuk anaknya. Akan tetapi, sebaiknya seorang anak juga tidak terlalu menuntut orang tua untuk menjalani kewajibannya. Perhatikan juga kemampuan orang tua dalam menjalani kewajibannya dan berlakulah sebaik mungkin kepada orang tua agar mendapat hidup yang berkah dan diridhai oleh Allah SWT. Semoga artikel ini bermanfaat.

Referensi : Pentingnya Memenuhi Kewajiban Terhadap Anak










Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak yang Sudah Menikah

Peran orang tua sangat menentukan karakteristik seorang anak. Apakah anak tersebut akan menjadi baik atau sebaliknya, akan menjalankan perintah Allah atau malah menjalankan larangan-Nya. Rasullah Saw. bersabda: “Tiada seorangpun yang dilahirkan kecuali dilahirkan pada fithrah (Islam)nya. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari Muslim).

Terbentuknya karakteristik seorang anak juga tidak lepas dari kewajiban orang tua untuk mendidik dan memenuhi segala kebutuhannya. Adapun garis besar kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah sebagai berikut:

  1. Memberikan nama yang baik.
  2. Melakukan akikah untuk anaknya.
  3. Menyusui anaknya.
  4. Memberikan kasih sayang.
  5. Mengkitankan anaknya.
  6. Memberikan makanan yang halal dan baik.
  7. Memberikan tempat tinggal yang layak.
  8. Memberi pendidikan agama dan formal.
  9. Menikahkan anaknya.

Kewajiban orang tua tidak serta merta putus ketika anaknya sudah menikah. Masih ada beberapa kewajiban yang seharusnya dijalankan setelah anaknya menikah, meski tidak seberat kewajibannya pada anak yang belum menikah. Adapun kewajiban orang tua terhadap anak yang sudah menikah adalah sebagai berkut:

1. Memastikan Kesehatan Anaknya.

Sebagai orang tua, memastikan kesehatan anaknya sudah tentu menjadi tanggungjawab dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Meski telah menikah dan telah memiliki pendamping hidup, orang tua tetap wajib memastikan hal ini.

2. Tetap Menyayangi Anaknya

Sama halnya dengan memastikan kesehatan anaknya, menyayangi anak juga tetap harus dilakukan hingga kapanpun. Karena kasih sayang orang tua sangat berarti bagi seorang anak. Dan seorang anak akan terus memerlukannya.

3. Menyayangi Anak dari Anaknya

Keinginan terbesar bagi seseorang yang telah menikah adalah memiliki anak. Ketika anak tersebut telah lahir di dunia, maka wajib bagi orang tuanya untuk menyayangi dan memberikan yang terbaik untuk anaknya. Hal tersebut juga berlaku bagi orang tua dari pasangan yang telah memiliki anak tersebut. Menyayangi anak dari anaknya menjadi suatu kewajiban karena anak tersebut merupakan keterunannya yang tetap membutuhkan kasih sayang, terutama dari orang tua dan orang tua dari orang tuanya (kakek/nenek).

4. Menyayangi Istri/Suami dari Anaknya

Kasih sayang memang sangat diperlukan bagi siapapun. Akan tetapi, memberikan kasih sayang dapat menjadi wajib hukumnya, seperti kepada anak, orang tua, suami/istri, dan keluarga. Seseorang yang telah menikah otomatis anggota keluarganya akan bertambah. Istri/suami dari anaknya juga akan menjadi anaknya sendiri. Oleh karena itu, orang tua memiliki kewajiban untuk menyayangi istri/suami dari anaknya.

5. Tetap Mejalin Silaturahmi

Sebagai orang tua yang baik, menjalin silaturahmi harus tetap dilakukan meskipun anaknya telah menikah. Pernikahan yang membuat seorang anak dan orang tuanya berpisah secara tempat tinggal, tidaklah menjadi penghalang atau memutuskan silatuhrami kepada anak. Akan tetapi, harusnya silaturahmi tersebut semakin erat. Selain itu, dengan silaturahmi juga dapat mempermudah jalannya rejeki dan diperpanjang umurnya.

Dari Abu Hurairah Ra., Rasullah Saw. bersabda, “Barang siapa yang ingin diluaskan rizkinya, dan dipanjangkan umurnya, hendaklah dia menyambungkan silaturahmi.” (HR. Bukhari)

6. Mengingatkan Kepada Kebaikan dan Tetap pada Jalan Allah

Pernikahan biasanya identik dengan kemandirian dan kemampuan seseorang untuk bertanggungjawab terhadap segala hal. Dapat mengetahui mana yang baik dan buruk bagi dirinya dan orang disekitarnya. Akan tetapi, peran orang tua untuk membimbing anaknya juga masih dibutuhkan ketika anaknya telah menikah. Seorang anak yang telah menikah juga tetap perlu diingatkan kepada kebaikan oleh orang tuanya. Karena hal ini tidak terlepas dari sifat dasar manusia yang sering melakukan kesalahan. Hal ini ditegaskan dalam hasits.

Nabi Muhammad Saw. bersabda:

“Setiap anak Adam sering melakukan dosa dan sebaik-baiknya orang yang melakukan dosa adalah orang-orang yang bertaubat.” (HR. Ibnu Majah).

7. Menghormati Keputusan Baik Anaknya

Setiap keputusan yang dibuat seorang anak hendaknya dihormati dan didukung, asalkan masih dalam koridor kebaikan. Misal, ketika sudah menikah seorang anak akan memilih atau memutuskan untuk pisah tempat tinggal dengan orang tuanya. Maka, orang tua wajib menghormati keputusan itu, dan membiarkan bahkan mendukung untuk keputusan tersebut.

8. Mendukung Anak di Jalan Allah

Setiap dukungan orang tua tentu sangatlah berarti bagi seorang anak. Dukungan yang diberikan akan memberikan semangat yang kuat terhadap langkah yang akan dijalaninya. Oleh karena itu, sebagai orang tua yang baik hendaklah mendukung setiap langkah anaknya. Dukungan tersebut wajib diberikan hingga kapanpun dan apabila langkah-langkah sang anak dalam lingkup kebaikan.

9. Memberikan Pelajaran Hidup Berumah Tangga

Bagi pasangan yang baru menikah, pengetahuan tentang hidup berumah tangga tentu banyak yang belum diketahui. Agar kehidupan rumah tangga berjalan dengan baik, maka diperlukan pengetahuan-pengetahuan khusus mengenai hal tersebut. Di sini menjadi peran penting bagi orang tua untuk memberikan pengetahuan tentang hidup berumah tangga. Orang tua wajib memberikan pembelajaran atau pengetahuan bagi anaknya yang baru menikah. Karena orang tua telah lebih dahulu menjalani kehidupan berumah tangga, maka ia akan lebih banyak mengetahui bagaimana seharusnya menjalani hidup berumah tangga. Apa saja yang harus dilakukan dan apa saja yang harus dihindari dalam hidup berumah tangga.

10. Memberikan Bantuan Ketika Dibutuhkan

Meskipun seorang anak telah menikah, terkadang ia tetap memerlukan bantuan dari orang tuanya. Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan orang lain untuk hidup. Ketika dibutuhkan, orang tua wajib membantu anaknya dalam berbagai hal yang mampu orang tua berikan.

11. Sebagai Sarana Tukar Pikiran

Ketika ada satu atau berbagai hal di mana sang anak membutuhkan masukan untuk masalahnya, ia dapat menjadikan orang tua sebagai sarana tukar pikiran setelah istrinya/suaminya. Dalam hal ini, kewajiban orang tua hanya memberikan masukkan kepada permasalahan yang tengah dihadapi sang anak, bukan memberikan keputusan. Adapun keputusan dikembalikan lagi pada sang anak.

12. Melindungi Anaknya

Meski anaknya telah menikah, orang tua tetap memiliki kewajiban untuk melindungi anaknya. Melindungi di sini lebih kepada aib atau sesuatu yang mungkin kurang baik untuk diketahui orang lain bukan kepada perlindungan fisik.

13. Bersikap Adil

Bersikap adil bukanlah membagi sama rata terhadap sesuatu, melainkan membagi sesuatu sesuai pada porsinya. Artinya, perlakuan adil orang tua terhadap anak yang belum menikah dan telah menikah tentu berbeda. Karena kebutuhan perlakuan orang tua terhadap anak yang belum menikah dan telah menikah juga berbeda. Maka, orang tua harus mengerti bagaimana bersikap adil kepada anak-anak mereka.

14. Senantiasa Meridhai Anaknya

Ridha orang tua sangat besar pengaruhnya bagi seorang anak dalam kehidupannya. Karena ridha orang tua juga merupakan ridha Allah. Apabila Allah telah meridhai, maka segala sesuatunya akan menjadi mudah.

Dari Abdullah bin ’Amru Ra., ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (HR. Tirmidzi).

15. Mendoakan Kebaikan untuk Anaknya

Kewajiban terakhir orang tua kepada anaknya yang sudah menikah adalah mendoakan kebaikan untuknya. Sebenarnya dalam kasus ini, orang tua tetap memiliki kewajiban untuk mendoakan kebaikan kepada anaknya hingga ajal menjemput mereka. Karena baik tidaknya kehidupan seorang anak juga tergantung pada doa orang tua.

Referensi : Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak yang Sudah Menikah










Mementingkan Istri Ternyata Termasuk Durhaka Kepada Orangtua

Mementingkan Istri Ternyata Termasuk Durhaka Kepada Orangtua. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Dua perbuatan dosa yang Allah cepatkan azabnya di dunia yaitu berbuat zalim dan al’uquq (durhaka kepada orang tua). Artinya jangan sekali-kali menyakiti kedua orangtua yang telah melahirkan kita.

Sementara yang terjadi selama ini, anak-anak begitu mudah memperlakukan orantua seenaknya. Padahal konsekuensi tidak menghormati orangtua, siksanya tidak menunggu di akhirat, anak yang durhaka langsung kena azab. Rasulullah bersabda: "Ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah SWT tidak akan melihat mereka pada hari kiamat." "Mereka adalah anak yang durhaka kepada kedua orangtuanya, perempuan yang menyerupai laki-laki dan kepala rumah tangga yang membiarkan adanya kejelekan (zina) dalam rumah tangganya."

Lagi-lagi ditegaskan bahayanya durhaka kepada orangtua, dimana Allah SWT tidak menghendaki anak durhaka berada di surga. Sebelum telanjur, ada baiknya menghindari 10 perbuatan ini agar tidak dicap sebagai anak durhaka.

  1. Menimbulkan gangguan terhadap orangtua baik berupa perkataan (ucapan) ataupun perbuatan yang membuat orang tua sedih dan sakit hati.
  2. Berkata ‘ah’ dan tidak memenuhi panggilan orangtua.
  3. Membentak atau menghardik orang tua.
  4. Bakhil, tidak mengurusi orangtuanya bahkan lebih mementingkan yang lain.
  5. Bermuka masam dan cemberut di hadapan orangtua dan merendahkan orangtua.
  6. Menyuruh orangtua, misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan makanan.(Pekerjaan tersebut sangat tidak pantas bagi orangtua, terutama jika mereka sudah tua atau lemah).
  7. Menyebut kejelekan orangtua di hadapan orang banyak atau mencemarkan nama baik orangtua.
  8. Memasukkan kemungkaran ke dalam rumah misalnya alat musik, mengisap rokok, dll.
  9. Mendahulukan taat kepada istri dari pada orangtua. Bahkan ada sebagian orang dengan teganya mengusir ibunya demi menuruti kemauan istrinya.
  10. Malu mengakui orangtuanya. Sebagian orang merasa malu dengan keberadaan orangtua dan tempat tinggalnya ketika status sosialnya meningkat.

Referensi : Mementingkan Istri Ternyata Termasuk Durhaka Kepada Orangtua










Kisah Ayah Durhaka kepada Anak di Zaman Umar Bin Khatab

Kisah Ayah Durhaka kepada Anak di Zaman Umar Bin Khatab. Tak sedikit orang tua yang menuntut putra-putrinya berbakti kepada orang tua. Tetapi dia sendiri tak paham bahwa ada pula sebutan ayah yang durhaka kepada anaknya. Jika anak durhaka nasib hidupnya sia-sia, begitupun orang tua yang durhaka kepada anaknya. Diriwayatkan pada masa Umar bin Khattab ada seorang ayah yang menyeret putranya untuk dihadapkan kepada Amirul Mukminin. Di depan Umar, orang tua itu mengadukan kelakuan putranya yang tak mau menghormati dan durhaka padanya. "Mohon nasehati dia, wahai Amirul mukminin!" kata orang tua itu.

Umar lalu menasehati anak lelaki itu. "Apa kamu tak takut kepada Tuhan-mu sebab ridha-Nya tergantung ridha orang tuamu." Tak disangka-sangka anak itu berbalik tanya: "Wahai Khalifah! Apa di samping terdapat perintah anak berbakti kepada orang tua, terdapat juga ajaran orang tua bertanggung jawab kepada anaknya?". Umar bin Khattab menjawab: "Ya, benar ada! Seharusnya seorang ayah menyenangkan dan mencukupi nafkah istri sekaligus ibu dari putra-putrinya, memberikan nama yang baik kepada putra-putrinya, serta mengajari putra-putrinya Al-Quran dan ajaran agama lainnya."

Mendengar penjelasan Amirul Mukminin, anak laki-laki itu membalas: "Jika demikian, bagaimana aku berbakti kepada ayahku? Demi Allah, ayahku tak sayang kepada ibuku yang diperlakukan tak ubahnya seorang hamba sahaya. Sekali-kalinya dia mengeluarkan uang untuk ibuku, sebanyak 400 dirham untuk menebus ibuku. Dia juga tak menamaiku dengan nama yang baik: Aku dinamai ayahku dengan nama "Juala" (Jadian). Dia juga tak mengajariku mengaji, satu ayat pun!" Seketika itu Umar bin Khattab berpaling, matanya memandang tajam ke arah orang tua anak itu, sambil berkata: "Kalau begitu bukan anakmu yang durhaka, tetapi kamulah orang tua durhaka!"

Jadi, ayah yang durhaka tanda-tandanya adalah: 

  1. tidak menyayangi secara lahir-batin istri yang menjadi sumber belajar pertama kali anak kandungnya. 
  2. berkata kasar dan tidak memanggil putra-putrinya dengan sebutan yang baik. 
  3. tidak mendidik putra-putrinya dengan pendidikan yang baik dan bermanfaat untuk masa depan mereka.

Ibnu al-Qayyim al-Jauzi dalam kitab "Tuhfat al-Maudud" juga pernah berkata: "Barangsiapa menyia-nyiakan pendidikan yang berguna untuk masa depan anaknya dan putra-putrinya dibiarkan begitu saja, maka sungguh dia menjadi orang tua yang paling merugi. Kebanyakan anak menjadi rusak moralitasnya disebabkan faktor orang tua yang menyia-nyiakan pendidikan anaknya. Akibatnya anak itu tak berkembang akal pikirannya dan tak mendatangkan manfaat di masa depannya untuk kedua orangtuanya."Oleh sebab itu, sebagai orang tua, terutama ayah, sepatutnya mencurahkan pikiran, tenaga, dan finansialnya untuk masa depan serta pendidikan buah hatinya. Berapa banyak yang dicurahkan orang tua untuk putra-putrinya semua adalah bernilai sedekah dan akan dilipatgandakan oleh Allah SWT.

Referensi : Kisah Ayah Durhaka kepada Anak di Zaman Umar Bin Khatab












Hukum Orang Tua Durhaka kepada Anak

Sudah banyak kajian dan kisah mengenai kedurhakaan anak kepada orang tua, tetapi belum banyak yang membahas hal sebaliknya, yaitu kedurhakaan orang tua kepada anak. 

Kata durhaka dalam bahasa Arab diistilahkan dengan ‘uquq (عُقُوق), sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوقَ الأُمَّهَاتِ

Sungguh Allah mengharamkan kalian mendurhakai ibu (HR. Bukhari no. 2408).

Seorang pakar bahasa Arab, Ibnu Manzhur menerangkan bahwa ‘uquq adalah lawan kata dari berbakti atau berbuat baik. ‘Uquq tidak hanya bermakna durhaka kepada orang tua, tetapi juga bermakna durhaka kepada selainnya.

Kewajiban orang tua kepada anak

Setiap orang tua memiliki tanggung jawab dalam rumah tangga, termasuk membesarkan anak. Rasulullah ﷺ bersabda:

وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

Laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang perempuan di dalam rumah suaminya adalah pemimpin, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya tersebut (HR. Bukhari no. 2409).

Rasulullah ﷺ mengingatkan Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash ra. akan kewajibannya sebagai orang tua. Beliau ﷺ bersabda:

وَإِنَّ لِوَلَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

Sungguh anakmu punya hak yang harus kamu penuhi (HR. Muslim no. 1159).

Ulama mazhab Hanafi Imam Abu Al-Laits As-Samarqandi mengisahkan bahwa ada seorang laki-laki bersama anaknya datang menemui Sayyidina Umar bin Khattab ra. Ia berkata, “Anakku ini mendurhakaiku.” 

Sayyidina Umar pun menasehati sang anak agar takut kepada Allah dan menjelaskan kewajiban-kewajiban anak kepada orang tuanya. Anak tersebut bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apakah ada kewajiban ayah kepada anaknya?”

Beliau menjawab, “Ada. Kewajibannya adalah memperbagus ibunya (maksudnya adalah menikahi perempuan yang baik agar dapat mendidik anak dengan baik), memberikan nama yang baik, dan mengajarkan Al-Qur’an.”

Sang anak berkata, “Demi Allah, ia tidak memperbagus ibuku, karena ibuku adalah seorang hamba sahaya yang ia beli seharga 400 dirham. Ia tidak memberikanku nama yang baik karena menamaiku Ja’l (kelelawar jantan), dan tidak mengajarkanku satu ayat pun dari Al-Qur’an.”

Lalu Sayyidina Umar menoleh kepada ayah dari anak tersebut dan berkata. “Kamu bilang bahwa anakmu mendurhakaimu. Sebenarnya kamu telah mendurhakainya sebelum ia mendurhakaimu.”

Macam-macam bentuk kedurhakaan orang tua

1. Tidak memberi nafkah dan menelantarkan anak

Abu Hurairah ra. meriwayatkan ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata bahwa ia memiliki dinar. Lalu beliau ﷺ menyuruhnya memberikan bagian (nafkah) untuk diri sendiri.

Laki-laki tadi berkata bahwa ia masih memiliki kelebihan dinar, lantas Rasulullah ﷺ bersabda:

تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى وَلَدِكَ

Berikan untuk anakmu (HR. Abu Dawud no. 1691; hadis shahih menurut Ibnu Hibban).

Ulama mazhab Syafii Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi mewajibkan seorang ayah menafkahi anak berdasarkan hadis tersebut.

Mufti Mesir Syekh Syauqi Ibrahim Allam menegaskan dalam fatwanya bahwa seorang ayah wajib memberikan nafkah kepada anak dan istrinya, berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Jika ia kabur dan meninggalkan kewajiban tersebut, maka dia berdosa. 

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ

Sebaik-baik sedekah adalah dari orang yang sudah cukup (untuk kebutuhan dirinya). Mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu (HR. Bukhari no. 1426).

2. Mengabaikan pendidikan anak

Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (QS. At-Tahrim [66]: 6).

Ahli tafsir Imam Thabari meriwayatkan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. menafsirkan ayat ini sebagai perintah untuk mengajarkan akhlak dan ilmu kepada keluarga (anak dan istri).

Ulama mazhab Syafii Imam Al-Munawi mengatakan bahwa orang tua harus mendidik anak-anaknya tentang akhlak, mengajari Al-Qur’an, dan hukum-hukum syariat yang harus diketahui dan dijalankan sehari-hari.

Di antara bentuk pendidikan syariat paling awal adalah shalat. Allah berfirman:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلٰوةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا

Dan perintahkanlah keluargamu mendirikan shalat dan sabarlah dalam mengerjakannya (QS. Thaha [20]: 132).

Kewajiban memberikan pendidikan shalat secara khusus dimulai sejak anak berusia 7 tahun. Rasulullah ﷺ bersabda:

مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ 

Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat saat mereka berusia tujuh tahun (HR. Abu Dawud no. 495; hadis hasan menurut Imam Nawawi).

3. Melakukan kekerasan

Orang tua tidak boleh melakukan kekerasan kepada anak, baik secara verbal seperti caci maki maupun fisik seperti memukul. Dalam hadis memang disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ menyuruh untuk memukul anak yang tidak mau shalat pada usia 10 tahun (lihat HR. Abu Dawud no. 495). Namun, maksud dari memukul dalam hadis ini dalam kerangka pendidikan, bukan untuk menyakiti atau menyiksa.

Ulama mazhab Syafii Imam Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan bahwa pukulan ini adalah pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Jika anak telah akil baligh atau dewasa, maka orang tua tidak wajib memukul apabila ia meninggalkan shalat, puasa, dan kewajiban lainnya. 

Mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali, dan Imam Ibnu Suraij dari mazhab Syafii berpendapat bahwa pukulan tersebut tidak boleh melebihi tiga kali. Sedangkan Syekh Ibnu Qasim Al-‘Abbadi dari mazhab Syafii mengatakan bahwa pukulan ini hanya boleh dilakukan sebagai pembelajaran jika anak telah diperintahkan melakukan shalat, tetapi ia enggan melaksanakannya, bukan semata-mata memukul tanpa adanya perintah dan teguran terlebih dahulu. 

Ulama fikih modern Syekh Wahbah Az-Zuhaili menambahkan bahwa pukulan ini harus dilakukan menggunakan tangan, bukan dengan kayu atau perkakas lainnya. Pukulan juga tidak boleh diarahkan ke wajah. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَجَنَّبِ الْوَجْهَ، وَلَا يَقُلْ قَبَّحَ اللهُ وَجْهَكَ

Jika salah satu dari kalian memukul, maka hindarilah wajah dan janganlah berkata, “Semoga Allah memperburuk wajahmu!” (HR. Ahmad no. 7420; hadis shahih menurut Az-Zurqani).

Pukulan yang dilakukan di luar ketentuan di atas adalah tindakan yang melampaui batas sehingga dinilai sebagai kekerasan dan aniaya.

4. Berlaku tidak adil

An-Nu’man bin Basyir ra. menceritakan bahwa suatu hari ayahnya memberinya hadiah. Namun, ibunya menolak pemberian itu sebelum suaminya memberitahu hal tersebut kepada Rasulullah ﷺ. Maka ayahnya pergi menghadap Rasulullah ﷺ, dan beliau ﷺ bertanya kepadanya apakah semua anak diberikan hadiah yang sama. Jawabannya tidak. Lantas Rasulullah ﷺ bersabda:

فَاتَّقُوا اللَّهَ، وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ

Bertakwalah kamu kepada Allah, dan berlaku adillah di antara anak-anakmu (HR. Bukhari no. 2587).

Orang tua tidak boleh bersikap pilih kasih kepada salah satu atau sebagian anak-anak mereka, karena sikap ini akan memicu kebencian, rasa iri, dan merusak keakraban. 

Adapun orang tua boleh lebih mencintai salah satu anak dibanding yang lainnya, tanpa mengurangi perlakuan yang adil di antara mereka. Sebagaimana Nabi Yaqub as. yang lebih mencintai Yusuf dan Bunyamin daripada anak-anaknya yang lain, tetapi tetap berlaku adil kepada mereka semua. 

Ahli tafsir Imam Fakhrurrazi menerangkan dalam tafsirnya bahwa cinta bukanlah sesuatu dalam kendali manusia, maka perbedaan kadar mencintai tidak bisa dihindari.

Sahabat Kesan yang budiman, Rasulullah ﷺ mengajarkan untuk berbakti kepada orang tua. Abdullah bin Mas’ud ra. pernah bertanya kepada beliau ﷺ tentang amal yang paling Allah sukai. Rasulullah ﷺ menjawab: shalat pada waktunya, berbakti kepada orang tua, dan jihad di jalan Allah (HR. Muslim no. 85).

Anak adalah rezeki dari Allah sekaligus amanah yang harus dijaga. Bagaimana anak memperlakukan orang tuanya adalah timbal balik dari apa yang ia terima, seperti dalam riwayat Sayyidina Umar bahwa anak yang durhaka bisa jadi karena orang tua yang lebih dulu durhaka kepada mereka.

Semoga kita bukan hanya menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, tetapi juga dapat menjadi orang tua yang berbakti, sehingga anak-anak kita kelak akan terus mendoakan kebaikan untuk kita sepanjang hayat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Jika seseorang meninggal dunia, maka terputus amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakannya (HR. Muslim no. 1631).

Referensi sbb : Hukum Orang Tua Durhaka kepada Anak








Orang tua juga bisa berlaku durhaka terhadap anak-anaknya

Memuliakan orang tua menjadi salah satu sebab seseorang anak menjadi ahli surga. Sebaliknya berbuat durhaka kepada kedua orang tua menjadi sebab seseorang menjadi penghuni neraka. Islam mengajarkan untuk memuliakan dan berlaku baik terhadap orang tua. Kendati demikian, orang tua juga ternyata bisa dianggap durhaka terhadap anaknya, jika dalam konteks mempertahankan keimanan dan agama Islam. 

Alkisah, seorang sahabat nabi yang bernama Saad bin Abi Waqash adalah seorang sahabat yang berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Dia masuk Islam ketika usianya menginjak 16 tahun. Namun, dia pernah dipaksa oleh ibunya untuk murtad dari agama Allah SWT. Kisah Saad bin Abi Waqash ini diceritakan Ustadz Fahmi Salim dalam bukunya yang berjudul “Tadabbur Qur’an di Akhir Zaman” terbitan Pro-U Media. 

Dia mengatakan, ketika beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, Saad kemudian menceritakan keimanannya kepada ibunya. Namun, sang ibu yang selama ini sangat menyayangi dan memanjakannya tiba-tiba jatuh sakit. Karena, sang ibu kaget mendengar putranya yang telah masuk Islam, agama yang sangat dibencinya. Keluarganya juga sangat membenci Nabi Muhammad SAW. Karena itu, ketika Saad masuk Islam, keluarganya merasa tertampar, terutama ibunya yang langsung menghukum putra kesayangannya dengan tidak memberinya nafkah. Namun, hukuman ini tidak mempan untuk mengubah keimanan Saad.

Sang ibu pun tak kekurangan akal. Dia mogok makan sampai mengalami sakit keras. Aksi mogok makan ini dilakukannya untuk membujuk Sa’ad agar murtad dari agama Rasulullah Muhammad SAW

Tapi, cara ini juga tidak berhasil, sanga putra justru mengatakan, “Jangan engkau lakukan itu wahai Ibuku. Sungguh, aku tidak akan meninggalkan agamaku ini. Demi Allah SWT, ketahuilah wahai Ibu, seandainya engkau mempunyai seratus nyawa dan keluar satu per satu, maka aku tidak akan meninggalkan agama ini.” Menurut Ustadz Fahmi Salim, pernyataan Saad tersebut sangat tegas, tetapi disampaikan dengan penuh kelembutan kepada ibunya. 

Sikap teguh ini di kemudian hari meluluhkan sang ibu hingga akhirnya ikut memeluk Islam atas izin Allah SWT. “Sikap keras sang ibu kepada anaknya itu sesungguhkan mencerminkan sikap durhaka orang tua terhadap anaknya,” kata Ustadz Fahmi.  

Referensi : Orang tua juga bisa berlaku durhaka terhadap anak-anaknya










Memperingatkan Neraka tapi Malah Masuk Neraka

Memperingatkan Neraka tapi Malah Masuk Neraka. Ada duta anti-korupsi, malah dia korupsi. Ada duta anti-narkoba, malah pengguna dan pengedar narkoba. Semoga kita yang memperingatkan dari masuk neraka, tidak masuk neraka kelak. Terlihat alim di depan manusia, tapi banyak bermaksiat saat sendiri. Wal ‘iyadzu billah.” Kaum muslimin dan para aktivis dakwah yang semoga dimuliakan oleh Allah. Semoga kita tidak termasuk yang sering memperingatkan manusia akan neraka, akan tetapi kita sendiri yang masuk neraka. Kita banyak menasihati orang lain, tetapi malah kita sendiri yang melanggarnya. Wal ‘iyadzu billah.

Allah Ta’ala berfirman,

أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Al-Quran)?  Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. al-Baqarah: 44).

Adakah yang demikian? Jawabannya, ada. Sebagaimana hadis tentang orang yang selalu melakukan amal ahli surga, tetapi di akhir hayatnya justru ia masuk neraka dengan su-ul khatimah.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞَ ﻟَﻴَﻌْﻤَﻞُ ﻋَﻤَﻞَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻓِﻴْﻤَﺎ ﻳَﺒْﺪُﻭ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻭَﻫُﻮَ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟﻨَّﺎﺭ

“Sesungguhnya seseorang benar-benar melakukan amalan surga – menurut yang tampak bagi masyarakat – padahal ia termasuk penduduk neraka.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Mengapa bisa demikian? Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan alasannya dikarenakan hal buruk  yang tersembunyi dalam hatinya. Dia selama ini menyembunyikan keburukan dan ia tidak sabar beramal sampai sempurna. Beliau Rahimahullah berkata,

قال ابن القيم رحمه الله في “الفوائد” ص 163: لما كان العمل بآخره وخاتمته ، لم يصبر هذا العامل على عمله حتى يتم له ، بل كان فيه آفة كامنة ونكتة خُذل بها في آخر عمره

“Karena amal itu dilihat dari penutupnya. Dia tidak sabar mengamalkan sampai sempurna, bahkan ada yang tersembunyi berupa penyakit hati dan noda yang nampak pada akhit hayatnya.” (al-Fawaid, hal. 163)

Semoga Allah menjaga kita dari hal seperti ini karena ancamannya sangat keras. Dalam hadis disebutkan bahwa manusia yang pertama kali diadili oleh Allah pada hari kiamat salah satunya adalah orang yang mengajarkan agama dan Al-Quran, tetapi tidak ikhlas. Akhirnya ia termasuk yang pertama kali masuk neraka.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ

“Dan didatangkan pula seseorang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu perbuat? ‘ Dia menjawab, ‘Saya telah belajar ilmu dan mengajarkannya, saya juga membaca Al Qur’an demi Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al Qur’an agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca. Dan kini kamu telah dikatakan seperti itu. Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim no. 3527)

Ada beberapa sebab mengapa hal ini bisa terjadi. Akan kami sebutkan beberapa saja dan semoga Allah menjaga kita dari hal ini. Beberapa sebabnya antara lain sebagai berikut:

  1. Berdakwah tanpa ilmu
  2. Tidak ikhlas dan menginginkan dunia
  3. Ingin ketenaran dan pujian manusia
  4. Banyak bermaksiat tatkala sendiri

Pertama, berdakwah tanpa ilmu

Berdakwah tanpa ilmu sangat berbahaya karena mendahului Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujuraat: 1)

Sebagian ulama menjelaskan bahwa ada dosa yang lebih besar dari dosa kesyirikan, yaitu berkata-kata atas nama Allah tanpa ilmu. Hal ini didasarkan pada firman Allah Ta’ala,

قُلْ إنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan: (1) perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi; (2) perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan); (3) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan); (4) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu).” (QS. Al A’raf: 33)

Mengapa dosanya di atas dosa kesyirikan? Karena dosa syirik sumbernya adalah berkata-kata atas nama Allah tanpa ilmu.

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata menjelaskan ayat ini,

فرتب المحرمات أربع مراتب، وبدأ بأسهلها وهو الفواحش، ثم ثنى بما هو أشد تحريما منه وهو الإثم والظلم، ثم ثلث بما هو أعظم تحريما منهما وهو الشرك به سبحانه، ثم ربع بما هو أشد تحريما من ذلك كله وهو القول عليه بلا علم، وهذا يعم القول عليه سبحانه بلا علم في أسمائه وصفاته وأفعاله وفي دينه وشرعه

“Allah mengurutkan keharaman menjadi empat tingkatan. Allah memulai dengan menyebutkan tingkatan dosa yang lebih ringan yaitu al fawaahisy (perbuatan keji). Kemudian Allah menyebutkan keharaman yang lebih dari itu, yaitu melanggar hak manusia tanpa jalan yang benar. Kemudian Allah beralih lagi menyebutkan dosa yang lebih besar lagi, yaitu berbuat syirik kepada Allah. Lalu terakhir Allah menyebutkan dosa yang lebih besar dari itu semua, yaitu berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Larangan berbicara tentang Allah tanpa ilmu ini mencakup berbicara tentang nama dan shifat Allah, perbuatan-Nya, agama, dan syari’at-Nya.” (I’lamul Muwaqqi’in, hal. 31, Dar Kutubil ‘Ilmiyah)

Kedua, tidak ikhlas dan menginginkan dunia
Sebagaimana hadis yang kita bawakan sebelumnya, ia menjadi orang pertama yang dicampakkan ke dalam neraka karena tidak ikhlas kepada Allah.
Rasa ikhlas harus senantiasa kita perhatikan. Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullah mengatakan,
ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي ؛ لأنها تتقلب علي
“Tidaklah aku berusaha untuk mengobati sesuatu yang lebih berat daripada meluruskan niatku, karena niat itu senantiasa berbolak-balik.” (Jami’ Al-‘ulum wal hikam, hal. 18, Darul Aqidah).
Ketiga, ingin ketenaran dan pujian manusia
Para aktivis dakwah dan dai bisa jadi terjerumus dalam hal ini.
Asy-Syathibi Rahimahullah berkata,
آخر الأشياء نزولا من قلوب الصالحين : حب السلطة والتصدر
“Hal yang paling terakhir luntur dari hati orang-orang salih adalah cinta kekuasaan dan cinta eksistensi (popularitas).” (Al-I’tisham, karya Asy-Syatibiy).
Keempat, banyak bermaksiat tatkala sendiri
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﺃَﻣَﺎ ﺇِﻧَّﻬُﻢْ ﺇِﺧْﻮَﺍﻧُﻜُﻢْ ﻭَﻣِﻦْ ﺟِﻠْﺪَﺗِﻜُﻢْ ﻭَﻳَﺄْﺧُﺬُﻭﻥَ ﻣِﻦْ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻛَﻤَﺎ ﺗَﺄْﺧُﺬُﻭﻥَ ﻭَﻟَﻜِﻨَّﻬُﻢْ ﺃَﻗْﻮَﺍﻡٌ ﺇِﺫَﺍ ﺧَﻠَﻮْﺍ ﺑِﻤَﺤَﺎﺭِﻡِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻧْﺘَﻬَﻜُﻮﻫَﺎ
“Sesungguhnya mereka adalah saudara kalian dan dari golongan kalian. Mereka salat malam sebagaimana kalian. Akan tetapi, mereka adalah kaum yang jika bersendirian, mereka menerjang hal yang diharamkan Allah.” (HR. Ibnu Majah, sahih)
Semoga Allah menjaga ketakwaan kita di saat sendiri. Tidak lupa kita juga memperbanyak melakukan amal kebaikan saat sendiri, seperti sedekah sembunyi-sembunyi, salat sunnah, salat malam, dan lain-lainnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup, dan yang suka menyembunyikan amalannya.” (HR. Muslim).
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ خَبْءٌ مِنْ عَمَلٍ صَالِحٍ فَلْيَفْعَلْ
“Barang siapa di antara kalian yang mampu untuk memiliki amal salih yang tersembunyi, maka lakukanlah.” (Lihat As-Shahihah, no. 2313)
Seorang ulama, Salamah bin Dinar Rahimahullah berkata,
اُكْتُمْ مِنْ حَسَنَاتِكَ كَمَا تَكْتُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكَ
“Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu, sebagaimana Engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu.” (Hilyah auliya, no. 12938).

Referensi sbb ini ; Memperingatkan Neraka tapi Malah Masuk Neraka