Ghibah/Menggunjing Adalah Memakan Bangkai Saudara Sendiri yang Sudah Mati. Ghibah adalah salah satu perbuatan dosa besar. Islam pun sangat melarang menggunjing orang lain atau ghibah. Menggunjing ini maksudnya membicarakan aib orang lain tanpa sepengetahuan orang itu. Allah Subhanahu wa ta’ala melarang manusia untuk ber-ghibah, apalagi sampai menimbulkan fitnah. Hal ini sudah dijelaskan dalam kitab suci Al-Qur’an, bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan orang ghibah sama saja memakan daging saudaranya sendiri. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka buruk (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka buruk itu dosa. Dan janganlah sebagian kalian mencari-cari keburukan orang dan menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat : 12)
Dalam ayat tersebut, sudah jelas dan tegas bahwa Islam melarang umatnya berprasangka buruk dan ghibah. Di masa sekarang, biasanya ghibah sering juga diartikan gosip. Adapun ancaman yang Allah berikan apabila senang menggunjing orang lain.“Gosip, ancaman terbesarnya adalah jika dia tidak bertobat, saat disebutkan namanya saja, maka sudah memindahkan pahala orang ini kepada yang dimaksudkan. Jika dia mengerjakan suatu amalan, disebutkan orang lain terkait amalan itu. Jadi, resiko pertama ketika kita sebutkan namanya saja, maka pindah pahala kita. Resiko kedua, semakin disebutkan keadaan keburukannya, maka setiap kalimat yang kita rangkai itu, akan dibentuk gambaran orang yang disebutkan itu dalam bentuk bangkai.”
Bayangkan, jika hanya menyebutkan namanya saja sudah mendapat dosa yang besar. Apalagi ditambah dengan berkurangnya pahala kita. Maka dari itu, bertaqwalah kepada-Nya. Sungguh beruntung orang yang bisa menahan diri, sungguh beruntung orang yang tidak membicarakan orang lain, karena dia tahu akan dirinya sendiri.
“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasry:10)
Dalam bahasa Arab, bergunjing disebut sebagai ghibah. Ini merupakan salah satu perbuatan buruk yang dilarang dalam agama Islam. Allah SWT dalam Alquran mengibaratkan ghibah sebagai sesuatu yang kotor. Maka dari itu, orang-orang yang beriman terlarang melakukannya.
surah al-Hujurat ayat 12. Artinya, "Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain.
Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang."
Ghibah berarti menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri orang yang tidak kita sukai. Ghibah bisa menyasar fisik, agama, kekayaan, perbuatan, atau segala atribut orang yang bersangkutan.
Caranya bisa bermacam-macam. Antara lain membeberkan aib, meniru tingkah laku atau gerak tertentu dari orang yang digunjingkan dengan maksud mengolok-oloknya.
Oleh karena itu, ungkap Dr Muhammad Ali al Hasyimi dalam bukunya The Ideal Muslim, seorang Muslim sejati tidaklah menyebarkan gosip yang penuh kebencian. Sebab dia mengetahui jika melakukan perbuatan itu akan menempatkannya pada kelompok orang-orang jahat.
"Bergunjing dikhawatirkan dapat menimbulkan kesulitan pada diri orang lain dan memutus tali silaturahim di antara sahabat," paparnya.
Dalam pandangan Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, menggunjing hukumnya haram dan termasuk dosa besar. Baik aib yang digunjingkan itu benar-benar ada pada diri seseorang maupun tidak ada.
Ketentuan tersebut berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW ketika beliau ditanya tentang menggunjing. ''Engkau membicarakan saudaramu tentang sesuatu yang dibencinya''.
Lebih lanjut Rasul SAW menjelaskan, jika yang dibicarakan memang terdapat pada orang tersebut, maka hal itu termasuk menggunjing (ghibah), tetapi jika yang digunjingkan itu tidaklah benar, maka yang membicarakannya telah berdusta.
Nabi kemudian menegaskan, siapa yang suka bergosip penuh kebencian, suka mencari-cari kesalahan orang lain, maka dirinya akan dijauhkan dari pintu surga.
Wajib bagi orang yang hadir dalam pembicaraan yang sedang menggunjingkan orang lain untuk mencegah kemungkaran. Yakni, dengan membela orang yang digunjingkan.
Ini sesuai anjuran Nabi. ''Barangsiapa yang melindungi kehormatan saudaranya dari fitnah, maka akan menjadi haknya bahwa Allah akan melindunginya dari api neraka.'' (HR Ahmad)
Dr Muhammad Ali menambahkan, seorang Muslim hendaknya dapat memerangi pergunjingan di manapun berada. Dengan begitu, ia akan melindungi saudara Muslimnya dari orang yang bergosip atasnya.
Referensi sbb ini ; Ghibah/Menggunjing Adalah Memakan Bangkai Saudara Sendiri yang Sudah Mati
Bergunjing Ibarat Memakan Daging Saudara Sendiri. Dalam bahasa Arab, bergunjing disebut sebagai ghibah. Ini merupakan salah satu perbuatan buruk yang dilarang dalam agama Islam. Allah SWT dalam Alquran mengibaratkan ghibah sebagai sesuatu yang kotor. Maka dari itu, orang-orang yang beriman terlarang melakukannya.
surah al-Hujurat ayat 12. Artinya, "Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain.
Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang."
Ghibah berarti menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri orang yang tidak kita sukai. Ghibah bisa menyasar fisik, agama, kekayaan, perbuatan, atau segala atribut orang yang bersangkutan.
Caranya bisa bermacam-macam. Antara lain membeberkan aib, meniru tingkah laku atau gerak tertentu dari orang yang digunjingkan dengan maksud mengolok-oloknya.
Oleh karena itu, ungkap Dr Muhammad Ali al Hasyimi dalam bukunya The Ideal Muslim, seorang Muslim sejati tidaklah menyebarkan gosip yang penuh kebencian. Sebab dia mengetahui jika melakukan perbuatan itu akan menempatkannya pada kelompok orang-orang jahat.
"Bergunjing dikhawatirkan dapat menimbulkan kesulitan pada diri orang lain dan memutus tali silaturahim di antara sahabat," paparnya.
Dalam pandangan Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, menggunjing hukumnya haram dan termasuk dosa besar. Baik aib yang digunjingkan itu benar-benar ada pada diri seseorang maupun tidak ada.
Ketentuan tersebut berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW ketika beliau ditanya tentang menggunjing. ''Engkau membicarakan saudaramu tentang sesuatu yang dibencinya''.
Lebih lanjut Rasul SAW menjelaskan, jika yang dibicarakan memang terdapat pada orang tersebut, maka hal itu termasuk menggunjing (ghibah), tetapi jika yang digunjingkan itu tidaklah benar, maka yang membicarakannya telah berdusta.
Nabi kemudian menegaskan, siapa yang suka bergosip penuh kebencian, suka mencari-cari kesalahan orang lain, maka dirinya akan dijauhkan dari pintu surga.
Wajib bagi orang yang hadir dalam pembicaraan yang sedang menggunjingkan orang lain untuk mencegah kemungkaran. Yakni, dengan membela orang yang digunjingkan.
Ini sesuai anjuran Nabi. ''Barangsiapa yang melindungi kehormatan saudaranya dari fitnah, maka akan menjadi haknya bahwa Allah akan melindunginya dari api neraka.'' (HR Ahmad)
Dr Muhammad Ali menambahkan, seorang Muslim hendaknya dapat memerangi pergunjingan di manapun berada. Dengan begitu, ia akan melindungi saudara Muslimnya dari orang yang bergosip atasnya.
“Dan janganlah kalian saling menggunjing. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hujurat: 12).
Dalam ayat di atas, Allah ta’ala menyamakan orang yang mengghibah saudaranya seperti memakan bangkai saudaranya tersebut. Apa rahasia dari penyamaan ini?
Imam Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan, “Ini adalah permisalan yang amat mengagumkan, diantara rahasianya adalah:
Pertama, karena ghibah mengoyak kehormatan orang lain, layaknya seorang yang memakan daging, daging tersebut akan terkoyak dari kulitnya. Mengoyak kehormatan atau harga diri, tentu lebih buruk keadaannya.
Kedua, Allah ta’ala menjadikan “bangkai daging saudaranya” sebagai permisalan, bukan daging hewan. Hal ini untuk menerangkan bahwa ghibah itu amatlah dibenci.
Ketiga, Allah ta’ala menyebut orang yang dighibahi tersebut sebagai mayit. Karena orang yang sudah mati, dia tidak kuasa untuk membela diri. Seperti itu juga orang yang sedang dighibahi, dia tidak berdaya untuk membela kehormatan dirinya.
Keempat, Allah menyebutkan ghibah dengan permisalan yang amat buruk, agar hamba-hambaNya menjauhi dan merasa jijik dengan perbuatan tercela tersebut” (Lihat: Tafsir Al-Qurtubi 16/335), lihat juga: I’laamul Muwaqqi’iin 1/170).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan, “Ayat di atas menerangkan sebuah ancaman yang keras dari perbuatan ghibah. Dan bahwasanya ghibah termasuk dosa besar. Karena Allah menyamakannya dengan memakan daging mayit, dan hal tersebut termasuk dosa besar. ” (Tafsir As-Sa’di, hal. 745).
Referensi sbb ini ; Bergunjing Ibarat Memakan Daging Saudara Sendiri
“Dan janganlah kalian saling menggunjing. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hujurat: 12).
Dalam ayat di atas, Allah ta’ala menyamakan orang yang mengghibah saudaranya seperti memakan bangkai saudaranya tersebut. Apa rahasia dari penyamaan ini?
Imam Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan, “Ini adalah permisalan yang amat mengagumkan, diantara rahasianya adalah:
Pertama, karena ghibah mengoyak kehormatan orang lain, layaknya seorang yang memakan daging, daging tersebut akan terkoyak dari kulitnya. Mengoyak kehormatan atau harga diri, tentu lebih buruk keadaannya.
Kedua, Allah Swt menjadikan “bangkai daging saudaranya” sebagai permisalan, bukan daging hewan. Hal ini untuk menerangkan bahwa ghibah itu amatlah dibenci.
Ketiga, Allah ta’ala menyebut orang yang dighibahi tersebut sebagai mayit. Karena orang yang sudah mati, dia tidak kuasa untuk membela diri. Seperti itu juga orang yang sedang dighibahi, dia tidak berdaya untuk membela kehormatan dirinya.
Keempat, Allah menyebutkan ghibah dengan permisalan yang amat buruk, agar hamba-hambaNya menjauhi dan merasa jijik dengan perbuatan tercela tersebut” (Lihat: Tafsir Al-Qurtubi 16/335), lihat juga: I’laamul Muwaqqi’iin 1/170).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan, “Ayat di atas menerangkan sebuah ancaman yang keras dari perbuatan ghibah. Dan bahwasanya ghibah termasuk dosa besar. Karena Allah menyamakannya dengan memakan daging mayit, dan hal tersebut termasuk dosa besar. ” (Tafsir As-Sa’di, hal. 745).
Bahwa seiring dengan pesatnya sosialisasi kewajiban membayar zakat, ada amil zakat yang menarik zakat atas harta haram, dan demikian sebaliknya seseorang yang memperoleh harta haram bermaksud membayarkan zakat untuk membersihkan hartanya;
bahwa di tengah masyarakat muncul pertanyaan mengenai apakah orang yang memiliki harta haram, seperti barasal dari bunga bank, hasil korupsi, dan hasil judi, memiliki kewajiban membayar zakat serta bagaimana seharusnya memanfaatkan harta haram tersebut;
bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang zakat atas harta non-halal guna dijadikan pedoman.
Mengingat:
Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah: 267)
Hadis Rasulullah SAW, antara lain: “Sesungguhnya Allah SWT itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik “ (HR Muslim dari Abu Hurairah)
"Sesungguhnya Allah SWT mewajibkan zakat sebagai pensucian harta “. (HR Bukhari dari Abdullah bin Umar) “Allah SWT tidak menerima sedekah dari harta hasil korupsi rampasan perang “ (HR Muslim dari Abdullah bin Umar)
“Barang siapa yang mengumpulkan harta dari cara yang haram kemudian ia bersedekah darinya, maka ia tidak mendapatkan pahala apapun, bahkan ia tetap menanggung dosa dari harta haram tersebut “ (HR al-Baihaqi, al-Hakim, Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah)
Memperhatikan:
Pendapat Imam Ibnu Nujaim sebagaimana dikutip dalam kitab Al-Bahru Al-Raaiq (2/221) yang menerangkan tidak wajibnya membayar zakat atas harta haram sekalipun sudah sampai satu nishab, sebagai berikut:
“Seandainya ada seseorang yang memiliki harta haram seukuran nishab, maka ia tidak wajib berzakat. Karena yang menjadi kewajiban atas orang tersebut adalah membebaskan tanggungjawabnya atas harta haram itu dengan mengembalikan kepada pemiliknya atau para ahli waris – jika bisa diketahui – , atau disedekahkan kepada fakir miskin secara keseluruhan – harta haram tersebut – dan tidak boleh sebagian saja “.
Pendapat Imam Al-Qurthubi sebagaimana dikutip dalam kitab Fathu Al-Baari (3/180) yang menjelaskan alasan tidak diterimanya zakat atas harta haram sebagai berikut :
“Sedekah/zakat dari harta haram itu tidak diterima dengan alasan karena harta haram tersebut pada hakekatnya bukan hak miliknya. Dengan demikian, pemilik harta haram dilarang mentasharrufkan harta tersebut dalam bentuk apapun, sementara bersedekah adalah bagian dari tasharruf (penggunaan) harta. Seandainya sedekah dari harta haram itu diangggap sah, maka seolah-olah ada satu perkara yang di dalamnya berkumpul antara perintah dan larangan, dan itu menjadi mustahil “
Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa pada Rapat-Rapat Komisi Fatwa yang terakhir pada tanggal 3 dan 17 Maret 2011.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT MEMUTUSKAN
Menetapkan: Fatwa Tentang Hukum Zakat Atas Harta Haram
Pertama : Ketentuan Hukum
Zakat wajib ditunaikan dari harta yang halal, baik hartanya maupun cara perolehannya.
Harta haram tidak menjadi obyek wajib zakat.
Kewajiban bagi pemilik harta haram adalah bertaubat dan membebaskan tanggung jawab dirinya dari harta haram tersebut.
Cara bertaubat sebagaimana dimaksud angka 3 adalah sebagai berikut:
Meminta ampun kepada Allah Swt, menyesali perbuatannya, dan ada keinginan kuat (‘azam) untuk tidak mengulangi perbuatannya; b. Bagi harta yang haram karena didapat dengan cara mengambil sesuatu yang bukan haknya –seperti mencuri dan korupsi–, maka harta tersebut harus dikembalikan seutuhnya kepada pemiliknya. Namun, jika pemiliknya tidak ditemukan, maka digunakan untuk kemaslahatan umum. c. Bila harta tersebut adalah hasil usaha yang tidak halal – seperti perdangan minuman keras dan bunga bank maka hasil usaha tersebut (bukan pokok modal) secara keseluruhan harus digunakan untuk kemaslahatan umum.
Memulai Investasi Dengan Harta Haram. Pertanyaan, “Di luar negeri, aku bekerja sebagai akuntan yang bertugas mencatat besaran bunga yang diminta oleh bank dari perusahaan tempatku bekerja. Pada akhirnya, aku mengetahui bahwa profesiku adalah profesi yang haram karena aku berstatus sebagai ‘pencatat’ alias ‘juru tulis transaksi riba’. Sekarang, aku ingin kembali ke tanah airku untuk memulai kehidupan baru dengan keluarga, namun seluruh hartaku berasal dari penghasilan haram di atas. Apa yang harus aku lakukan? Sebagian orang memberi saran agar seluruh harta yang kumiliki tersebut dibelanjakan untuk kepentingan sosial dan aku tidak boleh memanfaatkan meski hanya sepeser. Ada juga yang memberi saran bahwa aku harus benar-benar bertobat dan boleh melakukan wirausaha dengan harta tersebut, di samping banyak-banyak bersedekah. Perlu diketahui bahwa aku tidaklah memiliki harta dan modal usaha melainkan harta tersebut. Apa yang harus aku lakukan untuk memulai hidup baruku?”
Jawaban, “Bekerja sebagai petugas yang mendata nasabah yang mengajukan permohonan transaksi riba, menjadi akuntan riba, menulis berbagai surat yang diperlukan untuk berjalannya transaksi riba, atau pun pekerjaan sejenis yang mendukung transaksi riba adalah pekerjaan yang terlarang karena termasuk dalam tindakan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.
Allah berfirman, yang artinya, ‘Dan hendaknya kalian tolong-menolong untuk melakukan kebaikan dan takwa, dan janganlah kalian tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya, Allah adalah Dzat yang keras siksaan-Nya.‘ (Q.S. Al-Maidah:2)
Nabi melaknat orang yang memakan harta riba, nasabah riba, juru tulis transaksi riba dan kedua orang saksinya. Nabi katakan, ‘Mereka semua sama saja.’ (H.R. Muslim, no. 1598; riwayat dari Jabir)
Merupakan sebuah keniscayaan untuk meninggalkan pekerjaan di bidang ini dan mencukupkan diri dengan bekerja di bidang-bidang yang halal. Siapa saja yang meninggalkan sesuatu karena Allah maka pasti akan Allah ganti dengan yang lebih baik darinya.
Siapa saja yang mendapatkan uang melalui jalan yang haram, semisal uang upah manggung sebagai penyanyi, uang suap, upah yang didapatkan oleh dukun, upah karena memberikan persaksian palsu, gaji karena mencatat transaksi riba, dan profesi haram lainnya, kemudian dia bertobat dan menyesali perbuatan yang telah dilakukan maka status uang yang didapatkan dengan cara semacam ini bisa dirinci menjadi dua rincian.
Pertama, jika uang tersebut telah dia belanjakan untuk berbagai keperluan hidupnya maka tidak ada kewajiban apa pun atas orang tersebut terkait dengan uang tersebut.
Kedua, jika uang tersebut masing ada di tangannya maka dia berkewajiban untuk membebaskan diri dari uang tersebut dengan membelanjakannya untuk kepentingan sosial. Jika dia membutuhkan uang tersebut maka dia boleh menyisihkan sebagian darinya, sekadar memenuhi hal-hal yang menjadi kebutuhannya. Adapun sisanya, wajib dia pergunakan untuk kepentingan sosial.
Ibnul Qayyim mengatakan, ‘Jika seseorang itu mengadakan transaksi yang haram dengan seseorang, dan dia telah menerima upah dari transaksi tersebut, semisal pelacur, penyanyi, penjual minuman keras, saksi palsu, kemudian dia bertobat, sedangkan uang upah tersebut masih ada di tangannya maka sejumlah ulama mengatakan bahwa uang upah tersebut dikembalikan kepada pemiliknya karena uang tersebut bukanlah miliknya, dia tidaklah menerima uang tersebut melalui jalan yang dibenarkan oleh syariat, dan pemilik uang yang asli tidaklah mendapatkan manfaat mubah dengan membayarkan sejumlah uang tersebut.
Adapun sejumlah ulama yang lain mengatakan bahwa bukti tobat orang tersebut adalah dengan menyedekahkan uang tersebut dan tidak menyerahkannya kepada pemilik uang yang asli. Pendapat kedua inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan itulah pendapat yang tepat dari dua pendapat di atas.’ (Madarijus Salikin, 1:389)
Ibnul Qayyim menguraikan permasalahan ini secara panjang lebar di Zadul Ma’ad, 5:778. Kesimpulannya adalah: cara membebaskan diri dari harta ini dan itulah bukti tobat adalah dengan menyedekahkan harta tersebut. Jika dia membutuhkannya maka dia boleh mengambil sekadar bagian yang menjadi kebutuhannya, sedangkan sisanya disedekahkan.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, ‘Jika seorang pelacur atau penjual minuman keras bertobat dari profesinya, sedangkan mereka itu miskin (baca: tidak memiliki sumber pendapatan yang lain) maka boleh bagi mereka untuk memanfaatkan sebagian harta tersebut sekadar kebutuhannya. Jika dia mampu berdagang atau memiliki keterampilan tangan, misalnya: menenun atau memintal, maka modal diberikan kepadanya untuk usaha tersebut, dari harta haram tadi.’ (Majmu’ Fatawa, 29:308)
Penjelasan detail mengenail permasalahan ini bisa dibaca di buku Ar-Riba fi Al-Muamalah Al-Mashrafiyyah Al-Muashirah, karya Dr. Abdullah bin Muhammad As-Saidi, 2:779–874.
Bisa disimpulkan dari penjelasan Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim di atas bahwa orang yang telah bertobat dari profesi yang haram, jika membutuhkan sebagian harta tersebut, dia boleh mengambilnya sekadar kebutuhannya. Sebagian darinya boleh dia pergunakan sebagai modal investasi yang bisa dia lakukan, baik berupa berdagang atau pun keterampilan dengan tangan.
Menimbang bahwa sebagian pekerjaan akuntan itu halal, sedangkan sebagian yang lain adalah haram, maka hendaknya Anda bersungguh-sungguh untuk menentukan persentase harta haram yang ada dalam harta Anda, lalu uang senilai persentase tadi disedekahkan oleh Anda.
Jika Anda kesulitan untuk menentukan besarnya persentase maka sedekahkanlah setengah dari harta haram yang Anda miliki. Ibnu Taimiyyah mengatakan, ‘Jika harta halal bercampur dengan harta haram, dan orang yang memegang harta bercampur tersebut tidak mengetahui kadar dari masing-masing jenis harta, maka tetapkanlah bahwa setengah dari total harta itu halal, sedangkan setengah sisanya adalah harta haram.’ (Majmu’ Fatawa, 29:307)
Hukum Zakat Atas Harta yang Haram. Sebagai pembersih harta, ada anggapan bahwa zakat bisa juga menjadi pembersih harta yang haram. Harta hasil korupsi, mencuri, judi, hingga riba dikatakan bisa dicuci lewat mesin zakat. Cukup membayar sebesar 2,5 persen kepada amil zakat dari total pendapatan yang sudah meraih nisab maka seorang koruptor, misalnya, bisa merasa bebas dari dosa akibat korupsi.
Hukum dasar korupsi di dalam Islam adalah haram. Alquran pun dengan tegas melarang kita untuk memakan harta dengan jalan yang batil. "Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (QS al-Baqarah [2]: 188).
Sebaliknya, zakat merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima. Zakat tidak bisa dikesampingkan karena bersifat wajib. Di dalam Alquran, Allah menyebutkan perintah zakat beriringan dengan perintah shalat sebanyak 82 kali. Ini menunjukkan posisi penting zakat dalam fondasi agama ini. Sebagai contoh, "Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk." (QS al-Baqarah: 43).
Shaleh Al Fauzan dalam Fiqih Sehari-hari menjelaskan, kewajiban zakat demi kebaikan manusia itu sendiri. Zakat menjadi sarana untuk menyucikan dan menjaga harta. Tak hanya itu, zakat pun berfungsi sebagai sarana penghambaan kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya, doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS at-Taubah:103).
Meski zakat berfungsi untuk menyucikan harta seseorang, bukan berarti zakat seseorang sah saat dikeluarkan dari harta yang haram, baik dari sifatnya maupun cara mendapatkannya. Rasulullah SAW pun mengatakan, sedekah yang bersumber dari harta haram tidak menjadikan pahala. "Barang siapa yang mengumpulkan harta dari cara yang haram kemudian ia bersedekah darinya, maka ia tidak mendapatkan pahala apa pun, bahkan ia tetap menanggung dosa dari harta haram tersebut." (HR al-Baihaqi, al-Hakim, Ibnu Huzaimah, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).
Pendapat Imam Al Qurthubi sebagaimana dikutip dari kitab Fathu Al Baari menjelaskan bahwa sedekah atau zakat dari harta haram tidak diterima. Alasannya, karena harta haram pada hakikatnya bukan merupakan hak miliknya. Dengan demikian, pemilik harta haram dilarang menasarufkan harta tersebut dalam bentuk apa pun. Sementara, bersedekah adalah bagian dari tasaruf (penggunaan) harta. Seandainya sedekah dari harta haram dianggap sah maka seolah-olah ada satu perkara yang di dalamnya berkumpul perintah dan larangan. Itu pun menjadi hal mustahil.
Menarik jika melihat pendapat Imam Ibnu Nujaim sebagaimana dikutip dalam kitab Al-Bahru Al-Raaiq (2/221). Dia menjelaskan, tidak wajibnya membayar zakat atas harta haram sekalipun sudah sampai satu nishab. Menurut dia, seandainya ada seseorang yang memiliki harta haram seukuran nishab, maka ia tidak wajib berzakat. Karena yang menjadi kewajiban atas orang tersebut adalah membebaskan tanggung jawabnya atas harta haram itu dengan mengembalikan kepada pemiliknya atau para ahli waris–jika bisa diketahui—atau disedekahkan kepada fakir miskin secara keseluruhan harta haram tersebut dan tidak boleh sebagian saja.
Mengambil zakat dari harta yang haram pun menjadi bahasan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). menjelaskan, zakat wajib ditunaikan dari harta yang halal, baik hartanya maupun cara perolehannya. Harta haram tidak menjadi objek wajib pajak. Kewajiban bagi pemilik harta haram adalah bertaubat dan membebaskan tanggung jawab dirinya dari harta haram tersebut. MUI merilis, cara bertaubat. Meminta ampun kepada Allah, menyesali perbuatannya, dan ada keinginan kuat (azam) untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Menurut MUI, bagi harta yang haram karena didapat dengan cara mengambil sesuatu yang bukan haknya maka harta itu harus dikembalikan seutuhnya kepada pemiliknya. Tapi, jika pemiliknya tidak ditemukan maka digunakan untuk kemaslahatan umum. MUI kembali menjelaskan, bila harta tersebut adalah hasil usaha yang tidak halal seperti perdagangan minuman keras dan bunga bank maka hasil usaha tersebut (bukan pokok modal) secara kesuluruhan harus digunakan untuk kemaslahatan umum.
Pena telah diangkat dan lembaran telah kering, skenario hidup telah Alloh tetapkan jauh sebelum terjadi manusia.
Manusia adalah pemilik gelar Al-Insan “Pelupa” namun Cahaya serta petunjuk-Nya yang senantiasa, mampu melindungi setiap manusia yang sedang bertebaran di muka bumi.
Inilah yang menjadi benteng dari sebuah kemaksiatan, kita bisa belajar dari krjatuhan iblis dan Nabi adam AS. Jangan pernah sesali masa lalu kita, karena masih punya begitu banyak pintu masa depan, yang lebih baik lagi.
Lima sebab Iblis Sengsara Dan Lima Sebab Adam Bahagia. Muhammad bin ad Dauri rahima hulloh, berkata :
"Iblis itu akan sengsara karena lima hal yaitu :
1. Tidak mengakui dosa yang di lakukannya
2. Tidak menyesali perbuatan dosanya.
3. Tidak mencela dirinya sendiri atas perbuatan dosa.
4. Tidak bertekad untuk bertaubat
5. Putus asa dari Rahmat Alloh.
Itulah kenapa Iblis sengsara dan mendapatkan murkanya. Sementara itu Nabi adam bahagia karena lima hal, yaitu :
1. Mengakui dosa yang dilakukannya.
2. Menyesali perbuatan dosa
3. Segera bertobat
4. Mencela dirinya sendiri atas perbuatan dosa.
5. Tidak putus asa dari rahmat Alloh
Sebanyak apa pun engkau berbuat dosa Seluas samudra dengan bentangan Arsynya pengampunan yang Alloh berikan.
Bahkan kalimat penyesalan Nabi Adam AS, di abadikan Dalam firmannya Alloh SWT:
Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi Rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ar - Arap [7] : 23).
Amat begitu rintih, Nabi Adam AS meminta ampunan Kepada Alloh, Namun Maha Suci Alloh pemilik Al-Ghofur "Maha pengampun.
Tentang sebuah pengakuan dosa yang pernah seorang hambanya lakukan Kepada Rasululloh SAW, Rasululloh SAW Bersabda :
Sesungguhnya Seorang hamba Itu jika mengakui dosa yang di perbuatnya, kemudian dia bertaubat, Niscaya Alloh akan mengampuni dosanya. (HR. al-Bukhori dan Muslim).
Itulah hikmah dari kejatuhan iblis dan Nabi Adam AS, semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah tersebut.
Referensi : Penjelasan 5 Sebab Iblis Sengsara dan 5 Sebab Adam Bahagia
Hati manusia memegang peranan penting bagi kehidupan jiwanya dan kebaikan akhlaknya. Ulama mengatakan, jika Allah Swt menghukum atau jauh dari seseorang, maka dia akan diberi kekerasan hati sehingga tidak bisa menikmati lezatnya ibadah.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
ما ضُرِبَ عبدٌ بعقوبةٍ أعظمُ من قسوة القلب و البعدِ عن الله
"Tidaklah seorang hamba dihukum dengan sebuah hukuman yang lebih buruk dibandingkan (dihukum) dengan kerasnya hati dan jauh dari Allah." (Kitab Al-Fawa'id). Hati juga yang menentukan keseimbangan kehidupan. Segala gerak-gerik manusia, baik yang zhahir maupun batin, dikendalikan oleh segumpal daging dalam tubuh. ‘Al-Qalbu’ sudah lumrah diterjemahkan dengan ‘hati’. Sesuai dengan namanya maka hati selalu berubah-ubah dan berbolak-balik. Karena al-qalbu sendiri dalam bahasa Arab artinya berbolak-bailk.
Itu terjadi dalam semua sisi kehidupan manusia, dari yang paling inti, yaitu keimanan sampai masalah remeh semisal selera makan atau lainnya. Iman tidaklah stabil sebagaimana ditegaskan oleh para ulama. Banyak dalil yang menunjukkan hal ini. Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam QS. Āli ‘Imrān: 173 : "(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.” Maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman dalam QS. Maryam ayat 76 : "Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal shalih yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu dan lebih baik kesudahannya." Kemudian ada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Iman itu lebih dari tujuh puluh atau lebih dari enam puluh cabang. Yang paling utama adalah perkataan, ‘Laa Ilaaha Illa Allah’ dan yang terendah adalah membersihkan gangguan dari jalanan, sedang rasa malu itu adalah satu cabang dari keimanan.” (HR. al-Bukhari Muslim).
Hadis yang mulia ini menjelaskan bahwa iman memiliki cabang-cabang, ada yang tertinggi dan ada yang terendah . Cabang-cabang iman ini bertingkat-tingkat dan tidak berada dalam satu derajat dalam keutamaannya, bahkan sebagiannya lebih utama dari lainnya. Dan masih banyak dalil lainnya. Hati yang condong dengan lafazh kalimat thayyibah, maka akan lembut. Maka hati dianjurkan untuk mencintai kalimat thayyibah dan mencintai orang yang suka melafazhkan kalimat tauhid itu. Hati yang condong kepada Allah itu wajib. Tapi hati yang cintanya terlalu condong kepada sesama manusia, ini dilarang karena akan menyebabkan hati menjadi keras dan melupakan Allah Ta'ala.
“Cintailah kekasihmu sekadarnya saja karena bisa jadi akan menjadi orang yang engkau benci. Dan bencilah orang sekadarnya saja, karena bisa jadi akan menjadi orang yang engkau cintai.” (Shahih, HR. at-Tirmidzi).
Referensi : Kerasnya Hati Pertada Allah Swt jauh Dari Hamba
7 Cara Bertaubat dengan Taubatan Nasuha Menurut Ajaran Islam. Umat muslim perlu melakukan penghayatan dan merenungkan dosa-dosa yang dilakukannya selama ini di hadapan Allah Swt. Sejatinya manusia hidup adalah untuk mengabdi kepada Sang Pencipta, Allah Subhanahu wa ta’ala. Manusia diciptakan untuk beribadah, menjalankan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.
Pada kenyataannya, manusia merupakan tempat salah dan dosa. Manusia tidak bisa bersih dari kesalahan di dunia ini. Setinggi apapun derajat manusia, tidak akan pernah lepas dari dosa-dosa.
Manusia memiliki dua pilihan sebagai hamba, melepaskan dosa yang telah dilakukannya atau tetap melakukan dosa yang dilakukannya selama hidupnya. Dosa yang tak terampuni sekalipun dapat dilakukan atau berpotensi dilakukan oleh manusia seperti syirik atau menduakan Allah Swt.
Meskipun manusia melakukan banyak dosa hingga menyekutukannya, namun Allah merupakan Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah akan tetap mengampuni dosa bagi manusia yang mau bertaubat secara taubatan nasuha.
Taubat nasuha merupakan taubat yang dilakukan secara bersungguh-sungguh dengan kebulatan tekad, niat, dan menyempurnkannya dengan usaha memperbaiki diri. Kali ini Dream akan berbagi tentang cara bertaubat dengan taubatan nasuha menurut ajaran Islam.
Tata Cara Shalat Taubat Nasuha dikerjakan dengan dua rakaat yang diawali niat dan diakhiri salam. Shalat Taubat lebih utama dikerjakan dengan sendirian, karena tidak termasuk jenis shalat yang disunnahkan untuk dikerjakan dengan cara berjamaah. Anjuran melaksanakan sholat taubat ini diriwayatkan Imam at Tirmidzi dari sahabat Ali bin Abi Thalib, dari sahabat Abu Bakar As-Shidiq bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Doa Sholat Taubat Lengkap dengan Arti serta Bacaan Dzikir
Artinya: “Tidaklah seseorang berbuat dosa lalu ia beranjak bersuci, melakukan shalat kemudian beristighfar meminta ampun kepada Allah kecuali Allah mengampuninya.”
Artinya: Aku berniat melakukan sholat sunnah taubat dua rakaat karena Allah Ta’ala.”
2. Takbiratul Ihram
3. Membaca doa iftitah
4. Membaca surat Al Fatihah
5. Membaca surat atau ayat dari Alquran. Umumnya para ulama mengatakan bahwa tidak ada ayat atau surat tertentu yang dianjurkan untuk dibaca dalam Shalat Taubat ini.
6. Rukuk
7. I'tidal (Membaca doa i'tidal)
8. Sujud (Membaca tasbih sujud tiga kali)
9. Duduk di antara dua sujud
10. Sujud kedua dianjurkan membaca tasbih sujud tiga kali
11. Bangun melanjutkan rakaat kedua sama seperti rakaat awal
12. Tasyahud akhir
13. Salam
14. Berdoa mohon ampunan.
Memperbanyak Sedekah Selain memperbanyak istighfar, dianjurkan apabila Shalat Taubat telah ditunaikan, untuk memperbanyak sedekah. Allah SWT berfirman :
Jika kamu menampakkan sedekah, maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah : 271)
Ketika Ka'ab bin Malik radhiyallahuanhu telah bertaubat dari kesalahannya karena tidak ikut dalam perang, beliau berkata kepada Rasulullah SAW :
Ya Rasulullah, sebagai tanda taubatku, aku lepaskan hak milikku dari hartaku untuk sedekah di jalan Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah SAW bersabda,"Tahanlah sebagian dari hartamu, karena akan berguna bagimu". Kaab berkata,"Aku masih punya bagian hartaku dari harta rampasan perang Khaibar. (HR. Bukhari Muslim) Bacaan Doa Sholat Taubat:
Artinya: “Ya Allah, Engkau adalah Rabbku, tidak ada tuhan selain Engkau. Engkau yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menetapi perjanjian untuk taat kepada-Mu dan janji balasan-Mu sesuai dengan kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku, aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku kepada-Mu, maka ampunilah aku. Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau.”
Sebelum membaca doa sholat taubat, dianjurkan untuk berdzikir dengan mengucapkan istighfar.
Berikut bacaan istighfar setelah shalat taubat nasuha:
Astagfirullohal ‘azhiim mingkulli dzanbil ‘adhiim la yaghfirudzdzunuuba illaa anta faghfirlanaa maghfirotan min ‘indik warhamnaa innaka antal ghofuurur Rohiim.
أَسْتَغْفِرُ اللهَ اْلعَظِيْمِ
Astaghfirullohal’azhiim.
Direktur Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Ahmad Sarwat MA menjelaskan, shalat taubat dikerjakan dengan dua rakaat sebagaimana disebutkan di dalam hadits Abu Bakar radhiyallahuanhu.
ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ
Mendirikan shalat dua rakaat. (HR. Abu Daud) Shalat taubah adalah shalat yang disyariatkan untuk dikerjakan oleh seorang hamba dalam rangka bertaubat kepada Allah SWT dan kembali dari dosa-dosa dan maksiat. Shalat Taubat tidak disyariatkan kecuali seseorang sedang bertaubat kepada Allah SAW.
Shalat taubat adalah shalat yang oleh jumhur ulama dikatakan sebagai shalat yang masyru’ dan telah ditetapkan pensyariatannya lewat nash-nash syariah.
Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahuanhu berkata,”Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah ada seorang hamba yang melakukan perbuatan dosa, kemudian dia berwudhu’ dengan baik, mendirikan shalat dua rakaat, lalu minta ampun kepada Allah, kecuali pastilah Allah SWT ampuni”. Kemudian beliau membaca ayat berikut : Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (HR. Abu Daud)
Dianjurkan seusai Shalat Taubat dilakukan untuk memperbanyak istighfar dan permohonan ampunan dari Allah SWT. Hal itu sebagaimana firman Allah SWT :
Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar. (QS. Thaha : 82).
Adapun kapan waktu untuk mengerjakan shalat Taubat ini, secara prinsipnya shalat Taubat sah dan boleh dilakukan kapan saja, baik siang atau pun malam. Karena shalat Taubat ini tidak terikat dengan waktu tertentu sebagaimana umumnya shalat Fardhu yang lima, atau beberapa jenis shalat sunnah yang lainnya. Bahkan para ulama berpendapat bahwa tidak ada larangan apabila shalat Taubat mau dikerjakan pada waktu-waktu yang terlarang untuk shalat sunnah mutlak sekali pun. Karena pada prinsipnya shalat Taubah itu adalah shalat yang ada sebabnya secara syar'i. Namun para ulama mengatakan sholat taubat paling baik dilakukan pada sepertiga malam terakhir atau selama waktu sholat tahajud dilakukan.
Allah SWT dalam Al-Qur’an surat at-Tahrim ayat 8 menjelaskan taubat yang paling baik adalah taubat nasuha (taubat yang semurni-murninya). Taubat adalah mengakui kesalahan dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.
"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Taubat nasuha dengan menunaikan tata cara sholat taubat nasuha disertai dzikir dan bacaan doa taubat nasuha, ditujukan agar Allah SWT memberikan ampunan, menutupi segala kesalahan dan meridai hamba-Nya untuk dimasukkan ke dalam surga-Nya.
Referensi : Tata Cara Shalat Taubat Nasuha Lengkap Bacaan Niat serta Doa Latin & Artinya
Tata Cara Sholat Taubat yang Sesuai dengan Petunjuk Nabi Muhammad SAW. Sholat taubat merupakan shalat yang dilakukan sebanyak dua rakaat dengan satu kali salam sebagaimana sholat sunnah pada umumnya, hanya saja yang menjadikannya berbeda dengan shalat lainnya adalah dari sisi tujuan Sholat taubat itu sendiri. Masing masing dari Sholat sunnah mempunyai tujuan dan fungsi masing masing, dan dari semua tujuan didiriaknnya sholat adalah untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada zat pencipta alam semesta ini, Allah Subhanahu Wata’ala, berikut kita akan berbicara panjang lebar mengenai sholat taubat dan tata cara sholat taubat yang benar.
Tata Cara Sholat Taubat Sesuai dengan Petunjuk Nabi lengkap
Pertama yang perlu kita ketahui bahwa shalat sunnah dapat dibagi menjadi 2 bagian besar :
Ada yang dilakukan secara mutlaq dengan mengikuti sunnah Rasulullah tanpa adanya sebab tertentu yang mengikutinya, seperti sholat tengah malam (tahajjud), dhuha, rawatib, tahiyatul masjid, sebelum safar, syuruk dan lain lain.
Dan juga ada yang dilakukan karena adanya sebab/tujuan tertentu yang mendorong kita untuk melakukannya misalnya, shalat istikhara dengan tujuan meminta petunjuk agar diberikan kekokohan dan kemantapan hati oleh Allah atas berbagai pilihan yang susah jika dipilih sendiri, terutama hal yang menyangkut masa depan kita, misalnya saja sholat istikhara untuk diberikan jodoh yang sesuai dengan harapan, dan yang akan kita bahas yaitu shalat taubat dengan tujuan meminta ampunan (bertaubat) dengan tulus atas kekhilafan dan kesalahan kesalahan atau berbagai dosa yang telah diperbuat, selain itu ada shalat gerhana matahari dan bulan.
Lebih baik juga dilakukan sebagai bentuk menyesali berbagai kesalahan dan perbuatan dosa yang telah dilakukan, baik secara disengaja maupun tidak disengaja, baik itu berupa dosa besar maupun dosa kecil yang dilakukan secara terang terangan hingga sembunyi sembunyi . Sholat taubat ini adalah salah satu bentuk mujahadah (kesungguhan) kita meminta pengampunan kepada Allah, yang disamping itu kita juga mengucapkan istigfar dan permohonan maaf kepada Allah.
Pengertian taubat itu sendiri memiliki arti menyesali semua bentuk perbuatan dosa yang telah kita lakukan dan lebih daripada itu adalah dengan berniat dan bertekad (berazam) untuk tidak mmelakukannya lagi yang disertai dengan permohonan ampunan kepada Allah.
Tata Cara Sholat Taubat Nasuha
Cara shalat taubat tidak beda halnya dengan sholat sunnah lainnya, yaitu dengan melakukan shalat dua rakaat dengan sekali salam yang disertai dengan permohonan istighfar setelah melakukannya sebagaiman hadits Rasulullah dibawah ini:
Dari Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Artinya : “Apabila ada orang yang melakukan suatu perbuatan dosa, kemudian dia berwudhu dengan sempurna, lalu dia mendirikan shalat dua rakaat, dan selanjutnya dia beristigfar memohon ampun kepada Allah, maka Allah pasti mengampuninya.” (HR. Ahmad 48, Abu Daud 1523, Turmudzi 408, dan dishahihkan al-Albani).
Adapun dari segi pengamalannya adalah dapat dilakukan setiap kali kita melakukan kesalahan yang ingin kita minta ampunannya dari Allah, sebagaimana setiap insan tidak pernah terlepas dari dosa dan kesalahan, maka selama itu juga melaksanakan sholat sunnah merupakan hal yang disunnaakan untuk memperoleh ampunan Allah.
Maka dari itu setiap manusia yang menyadari akan banyaknya dosa dan maksiat yang telah diperbuat akan terus berusaha untuk melakukan taubat dengan memohon istigfar terhadap apa yang telah dilakukannya, dengan harapan agar Allah menerima taubatnya dan memberikannya petunjuk untuk tidak melakukan dosa dan maksiat lagi setelah taubat serta diberikan petunjuk kepada jalan hidayah yang akan membingngnya untuk mengerjakan amal amal kebaikan yang akan menuntunnya ke Surga.
Tata Cara Shalat Taubat
Berwudhu secara sempurna (sesuai dengan sunnah).
Adapun niat cukup di dalam hati tanpa dilafazhkan.
Kemudian Membaca Doa Iftitah (Sunnah).
Membaca Surat Al-Fatihah.
Membaca salah satu surat Al-quran yang mudah dibaca.
Rukuk membaca doa rukuk dengan tuma’ninah (tenang) dan tidak tergesa gesa.
Bangkit dari Rukuk (I’tidal) dengan tuma’ninah hingga tulang punngu sejajar.
Turun Sujud dengan membaca doa sujud.
Disunnahkan berdoa disetiap sujud setelah memabaca doa sujud
Bangkit dari sujud dengan malakukan duduk diantara dua suju secara iftirash.
Sujud dengan membaca doa Sujud.
Kemudian bangkit untuk melakukan rakaat yang kedua sebagaimana langkah langkah yang telah dijelaskan diatas.
Duduk tahiyat akhir dengan cara seperti duduk diantara dua sujud yaitu dengan iftirash, karena sholat yang dilakukan hanya
memiliki satu kali tasyahud, adapun jika shalat yang dilakukan memiliki dua tasyahud, maka duduk dengan cara tawarruk.
Disunnahkan juga untuk memperbanyak doa pada tahiyat akhir sebelum salam.
Semua tata cara diatas dilakukan dengan tenang dan tidak tergesa gesa (tuma’ninah), karena perlu kita ketahui bahwa hukum tuma’ninah dalam setiap sholat adalah wajib.
Tidak ada bacaan khusus yang dibaca, sama halnya dengan shalat pada umumnya.
Disamping itu kita harus berusaha khusyuk di dalam sholat kita karena teeringat dengan kesalahan yang telah dilakukan, dengan harapan agar Allah mengampuninya.
Beristigfar (bertaubat) dan memhohon ampunan kepada Allah setelah mengerjakan shalat.
Tidak ada bacaan istigfar khusus yang di baca pada sholat taubat, bacaan istigfarnya sama dengan bacaan istigfar yang sering kita baca seperti astagfirullah wa atuubu ilaihi dan bacaan bacaan istigfar lainnya.
Adapun tujuan sholat taubat ini adalah meminta pengampunan kepada Allah dengan tulus dan bertekad untuk tidak melakukannya lagi.
Niat Sholat Taubat
Niat dalam shalat pada dasarnya tidak dilafdzhkan, karena tempat niat sendiri ada di dalam hati. Misalnya saja anda ingin melakukan sholat taubat pasti sebelumnya anda telah berniat melakukannya, karena mustahil anda melakukan suatu perbuatan tanpa di dasari dengan niat untuk mengerjakannya. Kondisi ini berlaku pada setiap sholat, baik wajib maupun sunnah.
Maka pelafazhan niat yang dilakukan sebelum takbiratul ihram sebaiknya tidak dilakukan, karena tidak ada dalil yang menunjukkan akan adanya hal tersebut, wallahu a’lam. Adapun orang orang yang mengatakan bahwa dengan melafdzhkan niat agar lebih memantapkan dan lebih khusyuk, dan mengatakan bahwa jika niat tidak dilafadzhkan terkadang kuran terfokus.
Maka kita katakan bahwa mereka harus mendatangkan dalil dari nash Al-Quran atau Hadist yang menyebutkan hal tersebut, jika memang ada dan terbukti kebenarannya, maka tentu kita akan ikuti yang lebih utama. Maka permasalahan tentang niat ini kita tidak mengatakan bahwa yang melafadzhkan niat itu tidak sesuai dengan tuntunan, namun jika kita mengetahui kebenaran maka kita sampaikan hal tersebut.
Doa Sholat Taubat
Adapun doanya maka kita katakan tidak ada doa khusus dalam hal ini yang disebutkan, adapun anjurannya adalah memperbanyak istighfar setelah sholat taubat, adapun berbagai jenis bacaan istigfar yang bisa anda baca, sebagai berikut ;
bacaan doa istigfar. Artinya : “Aku memhon ampun kepada Allah”
bacaan doa istighfar. Artinya : ”Wahai Rabb Ampunilah Aku”
Doa Istigfar. Artinya : “Ya Allah! sesungguhnya aku telah mendzhalimi diriku, maka ampunilah aku; karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Engkau”
Doa Istigfar. Artinya : “Tuhanku! Ampunilah aku dan berilah taubat kepadaku, sesungguhnya Engkaulah Maha Penerima taubat lagi Maha Pengampun, (atau )Maha Penerima taubat lagi Maha Pengasih”.
bacaan istigfar. Artinya : “Ya Allah! sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku dengan kezhaliman yang banyak dan tidak ada Yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allâh, maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu, dan kasihilah aku, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih”.
Bacaan istighfar. Artinya : “Aku memohon ampun kepada Allâh Yang tidak ada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Dia Yang Maha Hidup Lagi Maha berdiri sendiri, dan aku bertaubat kepada-Nya”.
Waktu Sholat Taubat
Dalam pengerjaannya shalat taubat tidak ada waktu waktu yang di khusukan misal harus dikerjalan pada pagi hari atau malam hari, berbeda dengan shalat sunnah pada umumnya yang dikerjakan berdasarkan waktunnya dengan kata lain terikat dengan waktu (muqayyad) adapun shalat taubat tidak ada dalil yang menunjukkan waktu tertentu yang menjadi patokan dalam pelaksaannya.
Sholat taubat dapat dilakukan kapan saja dan tidak terikat tanpa adanya pengkhususan dalam waktu, baik itu pagi, siang maupun malam. Namun tepatnya, dalam pelaksanakannya lebih baik dilaksanakan secepat mungkin setelah kita menyadari akan dosa dan maksiat yang kita lakukan dan ingin kita mohonkan agar Allah mengampuninnya.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar As Shiddiq:
“Tidaklah seorang hamba melakukan suatu dosa, kemudian ia bersuci dengan baik dan berdiri melakukan shalat dua rakaat, lalu memohon ampun kepada Allah melainkan Allah akan mengampuninya.” Kemudian beliau (Abu Bakar) membaca ayat: “Dan orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menganiaya dirinya sendiri mereka ingat Allah, kemudian memohon ampunan atas dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak melanjutkan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.[QS. Ali Imron: 135]” (HR. Tirmidzi no. 406, Abu Daud no. 1521, Ibnu Majah no. 1395.)
Cara Taubat Nasuha yang benar
Disamping kita telah mengetahui tata cara shalat taubat, maka selanjutnya yang perlu kita ketahui juga adalah bagaimana cara taubat nasuha yang benar. Ditinjau dari pengertiannya sendiri, taubat nasuha merupakan taubat yang dilakukan sebenar benarnya taubat dengan sungguh sungguh, tulus dan murni ingin meminta maaf akan dosa dan maksiat yang telah dilakukan, dan ini merupakan perintah Allah bagi orang orang yang beriman dalam surah At-Tahrim ayat : 8
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu, dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak mengecewakan Nabi dan orang-orang yang beriman yang bersama dengannya; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami. (Q.S At-Tahrim :8)
Maka dengan mengetahui cara taubat nasuha yang benar, maka ampunan kita akan mudah diterima oleh Allah, karena sesuai dengan tuntunan dan syarat syarat yang harus di lakukkan.
Syarat Taubat Nasuha
Niat melakukan taubat dengan dasar ikhlas dan tidak mengharapkan sesuatu selain dari petunjuk dan ampunan Allah, karena setiap niat niat kita, adalah penentu diterima atau tidaknya amalan kita sebagaimana hadist Rasulullah, dari Umar bin Khattab berikut ini :
Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits).
Merasa menyesal atas kesalahan dan dosa yang telah dilakukan dengan bertekad tidak akan mengulanginnya lagi dan menyadari bahwa ampunan Allah itu luas, sebagaimana hadist dari Anas bin Malik menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman
Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau menyeru dan mengharap pada-Ku, maka pasti Aku ampuni dosa-dosamu tanpa Aku pedulikan. seandainya dosamu membumbung tinggi hingga ke langit, tentu akan Aku ampuni, tanpa Aku pedulikan. seandainya seandainya engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikit pun pada-Ku, tentu Aku akan mendatangi-Mu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi no. 3540. Abu Isa mengatakan bahwa hadits ini ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Tidak melakukan dosa sacara terus menerus, jika ada kesalahan maka segeralah bertaubat dan memohon ampunan, jika itu berkaitan dengan perintah yang tidak ditunaikan maka segeralah tunaikan, jika ada kaitannya dengan hak manusia, maka kembalikannlah hak hak nya atau dengan meminta keikhlasannya agar dimaafkan, ini juga berlaku terhadap hak hak oarang kafir yang kita dzolimi. Disamping itu tetap lakukan kebaikan yang akan menjadi pelebur dosa dosa yang telah lakukan.
Bertekad dengan tekad yang kuat agar tidak melakukannya kembali di lain waktu, dan jika terluput lagi maka segeralah bertaubat, dan semoga kita tidak terjatuh pada lubang maksiat yang sama sebanyak dua kali.
Bertaubat selagi masih hidup di dunia dan ajal belum sampai di tenggorokan, dan matahari belum terbit dari barat, maka pada saat saat itu taubat kita masih diterima oleh Allah. Jauhilah lingkungan yang buruk, dimana terdapat orang orang yang selalu menyeru dan mengajak untuk melakukan maksiat dan perbuatan dosa dan menunda nunda kita untuk melakukan taubat.
Akhir kata saya ucapkan semoga para pembaca mampu mengambil pelajaran dan manfaat dari tulisan tentang tata cara shalat taubat diatas, dan lebih penting dari semua itu adalah pengamalan dalam kehidupan kita sehari hari, karena inti dari semua ilmu adalah amal, karena kita akan di hisab berdasarkan amalan yang telah kita lakukan.
Adapun ilmu yang selalu kita kumpulkan dan tidak amalkan maka itu tidak akan memberikan manfaat kepada kita, sebagaimana perkataan salah seorang salaf as sholeh “bukanlah ilmu itu dengan banyaknya hafalan melainkan rasa takut kita kepada Allah” maka jika kita melihat ada orang orang yang merasa sombong dengan banyaknya ilmu namun tidak menambah rasa takutnya kepada Allah, maka saksikanlah bahwa ilmu yang telah dia pelajari itu tidak mendatangkan manfaat pada dirinya.
Sekian artikel mengenai sholat taubat pada kesempatan kali ini, semoga dengan adanya artikel ini, dapat membantu saudara saudara sekalian, agar lebih memahami apa itu shalat taubat, tata cara pelaksanaanya, hingga syarat diterimanya taubat. Semua telah kita bahas secara lengkap, jika ada yang perlu ditanyakan seputar pembahasan di atas, silahkan isi kolom konmentar di bawah ini.
Referensi Sebegai berikut ini ; Tata Cara Sholat Taubat yang Sesuai dengan Petunjuk Nabi Muhammad SAW.