This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Jumat, 29 Juli 2022

7 Larangan Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam

1.Larangan Pertama (Jangan Buruk Sangka). 

Imam Al- Qurthubi menerangkan kepada kita bahwasanya buruk sangka itu adalah melemparkan tuduhan kepada orang lain tanpa dasar yang benar. Yaitu seperti seorang menuduh orang lain melakukan perbuatan jahat, akan tetapi tanpa disertai bukti-bukti yang membenarkan tuduhan tersebut.

Allah Swt berfirman, “Hai orang- orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba- sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba sangka itu dosa. Dan janganlah mencari- cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adkah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al- Hujurat 49: 12)

Ayat ini diperkuat dengan hadits Rasulullah Saw yang berbunyi, “Iyyakum wa dzana, fainna dzonna akdzabul hadits” yang artinya, “Jauhilah oleh kalian prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah perkataan paling dusta.” (Muttafaq alaih—Shahih)

Saudaraku, dalam kehidupan sehari- hari kita seringkali menemukan peristiwa seperti ini. Bahkan, boleh jadi diri kita pun tidak luput melakukannya. Baik disadari ataupun tanpa disadari. Hanya karena omongan teman mengenai diri orang lain, kita bisa dengan mudah terpancing untuk turut berprasangka buruk tentangnya.Jika sudah demikian, maka hidup kita tidak akan tenang. Mengapa? Karena kita jadi mudah menilai bahwa orang lain adalah jahat. Kepada orang tertentu yang kita buruk sangkai, kita akan bersikap dingin atau menghindar, karena kita menduga bahwa dirinya jahat dan kita ingin selamat. Padahal sebenarnya, belum tentu seperti itu. Bahkan, sangat mungkin sangkaannya itu keliru.Dalam situasi seperti itu, maka yang rugi siapa? Tiada lain dan tiada bukan yang rugi adalah diri kita sendiri. Kita rugi karena terganggu ketenangan kita. Dan kita bertambah rugi lagi karena buruk sangka mendatangkan dosa pada diri kita sendiri. Na’udzubillahi mindzalik!

Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali menjelaskan bahwa buruk sangka (suuzhan) adalah haram sebagaimana ucapan yang buruk. Keharaman suuzhan itu seperti haramnya membicarakan keburukan seseorang kepada orang lain. Oleh karena itu tidak diperbolehkan juga membicarakan keburukannya kepada diri sendiri atau di dalam hati, sehingga kita berprasangka buruk tentangnya. Apa yang Al- Ghazali maksudkan adalah keyakinan hati bahwa suatu keburukan tertentu terdapat dalam diri orang lain. Bisikan hati yang hanya terlintas sedikit saja, maka itu di maafkan. Sedangkan yang dilarang adalah menyangka buruk, di mana persangkaan adalah sesuatu yang di yakini di dalam hati.

Jikalau berprasangka buruk terhadap sesama saja sudah mendatangkan dosa. Maka, apalagi jika buruk sangka itu di tujukan terhadap Allah Swt. Seperti apa berburuk sangka kepada Allah itu? Bentuk- bentuk contoh suuzhan kepada Allah Swt adalah sikap putus asa dari rahmat- Nya, merasa diri tidak disayangi oleh- Nya. Juga sikap tidak menerima takdir, menganggap Allah tidak adil, menganggap doanya tidak akan dikabulkan dan menganggap kaum Muslimin akan tetap dalam keadaan kalah dan kemenangan akan selama- lamanya berada ditangan orang- orang kafir. Serta masih banyak contoh lainnya.Sedangkan Allah Swt dengan sangat tegas memperingatkan kita untuk tidak berburuk sangka pada- Nya. Dalam salah satu hadits qudsi disebutkan,

“Aku senantiasa berada pada prasangka baik hamba-Ku dan aku akan bersama dia ketika ia mengingat-Ku (berdzikir kepada-Ku) kalau ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan mengingat dia dalam Diri-Ku. Bila ia ingat Diri-Ku di tempat ramai, Aku akan mengingatinya di tempat keramaian yang lebih baik dari padanya. Kalau ia (hamba-Ku) mendekat kepada-Ku sejengkal, akan Ku dekati ia sehasta. Kalau ia mendekat kepada- Ku sehasta, maka Aku dekati dia sedepa dan bila dia datang kepada- Ku berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari.” (HR. Bukhari Muslim. – shahih)

Mungkin kita bertanya- Tanya di dalam hati “Lalu bagaimana cara kita membedakan antara sikap waspada dengan buruk sangka?” pertanyaan seperti ini sangat wajar muncul di dalam benak kita. Karena, memang sangat halus perbedaanya dan juga sangat mudah sekali prasangka terbetik di dalam hati kita.Sebagaimana sudah disinggung di atas, bahwa Allah akan memaafkan prasangka buruk yang muncul hanya selintas saja di dalam hati yang kemudian dilupakan. Karena manusia adalah makhluk yang lemah yang tidak mampu menghalang- halangi munculnya kilatan prasangka yang muncul secara tiba- tiba begitu saja di dalam hatinya. Namun, apabila kilatan prasangka tersebut dipelihara terus, dilanjutkan atau ditumbuhkan dengan kecurigaan- kecurigaan berikutnya apalagi hingga dibicarakan kepada orang lain, maka inilah yang mendatangkan dosa.Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi RA, bahwa buruk sangka yang hukumnya haram adalah prasangka buruk yang menetap di dalam hati seseorang. Sedangkan prasangka buruk yang muncul secara sekilat saja lalu hilang, itu tidaklah mendatangkan dosa karena memang di lur kemampuan manusia.

Pendapat Imam Nawawi tersebut didasarkan kepada sebuah hadits yang menjelaskan bahwasanya Allah Swt akan memaafkan seorang hamba yang di dalam hatinya muncul suatu hal terlarang secara selintas saja secara tidak sengaja, dan ia tidak melanjutkannya dengan cara menceritakannya atau melakukannya.

Hadits tersebut adalah sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terlintas di hati mereka selama mereka tidak membicarakan atau melakukannya.” (HR. Bukhari, Muslim.—shahih)     “Sebagaimana pengertiannya bahwa buruk sangka adalah menuduh orang lain berbuat keburukan tanpa didasari dengan bukti atau petunjuk yang kuat. Menurut penjelasan Imam Nawawi, maka jika persangkaan muncul karena didorong oleh petunjuk- petunjuk yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan, persangkaan ini tidaklah haram dan tidaklah termasuk kepada buruk sangka. Karena demikianlah tabiat manusia, jika ia mendapatkan petunjuk- petunjuk yang kuat, maka muncullah persangkaan di dalam dirinya. Persangkaan buruk yang sama sekali tidak didasari petunjuk- petunjuk yang kuat dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Dalam hal buruk sangka kepda Allah Swt, hal ini biasanya terjadi manakala seseorang ditimpa kesulitan hidup. Ketika doanya tidak juga terkabul, keinginannya tidak juga terwujud, maka ia kecewa. Ia putus asa dan beranggapan bahwa Allah Swt tidak mau endengarkan doanya, tidak menyayanginya.       Dalam situasi itu biasanya seseorang menjadi gelap mata dan buta hati. Ia lupa padasekian banyak pemberian Allahyang terlimpah kepada dirinya selama ini. Ia lupa pada penjaganya, pemberian, dan kasih sayng Allah yang tiada pernah bisa terhitung disepanjang hidupnya, sejak ia di dalam rahim ibuya, hingga ia lahir tumbuh dan berkembag.Padahal, ketika doanya tidak terkabul saat itu, maka itu sesungguhnya bukanlah tidak dikabulkan oleh Allah Swt. Melainkan Allah menundanya dan mengabulkannya berupa kebaikan di akhirat kelak. Atau Allah akan mengabulkannya dengan cara menyelaatkan dirinya dari keburukan.

Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah seorang muslim memanjatkan doa pada Allah selama tida mengandung dosa dan memutuskan silaturahim, melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan doanya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “kalau begitu kami akan memperbanyak berdoa.” Nabi Saw lantas berkata, “ Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan doa- doa kalian.” (HR Ahmad.—shahih)

Selain itu, sifat manusia yang selalu tak pernah puas mengakibatkan selalu bermunculan keinginan demi keinginan. Manusia mengira bahwa segala hal yang ia inginkan itu memang baik baginya. Setelah punya motor, ia ingin punya mobil. Setelah punya mobil, ia ingin punya mobil yang mewah. Setelah punya kontrakan, ia ingin punya rumah. Setelah punya rumah, ia ingin punya rumah yang lebih luas dan lebih indah. Begitulah seterusnya. Setelah punya pekerjaan, ia ingin punya jabatan atau kedudukan yang lebih tinggi lagi. Ingin punya penghasilan yang lebih tinggi lagi. Ingin punya penghasilan yang lebih besar lagi

Demikianlah manusia. Memang tidak salah manakalamanusia punya keinginan. Karena dengan adanya keinginan, manusiaakan hidup secara aktif dan kreatif. Namun yang keliru adalah ketika manusia memikirkan bahwa apa yang diinginkannya harus ia dapatkan sehingga ia berusaha mendapatkannya dengan menghalalkan berbagai macam cara. Dan ketika ia gagal mendapatkannya, lantas ia putus asa dan menghujat siapa saja, tak terkecuali Allah Swt. Inilah sikap yang salah.

Artinya: “..Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216)

Sebagai contoh, ada yang ingin menjadi pegawai negeri. Ujian-ujian seleksi ia ikuti. Berbagai persyaratan ia penuhi. Ia menghindari praktik kotor melakukan sogokan untuk meloloskan keinginannya. Akan tetapi, ia tidak lulus ujian tersebut. Pada kesempatan berikutnya ia mencoba kembali, namun tidak juga lulus.

Orang yang mengalami hal demikian bisa jadi terjerumus pada sikap putus asa dan berburuk sangka kepada Allah Swt. Namun, bisa jadi juga dia tetap berprasangka baik kepada-Nya dengan meyakini bahwa kewajiban dirinya hanyalahberusaha seserius dan sebaik mungkin. Karena apapun hasilnya, itu adalah kekuasaan Allah Swt. Siapa yang tahu jika ternyata ketidaklulusannya yang berkali- kali itu mengantarkan dirinya menjadi seorang wirausaha sukses.

Berprasangka baik terhadap Allah Swt akan membuat kita senantiasa siap menerima ketetapan-Nya yang akan terjadi kepada kita. Baik itu kenyataan yang sesuai dengan keinginan, maupun yang tidak. Baik itu kenyataan berupa keberuntungan, maupun kenyataan berupa musibah. Prasangka baik terhadap Allah Swt membuat kita senantiasa yakin bahwasanya setiap ketetapan Allah Swt terhadap diri kita itu pada hakikatnya adalah kebaikan.

Sebagaiman firman Allah Swt.,“Dan dikatakan kepada orang- orang yang bertakwa, “Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?” Mereka menjawab, “ (Allah telah menurunkan) kebaikan!”Orang- orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampong akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik- baik tempat bagi orang yang bertakwa.” (QS. An Nahl [16]: 30)

Tidaklah semata- mata Rasulullah Saw melarang umatnya dari suatu perbuatan tertentu, kecuali karena perbuatan tersebut bisa berdampak buruk. Baik bagi dirinya maupun orang lain. Tak terkecuali buruk sangka.

Selain mendatangkan dosa, buruk sangka juga mengganggu kesehatan mental dan jiwa. Karena setiap kali seseorang berburuk sangka terhadap orang lain, maka selama itu pula dirinya akan dipenuhi dengan pikiran- pikiran negative, kesehariannya tidak tenang, gundah gulana dan gelisah disebabkan prasangkanya sendiri .

Buruk sangka tanpa terasa membuat seseorang menjadi berjiwa pengecut. Karena ia terbiasa sibuk dengan prasangkanya tanpa ada keberanian untuk mencari kebenaran atau tabayyun langsung kepada orang bersangkutan.

Akibatnya kemudian, seseorang yang selalu berburuk sangka, tentunya sulit untuk bahagia. Bahagia adalah keadaan di mana hati tenang tentram. Sedangkan dengan buruk sangka, ketenangan hati akan sangat sulit di dapat. Mengapa? Karena rasa curiga dan pikiran negative lebih mendominasi diri kita. Jika sudah demikian, bagaimana mungkin bisa tenang?!

Semoga kita terhindar dari sifat buruk sangka. Sehingga tenanglah hati kita dan bahagialah hidup kita.

Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )

2.Larangan Kedua

Jangan Saling Memata- matai

Saudaraku, dalam buku Hayatush Shahabah, ada sebuah riwayat mengenai khalifah Umar bin Khatab ra. Suatu malam, Umar berjalan bersama Abdullah bin Mas’ud memeriksa keadaan kota Madinah. Tiba- tiba, mata beliau melihat sebuah rumah yang diterangi cahaya dari bagian dalamnya. Kemudian, Umar menghampiri sumber cahaya itu sehingga ia melihat ke dalam rumah tersebut.

Ternyata di rumah itu, ada seorang lelaki tua sedang minum arak dan menari- nari bersama budak perempuan yang menyanyi untuknya. Kemudian, Umar masuk sendirian dan menghardik lelaki tua itu, “Wahai fulan, tidak pernah aku saksikan pemandangan yang lebih buruk dari ini, orang tua yang sudah tua meminum arak dan menari- nari!”

Lelaki tua itu menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, apa yang engkau sampaikan adalah lebih buruk dari apa yang kau saksikan. Engkau telah memata- matai pribadi orang, padahal Allah telah melarangnya dan engkau telah masuk rumahku tanpa seizinku!”

Umar membenarkan ucapannya kemudian ia keluar dari rumah itu dengan menyesali perbuatannya. Umar berucap “Sungguh telah celakalah Umar apabila Allah tidak mengampuninya.” Umar menyadari kesalahannya yang telah mengendap- endap melihat aib orang lain dan memasuki rumah orang lain tanpa seizing penghuninya. Kedua perbuatan ini adalah hal yag dilarang oleh Allah Swt melalui firman-Nya dalam surat Al- Hujurat ayat 12 dan surat An Nur ayat 27.

Lelaki tua itu merasa sangat malu kepada Umar karena kepergok melakukan maksiat. Dia khawatir akan dihukum atau setidaknya akan diumumkan dihadapan banyak orang oleh Umar. Sehingga ia tidak dating ke majelis Umar dalam waktu yang cukup lama.

Sampai pada suatu hari lelaki itu diam- diam dating ke majelis Umar secara diam- diam. Dia duduk di paling belakang sambil menundukan kepala agar tidak terlihat oleh Umar. Tiba- tiba Umar memanggilnya dengan usara yang agak keras, “Wahai Fulan mari duduk di dekatku!”

Lelaki tua itu merasa gentar. Tubuhnya gemetar. Dia mengira akan dipermalukan di depan umum. Dengan wajah pucat pasi, dia pasrah menghampiri Umar. Kepalanya menunduk, tegang membayangkan apa yang akan terjadi kemudian.

Setelah lelaki itu duduk di dekatnya, Umar berbisik, “Wahai fulan, demi Allah yang telah mengutus Muhammad sebagai seorang Rasul, tidak akan aku beritahuseorangpun tentang apa yang aku lihat di dalam rumahmu, meskipun kepada Abdullah bin Mas’ud yang saat itu ikut bersamaku.”

Lelaki itu takjub sekaligus heran . kemudian ia menjawab dengan berbisik, “Wahai Amirul Mukminin, demi Allah yang telah mengutus Muhammad sebagai seorang Rasul, sejak malam itu sampai saat ini aku telah meninggalkan perbuatan maksiatku.”

Salah satu pelajaran berharga dari kisah diatas adalah tentang larangan memata- matai sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al Hujurat ayat 12 seperti disampaikan pada bagian awal buku ini.

Krgiatan memata- matai dalam ayat ini disebut dengan istilah Tajassus. Yaitu kegiatan atau aktifitas mengorak- ngorek suatu berita dengan tujuan meneliti lebih dalam. Sedangkan jika suatu berita didapatkan secara alami, atau sekedar dikumpulkan lalu diinformasikan kembali, maka itu tidak termasuk aktifitas memata- matai

Memang ada kegiatan memata- matai yang diperbolehkan. Yaitu kegiatan mematai- matai pihak yang memusuhi dan memerangi Islam. Sedangkan Di luar itu, maka tidak diperbolehkan. Baik terhadap non muslim yang hidup di tengah- tengah umat Islam dan tidak memerangi umat Islam.

Jika demikian, apalagi perbuatan memata-matai kehidupan saudara kita sendiri, sesame muslim, atau tetangga kita. Setiap orang tentu tidaklah sempurna. Selalu ada kekurangan dan kesalahan. Terlebih lagi di dalam tempatnya yang privat semisal di dalam rumahnya, di tengah keluarganya.

Memata- matai kehidupan orang lain adalah hal yang diharamkan dan sangat dikecam oleh Rasulullah Saw. Apalagi jika setelah memata- matai itu, informasi yang didapatkan kemudian dibicarakan disebarkan kepada orang lain. Tentu ini lebih besar lagi dosanya.

Saking besarnya kecaman Rasulullah Saw terhadap perbuatan memata- matai ini, sampai- sampai dalam sebuah keterangan yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, beiau bersabda, “Jika seseorang melihatmu dalam keadaan tanpa pakaian, tanpa seizinmu, lalau engkau membutakan kedua matanyadengan lemparan batu, maka tidak ada celaan atas perbuatanmu itu.” (HR. Muslim, — shahih).

Apa yang dimaksud dengan keadaan tanpa pakaian dalam hadits diatas adala aurat. Aurat ini tidak hanya bermakna aurat fisik, melainkan kiasan juga yang maksudnya adalah aib atau kekurangan pada diri seseorang.

Dalam Raudhah Al ‘Uqala, Abu Hatim bin Hibban Al Busti menerangkan bahwa orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan memata- matai saudaranya, dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri

Karena sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan diri sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, hatinya akan tentram dan tidak akan lelah. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan serupa ada pada saudaranya.

Sementara orang yang selalu sibuk mencari kejelekan orang lain dan lupa pada kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta. Ia akan merasa letih dan sulit meninggalkan kejelekan dirinya sendiri.

Demikianlah betapa buruknya perbuatan memata- matai, mengorek- ngorek informasi tentang diri orang lain tanpa kita berhak melakukannya. Apalagi perbuatan itu dilakukan sekedar untuk mengetahui aib orang lain kemudian memperbincangkan dan menyebarluaskannya. Sungguh betapa busuknya perilaku yang demikian itu. Tak hanya bertentangan dengan keteladanan suri tauladan kita, Rasulullah Saw. Namun juga bertentangan dengan kehendak Allah Swt. Smoga kita terhindar dari perbuatan demikian.

3.Larangan Ketiga

Jangan Saling Mencari Aib

Dalam Al Bidayah wan Nihayah karya Imam Ibnu Katsir disebutkan sebuah kisah. Satu ketika Sufyan bin Husain berkata, “Aku pernah menyebutkan kejjelekan seseorang di hadapan Iyas bin Mu’awiyyah. Lalu ia memandangi wajahku seraya berkata, “Apakah engkau pernah ikut memerangi bangsa romawi?” Aku menjawab, “Tidak”.

Ia bertanya lagi, “Kalau memerangi bangsa Sind, Hind (India) atau Turki?” Aku juga menjawab, “Tidak”

Kemudia ia berkata, “Apakah layak, bangsa Romawi, Sind, Hind dan Turki selamat dari kejelekanmu sementara saudaramu yang muslim tidak selamat dari kejelekanmu?!”. Setelah kejadian itu, aku tidak pernah mengulangi lagi berbuat seperti itu.”

Saudaraku, setelah kita dilarang untuk saling memata- matai, selanjutnya kita dilarang untuk saling mengumbar aib. Kedua hal ini sangat berkaitan erat. Karena biasanya jikalau kita sudah terjangkit perbuatan buruk gemar memata- matai kehidupan saudara kita maka kita akan terpancing untuk mencari- cari aib keburukannya. Padahal sudah jelas manusia bukanlah makhluk yang bersih dari kesalahan.

Begitu banyak nasihat Rasulullah Saw yang mengingatkan kita bahwasanya sesama muslim itu terdapat ikatan persaudaraan. Ikatan persaudaraan yang nilai atau derajatnya lebih tinggi dibandingkan persaudaraan yang diikat karena pertalian darah, suku bangsa atau Negara. Karena persaudaraan sesame muslim itu diikat dengan iman.

Oleh karena itulah sesama muslim dilarang untuk saling menyakiti dengan cara apapun. Baik dengan cara bisikan hati, ucapan lisan, atau perbuatan. Sebaliknya, sesame muslim justru diperintahkan untuk saling mencintai, saling melindungi, saling membela.

Seorang muslim berhak untuk ditabayunkan atas kesalahpahamannya. Seorang muslim berhak untuk dibaiksangkai atas perbuatannya yang dalam pandangan kita adalah keliru. Seorang muslim berhak untuk mendapatkan rasa aman dari perkataan dan perbuatan sesamanya.

Bukankan Rasulullah Saw pernah ditanya tentang siapakah muslim yang paling utama. Kemudian, beliau menjawab, “Yaitu orang yang bisa menjaga lisan dan tangannya dari perbuatan buruk terhadap saudaranya.” (HR. Bukhari. – shahih)

Dalam hadits yang lain, Rasulullah Saw menegaskan bahwa perbuatan mencari- cari aib orang lain apalagi membukanya dan menyebarkannya adalah perbuatan orang yang tidak memiliki iman di dalam hatinnya. Bahkan tergolong kepada golongan orang munafik, karena cirri kemunafikan adalah hanya menyatakan iman dengan ucapan, tanpa menghadirkan iman di dalam hatinya.

Rasulullah Saw bersabda, “Wahai sekalian manusia yang beriman dengan lidahnya, (namun) belum masuk iman ke dalam hatinya, janganlah kalian mengumpat orang- orang islam dan janganlah membuka aib mereka. Sesungguhnya orang yang membuka aib saudaranya yang muslim, maka Allah akan membuka aibnya. Dan siapa yang aibnya dibuka oleh Allah, maka Allah akan membukanya sekalipun di dalam rumahnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi.– Hasan Gharib menurut Imam Tirmidzi).

Jikalau Allah membuka aib-aib kita, maka sungguh tiada seorang pun atau sesuatu apapun yang bisa menutupinya. Tak ada yang bisa menyelamatkan kita. Sedikitpun kita tak akan bisa mengelak. Namun sebaliknya, jikalau Allah menyelamatkan kita sebagai balasan atas sikap kita yang membela, menolong dan menutupi aib sesame muslim, maka sungguh tak ada yang bisa menghalanginya.

Mencari-cari dan membuka aib orang lain adalah perbuatan tercela. Bahkan jangankan aib orang lain, membuka aib diri sendiri saja adalah perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah Saw. Beliau bersabda, “Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan (melakukan maksiat). Dan termasuk terang-terangan adalah seseorang yang melakukan perbuatan maksiat di malam hari , kemudian di pagi harinya ia berkata: “Wahai fulan, kemarin aku telah melakukan ini dan itu- padahal Allah telah menutupnya- dan di pagi harinya ia membuka tutupan Allah atas dirinya.” (HR. Bukhari Muslim, — Shahih).

Namun, penting untuk dipahami bahwa maksud menutupi aib sesama muslim itu bukan berarti menutup-nutupi perbuatan muslim yang berbuat kezhaliman. Apalagi jika itu adalah perbuatan jahat yang sudah seharusnya diadili dan mendapatkan hukuman. Tolong- menolong hendaknya dilakukan dalam kebaikan, tidak dalam kejahatan.

Khususnya apabila seseorang dimintai kesaksian didepan hukum mengenai perbuatan salah atau jahat saudaranya yang merugikan orang lain bahkan orang banyak, maka wajib baginya untuk memberiksn kesaksian sejujur mungkin, bukan menutup-nutupi kebenaran yang ia ketahui dengan alasan solidaritas, kesetiakawanan atau persaudaraan. Justru, memberikan kesaksian yang sejujurna demi tegaknya keadilan, itu adalah sikap solidaritas dan persaudaraan yang hakiki.

Lantas, bagaimana wujud menutupi aib saudara itu? Misalnya adalah ketika ada beberapa orang membicarakan aib orang lain, maka kita mencegah hal itu dengan cara menegur mereka atau membelikkan pembicaraan secara halus agar mereka tidak kebablasan membicarakan aib orang yang sedang dibicarakan itu.

Demikian juga jika kita mengetahui salah seorang saudara kita memiliki aib berupa perbuatan maksiat yang tidak merugikan orang lain, seperti meminum khamar. Maka, wujud menutupi aibnya itu adalah dengan tidak menceritakannya kepada orang lain. Akan tetapi, tetap menasehati dan mengingatkannya agar bertaubat kepada Allah Swt dan meninggalkan perbuatan maksiatnya itu.

Ada keteladanan yang amat mulia dicontohan oleh Rasulullah Saw. Ketika itu, usai menunaikan shalat Ashar di Masjid Q uba, salah seorang sahabat mengundang Rasulullah dan jamaah singgah ke rumahnya untuk menikmati sajian daging unta. Ketika sedang makan- makan, tiba-tiba tercium aroma kurang sedap. Rupanya ada salah seorang dari yang hadir yang buang angin. Para sahabatpun saling menoleh.

Rasulullah Nampak kurang berkenan dengan keadaan itu. Maka, ketika waktu shalat Maghrib hampir tiba, sebelum bubar, Rasulullah Saw berkata, “Barangsiapa yang makan daging unta, hendaklah ia berwudhu.” Mendengar perintah Rasulullah itu, maka semua yang hadirpun mengambil air wudhu. Sehingga terhindarlah aib orang yang buang angin. Karena jika Rasulullah tidak memberikan perintah tersebut, amat mudahlah hadirin mengetahui siapa yang buang angin tadi.

Tentang aib yang dirahasiakan, ada satu kisah terkenal yang ditulis oleh Syaikh DR. Muhammad Al’ Ariifi dalam bukunya yang berjudul, Fi Bathni al Hut. Berikut ini kisahnya.

Ketika itu Bani Israil ditimpa musim kemarau yang berkepanjangan. Mereka pun berkumpul mendatangi Nabi mereka. Mereka berkata, “Wahai Kalimallah, berdoalah kepada Rabbmu agar Dia menurunkan hujan kepada kami.” Maka berangkatlah Nabi Musa bersama kaumnya menuju padang pasir yang luas bersama lebih dari 70 ribu orang. Mulailah mereka berdoa dengan kondisi yang lusuh penuh debu, haus dan lapar.

Musa berdoa, “Wahai Tuhan kami, turunkanlah hujan kepada kami, tebarkanlah rahmat-Mu, kasihilah anak- anak dan orang- orang yanmg mengandung, hewan-hewan dan orang-orang tua yang rukuk dan sujud.”

Setelah itu langit tetap saja terang benderang. Mataharipun bersinar makin terik. Kemudian, musa berdoa lagi, “Wahai Tuhanku berilah kami hujan.”

Allah pun berfirman kepada Musa, “Bagaimana Aku akan menurunkan hujan kepada kalian sedangkan di antara kalian ada seorang hamba yang bermaksiat sejak 40 tahun yang lalu. Keluarkanlah ia di depan manusia agar dia berdiri di depan kalian semua. Karena dialah, Aku tidak menurunkan hujan untuk kalian.”

Maka, musa pun berteriak di tengah- tengah kaumnya, “Wahai hamba yang bermaksiat kepada Allah sejak 40 tahun, eluarlah dihadapan kami, karena engkaulah hujan tak kunjung turun.”

Seorang laki- laki melirik ke kanan dan kiri. Tak seorangpun yang keluar di depan manusia, saat itu pula ia sadar kalau dirinyalah yang dimaksud. Ia berkata dalam hatinya, “kalau aku keluar ke depan manusia, maka akan terbuka rahaiaku. Kalau aku tidak berterus terang, maka hujanpun tak akan turun.”

Maka, kepalanya tertunduk malu dan menyesal. Air matanya pun menetes, sambil berdoa didalam hati kepada Allah, “Ya Allah, aku telah bermaksiat kepadamu selama 40 tahun, selama itu pula Engkau menutupi aibku. Sungguh sekarang aku bertobat kepada- Mu, maka terimalah taubatku.”

Belum sempat ia mengakhiri doanya maka awan- awan tebalpun bergumpal. Semakin tebal menghitam lalu turunlah hujan. Nabi Musa pun keheranan dan berkata, “Ya Allah, Engkau telah turunkan hujan kepada kami, padahal tak seorang pun yang keluar di hadapan manusia.”

Allah berfirman, “Aku menurunkan hujan karena seorang hamba yang karenanya hujan tak kunjung turun.”Musa brkata. “Ya Allah, tunjukka padaku hamba yang taat itu.”

Lalu Allah berfirman, “Wahai Musa, Aku tidak mebuka aibnya padahal ia bermaksiat kepada- Ku, maka apakah Aku akan membuka aibnya sedangkan ia taat (taubat) kepada- Ku?!”

Saudaraku, jelas sudah bahwa mencari-cari dan membuka aib orang lain adalah perbuatan yang amat tercela. Semoga kita tergolong orang- orang yang lebih sibuk mencari aib diri sendiri untuk kemudian memperbaikinya. Daripada mencari-cari aib orang lain apalagi tanpa memperbaikinya.

Rasulullah Saw bersabda, “Seseorang muslim dengan muslim yang lain adalah bersaudara, dia tidak boleh berbuat dzalim dan aniaya kepada saudaranya. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang membebaskan seorang muslim dari suatu kesulitan, maka Allah akan membebaskannya dari kesulitan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat kelak.” (Muttafaq alaih. –Shahih).

4.Larangan Keempat

Jangan Saling Bersaing (Kemegahan Dunia)

Dalam sejarah kita banyak menemukan kisah-kisah manusia yang hidupnya sibuk dalam kemegahan dunia. Perjalanannya adalah perjalanan mengumpulkan harta. Seolah harta yang dimiliki tidak pernah cukup. Namun ironisnya, kebanyakan dari kisah-kisah seperti itu berakhir dengan kehancuran. Salah satu kisah yang paling termahsyur adalah kisah Qarun.

Di dalam surat Al- Qashash [28] ayat 76-82 kisah Qarun dijelaskan secara terang-benderang. Bahwa Qarun adalah sepupu dari Nabi Musa AS, yang diberikan karunia oleh Allah Swt berupa harta yang berlimpah ruah banyaknya. Akan tetapi dengan harta itu ia bersikap takabur dan memamerkan kekayaannya. Sikapnya itu bahkan hampir-hampir saja mencelakakkan umat Bani Israil lainnya ikarenakan mereka merasa iri terhadapnya. Sebelum akhirnya, ia binasa disebabkan sikapnya yang mengkufuri nikmat Allah Swt.

Sungguh, Allah tiada pernah melarang hamba-hamba-Nya untuk bekerja guna mendapatkan harta. Malah, justru giat bekerja adalah bagian dari bentuk kepatuhan terhadap-Nya. Bekerja dengan giat juga salah satu bentuk menghidupkan sunnah Rasul-Nya. Bukankah Rasulullah Saw juga bekerja bahkan sejak usianya sangat belia.

Allah Swt menciptakan alam raya dengan segala kekayaannya ini adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Allah Swt berfirman,

Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi segala hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 22)

Jelas sudah, bahwa kekayaan ala mini memang diperuntukkan bagi manusia. Allah tidaklah melarang hamba-Nya untuk memiliki bagian dari kekayaan yang berlimpah itu. Akan tetapi yang dilarang oleh-Nya adalah persaingan tidak sehat dalam mendapatan kekayaan dunia. Yang dilarang oleh-Nya adalah bersikap sombong dan kufur atas kekayaannya.

Saat ini bukan hal asing ketika manusia berlomba- lomba mengumpulkan harta kekayaan, kemudian memamerkannya dengan harapan mendapat sanjungan, pujian dan pengakuan bahwa dirinya adalah orang yang kaya raya. Bukan ha lasing pula ketika manusia menghalalkan berbagai macam cara hanya demi memiliki harta. Ada yang korupsi, ada yang mencuri, memalsukan uang hingga mencoba- coba ilmu hitam

Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah pujian orang. Setelah orang lain memuji kita, maka itusama sekali tak member pengaruh apa- apa. Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah rasa puas dan bahagia, maka camkanlah bahwa justru semakin berlimpah kekayaan, semakin bertambah pula kegelisahan. Gelisah harta itu dicuri orang, gelisah harta itu berurang dan lain sebagainya.

Saudaraku, marilah kita renungkan pesan Allah Swt yang terkandung dalam surat At Takatsur ini,

Artinya: “Bermegah-megah telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu benar-benarakan melihat neraka jahiim. Dan sesungguhnya kamu enar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yakin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At Takatsur [102]: 1-8).

Penting untuk selalu kita sadari, bahwa Allah-lah pemilik segala karunia. Dia-lah Yang Maha Memberi kepada seluruh makhluk-Nya. Sedangkan manusia, tidak lebih dari sekedar makhluk yang dititipi oleh-Nya. Sungguh tidak ada artin ya apa yang kita miliki dibandingkan kekayaan-Nya.

Menyikapi kekayaan yang kita miliki, alangkah baiknya jika kita memakai teori tukang parker. Seorang tukang pasrkir tidak pernah merasa jumawa, sombong dan ujub atas berbagai kendaraan yang berada di dalam kekuasaannya . karena ia menyadari betul bahwa semua kendaraan itu hanyalah titipan semata yang dating dititipkan kepadanya untuk nanti diambil kembali oleh pemiliknya.

Demikian pula dengan harta kekayaan kita. Tiada lain hanyalah titipan Allah semata. Dia yang Maha Kaya telah menitipkannya kepada kita sebagai ujian apakah kita amanah ataukah tidak. Apakah kita menggunakan titipan- titipan-Nya itu sesuai dengan kehendak-Nya ataukah malah sebaliknya.

Tak perlu sibuk berlomba-lomba dalam kemegahan dan kekayaan. Sibuklah berlomba- lomba dalam berbagi, bersedekah, berwakaf dan amal kebaikan lainnya. Berlomba dalam kemegahan akan berujung di garis finish penyesalan. Sedangkan berlomba dalam kebaikan akan berujung di garis finish kebahagiaan.

5.Larangan Kelima

Jangan Saling Mendengki

Dengki atau hasad adalah sikap yang sangat tercela. Yaitu sikap seseorang yang tidak senang apabila melihat saudaranya mendapatkan kenikmatan, keuntungan atau karunia. Ia mengharapkan semua kebaikan itu sirna dari saudaranya, dan kalau bisa berpindah kepada dirinya.

Sebagaimana firman Allah Swt, “Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya.” (QS. Ali Imran [3]: 120)

Dengki sangatlah tercela karena penyakit ini bisa menyebabkan berbagai penyakit lain yang tidak kalah busuk nya. Yaitu dengki bisa mendatangkan rasa dendam, permusuhan, fitnah hingga  kemunafikan yang merupakan dosa besar.

Betapa berbahayanya dengki itu, sampai- sampai Allah memperingatkan kita dari karakter dengki. Allah Swt berfirman, “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subug. Dari kejahatan makhluk-Nya. Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita. Dan dari kejahatan wanita- wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul- buhul. Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” (QS Al Falaq [113]: 1-5)

Seperti seorang pedagang yang kios nya bertetanggaan dengan pedagang lain. Mereka berjualan barang- barang yang kurang lebih sama. Namun, kios pedagang X lebih ramai dikunjungi pembeli dibanding kios pedagang Y. lantas, pedagang Y tidak suka atas apa yang terjadi pada pedagang X. ia berharap dirinya lah yang mendapat keuntungan, bukan X. timbul kegelisahan dalam hati Y, sehingga ia berfikir negatif, mengharap apa yang dialami X, terjadi pada dirinya. Bahkan ia mengharapkan karunia yang dirasakan X itu berakhir.

Pendengki adalah orang yang paling rugi. Dia berbuat dzhalim yang di rugikan dan yang menderita adalah dirinya sendiri. Padahal kedengkiannya pada orang lain tak akan mengubah apa yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya. Takdir Allah terhadap seseorang tak pernah bisa dihalang-halangi oleh seorangpun atau sesuatu apapun.

Malangnya seorang pendengki adalah ia akan semakin bertambah nelangsa dan menderita jika pemberian Allah kepada orang yang di dengki itu semakin bertambah. Kedengkian adalah bukti kurang iman. Dengki itu bukti tidak ridha pada perbuatan Allah terhadap hamba-Nya. Dengki itu sikap ingin mengatur Allah sesuai hawa nafsunya. Tentulah dengki itu sikap yang tak punya adab. Yaitu adab terhadap Allah, Tuhan semesta alam.

Padahal sesungguhnya Allah berbuat sesuai kehendak-Nya pasti dengan ke Maha adilan-Nya. Harus kita bersyukur atas apa yang telah Allah karuniakan kepada kita, dan juga turut bersyukur atas apa yang Allah berikan kepada hamba- Nya yang beriman lainnya.

Setiap orang mendapatkan kapling ketentuannya masing- masing. Jangankan satu kampong, bahkan kakak-adik saja atau kembar sekalipun tetap saja berbeda. Rezeki, kemampuan, postur tubuh, jodoh dan hal lainnyatidak akan sama.

Allah Swt memerintahkan sesama muslim untuk saling mendukng, membantu, mendoakan dan turut merasa gembira atas kegembiraan yang sedang dirasakan oleh sesama muslim. Inilah yang disebut dengan sikap Ghibthah, sikap yang bertolak belakang dengan dengki.

Para ulama menerangkan bahwa Ghibthan adalah rasa ingin mendapatkan kenikmatan atau keberuntungan yang didapatkan oleh orang lain, tanpa diiringi hawa nafsu yang menginginkan kenikmatan atau keberuntungan itu hilang dari orang yang mendapatkannya. Orang yang Ghibthah juga tidak merasa benci manakala melihat orang lain mendapatkan nikmat atau keberuntungan.

Inilah yang dimaksud dengan dengki atau hasad pada hadits berikut ini. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada hasad yang dianjurkan kecuali pada dua perkara, (yaitu) (1) orang yang diberi pemahaman Al- Quran lalu dia mengamalkannya di waktu- waktu malam dan siang; dan (2) orang yang Allah karuniai harta lalu dia menginfakkannya di waktu-waktu malam dan siang.” (HR. Muslim. –Shahih).

Ghibthah terhadap dua orang yang dijelaskan dalam hadits di atas merupakan sikap yang baik. Bolehkah kita ghibthah pada urusan dunia? Hal ini memiliki hokum asal yaitu boleh. Seperti kita ingin memiliki kendaraan seperti yang dimiliki oleh saudara kita, maka itu diperbolehkan.

Namun, perlu kita waspadai bahwa sesuatu yang hukumnya boleh akan menjadi tercela jika berlebih- lebihan. Demikian juga Ghibthah dalam urusan dunia. Ini seperti  yang terjadi pada kaum Qarun. Ketika mereka melihat kemewahan dan kekayaan Qarun, maka mereka berangan- angan memiliki kemewahan seperti Qarun. Hal ini diterangkan oleh Allah Swt dalam surat Al Qashash ayat 79-80.

Adapun Ghibthah yang dianjurkan adalah Ghibthah dalam urusan akhirat. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Ghibthah dalam urusan akhirat dalah terhadap dua orang yang melakukan dua perbuatan sebagaimana disebutkan dalam hadits diatas. Atau perbuatan yang semisal dengannya.

Ghibthah dalam urusan akhirat akan mendorong kita menjadi semakin semangat dalam beramal shaleh. Melihat seorang yang hafidz Al-Quran, maka kita menjadi semangat menghafal Al- Quran. Melihat orang yang gemar bersedekah, maka kita menjadi semangat bekerja agar bisa leluasa sedekah. Emikianlah contoh Ghibthah dalam urusan akhirat

Sahabatku, dengki adalah perkara yang buruk. Lawanlah dengki dengan Ghibthah. Semoga kita tidak tergolong orang- orang yang merugi karena sesungguhnya dengki hanya mendatangkan dosa dan menyengsarakan diri sendiri.

6.Larangan Keenam

Jangan Saling Membenci

Firman Allah “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surge yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang- orang yang bertakwa. (yaitu) orang- orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang- orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang- orang yang berbuat kebajikan.” (QS Ali Imran [3]: 133-134)

Mengapa harus ada rasa saling benci jika kita ditakdirkan sebagai umat yang bersaudara satu sama lain. Persaudaraan yang jauh lebih mulia daripada persaudaraan karena ikatan darah, bahasa atau suku bangsa.

Mengapa harus ada rasa saling benci hanya karena kita berbeda daerah, berbeda suku, berbeda organisasi, berbeda partai, jika kita masih meyakini Allah sebagai satu- satunya Dzat Yang Maha Kuasa yang patut disembah. Mengapa kita saling membenci jika tuhan kita adalah sama yaitu Allah Swt dan Allah menegaskan bahwa kita bersaudara.

Sahabatku, sungguh tak ada alasan bagi kita untuk membenci saudara kita sendiri. Karena jangankan untuk membenci, kita malah tidak berhak berprasangka buruk sedikitpun kepada sesama dan muslim. Jikapun ada prasangka itu muncul, maka kita diharuskan untuk menepisnya dan sebisa mungkin mencarikan alasan agar kita tetap bisa berprasangka baik terhadapnya. Dengan diiringi itikad untuk tabayyun dan memberikan nasehat demi kebaikannya.

Tentu manusiawi jikalau kita mencintai seseorang atau membenci nya. Karena manusia diberikan karunia berupa perasaan. Akan tetapi islam diturunkan oleh Allah adalah sebagai pedoman untuk kita agar bisa mengendalikan setiap apapun karunia Allah kepada kita. Tak hanya rasa benci, bahkan rasa cinta pun perlu untuk dikendalikan.

Imam Ali bin Abi Thalibn radiyallahu’anhu pernah berkata, “Cintailah orang yang engkau cintai sekedar nya saja, sebab boleh jadi bisa jadi kelak ia akan menjadi orang yang engkau benci. Dan, bencilah orang yang engkau benci sekedarnya saja, sebab bisa jadi kelak ia akan menjadi orang yang engkau cintai.”

Membenci janganlah disebabkan karena benci terhadap fisik, melainkan bencilah dikarenakan adanya tingkah laku atau kebiasaan yang tidak di ridhai Allah Swt. Bencilah perilaku, sifat yang tidak di ridhai-Nya, janganlah membenci orangnya. Sehingga rasa benci yang demikian akan mendorong seseorang untuk mengoreksi, mengingatkan dan memperbaiki saudaranya. Benci yang demikian hakikatnya adalah cinta.

Ketika sang ayah memukul anaknya karena tidak shalat sedangkan usia anaknya sudah melewati masa baligh, maka pukulan ayahnya bukanlah kebencian, melainkan rasa cinta. Jikapun pukulan sang ayah karena kebencian, maka kebencian itu kepada perbuatan tidak shalat, bukan kebencian kepada diri anaknya. Sang ayah memukul anaknya itu agar ia shalat, agar ia mendapat pelajaran dan keselam,atan.

Bagaimana rasa mengelola rasa benci yang tidak jarang muncul di dalam hati kita terhadap seseorang. Saudaraku, kebencian kita biasanya dipicu karena ada hal pada dirinya yang tidak kita sukai. Padahal harus kita sadari, bahwa sangat sulit bahkan mustahil segala apa yang terjadi di dunia ini adalah hal- hal yang kita sukai. Apalagi setiap diri manusia bukanlah makhluk yang sempurna.

Trik yang bisa kita lakukan untuk menepis rasa benci pada seseorang adalah dengan melihat sisi lain dari diri orang itu. Karena seburuk- buruknya perilaku seseorang, ia pasti memiliki sisi baiknya. Bahkan bisa jadi kebencian kita padanya hanya disebabkan secuil perilaku kecilnya yang tidak sesuai dengan kita. Dibalik itu, boleh jadi justru amat banyak hal- hal baik yang akan kita sukai

Rasulullah Saw pernah bersabda, “Tidak boleh seorang mu’min (suami) membenci seorang mu’minah (istrinya), bila dia tidak menyenangi satu dari perilakunya, dia tentu menyukai (perilakunya) yang lain.” (HR. Muslim, –Shahih)

Apa pelajaran berharga dari hadits diatas. Hendaknya kita selalu siap menerima kenyataan bahwa orang yang memiliki hubungan dengan kita, baik itu pasangan, kerabat atau teman, tidaklah sempurna. Jika ada satu hal atau lebih yang tidak kita sukai dari dirinya, maka carilah sisi lain dari dirinya yang positif dan kita sukai. insyaAllah hal ini akan semakin mempererat persaudaraan kita dengannya

Dengan demikian, kita bisa terhindar dari perasaan saling membenci. Bahkan, kita bisa memiliki kemampuan mengelola rasa benci di dalam hati kita dan mengubahnya menjadi rasa cinta yang memperkokoh tali persaudaraan.

7. Larangan Ketujuh

Jangan Saling Bermusuhan

Saudaraku, perbuatan terakhir yang dilarang oleh Rasulullah Saw untuk dilakukan kaum muslimin adalah saling bermusuhan. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, Rasulullah Saw memperkuat hal ini,

“pintu- pintu surga dibuka pada hari senin dan kamis. Maka akan diampuni semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, kecuali dua orang laki-laki yang terdapat permusuhan antara dia dengan saudaranya. Maka dikatakan, “Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai.” (HR. Bukhari, Muslim. –Shahih).

Betapa Rasulullah Saw di dalam hadits di atas amat mengecam umatnya yang saling bermusuhan, apalagi hingga tidak mau berdamai dan saling memaafkan. Kecaman beliau sangatlah kuat sampai- sampai ancamannya adalah tidak akan diampuni dosa- dosanya, sehingga pintu surga tertutup bagi mereka.

Marilah kitra ingat kembali bagaimana Rasulullah Saw mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Kerekatan tali persaudaraan di antara mereka melampaui kerekatan berdasarkan tanah air, suku bangsa dan bahasa. Bahkan melampaui persaudaraan yang berdasarkan pertalian darah atau nasab.

Ada satu kisah yang terselip di tengah kisah agung tentang hijrahnya Rasulullah Saw bersama para sahabat dan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar yaitu kisah Saad Ibn Ar Rabi’ dan Abdurrahman Ibn ‘Auf. Saad dari kaum Anshar, sedang Abdurrahman dari kaum Muhajirin. Keduanya adalah sama-sama sahib Rasulullah Saw. Yang kaya raya.

Ketika hijrah ke Madinah, Abdurrahman tidak membawa harta kekayaannya yang ada di Mekkah. Mak, ia pun tiba di Madinah sebagai orang yang tidak berpunya. Kemudian, Rasulullah Saw mempersaudarakannya dengan Saad. Saad pun seketika itu menawarkan bagian dari kekayaan untuk dimiliki oleh Abdurrahman. Bahkan, Saad menawarkan salah satu istrinya untuk diceraikan dan kemudian diperistri oleh Abdurrahman. Namun, meskipun Saad menawarkan semua itu dengan penuh kesungguhan, Abdurrahman menolaknya secara halus dan memilih untuk berusaha sendiri melalui perniagaan.

Membaca penggalan kisah kedua sahabat Rasulullah ini, maka kita bisa melihat betapa agungnya persaudaraan sesama muslim. Sungguh, tak ada keuntungan yang akan kita dapatkan dari permusuhan selain dari sesaknya hati dan rasa gelisah manakala berjumpa dengan saudara yang bermusuhan dengan kita.

Oleh karena itu berbesar jiwalah, lapangkanlah hati kita untuk mau memohon maaf dan memberi maaf. Sebagai gambaran, jikalau kita berada di dalam sebuah kamar yang sempit, dan dikamar itu ada seekor tikus kecil, maka sungguh terasa sengsaranya kita. Betapa tikus itu akan menjadi masalah yang terasa amat besar buat kita. Namun, jikalau kita berada di dalam ruang yang sangat luas yang bahkan seolah tak berbatas, maka jika ada seekor gajah besar di dalam ruangan itu tak akan menjadi masalah besar untuk kita.

Demikianlah jika kita memiliki kebesaran jiwa dan kelapangan hati. Rasa kesal, marah dan permusuhan dengansaudara kita, tidak akan menjadi masalah untuk kita. Karena kita akan memiliki kemudahan untuk mau meminta maaf dan member maaf.

Allah Swt berfirman,“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang- orang yang bodoh.” (QS. Al A’raf [7]: 199)

“..Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang- orang yang dzhalim.” (QS. Asy Syura [42]: 40)

Dua ayat diatas lebih dari cukup bagi kita untuk menyadari bahwa Allah Swt sangat mencintai hamba-Nya yang ringan dalam member maaf. Rasulullah Saw menegaskankedua ayat di atas dengan haditsnya sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda,

“Barangsiapa pernah melakukan kedzhaliman terhadap saudaranya, baik menyangkut kehormatannya atau sesuatu yang lain, maka hendaklah ia minta dihalalkan darinya hari ini, sebelum dinar dan dirham tidak berguna lagi (hari kiamat). (kelak) jika dia memiliki amal shaleh, akan diambil darinya seukuran kedzhalimannya. Dan jika dia tidakmempunyai kebaikan (lagi), akan diambil dari keburukan saudara (yang dizhalimi) kemudian dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari. –Shahih).

Masya Allah, betapa besarnya urusan maaf- memaafkan ini dalam agama kita. Saking besarnya, Rasulullah amat menekankan kepada kita untuk bersegera dalam meminta maaf dan memaafkan apabila memiliki kesalahan terhadap sesama.

Karena jika hal itu tekat, yaitu ketika belum mendapatkan maaf dari orang yang kita dzhalimi, maka kita akan menjadi orang yang rugi di akhirat. Kenapa? Karena amal kebaikan kita akan diberikan pada orang yang kita dzhalimi seukuran dengan kedzhaliman yang kita lakukan terhadapnya. Sedangkan jika itu belum juga memenuhi, maka keburukan dirinya akan dialihkan kepada kita. Na’udzubillahimindzalik!

Oleh karena itulah selain ampunan dari Allah Swt, terdapat juga dosa- dosa yang tidak terhapus kecuali mendapatkan maaf dari orang yang di dzhalimi atau disakiti. Memang bisa jadi orang yang didzhalimi itu memiliki keluasan hati sehingga ia memaafkan sebelum dimintai maaf, akan tetapi, mungkin juga sebaliknya, ia diam namun memendam marah tanpa mau memberikan maaf. Hal ini sebagaimana kisah Al Qomah dengan ibunya.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas RA, disebutkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda, “Tidaklah shadaqah itu mengurangi harta; tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan sifat memberi maaf, kecuali kemuliaan; dan tidaklah seorang hamba merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim. Shahih)

Rasulullah Saw juga pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Maukah kalian aku tunjukkan akhlak yang paling mulia di dunia dan di akhirat? Memberi maaf orang yang mendzhalimimu, memberi orang yang menghalangimu, dan menyambung silaturahim orang yang memutuskan (silaturahim dengan)mu.” (HR. Baihaqi.  Marfu’).

Permusuhan hendaklah dilawan dengan semangat saling maaf- memaafkan. Karena semangat ini adalah bukti keimanan terhadap Allah dan Rasul- Nya, serta wujud nyata persaudaraan di dalam islam. Semoga kita menjadi bagian dari golongan orang- orang memiliki semangat tersebut dan termasuk golongan yang dijanjikan surge oleh Allah Swt.

Referensi : 7 Larangan Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam














Penyebabnya Mengapa Sudah Bersedekah Tetapi Tidak Berpahala

Penyebabnya Mengapa Sudah Bersedekah Tetapi Tidak Berpahala. Sedekah menjadi salah satu amalan yang disukai oleh Allah SWT bila dilakukan oleh hamba-Nya. Meski demikian, tidak semua sedekah ternyata diterima oleh Allah SWT. Kemudia, bagaimana sedekah yang tak mendatangkan pahala dan tak diterima oleh Allah SWT?

Allah berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 262, "Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahinya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka."

Dengan kata lain, pahala sedekah dapat hilang bila orang yang bersedekah tersebut menyebut-nyebut pemberiannya. Apalagi kalau sampai ia menyakiti perasaan orang yang ia berikan sedekah tersebut. Begitupula kondisinya terhadap mereka yang pamer saat bersedekah.

Ini ditegaskan Allah SWT dalam Surat Baqarah ayat 264, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian."

Dijelaskan pula bahwa ada hal yang lebih baik dilakukan ketimbang melakukan sedekah sambil pamer. Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah Ayat 263, "Perkataan yang baik dan pemberian ma'af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun." Semoga kita tidak termasuk golongan orang-orang tersebut. Amin.

Referensi : Penyebabnya Mengapa Sudah Bersedekah Tetapi Tidak Berpahala

















Aku ingin bertaubat hanya saja dosaku terlalu banyak dan besar, sangat sulit untuk bertaubat dengan sempurna, apakah Allah Swt masih mengampuni?

Ilustrasi : Aku ingin bertaubat hanya saja dosaku terlalu banyak dan besar, sangat sulit untuk bertaubat dengan sempurna, apakah Allah Swt masih mengampuni

“Aku ingin bertaubat hanya saja dosaku terlalu banyak. Aku pernah terjerumus dalam zina. Sampai-sampai aku pun hamil dan sengaja membunuh jiwa dalam kandungan. Aku ingin berubah dan bertaubat. Mungkinkah Allah mengampuni dosa-dosaku?!”

Sebagai nasehat dan semoga tidak membuat kita berputus dari rahmat Allah, cobalah kita lihat sebuah kisah yang pernah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. Semoga kita bisa mengambil pelajaran-pelajaran berharga di dalamnya.

Kisah Taubat Pembunuh 100 Jiwa

Kisah ini diriwayatkan dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinaan Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أنّ نَبِيَّ الله – صلى الله عليه وسلم – ، قَالَ : (( كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وتِسْعينَ نَفْساً ، فَسَأَلَ عَنْ أعْلَمِ أَهْلِ الأرضِ ، فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ ، فَأَتَاهُ . فقال : إنَّهُ قَتَلَ تِسعَةً وتِسْعِينَ نَفْساً فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوبَةٍ ؟ فقالَ : لا ، فَقَتَلهُ فَكَمَّلَ بهِ مئَةً ، ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الأَرضِ ، فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ . فقَالَ : إِنَّهُ قَتَلَ مِئَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ ؟ فقالَ : نَعَمْ ، ومَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وبَيْنَ التَّوْبَةِ ؟ انْطَلِقْ إِلى أرضِ كَذَا وكَذَا فإِنَّ بِهَا أُناساً يَعْبُدُونَ الله تَعَالَى فاعْبُدِ الله مَعَهُمْ ، ولاَ تَرْجِعْ إِلى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أرضُ سُوءٍ ، فانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ ، فاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلائِكَةُ الرَّحْمَةِ ومَلائِكَةُ العَذَابِ . فَقَالتْ مَلائِكَةُ الرَّحْمَةِ : جَاءَ تَائِباً ، مُقْبِلاً بِقَلبِهِ إِلى اللهِ تَعَالَى ، وقالتْ مَلائِكَةُ العَذَابِ : إنَّهُ لمْ يَعْمَلْ خَيراً قَطُّ ، فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ في صورَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ

– أيْ حَكَماً – فقالَ : قِيسُوا ما بينَ الأرضَينِ فَإلَى أيّتهما كَانَ أدنَى فَهُوَ لَهُ . فَقَاسُوا فَوَجَدُوهُ أدْنى إِلى الأرْضِ التي أرَادَ ، فَقَبَضَتْهُ مَلائِكَةُ الرَّحمةِ )) مُتَّفَقٌ عليه .

“Dahulu pada masa sebelum kalian ada seseorang yang pernah membunuh 99 jiwa. Lalu ia bertanya tentang keberadaan orang-orang yang paling alim di muka bumi. Namun ia ditunjuki pada seorang rahib. Lantas ia pun mendatanginya dan berkata, ”Jika seseorang telah membunuh 99 jiwa, apakah taubatnya diterima?” Rahib pun menjawabnya, ”Orang seperti itu tidak diterima taubatnya.” Lalu orang tersebut membunuh rahib itu dan genaplah 100 jiwa yang telah ia renggut nyawanya.

Kemudian ia kembali lagi bertanya tentang keberadaan orang yang paling alim di muka bumi. Ia pun ditunjuki kepada seorang ‘alim. Lantas ia bertanya pada ‘alim tersebut, ”Jika seseorang telah membunuh 100 jiwa, apakah taubatnya masih diterima?” Orang alim itu pun menjawab, ”Ya masih diterima. Dan siapakah yang akan menghalangi antara dirinya dengan taubat? Beranjaklah dari tempat ini dan ke tempat yang jauh di sana karena di sana terdapat sekelompok manusia yang menyembah Allah Ta’ala, maka sembahlah Allah bersama mereka. Dan janganlah kamu kembali ke tempatmu(yang dulu) karena tempat tersebut adalah tempat yang amat jelek.”

Laki-laki ini pun pergi (menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut). Ketika sampai di tengah perjalanan, maut pun menjemputnya. Akhirnya, terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat adzab. Malaikat rahmat berkata, ”Orang ini datang dalam keadaan bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Allah”. Namun malaikat adzab berkata, ”Orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun”. Lalu datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia, mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai pemutus perselisihan mereka. Malaikat ini berkata, ”Ukurlah jarak kedua tempat tersebut (jarak antara tempat jelek yang dia tinggalkan dengan tempat yang baik yang ia tuju -pen). Jika jaraknya dekat, maka ia yang berhak atas orang ini.” Lalu mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut dan mereka dapatkan bahwa orang ini lebih dekat dengan tempat yang ia tuju. Akhirnya,ruhnya pun dicabut oleh malaikat rahmat.”1

Beberapa Faedah Hadits

Pertama: Luasnya ampunan Allah

Hadits ini menunjukkan luasnya ampunan Allah. Hal ini dikuatkan dengan hadits lainnya,

حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « قَالَ اللَّهُ يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِى وَرَجَوْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً »

Anas bin Malik menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau menyeru dan mengharap pada-Ku, maka pasti Aku ampuni dosa-dosamu tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya dosamu membumbung tinggi hingga ke langit, tentu akan Aku ampuni, tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya seandainya engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikit pun pada-Ku, tentu Aku akan mendatangi-Mu dengan ampunan sepenuh bumi pula.”2

Kedua: Allah akan mengampuni setiap dosa meskipun dosa besar selama mau bertaubat

Selain faedah dari hadits ini, kita juga dapat melihat pada firman Allah Ta’ala,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar: 53). Ibnu Katsir mengatakan, ”Ayat yang mulia ini berisi seruan kepada setiap orang yang berbuat maksiat baik kekafiran dan lainnya untuk segera bertaubat kepada Allah. Ayat ini mengabarkan bahwa Allah akan mengampuni seluruh dosa bagi siapa yang ingin bertaubat dari dosa-dosa tersebut, walaupun dosa tersebut amat banyak, bagai buih di lautan. ”3

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah akan mengampuni setiap dosa walaupun itu dosa kekufuran, kesyirikan, dan dosa besar (seperti zina, membunuh dan minum minuman keras). Sebagaimana Ibnu Katsir mengatakan, ”Berbagai hadits menunjukkan bahwa Allah mengampuni setiap dosa (termasuk pula kesyirikan) jika seseorang bertaubat. Janganlah seseorang berputus asa dari rahmat Allah walaupun begitu banyak dosa yang ia lakukan karena pintu taubat dan rahmat Allah begitu luas.”4

Ketiga: Janganlah membuat seseorang putus asa dari rahmat Allah

Ketika menjelaskan surat Az Zumar ayat 53 di atas, Ibnu Abbas mengatakan, “Barangsiapa yang membuat seorang hamba berputus asa dari taubat setelah turunnya ayat ini, maka ia berarti telah menentang Kitabullah ‘azza wa jalla. Akan tetapi seorang hamba tidak mampu untuk bertaubat sampai Allah memberi taufik padanya untuk bertaubat.”5

empat: Seseorang yang melakukan dosa beberapa kali dan ia bertaubat, Allah pun akan mengampuninya

Sebagaimana disebutkan pula dalam hadits lainnya, dari Abu Huroiroh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang diceritakan dari Rabbnya ‘azza wa jalla,

أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا فَقَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِى ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ. ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ أَىْ رَبِّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَبْدِى أَذْنَبَ ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ. ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ أَىْ رَبِّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِى ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ

“Ada seorang hamba yang berbuat dosa lalu dia mengatakan ‘Allahummagfirliy dzanbiy’ [Ya Allah, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, lalu dia mengatakan, ‘Ay robbi agfirli dzanbiy’ [Wahai Rabb, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, lalu dia mengatakan, ‘Ay robbi agfirli dzanbiy’ [Wahai Rabb, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa. Beramallah sesukamu, sungguh engkau telah diampuni.”6 An Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ‘beramallah sesukamu’ adalah selama engkau berbuat dosa lalu bertaubat, maka Allah akan mengampunimu.

An Nawawi mengatakan, ”Seandainya seseorang berulang kali melakukan dosa hingga 100 kali, 1000 kali atau lebih, lalu ia bertaubat setiap kali berbuat dosa, maka pasti Allah akan menerima taubatnya setiap kali ia bertaubat, dosa-dosanya pun akan gugur. Seandainya ia bertaubat dengan sekali taubat saja setelah ia melakukan semua dosa tadi, taubatnya pun sah.”7

Ya Rabb, begitu luas sekali rahmat dan ampunan-Mu terhadap hamba yang hina ini …

Kelima: Diterimanya taubat seorang pembunuh

An Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Ini adalah madzhbab para ulama dan mereka pun berijma’ (bersepakat) bahwa taubat seorang yang membunuh dengan sengaja, itu sah. Para ulama tersebut tidak berselisih pendapat kecuali Ibnu ‘Abbas. Adapun beberapa perkataan yang dinukil dari sebagian salaf yang menyatakan taubatnya tidak diterima, itu hanyalah perkataan dalam maksud mewanti-wanti besarnya dosa membunuh dengan sengaja. Mereka tidak memaksudkan bahwa taubatnya tidak sah.”8

Keenam: Orang yang bertaubat hendaknya berhijrah dari lingkungan yang jelek

An Nawawi mengatakan, ”Hadits ini menunjukkan orang yang ingin bertaubat dianjurkan untuk berpindah dari tempat ia melakukan maksiat.”9

Ketujuh: Memperkuat taubat yaitu berteman dengan orang yang sholih

An Nawawi mengatakan, ”Hendaklah orang yang bertaubat mengganti temannya dengan teman-teman yang baik, sholih, berilmu, ahli ibadah, waro’dan orang-orang yang meneladani mereka-mereka tadi. Hendaklah ia mengambil manfaat ketika bersahabat dengan mereka.”10

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati kita.

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.”11

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Dan hadits ini juga menunjukkan dorongan agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”12

Kedelapan: Keutamaan ilmu dan orang yang berilmu

Dalam hadits ini dapat kita ambil pelajaran pula bahwa orang yang berilmu memiliki keutamaan yang luar biasa dibanding ahli ibadah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits lainnya, dari Abu Darda’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ

”Dan keutamaan orang yang berilmu dibanding seorang ahli ibadah adalah bagaikan keutamaan bulan pada malam purnama dibanding bintang-bintang lainnya.”13 Al Qodhi mengatakan, ”Orang yang berilmu dimisalkan dengan bulan dan ahli ibadah dimisalkan dengan bintang karena kesempurnaan ibadah dan cahayanya tidaklah muncul dari ahli ibadah. Sedangkan cahaya orang yang berilmu berpengaruh pada yang lainnya.”14

Kesembilan: Orang yang berfatwa tanpa ilmu hanya membawa kerusakan

Lihatlah bagaimana kerusakan yang diperbuat oleh ahli ibadah yang berfatwa tanpa dasar ilmu. Ia membuat orang lain sesat bahkan kerugian menimpa dirinya sendiri. Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Umar bin ‘Abdul ‘Aziz,

مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ

”Barangsiapa beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada perbaikan yang dilakukan.”15

Syarat Diterimanya Taubat

Syarat taubat yang mesti dipenuhi oleh seseorang yang ingin bertaubat adalah sebagai berikut:

Pertama: Taubat dilakukan dengan ikhlas, bukan karena makhluk atau untuk tujuan duniawi.

Kedua: Menyesali dosa yang telah dilakukan sehingga ia pun tidak ingin mengulanginya kembali.

Ketiga: Tidak terus menerus dalam berbuat dosa. Maksudnya, apabila ia melakukan keharaman, maka ia segera tinggalkan dan apabila ia meninggalkan suatu yang wajib, maka ia kembali menunaikannya. Dan jika berkaitan dengan hak manusia, maka ia segera menunaikannya atau meminta maaf.

Keempat: Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut lagi karena jika seseorang masih bertekad untuk mengulanginya maka itu pertanda bahwa ia tidak benci pada maksiat.

Kelima: Taubat dilakukan pada waktu diterimanya taubat yaitu sebelum datang ajal atau sebelum matahari terbit dari arah barat. Jika dilakukan setelah itu, maka taubat tersebut tidak lagi diterima.

Inilah syarat taubat yang biasa disebutkan oleh para ulama.

Saudaraku yang sudah bergelimang maksiat dan dosa. Kenapa engkau berputus asa dari rahmat Allah? Lihatlah bagaimana ampunan Allah bagi setiap orang yang memohon ampunan pada-Nya. Orang yang sudah membunuh 99 nyawa + 1 pendeta yang ia bunuh, masih Allah terima taubatnya. Lantas mengapa engkau masih berputus asa dari rahmat Allah?!

Orang yang dulunya bergelimang maksiat pun setelah ia taubat, bisa saja ia menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Ia bisa menjadi muslim yang sholih dan muslimah yang sholihah. Itu suatu hal yang mungkin dan banyak sekali yang sudah membuktikannya. Mungkin engkau pernah mendengar nama Fudhail bin Iyadh. Dulunya beliau adalah seorang perampok. Namun setelah itu bertaubat dan menjadi ulama besar. Itu semua karena taufik Allah. Kami pun pernah mendengar ada seseorang yang dulunya terjerumus dalam maksiat dan pernah menzinai pacarnya. Namun setelah berhijrah dan bertaubat, ia pun menjadi seorang yang alim dan semakin paham agama. Semua itu karena taufik Allah. Dan kami yakin engkau pun pasti bisa lebih baik dari sebelumnya. Semoga Allah beri taufik.

Ingatlah bahwa orang yang berbuat dosa kemudia ia bertaubat dan Allah ampuni, ia seolah-olah tidak pernah berbuat dosa sama sekali. Dari Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdillah dari ayahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ

”Orang yang bertaubat dari suatu dosa seakan-akan ia tidak pernah berbuat dosa itu sama sekali.”16

Setiap hamba pernah berbuat salah, namun hamba yang terbaik adalah yang rajin bertaubat. Dari Anas, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ بَنِى آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Semua keturunan Adam adalah orang yang pernah berbuat salah. Dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat.”17

Orang yang bertaubat akan Allah ganti kesalahan yang pernah ia perbuat dengan kebaikan. Sehingga seakan-akan yang ada dalam catatan amalannya hanya kebaikan saja. Allah Ta’ala berfirman,

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

”Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Furqon: 70)

Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Allah akan mengganti amalan kejelekan yang diperbuat seseorang dengan amalan sholih. Allah akan mengganti kesyirikan yang pernah ia perbuat dengan keikhlasan. Allah akan mengganti perbuatan maksiat dengan kebaikan. Dan Allah pun mengganti kekufurannya dahulu dengan keislaman.”18

Sekarang, segeralah bertaubat dan memenuhi syarat-syaratnya. Lalu perbanyaklah amalan kebaikan dengan melaksanakan yang wajib-wajib dan sempurnakan dengan shalat sunnah, puasa sunnah dan sedekah, karena amalan kebaikan niscaya akan menutupi dosa-dosa yang telah engkau perbuat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan sebuah nasehat berharga kepada Abu Dzar Al Ghifariy Jundub bin Junadah,

اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada dan ikutkanlah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan akan menghapuskannya dan berakhlaqlah dengan sesama dengan akhlaq yang baik.”19

Semoga Allah menerima setiap taubat dan ampunan kita. Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita untuk menggapai ridho-Nya. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.








Hindari Ghibah, Hukumannya Sangat Berat

Ghibah atau membicarakan aib seseorang dalam Islam termasuk perbuatan tercela. Bahkan, termasuk dosa dan sebaiknya dihindari.

Apalagi, ghibah ini sering terjadi dalam bahasa pergaulan kita. Seperti, 'eh si A kok gini, eh si B ternyata begituloh'.. dan seterusnya. Padahal, belum tentu kebenarannya. Bahkan kata ghibah sendiri seringkali menjadi bahan candaan.

Secara khusus ada firman Allah SWT dalam Alquran yang mengisahkan mereka yang gemar bergunjing ini. Allah SWT menggambarkan perilaku ghibah atau menggunjing membicarakan kejelekan orang lain dalam Surat Hujurat Ayat 12:

"Wahai orang-orang beriman jauhilah banyaknya prasangka sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, janganlah kalian mencari-cari kesalahan, jangan menggunjing sebagian terhadap sebagian, apakah engkau senang jika makan daging bangkai saudaranya? Maka kalian membencinya, dan takutlah kepada Allah sesungguhnya Allah menerima taubat dan maha penyayang."

Hindari Ghibah, Hukumannya Berat

Dalam kitab Adzkar karya Imam Nawawi disebutkan hukum ghibah itu haram dan hukumannya bahkan dianggap lebih berat dari zina.

Bedanya, jika zina seseorang bisa bertaubat dengan sungguh-sungguh (Taubat nasuha) dan lewat izin Allah bisa diterima taubatnya. Tapi ghibah beda.

Dosa ghibah baru diampuni ketika ia mendapatkan maaf dari seseorang yang digunjingkan itu. Ini berdasarkan hadis Nabi SAW yang artinya:

"Ghibah itu lebih berat dari zina. Seorang sahabat bertanya, 'Bagaimana bisa?' Rasulullah SAW menjelaskan, 'Seorang laki-laki yang berzina lalu bertobat, maka Allah bisa langsung menerima tobatnya. Namun pelaku ghibah tidak akan diampuni sampai dimaafkan oleh orang yang dighibahnya," (HR At-Thabrani).

Bagi muslim, ghibah itu dilarang karena itu bisa merusak sendi-sendi persaudaraan yang dibangun (ukhuwah). Tapi tidak hanya sesama Muslim, larangan itu juga berlaku untuk semua manusia.

Ghibah merusak persaudaraan

Itulah alasan, kenapa seorang muslim disuruh untuk menjaga lisan agar tidak terjebak pada pergunjingan. Sebab, biasanya, dalam sebuah ghibah ada potensi untuk merendahkan orang lain dan kita bisa terjebak pada kesombongan.

"Orang Islam itu saudara bagi orang Islam lain, jangan saling mengkhianati, jangan saling membohongi, dan jangan saling merendahkan, setiap Muslim atas Muslim yang lain itu haram rahasianya, hartanya dan darahnya, taqwa itu ada di sini (dalam hati) cukup seseorang dikatakan jelek jika memandang rendah saudaranya Muslim. (HR Tirmidzi). Semoga kita semua terhindar dari Ghibah maupun jadi korban ghibah.

Referensi : Hindari Ghibah, Hukumannya Sangat Berat












Dosa Menggunjing Orang Lain Lebih Besar ketimbang Zina

Ghibah atau menggunjing orang lain adalah salah satu penyakit hati yang dialami banyak orang di masa kini. Ghibah ternyata perbuatan yang sangat buruk dan bisa menimbulkan dosa besar bagi pelakunya.

Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam menjelaskan bahwa ghibah adalah perbuatan menggunjing orang lain, mungkin saja teman atau bahkan saudara. Isi gunjingan itu tidak disukai oleh teman atau saudara tersebut. Inilah definisi ghibah yang disampaikan oleh Rasulullah kepada para sahabat.

Ghibah adalah jika engkau membicarakan sesuatu yang jelek pada seseorang. Itu disebut mengghibah atau menggunjingnya. Jika yang dibicarakan adalah sesuatu yang tidak benar ada padanya, maka itu berarti menfitnah (menuduh tanpa bukti)." Demikian pula dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 167)

Dosa ghibah atau menggunjing orang lain dijeaskan dalam firman Allah Subhanahu wa ta'ala berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menerima Tobat lagi Maha Penyayang." (QS Al Hujurat: 12)

benarkah dosa ghibah atau menggunjing lebih besar dari zina?

Dijelaskan bahwa dosa ghibah berat dari dosa zina:

الْغِيبَةُ أَشَدُّ مِنَ الزِّنَا . قِيلَ: وَكَيْفَ؟ قَالَ: الرَّجُلُ يَزْنِي ثُمَّ يَتُوبُ، فَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَإِنَّ صَاحِبَ الْغِيبَةِ لَا يُغْفَرُ لَهُ حَتَّى يَغْفِرَ لَهُ صَاحِبُهُ

Artinya: "Ghibah itu lebih berat dari zina. Seorang sahabat bertanya, 'Bagaimana bisa?' Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam menjelaskan, 'Seorang laki-laki yang berzina lalu bertobat, maka Allah bisa langsung menerima tobatnya. Namun pelaku ghibah tidak akan diampuni sampai dimaafkan oleh orang yang dighibahnya'." (HR At-Thabrani)

Referensi : Dosa Menggunjing Orang Lain Lebih Besar ketimbang Zina












Ghibah adalah Menggunjingkan Orang Lain, Dosanya Lebih Besar dari Zina

Ghibah adalah salah satu perbuatan dosa yang dibenci Allah SWT. Dalam kehidupan sehari-hari, ghibah adalah perbuatan yang sangat mudah dilakukan, bahkan tanpa disadari. Ghibah menjadi istilah populer dalam masyarakat untuk menyebut perilaku bergunjing atau bergosip. Dalam kehidupan sehari-hari, ghibah adalah perilaku tercela. Ghibah bisa membawa kerugian, bukan hanya untuk orang lain, tapi juga untuk diri sendiri. Maka dari itu, ghibah adalah perbuatan yang harus dijauhi dalam hidup. 

Dalam Islam, perilaku ghibah adalah perilaku yang pasti akan menuai ganjaran di dunia dan akhirat. Ghibah adalah perbuatan zalim yang sangat dilaknat oleh Allah SWT

Secara etimologi, ghibah berasal dari bahasa Arab dari kata ghaabaha yaghiibu ghaiban yang berarti ghaib, tidak hadir. Berdasarkan etimologi ini dapat dipahami, gibah adalah bentuk “ketidakhadiran seseorang” dalam sebuah pembicaraan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gibah adalah kegiatan membicarakan keburukan (keaiban) orang lain atau bergunjing.

Ghibah adalah perbuatamembicarakan aib atau keburukan orang lain. Bahkan meskipun yang dibicarakan itu sesuai kenyataan, ghibah tetaplah perbuatan yang zalim.

Dalam Islam, gibah bukan perilaku yang terpuji dan sangat dilarang karena berisiko menimbulkan fitnah. Orang yang berghibah bahkan diibaratkan seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. Selain itu, ghibah adalah perbuatan yang sangat dekat dengan perbuatan tercela lainnya seperti fitnah, iri, dan dengki.

Ghibah merupakan perilaku yang dilaknat oleh Allah SWT. Hal ini bahkan tercantum dalam Al-Qur'an dan hadis. Allah berfirman dalam Surat An-Nur Ayat 19:

"Siapapun gemar menceritakan atau menyebarluaskan kejelekan saudara Muslim kepada orang lain diancam dengan siksa yang pedih di dunia dan di akhirat."

Allah menggambarkan perilaku orang yang suka menggunjing dan membicarakan orang lain dalam Surat Hujurat Ayat 12:

"Wahai orang-orang beriman jauhilah banyaknya prasangka sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, janganlah kalian mencari-cari kesalahan, jangan menggunjing sebagian terhadap sebagian, apakah engkau senang jika makan daging bangkai saudaranya? Maka kalian membencinya, dan takutlah kepada Allah sesungguhnya Allah menerima taubat dan Maha penyayang."

Rasulullah pun melarang umatnya untuk berghibah. Diriwayatkan dalam Hadis Tirmidzi, Rasulullah bersabda,

"Orang Islam itu saudara bagi orang Islam lain, jangan saling mengkhianati, jangan saling membohongi, dan jangan saling merendahkan, setiap Muslim atas Muslim yang lain itu haram rahasianya, hartanya dan darahnya, taqwa itu ada disini (dalam hati) cukup seseorang dikatakan jelek jika memandang rendah saudaranya Muslim."

“ Ghibah itu lebih berat dari zina. Seorang sahabat bertanya, ‘Bagaimana bisa?’ Rasulullah SAW menjelaskan, ‘Seorang laki-laki yang berzina lalu bertobat, maka Allah bisa langsung menerima tobatnya. Namun pelaku ghibah tidak akan diampuni sampai dimaafkan oleh orang yang dighibahnya,” (HR At-Thabrani).

Tak hanya itu, diriwayatkan bahwa Allah pernah berfirman kepada Nabi Musa AS,

“ Siapa saja yang meninggal dunia dalam keadaan bertaubat dari perbuatan ghibah, maka dia adalah orang terakhir masuk surga. Dan siapa saja yang meninggal dalam keadaan terbiasa berbuat ghibah, maka dia adalah orang yang paling awal masuk neraka.”

Lebih bahaya lagi, kelak di akhirat orang yang suka ghibah akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah oleh orang yang dighibahnya. Amal kebaikannya dibayarkan kepada orang-orang yang pernah dizaliminya, termasuk kepada orang yang telah dighibahnya. Setelah amal kebaikannya habis, amal keburukan orang-orang yang dizaliminya ditimpakan kepada dirinya.

Mengingat pedihnya ganjaran akibat ghibah

Ghibah yang diucapkan akan dicatat oleh malaikat dan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman.

“ Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Qaf : 18)

Menjauhi orang yang yang sering ghibah

Tidak dapat dipungkiri lagi jika nyatanya pergaulan merupakan hal yang dapat membawa dampak besar pada kehidupan sehari-hari. Ketika kamu bergaul dengan orang-orang dengan kelakuan baik, maka dengan sendirinya akan ikut terpengaruh dan melakukan hal-hal yang baik pula.

Sebaliknya, ketika kamu bergaul dengan orang yang berperilaku buruk, maka hal ini juga akan membentuk kepribadianmu juga. Jika ingin menghindari perilaku ghibah tentu kamu harus menghindari orang yang gemar melakukan ghibah.

Perbanyak ilmu agama

Orang yang mengetahui ilmu agama akan menjauhi ghibah. Mengikuti kajian, membaca Al-Qur'an dan tafsirnya, dan selalu berpikir positif dapat menjauhkan diri dari menggunjingkan orang lain.

Diam atau tidak menanggapi

Agar tidak terjerumus dalam perkataan ghibah, maka cara mudah menghindarinya adalah dengan diam. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“ Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)

Menasehati pelaku ghibah untuk menyudahinya

Kamu dapat mengatakan dan mengingatkan pelaku ghibah bahwasannya perbuatanya itu salah. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, rubahlah dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, rubahlah dengan lidahnya. Jika dia tidak mampu, rubahlah dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemah iman” (HR Muslim 70)

Referensi : Ghibah adalah Menggunjingkan Orang Lain, Dosanya Lebih Besar dari Zina













Perilaku yang diibaratkan memakan bangkai saudara sendiri sesuai Surah Al-Hujurat

Perilaku yang diibaratkan memakan bangkai saudara sendiri sesuai Surah Al-Hujurat. Islam melarang umatnya untuk berprasangka buruk dan ghibah atau bergunjing. Larangan itu salah satunya disebutkan dalam firman Allah SWT di Surat Al Hujarat ayat 12. Surat Al Hujurat terdiri dari 18 ayat, merupakan surat ke-49 dan tergolong surat Madaniyah.

Surat Al Hujurat turun sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah, tepatnya tahun 9 hijriah. Al Hujurat (الحجرات) yang menjadi nama surat ini diambil dari ayat 4. Arti Al Hujurat sendiri adalah kamar-kamar, yakni kamar-kamar tempat kediaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan istri-istri beliau.

Berikut bunyi tasfiran surat Al Hujurat ayat 12 yang bisa diterapkan sebagai pedoman kehidupan sehari-hari.

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا اجۡتَنِبُوۡا كَثِيۡرًا مِّنَ الظَّنِّ اِنَّ بَعۡضَ الظَّنِّ اِثۡمٌ‌ۖ وَّلَا تَجَسَّسُوۡا وَلَا يَغۡتَبْ بَّعۡضُكُمۡ بَعۡضًا‌ ؕ اَ

يُحِبُّ اَحَدُكُمۡ اَنۡ يَّاۡكُلَ لَحۡمَ اَخِيۡهِ مَيۡتًا فَكَرِهۡتُمُوۡهُ‌ ؕ وَاتَّقُوا اللّٰهَ‌ ؕ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيۡمٌ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.

Bacaan Surat dalam Alquran. Foto: Unsplash

Tafsir Surat Al Hujurat Ayat 12

Poin pertama dari Surat Al Hujurat ayat 12, Allah SWT memerintahkan orang beriman untuk menjauhi prasangka buruk.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. (QS. Al Hujurat: 12)

Kata ijtanibuu (إجتنبوا) berasal dari kata janb (جنب) yang artinya adalah samping. Mengesampingkan sesuatu berarti menjauhkan dari jangkauan tangan. Penambahan huruf ta’ (ت) berfungsi penekanan sehingga artinya bersungguh-sungguhlah menjauhi.

Kedua, kata katsiran (كثيرا) artinya adalah banyak. Berikutnya, kata dhan (ظن) artinya adalah dugaan. Namun dalam ayat ini, dhan yang dilarang dan menjadi dosa adalah dugaan buruk.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, melalui surat Al Hujurat ayat 12 ini, Allah melarang hamba-hambaNya yang beriman untuk berprasangka buruk. Yakni mencurigai orang lain dengan tuduhan buruk yang tidak berdasar. Karena sebagian dugaan itu adalah murni dosa, maka harus dijauhi.

2. Jangan Memata-matai dan Mencari-cari Keburukan

Poin kedua dari Surat Al Hujurat ayat 12, Allah melarang memata-matai dan mencari-cari keburukan orang lain.

..Dan janganlah mencari-cari keburukan orang.. (QS. Al Hujurat: 12)

Kata tajassasuu (تجسسوا) berasal dari kata jassa (جس), yaitu upaya mencari tahu dengan cara tersembunyi. Dari kata itu pula, mata-mata disebut jaasus (جاسوس).

Dalam Tafsir Fi Zilalil Quran, tajassus kadang-kadang merupakan kegiatan yang mengiringi dugaan dan kadang-kadang sebagai kegiatan awal untuk menyingkap aib dan mengetahui keburukan seseorang. Alquran memberantas praktik yang hina ini dari segi akhlak, guna membersihkan kalbu dari kecenderungan yang buruk seperti mengungkap aib dan keburukan orang lain.

Poin ketiga dari Surat Al Hujurat ayat 12, Allah melarang ghibah. Ghibah adalah membicarakan sesuatu tentang orang yang tidak hadir yang jika orang tersebut mengetahuinya maka dia tidak suka.

Ghibah diibaratkan makan bangkai saudaranya. Di masa Rasulullah, kadang bau busuk ghibah benar-benar tercium. Imam Ahmad meriwayatkan, ketika Jabir bin Abdullah dan sejumlah sahabat bersama Rasulullah, terciumlah bau bangkai yang sangat busuk. Maka Rasulullah bersabda:

أَتَدْرُونَ مَا هَذِهِ الرِّيحُ هَذِهِ رِيحُ الَّذِينَ يَغْتَابُونَ الْمُؤْمِنِينَ

“Tahukah kalian, bau apakah ini? Ini adalah bau orang-orang yang suka menggunjing orang lain.” (HR. Ahmad).


Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12: Jangan Suuzan dan Suka Menggunjing Orang Lain. mungkin sering tidak kita sadari telah membicarakan keburukan orang lain (gibah) misalnya saat sedang nongkrong bersama teman-teman kita. Padahal dalam Islam, gibah sangat dilarang karena perbuatan ini diibaratkan sedang memakan bangkai saudaranya sendiri.

Surah Al-Hujurat ayat 12 berikut ini patut kita renungkan bersama agar selalu berhati-hati dalam berbicara.

Yaa ayyuhalladziina aamanujtanibuu katsiiram minadh-dhanni inna ba'dadh-dhanni itsmuw wa laa tajassasuu wa laa yaghtab ba'dzukum ba'dzaa, a yuhibbu ahadukum ay ya'kula lahma akhiihi maitan fa karihtumuuh, wattaqullaah, innallaaha tawwaabur rahiim

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat: 12).

Dari ayat di atas, Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilalil Quran menerangkan bahwa suatu hal yang mengiringi dugaan merupakan awal mula seseorang untuk membongkar aib dan mengetahui keburukan saudaranya sendiri. Perilaku buruk ini berdasarkan ayat di atas jelas sangat dilarang dan harus kita jauhi.

Sementara itu Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Qur’anil ‘Adhim juga menjabarkan ayat di atas. Menurutnya, dengan tegas Allah melarang seluruh hamba-Nya yang beriman agar menjauhi prasangka buruk (suuzan).

Mencurigai perilaku orang lain dengan tuduhan yang tidak benar dan tidak berdasar adalah murni perbuatan dosa.

Membicarakan keburukan orang lain (gibah) dalam ayat tersebut juga diibaratkan sedang memakan bangkai saudaranya sendiri. Bisa dibayangkan perbuatan memakan bangkai tentu sesuatu yang sangat hina bagi kita manusia.

Di sisi lain, Allah melalui ayat ini memerintahkan kepada manusia untuk selalu beriman dan bertakwa.

Adapun ketika sudah beriman tetapi masih tidak sengaja melakukan hal-hal dosa tadi (suuzan dan gibah) maka kita dianjurkan untuk segera bertaubat kepada-Nya. Sebab, Allah Swt adalah Zat yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Meski demikian, bukan berarti kita lantas menyepelekan hukuman Allah mentang-mentang Dia Maha Pengampun. Kita wajib hukumnya untuk selalu berusaha meninggalkan apa yang dilarang-Nya, jangan sampai Allah ta'ala murka.

Referensi Sebagai Berikut ini ; Perilaku yang diibaratkan memakan bangkai saudara sendiri sesuai Surah Al-Hujurat 











Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12: Jangan Suuzan dan Suka Menggunjing Orang Lain

Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12: Jangan Suuzan dan Suka Menggunjing Orang Lain. Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12: Jangan Suuzan dan Suka Menggunjing Orang Lain. mungkin sering tidak kita sadari telah membicarakan keburukan orang lain (gibah) misalnya saat sedang nongkrong bersama teman-teman kita. Padahal dalam Islam, gibah sangat dilarang karena perbuatan ini diibaratkan sedang memakan bangkai saudaranya sendiri. Surah Al-Hujurat ayat 12 berikut ini patut kita renungkan bersama agar selalu berhati-hati dalam berbicara.

Yaa ayyuhalladziina aamanujtanibuu katsiiram minadh-dhanni inna ba'dadh-dhanni itsmuw wa laa tajassasuu wa laa yaghtab ba'dzukum ba'dzaa, a yuhibbu ahadukum ay ya'kula lahma akhiihi maitan fa karihtumuuh, wattaqullaah, innallaaha tawwaabur rahiim

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat: 12).

Dari ayat di atas, Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilalil Quran menerangkan bahwa suatu hal yang mengiringi dugaan merupakan awal mula seseorang untuk membongkar aib dan mengetahui keburukan saudaranya sendiri. Perilaku buruk ini berdasarkan ayat di atas jelas sangat dilarang dan harus kita jauhi.

Sementara itu Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Qur’anil ‘Adhim juga menjabarkan ayat di atas. Menurutnya, dengan tegas Allah melarang seluruh hamba-Nya yang beriman agar menjauhi prasangka buruk (suuzan).

Mencurigai perilaku orang lain dengan tuduhan yang tidak benar dan tidak berdasar adalah murni perbuatan dosa.

Membicarakan keburukan orang lain (gibah) dalam ayat tersebut juga diibaratkan sedang memakan bangkai saudaranya sendiri. Bisa dibayangkan perbuatan memakan bangkai tentu sesuatu yang sangat hina bagi kita manusia.

Di sisi lain, Allah melalui ayat ini memerintahkan kepada manusia untuk selalu beriman dan bertakwa.

Adapun ketika sudah beriman tetapi masih tidak sengaja melakukan hal-hal dosa tadi (suuzan dan gibah) maka kita dianjurkan untuk segera bertaubat kepada-Nya. Sebab, Allah Swt adalah Zat yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Meski demikian, bukan berarti kita lantas menyepelekan hukuman Allah mentang-mentang Dia Maha Pengampun. Kita wajib hukumnya untuk selalu berusaha meninggalkan apa yang dilarang-Nya, jangan sampai Allah ta'ala murka.

Referensi Sebagai Berikut ; Jangan Suuzan dan Suka Menggunjing Orang Lain
















Bacaan Surat Al Hujurat ayat 12

Al - Quran menyimpan banyak hikmah dan pelajaran bagi siapa saja yang membacanya. Termasuk dalam surat Al Hujurat ayat 12 yang menyarankan manusia menjauhi prasangka atau kecurigaan.

Bacaan surat Al-Hujurat ayat 12

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

Arab latin: Yā ayyuhallażīna āmanujtanibụ kaṡīram minaẓ-ẓanni inna ba'ḍaẓ-ẓanni iṡmuw wa lā tajassasụ wa lā yagtab ba'ḍukum ba'ḍā, a yuḥibbu aḥadukum ay ya`kula laḥma akhīhi maitan fa karihtumụh, wattaqullāh, innallāha tawwābur raḥīm

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."

Cendekiawan muslim Prof Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah menjelaskan makna surat Al Hujurat ayat 12. Ayat ini diawali panggilan yang baik untuk orang-orang yang selalu taat pada perintah Allah SWT dan menjauhi laranganNya.

Al Quran surat Al Hujurat ayat 12 menegaskan dugaan yang tidak berdasar adalah dosa. Dugaan menjadi dosa karena biasanya merupakan pemikiran buruk tanpa dasar. Pemikiran buruk inilah yang menyebabkan seseorang terjerumus dalam dosa.

"Dengan menghindari dugaan buruk, anggota masyarakat akan hidup tenang dan tentram serta produktif. Mereka tidak akan ragu pada pihak lain dan tidak juga menyalurkan energi untuk hal yang sia-sia," tulis tafsir Al Misbah dikutip situs digital library UIN Sunan Ampel Surabaya.

Tuntunan menghindari dugaan sekaligus membentengi anggota masyarakat dari berbagai hal yang bersifat prasangka. Quraish Shihab menjelaskan, ayat ini menguatkan prinsip tersangka belum dinyatakan bersalah hingga terbukti kesalahannya.

Seseorang juga belum bisa dituntut sebelum terbukti kebenaraan dugaan yang dihadapkan padanya. Al Quran surat Al-Hujurat ayat 12 mengingatkan bahaya sebuah dugaan dan dampak buruk yang harus ditanggung, jika seorang muslim nekat melakukannya.

"Bisikan yang terlintas dalam benak tentang sesuatu dapat ditoleransi, asal tidak ditingkatkan menjadi dugaan dan buruk sangka," tulis Tafsir Al Misbah.

Penjelasan ini semoga bisa menambah pengetahuan makna Al Quran surat Al Hujurat ayat 12, sekaligus memotivasi supaya tidak asal menduga atau buruk sangka pada lingkungan sekitar.

Referensi : Bacaan Surat Al Hujurat ayat 12








Dampak Buruk Gibah, Seperti Makan Bangkai Saudaranya Sendiri

Ilustrasi : Dampak Buruk Gibah, Seperti Makan Bangkai Saudaranya Sendiri

Dampak Buruk Gibah, Seperti Makan Bangkai Saudaranya Sendiri. Gibah atau membicarakan aib dan keburukan seseorang merupakan perbuatan yang sangat tercela dan buruk di mata Allah SWT, bahkan diumpamakan seperti orang yang memakan daging saudaranya sendiri. Dalam Islam, hal tersebut disebut sebagai perbuatan gibah ataupun ghosib, yang keduanya termasuk dalam dosa yang amat besar. Hal tersebut, disebabkan karena dampak buruk yang akan ditimbulkan oleh perbuatan tercela tersebut yaitu menjadikan retaknya persaudaraan, kekeluargaan, persahabatan, bahkan berdampak buruk bagi kehidupan rumah tangga orang lain.

Adapun perkara yang tergolong kepada perbuatan gibah seperti membicarakan urusan agama seseorang dan menganggap ibadah sendiri lebih benar, menyebutkan aib seseorang baik badanya, keluarnya, keturunannya, bahkan perilakunya, dimana keseluruhan tersebut dapat menghancurkan orang lain.

Seperti yang dikatakan oleh Yusuf Al Qardhawi dalam kitab Al Halal Waal Haram Fi al Islam menjelaskan bahwa gibah biasanya ditujukan untuk menghancurkan orang lain.

Namun, banyak cara yang bisa kita lakukan agar bisa terhindar dari perilaku gibah ini, diantaranya sadar akan dosa yang timbulkannya, tidak adanya faedah sama sekali, serta lebih cenderung menimbulkan fitnah bagi orang lain.

Oleh karena itu, dalam ajaran Islam, hukum gibah atau gosib bagi seseorang yaitu sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Al Hujurat: 12 yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berburuk sangka atau kecurigaan, karena sebagian dari berburuk sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."

Pada ayat tersebut, Allah SWT memberikan gambaran bagi seseorang yang suka menggibah umpama memakan bangkai saudaranya. Diumpamakan sebagai bangkai sebab aib yang seharusnya menjadi rahasia pribadi namun akhirnya menjadi rahasia umum sebab diperbincangkan di khalayak ramai.

Selain itu, Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar menyebutkan bahwa bagi seseorang yang mendengarkan orang yang mulai melakukan gibah saudaranya yang lain, sebagai perkara yang haram dan hendaknya dijauhi sebab memiliki mudhorot yang cukup jelas.

Berkumpul dengan teman atau keluarga jelas menyenangkan. Terlebih kalau hal itu jarang dilakukan. Selain melepas kangen juga bisa jadi ajang curhat atau sekedar berbagi cerita. Masalah obrolan tidak perlu pakai tema, mengalir saja seperti air. Biasanya dimulai dari saling tanya kabar, perkembangan sekolah, kemudian berlanjut ke teman-teman atau keluarga yang tidak hadir. Makin lama obrolan pun semakin hangat. Terkadang disadari atau tidak, topik pembicaran mulai menjurus pada ngomongin oranglain alias gosip.

Mungkin pada awalnya dimulai dengan menanyakan alasan ketidakhadiran teman. Kalau sekedar tanya alasan sebenarnya tidak butuh waktu lama. Permasalahannya kita kadang merasa kurang mantap kalau tidak dilanjutkan pada yang lebih dalam dengan mengulas kehidupan pribadi yang bersangkutan. Karena kebablasan sering obrolan yang tadinya bermaksud bagus berubah jadi ajang pergunjingan. Aib teman dibuka, dibicarakan, dianalisa. Wah…. wah…. kalau sudah begini kacau deh acara pertemuan. Yang seharusnya dapat barokah malah jadi hibah bahkan fitnah. Harusnya dapat pahala malah dosa menyapa. Pergunjingan semacam ini tidak bedanya dengan kita memakan daging saudaranya yang sudah mati. Kalau kita tanya orang yang normal, tentu tidak akan mau makan bangkai, apalagi bangkai manusia meski dianya maniak daging sekalipun. Tapi nyatanya banyak orang yang terang-terangan tidak suka makan daging hewan justru malah sering makan daging saudaranya. Lah wong saat ini tiap hari kita tidak lepas dari menggunjingkan saudara muslim sendiri, bahkan mirisnya acara pergunjingan itu seolah-olah dilegalkan melalui acara televisi yang mengupas-tuntas hal-hal tersebut. Naudzubillah.

Allah sendiri sudah mengingatkan kita dalam QS Al Hujurat ayat 12, agar tidak mencari dan membicarakan keburukan saudara karena hal itu tidak lain seperti halnya memakan bangkai. “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka sesungguhnya sebagaian prasangka adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari kesalahan oranglain, dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagaian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima Taubat, Maha Penyayang.” Semoga kita dapat menjaga lisan kita dari segala perkara yang sia-sia nan mendatangkan dosa.

Referensi : Dampak Buruk Gibah, Seperti Makan Bangkai Saudaranya Sendiri











Tanpa Sadar Kita Suka Makan Bangkai Daging Saudara Sendiri

Berkumpul dengan teman atau keluarga jelas menyenangkan. Terlebih kalau hal itu jarang dilakukan. Selain melepas kangen juga bisa jadi ajang curhat atau sekedar berbagi cerita. Masalah obrolan tidak perlu pakai tema, mengalir saja seperti air. Biasanya dimulai dari saling tanya kabar, perkembangan sekolah, kemudian berlanjut ke teman-teman atau keluarga yang tidak hadir. Makin lama obrolan pun semakin hangat. Terkadang disadari atau tidak, topik pembicaran mulai menjurus pada ngomongin oranglain alias gosip.

Mungkin pada awalnya dimulai dengan menanyakan alasan ketidakhadiran teman. Kalau sekedar tanya alasan sebenarnya tidak butuh waktu lama. Permasalahannya kita kadang merasa kurang mantap kalau tidak dilanjutkan pada yang lebih dalam dengan mengulas kehidupan pribadi yang bersangkutan. Karena kebablasan sering obrolan yang tadinya bermaksud bagus berubah jadi ajang pergunjingan. Aib teman dibuka, dibicarakan, dianalisa. Wah…. wah…. kalau sudah begini kacau deh acara pertemuan. Yang seharusnya dapat barokah malah jadi hibah bahkan fitnah. Harusnya dapat pahala malah dosa menyapa. Pergunjingan semacam ini tidak bedanya dengan kita memakan daging saudaranya yang sudah mati. Kalau kita tanya orang yang normal, tentu tidak akan mau makan bangkai, apalagi bangkai manusia meski dianya maniak daging sekalipun. Tapi nyatanya banyak orang yang terang-terangan tidak suka makan daging hewan justru malah sering makan daging saudaranya. Lah wong saat ini tiap hari kita tidak lepas dari menggunjingkan saudara muslim sendiri, bahkan mirisnya acara pergunjingan itu seolah-olah dilegalkan melalui acara televisi yang mengupas-tuntas hal-hal tersebut. Naudzubillah.

Allah sendiri sudah mengingatkan kita dalam QS Al Hujurat ayat 12, agar tidak mencari dan membicarakan keburukan saudara karena hal itu tidak lain seperti halnya memakan bangkai.“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka sesungguhnya sebagaian prasangka adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari kesalahan oranglain, dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagaian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima Taubat, Maha Penyayang.”

Semoga kita dapat menjaga lisan kita dari segala perkara yang sia-sia nan mendatangkan dosa.

12.يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Terjemahan

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka buruk kepada manusia yang tidak disertai bukti atau tanda-tanda, sesungguhnya sebagian prasangka, yakni prasangka yang tidak disertai bukti atau tanda-tanda itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain yang sengaja ditutup-tutupi untuk mencemoohnya dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing, yakni membicarakan aib, sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Karena itu hindarilah pergunjingan karena itu sama dengan memakan daging saudara yang telah mati. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat kepada orang yang bertobat, Maha Penyayang kepada orang yang taat.

Ghibah adalah salah satu perbuatan dosa besar. Islam pun sangat melarang menggunjing orang lain atau ghibah. Menggunjing ini maksudnya membicarakan aib orang lain tanpa sepengetahuan orang itu.

Allah Subhanahu wa ta’ala melarang manusia untuk ber-ghibah, apalagi sampai menimbulkan fitnah. Hal ini sudah dijelaskan dalam kitab suci Al-Qur’an, bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan orang ghibah sama saja memakan daging saudaranya sendiri.

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka buruk (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka buruk itu dosa. Dan janganlah sebagian kalian mencari-cari keburukan orang dan menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat : 12)

Dalam ayat tersebut, sudah jelas dan tegas bahwa Islam melarang umatnya berprasangka buruk dan ghibah. Di masa sekarang, biasanya ghibah sering juga diartikan gosip.

Adapun ancaman yang Allah berikan apabila senang menggunjing orang lain.“Gosip, ancaman terbesarnya adalah jika dia tidak bertobat, saat disebutkan namanya saja, maka sudah memindahkan pahala orang ini kepada yang dimaksudkan. Jika dia mengerjakan suatu amalan, disebutkan orang lain terkait amalan itu. Jadi, resiko pertama ketika kita sebutkan namanya saja, maka pindah pahala kita. Resiko kedua, semakin disebutkan keadaan keburukannya, maka setiap kalimat yang kita rangkai itu, akan dibentuk gambaran orang yang disebutkan itu dalam bentuk bangkai.”

Bayangkan, jika hanya menyebutkan namanya saja sudah mendapat dosa yang besar. Apalagi ditambah dengan berkurangnya pahala kita. Maka dari itu, bertaqwalah kepada-Nya. Sungguh beruntung orang yang bisa menahan diri, sungguh beruntung orang yang tidak membicarakan orang lain, karena dia tahu akan dirinya sendiri.

“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasry:10)

Referensi :  Tanpa Sadar Kita Suka Makan Bangkai Daging Saudara Sendiri