This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Sabtu, 23 Juli 2022

Dosa Kecil Pun Bisa Menjadi Besar

Seperti kita ketahui bersama bahwa dosa itu terbagi menjadi dua yaitu dosa besar dan dosa kecil. Namun perlu diketahui bahwa dosa kecil sebenarnya bisa menjadi besar, jika dilakukan karena sebab-sebab berikut. Kita perlu mengetahui hal ini agar kita tidak menganggap remeh suatu dosa.

Pertama: Dosa kecil tersebut sudah menjadi kebiasaan dan dilakukan terus menerus.

Terdapat sebuah hadits yang maknanya shahih (benar), namun didhoifkan (dilemahkan) oleh para ulama pakar hadits,

لاَ كَبِيْرَةَ مَعَ الاِسْتِغْفَارِ وَ لاَ صَغِيْرَةَ مَعَ الإِصْرَارِ

“Tidak ada dosa besar jika dihapus dengan istighfar (meminta ampun pada Allah) dan tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus.”

Kalau dosa besar sudah ditaubati, maka janganlah diikuti dengan dosa lainnya yang semisal, begitu pula janganlah diteruskan dengan dosa-dosa kecil.

Kedua: Dosa bisa dianggap besar di sisi Allah jika seorang hamba menganggap remeh dosa tersebut. Oleh karenanya, jika seorang hamba menganggap besar suatu dosa, maka dosa itu akan kecil di sisi Allah. Sedangkan jika seorang hamba menggaggap kecil (remeh) suatu dosa, maka dosa itu akan dianggap besar di sisi Allah. Dari sinilah jika seseorang mengganggap besar suatu dosa, maka ia akan segera lari dari dosa dan betul-betul membencinya.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ

“Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosanya seakan-akan ia duduk di sebuah gunung dan khawatir gunung tersebut akan menimpanya. Sedangkan seorang yang fajir (yang gemar maksiat), ia akan melihat dosanya seperti seekor lalat yang lewat begitu saja di hadapan batang hidungnya.”[2]

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالاً هِىَ أَدَقُّ فِى أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ ، إِنْ كُنَّا نَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – الْمُوبِقَاتِ

“Sesungguhnya kalian mengerjakan amalan (dosa) di hadapan mata kalian tipis seperti rambut, namun kami (para sahabat) yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap dosa semacam itu seperti dosa besar.”[3]

Bilal bin Sa’ad rahimahullah mengatakan, “Janganlah engkau melihat kecilnya suatu dosa, namun hendaklah engkau melihat siapa yang engkau durhakai.”

Ketiga: Memamerkan suatu dosa.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِى مُعَافَاةٌ إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الإِجْهَارِ أَنْ يَعْمَلَ الْعَبْدُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحُ قَدْ سَتَرَهُ رَبُّهُ فَيَقُولُ يَا فُلاَنُ قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ فَيَبِيتُ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

“Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang melakukan jahr. Di antara bentuk melakukan jahr adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat, namun di pagi harinya –padahal telah Allah tutupi-, ia sendiri yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan itu.” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di pagi harinya ia sendiri yang membuka ‘aib-‘aibnya yang telah Allah tutup.”

Keempat: Dosa tersebut dilakukan oleh seorang alim yang dia menjadi panutan bagi yang lain.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.”

Sehingga bagi seorang alim yang menjadi panutan lainnya, hendaknya ia: 

  1. meninggalkan dosa dan 
  2. menyembunyikan dosa jika ia terlanjur melakukannya.

Sebagaimana dosa seorang alim bisa berlipat-lipat jika ada yang mengikuti melakukan dosa tersebut, maka begitu pula dengan kebaikan yang ia lakukan. Jika kebaikan tersebut diikuti orang lain, maka pahalamu akan semakin berlipat untuknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh.”

Semoga Allah selalu memudahkan kita untuk melaksanakan kebaikan dan menghindarkan kita dari setiap dosa. Amin Ya Mujibas Saa-ilin.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan jin dan manusia dengan satu tujuan utama yaitu agar mereka beribadah kepada-Nya, untuk mentauhidkan-Nya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” [Adz-Dzariat: 56]

Namun manusia secara keseluruhan terbagi menjadi dua kelompok besar sebagaimana firman Allah,

هُوَ ٱلَّذِى خَلَقَكُمْ فَمِنكُمْ كَافِرٌ وَمِنكُم مُّؤْمِنٌ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

”Dialah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (At-Taghabun : 2)

Kelompok manusia yang mentaati Allah dan mengikuti rasul-Nya.

Hawa nafsu kelompok ini tunduk dan patuh kepada ajaran Rasulullah Muhammad SAW mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut kepada seorang pun kecuali Allah.

Mereka ini diberi kabar gembira dengan surga yang luasnya seluar langit dan bumi yang disiapkan untuk orang-orang yang bertakwa.

Kelompok manusia yang membangkang terhadap Allah.

Mereka berbuat melampaui batas, bersikap takabur dan memperturutkan hawa nafsunya. Mereka ini berada dalam kegelapan hidup dan berkubang dalam lumpur maksiat kepada Allah.

Mereka ini lah yang disebut oleh Allah sebagai orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahan selain Allah.

أَفَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِۦ وَقَلْبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِنۢ بَعْدِ ٱللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

”Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Al-Jatsiyah: 45)

Macam-Macam Dosa

Ma’asyirol Muslimin rahimakumullah

Sebagai manusia kita diberi kebebasan penuh oleh Allah untuk mengikuti jalan hidup orang-orang mukmin atau mengikuti jalan hidup orang-orang kafir. Allah Ta’ala telah memberikan petunjuk jalan bagi orang orang mukmin berupa Al-Quran.

Allah kemudian memilih dan menunjuk Rasulullah Muhammad SAW untuk menjelaskan al-Quran dan mempraktekkannya dalam kehidupan agar menjadi contoh yang hidup tentang petunjuk tersebut. Setiap penyimpangan dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya merupakan bentuk kemaksiatan kepada Allah.

Setiap kemaksiatan akan membuahkan dosa bagi pelakunya. Dosa merupakan agen pengantar menuju kekafiran. Namun dosa itu bertingkat-tingkat. Ada dosa kecil dan ada dosa besar. Keduanya bila terus menerus dilakukan dikhawatirkan bisa mengantarkan seseorang terjerumus kepada kekafiran. Na’udzubillah min dzalik.

Perlu dijelaskan sekilas disini tentang maksud dosa besar dan dosa kecil. Perbedaannya adalah sebagai berikut:

Dosa besar adalah dosa yang pelakunya diancam oleh Allah dengan laknat, murka dan neraka. Dosa ini tidak bisa terhapus kecuali dengan taubat yang tulus dan sungguh-sungguh.

Siapa saja yang meninggal dengan membawa dosa besar tanpa sempat bertaubatmaka urusannya diserahkan kepada Allah. Bila Allah menghendaki Allah akan menyiksanya. Namun bila Allah menghendaki Allah akan mengampuninya.

Sedangkan yang dimaksud dengan dosa kecil adalah dosa lainnya yang tidak ada ancaman seperti dalam dosa besar bagi pelakunya.

Amal shalih bisa menghapus dosa-dosa kecil. Namun demikian tidak diperbolehkan untuk menganggap remeh dosa kecil. Karena dosa kecil yang terus menerus dilakukan akan menjadi besar juga jumlahnya sehingga bisa membinasakan pelakunya.

Adakah Perbedaan Antara Dosa Dan Maksiat

Kita sering mendengar istilah dosa dan maksiat. Apakah dua istilah ini ada perbedaan makna ataukah tidak?

Menurut Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz rahimahullah istilah as-Sayyiah (keburukan), al-Khathiah (kesalahan) al-itsmu wadz dzanbu (dosa) adalah hal-hal yang berdekatan maknanya yaitu al-ma’shiyah (maksiat). Demikian pula sebaliknya. Semuanya sinonim dan memiliki makna yang berdekatan.

Syaikh Bin Baz menegaskan bahwa yang wajib adalah bersikap waspada. Jadi, misalnya, ghibah itu disebut dengan dzanbun (dosa) . Namun disebut juga dengan maksiat, juga disebut dengan Itsmun (dosa) dan disebut pula dengan khathiah (kesalahan).

Kesimpulannya, seorang mukmin wajib untuk menjauhi apa yang dilarang oleh Allah baik disebut dengan dosa, maksiat atau kesalahan. Harus waspada terhadap maksiat, apa saja yang diharamkan oleh Allah.

Akibat Dosa Terhadap Kehidupan Manusia

Dosa dan maksiat pasti menimbulkan madharat atau kerugian. Madharat dosa dan maksiat bagi hati seperti madharat yang ditimbulkan oleh racun bagi tubuh. Madharat tersebut memiliki tingkatan yang beragam.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah Muhammad SAW  bersabda,” Manusia tidak akan binasa hingga diri mereka banyak berbuat dosa.” (Hadits riwayat Ahmad (IV/260) dan Abu Dawud (no.4347) dengan sanad yang shahih.)

Dosa dan maksiat menghalangi seseorang dari mendapatkan ilmu yang bermanfaat

Ilmu adalah cahaya yang Allah masukan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut.

Imam As-Syafi’i berkata dalam syairnya:

شَكَوتُ إِلى وَكيعٍ سوءَ حِفظي فَأَرشَدَني إِلى تَركِ المَعاصي وَأَخبَرَني بِأَنَّ العِلمَ نورٌ وَنورُ اللَهِ لا يُهدى لِعاصي.

Aku mengadu pada Waki’ (guru Imam Syafi’i) tentang buruknya hafalanku. Dia mengarahkan aku agar meninggalkan kemaksiatan.

n dia memberitahuku bahwa ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.”

Dosa menjadi penghalang dari mendapatkan rezeki

Takwa kepada Allah Ta’ala adalah perkara yang mendatangkan rizki, maka meninggalkan takwa akan menyebabkan kefakiran.

Rasulullah ﷺbersabda:

إِنَّ الرجل ليُحْرَمُ الرِّزقَ بالذنبِ يصيبُهُ

“Sesungguhnya seseorang itu benar-benar terhalangi dari rizki karena dosa yang dilakukannya.”

[Hadist riwayat Imam Ahmad (22386) Ibnu Hibban (572). Hadits ini hasan menurut Syaikh Syu’aib Al-Arnauth rahimahullah.]

Dosa dan maksiat menjadikan berbagai urusan menjadi sulit bagi pelakunya.

Bila ketakwaan kepada Allah itu menjadikan semua urusan dimudahkan oleh Allah, maka orang-orang yang suka berbuat dosa dan maksiat akan dipersulit urusan-urusannya. Hampir setiap perkara yang dia urusi seolah tertutup jalannya.

Kebanyakan orang tidak menyadari ketika dia mendapati pintu-pintu kebaikan dan berbagai maslahat tertutup, itu adalah akibat dari dosa dan maksiat yang dilakukannya.

Pelaku dosa mendapati kegelapan di hatinya secara hakiki.

Dia merasakankegelapan hatinya tersebut sebagaimana dia bisa merasakan kegelapan malam yang pekat saat larut malam.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata,” Ketaatan adalah cahaya. Maksiat adalah kegelapan. Jika kegelapan menguat, maka kebingungan juga bertambah sehingga pelakunya terjatuh dalam berbagai bid’ah dan perkara yang membinasakan, sementara dia tidak menyadarinya.

Kegelapan maksiat akan menguat sampai terlihat di mata, lalu terus menguat hingga menyelimuti wajah, dan menjadi tanda hitam, hingga setiap orang mampu melihatnya.”

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan secara ringkas pengaruh dosa tersebut sebagai berikut:

إنَّ للحسنة ضياء في الوجه، ونوراً في القلب، وسعة في الرزق، وقوة في البدن، ومحبة في قلوب الخلق، وإن للسيئة سواداً في الوجه، وظلمة في القلب، ووهناً في البدن، ونقصاً في الرزق، وبغضة في قلوب الخلق

”Sesungguhnya kebaikan mempunyai sinar di wajah, cahaya hati, kelapangan dalam rizki, kekuatan pada tubuh, serta rasa cinta di hati para makhluk. Sesungguhnya keburukan memiliki tanda hitam di wajah, kegelapan di hati, kelemahan di tubuh, kekurangan dalam rizki, serta kebencian di hati para makhluk.” (Al-Wabil- Ash-Shayyib hal. 43)

Dosa dan maksiat akan membuahkan dosa yang semisalnya.

Dosa dan maksiat akan melahirkan kemaksiatan yang semisalnya hingga seorang pelaku maksiat merasa berat untuk berhenti dari maksiat.

Sebagian ulama salaf berkata,

إن من عقوبة السيئة السيئة بعدها، وإن من ثواب الحسنة الحسنة بعدها

”Sesungguhnya sebagian dari hukuman dari keburukan adalah keburukan berikutnya dan sesungguhnya termasuk (jaza) balasan kebaikan adalah kebaikan setelahnya.” (Al-Jawab AL-Kafi: 36)

Maksiat menyebabkan hati tidak menganggap maksiat sebagai sebuah keburukan.

Hati tidak lagi menganggap kemaksiatan sebagai perkara yang buruk karena maksiat tersebut telah menjadi kebiasaan. Sampai pada tingkatkan para pelaku maksiat justru berbangga diri dengan maksiat yang dia lakukan dan menceritakannya kepada orang yang tidak mengetahui bahwa ia melakukan maksiat.

Akibat logis dari kondisi batin yang sudah sedemikian rusak adalah hilangnya keinginan untuk bertaubat dari maksiat yang dia lakukan. Inilah yang biasa terjadi pada orang-orang yang suka bermaksiat secara terbuka dan menceritakan kemaksiatan yang dia lakukan kepada orang banyak.

Dalam sebuah hadits disebutkan:

عن سالم بن عبد اللّه قال: سمعت أبا هريرة يقول سمعت رسول اللّه صلّى اللّه عليه وسلّم- يقول: كلّ أمّتي معافى إلّا المجاهرين، وإنّ من المجاهرة أن يعمل الرّجل باللّيل عملا، ثمّ يصبح وقد ستره اللّه فيقول: يا فلان عملت البارحة كذا وكذا، وقد بات يستره ربّه، ويصبح يكشف ستر اللّه عنه

Dari Salim bin Abdullah, dia berkata,”Aku mendengar Abu Hurairah radhiyallahu’ anhu berkata,” Aku mendengar Rasulullah Muhammad SAW bersabda, ‘Setiap umatku akan mendapat ampunan, kecuali mujaahirin (orang-orang yang melakukan mujaharah,pent ). Dan termasuk perbuatan mujaharah (terang-terangan berbuat dosa) adalah seseorang berbuat (dosa) pada malam hari, kemudian pada pagi harinya dia menceritakannya, padahal Allah telah menutupi perbuatannya tersebut.

Dia justru berkata, ‘Hai Fulan, tadi malam aku telah berbuat begini dan begitu.’ Sebenarnya pada malam hari Rabb-nya telah menutupinya, tetapi pada pagi harinya dia menyingkap apa yang Allah telah tutup darinya.” (Hadits muttafaq ‘alaihi. Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Maksiat akan membuat pelakunya menjadi orang yang hina.

Di antara dampak maksiat adalah mewariskan kehinaan, karena kemuliaan sejati hanyalah terdapat dalam ketaatan kepada Allah.

مَن كَانَ يُرِيدُ ٱلْعِزَّةَ فَلِلَّهِ ٱلْعِزَّةُ جَمِيعًا

”Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.” (Al-Fathir: 10)

Barangsiapa mencari kemuliaan di dunia dan di akhirat, maka hendaknya dia mencarinya dari Allah, dan itu tidak akan diperoleh kecuali dengan ketaatan kepadaNya, karena seluruh kemuliaan adalah milik Allah. Barangsiapa merasa mulia dengan Yang Maha Pencipta, maka Allah akan memuliakannya. (Tafsir Muyassar)

Sebagian ulama salaf berdoa,

اللهم أعزني بطاعتك، ولا تذلني بمعصيتك

“Ya Allah ! muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu dan janganlah Engkau hinakan aku dengan bermaksiat kepada-Mu.” (Al-Jawab Al-Kafi: 38)

Maksiat dan dosa bila sudah banyak akan menutup hati pelakunya.

Ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhyallahu ‘anhu dari Rasulullah Muhammad SAW bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ)

Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat dosa), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya.

Itulah yang dimaksud dengan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’. (Hadits riwayat At-Tirmidzi dan dia berkata,”Hadits Shahih.” Dan Ibnu Majah. Al-Albani menyatakan sebagai hadits hasan di dalam Shahih Ibni Majah no. 3422)

Ini hanyalah sebagian kecil dari akibat buruk dosa dan maksiat. Masih banyak yang lainnya sebagaimana diterangkan oleh para ulama.

Obat Dosa dan Maksiat

Ma’asyirol Muslimin rahimakumullah,

Dosa mirip dengan penyakit fisik yang mana orang-orang harus berusaha keras agar terlindungi darinya, menjauh dari sebab-sebabnya dan jangan sampai menyerah kepadanya.

Sama seperti penyakit jasmani, yang jika tidak diobati akan melemahkan tubuh dan menghancurkannya. Penyakit berupa dosa, jika dibiarkan tanpa pengobatan, akan merusak ruh, dan keselamatan ruh melebihi keselamatan tubuh karena keselamatan ruh berdampak pada keselamatan di Hari Kiamat.

Jadi dosa adalah penyakit, dan obatnya adalah: taubat dan istighfar. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata,

وبالْجُملة فدَواء الذُّنوب الاستغفار…

”Secara garis besar, obat dosa adalah istighfar … ”

Qatadah berkata,

إنَّ هذا القرآن يدلُّكم على دائكم ودوائكم؛ فأمَّا داؤكم فالذُّنوب، وأمَّا دواؤكم فالاستغفار

”Al-Qur’an ini menunjukkan Anda kepada penyakit kalian dan obat kalian. Adapun penyakit kalian adalah dosa. Sedangkan untuk obat kalian adalah istighfar. ”

Sebagian ulama berkata,” Sandaran orang-orang berdosa hanyalah tangisan dan istighfar. Siapa yang dosa-dosanya telah membuatnya gundah maka perbanyaklah istighfar. Ribah Al Qaisiy berkata,

لي نيِّف وأربعون ذنبًا قد استغفرتُ الله لكلِّ ذنب مائة ألف مرة

Aku punya dosa lebih dari 40 dosa. Aku telah beristighfar kepada Allah untuk setiap dosa tersebut sebanyak 100 ribu kali.”i

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا، تَبَارَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوْجًا وَجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيْرًا. أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُولُهُ الَّذِيْ بَعَثَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، وَدَاعِيَا إِلَى الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا.

اللهم صل و سلم على هذا النبي الكريم و على آله و أصحابه و من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد.

Jangan Meremehkan Dosa Walaupun Kecil

Jamaah Jumat rahimakumullah,

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Muhammad SAW bersabda:

إيَّاكُم ومحقَّراتِ الذُّنوبِ فإنَّهنَّ يجتمِعنَ على الرَّجلِ حتَّى يُهلِكنَهُ

”Hendaklah kalian menjauhi dosa-dosa yang dianggap sepele (kecil). Sesungguhnya dosa-dosa kecil itu (bisa) berakumulasi (menumpuk) pada diri seseorang sehingga bisa membinasakannya.” (Hadits riwayat Ahmad (5/331) dan ath-Thabrani dalam al-Kabiir (5872), dengan sanad shahih.)

Para ulama berkata,”Hal itu karena dosa-dosa kecil bila telah berakumulasi (menumpuk dalam jumlah banyak) dan belum dibersihkan dengan taubat dan istighfar niscaya bisa membinasakan pelaku dosa-dosa tersebut. Kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut.

Al Imam Abdullah ibnul Mubarok, seorang tokoh ulama tabiut tabi’in pernah berkata dalam bentuk syair:

رأيتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ القُلُوبَ *** وقد يورثُ الذّل إدمانُهَــا

وتركُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ القُلُوبِ *** وخَيْرٌ لِنَفْسِـكِ عِصْيَانُهَـا

Aku melihat dosa-dosa itu mematikan hati

Dan terus menerus melakukan dosa akan mewariskan kehinaan

Meninggalkan dosa itu adalah kehidupan hati

Dan tidak mau melakukan dosa itu lebih baik buat dirimu

Bila demikian halnya, maka jangan sampai kita meremehkan dosa walaupun dosa kecil, karena hal itu bisa membinasakan diri kita sendiri. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

إنكم لتعملون أعمالاً هي أدق في أعينكم من الشعر كنا لنعدها على عهد رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ من الموبقات “(رواه البخاري).

“ Sungguh kalian melakukan perbuatan-perbuatan (dosa) yang dalam pandangan kalian itu lebih tipis daripada rambut, padahal dahulu kami menghitungnya di masa Rasulullah Muhammad SAW  termasuk dalam perkara-perkara yang membinasakan (dosa-dosa besar).” (Hadits riwayat Al-Bukhari)

Bilal bin Sa’ad rahimahullah berkata,

لا تنظر إلى صغر الخطيئة ولكن إلى عظمة من عصيت

“Jangan kamu melihat kepada kecilnya kesalahan (dosa). Namun lihatlah keagungan dari yang engkau maksiati.”

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada kita semuanya dan seluruh kaum muslimin hidayah dan taufik-Nya serta berkenan mengampuni segala dosa dan kesalahan kita.

Saat bergaul dan berinteraksi dengan banyak orang,….tanpa disadari kata-kata mengalir dari mulut kita seolah keluar tanpa beban. Tak jarang, bersamaan  dengan keluarnya kata-kata, mengalir pula dosa, ….  mulai   dari menggunjingkan tetangga, membanggakan dan memamerkan diri, berbohong, dan perbuatan tidak terpuji lainnya. Semudah itu manusia melakukan   dosa… Bahkan, saking terbiasanya sangat banyak dosa-dosa yang sudah tidak dirasa lagi sebagai perbuatan salah yang berat konsekuensinya.Orang kecenderungan  yang tidak sadar  akan perbuatan dosa karena kecilnya…Boleh jadi, jika kita lihat fenomena yang ada,…dosa besar sekalipun tidak sedikit dianggap biasa dan tidak lagi dirasa sebagai dosa karena terlalu seringnya dilakukan.  Tentu saja sikap seperti itu jauh lebih berbahaya dari sekadar mengabaikan dosa yang dianggap kecil. Dengan demikian, secara prinsip tidak ada bedanya antara dosa kecil dan dosa besar karena keduanya memiliki potensi ancaman datangnya azab Allah Swt .Selain keduanya juga memiliki peluang yang sama untuk diampuni Allah Swt. Bisa dikatakan bahwa… besar dan kecilnya suatu dosa tidak diukur dengan seberapa besar ancaman siksa yang akan diterima… namun diukur dari seberapa besar kesadaran orang terhadap dosa yang dilakukannya…Boleh jadi dosa itu kecil dan remeh, namun jika dilakukan dengan terus menerus dan tidak disertai istighfar,… ia akan menjelma menjadi dosa besar. Pun sebaliknya, boleh jadi dosanya besar, namun karena kesadaran tinggi akan akibat yang ditimbulkan,… mendorongnya untuk bertobat dan tidak mengulanginya lagi, maka dosa tersebut sebetulnya menjadi kecil bahkan terhapus di hadapan Allah Swt. Relativitas kecilnya dosa menunjukkan bahwa sebetulnya tidak ada yang besar.. jika disertai tobat…dan tidak ada yang kecil… jika dilakukan terus menerus.

Referensi sebagai berikut ini ;









Pengaruh Dosa Dan Maksiat Terhadap Kehidupan Manusia

Ilustrasi Gambar : Pengaruh Dosa Dan Maksiat Terhadap Kehidupan Manusia

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan jin dan manusia dengan satu tujuan utama yaitu agar mereka beribadah kepada-Nya, untuk mentauhidkan-Nya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” [Adz-Dzariat: 56]

Namun manusia secara keseluruhan terbagi menjadi dua kelompok besar sebagaimana firman Allah,

هُوَ ٱلَّذِى خَلَقَكُمْ فَمِنكُمْ كَافِرٌ وَمِنكُم مُّؤْمِنٌ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

”Dialah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (At-Taghabun : 2)

Kelompok manusia yang mentaati Allah dan mengikuti rasul-Nya.

Hawa nafsu kelompok ini tunduk dan patuh kepada ajaran Rasulullah Muhammad SAW mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut kepada seorang pun kecuali Allah.

Mereka ini diberi kabar gembira dengan surga yang luasnya seluar langit dan bumi yang disiapkan untuk orang-orang yang bertakwa.

Kelompok manusia yang membangkang terhadap Allah.

Mereka berbuat melampaui batas, bersikap takabur dan memperturutkan hawa nafsunya. Mereka ini berada dalam kegelapan hidup dan berkubang dalam lumpur maksiat kepada Allah.

Mereka ini lah yang disebut oleh Allah sebagai orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahan selain Allah.

أَفَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِۦ وَقَلْبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِنۢ بَعْدِ ٱللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

”Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Al-Jatsiyah: 45)

Macam-Macam Dosa

Ma’asyirol Muslimin rahimakumullah

Sebagai manusia kita diberi kebebasan penuh oleh Allah untuk mengikuti jalan hidup orang-orang mukmin atau mengikuti jalan hidup orang-orang kafir. Allah Ta’ala telah memberikan petunjuk jalan bagi orang orang mukmin berupa Al-Quran.

Allah kemudian memilih dan menunjuk Rasulullah Muhammad SAW untuk menjelaskan al-Quran dan mempraktekkannya dalam kehidupan agar menjadi contoh yang hidup tentang petunjuk tersebut. Setiap penyimpangan dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya merupakan bentuk kemaksiatan kepada Allah.

Setiap kemaksiatan akan membuahkan dosa bagi pelakunya. Dosa merupakan agen pengantar menuju kekafiran. Namun dosa itu bertingkat-tingkat. Ada dosa kecil dan ada dosa besar. Keduanya bila terus menerus dilakukan dikhawatirkan bisa mengantarkan seseorang terjerumus kepada kekafiran. Na’udzubillah min dzalik.

Perlu dijelaskan sekilas disini tentang maksud dosa besar dan dosa kecil. Perbedaannya adalah sebagai berikut:

Dosa besar adalah dosa yang pelakunya diancam oleh Allah dengan laknat, murka dan neraka. Dosa ini tidak bisa terhapus kecuali dengan taubat yang tulus dan sungguh-sungguh.

Siapa saja yang meninggal dengan membawa dosa besar tanpa sempat bertaubatmaka urusannya diserahkan kepada Allah. Bila Allah menghendaki Allah akan menyiksanya. Namun bila Allah menghendaki Allah akan mengampuninya.

Sedangkan yang dimaksud dengan dosa kecil adalah dosa lainnya yang tidak ada ancaman seperti dalam dosa besar bagi pelakunya.

Amal shalih bisa menghapus dosa-dosa kecil. Namun demikian tidak diperbolehkan untuk menganggap remeh dosa kecil. Karena dosa kecil yang terus menerus dilakukan akan menjadi besar juga jumlahnya sehingga bisa membinasakan pelakunya.

Adakah Perbedaan Antara Dosa Dan Maksiat

Kita sering mendengar istilah dosa dan maksiat. Apakah dua istilah ini ada perbedaan makna ataukah tidak?

Menurut Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz rahimahullah istilah as-Sayyiah (keburukan), al-Khathiah (kesalahan) al-itsmu wadz dzanbu (dosa) adalah hal-hal yang berdekatan maknanya yaitu al-ma’shiyah (maksiat). Demikian pula sebaliknya. Semuanya sinonim dan memiliki makna yang berdekatan.

Syaikh Bin Baz menegaskan bahwa yang wajib adalah bersikap waspada. Jadi, misalnya, ghibah itu disebut dengan dzanbun (dosa) . Namun disebut juga dengan maksiat, juga disebut dengan Itsmun (dosa) dan disebut pula dengan khathiah (kesalahan).

Kesimpulannya, seorang mukmin wajib untuk menjauhi apa yang dilarang oleh Allah baik disebut dengan dosa, maksiat atau kesalahan. Harus waspada terhadap maksiat, apa saja yang diharamkan oleh Allah.

Akibat Dosa Terhadap Kehidupan Manusia

Dosa dan maksiat pasti menimbulkan madharat atau kerugian. Madharat dosa dan maksiat bagi hati seperti madharat yang ditimbulkan oleh racun bagi tubuh. Madharat tersebut memiliki tingkatan yang beragam.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah Muhammad SAW  bersabda,” Manusia tidak akan binasa hingga diri mereka banyak berbuat dosa.” (Hadits riwayat Ahmad (IV/260) dan Abu Dawud (no.4347) dengan sanad yang shahih.)

Dosa dan maksiat menghalangi seseorang dari mendapatkan ilmu yang bermanfaat

Ilmu adalah cahaya yang Allah masukan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut.

Imam As-Syafi’i berkata dalam syairnya:

شَكَوتُ إِلى وَكيعٍ سوءَ حِفظي فَأَرشَدَني إِلى تَركِ المَعاصي وَأَخبَرَني بِأَنَّ العِلمَ نورٌ وَنورُ اللَهِ لا يُهدى لِعاصي.

Aku mengadu pada Waki’ (guru Imam Syafi’i) tentang buruknya hafalanku. Dia mengarahkan aku agar meninggalkan kemaksiatan.

n dia memberitahuku bahwa ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.”

Dosa menjadi penghalang dari mendapatkan rezeki

Takwa kepada Allah Ta’ala adalah perkara yang mendatangkan rizki, maka meninggalkan takwa akan menyebabkan kefakiran.

Rasulullah ﷺbersabda:

إِنَّ الرجل ليُحْرَمُ الرِّزقَ بالذنبِ يصيبُهُ

“Sesungguhnya seseorang itu benar-benar terhalangi dari rizki karena dosa yang dilakukannya.”

[Hadist riwayat Imam Ahmad (22386) Ibnu Hibban (572). Hadits ini hasan menurut Syaikh Syu’aib Al-Arnauth rahimahullah.]

Dosa dan maksiat menjadikan berbagai urusan menjadi sulit bagi pelakunya.

Bila ketakwaan kepada Allah itu menjadikan semua urusan dimudahkan oleh Allah, maka orang-orang yang suka berbuat dosa dan maksiat akan dipersulit urusan-urusannya. Hampir setiap perkara yang dia urusi seolah tertutup jalannya.

Kebanyakan orang tidak menyadari ketika dia mendapati pintu-pintu kebaikan dan berbagai maslahat tertutup, itu adalah akibat dari dosa dan maksiat yang dilakukannya.

Pelaku dosa mendapati kegelapan di hatinya secara hakiki.

Dia merasakankegelapan hatinya tersebut sebagaimana dia bisa merasakan kegelapan malam yang pekat saat larut malam.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata,” Ketaatan adalah cahaya. Maksiat adalah kegelapan. Jika kegelapan menguat, maka kebingungan juga bertambah sehingga pelakunya terjatuh dalam berbagai bid’ah dan perkara yang membinasakan, sementara dia tidak menyadarinya.

Kegelapan maksiat akan menguat sampai terlihat di mata, lalu terus menguat hingga menyelimuti wajah, dan menjadi tanda hitam, hingga setiap orang mampu melihatnya.”

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan secara ringkas pengaruh dosa tersebut sebagai berikut:

إنَّ للحسنة ضياء في الوجه، ونوراً في القلب، وسعة في الرزق، وقوة في البدن، ومحبة في قلوب الخلق، وإن للسيئة سواداً في الوجه، وظلمة في القلب، ووهناً في البدن، ونقصاً في الرزق، وبغضة في قلوب الخلق

”Sesungguhnya kebaikan mempunyai sinar di wajah, cahaya hati, kelapangan dalam rizki, kekuatan pada tubuh, serta rasa cinta di hati para makhluk. Sesungguhnya keburukan memiliki tanda hitam di wajah, kegelapan di hati, kelemahan di tubuh, kekurangan dalam rizki, serta kebencian di hati para makhluk.” (Al-Wabil- Ash-Shayyib hal. 43)

Dosa dan maksiat akan membuahkan dosa yang semisalnya.

Dosa dan maksiat akan melahirkan kemaksiatan yang semisalnya hingga seorang pelaku maksiat merasa berat untuk berhenti dari maksiat.

Sebagian ulama salaf berkata,

إن من عقوبة السيئة السيئة بعدها، وإن من ثواب الحسنة الحسنة بعدها

”Sesungguhnya sebagian dari hukuman dari keburukan adalah keburukan berikutnya dan sesungguhnya termasuk (jaza) balasan kebaikan adalah kebaikan setelahnya.” (Al-Jawab AL-Kafi: 36)

Maksiat menyebabkan hati tidak menganggap maksiat sebagai sebuah keburukan.

Hati tidak lagi menganggap kemaksiatan sebagai perkara yang buruk karena maksiat tersebut telah menjadi kebiasaan. Sampai pada tingkatkan para pelaku maksiat justru berbangga diri dengan maksiat yang dia lakukan dan menceritakannya kepada orang yang tidak mengetahui bahwa ia melakukan maksiat.

Akibat logis dari kondisi batin yang sudah sedemikian rusak adalah hilangnya keinginan untuk bertaubat dari maksiat yang dia lakukan. Inilah yang biasa terjadi pada orang-orang yang suka bermaksiat secara terbuka dan menceritakan kemaksiatan yang dia lakukan kepada orang banyak.

Dalam sebuah hadits disebutkan:

عن سالم بن عبد اللّه قال: سمعت أبا هريرة يقول سمعت رسول اللّه صلّى اللّه عليه وسلّم- يقول: كلّ أمّتي معافى إلّا المجاهرين، وإنّ من المجاهرة أن يعمل الرّجل باللّيل عملا، ثمّ يصبح وقد ستره اللّه فيقول: يا فلان عملت البارحة كذا وكذا، وقد بات يستره ربّه، ويصبح يكشف ستر اللّه عنه

Dari Salim bin Abdullah, dia berkata,”Aku mendengar Abu Hurairah radhiyallahu’ anhu berkata,” Aku mendengar Rasulullah Muhammad SAW bersabda, ‘Setiap umatku akan mendapat ampunan, kecuali mujaahirin (orang-orang yang melakukan mujaharah,pent ). Dan termasuk perbuatan mujaharah (terang-terangan berbuat dosa) adalah seseorang berbuat (dosa) pada malam hari, kemudian pada pagi harinya dia menceritakannya, padahal Allah telah menutupi perbuatannya tersebut.

Dia justru berkata, ‘Hai Fulan, tadi malam aku telah berbuat begini dan begitu.’ Sebenarnya pada malam hari Rabb-nya telah menutupinya, tetapi pada pagi harinya dia menyingkap apa yang Allah telah tutup darinya.” (Hadits muttafaq ‘alaihi. Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Maksiat akan membuat pelakunya menjadi orang yang hina.

Di antara dampak maksiat adalah mewariskan kehinaan, karena kemuliaan sejati hanyalah terdapat dalam ketaatan kepada Allah.

مَن كَانَ يُرِيدُ ٱلْعِزَّةَ فَلِلَّهِ ٱلْعِزَّةُ جَمِيعًا

”Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.” (Al-Fathir: 10)

Barangsiapa mencari kemuliaan di dunia dan di akhirat, maka hendaknya dia mencarinya dari Allah, dan itu tidak akan diperoleh kecuali dengan ketaatan kepadaNya, karena seluruh kemuliaan adalah milik Allah. Barangsiapa merasa mulia dengan Yang Maha Pencipta, maka Allah akan memuliakannya. (Tafsir Muyassar)

Sebagian ulama salaf berdoa,

اللهم أعزني بطاعتك، ولا تذلني بمعصيتك

“Ya Allah ! muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu dan janganlah Engkau hinakan aku dengan bermaksiat kepada-Mu.” (Al-Jawab Al-Kafi: 38)

Maksiat dan dosa bila sudah banyak akan menutup hati pelakunya.

Ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhyallahu ‘anhu dari Rasulullah Muhammad SAW bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ)

Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat dosa), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya.

Itulah yang dimaksud dengan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’. (Hadits riwayat At-Tirmidzi dan dia berkata,”Hadits Shahih.” Dan Ibnu Majah. Al-Albani menyatakan sebagai hadits hasan di dalam Shahih Ibni Majah no. 3422)

Ini hanyalah sebagian kecil dari akibat buruk dosa dan maksiat. Masih banyak yang lainnya sebagaimana diterangkan oleh para ulama.

Obat Dosa dan Maksiat

Ma’asyirol Muslimin rahimakumullah,

Dosa mirip dengan penyakit fisik yang mana orang-orang harus berusaha keras agar terlindungi darinya, menjauh dari sebab-sebabnya dan jangan sampai menyerah kepadanya.

Sama seperti penyakit jasmani, yang jika tidak diobati akan melemahkan tubuh dan menghancurkannya. Penyakit berupa dosa, jika dibiarkan tanpa pengobatan, akan merusak ruh, dan keselamatan ruh melebihi keselamatan tubuh karena keselamatan ruh berdampak pada keselamatan di Hari Kiamat.

Jadi dosa adalah penyakit, dan obatnya adalah: taubat dan istighfar. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata,

وبالْجُملة فدَواء الذُّنوب الاستغفار…

”Secara garis besar, obat dosa adalah istighfar … ”

Qatadah berkata,

إنَّ هذا القرآن يدلُّكم على دائكم ودوائكم؛ فأمَّا داؤكم فالذُّنوب، وأمَّا دواؤكم فالاستغفار

”Al-Qur’an ini menunjukkan Anda kepada penyakit kalian dan obat kalian. Adapun penyakit kalian adalah dosa. Sedangkan untuk obat kalian adalah istighfar. ”

Sebagian ulama berkata,” Sandaran orang-orang berdosa hanyalah tangisan dan istighfar. Siapa yang dosa-dosanya telah membuatnya gundah maka perbanyaklah istighfar. Ribah Al Qaisiy berkata,

لي نيِّف وأربعون ذنبًا قد استغفرتُ الله لكلِّ ذنب مائة ألف مرة

Aku punya dosa lebih dari 40 dosa. Aku telah beristighfar kepada Allah untuk setiap dosa tersebut sebanyak 100 ribu kali.”i

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا، تَبَارَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوْجًا وَجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيْرًا. أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُولُهُ الَّذِيْ بَعَثَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، وَدَاعِيَا إِلَى الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا.

اللهم صل و سلم على هذا النبي الكريم و على آله و أصحابه و من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد.

Jangan Meremehkan Dosa Walaupun Kecil

Jamaah Jumat rahimakumullah,

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Muhammad SAW bersabda:

إيَّاكُم ومحقَّراتِ الذُّنوبِ فإنَّهنَّ يجتمِعنَ على الرَّجلِ حتَّى يُهلِكنَهُ

”Hendaklah kalian menjauhi dosa-dosa yang dianggap sepele (kecil). Sesungguhnya dosa-dosa kecil itu (bisa) berakumulasi (menumpuk) pada diri seseorang sehingga bisa membinasakannya.” (Hadits riwayat Ahmad (5/331) dan ath-Thabrani dalam al-Kabiir (5872), dengan sanad shahih.)

Para ulama berkata,”Hal itu karena dosa-dosa kecil bila telah berakumulasi (menumpuk dalam jumlah banyak) dan belum dibersihkan dengan taubat dan istighfar niscaya bisa membinasakan pelaku dosa-dosa tersebut. Kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut.

Al Imam Abdullah ibnul Mubarok, seorang tokoh ulama tabiut tabi’in pernah berkata dalam bentuk syair:

رأيتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ القُلُوبَ *** وقد يورثُ الذّل إدمانُهَــا

وتركُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ القُلُوبِ *** وخَيْرٌ لِنَفْسِـكِ عِصْيَانُهَـا

Aku melihat dosa-dosa itu mematikan hati

Dan terus menerus melakukan dosa akan mewariskan kehinaan

Meninggalkan dosa itu adalah kehidupan hati

Dan tidak mau melakukan dosa itu lebih baik buat dirimu

Bila demikian halnya, maka jangan sampai kita meremehkan dosa walaupun dosa kecil, karena hal itu bisa membinasakan diri kita sendiri. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

إنكم لتعملون أعمالاً هي أدق في أعينكم من الشعر كنا لنعدها على عهد رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ من الموبقات “(رواه البخاري).

“ Sungguh kalian melakukan perbuatan-perbuatan (dosa) yang dalam pandangan kalian itu lebih tipis daripada rambut, padahal dahulu kami menghitungnya di masa Rasulullah Muhammad SAW  termasuk dalam perkara-perkara yang membinasakan (dosa-dosa besar).” (Hadits riwayat Al-Bukhari)

Bilal bin Sa’ad rahimahullah berkata,

لا تنظر إلى صغر الخطيئة ولكن إلى عظمة من عصيت

“Jangan kamu melihat kepada kecilnya kesalahan (dosa). Namun lihatlah keagungan dari yang engkau maksiati.”

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada kita semuanya dan seluruh kaum muslimin hidayah dan taufik-Nya serta berkenan mengampuni segala dosa dan kesalahan kita.

Referensi sebagai berikut ini ;







Dibiarkan Melakukan Maksiat oleh Allah Swt (Bahaya Istidraj)

Ilustrasi Gambar : Dibiarkan Melakukan Maksiat oleh Allah Swt (Bahaya Istidraj)

Dibiarkan Melakukan Maksiat oleh Allah Swt (Bahaya Istidraj), Adakah yang lebih memilukan daripada dibiarkan dan tidak dipedulikan oleh sosok yang semestinya amat menyayangi kita? Jika ada diantara kita yang mengalami hal tersebut, maka segeralah mengingat Allah dan bertaubat kepada-Nya. Dalam terminologi Islam, hal tersebut adalah Istidraj. Bahaya istidraj sangat nampak bagi orang-orang yang tidak lalai atau selalu mengingat segala nikmat Allah SWT.

Ibaratnya orangtua yang diam saja melihat anaknya ditodong moncong senjata tajam, atau orangtua yang membiarkan anaknya bermain di tengah-tengah binatang buas, bukankah ini menunjukkan orangtua tersebut sudah tidak menyayangi anaknya?

Nah, sebenarnya demikian juga kondisinya jika Allah membiarkan kita melakukan maksiat dan tidak menegur kita.

Jangan kira Allah tidak mendatangkan musibah karena sayang… sehingga Ia membiarkan kita melakukan apapun yang diinginkan, namun sebaliknya, jangan-jangan kita dibiarkan bermaksiat karena Allah memang sudah tidak lagi peduli pada diri kita!

Ketahuilah, bahwa Allah hanya melakukan pembiaran ini pada orang kafir dan munafik! Itu sebabnya orang-orang tersebut Allah biarkan bersenang-senang untuk sementara waktu:

(Dikatakan kepada orang-orang kafir): “Makanlah dan bersenang-senanglah kamu (di dunia dalam waktu) yang pendek, sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang berdosa.” (Q.S. Al-Mursalat: 46)

“Maka Kami biarkan orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, bergelimangan di dalam kesesatan mereka.” (QS. Yunus: 11)

“Biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (QS. Al-An’aam: 91)

“Dan janganlah sekali-kali orang kafir mengira bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka melainkan supaya bertambah tambah dosa mereka.” (QS. Ali Imran:178)

Dari beberapa ayat di atas, jelas terlihat bahwa Allah mengabaikan orang kafir bukan karena menyayangi mereka, namun sebaliknya, karena Allah tak lagi mau menunjukkan Jalan lurusNya pada mereka.

Ciri-ciri Allah membiarkan kita dalam kesesatan?

1. Rezeki dan nikmat Allah makin deras datang, padahal kita meninggalkan ibadah yang wajib maupun sunah

Berhati-hatilah jika kita tak pernah sedekah, tak lagi shalat lima waktu, malas berpuasa, namun nikmat Allah masih saja kita rasakan bertubi-tubi, ini bisa menjadi pertanda Allah tengah melakukan pembiaran terhadap diri kita

“Apabila kamu menyaksikan pemberian Allah dari materi dunia atas perbuatan dosa menurut kehendakNya, maka sesungguhnya itu adalah uluran waktu dan penangguhan tempo belaka (istidroj). Kemudian Rasulullah membaca firman Allah dalam surat Al An’am ayat 44 : “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu, mereka terdiam berputus asa.”(HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)

2. Nikmat Allah tetap datang meskipun kita melakukan maksiat

Sering mengerjakan kemaksiatan dan dosa namun Allah tak pernah menimpakan ujian malahan tetap menurunkan kenikmatanNya? Ini juga salah satu ciri istidroj yakni bentuk penangguhan siksa dari Allah.

Ali Bin Abi Thalib r.a. berkata : “Hai anak Adam ingat dan waspadalah bila kau lihat Tuhanmu terus menerus melimpahkan nikmat atas dirimu sementara engkau terus-menerus melakukan maksiat kepadaNya” (Mutiara Nahjul Balaghoh Hal 121)

3. Semakin banyak nikmat malah semakin kikir, bahkan ia mengira kesuksesannya disebabkan karena sifat kikirnya tersebut

Semakin banyak harta malah makin takut bersedekah, enggan berzakat, ini juga ciri nyata dari pembiaran yang Allah lakukan terhadap hambaNya.

“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung (harta) lalu dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya.” (QS. Al-Humazah: 1-3)

4. Jarang mengalami sakit, padahal banyak menyia-nyiakan kesehatannya tidak untuk beribadah justru banyak melakukan keburukan dan kerusakan

Jika Allah menyayangi hambaNya, tiap kali melakukan kesalahan biasanya Allah tegur dengan penyakit dan kesempitan rezeki agar hambaNya tersebut kembali mengingatnya. Namun jika tidak, waspadalah barangkali Allah tengah memberi penangguhan dan melakukan pembiaran karena tak lagi peduli pada kesesatan kita. Na’udzubillah.

Imam Syafi’i mengatakan, “Setiap orang pasti pernah mengalami sakit suatu ketika dalam hidupnya, jika engkau tidak pernah sakit maka tengoklah ke belakang mungkin ada yang salah dengan dirimu.”

Sahabat, semoga kita terjauh dari pembiaran yang Allah lakukan (istidraj), karena sungguh hal tersebut adalah kesedihan yang sebenar-benarnya.

Referensi sebagai Berikut ini ;










3 Alasan Jangan Menyepelekan Dosa, Walapun Kecil


Setiap manusia pasti pernah berbuat kesalahan dan dosa. Tidak peduli sebaik apapun orang tersebut. Sebab, sudah menjadi fitrah manusia untuk lupa dan melakukan kesalahan. Akan tetapi, Allah memberikan anugerah dan juga pengampunan berupa kesempatan bertaubat.

Taubat memungkinkan seorang hamba untuk kembali menyucikan diri setelah melakukan kesalahan. Taubat juga merupakan bentuk cinta Allah kepada para hamba-Nya. Bahkan Allah menjanjikan pengampunan kepada setiap hamba yang bertaubat. Walau dosa yang dimilikinya sangat besar sekalipun.

Meski setiap taubat pasti diterima dan setiap dosa pasti diampuni, bukan berarti seorang hamba bisa merasa bebas berbuat dosa. Di samping itu, Anda mungkin saja berpikir, kalau Allah bisa mengampuni dosa besar, Allah pasti mau memaafkan dosa kecil. Tapi, faktanya tidak seperti itu. Perkara dosa bukanlah sesuatu yang bisa digampangkan. Bahkan dosa kecil sekalipun bisa menjadi dosa besar jika disepelekan.

Ada beberapa alasan mengapa dosa kecil sekalipun tidak boleh dianggap enteng, berikut ini adalah beberapa di antaranya:

1. Dosa kecil yang dilakukan terus menerus akan sulit diampuni

Seorang hamba yang melakukan dosa besar seringkali menganggap bahwa dosanya sangat besar dan berharap Allah mengampuninya. Karena itu, hamba tersebut benar – benar meminta pengampunan Allah. Sementara, seorang hamba yang melakukan dosa terus menerus karena meremehkannya, justru akan lebih sulit diampuni oleh Allah.

Sebuah dosa yang dianggap besar oleh seorang hamba, akan menjadi kecil di sisi Allah. Sebaliknya, saat seorang hamba menganggap enteng atau kecil sebuah dosa, maka dosa tersebut akan menjadi besar di sisi Allah.

2. Menceritakan dosa rahasia dengan bangga

Seorang manusia bisa saja melakukan dosa secara sadar ataupun tidak disadari, sementara tidak ada orang yang mengetahui hal tersebut. Hal ini diungkapkan pada sebuah hadits seperti seseorang yang melakukan perbuatan buruk di malam hari, sedangkan tidak ada satu orang yang tahu bahwa dia melakukan dosa tersebut. Maka Allah akan menutupi aibnya tersebut.

Akan tetapi, apabila orang tersebut malah membuka aibnya sendiri kepada orang lain, maka orang tersebut masuk ke dalam golongan yang disebut sebagai Mujaahiriin. Orang – orang ini tidak akan mendapatkan ampunan dari Allah.

3. Dosa kecil yang dilakukan oleh seorang alim yang menjadi panutan

Dalam hadits riwayat Muslim no. 4831 disebutkan bahwa setiap orang yang mengajak orang lain kepada kebaikan, maka akan mendapatkan pahala dari orang tersebut. Sebenarnya, hal ini juga berlaku bagi orang yang mengajak orang lain kepada dosa. Maka, orang tersebut juga akan mendapatkan dosa dari orang yang mengikutinya.

Di samping itu, seorang alim seringkali menjadi panutan orang – orang lain di sekitarnya. Karena itu, mereka memiliki tanggung jawab lebih. Apabila seorang alim yang menjadi panutan melakukan dosa, maka potensi orang lain mengikuti dan menjadikan hal tersebut sebagai pembenaran juga akan besar.

Itulah beberapa alasan dan bahaya meremehkan dosa kecil. Menyadari hal ini, sudah sewajarnya jika setiap orang memperhatikan sikapnya. Di samping itu, sudah semestinya kita langsung bertaubat begitu menyadari bahwa kita telah melakukan dosa. Meskipun dosa yang dilakukan adalah sebuah kesalahan atau dosa kecil saja. Sikap ini lebih kepada kehati – hatian agar tidak terjerumus ke dalam sesuatu yang lebih besar.

Allah SWT telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat (Al Baqarah ayat 7).

Khatamallahu, menurut As-Saddi maknanya ialah “Allah mengunci mati.”

Menurut Qatadah, ayat ini bermakna “Setan telah menguasai mereka, mengingat mereka taat kepada keinginan Setan, maka Allah mengunci mati kalbu dan pendengaran mereka, dan pada penglihatan mereka terdapat penutup. Mereka tidak dapat melihat jalan hidayah, tidak dapat mendengarnya, tidak dapat memahaminya, dan tidak dapat memikirkannya”.

Penulis memahami bahwa ketika Allah menutup hati dengan penutup yang sangat tebal, hakikatnya semua ini karena perbuatan dosa mereka yang terus menerus, sehingga dosa dosa inilah menutupi hati mereka, sehingga tak ada celah yang dapat dimasuki cahaya hidayah.

Ketika cahaya hidayah tertutup maka akhirnya telinga, penglihatan mereka sudah enggan menginderai kebenaran dan kebaikan.

Sebagaimana Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya orang mukmin itu apabila berbuat suatu dosa, maka hal itu merupakan noktah hitam pada hatinya. Tetapi jika dia bertobat dan kapok serta menyesali, maka tersepuhlah hatinya (menjadi bersih kembali). Tetapi apabila dosanya bertambah, maka bertambah pulalah noktah hitam itu hingga (lama-kelamaan) menutupi hatinya, yang demikian itulah yang dimaksudkan dengan istilah ar-ran di dalam firman-Nya, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi mereka.” (Al-Muthaffifin: 14) (HR. Tirmidzi)

Hati adalah kunci baik tidaknya seseorang, hati adalah motor penggerak segala yang ada dalam diri manusia, semua anggota badannya, inderanya dan fikirannya.

Demikianlah kuatnya hati, sehingga tugas Nabi dalam risalahnya adalah melakukan tazkiah atau pensucian hati manusia dari segala kotoran dosa sehingga mereka menajdi manusia yang mampu berfikir, merasa dan bertindak dengan baik dan benar.

Nilai profetis tazkiah inilah yang hendaknya muncul dan dimunculkan dalam diri pelaku peradaban, mereka adalah manusia yang selalu melepaskan diri dari jerat dosa besar kepada Allah SWT, dan dosa horizontal kepada manusia dan alam semesta.

Dalam membangun peradaban keberhasihan hati menjadi kunci, keikhlasan, ketawaduan, keistiqamahan dan kesemangatan. Hati yang bersih jauh dari memperdebatkan masalah masalah kecil yang hanya akan menggores hati insan profetis.

Kebersihan hati (qalbun Salim) akan menjadikan insan profetis lebih produktif memberi dan menyebarkan manfaat dalam kehidupan, mereka disibukan dengan membaca,menulis dan beramal nyata demi terwujudnya peradaban yang mulia dalam naungan Ridho Allah SWT, karena speace otak dan hatinya hanya fokus pada kebenaran dan kebaikan, fokus pada perinta Allah SWT dan rasul Nya.

Apapun profesi yang saat ini menempel, kebersihan hati menjadi kunci kebahagiaan dunia dan akhirat, mengapa?

Yang pertama karena surga hanya akan dimasuki oleh mereka yang bersih hatinya.

Kedua dengan kebersihan hati semua manusia akan melepaskan kepentingan sahwatnya berlebihan, sehingga dia akan selalu berjalan pada jalan kebenaran. Bukan menjadikan profesinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang merugikan kehidupan manusia dan lingkungan.

Demikianlah tugas profetik yang hendaknya dijalankan oleh mereka yang merasa memiliki ilmu apapun jenisnya, bagaimana membersihkan hati dalam rangka membangun kehidupan yang lebih beradab sesuai aturan Allah SWT serta aturan aturan yang disepakati baik undang undang atau aturan dibawahnya.

Dengan kebersihan hati manusia akan mendapatkan kebahagiaan totalitas, kebahagiaan duniawi dan ukhrowi.

Dosa dan Noda Hitam menurut Ibnu Athaillah, Menjadi manusia yang bersih tanpa memiliki dosa sedikit pun mungkin bisa dikatakan mustahil, dan sulit untuk ditemukan, kecuali orang-orang pilihan yang memang Allah kehendaki, atau orang yang memang Allah jaga dari segala perbuatan maksiat dan kesalahan. 

Selain mereka sebagai makhluk yang oleh Allah diberi nafsu dan akal, melakukan kesalahan seperti hal fitrah yang pasti dilakukan oleh manusia. Mengingat, salah satu kalam populer dalam Islam, yaitu “manusia adalah tempatnya salah dan dosa”. 

Meski tidak semua manusia melakukan maksiat dengan tujuan melanggar aturan dan menerobos koridor syariat Islam, sebagian dari mereka ada yang melakukan maksiat karena tidak disengaja, meski ada juga yang melakukannya dengan sengaja dan nyata. Semua umat Islam sepakat bahwa tindakan paling dibenci dan tidak diridhai oleh Allah adalah melakukan maksiat dan beberapa kesalahan lainnya. Maksiat dalam pembahasan ini adalah setiap pekerjaan yang tidak sesuai dengan ketentuan syariat Islam, baik dengan cara meninggalkan kewajiban, atau dengan mengerjakan setiap larangan. Atau, bisa juga diartikan setiap pekerjaan yang mampu menghalangi kedekatan seorang hamba dengan Allah swt. 

Melakukan maksiat atau melanggar syariat Islam tentu memberikan dampak yang sangat buruk bagi umat manusia, dampak itu, misalnya seperti lupa pada kebenaran dan kesalahan. Ia tidak bisa membedakan keduanya, bahkan ia cenderung lebih dominan melakukan kesalahan. 

Pernyataan tegas ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh Muhammad Muflih Syamsuddin al-Muqdisi (wafat 763 H), dalam salah satu kitabnya:

 إنَّ الْعَبْدَ إذَا أَذْنَبَ نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ ثُمَّ إذَا أَذْنَبَ نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَبْقَى أَسْوَدَ مُرْبَدًّا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا. 

Artinya, “Sungguh apabila seorang hamba melakukan dosa, maka akan ditulis dalam hatinya sebuah titik hitam, kemudian jika melakukan dosa (kembali) maka akan ditulis dalam hatinya sebuah titik hitam, sampai (hatinya) tersisa menjadi hati hitam selamanya, ia tidak akan mengetahui kebenaran, ia juga tidak akan ingkar pada kemungkaran.” (Syamsuddin al-Muqdisi)

Menurutnya, titik hitam yang Allah tulis dalam hati ketika melakukan dosa bagai pakaian putih yang terkena kotoran hitam. Badan seseorang laksana pakaian putih, sedang kotoran hitam bagai titik hitam tersebut. Jika saat itu langsung dibersihkan dan dicuci, maka dengan gampang kotoran itu dapat dihilangkan, namun jika ditahan, bahkan tidak pernah mencucinya, maka bukan tidak mungkin baju yang awalnya putih menjadi hitam dan tidak seorang pun yang senang memakainya.

Begitu juga dengan manusia, ketika ia melakukan dosa, kemudian membersihkan dosanya dengan bertaubat kepada Allah, maka titik hitam dalam hatinya akan dihapus, namun jika ditahan sampai satu bulan, satu tahun, atau bahkan selamanya, bukan tidak mungkin hatinya akan menjadi hati hitam. Dan, dampaknya akan lupa pada kebenaran, dan semua kehidupannya serba maksiat dan kesalahan. (Ibnu ‘Athaillah). 

Dampak dosa yang didapatkan sebab maksiat memang sangat buruk, bahkan semua yang mereka lakukan adalah tindakan yang menutupi hati mereka. Ruhani yang suci sudah dikalahkan oleh nafsu yang buta akan kebenaran. Dalam keadaan seperti ini, dalam Al-Qur’an Allah menegaskan:

 كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ. كَلا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ. ثُمَّ إِنَّهُمْ لَصَالُو الْجَحِيمِ. المطففين: 14-16 

Artinya, “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka (14). Sekali-kali tidak! Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya (15). Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka.” (QS Al-Mutaffifin: 14-16). 

Syekh Abdul Hamid (wafat 1417 H) dalam salah satu tafsirnya mengatakan bahwa banyaknya dosa yang dilakukan seorang hamba, tidak hanya berpengaruh pada dirinya dalam hal ibadah, lebih dari itu juga berpengaruh pada potensinya di masa yang akan datang. Menurutnya, ayat 14 pada surat Al-Mutaffifin di atas menjelaskan tentang dosa yang dilakukan secara terus-menerus, ia tidak memberikan jeda sedikit pun dengan melakukan tobat. 

Akibatnya, kebiasaan buruk itu akan tertanam dalam hatinya, melekat dalam jiwanya, dan akan menjadi watak, sehingga ia akan terhalang dari manisnya ketaatan.” (Abdul Hamid, ar-Rihabut Tafsir, (Darul Qahirah). 

Jika ditelusuri lebih dalam, penyebab timbulnya dosa dari melakukan maksiat adalah tergantung bagaimana umat Islam menjaga hatinya. Jika hatinya terlepas dari berbagai penyakit tercela (mazmumah) dan penyebab kerusakan hati lainnya, tentu akan sangat berat baginya untuk bisa diajak melakukan maksiat dan ringan melakukan ketaatan. 

Akan tetapi, jika dalam hatinya ada yang bermasalah, maka bukan tidak mungkin, bahkan rusaknya hati menjadi penyebab paling urgen dalam melakukan dosa. Lantas apa saja penyebab rusaknya hati? Sayyid Ahmad Bilal al-Bustani ar-Rifa’i al-Husaini merekam perkataan Imam Hasan Basri perihal beberapa penyebab rusaknya hati. Dalam kitabnya disebutkan:

 اِنَّ فَسَادَ الْقَلْبِ مِنْ سِتَّةِ أَشْيَاءَ: أَوَّلُهَا يُذْنِبُوْنَ بِرَجَاءِ التَّوْبَةِ، وَيَتَعَلَّمُوْنَ العِلْمَ وَلَايَعْمَلُوْنَ، وَاِذَا عَمِلُوا لَايُخْلِصُوْنَ، وَيَأْكُلُوْنَ رِزْقَ اللهِ وَلَايَشْكُرُوْنَ، وَلَا يَرْضَوْنَ بِقِسْمَةِ اللهِ، وَيَدْفَنُوْنَ مَوْتَاهُمْ وَلَا يَعْتَبِرُوْنَ 

Artinya, “Sungguh rusaknya hati disebabkan enam hal, 

  • (1) terus menerus melakukan dosa dengan harapan tobat; 
  • (2) belajar ilmu dan tidak mengamalkannya; 
  • (3) jika beramal tidak ikhlas; 
  • (4) memakan rizki Allah dan tidak bersyukur; 
  • (5) tidak ridha dengan pembagian Allah; dan 
  • (6) mengubur orang mati dari mereka, namun tidak mengambil pelajaran.” (Ahmad Bilal al-Bustani, Farhatun Nufus, (Bairut, Darul), Imam Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari menjelaskan lebih detail perihal dampak-dampak dari dosa yang dilakukan seorang hamba, dan bisa disimpulkan menjadi dua bagian; 

  1. Dampak secara nyata (dhahir). Misalnya, merusak kesepakatan dengan Allah swt. Artinya, dengan melakukan dosa, seorang hamba sudah menerjang janji yang sudah Allah berikan kepadanya, seperti mengerjakan semua kewajiban-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya. Dampak yang lain seperti akan semakin berani untuk menampakkan pekerjaan-pekerjaan yang diridhai oleh Allah, malas dalam beribadah, hilangnya cahaya hidayah darinya; dan 
  2. Dampak secara batin. Misalnya, menjadikan hati keras, dengan tidak bisa menerima nasihat-nasihat baik, hilangnya rasa manis dari ketaatan, dan jiwanya dikuasai oleh nafsu-nafsu setan, serta akan lupa pada akhirat dengan segala akuntasi yang akan ia hadapi kelak. Menurut Ibnu ‘Athaillah, semua ini akan terjadi pada diri orang-orang yang melakukan maksiat. 

Seharusnya, tanpa adanya dampak-dampak yang telah disebutkan sekali pun, bahkan hanya sekadar berganti nama, misalnya dari predikat orang yang taat menjadi orang yang hianat, sudah sangat cukup untuk memberikan kesadaran bahwa dosa memang sangat buruk pada diri manusia. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu ‘Athaillah:

 وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي المَعْصِيَةِ اِلَّا تَبَدُّلُ الْاِسْمِ لَكَانَ كَافِيًا، فَاِنَّكَ اِذَا كُنْتَ طَائِعًا تُسَمَّى بِالْمُحْسِنِ المُقْبِلِ، وَاِذَا كُنْتَ عَاصِيًا اِنْتَقَلَ اسْمُكَ اِلَى المُسِيْئِ المُعْرِضُ 

Artinya, “Jika seandainya dalam maksiat tidak ada (dampak) selain perubahan nama, maka (hal itu) sudah sangat cukup; maka sesungguhnya, jika engkau adalah orang yang taat, dan dinamai orang baik yang menghadap (Allah), dan jika engkau bermaksiat, maka namamu berubah menjadi orang jelek yang berpaling.” (Ibnu ‘Athaillah, Tajul Arus al-Hawi li Tahdzibin Nufus, 2015, halaman 44). 

Jika dengan perubahan nama saja seharusnya memberikan kesadaran bahwa dosa memang sangat buruk bagi diri manusia, lantas bagaimana jika perubahan itu sampai merubah kenyamaan rasa taat menjadi kenyamanan maksiat dan kenyamanan bermunajat berganti menjadi budak syahwat? Ini masih dalam persoalan dampak, lain lagi jika sampai berdampak pada sikap. Jika sikap awalnya adalah orang yang baik (muhsin) berbalik menjadi orang yang jelek (musi’). 

Dan semoga oleh Allah selalu dijauhi, jika dengan melakukan dosa bisa berdampak pada hilangnya derajat mulia di sisi Allah menjadi orang yang sangat hina? Oleh karenanya, sebagai umat Islam harus selalu memohon pertolongan kepada Allah, agar dijauhi dari berbagai penyakit-penyakit hati yang bisa menggerogoti keimanan yang telah tertanam dalam hati, juga memohon agar kenyamanan taat tidak hilang dan diganti menjadi kenyamanan maksiat. 

Derajat yang sudah diraih di sisi Allah tidak sampai diturunkan, minimal jika tidak bisa berupaya untuk semakin meninggikan derajat di sisi-Nya dengan selalu menaambah ketaatan, tidak turun dengan adanya kemaksiatan. Artinya, sebisa mungkin maksiat tidak dilakukan, karena bisa menjadi penyebab hilangnya derajat mulia yang telah diraih di sisi Allah Swt.

Referensi Sebagai berikut ini ;










Dosa dan Noda Hitam menurut Ibnu Athaillah


Dosa dan Noda Hitam menurut Ibnu Athaillah, Menjadi manusia yang bersih tanpa memiliki dosa sedikit pun mungkin bisa dikatakan mustahil, dan sulit untuk ditemukan, kecuali orang-orang pilihan yang memang Allah kehendaki, atau orang yang memang Allah jaga dari segala perbuatan maksiat dan kesalahan. 

Selain mereka sebagai makhluk yang oleh Allah diberi nafsu dan akal, melakukan kesalahan seperti hal fitrah yang pasti dilakukan oleh manusia. Mengingat, salah satu kalam populer dalam Islam, yaitu “manusia adalah tempatnya salah dan dosa”. 

Meski tidak semua manusia melakukan maksiat dengan tujuan melanggar aturan dan menerobos koridor syariat Islam, sebagian dari mereka ada yang melakukan maksiat karena tidak disengaja, meski ada juga yang melakukannya dengan sengaja dan nyata. Semua umat Islam sepakat bahwa tindakan paling dibenci dan tidak diridhai oleh Allah adalah melakukan maksiat dan beberapa kesalahan lainnya. Maksiat dalam pembahasan ini adalah setiap pekerjaan yang tidak sesuai dengan ketentuan syariat Islam, baik dengan cara meninggalkan kewajiban, atau dengan mengerjakan setiap larangan. Atau, bisa juga diartikan setiap pekerjaan yang mampu menghalangi kedekatan seorang hamba dengan Allah swt. 

Melakukan maksiat atau melanggar syariat Islam tentu memberikan dampak yang sangat buruk bagi umat manusia, dampak itu, misalnya seperti lupa pada kebenaran dan kesalahan. Ia tidak bisa membedakan keduanya, bahkan ia cenderung lebih dominan melakukan kesalahan. 

Pernyataan tegas ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh Muhammad Muflih Syamsuddin al-Muqdisi (wafat 763 H), dalam salah satu kitabnya:

 إنَّ الْعَبْدَ إذَا أَذْنَبَ نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ ثُمَّ إذَا أَذْنَبَ نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَبْقَى أَسْوَدَ مُرْبَدًّا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا. 

Artinya, “Sungguh apabila seorang hamba melakukan dosa, maka akan ditulis dalam hatinya sebuah titik hitam, kemudian jika melakukan dosa (kembali) maka akan ditulis dalam hatinya sebuah titik hitam, sampai (hatinya) tersisa menjadi hati hitam selamanya, ia tidak akan mengetahui kebenaran, ia juga tidak akan ingkar pada kemungkaran.” (Syamsuddin al-Muqdisi)

Menurutnya, titik hitam yang Allah tulis dalam hati ketika melakukan dosa bagai pakaian putih yang terkena kotoran hitam. Badan seseorang laksana pakaian putih, sedang kotoran hitam bagai titik hitam tersebut. Jika saat itu langsung dibersihkan dan dicuci, maka dengan gampang kotoran itu dapat dihilangkan, namun jika ditahan, bahkan tidak pernah mencucinya, maka bukan tidak mungkin baju yang awalnya putih menjadi hitam dan tidak seorang pun yang senang memakainya.

Begitu juga dengan manusia, ketika ia melakukan dosa, kemudian membersihkan dosanya dengan bertaubat kepada Allah, maka titik hitam dalam hatinya akan dihapus, namun jika ditahan sampai satu bulan, satu tahun, atau bahkan selamanya, bukan tidak mungkin hatinya akan menjadi hati hitam. Dan, dampaknya akan lupa pada kebenaran, dan semua kehidupannya serba maksiat dan kesalahan. (Ibnu ‘Athaillah). 

Dampak dosa yang didapatkan sebab maksiat memang sangat buruk, bahkan semua yang mereka lakukan adalah tindakan yang menutupi hati mereka. Ruhani yang suci sudah dikalahkan oleh nafsu yang buta akan kebenaran. Dalam keadaan seperti ini, dalam Al-Qur’an Allah menegaskan:

 كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ. كَلا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ. ثُمَّ إِنَّهُمْ لَصَالُو الْجَحِيمِ. المطففين: 14-16 

Artinya, “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka (14). Sekali-kali tidak! Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya (15). Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka.” (QS Al-Mutaffifin: 14-16). 

Syekh Abdul Hamid (wafat 1417 H) dalam salah satu tafsirnya mengatakan bahwa banyaknya dosa yang dilakukan seorang hamba, tidak hanya berpengaruh pada dirinya dalam hal ibadah, lebih dari itu juga berpengaruh pada potensinya di masa yang akan datang. Menurutnya, ayat 14 pada surat Al-Mutaffifin di atas menjelaskan tentang dosa yang dilakukan secara terus-menerus, ia tidak memberikan jeda sedikit pun dengan melakukan tobat. 

Akibatnya, kebiasaan buruk itu akan tertanam dalam hatinya, melekat dalam jiwanya, dan akan menjadi watak, sehingga ia akan terhalang dari manisnya ketaatan.” (Abdul Hamid, ar-Rihabut Tafsir, (Darul Qahirah). 

Jika ditelusuri lebih dalam, penyebab timbulnya dosa dari melakukan maksiat adalah tergantung bagaimana umat Islam menjaga hatinya. Jika hatinya terlepas dari berbagai penyakit tercela (mazmumah) dan penyebab kerusakan hati lainnya, tentu akan sangat berat baginya untuk bisa diajak melakukan maksiat dan ringan melakukan ketaatan. 

Akan tetapi, jika dalam hatinya ada yang bermasalah, maka bukan tidak mungkin, bahkan rusaknya hati menjadi penyebab paling urgen dalam melakukan dosa. Lantas apa saja penyebab rusaknya hati? Sayyid Ahmad Bilal al-Bustani ar-Rifa’i al-Husaini merekam perkataan Imam Hasan Basri perihal beberapa penyebab rusaknya hati. Dalam kitabnya disebutkan:

 اِنَّ فَسَادَ الْقَلْبِ مِنْ سِتَّةِ أَشْيَاءَ: أَوَّلُهَا يُذْنِبُوْنَ بِرَجَاءِ التَّوْبَةِ، وَيَتَعَلَّمُوْنَ العِلْمَ وَلَايَعْمَلُوْنَ، وَاِذَا عَمِلُوا لَايُخْلِصُوْنَ، وَيَأْكُلُوْنَ رِزْقَ اللهِ وَلَايَشْكُرُوْنَ، وَلَا يَرْضَوْنَ بِقِسْمَةِ اللهِ، وَيَدْفَنُوْنَ مَوْتَاهُمْ وَلَا يَعْتَبِرُوْنَ 

Artinya, “Sungguh rusaknya hati disebabkan enam hal, 

  • (1) terus menerus melakukan dosa dengan harapan tobat; 
  • (2) belajar ilmu dan tidak mengamalkannya; 
  • (3) jika beramal tidak ikhlas; 
  • (4) memakan rizki Allah dan tidak bersyukur; 
  • (5) tidak ridha dengan pembagian Allah; dan 
  • (6) mengubur orang mati dari mereka, namun tidak mengambil pelajaran.” (Ahmad Bilal al-Bustani, Farhatun Nufus, (Bairut, Darul), Imam Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari menjelaskan lebih detail perihal dampak-dampak dari dosa yang dilakukan seorang hamba, dan bisa disimpulkan menjadi dua bagian; 

  • (1) dampak secara nyata (dhahir). Misalnya, merusak kesepakatan dengan Allah swt. Artinya, dengan melakukan dosa, seorang hamba sudah menerjang janji yang sudah Allah berikan kepadanya, seperti mengerjakan semua kewajiban-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya. Dampak yang lain seperti akan semakin berani untuk menampakkan pekerjaan-pekerjaan yang diridhai oleh Allah, malas dalam beribadah, hilangnya cahaya hidayah darinya; dan 
  • (2) dampak secara batin. Misalnya, menjadikan hati keras, dengan tidak bisa menerima nasihat-nasihat baik, hilangnya rasa manis dari ketaatan, dan jiwanya dikuasai oleh nafsu-nafsu setan, serta akan lupa pada akhirat dengan segala akuntasi yang akan ia hadapi kelak. Menurut Ibnu ‘Athaillah, semua ini akan terjadi pada diri orang-orang yang melakukan maksiat. 

Seharusnya, tanpa adanya dampak-dampak yang telah disebutkan sekali pun, bahkan hanya sekadar berganti nama, misalnya dari predikat orang yang taat menjadi orang yang hianat, sudah sangat cukup untuk memberikan kesadaran bahwa dosa memang sangat buruk pada diri manusia. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu ‘Athaillah:

 وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي المَعْصِيَةِ اِلَّا تَبَدُّلُ الْاِسْمِ لَكَانَ كَافِيًا، فَاِنَّكَ اِذَا كُنْتَ طَائِعًا تُسَمَّى بِالْمُحْسِنِ المُقْبِلِ، وَاِذَا كُنْتَ عَاصِيًا اِنْتَقَلَ اسْمُكَ اِلَى المُسِيْئِ المُعْرِضُ 

Artinya, “Jika seandainya dalam maksiat tidak ada (dampak) selain perubahan nama, maka (hal itu) sudah sangat cukup; maka sesungguhnya, jika engkau adalah orang yang taat, dan dinamai orang baik yang menghadap (Allah), dan jika engkau bermaksiat, maka namamu berubah menjadi orang jelek yang berpaling.” (Ibnu ‘Athaillah, Tajul Arus al-Hawi li Tahdzibin Nufus, 2015, halaman 44). 

Jika dengan perubahan nama saja seharusnya memberikan kesadaran bahwa dosa memang sangat buruk bagi diri manusia, lantas bagaimana jika perubahan itu sampai merubah kenyamaan rasa taat menjadi kenyamanan maksiat dan kenyamanan bermunajat berganti menjadi budak syahwat? Ini masih dalam persoalan dampak, lain lagi jika sampai berdampak pada sikap. Jika sikap awalnya adalah orang yang baik (muhsin) berbalik menjadi orang yang jelek (musi’). 

Dan semoga oleh Allah selalu dijauhi, jika dengan melakukan dosa bisa berdampak pada hilangnya derajat mulia di sisi Allah menjadi orang yang sangat hina? Oleh karenanya, sebagai umat Islam harus selalu memohon pertolongan kepada Allah, agar dijauhi dari berbagai penyakit-penyakit hati yang bisa menggerogoti keimanan yang telah tertanam dalam hati, juga memohon agar kenyamanan taat tidak hilang dan diganti menjadi kenyamanan maksiat. 

Derajat yang sudah diraih di sisi Allah tidak sampai diturunkan, minimal jika tidak bisa berupaya untuk semakin meninggikan derajat di sisi-Nya dengan selalu menaambah ketaatan, tidak turun dengan adanya kemaksiatan. Artinya, sebisa mungkin maksiat tidak dilakukan, karena bisa menjadi penyebab hilangnya derajat mulia yang telah diraih di sisi Allah Swt.

Referensi Sebagai berikut ini ;








Pengertian Dosa Jariyah

Pengertian Dosa Jariyah, Pengertian Dosa Jariyah dan Contohnya

Dosa jariyah merupakan segala bentuk perbuatan yang melanggar hukum, aturan dan syari’at yang telah Allah SWT dan RasulNya tetapkan untuk seluruh manusia dengan kecenderungan untuk tidak melakukannya. Dosa jariyah sendiri merupakan salah satu perbuatan dimana sebuah perbuatan dosa yang terus berkelanjutan akibat dampak dari perbuatan itu sendiri.

Pengertian Dosa Jariyah

Jariyah merupakan serapan dari bahasa Arab yang bisa  mencakup beberapa arti yang sifatnya umum dan tidak mengikat, artinya terjemahan bebas. Seperti memiliki arti mengalir, yaitu bagaikan mengalir seperti air yang tiada bertepi. Dan juga memiliki arti tiada henti, seperti seorang yang berlomba lari terus menerus tiada henti sampai puncak garis finish menghampiri.

Dosa jariyah bisa dikatakan dosa yang berkelanjutan dan tiada berkesudahan, dosa yang tidak akan pernah terputus, dosa yang akan menuntut, dan terus menerus mengikis kebaikan.

Jadi ketika dua kata tadi digabungkan, maka pengertian dari Dosa jariyah itu sendiri kurang lebih yaitu

Segala bentuk perbuatan yang melanggar aturan dan menentang syari’at yang Allah SWT dan RasulNya tetapkan, dengan sadar melakukannya secara terang terangan sehingga diikuti oleh orang-orang setelahnya, dan dosanya akan terus menerus mengalir meskipun pelaku dosa tersebut telah meninggal dunia, dan akan terus menuntut dan diminta pertanggungjawabannya kelak di akhirat nanti.

Sebagaimana firman Allah SWT, “Ucapan mereka menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun bahwa mereka disesatkan. Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.” (QS. An-Nahl: 25).

Pelaku dosa jariyah akan memikul dosa-dosa orang setelahnya, yaitu mereka yang selalu mengikuti apa- apa yang pelaku dosa itu kerjakan. Hal itu menunjukkan bahwa dosa jariyah diperoleh dan disebabkan seseorang menjadi pelaku utama, juga inisiator serta pencet us suatu perbuatan atau kebiasaan buruk, yang disengaja ataupun tidak, dan dalam keadaan sadar. Akibatnya, ia mendapatkan dosa yang berkelanjutan pula karena telah membiasakan sesuatu perbuatan buruk yang tentunya melanggar hukum dan syariat yang Allah SWT dan RasulNya tetapkan. Sebagaimana kutipan hadits Nabi SAW yang berbunyi:

“Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan, maka ia mendapat dosa semisal dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR Muslim).

Maka kesimpulan dari petikan hadits tersebut, yaitu kita dituntut untuk selalu berhati-hati dan waspada terhadap perkataan dan perbuatan yang melanggar, merusak dan buruk yang dapat diikuti oleh orang lain. Sebab, meski pelakunya telah tiada sekalipun, ia akan menanggung dosa dari kebiasaan yang ia tinggalkan di dunia.

“Barangsiapa yang membuat suatu kebiasaan (tradisi, sunnah) yang baik dalam Islam, maka ia memperoleh pahala dari perbuatan yang ia kerjakan dan perbuatan orang yang menirunya tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun. Dan, barang siapa yang membuat suatu kebiasaan buruk dalam Islam, pun ia akan memperoleh dosa dari perbuatan yang ia kerjakan dan perbuatan orang-orang yang menirunya tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.” (HR. Muslim).

Ini menjadi peringatan keras bagi kita semua, menunjukkan bahwa setiap kebiasaan buruk yang dilakukan dan dipelopori dengan sadar melakukannya tanpa rasa bersalah sedikit pun di dunia ini, sehingga orang setalahnya pun mengikutinya. Maka meski ia telah meninggal dunia sekalipun akan mendapatkan dosa jariyah.

Semisal, ketika seseorang rajin ibadah, dan taat melaksanakan apa yang diperintah oleh agama. Maka secara otomatis Ia akan memperoleh dosa jariyah,  sesaat ketika dia sudah meninggal dunia sekalipun, akibat dari perbuatan yang melanggar serta kebiasaan buruk yang pernah dia lakukan semasa hidupnya didunia.

Pernyataan tadi yang diatas terkait seorang hamba yang rajin ibadah sekalipun, digambarkan bahwa mereka sebagai orang-orang bangkrut (muflis). Suatu ketika Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat: “Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?” Mereka menjawab: “Orang yang bangkrut di kalangan kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak pula memiliki harta benda.” Jawaban ini disanggah oleh baginda Nabi, bahwa orang bangkrut bukanlah orang yang tidak punya dirham dan harta, serta tidak memproleh keuntungan dari aktivitas bisnis.

Akan tetapi, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya orang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun ia juga datang dengan membawa dosa kezaliman. Ia pernah mencerca dan menghardik si fulan, menuduh tanpa bukti terhadap si fulan, memakan harta si fulan secara dzalimq, menumpahkan darah di fulan dan memukul si fulan.

Maka sebagai tebusan atas kezalimannya tersebut, diberikanlah di antara kebaikannya kepada si fulan yang terdzalimi, sehingga apabila kebaikannya telah habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang didzaliminya, sementara belum semua kedzalimannya tertebus, diambillah kejelekan yang dimiliki oleh orang yang dizaliminya, lalu ditimpakan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka.” (HR Muslim).

Ini menunjukkan bahwa, sekecil dan seremeh apa pun dosa tanpa ditebus dengan taubat kepada Allah SWT dan permintaan maaf kepada sesama, selama itulah dosa-dosa terus melekat pada diri para pelaku kedzaliman tadi. Apalagi jika dosa yang dikerjakan itu menjadi sebuah kebiasaan, tradisi, dan diikuti oleh orang-orang setelahnya. Pasti dosanya akan dipikul secara berkelanjutan hingga kiamat.

Maka berhati-hatilah dalam segala perkataan dan perbuatan yang kita kerjakan didunia ini, semisal menyebarkan sebuah kabar yang dimana kabar itu belum jelas kebenarannya. Karena jika kabar itu mustahil akan kebenarannya, lalu disebar dan dibagikan kepada orang orang tanpa meyakini akan kebenaran informasinya, maka hal tersebut dikategorikan termasuk dosa jariyah yang akan dipikul oleh penyebar kabar tersebut, meskipun dia itu telah tiada.

Hakikatnya, ketika ada dosa jariyah maka disana ada pahala jariyah. Yaitu suatu amal perbuatan atau kebiasaan orang melakukan suatu kebaikan- kebaikan yang dilakukan secara sadar, tanpa bermaksud untuk dilihat oleh orang lain, kemudian orang-orang setelahnya mengikuti apa- apa yang pelaku kebaikan itu kerjakan, maka pahala jariyah lah kelak yang akan dia petik sekalipun dia telah meninggal dunia.

Kedua hal tersebut yakni dosa jariyah dan pahala jariyah, memiliki sifat yang sama. Sama-sama akan diminta pertanggungjawabannya kelak diakhirat nanti, dosa ini akan terus memberatkan timbangan keburukan di akhirat kelak, meskipun kita tidak lagi mengerjakan maksiat atau bahkan setelah meninggalkan dunia ini. Naudzubillahimindzalik. Dan begitu juga sebaliknya. Lalu apa saja contoh dosa jariyah tersebut?

Contoh Dosa Jariyah

Dialah Orang yang Mempelopori, Menginisiasi Perbuatan Maksiat atau Dosa.

Dalam hadits dari Jarir Bin Abdillah RA, Rasulullah SAW bersabda:

“Siapa yang mempelopori satu kebiasaan yang buruk dalam islam, maka dia mendapatkan dosa keburukan itu, dan dosa setiap orang yang melakukan keburukan itu karena ulahnya, tanpa dikurangi sedikitpun dosa mereka.” (HR. Muslim).

Di satu sisi, Rasulullah SAW juga bersabda:

“Orang ini tidak mengajak lingkungan sekitarnya untuk melakukan maksiat yang sama. Orang ini juga tidak memotivasi orang lain untuk melakukan perbuatan dosa seperti yang dia lakukan. Namun, orang ini melakukan maksiat itu di hadapan banyak orang, sehingga ada yang menirunya atau menyebarkannya.”

Berdasarkan kedua hadits Nabi tadi, kita mendapatkan pelajaran yang sangat berharga tentang dosa jariyah, yaitu siapa saja yang mempelopori perbuatan maksiat ini, secara sadar maupun tidak, kemudian orang-orang setelahnya mengikutinya, maka dosanya dan dosa orang yang mengikutinya, akan ditanggung oleh dirinya sebagai pelaku utama, polopor perbuatan kejahatan atau kebiasaan buruk.

Karena itulah, anak adam yang pertama kali melakukan pembunuhan, karena sifat hasad dan dengki yang dimilikinya, menjadikan dialah yang dilimpahi tanggungjawab atas semua kasus pembunuhan itu, karena dialah pelopor kedzaliman yang terjadi di alam ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak ada satu jiwa yang terbunuh secara dzalim, melainkan anak adam yang pertama kali membunuh akan mendapatkan dosa karena pertumpahan darah itu.” (HR. Bukhari 3157, Muslim 4473 dan yang lainnya).

Dialah yang Mengajak dan Memotivasi yang Lainnya untuk Melakukan Perbuatan Dosa dan Maksiat

Meskipun tingkatannya dibawah pelopor, yakni dia hanya mengajak orang lain, memotivasi orang untuk melakukan maksiat ataupun kebiasaan- kebiasaan buruk, maka perbuatan tersebut dikategorikan termasuk contoh sebagai orang yang sedang melakukan dan akan terus memupuk dosa jariyah.

Allah SWT berfirman, tentang cerita bagaimana kondisi orang kafir di akhirat kelak, dimana mereka akan menanggung kekufurannya, serta dosa-dosa yang mereka sesatkan. Mengajak orang lain untuk kufur dan menduakan Allah SWT. Hal ini dituturkan dalam Alquran, yang artinya :

“Mereka akan memikul dosa-dosanya dengan penuh pada hari kiamat, dan berikut dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan).” (QS. An-Nahl: 25).

Ditegaskan, Imam Mujahid mengatakan,

“Mereka menanggung dosa mereka sendiri dan dosa orang lain yang mengikutinya. Dan mereka sama sekali tidak diberi keringanan adzab karena dosa orang yang mengikutinya.” (Tafsir Ibn Katsir, 4/566).

Tafsiran ayat  ini, memiliki makna sama dengan hadis dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda,

“Siapa yang mengajak kepada kesesatan, dia mendapatkan dosa, seperti dosa orang yang mengikutinya, tidak dikurangi sedikitpun.” (HR. Ahmad 9398, Muslim 6980, dan yang lainnya).

Naudzubillahimindzalik. Semoga kita dihindarkan dari dosa jariyah tadi, karena betapa berat dan keras peringatan Allah dan RasulNya terhadap orang yang melakukan dosa jariyah, sebaliknya kita berharap agar termasuk orang yang berusaha melakukan pahala jariyah.

Mudah mudahan kita diberikan kemudahan untuk melakukan pahala jariyah, dianugerahkan keistiqamahan untuk menjaga segala perkataan dan perbuatan kita dari dosa jariyah, selalu mawas diri, menghadirkan dihati kita untuk selalu bertaqarrub kepadaNya, dan bertaubat kepadaNya dengan sebenar- benar taubat.

Karena kita tidak tahu, kelak akhir hidup kita seperti apa, dan menjadi apa nanti diakhir ajal kita nanti. Menjadi pribadi yang suul khatimah, atau sebaliknya, husnul khatimah, sesuai harapan, doa dan tujuan kita selama ini hidup didunia yaitu meninggal dalam keadaan yg terbaik. 


Menganggap remeh sesuatu dapat menjadi ibadah atau bencana. Seseorang yang menganggap remeh ibadahnya di hadapan Allah adalah salah satu jalan pensucian jiwa guna menghindari penyakit ‘ujub terhadap amalan solehnya dan sebagai motivasi untuk memperbaiki ibadah, kualitas maupun kuantitasnya.

Namun jika tidak berhati-hati dalam menata qolbu, seseorang dapat terjatuh dalam sebuah dosa apabila ia menganggap remeh sebuah ibadah yang wajib dengan meninggalkannya, dan kedua hal ini mirip namun hakikatnya berbeda. Jauh lebih berbahaya dari itu, apabila ia menganggap remeh sebuah dosa sekecil apapun itu.

Dari Sahl bin Sa’ad radiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّمَا مَثَلُ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ كَقَوْمٍ نَزَلُوا فِي بَطْنِ وَادٍ، فَجَاءَ ذَا بِعُودٍ، وَجَاءَ ذَا بِعُودٍ حَتَّى أَنْضَجُوا خُبْزَتَهُمْ، وَإِنَّ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ مَتَى يُؤْخَذْ بِهَا صَاحِبُهَا تُهْلِكْهُ.

“Berhati-hatilah dari dosa-dosa yang dianggap remeh, karena permisalan dosa-dosa yang dianggap remeh ibarat suatu kafilah safar yang bermalam di sebuah lembah, setiap orang mengumpulkan sebuah  kayu bakar hingga mereka dapat memasak roti mereka. Sesungguhnya dosa-dosa yang dianggap remeh itu dapat membinasakan pelakunya jika ia dihisab” (HR Ahmad nomor 22808 dan dishahihkan Al Albany dalam silsilah shahihah nomor 389).

Benar bahwa Allah Maha kasih, Maha penyayang dan Maha pengampun terhadap hamba-hambaNya, bahkan Allah telah berfirman di dalam Al Quran:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS An-Nisa 48).

Akan tetapi bukankah Allah juga yang telah menggambarkan dengan sangat jelas penyesalan para pelaku dosa dan maksiat dalam firmanNya:

وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَاوَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا.

“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang tertulis di dalamnya, dan mereka berkata “aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak pula yang besar melainkan ia mencatat semuanya”, dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada tertulis. Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorangjuapun” (QS Al-Kahfi 49).

Karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan kita untuk berhati-hati dari dosa-dosa yang dianggap remeh oleh sebagian besar manusia. Apa itu dosa yang dianggap remeh oleh manusia ? Al Munawi rahimahullah dalam “Faidhul Qadir 3/127” menjelaskan bahwa dosa yang dianggap remeh adalah dosa-dosa kecil yang terus dilakukan seseorang, dan ia tak bertaubat darinya, sedangkan dosa besar tak diberikan permisalan oleh Rasulullah karena sedikitnya dari kalangan sahabat yang terjatuh di dalamnya. Anas radiyallahu ‘anhu berkata;

“Sesungguhnya kalian mengerjakan amalan-amalan yang kalian anggap lebih halus dari sehelai rambut, sedangkan kami (para sahabat. pen) menganggapnya sebagai pembawa kebinasaan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” (HR Bukhari nomor 6492).

Rasulullah memisalkan dosa kecil dengan sebatang kayu bakar, yang tak memiliki manfaat yang banyak untuk menyalakan api dan digunakan memasak. Namun ketika dikumpulkan barulah memberikan manfaat yang berarti. Imam Al Ghazali rahimahullah sebagaimana dinukil dalam “Faidul Qadir 3/127” berkata:

“Kesalahan kecil dapat menjadi sebuah dosa besar dengan dua hal; menganggapnya remeh dan terus menerus mengerjakannya. Tiap kali sebuah dosa dianggap besar niscaya ia akan kecil di sisi Allah, dan jika dosa dianggap kecil niscaya ia akan besar di sisi Allah. Karena anggapan besarnya sebuah dosa lahir dari bencinya hati seseorang kepada perbuatan tersebut, sedangkan anggapan kecilnya sebuah dosa lahir dari senangnya hati seseorang kepada perbuatan tersebut. Oleh karena itu ia pantas untuk diadzab karena hati hendaknya diisi dengan cahaya iman dan ketaatan, bukan dengan gelapnya dosa dan kemaksiatan.”

Referensi sebagai berikut ini ;






Hati Seseorang Dapat Terjatuh Dalam Sebuah Dosa

Menganggap remeh sesuatu dapat menjadi ibadah atau bencana. Seseorang yang menganggap remeh ibadahnya di hadapan Allah adalah salah satu jalan pensucian jiwa guna menghindari penyakit ‘ujub terhadap amalan solehnya dan sebagai motivasi untuk memperbaiki ibadah, kualitas maupun kuantitasnya.

Namun jika tidak berhati-hati dalam menata qolbu, seseorang dapat terjatuh dalam sebuah dosa apabila ia menganggap remeh sebuah ibadah yang wajib dengan meninggalkannya, dan kedua hal ini mirip namun hakikatnya berbeda. Jauh lebih berbahaya dari itu, apabila ia menganggap remeh sebuah dosa sekecil apapun itu.

Dari Sahl bin Sa’ad radiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّمَا مَثَلُ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ كَقَوْمٍ نَزَلُوا فِي بَطْنِ وَادٍ، فَجَاءَ ذَا بِعُودٍ، وَجَاءَ ذَا بِعُودٍ حَتَّى أَنْضَجُوا خُبْزَتَهُمْ، وَإِنَّ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ مَتَى يُؤْخَذْ بِهَا صَاحِبُهَا تُهْلِكْهُ.

“Berhati-hatilah dari dosa-dosa yang dianggap remeh, karena permisalan dosa-dosa yang dianggap remeh ibarat suatu kafilah safar yang bermalam di sebuah lembah, setiap orang mengumpulkan sebuah  kayu bakar hingga mereka dapat memasak roti mereka. Sesungguhnya dosa-dosa yang dianggap remeh itu dapat membinasakan pelakunya jika ia dihisab” (HR Ahmad nomor 22808 dan dishahihkan Al Albany dalam silsilah shahihah nomor 389).

Benar bahwa Allah Maha kasih, Maha penyayang dan Maha pengampun terhadap hamba-hambaNya, bahkan Allah telah berfirman di dalam Al Quran:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS An-Nisa 48).

Akan tetapi bukankah Allah juga yang telah menggambarkan dengan sangat jelas penyesalan para pelaku dosa dan maksiat dalam firmanNya:

وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَاوَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا.

“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang tertulis di dalamnya, dan mereka berkata “aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak pula yang besar melainkan ia mencatat semuanya”, dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada tertulis. Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorangjuapun” (QS Al-Kahfi 49).

Karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan kita untuk berhati-hati dari dosa-dosa yang dianggap remeh oleh sebagian besar manusia. Apa itu dosa yang dianggap remeh oleh manusia ? Al Munawi rahimahullah dalam “Faidhul Qadir 3/127” menjelaskan bahwa dosa yang dianggap remeh adalah dosa-dosa kecil yang terus dilakukan seseorang, dan ia tak bertaubat darinya, sedangkan dosa besar tak diberikan permisalan oleh Rasulullah karena sedikitnya dari kalangan sahabat yang terjatuh di dalamnya. Anas radiyallahu ‘anhu berkata;

“Sesungguhnya kalian mengerjakan amalan-amalan yang kalian anggap lebih halus dari sehelai rambut, sedangkan kami (para sahabat. pen) menganggapnya sebagai pembawa kebinasaan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” (HR Bukhari nomor 6492).

Rasulullah memisalkan dosa kecil dengan sebatang kayu bakar, yang tak memiliki manfaat yang banyak untuk menyalakan api dan digunakan memasak. Namun ketika dikumpulkan barulah memberikan manfaat yang berarti. Imam Al Ghazali rahimahullah sebagaimana dinukil dalam “Faidul Qadir 3/127” berkata:

“Kesalahan kecil dapat menjadi sebuah dosa besar dengan dua hal; menganggapnya remeh dan terus menerus mengerjakannya. Tiap kali sebuah dosa dianggap besar niscaya ia akan kecil di sisi Allah, dan jika dosa dianggap kecil niscaya ia akan besar di sisi Allah. Karena anggapan besarnya sebuah dosa lahir dari bencinya hati seseorang kepada perbuatan tersebut, sedangkan anggapan kecilnya sebuah dosa lahir dari senangnya hati seseorang kepada perbuatan tersebut. Oleh karena itu ia pantas untuk diadzab karena hati hendaknya diisi dengan cahaya iman dan ketaatan, bukan dengan gelapnya dosa dan kemaksiatan.”


Bukan Besarnya Dosa tetapi Kepada Siapa Bermaksiat

Terkadang setan membisikkan kepada kita agar meremehkan dosa walaupun kecil. Kita merasa tidak apa-apa melakukan dosa ini, karena itu “hanya” dosa kecil dan bukan merupakan dosa besar. Hendaknya kita perhatikan nasehat ulama bahwa bukan besar-kecilnya dosa yang menjadi masalah, akan tetapi kita bermaksiat kepada Allah pencipta kita. Kita buat permisalan, kepada atasan/bos saja, kita hati-hati sekali, jangan sampai melakukan kesalahan walaupun kecil. Kita sangat hati-hati ketika melakukan tugas dari atasan/bos. Tentu kita harus sangat-sangat hati-hati jika bermaksiat kepada Allah, Rabb Penguasa semesta alam yang telah menciptakan alam semesta ini.

Bilal bin Sa’ad berkata,

لا تنظر إلي صغر المعصية, و لكن انظر من عصيت

“Janganlah engkau melihat kecilnya maksiat tetapi lihatlah kepada siapa engkau bermaksiat.” [Ad-Daa’ wad Dawaa’ hal. 82]

Dosa kecil sangat berbahaya jika diremehkan. Dosa yang kecil yang terus-menerus dilakukan akan menjadi dosa besar yang berbahaya, terlebih hatinya meremehkan dosa tersebut. Terdapat ungkapan dari sebagian ulama kita:

لاَ صَغِيْرَةَ مَعَ الْاِسْتِمْرَارَ وَلاَ كَبِيْرَةَ مَعَ الْاِسْتِغْفَارِ

“Tidak ada dosa kecil apabila dilakukan terus-menerus, tidak ada dosa besar apabila diiringi dengan istighfar.”

Bagaimanapun juga, dosa yang kita lakukan besar atau kecil tetap akan membuat hati kita menjadi sakit bahkan mati.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻦَ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺫْﻧَﺐَ ﺫَﻧْﺒًﺎ ﻧُﻜِﺖَ ﻓِﻲ ﻗَﻠْﺒِﻪِ ﻧُﻜْﺘَﺔٌ ﺳَﻮْﺩَﺍﺀُ ﻓَﺈِﻥْ ﺗَﺎﺏَ ﻭَﻧَﺰَﻉَ ﻭَﺍﺳْﺘَﻐْﻔَﺮَ ﺻُﻘِﻞَ ﻗَﻠْﺒُﻪُ ﻭَﺇِﻥْ ﺯَﺍﺩَ ﺯَﺍﺩَﺕْ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻌْﻠُﻮَ ﻗَﻠْﺒَﻪُ ﻓَﺬَﻟِﻚَ ﺍﻟﺮَّﺍﻥُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺫَﻛَﺮَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ : ﻛَﻠَّﺎ ﺑَﻞْ ﺭَﺍﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﻗُﻠُﻮﺑِﻬِﻢْ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻳَﻜْﺴِﺒُﻮﻥَ

”Sesungguhnya seorang mukmin, jika melakukan satu perbuatan dosa, maka ditorehkan di hatinya satu titik hitam. Jika ia bertaubat, berhenti dan minta ampun, maka hatinya akan dibuat mengkilat (lagi). Jika semakin sering berbuat dosa, maka titik-titik itu akan bertambah sampai menutupi hatinya. Itulah ‘raan‘ yang disebutkan Allah ta’ala, sekali-kali tidak akan tetapi itulah ‘raan‘ yang disebutkan Allah dalam Al-Qur’an”. (HR. Ahmad, hasan)

Terkait dengan melakukan dosa juga, ada hal penting yang kita ketahui agar kita semua benar-benar takut ketika akan melakukan sebuah maksiat yang tentu merugikan diri sendiri dan bisa jadi orang lain, yaitu bahwa maksiat ini akan mendatangkan maksiat selanjutnya, akan menyebabkan kita cenderung melakukan maksiat selanjutnya.

Inilah yang dimaksudkan bahwa suatu keburukan akan membawa keburukan selanjutnya. Allah berfirman,

ﻭَﺟَﺰَﺍﺀُ ﺳَﻴِّﺌَﺔٍ ﺳَﻴِّﺌَﺔٌ ﻣِﺜْﻠُﻬَﺎ

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” (QS. Asy-Syura: 40)

Demikian juga Ibnu Abbas menjelaskan bahwa jangan pernah merasa aman ketika telah melakukan maksiat karena bisa jadi akan melakukan maksiat selanjutnya yang lebih besar. Beliau berkata,

ﻳﺎ ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﺬﻧﺐ، ﻻ ﺗﺄﻣﻦ ﻣﻦ ﺳﻮﺀ ﻋﺎﻗﺒﺘﻪ، ﻭﻟﻤﺎ ﻳﺘﺒﻊ ﺍﻟﺬﻧﺐ ﺃﻋﻈﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﺬﻧﺐ ﺇﺫﺍ ﻋﻤﻠﺘﻪ

“Wahai pelaku dosa, janganlah merasa aman dari jeleknya akibat dosa, karena dosa yang lebih besar bisa jadi mengiringinya/mengikutinya, lebih besar dari dosa yang telah engkau lakukan (sekarang).” (Hilyatul Auliya’ no. 1180)

Semoga kita dijauhkan dari berbagai dosa baik dosa besar maupun dosa kecil, karena maksiat yang kita lakukan ini menjadi sebab kesusahan, musibah dan bencana yang turun kepada kita.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَن كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syuraa :30)

Referensi sebagai berikut ini ;