This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Sabtu, 16 Juli 2022

20 Ciri Suami Durhaka pada Istri

Sekarang ini banyak perilaku suami yang menyimpang dari ketentuan Allah SWT dan telah melanggar hak-hak isterinya. Oleh karena itu perlu sekali para suami mengetahui perbuatan-perbuatan durhaka terhadap istri. Ini agar tidak menjadi suami durhaka pada istri. Adapun beberapa perilaku yang sering suami lakukan adalah sebagai berikut:

1. Suami Durhaka pada Istri: Menjadikan Istri sebagai Pemimpin Rumah Tangga

Dari Abu Bakrah, ia berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita,’” (HR.Ahmad n0.19612).

2. Suami Durhaka pada Istri: Menelantarkan Belanja Istri

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata, “Rasululluah bersabda, ’Seseorang cukup dipandang berdosa bila ia menelantarkan belanja orang yang menjadi tanggung jawabnya,’” (HR.Abu Dawud no.1442, Muslim, Ahmad dan Thabarani).

3. Suami Durhaka pada Istri: Tidak Memberi Tempat Tinggal yang Aman

“Tempatkanlah mereka (para istri) di tempat kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian dan janganlah menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Jika mereka (istri yang di thalaq) itu sedang hamil, berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan,” (QS.Ath-Thalaaq (65):6).

Suami Durhaka pada Istri 

4. Suami Durhaka pada Istri: Suami Durhaka pada Istri: Tidak Melunasi Mahar

Dari Maimun Al-Kurady,dari bapaknya,ia berkata, “Saya mendengar nabi bersabda, ’Siapa saja laki laki yang menikahi seorang perempuan dengan mahar sedikit atau banyak, tetapi dalam hatinya bermaksud tidak akan menunaikan apa yang menjadi hak perempuan itu, berarti ia telah mengacuhkannya. Bila ia mati sebelum menunaikan hak perempuan itu, kelak pada hari kiamat ia akan bertemu dengan Allah sebagai orang yang fasiq,’” (HR. Thabarani, Al-Mu;jamul, Ausath II/237/1851).

5. Suami Durhaka pada Istri: Menarik Mahar Tanpa Keridhaan Istri

“Jika kalian (para suami) ingin mengganti istri dengan istri yang lain,sedang kalian telah memberikan kepada salah seorang diantara mereka itu mahar yang banyak,janganlah kalian mengambilnya kembali sedikitpun. Apakah kalian kalian akan mengambilnya kembali dengan cara cara yang licik dan dosa yang nyata?  Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali,sedangkan kalian satu dengan lainnya sudah saling bercampur (sebagai suami istri) dan mereka ( istri istri kalian) telah membuat perjanjian yang kokoh dngan kalian,” (QS.An-Nisaa’(4):20-21).

6. Suami Durhaka pada Istri: Melanggar Persyaratan Istri

“Hai orang orang yang beriman, penuhilah janji janji kalian,” (QS.Al-Maaidah(5):1).“Dari Uqbah bin “Amir ra,ia berkata, “Rasulullah  bersabda, ‘Syarat yang palling berhak untuk kalian penuhi ialah syarat yang menjadikan kalian halal bersenggama dengan istri kalian,’”(HR.Bukhari no 2520, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi).

7. Suami Durhaka pada Istri: Mengabaikan Kebutuhan Seksual Istri

Dari Anas, Nabi bersabda, ”Jika seseorang diantara kalian bersenggama dengan istrinya, hendaklah ia melakukannya dengan penuh kesungguhan. Selanjutnya, bila ia telah menyelesaikan kebutuhannya (mendapat kepuasan) sebelum istrinya mendapatkan kepuasan, janganlah ia buru buru sampai istrinya menemukan kepuasan,”(HR.’Abdur Razzaq dan Abu Ya’la, Jami’ Kabir II/19/1233).

8. Suami Durhaka pada Istri: Menyenggamai Istri Saat Haidh

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh, katakanlah:’ haidh itu adalah suatu kotoran.’ Oleh karena itu,hendaklah kalian menjauhkan dirindari wanita pada waktu haidh dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka bersuci. Apabila mereka telah suci,campurilah mereka ditempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang bertaubat dan menyukai orang orang yang menyucikan diri,” (QS Al-Baqarah(2):222).

9. Suami Durhaka pada Istri: Menyenggamai Istri lewat Duburnya

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, ”’Umar (Ibnu Khaththa) datang kepada Rasulullah, ia bertanya, ’Ya Rasullullah, saya telah binasa.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang menyebabkan kamu binasa?’ Ia menjawab, ‘Semalam saya telah membalik posisi istriku.’ Akan tetapi beliau tidak menjawab sedikitpun, lalu turun kepada Rosulullah saw ayat.’ Istri kalian adalah lading bagi kalian, maka datangilah ladang kalian di mana dan kapan saja kalian kehendaki.’ Selanjutnya beliau bersabda, ‘Datangilah dari depan atau belakang, tetapi jauhilah dubur dan ketika haidh,’”( HR Tarmidzi no.2906).

10. Suami Durhaka pada Istri: Menyebarkan Rahasia Hubungan dengan Istri

Hubungan suami istri haruslah dilakukan di tempat yang tidak terlihat orang lain, bahkan suaranya pun tak boleh terdengar orang lain. Suami istri wajib menjaga kehormatan masing masing apalagi di hadapan orang lain. Suami yang menyebarkan rahasia diri dan istrinya ketika bersenggama berarti telah melakukan perbuatan durhaka terhadap istri.

11. Suami Durhaka pada Istri: Menuduh Istri Berzina

“Dan orang orang yang menuduh istri mereka berzina,padahal mereka tidak mempunyai saksi saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian satu orang dari meeka adalah bersumpah empat kalli dengan nama Allah bahwa sesungguhnya dia adalah termasuk orang orang yang benar(dalam tuduhannya). Dan kelima kalinya (ia mengucapkan) bahwa laknat Allah akan menimpa dirinya jika ternyata ia tergolong orang orang yang berdusta,” (QS. An-Nuur (24):6-7).

12. Suami Durhaka pada Istri: Memeras Istri

“Dan janganlah kalian menerukan ikatan pernikahan dengan mereka (istri-istri) guna menyusahkan mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh dia telah menganiaya dirinya sendiri,” (QS.Al-Baqarah(2):231).

13. Suami Durhaka pada Istri: Merusak Martabat Istri

Dari mu’awiyah Al-Qusrayiri, ia berkata, ”Saya pernah datang kepada Rosulullah.’ Ia berkata lagi, ’Saya lalu bertanya, ’Ya Rasulullah, apa saja yang engkau perintahkan (untuk kami perbuat) terhadap istri-istri kami?’ Beliau bersabda, ’Janganlah kalian memukul dan janganlah kalian menjelek-jelekan mereka,’”(HR Abu Dawud no 1832).

14. Memukul (Tanpa Peringatan Terlebih Dahulu)

15. Menyenangkan Hati Istri dengan Melanggar Agama

16. Mengajak Istri Berbuat Dosa

17. Memadu Istri dengan Saudari Atau Bibinya

18. Berat Sebelah dalam Menggilir Istri

19. Menceraikan Istri Solehah

20. Mengusir Istri dari rumah.


Referensi sebagai berikut ini ;











10 Ciri-ciri Suami Durhaka

Seorang suami merupakan pemimpin di dalam keluarganya. Suamilah yang memiliki tugas membina dan memimpin anak-anak serta istrinya. Di dalam Islam, seorang suami harus memiliki sifat kepemimpinan, bijaksana, adil serta bisa menjadi teladan yang baik bagi seluruh anggota keluarganya. Namun, terkadang suami juga bisa bertindak dan melakukan kesalahan yang menyebabkan mereka durhaka. Ada 10 ciri-ciri suami durhaka, salah satu tindakan suami yang sering dilakukan namun tak disadari termasuk ciri dari suami durhaka.

Mamah Dedeh dalam ceramahnya menerangkan 10 ciri-ciri suami durhaka, yang mana tindakan-tindakan serta perilaku suami yang membuatnya masuk ke dalam golongan suami durhaka ini perlu menjadi perhatian dan dihindari.

1. Seorang suami yang dalam keluarga tidak menjadi pimpinan paling atas

Mamah Dedeh menjelaskan, seorang suami yang durhaka sering melimpahkan segala keputusan kepada sang istri. Suami yang durhaka tidak mengambil sebuah keputusan atau aturan dari dirinya sendiri, melainkan melimpahkannya kepada istri. "Kalau ada seorang suami tidak menjadi pimpinan dalam rumah tangga, diserahkan kepada istrinya, artinya posisi suami jatuh," ujar Mamah Dedeh. Menurut Mamah Dedeh, aturan dalam rumah tangga haruslah diatur oleh seorang suami. Misalnya sekolah anak, pakaian anak dan istri, serta aturan lainnya dalam keluarga.

2. Tidak Mengajak Anak Untuk Sholat di Masjid

"Kalau Anda tidak mengajak anak-anak untuk sholat di masjid, Anda suami yang durhaka dan ayah yang durhaka," kata Mamah Dedeh.

3. Memberi Makan Anak Istrinya Dari Harta Yang Haram

Menurut Mamah Dedeh, ciri lain dari suami yang durhaka adalah memberi makan kepada anak dan istrinya dari harta yang haram. Misalnya harta yang didapat dari korupsi, mencuri, menipu, dan sebagainya.

4. Membiarkan Istri Dan Anak Melakukan Hal Yang Tidak Sesuai Ajaran Agama

Mamah Dedeh menjelaskan bahwa suami yang durhaka adalah suami yang membiarkan anak serta istrinya melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran agama.

"Misalnya, Anda punya istri gak pakai jilbab, rambutnya digerai, bajunya tidak menutup aurat. Anda tidak menegur dan tidak memarahinya. Itu suami durhaka," jelasnya.

5. Suami Yang Memberi Janji Mahar Tapi Tidak Ditepati

Mamah Dedeh juga menjelaskan, suami yang durhaka adalah suami yang berjanji membelikan sesuatu kepada istrinya namun tidak pernah ditepati."Atau ada yang menikah, maharnya dihutang. Ada yang curhat kepada saya, dijanjikan akan dibelikan sesuatu sama suaminya. Ternyata sudah 30 tahun menikah tidak pernah dibelikan, itu suami durhaka," kata Mamah Dedeh.

6. Mengambil Mahar Tapi Istri Tidak Ikhlas

Dalam ceramah Mamah Dedeh, disebutkan bahwa suami yang durhaka adalah suami yang meminjam atau mengambil mahar yang sudah diberikan kepada istrinya, namun istrinya merasa tidak ikhlas.

"Kalau misal nih kata suami, gak ada penghasilan, boleh gak cincin kawin kita jual? Buat modal dagang. Kalau istrinya ridho itu boleh dan halal," ujar Mamah Dedeh.

7. Suami Menjelekkan Istri Di Luar

Mamah Dedeh menjelaskan, jika suami menjelek-jelekkan istrinya di luar kepada orang lain, maka suami itu durhaka."Tidak sedikit suami yang ngomongin kejelekan istrinya di luar. Itu suami durhaka," tutur Mamah Dedeh.

8. Suami Yang Menyuruh Istrinya Berbuat Tidak Baik

Dijelaskan Mamah Dedeh, bahwa suami yang menyuruh istrinya melakukan perbuatan tidak baik, termasuk suami yang durhaka."Tidak sedikit nonton di televisi, suami yang menjual istrinya menjadi pelacur, suami menyuruh istrinya menjual anak-anak kecil misalnya. Itu suami durhaka," katanya.

9. Suami Yang Menceritakan Masalah Ranjang Kepada Orang Lain

Mamah Dedeh menegaskan, suami yang suka menceritakan masalah ranjangnya bersama istri termasuk suami yang durhaka.Itu urusan ranjang jangan cerita sama orang. Karena kata Nabi, kalau ada orang melakukan ini, dia dosa besar," kata Mamah Dedeh.

10. Suami Yang Kaya Tetapi Pelit Kepada Istri

Ciri lainnya dari suami yang durhaka menurut Mamah Dedeh adalah suami yang kaya namun jika memberi kepada anak dan istrinya hanya sedikit."Misalnya suaminya kaya, tapi istrinya dikaish rumah kecil. Padahal kalau ke orang lain di luar gampang ngasih. Harusnya keluarga dulu, baru orang lain," jelas Mamah Dedeh.Ciri-ciri seorang suami yang durhaka. Tak hanya istri, namun sikap dan perilaku suami juga bisa disebut durhaka dan menyalahi aturan agama. Ada baiknya jika sikap dan perilaku yang menjadi ciri suami durhaka diatas tidak dicontoh dan dihindari agar tidak menjadi dosa besar bagi seorang suami.


Referensi  sebagai berikut ini ;










Mengenal 2 Bentuk Harta Zalim dalam Islam

Mengenal 2 Bentuk Harta Zalim dalam Islam

Sebagai seorang Muslim, salah satu bagian penting dalam kebebasan finansial adalah memastikan bahwa harta kita juga bebas dari kezaliman. Seperti apa definisi harta zalim dalam Islam.

Definisi Harta Zalim, Zalim berasal dari Bahasa Arab zhulm, yang berarti menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Menurut istilah, zalim berarti: mengerjakan larangan serta meninggalkan perintah Allah. Maka, setiap perbuatan yang melampaui ketentuan syariat adalah perbuatan zalim, baik dengan cara menambah atau mengurangi. Lawan kata dari zalim adalah adil, yaitu berbuat sesuai dengan ketentuan yang seharusnya.

Transaksi yang Membuat Harta Zalim, Di dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah berfirman: “Wahai hamba-hambaKu! Sesungguhnya, Aku telah mengharamkan berbuat zhalim atas diriku, dan juga telah Aku haramkan kezhaliman sesama kalian, maka janganlah kalian saling berbuat zhalim” (HR Muslim).

Di dalam bertransaksi, sebagai Muslim kita wajib sebisa mungkin menghindari kezhaliman terhadap hak Allah, kezaliman terhadap diri sendiri, dan juga kezaliman terhadap hak orang tertentu dan kezaliman terhadap hak orang banyak. Potensi untuk mendapatkan harta zalim ini juga bisa terjadi walaupun pada transaksi yang bebas dari riba, gharar, dan maysir. Maka, semua transaksi harta zalim, walaupun bebas dari ketiga komponen tersebut, tetap dikategorikan sebagai haram untuk dimiliki seorang Muslim. Jadi, kita harus hati-hati sekali masalah ini.

Kezaliman Terhadap Hak Allah

Sebagai seorang Muslim, harta kita bisa dibilang harta zalim jika kita melakukan kezaliman terhadap hak Allah. Misalnya, harta yang bercampur dengan hak Allah yang tidak dibayarkan, seperti zakat yang tidak ditunaikan.

Bagaimana cara membersihkan harta haram ini? Jika kita merasa memiliki harta zalim yang didapatkan dengan tidak membayar zakat, maka kita bisa menghitung jumlah zakat, sesuai dengan jenis harta berdasarkan ketentuan syariat tentang zakat. Jika masih memiliki, maka wajib dikeluarkan secepatnya, setelah sebelumnya bertaubat kepada Allah dan berjanji untuk tidak mengulangi serta menyesali perbuatan tersebut. Bagaimana jika harta tersebut sudah lenyap atau telah berkurang? Harta zalim ini tetap wajib untuk dikeluarkan. Langsung niatkan untuk menunaikannya jika Allah memberikan rezeki lagi. Jika sudah meninggal sebelum membersihkan hartanya dari harta zalim ini, maka menjadi kewajiban untuk ahli warisnya untuk mengeluarkan zakat-zakat pada tahun-tahun berlalu sebelum harta tersebut dibagikan pada ahli waris.

Kezaliman Terhadap Orang Tertentu

Salah satu bentuk harta zalim lainnya adalah harta yang didapatkan dari jual beli yang dilakukan dengan terpaksa. Ini mengandung unsur kezaliman kepada pihak yang dipaksa, karena berarti ia sedang dalam keadaan tidak rela untuk menjual dan membeli. Jual beli paksa yang dibolehkan adalah ketika ada kepentingan yang sesuai ketentuan atau adanya kepentingan yang besar/ yang lebih luas lagi. Misalnya, dalam kasus seorang hakim yang terpaksa menjual sisa harta orang yang jatuh pailit untuk menutupi hutangnya, atau menjual barang agunan untuk menutupi hutang pemilik barang yang telah jatuh tempo. Atau, ketika seorang pemilik tanah/rumah terpaksa menjualnya karena terkena proyek pembuatan jalan raya dan perluasan fasilitas umum. Dengan catatan, pemaksaan tersebut diiringi dengan pemberian ganti rugi yang adil dan layak sesuai dengan harga pasar.

Selain itu, bentuk harta zalim lainnya yang timbul dari kezaliman terhadap orang tertentu adalah harta yang didapatkan dari menjual barang najis atau barang yang diharamkan. Karena, berarti, ia telah menzalimi pembeli. Dalam pandangan syariat Islam, barang najis dan barang yang diharamkan dalam agama tidak mempunyai nilai. Berarti, tidak ada pertukaran nilai yang terjadi antara pihak pembeli dan penjual. Karena, si penjual menerima uang, tapi pembeli hanya mendapatkan barang yang tidak ada nilainya.

Misalnya, harta yang didapatkan dari menjual khamr (minuman keras). Walaupun ulama berbeda pendapat apakah minuman keras merupakan barang najis atau tidak, namun tidak ada yang meragukan keharamannya. Maka, semua ulama sepakat bahwa memproduksi, memperjualbelikan, dan mengonsumsi khamar hukumnya haram. Harta yang didapatkan dari perjualan tersebut maka bisa dikategorikan sebagai harta zalim.

Nah, itulah 2 bentuk harta zalim, yaitu harta yang didapatkan dengan menzhalimi hak Allah dan harta yang didapatkan dengan menzhalimi orang tertentu/orang banyak. Pastikan harta kita telah bersih dari kezhaliman, ya. Semoga keberkahan harta selalu menghampiri kita semua.


Referensi sebagai berikut ini ; 











Menggapai Ampunan Allah Swt dengan Inabah ( kembali atau bertaubat ) kepada Allah Swt

Manusia adalah makhluk Allah Swt yang selalu berbuat dosa dan kesalahan, tidak ada waktu yang berlalu melainkan diisi dengan perbuatan dosa dan kesalahan, namun sedikit sekali dari mereka yang menyadari akan hal itu apalagi memohon ampunan, akan tetapi Allah ta’ala pencipta manusia Dzat Maha Pengampun lagi Maha Penyayang memahami betul sifat makhluknya ini, sehingga Allah ta’ala menyiapkan musim-musim ibadah dimana diantara keutamaannya adalah dapat diampuninya dosa dan kesalahan hamba-Nya.

Diantara musim itu adalah Ramadhan yang mulia, Nabi kita yang mulia bersabda : ”Merugilah seorang hamba, saat Ramadhan datang kepadanya tetapi dosanya tidak diampuni.”( HR At Tirmidzi ) Karena Ramadhan merupakan musim ibadah,dimana hampir setiap ibadah memiliki keutamaan dapat menghapuskan dosa-dosa pelakunya,sebagaimana disebutkan diantaranya oleh Nabi kita yang mulia (artinya):”Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka dosanya yang telah lalu akan diampuni, barangsiapa shalat tarawih karena iman dan mengharapkan pahala maka dosanya yang telah lalu akan diampuni, dan barangsiapa shalat malam lailatul qadar karena iman dan mengharapkan pahala maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” ( HR. Muttafaqun ‘alaih )

Demikian juga tentunya dengan amal-amal lainnya bila diamalkan kerana iman dan mengharapkan pahala dari Allah ta’la  semata maka tentu akan dapat menghapuskan dosa yang telah lalu.

Oleh karenanya Allah ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bersegera dan berlomba untuk mendapatkan ampunan dosa tersebut yang dipersiapkan hanya untuk hamba-hamba-Nya yang bertaqwa, sebagaimana Allah ta’la sebutkan dalam surat Ali Imran ayat 133 (yang artinya): ”Bersegeralah kalian untuk mendapatkan ampunan dosa dari Rabb ( tuhan ) kalian dan surga-Nya yang luasnya seluas langit dan bumi yang dipersiapkan untuk orang-orang yang bertaqwa.”

Juga disebutkan didalam surat Al Hadid ayat 21, (artinya):” Berlombalah untuk mendapatkan ampunan dosa dari Rabb kalian dan surga-Nya yang luasnya seperti luasnya langit dan bumi yang dipersiapkan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Ketika kita mengetahui betapa agungnya bulan Ramadhan ini, bukan hanya segala kebaikan dipersiapkan oleh Allah ta’ala untuk para hamba-Nya yang beriman tetapi juga ampunan-Nya,maka sudah sepantasnyalah bagi orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah untuk bersegera menggapai ampunan ini yang disediakan oleh Allah ta’ala selama satu bulan penuh, maka pantaslah dikatakan merugi bagi orang yang tidak memanfaatkan kesematan yang mulia ini.

Namun perlu diingat Allah ta’ala tidaklah memberikan ampunan-Nya melainkan hanya kepada hamba-hamba-Nya yang memenuhi kriteria yang Allah ta’ala sebutkan dalam surat Az Zumar ayat : 53-55, dimana secara singkat menyebutkan kriteria sebagai berikut :

  1. Inabah ( kembali atau bertaubat ) kepada Allah.
  2. Memahami dan mengamalkan islam
  3. Mengikuti petunjuk Al Qur’an

Ramadhan adalah kesempatan emas yang harus dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin untuk mendapatkan banyak keutamaan dari Allah ta’ala khususnya adalah ampunan dosa dari-Nya dan jangan sampai kita termasuk orang yang merugi yaitu orang yang mendapati datangnya bulan Ramadhan  akan tetapi dibiarkan saja lewat sampai berakhir tanpa kebaikan apapun yang kita lakukan.

Aemoga Allah ta’ala senantiasa menyertai langkah-langkah kita menuju kebaikan dan menjauhkan kita dari segala keburukan serta memaafkan dan mengampuni dosa dan kesalahan kita baik yang disengaja ataupun tidak.

Referensi sebagai berikut ini;













Meraih Maghfirah Allah Swt

Ramadhan disebut bulan penyucian diri, karena di bulan ini Allah mencurahkan rahmat dan maghfirah-Nya kepada setiap hamba yang menunaikan ibadah puasa dengan keimanan dan mengharap pahala dari-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits:

Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala diampuni baginya dosa-dosa masa lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah adalah suri tauladan bagi seluruh umat, dimana kita ketahui bahwasanya Rasulullah senantiasa mengajarkan manusia pada kebaikan, kita tahu bahwasanya Beliau adalah seorang hamba yang sudah diampuni setiap dosa selama masa hidupnya, akan tetapi beliau senantiasa memohon ampunan kepada Allah, bahkan Rasulullah setiap harinya beristighfar (memohon ampunan) kepada Allah sebanyak 70 sampai 100 kali dalam sehari sebagaimana dijelaskan dalam dua hadis shahih :

Dari Abu Hurairah RA berkata, ia mendengar Rasulullah SAWbersabda : “Demi Allah. Sungguh aku selalu beristighfar dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR  Bukhari).

Rasulullah SAW bersabda, “Wahai sekalian manusia. Taubatlah (beristigfar) kepada Allah karena aku selalu bertaubat kepada-Nya dalam sehari sebanyak 100 kali.” (HR  Muslim).

Seperti itulah istighfar Rasulullah SAW sebagai manusia yang sudah diampuni setiap dosa selama hayatnya, maka sungguh harus ribuan bahkan jutaan kali kita memanjatkan istghfar kepada Allah karena diri kita penuh dengan tumpukan dosa yang dilakukan siang dan malam, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits Qudsi:

Allah berfirman dalam hadits Qudsi, “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa di waktu siang dan malam, dan Aku mengampuni dosa-dosa itu semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku, pasti Aku mengampuni kalian.” (HR  Muslim ).

Sungguh maghfirah itu sangat luas dan sangat dekat asalkan kita mendekatkan diri kepada-Nya dengan melaksanakan segala perintah dan manjauhi setiap larangan-Nya.

Ketika Allah menjelaskan bahwasanya kita selaku manusia sering melakukan dosa siang dan malam, maka Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk mengajarkan sebuah doa yang dianjurkan untuk dibaca siang dan malam hari yang masyhur dengan sayyidul istighfar, sebagai doa pengakuan atas setiap dosa dan mengharapkan ampunan dari-Nya.

“Allahumma anta robbi laa ilaha illa anta, kholaqtani wa ana ‘abduka wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu. A’udzu bika min syarri maa shona’tu, abuu-u laka bini’matika ‘alayya, wa abuu-u bi dzanbi, faghfirliy fainnahu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta”

Ya Allah! Engkau adalah Rabbku, tidak ada Rabb yang berhak disembah kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau].” (HR. Bukhari).

Harus diketahui bahwa ada tiga syarat dalam taubat; pertama, kita harus meninggalkan maksiat, kedua, kita menyesali maksiat, dan ketiga, ‘azam (tekad) yang kuat untuk tidak mengulanginya.

Jadikanlah kesempatan Ramadhan tahun ini sebagai sarana untuk meraih maghfirah Allah Swt. Sehingga kita berharap menjadi hamba yang suci dari dosa.


Referensi sebagai berikut ini ;











Berharap Menggapai Ampunan Dari Allah Swt

Suatu hari Baginda Nabi Muhammad SAW didatangi Jibril, kemudian berkata, “Wahai Muhammad, ada seorang hamba Allah yang beribadah selama 500 tahun di atas sebuah bukit yang berada di tengah-tengah lautan. Di situ Allah SWT mengeluarkan sumber air tawar yang sangat segar sebesar satu jari, di situ juga Allah SWT menumbuhkan satu pohon delima, setiap malam delima itu berbuah satu delima.

Setiap harinya, hamba Allah tersebut mandi dan berwudhu pada mata air tersebut. Lalu ia memetik buah delima untuk dimakannya, kemudian berdiri untuk mengerjakan shalat dan dalam shalatnya ia berkata: “Ya Allah, matikanlah aku dalam keadaan bersujud dan supaya badanku tidak tersentuh oleh bumi dan lainnya, sampai aku dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bersujud”.

Maka Allah SWT menerima doa hambanya tersebut. Aku (Jibril) mendapatkan petunjuk dari Allah SWT bahwa hamba Allah itu akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bersujud. Maka Allah SWT menyuruh: “Masukkan hamba-Ku ini ke dalam surga karena rahmat-Ku”. Akan tetapi, hamba tersebut berkata: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena amal ibadahku”.

Maka Allah SWT menyuruh lagi: “Masukkan hamba-Ku ini ke dalam surga karena rahmat-Ku”. Akan tetapi, hamba tersebut berkata lagi: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena amal ibadahku”. Untuk yang ketiga kalinya Allah SWT menyuruh lagi: “Masukkan hamba-Ku ini ke dalam surga karena rahmat-Ku”. Akan tetapi, hamba tersebut pun berkata lagi: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena amal ibadahku”.

Maka Allah SWT menyuruh malaikat agar menghitung seluruh amal ibadahnya selama 500 tahun dengan nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya. Setelah dihitung-hitung ternyata kenikmatan Allah SWT tidak sebanding dengan amal ibadah hamba tersebut selama 500 tahun. Maka Allah SWT berfirman: “Masukkan ia ke dalam neraka”. Maka ketika malaikat akan menariknya untuk dijebloskan ke dalam neraka, hamba tersebut berkata lagi: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena rahmat-Mu. (HR Sulaiman Bin Harom, dari Muhammad Bin Al-Mankadir, dari Jabir RA).

Dari kisah di atas, jelaslah bahwa seseorang bisa masuk surga karena rahmat Allah SWT, bukan karena banyaknya amal ibadah. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana dengan amal ibadah yang kita lakukan setiap hari, seperti shalat, zakat, sedekah, puasa, dan amalan-amalan lainnya tidak ada arti? Jangan salah persepsi. Sungguh, tidak ada amal ibadah yang sia-sia, amal ibadah adalah sebuah proses atau alat untuk menjemput rahmat Allah SWT. Karena rahmat Allah tidak diobral begitu saja kepada manusia. Akan tetapi, harus diundang dan dijemput.

Rasulullah SAW mengajarkan kepala umatnya beberapa cara agar rahmat Allah itu bisa diraih. Pertama, berbuat ihsan dalam beribadah kepada Allah SWT dengan menyempurnakan ibadah kepada-Nya dan merasa diperhatikan (diawasi) oleh Allah (QS al-A'raf [7]: 56). Kedua, bertakwa kepada-Nya dan menaati-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya (QS al-A'raf [7]: 156-157). Ketiga, kasih sayang kepada makhluk-Nya, baik manusia, binatang. maupun tumbuhan.

Keempat, beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah (QS al-Baqarah [2]: 218). Kelima, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menaati Rasulullah SAW (QS an-Nur [24]: 56). Keenam, berdoa kepada Allah SWT untuk mendapatkannya dengan bertawasul dengan nama-nama-Nya yang Mahapengasih (ar-Rahman) lagi Mahapenyayang (ar-Rahim). Firman Allah SWT, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).” (QS al-Kahfi [18]: 10).

Ketujuh, membaca, menghafal, dan mengamalkan Alquran (QS al-An'am [6]: 155). Kedelapan, menaati Allah SWT dan Rasul-Nya (QS Ali Imran [6]: 132). Kesembilan, mendengar dan memperhatikan dengan tenang ketika dibacakan Alquran (QS al-A'raf [7]: 204). Kesepuluh, memperbanyak istigfar, memohon ampunan dari Allah SWT. Firmannya, “Hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat.” (QS an-Naml [27]: 46).

Kita tau dunia ini adalah tempat persinggahan belaka, tapi kita belum juga memperbanyak bekal untuk pulang ke akhirat yang kekal. Kita tau Rasululllah Shalallahu alaihi wa sallam adalah sebaik-baiknya teladan, tapi kita masih saja mudah terkagum dengan sosok idol masa kini yang jauh dari akhlak Rasul. Kita tau menghafal Al Quran adalah salah satu bentuk bakti seorang anak kepada kedua orang tua, tapi kita masih saja lalai untuk menghadiahkan mahkota kerajaan surga itu bagi mereka yang telah melahirkan dan mendidik anak-anaknya. Kita tau sehat itu nikmat besar yang diberikan-Nya, tapi kita masih saja lalai untuk menjaga pemberian-Nya tersebut

Sahabat Zakat, begitu banyak hal yang sebenarnya sudah kita sadari mengenai peran dan tugas kita di dunia ini sebagai seorang hamba. Namun, masih banyak sekali kewajiban yang seharusnya kita lakukan tetapi belum ditunaikan. Astagfirullahaladziim, semoga kita semua selalu berada dalam naungan ampunan-Nya, sehingga ketika pulang nanti, kita sudah mendapatkan ridho, rahmat, kasih sayang, dan pengampunan-Nya.Kita panjatkan syukur kepada Allah Swt atas segala nikmat yang dicurahkan-Nya kepada kita, yaitu nikmat yang tidak terhitung nilainya. Allah Swt berfirman,

وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah Swt).” (QS:Ibrahim | Ayat: 34).

Kemudian, kami nasihatkan kepada diri pribadi dan kepada jamaah sekalian agar kita senantiasa bertakwa, sebagaimana wasiat Allah Swt

وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ ۚ

“Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah Swt” (QS:An-Nisaa | Ayat: 131).

Kaum muslimin rahimakumullah,

Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah SAW bersabda,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً .

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu , beliau berkata: Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Wahai, anak Adam! Sungguh selama engkau berdoa kapada-Ku dan berharap kepada-Ku, niscaya Aku ampuni semua dosa yang ada pada engkau, dan Aku tidak peduli. Wahai, anak Adam! Seandainya dosa-dosamu sampai setinggi awan di langit, kemudian engkau memohon ampunan kepada-Ku, niscaya Aku ampuni dan Aku tidak peduli. Wahai, anak Adam! Seandainya engkau menemui-Ku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi, kemudian menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan Aku sedikit pun, tentulah Aku akan memberikan pengampunan sepenuh bumi’.” (Hadits hasan riwayat at-Tirmidzi).

Hadits ini memiliki kedudukan yang tinggi, yang menunjukkan keutamaan tauhid dan besarnya balasan yang disediakan Allah Swt bagi orang-orang yang mentauhidkan-Nya. Hadits ini juga menunjukkan betapa luasnya ampunan Allah Swt serta dorongan bagi para hamba untuk selalu memohon ampun dan bertaubat dari segala dosa.

Telah dimaklumi bahwa anak Adam tidak pernah lepas dari kesalahan dan dosa. Tetapi, orang yang terbaik, yaitu yang mau bertaubat dan memohon ampun kepada Allah Swt Maka, berbahagialah orang yang mendapatkan ampunan Allah Swt.

Referensi sebagai berikut ini ;










Mengharap Ampunan Allah Swt

Mengharap Ampunan Allah Swt, Banyak ustadz dan banyak dari penceramah banyak dari pendakwah, kita sering mengatakan bahwa hari-hari dalam bulan Ramadan itu dibagi ke dalam tiga kelompok. Sepertiga pertama dipenuhi dengan rahmat Allah. Sepertiga kedua dipenuhi dengan ampunan Allah. Dan sepertiga terakhir adalah masa dimana kita mengharap dapat dijauhkan dari api neraka.

Dari klasifikasi itu, saat ini kita sudah memasuki tahapan kedua, yaitu mengharap ampunan dari Allah. Manusia yang memiliki kesadaran spiritual tentu sangat menyadari bahwa tidak ada satu pun manusia yang bisa lepas dari salah dan dosa. Dosa-dosa yang dilakukan bisa jadi dilakukan secara sengaja atau juga tidak disengaja. Dosa-dosa itu bisa dikategorikan sebagai dosa besar atau dosa kecil.

Namun satu hal yang pasti, dosa-dosa itu tidak boleh dibiarkan terus bersemai dalam diri manusia. Dalam salah satu hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda yang berbunyi, “Setiap anak Adam itu pasti berdosa dan sebaik-baik orang yang berdosa ialah yang memohon taubat (kepada Tuhannya).” (HR At-Tirmizi). Dengan demikian, orang yang baik bukanlah orang yang tidak memiliki dosa. Orang yang baik sesungguhnya adalah orang yang segera memohon ampun kepada Allah atas semua dosa yang dilakukan.

Dalam menghapus dosa, Islam memberikan tuntunan agar dilakukan dengan bertaubat. Ada tiga unsur penting dalam melakukan taubat. Pertama, menyadari dan mengakui telah berbuat dosa. Kedua, memohon ampunan agar dosa itu dihapuskan. Dan ketiga, berjanji sepenuh hati untuk tidak melakukan dosa seperti itu di masa yang akan datang. Ketiga unsur inilah yang dapat dijadikan sebagai parameter dalam mengukur diterima atau tidaknya taubat seseorang.

Berbeda dengan dosa yang dilakukan kepada Allah, dosa terhadap manusia memerlukan persyaratan lain agar seseorang memperoleh pengampunan. Persyaratan itu adalah permohonan maaf kepada orang yang pernah disakit dan mengakibatkan terciptanya dosa. Taubat hanya akan diterima Allah jika persoalan dengan sesama manusia sudah selesai.

Dalam kaitan ini, terlihat secara jelas relevansi antara kesalehan individual dan kesalehan sosial. Seseorang tidak dikatakan baik jika dia secara indvidual tidak menjaga hubungan baik dengan orang lain. Hubungan manusia dengan Allah (hablum min Allah) sangat tergantung pada hubungan manusia dengan manusia lain (hablum min al-nas).

Karena itu, momentum ibadah puasa Ramadan sudah semestinya dapat dimanfaatkan untuk mencari ampunan Allah. Dalam bulan ini, hubungan personal dengan Allah haruslah diselaraskan dengan hubungan sosial dengan orang lain. Karena itu, meminta maaf dan memberi maaf adalah dua jenis perbuatan yang terkadang sulit dilakukan tetapi memiliki makna yang sangat besar dalam pandangan Allah.

Mengharap Rahmat Allah dan Tidak Putus Asa, Di bulan suci Ramadan ini, sebagai seorang muslim, kita semua mengharap rahmat, ampunan dan pertolongan serta kemurahan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan, seharusnya pula kita selalu bersyukur atas apa yang sudah Allah berikan, keselamatan yang berupa pertolongan. Ketika kita diberikan kemudahan, karena itu semua merupakan kenikmatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharap nikmat Allah dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 218)

“Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya Allah amat dekat kepada orang-orang berbuat baik.”  (QS. Al-Araf: 56)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mewajibkan berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana wajib pula takut kepadaNya. Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda: “Allah berfirman, “Aku tergantung prasangka hambaKu kepadaKu dan Aku akan bersamanya ketika ia mengingatKu.” (Mutafaq ‘alaih) 

Tidak Putus Asa dari Rahmat Allah Swt,  Haram hukumnya bagi seorang mukmin untuk berputus asa dari Rahmat Allah dan karunia-Nya. Dari Abu Hurairah r.a., beliau berkata, sesungguhnya Rasulullah bersabda: Andai kata seorang mukmin mengetahui siksaan yang ada di sisi Allah, tentu tak ada seorang pun yang tidak mengharapkan surga dariNya. Dan andai kata orang kafir mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah, maka tak akan ada seorang pun yang putus harapan dari surga Allah.” (Mutafaq’alaih)

“Ada tiga golongan manusia yang tidak ditanya di hari kiamat, yaitu; manusia yang mencabut selendang Allah. Sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan dan kainnya merupakan al-izzah (keperkasaan), manusia yang meragukan perintah Allah, dan manusia yang putus harapan dari nikmat Allah.” (HR. Ahmad Ath-Thabani dan al-Bazaar, al-Haitsami)

Para rasul tidak pernah putus harapan dari pertolongan dan jalan keluar dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mereka hanya putus  harapan dari keimanan kaumnya.

Allah berfirman: “Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami daripada orang-orang yang berdusta.”(QS. Yusuf: 110)

Maka, janganlah berputus harapan dari pertolongan Allah, tetap berprasangka baik kepada Allah. Tetap berpegang pada syar’iat Nya. (Disarikan dari kitab Muqawimat Nafsiyah Islamiyah, Bab 7, Halaman 107) Semoga kita istiqomah dalam mengharap rahmat dari Allah Swt.

“Setiap anak Adam banyak melakukan kesalahan & sebaik-baik yang melakukan kesalahan adalah mereka yang banyak bertaubat.” (HR Ibnu Majah).

Tidak ada yang ma’shum selain Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau saja setiap hari memohon ampun sepenuh kesungguhan, maka apakah kepantasan kita menganggap dosa diampuni dengan sendirinya tanpa menginsyafi kesalahan dan memohon ampunan penuh kesungguhan? Orang yang berpuasa di bulan Ramadhan memang akan mendapat ampunan. Tetapi, termasuk kitakah itu? Mari sejenak menilik diri (introspeksi).

Renungkanlah hadis berikutnya:

“مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ”

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena keimanan & mengharap pahala (dari Allah Ta’ala), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari & Muslim).

Hanya mereka yang berpuasa benar-benar karena iman dan mengharap pahala Allah Ta’ala saja yang akan mendapat ampunan di bulan Ramadhan ini. Pertanyaannya, sudah benar-benar berimankah kita? Atau saat mengawali Ramadhan saja kita sudah merindukan ‘Idul Fithri?

Betapa sering hati ini risau tiap mendengar khutbah ‘Idul Fithri. Tanpa introspeksi, banyak khatib yang mengajak berbangga seakan dosa kita telah terhapus semua tanpa peduli apa upaya yang kita lakukan dalam menjalani Ramadhan.

Alangkah berbedanya kita dengan para shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in, orang yang paling dekat dengan Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Ujung Ramadhan mereka adalah airmata karena mengkhawatiri amal dan ‘ibadah tak diterima; mengkhawatiri kualitas ibadah dan amal shalih. Sementara banyak dari kita yang justru bergembira karena saat istimewa bernama Ramadhan segera usai

Bahkan Allah sendiri telah menawarkan kepada seluruh hamba-Nya, terutama mereka yang telah hanyut dalam berbagai macam dosa dan maksiat, agar mereka tidak berputus asa untuk mengharapkan rahmat Allah.

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Az-Zumar: 53).

Namun untuk bisa mendapatkan rahmat dan ampunan Allah, syarat mutlak yang harus dipenuhi adalah bertaubat. Karena itu, dalam lanjutan ayat, Allah menegaskan

وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

Bertaubatlah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). (QS. az-Zumar: 54).

Inti taubat adalah menyesali perbuatan maksiat yang pernah dilakukan, meninggalkannya dan bertekad untuk tidak mengulangi. Yang semuanya dilakukan secara ikhlas karena Allah, bukan karena tendensi dunia

Referensi sebagai berikut ini ;











Penuh harap kepada Allah Swt (mengharapkan rahmat Allah Swt)

Allah SWT itu Mahaluas karunianya. Sekecil apa pun kebaikan yang kita lakukan, Allah SWT akan membalasnya dengan yang lebih baik dan lebih banyak dari apa yang kita lakukan, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Sebesar dan sebanyak apa pun dosa kita kepada Allah, jika kita bertobat kepada-Nya, Allah SWT akan mengampuninya.

Karenanya, salah satu hal yang harus kita tumbuhkan dalam diri kita ketika berinteraksi dengan Allah SWT adalah sifat raja', yakni mengharap akan karunia dan rahmat-Nya. Dalam kitab Madariju al-Salikina Manazilu Iyyaka na'budu waiyyaka nasta'in, Ibnu Qayyim al-Zaujiyah mengatakan, raja' (mengharap) merupakan ayunan langkah yang membawa hati ke tempat sang kekasih, yakni Allah SWT dan negeri akhirat. Ada yang berpendapat bahwa raja' artinya kepercayaan tentang kemurahan Allah SWT.

Raja' (mengharap) berbeda dengan berangan-angan. Berangan-angan adalah harapan yang disertai dengan kemalasan, pelakunya tidak pernah bersungguh-sungguh dan berusaha. Sementara, raja' itu disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh dan tawakal. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa raja' tidak dianggap sah kecuali disertai dengan usaha.

Raja' atau mengharap terbagi tiga macam. Dua macam merupakan perbuatan terpuji dan satu lagi merupakan perbuatan tercela. Pertama, harapan seseorang agar bisa taat kepada Allah SWT berdasarkan cahaya dari-Nya, lalu dia mengharap pahala-Nya.

Kedua, seseorang yang berbuat dosa, lalu bertobat dan mengharap ampunan-Nya, kemurahan dan kasih sayang-Nya. Ketiga, orang yang melakukan kesalahan dan mengharap rahmat Allah SWT tanpa disertai usaha. Ini sesuatu yang menipu dan harapan yang dusta.

Mengharap (raja') terletak di saat dan setelah seseorang melakukan ikhtiar atau usaha. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah SWT yang termaktub dalam Alquran surah al-Baqarah [2] ayat 218, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Orang yang senantiasa berharap akan keluasan karunia Allah SWT (raja') adalah orang yang selalu membukakan pintu harapan baginya. Cirinya, hatinya selalu mengharapkan kesempurnaan nikmat Allah dan kesempurnaan ampunan-Nya.

Ahmad bin 'Asim pernah ditanya, "Apakah tanda raja' pada diri seorang hamba?" Dia menjawab, "Jika dia dikelilingi kebaikan, ia mendapat ilham untuk bersyukur, sambil mengharap kesempurnaan nikmat dari Allah SWT di dunia dan di akhirat, serta mengharap kesempurnaan ampunan-Nya di akhirat."

Keadaannya yang seperti demikian itu menjadikan orang yang raja' senantiasa berbaik sangka kepada Allah SWT, bersabar, dan berlapang dada serta tidak mudah putus asa dan frustrasi karena ia meyakini akan keluasan rahmat dan ampunan Allah SWT.

Cara untuk menumbuhkan raja' (mengharap) dalam diri kita adalah dengan mengetahui dan meyakini akan keluasan dan kesempurnaan karunia dan rahmat Allah SWT dan berupaya meraihnya dengan amal-amal yang kita lakukan. Dengan hal inilah sifat raja' akan tumbuh dalam diri kita. Insya Allah. Wallahu a'lam. 


Referensi sebagai berikut ini ;










Hukum Berkurban dengan Uang Haram (Mencuri/Maling/Korupsi) atau Mencicil saat Idul Adha Menurut Penjelasan Ulama

Hukum Berkurban dengan Uang Haram atau Mencicil saat Idul Adha Menurut Penjelasan Ulama. Berkurban di Hari Raya Idul Adha memiliki keutamaan luar biasa. Sehingga tak sedikit umat Muslim rela menabung sejak jauh-jauh hari, untuk bisa berkurban di Hari Raya Idul Adha. Namun bagaimana hukum berkurban dengan uang haram di Hari Raya Idul Adha. Quraish Shihab menjelaskan bahwa berkurban menggunakan uang haram, hukumnya adalah haram.

"Oke. Ada yang bertanya, kalau kita berkurban dengan rezeki haram, itu hukumnya bagaimana, Abi?," tanya Najwa Shihab, dikutip dari buku Shihab & Shihab : Bincang-Bincang Seputar Tema Populer Terkait Ajaran Islam By M Quraish Shihab & Najwa Shihab. "Ya, haram, jadi haram juga," jawab Quraish Shihab. Dijelaskan Quraish Shihab, apapun yang haram sekalipun membaca bismillah tetap haram. "Jangan korupsi dengan membaca bismillah," jelas Quraish Shihab dalam buku tersebut.

Dalam buku tersebut, Quraish Shibah juga menjelaskan tentang perkara berkurban di Hari Raya Idul Fitri dengan cara mencicil. "Bagaiamana hukumnya jika keinginan untuk berkurban, tapi uangnya belum (ada) akhirnya meminjam uang dulu, membayar pinjaman uang terzebut dengan mencicilnya?," tanya Najwa Shihab. "Agama ini mudah. Tidak mau memaksa orang dengan sesuatu menyulitkan. Jangan paksa diri," jawab Quraish Shihab. Adapun keutamaan berjurban dijelaskan dalam hadist:

Aisyah menuturkan dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, “Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam (manusia) pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya.” (Hadits Hasan, riwayat al-Tirmidzi).

Hukum Berqurban dengan Uang Hasil Korupsi.

Umat Islam Indonesia akan merayakan Idul Adha pada Jumat (31/7) pekan ini. Pada hari itu, umat Islam yang mampu secara ekonomi sangat disunahkan menyembelih hewan qurban, yang kemudian dagingnya dibagikan kepada masyarakat. Sangat banyak keutamaan berqurban. Dalam sebuah hadits dijelaskan tidak ada perbuatan yang paling disukai Allah pada Hari Raya Haji selain berqurban. Namun, bagaimana hukumnya jika ada orang yang berqurban dengan uang hasil korupsi.

Orang yang berqurban dengan uang hasil korupsi atau uang haram tidak akan mendapatkan pahala. Hukumnya tidak mendapat pahala karena sesuatu ibadah dengan menggunakan barang haram, maka dia tak akan mendapatkan pahala apa-apa.

Manfaat memuasakan hewan qurban, Menurut Kiai Cholil, uang yang dipakai berqurban haruslah berasal dari uang yang halal hasil kerja sendiri. Jika berqurban dengan uang haram, maka amalan tersebut tidak akan diterima oleh Allah SWT dan pahalanya terbuang. 

"Sama dengan membuangnya. Artinya, tidak ada yang kembali dalam bentuk keagamaannya," ucap Kiai Cholil. Dengan demikian, telah jelas hukum berqurban dengan uang hasil korupsi dilarang karena tidak akan diterima amalannya. Karena itu, hendaklah kita mencari rezeki dengan cara yang halal agar semua harta yang dibelanjakan menjadi halal dan diridhai oleh Allah SWT.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن والاه، أما بعد

Masyarakat kita bisa dibilang kreatif dalam hal membuat jargon atau slogan, mulai dari nama komunitas, postingan media sosial, sampai tulisan di balik truk. Kalau untuk urusan dunia mungkin kita bisa tersenyum sambil geleng-geleng, tetapi kalau urusan akhirat kita harus hati-hati dan tidak mudah terpengaruh.

Ironisnya, tidak sedikit ada jargon atau slogan yang mengiringi momen-momen sakral dalam syariat. Misalnya jargon unik yang muncul menjelang musim haji; ‘ini waktu yang ditunggu bagi para koruptor, haji untuk menghilangkan dosa korupsi’, juga jargon menjelang hari raya kurban; ‘ini saat yang pas buat para bangkir, gunakan harta riba untuk qurban’, dan semisalnya. Benarkah jargon-jargon di atas? Bolehkah kaum muslimin melakukannya?

Allah Hanya Menerima Yang Baik

Miskinnya ilmu tentang konsekuensi harta haram membuat banyak masyarakat bermudahan-mudahan dalam mencari penghasilan tanpa melihat koridor syariat. Padahal wajib bagi seorang muslim untuk berupaya mencari penghasilan yang halal dan diperkenankan oleh syariat, sungguh lazim baginya untuk menjauhi sumber-sumber penghasilan yang haram.

Terlebih lagi jika dia hendak melakukan ibadah yang membutuhkan materi, salah satu syarat agar ibadahnya diterima oleh Allah ta’ala adalah dengan membelanjakan harta yang halal untuk mendirikan ibadah tersebut, oleh karenanya Allah berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَنفِقُوا۟ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبْتُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik (halal)”.(Al-baqarah: 267)

Sebagaimana Rasul shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:

إنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ تَعَالَى: “يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا”، وَقَالَ تَعَالَى: “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ” ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ! يَا رَبِّ! وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِّيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ؟

“Sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang beriman sebagaimana Dia memerintahkan para rasul-Nya dengan berfirman (yang artinya), “Wahai Para Rasul makanlah yang baik-baik dan beramal shalehlah.”

Dia juga berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami rizkikan kepada kalian.”

Kemudian beliau (Rasulullah ﷺ) menyebutkan ada seseorang yang melakukan safar dalam keadaan kumal dan berdebu. Dia memanjatkan kedua tangannya ke langit seraya berkata, “Ya Robbku, Ya Robbku,” padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan perutnya kenyang dari sesuatu yang haram, maka (jika begitu keadaannya) bagaimana doanya akan dikabulkan.” (H.R Muslim no:1015)

Pemaparan dua dalil di atas menunjukkan bahwa syarat ibadah materi bisa diterima oleh Allah ta’ala adalah harus dengan menggunakan harta yang halal, ini sebagaimana juga disampaikan oleh Dr. Abbas Ahmad al-Baz berikut:

العبادة المالية لا تكون مقبولة عن الله تعالى الا إذا كانت من مصدر كسب مشروع، لأن ثمرة الحلال حلال؛ وثمرة الحرام حرام

“Ibadah maliyah (yang berkaitan dengan materi) tidak diterima di sisi Allah ta’ala, kecuali jika dari sumber usaha yang diperbolehkan syariat. Karena buah dari perkara yang halal adalah halal dan hasil dari sumber yang haram adalah haram”.

(Ahkam al-Mal al-Haram, hlm 291).

Kemudian, jika harta yang digunakan adalah harta haram, apakah ibadahnya sah?

Adapun hal yang terkait dengan sah atau tidaknya ibadah tersebut, mayoritas ulama mengatakan bahwa status ibadahnya tetaplah sah, sebagaimana yang disampaikan oleh imam Al-qarrafi –rahimahullah– berikut:

لَّذِي يُصَلِّي فِي ثَوْبٍ مَغْصُوبٍ أَوْ يَتَوَضَّأُ بِمَاءٍ مَغْصُوبٍ أَوْ يَحُجُّ بِمَالٍ حَرَامٍ كُلُّ هَذِهِ الْمَسَائِلِ عِنْدَنَا سَوَاءٌ فِي الصِّحَّةِ خِلَافًا لِأَحْمَدَ


“Orang yang solat dengan mengenakkan baju rampasan, ataukah berwudhu dengan air rampasan, atau berhaji dengan harta yang haram, semua masalah ini menurut kami hukumnya sama pada sisi keabsahannya, berbeda dengan pendapat yang dipegang oleh imam Ahmad –rohimahullah-(beliau menganggap tidak sah)“.

(Anwaru al-buruq fi Anwai al-furuq, juz: 2 hal:85)

Mungkin dalam nash perkataan Imam Al-Qarrafi di atas tidak disebutkan secara langsung perihal kurban, tetapi beliau memberikan gambaran dengan contoh ibadah-ibadah lain yang dilakukan dengan harta yang tidak halal, seperti solat dengan baju rampasan, wudhu dengan air rampasan, maupun haji dengan harta haram, ini semua adalah cara-cara yang menjadikan status harta menjadi tidak halal, namun beliau menyampaikan bahwa status ibadahnya tetaplah sah, dan perkara kurban dengan harta haram pun masuk kategori yang sama, hal tersebut (sahnya ibadah) kemungkinan dimaknai jika syarat-syarat dan rukun-rukun ibadah tersebut telah terpenuhi, dengan dibarengi dengan tidak adanya penghalang yang menghalangi keabsahan ibadah.

Hal ini disebutkan pula dalam fatwa dari Al-syabakah Al-islamiyah berikut:

أما أن ينفق المال الحرام في عمل يتقرب به إلى الله كالصدقة أو الأضحية أو العقيقة فلا أجر له على ذلك، فإن الله لا يقبل إلا ما كان من مال حلال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: … إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا.. أما إجزاؤها عن العقيقة فهي مجزئة عند الجمهور.

“Adapun seseorang menginfakkan harta haram untuk amalan yang ditujukan untuk bertaqorrub kepada Allah seperti sedekah, atau kurban, atau aqiqah, tidak ada pahalanya dalam amalan tersebut, karena Allah tidak akan menerima kecuali dari perkara yang halal, sebagaimana Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah maha baik, dan tidak akan menerima kecuali dari sesuatu yang baik……adapun kecukupan/sahnya harta haram untuk aqiqah (dan yang semisal dengannya) maka sah dan cukup menurut jumhur ulama”.

Referensi sebagai berikut ini ;



















Hukum Menerima Daging Kurban dari Harta Haram (Ustadz Adi Hidayat)

Hukum Menerima Daging Kurban dari Harta Haram (Ustadz Adi Hidayat).  hukum menerima daging kurban dari harta haram? Berikut jawaban Ustadz Adi Hidayat. Kurban merupakan ibadah yang disunnahkan untuk dilakukan saat Idul Adha. Sebagai suatu ibadah, tentu memiliki pahala dan keutamaan. Tapi, bagaimana jika ada seseorang yang membeli hewan kurban dengan harta haram. Ustadz Adi Hidayat menjawab pertanyaan tentang hukum menerima daging kurban yang diduga berasal dari harta yang haram.

Misalnya dari uang hasil korupsi, perampokan, dan kegiatan yang mendatangkan harta haram lainnya.Hukum syariat memberikan pendekatan dengan klasifikasi ditinjau dari dzat dan sifat.Hukum syariat memberikan pendekatan dengan klasifikasi ditinjau dari dzat dan sifat. Suatu benda menjadi haram dilihat dari sumbernya atau karena diperoleh dari perbuatan yang dinilai haram. Secara hukum dunia juga melarang dan mencegah kegiatan atau sumber harta tersebut.

Selain haram karena sumbernya, suatu benda juga bisa langsung haram karena dzatnya. Misalnya, miras dan narkotika. Jika seseorang memberikan hewan kurban yang berasal dari harta yang haram, maka Ustadz Adi Hidayat menyarankan untuk tidak menerimanya. Menurut Ustadz Adi Hidayat, kasus kurban dengan harta haram ini juga bisa diterapkan dalam kejadian sehari-hari. Ustadz Adi Hidayat kemudian mencontohkan dalam kasus lain di kehidupan sehari-hari. Misalnya, diundang ke jamuan makan di tempat makan yang haram.

Atau, diundang jamuan makan yang telah diketahui berasal dari sumber harta yang haram. Kesimpulannya, Ustadz Adi Hidayat menyarankan untuk menghindari kurban yang telah dipastikan berasal dari harta yang haram.  Dilarang untuk menerima kurban dari harta yang sudah dipastikan secara hukum berasal dari sumber yang haram. Namun, Ustadz Adi Hidayat mengingatkan agar penolakan dilakukan dengan cara-cara yang halus. Misalnya, dengan mengatakan bahwa kuotanya sudah penuh.


Referensi sebagai berikut ;



Hukum Menerima Daging Kurban dari Harta Haram (Ustadz Adi Hidayat)



Hukum Berkurban Dari Uang Haram Atau Hasil Korupsi/menipu/Mencuri

Hukum Berkurban Dari Uang Haram Atau Hasil Korupsi/menipu/Mencuri. Tujuh orang yang iuran untuk berkurban, jika untuk sapi atau onta hukumnya boleh; berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Muslim (1318) dari Jabir bin Abdillah  radhiyallahu ‘anhuma- berkata:

" نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ : الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ "

“Kami telah menyembelih bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  pada tahun Hudaibiyyah seekor onta untuk 7 orang dan seekor sapi untuk 7 orang”. Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata: “Tujuh orang dibolehkan untuk berserikat (iuran) untuk onta dan sapi, baik karena wajib atau sunnah, baik semua tujuh orang menginginkan untuk ibadah kurban atau sebagian mereka saja, dan yang lainnya menginginkan dagingnya”. (Al Mughni: 3/296)

Untuk penjelasan berikutnya bisa dibaca jawaban soal nomor: 45757

Maka yang menjadi bagian dari masing-masing orang yang iuran kurban jika mereka 7 orang adalah 1/7 dari  harga hewan kurban tersebut. Tidak masalah jika ada di antara mereka yang iuran dengan harta yang haram selama mereka tidak mengetahuinya; karena masing-masing dari mereka usaha dan amalnya dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Namun jika mereka yang melakukan iuran itu mengetahui kondisi orang tersebut, maka mereka tidak boleh membantunya untuk membelanjakan dan memanfaatkan harta haramnya, bahkan mereka wajib mengingkarinya, mereka juga diminta untuk menjauhinya agar dia segera menjauhi kemaksiatan dan makan harta yang haram.

Akhirnya, kami juga berterima kasih kepada anda atas pujiannya pada website kami, semoga Allah senantiasa menolong kita semuanya untuk taat kepada-Nya, dan menjadikan kita semuanya sebagai da’i menuju kebaikan, kami juga merasa bahagia bahwa anda juga mengarahkan orang lain untuk mengambil manfaat dari website kami, sesuai dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim (2674) dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

( مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ ، مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا (.

“Barang siapa yang mengajak kepada hidayah, maka baginya pahala sama dengan pahala orang yang mengikutinya, tidak berkurang sedikit pun pahalanya tersebut”. Setiap orang yang mampu akan menyedekahkan hartanya dengan ikut berkurban sehingga seluruh umat muslim yang kurang mampu sekalipun bisa ikut merayakan labaran haji dengan sajian dari daging hewan kurban.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi ketika hendak berkurban. Harus mampu secara materi dan memiliki kelapangan kekayaan untuk disedekahkan. Meskipun hukum kurban dalam Islam adalah sunnah namun sangat dianjurkan bagi yang mampu mengingat sangat banyak keutamaan berkurban dan hikmah qurban Idul Adha yang kita dapatkan yang salah satunya adalah untuk mendapatkan ridho dari Allah SWT serta membawa diri kita kepada kebaikan, seperti yang dijelaskan dalam sabda rasulullah berikut ini :

“Barangsiapa memiliki keluasaan (untuk berkorban) namun tidak berkorban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” “Tidak ada amalan anak cucu Adam pada hari raya qurban yang lebih disukai Allah melebihi dari mengucurkan darah (menyembelih hewan qurban), sesungguhnya pada hari kiamat nanti hewan-hewan tersebut akan datang lengkap dengan tanduk-tanduknya, kuku-kukunya, dan bulu- bulunya. Sesungguhnya darahnya akan sampai kepada Allah –sebagai qurban– di manapun hewan itu disembelih sebelum darahnya sampai ke tanah, maka ikhlaskanlah menyembelihnya.” (HR. Ibn Majah dan Tirmidzi).

Namun uang yang dipakai untuk berkurban harus halal hasil kerja sendiri dan bukan uang dari sumber lain yang tidak halal. Hukum berkurban dengan uang haram adalah amalan dari berkurban tersebut tidak akan diterima oleh Allah SWT dan juga tidak akan mendatangkan pahala. Dalam hal ini juga termasuk uang yang di dapat dari riba karena Allah SWT. telah berfirman : “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah [2] : 275) Dan juga seperti yang diterangkan di dalam hadits dan Sabda rasulullah berikut ini :

“Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014). “Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim no. 224).

“Barang siapa yang mendapat harta dengan jalan haram, kemudian ia menyambung silaturahim dengan harta itu, atau bersedekah dengannya, atau menginfakkan di jalan Allah, di hari kiamat nanti ia dan seluruh harta itu akan dikumpulkan dan dilemparkan ke dalam api neraka”.

Dari firman Allah SWT dan  hadis serta sabda rasulullah di atas telah jelas bahwa hukum berkurban dengan uang haram adalah dilarang karena tidak akan diterima amalannya. Oleh karena itu hendaklah kita mencari rezeki dengan cara yang halal agar semua harta yang dibelanjakan menjadi halal dan diridhoi oleh Allah SWT. Juga, tidak akan mendapat pahala jika berkurban dengan uang haram.


Referensi sebagai berikut ini ;