“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sumpah setia dari kami ketika kami berbai’at, yaitu kami dilarang meratap. Dan tidak ada yang bisa menepatinya di antara kami, kecuali hanya lima perempuan saja, yaitu Ummu Sulaim; Ummul ‘Alaa; anak perempuan Abu Sabrah, yang merupakan istri dari Mu’adz; dan dua perempuan lainnya; atau [1] anak perempuan Abu Sabrah; istri Mu’adz; dan satu perempuan lainnya.” (HR. Bukhari no. 1306 dan Muslim no. 936)
Baca Juga: Menyalati Jenazah, Tapi Tak Tahu Jenis Kelaminnya, Sahkah Shalatnya?
Meratapi mayit, di antaranya dalam bentuk berteriak-teriak, menangis histeris karena kematiannya, adalah perbuatan yang terlarang. Perbuatan semacam ini sangat berat untuk ditinggalkan, kecuali mereka yang dirahmati oleh Allah Ta’ala. Terutama sangat berat bagi wanita. Oleh karena itu, dari sejumlah shahabiyyah yang berjanji di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya tersisa lima orang saja yang bisa melaksanakannya. Hal ini karena memang individu atau person sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak terjaga (maksum) dari berbuat dosa. Meskipun apabila berbuat dosa, mereka adalah orang-orang yang dimudahkan untuk segera bertaubat.
Terdapat ancaman berupa hukuman khusus di akhirat bagi orang yang gemar meratapi mayit. Diriwayatkan dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ada empat perkara khas jahiliyah [2] yang masih melekat pada umatku dan mereka belum meninggalkannya: (1) membanggakan jasa (kelebihan atau kehebatan) nenek moyang; (2) mencela nasab (garis keturunan) [3]; (3) menisbatkan hujan disebabkan oleh bintang tertentu; dan (4) dan niyahah (meratapi mayit).”
Dan beliau bersabda, “Wanita yang meratapi mayit, jika dia belum bertaubat sebelum ajalnya tiba, maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dengan memakai kain (baju) yang terbuat dari timah cair [4] dan memakai pakaian dari kudis.” (HR. Muslim no. 934)
Disebutkannya “wanita” pada hadits di atas adalah karena mayoritas pelakunya adalah wanita. Sehingga jika laki-laki juga meratap dan belum bertaubat sampai meninggal dunia, dia pun berhak terkena ancaman hukuman sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.
Perkara ini juga sangat mendapatkan perhatian dari para sahabat, sampai-sampai mereka pun mengingatkannya ketika mereka sakit parah. Abu Musa (‘Abdullah bin Qais) radhiyallahu ‘anhu merasakan sakit hingga jatuh pingsan sementara kepalanya menyandar dalam pangkuan salah seorang istrinya. Istrinya pun berteriak histeris sementara dia (Abu Musa) tidak bisa mencegah perbuatan istrinya sedikit pun (karena pingsan, meskipun masih bisa mendengar suara ratapan istrinya, pent.).
Ketika sadar, maka Abu Musa radhiyallahu ‘anhu pun berkata,
“Saya berlepas diri dari tindakan yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Rasulullah berlepas diri dari wanita yang meratap (menangis histeris), yang memotong-motong (mencukur atau menggundul) rambut kepala [5], serta menyobek-nyobek baju.” (HR. Bukhari no. 1296 dan Muslim no. 104)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari umatnya yang meratapi mayit. Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bukan dari golongan kami siapa yang menampar-nampar pipi, merobek-robek kerah baju, dan menyeru dengan seruan jahiliyyah (meratap).” (HR. Bukhari no. 1294 dan Muslim no. 103)
Tindakan-tindakan di atas adalah bentuk ratapan yang dikenal pada jaman itu. Maksud “menyeru dengan seruan jahiliyyah” dicontohkan para ulama dengan mengatakan, “Wahai sandaran hidupku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Atau ucapan, “Wahai pelindungku, mengapa Engkau pergi meninggalkanku sendiri?” Kalimat-kalimat semacam itu, yang diucapkan ketika seseorang mendapatkan musibah, termasuk dalam ucapan ratapan yang terlarang. Penjelasan lain dari “seruan jahiliyyah” adalah seruan untuk fanatisme kekelompokan (fanatisme golongan).
Yang diperbolehkan adalah (hanya) menangis dengan meneteskan air mata, tanpa mengucapkan kalimat-kalimat terlarang di atas. Kalau mulut ikut berteriak histeris, ini adalah bentuk meratap yang terlarang.
Sebagaimana dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis ketika anak beliau, Ibrahim, meninggal dunia. Namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah meratapi Ibrahim dengan ucapan-ucapan kalimat yang menunjukkan ekspresi kesedihan.
Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Abu Saif Al-Qaiyn yang (isterinya) telah mengasuh dan menyusui Ibrahim (putra Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil Ibrahim dan menciumnya. Kemudian setelah itu pada kesempatan yang lain, kami mengunjunginya sedangkan Ibrahim telah meninggal.
Hal ini menyebabkan kedua mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlinang air mata. Lalu berkatalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu kepada beliau, “Mengapa Anda menangis, wahai Rasulullah?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ
“Wahai Ibnu ‘Auf, sesungguhnya ini adalah rahmat (tangisan kasih sayang).”
Beliau lalu melanjutkan dengan kalimat yang lain dan bersabda,
“Kedua mata boleh mencucurkan air mata, hati boleh bersedih, hanya kita tidaklah mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kita. Dan kami dengan perpisahan ini wahai Ibrahim, pastilah bersedih.” (HR. Bukhari no. 1303 dan Muslim no. 62)
Menangis, meneteskan air mata adalah wajar karena menunjukkan kasih sayang kita kepada saudara atau kerabat yang meninggal. Akan tetapi, tangisan air mata tersebut tidak boleh diiringi dengan ratapan berupa ucapan-ucapan yang terlarang.
Rindu adalah perasaan yang terpendam karena ingin bertemu. Rindu juga dapat diartikan sebagai bentuk rasa cinta. Rindu itu berat karena harus menahan perasaan itu agar tidak membuncah. Lalu bagaimana rindunya seorang hamba kepada Tuhannya atau Tuhan yang merindukan hambanya?
1.Sering terbangun tengah malam
2.Sering muncul postingan agama di sosmed kamu
3.Hatimu bergetar ketika mendengar suara Adzan
4.Di beri kesedihan, kesulitan dan masalah, agar kamu kembali mendekat kepadaNya
5.Sering menemui kegagalan
6. Dijauhkan dari orang-orang yang menjauhkanmu dari Allah
7.Sering ingat kematian
8.Tidak tertarik pacaran dan tidak berharap kepada manusia
9. Overthinking memikirkan dosa dan bekal untuk akhirat udah cukup belum ya?
10. Ketika sering sedih dan gelisah, tandanya Allah lagi rindu sama kamu.
Ketika Allah rindu hambaNya, Allah bakal bilang gini sama malaikat. “Pergilah kepada hambaku lalu timpakanlah ujian kepadanya, karena Aku ingin mendengar rintihannya”. (HR. Tabrani). perbanyak mengingat Allah terutama di sepertiga malam dan menceritakan semua kesedihanmu kepada Allah percayalah setumpuk pedihmu akan terbayar ketika tahajud
Mengimani Sifat Murka Allah Swt, Kemuliaan suatu disiplin ilmu sangat erat kaitannya dengan obyek pembahasan. Semakin tinggi kedudukan obyek pembahasannya, maka ilmu itu semakin mulia. Oleh karenanya para ulama mengatakan bahwa ilmu yang membahas tentang nama dan sifat Allah adalah cabang ilmu yang sangat mulia, sebab obyek pembahasannya adalah Allah, Zat yang Mahamulia, maka pembahasannya pun jadi mulia.
Di antara sifat Allah yang menjadi tema pembahasan di dalam kitab para ulama kontemporer adalah masalah sifat غَصَب(sifat marah/murka) bagi Allah. Sengaja para ulama ahlus sunnah wal jama’ah memasukkan pembahasan ini dalam karya tulis mereka karena ada sebagian umat Islam yang mengingkari sifat ini. Sehingga perlu bagi para ulama untuk menjelaskan kepada umat ini akan eksistensi sifat ghadhab (marah) bagi Allah.
Dalil yang Menunjukkan Adanya Sifat Marah Bagi Allah
Ada banyak dalil yang menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat ghadhab (murka/marah). Baik dalil dari Alquran maupun dari Sunah.
1. Dalil dari Alquran
Ada banyak teks ayat Alquran yang menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat marah. Di antaranya adalah:
“Dan barang siapa membunuh seorang beriman dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan adzab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa: 93)
“Dankarena itulah mereka menanggung kemurkaan demi kemurkaan, dan kepada orang-orang kafir ditimpakan azab yang pedih.” (QS. Al-Baqarah: 90)
Ketika menanggapi ayat ini, Imam Ibnu Katsir membawakanriwayat dari Abu ‘Aliyah. Beliau mengatakan, “Allahmurka kepada mereka lantaran mereka mengingkari Injil dan Isa. Kemudian mereka juga ingkar terhadap Muhammad dan Alquran.”
“Dan sumpah yang kelima bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya (istri) jika suaminya termasuk orang yang berkata benar.” (QS. An-Nur: 9)
Sebagaimana yang kita saksikan, di dalam ayat-ayat di atas, Allah me-nisbat-kan sifat marah kepada diri-Nya sendiri. Jika demikian halnya, lantas layakkah jika kita lancang terhadap ayat-ayat Allah seraya mengatakan, “Allah tidak memiliki sifat murka.” atau “ Allah tidak mungkin bisa marah.”
Tidakkah kita tahu diri serta beriman kepada Allah? Tidakkah kita mencukupkan diri menetapkan apa-apa yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri?
Ayat-ayat yang memberikan pesan semakna dengan ayat-ayat di atas masih banyak. Bahkan Allah juga mengisyaratkan hal ini di dalam ayat yang senantiasa dibaca oleh umat Islam di dalam salatnya. Allah berfirman,
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“Bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan jalan mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 7)
Syaikh Sholih Fauzan dan para ulama yang lain rahimahumullah menjadikan ayat ini sebagai bukti bahwa ghadhab (marah/murka) adalah salah satu sifat Allah ta’ala.1
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Alquran yang mengandung pesan bahwa Allah memiliki sifat murka kepada siapa saja yang Dia kehendaki sebagaimana Dia juga memiliki sifat rida terhadap siapa saja yang Dia kehendaki.
Dalil dari Al-Hadis
Ada sekian banyak hadis yang menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat murka. Di antaranya adalah:
Hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Allah sangat murka terhadap kaum yang memperlakukan nabinya seperti ini. Beliau menunjuk giginya yang patah. Kemudian beliau mengatakan, “Allah juga sangat murka terhadap orang yang dibunuh oleh nabi-Nya.”(HR. Bukhari: 4073 dan Muslim: 1793)
Barangkali beberapa ayat dan hadis di atas sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa Allah adalah zat yang bisa murka sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya.
Memahami Sifat Allah Sesuai dengan Kaidah Ahlus Sunnah Waljama’ah
Para ulama ahlus sunnah wal jama’ah telah jauh hari menetapkan kaidah-kaidah universal dalam memahami teks-teks yang berbicara masalah sifat Allah. Upaya ini tidak lain bertujuan untuk mengantisipasi adanya penyimpangan dalam mempelajari dan memahami sifat-sifat Allah Ta’ala. Serta untuk meng-counter pemikiran pemikiran luar yang berupaya untuk merusak metode berpikir umat Islam.
Di antara kaidah yang dimaksud adalah sebagai berikut2:
Hakikat sifat Allah tidak sama dengan sifat makhluk-Nya.
Setiap kali kita mendapatkan teks-teks yang berbicara tentang sifat-sifat Allah, harus kita tanamkan di benak kita bahwa sifat Allah tidak sama dengan sifat makhluk. Kaidah ini bersandar pada firman Allah,
“Tidak ada sesuatu apapun yang menyamainya. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Asy–Syura: 11)
Demikian halnya ketika Allah menisbatkan sifat marah pada diri-Nya sendiri, maka kita harus memahami bahwa marahnya Allah tidak sama dengan marahnya makhluk. Meskipun namanya sama, akan tetapi hakikatnya berbeda.
Sebagai contoh konkritnya, amarah yang timbul pada diri manusia adalah amarah yang disertai dengan mendidihnya darah dalam jantung serta raut wajah yang memerah. Bahkan bisa jadi rambutnya pun juga ikut berdiri. Ini adalah gambaran ekspresi murka yang ada pada manusia.
Sedangkan murkanya Allah, tidak boleh kita samakan dengan murka manusia. Sebab jika kita samakan dengan sifat amarah yang ada pada manusia berarti kita telah menerjang ayat di atas. Selain itu, jika kita menyamakan antara murka Allah dengan murka makhluk maka akan timbul berbagai konsekuensi-konsekuensi batil, seperti; Allah memiliki jantung, darah, rambut, dst.
Oleh karena itu, kita tidak boleh menyamakan antara amarah Allah dengan amarah manusia. Adapun bagaimana hakikat murka Allah, maka hanya Allah-lah yang mengetahuinya.
Seluruh sifat Allah adalah sifat sempurna, tidak mengandung aib dan kekurangan.
Allah adalah Mahasempurna, jauh dari kekurangan serta aib. Allah menerangkan hal ini dalam firmannya,
“Bagi orang yang tidak beriman pada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk. Sedangkan Allah mempunyai sifat yang Mahatinggi.” (QS. An-Nahl: 60)
Ayat ini mengandung pesan bahwa sifat-sifat Allah adalah sifat yang paling tinggi, tiada sifat yang lebih tinggi dari sifat Allah. Sehingga setiap sifat yang disandang oleh Allah adalah sifat sempurna yang mencapai puncak kesempurnaan.3
Dengan demikian, sifat murka Allah adalah sifat murka yang sempurna sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya. Sesuai kehendak-Nya, Allah murka kepada orang yang pantas untuk dimurkai sebagaimana Dia juga meridai orang yang pantas untuk diridai.
Berbeda halnya dengan sifat amarah makhluk. Manusia genap dengan seluruh kekurangan dan keterbatasannya, sering kali bertindak tidak adil. Sangat mungkin seorang manusia marah bukan pada tempatnya, atau marah pada orang yang tidak berhak untuk dimarahi.
Teks yang berbicara masalah sifat Allah harus dipahami sesuai dengan makna lahiriahnya.
Alquran adalah kitab suci yang Allah turunkan dengan bahasa Arab yang sudah jelas. Allah berfirman,
“Dan sungguh Alquran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, yang dibawa oleh Ruhul Amin (Jibril). Ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan. Dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy-Syu’ara: 192-195)
Allah menurunkan Alquran dengan bahasa Arab yang sangat jelas, itu artinya kita tidak perlu menyimpangkan maknanya dari makna lahiriahnya. Ketika Allah menyandarkan sifat ghadhab pada dirinya, maka yang dimaksud dengan ghadhab (murka) adalah sifat marah hakiki yang sudah diketahui maksudnya oleh setiap orang berakal.
Dengan demikian kita tidak dibenarkan mengganti makna tersebut dengan makna lain. Misalnya mengganti makna “ghadhab” dalam ayat ini dengan tafsiran lain seperti; “keinginan untuk mengazab” atau “keinginan untuk membalas”, dsb.
Jika kita merubah makna ayat seperti ini, seakan kita mengatakan bahwa tata bahasa dalam ayat Alquran tidak jelas, sehingga makna teks-teksnya perlu diganti dari makna lahirnya.
Di sisi lain, perbuatan mengganti makna teks seperti ini sama halnya kita menentang Allah. Seakan orang seperti ini ingin mengatakan, “Allah tidak marah.” Padahal Allah sendiri yang telah menyandarkan sifat tersebut kepada dirinya.
Imam al-Asbahani mengatakan, “Sesungguhnya dalam permasalahan ini, mazhab kami dan mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah menetapkan serta memahaminya sesuai dengan makna lahiriahnya tanpa menggambarkan kaifiahnya serta tanpa menyamakannya dengan sesuatu apa pun. Sebagian kelompok ada menolak sifat Allah dengan cara meniadakannya. Dan ada juga sebagian kelompok yang menyimpangkan maknanya sehingga menyelisihi makna lahir. Akibatnya mereka justru menolak sifat Allah dan juga menyerupakan Allah dengan makhluknya.”4
Tidak boleh menggambarkan bagaimana hakikat sifat Allah.
Akal manusia sangat terbatas. Jikapun bisa menganalisa, ia hanya mampu menganalisa materi-materi yang kasat mata atau yang bisa ditangkap oleh indra. Dengan kata lain, akal tidak akan pernah mampu menganalisa perkara-perkara ghaib tanpa adanya bimbingan wahyu.
Oleh karenanya jika ada manusia yang mencoba membayangkan bagaimana sejatinya keadaan Allah tatkala murka, niscaya ia tidak akan sanggup untuk menggambarkannya. Sebab hal-hal yang ia bayangkan adalah perkara gaib, tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah pula didengar oleh telinga.
Seandainya pun ia memaksakan diri untuk menggambar-gambarkannya, niscaya yang terlintas di pikirannya tidak jauh dari berbagai bentuk makhluk yang pernah ia lihat dan ia dengar saja. Itu artinya menggambarkan kaifiyah Allah sama artinya menyerupakan Allah dengan Makhluk-Nya. Padahal kita tahu, Allah tidak sama dengan makhluknya.
Sehingga, wajar jika kita dilarang untuk menggambarkan bagaimana bentuk Allah Ta’ala, sebab jika kita membayangkan bentuk Allah sama halnya kita menyerupakan-Nya dengan makhluk.
Sangat tepat jawaban imam Malik rahimahullah tatkala beliau ditanya, “Bagaimanakah Allah bersemayam (istiwa’) di atas ‘Arsy?” Beliau menjawab, “Istiwa’ sudah dimaklumi, sedangkan bagaimana kaifiahnya tidaklah kita ketahui, mengimaninya adalah wajib dan bertanya tentang kaifiahnya adalah bid’ah.”5
Meluruskan Kesalahpahaman
Secara umum, para ulama ahlus sunnah waljama’ah terdahulu semenjak generasi para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in tidak ada yang mengingkari sifat ini. Di dalam memahami sifat ini pun nyaris tidak ada kontroversi di antara mereka.
Akan tetapi setelah umat Islam banyak yang terpengaruh oleh filsafat Yunani mulailah muncul kontroversi dalam memahami sifat ini. Teks-teks Alquran yang pada dasarnya sangat mudah dipahami, kini dibuat bertele-tele dan begitu rancu. Walhasil, banyak kaum muslimin yang keliru dalam memahami sifat ghadhab Allah Ta’ala.
Di antara kesalahan tersebut adalah menolak sifat marah bagi Allah. Dalam hal ini mereka terbagi menajdi beberapa kelompok. Sebagian kelompok meniadakan sifat ghadhab bagi Allah secara mutlak dan sebagian kelompok yang lain menyimpangkan makna ghadhab kepada maka yang lain, yaitu : kehendak untuk menyiksa.
Untuk menguatkan pemikiran ini, mereka membawakan beberapa alasan. Di antaranya adalah:
Marah adalah sifat bagi makhluk. Jika kita menetapkan sifat marah bagi Allah berarti kita menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.
Untuk menjawab kesalahpahaman seperti ini maka bisa kita jawab dari beberapa sisi:
Jika Anda boleh mengatakan demikian, maka kami pun juga bisa mengatakan bahwa orang yang menolak sifat ghadhab bagi Allah sama artinya telah menyerupakan Allah dengan dengan benda-beda mati (seperti batu, tanah, kayu, dsb) yang tidak memiliki sifat marah.
Kesamaan nama tidak mengharuskan kesamaan materi. Sebagai contoh, Allah bersifat wujud (ada). Demikian juga manusia bersifat wujud. Akan tetapi eksistensi keduanya berbeda. Wujud Allah adalah wujud azali abadi, sedangkan wujud manusia adalah wujud fana dan sementara.
Demikian juga dengan sifat murka, meskipun Allah punya sifat marah namun amarah Allah sesuai dengan kemuliaan-Nya tidak sama dengan sifat amarah makhluk-Nya.
Marah adalah keadaan saat darah mendidih dalam hati, dan hal itu mustahil bagi Allah.
Pemahaman seperti ini juga tidak tepat. Sebab mendidihnya darah, atau berubahnya warna wajah saat marah adalah sifat yang terjadi pada makhluk. Adapun Allah, maka marah-Nya tidak lazim harus seperti itu. Lantas bagaimana marahnya Allah? Hanya Allah–lah yang mengetahui bagaimana kaifiahnya.
Menetapkan sifat marah bagi Allah sama dengan mengatakan bahwa Allah dipengaruhi oleh ciptaan, dan ciptaan yang menyebabkan peristiwa kemarahan-Nya, dll. Padahal Allah tidak terpengaruh oleh apa yang kita lakukan, atau oleh apa pun dalam ciptaan-Nya. Karena Dia tidak membutuhkan ciptaan dengan cara atau bentuk apapun.
Untuk meluruskan kesalahpahaman ini kita bisa menjawabnya dari beberapa sisi:
Pertama: Yang menetapkan sifat murka bagi Allah adalah Allah sendiri. Sedangkan kewajiban kita hanyalah menetapkan apa-apa yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri. Sebagai hamba-Nya tentu kita tidak boleh lancang sampai berani menolak ketetapan Allah atau menetapkan perkara yang tidak Ia tetapkan bagi diri-Nya
Kedua: sifat murka adalah sifat ikhtiyariyah (pilihan) Allah. Artinya Allah tidak dipaksa oleh siapapun dalam hal ini. Semuanya terserah kepada kehendak Allah. Jika Ia menghendaki maka Ia akan murka kepada orang yang pantas untuk dimurkai, Sebagaimana Allah juga meridai hamba-Nya sesuai dengan kehendak dan iradah-nya. Jadi menetapkan sifat murka bagi Allah, tidak berarti mengtakan bahwa Allah bergantung kepada makhluk-Nya.
Dengan demikian kita tidak perlu menakwil makna ghadhab dengan “kehendak menyiksa” atau “siksaan” atau takwil-takwil lain yang menyimpang dari makna lahirnya.
Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi ajma’in.
Jangan sampai membuat Allah murka. Kemurkaan Allah SWT harus dihindari manusia dengan tidak melakukan hal yang dilarang.1. Syirik
Syirik artinya menyekutukan Allah, perbuatan ini sangat dimurkai oleh Allah dan termasuk dosa besar.
2. Druhakan kepada Orangtua
Berbuat durhaka kepada orang tua termasuk perkara yang dibenci oleh Allah. Berani melawan orang tua bisa mendatangkan murka Allah.
Bahkan mengatakan "ah" saja kepada orang tua dilarang oleh Allah. Sebagaimana firmannya dalam Al Quran surat Al Isra ayat 23.
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (QS. Al Isra ayat 23).
3. Kikir
Allah memerintahkan kita untuk berbuat baik terhadap sesama dan gemar bersedekah serta jangan kikir.
Kikir atau pelit adalah sifat yang sangat dibenci oleh Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam Al Quran surat Ali Imran ayat 180.
"Dan jangan sekali-kali orang-orang yang kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya mengira bahwa (kikir) itu baik bagi mereka, padahal (kikir) itu buruk bagi mereka. Apa (harta) yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan (di lehernya) pada hari Kiamat. Milik Allah-lah warisan (apa yang ada) di langit dan di bumi. Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan." 9QS. Ali Imran ayat 180).
4. Membunuh Seseorang
Allah mengharamkan seorang muslim membunuh sesamanya tanpa alasan yang benar. Hal ini termasuk perbuatan yang dimurkai oleh Allah.
Sebagaimana firman Allah dalam Al Quran surat Al Isra ayat 33.
"Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan." (QS. Al Isra ayat 33).
Karena termasuk perbuatan dosa maka harus kita hindari agar tak mendapat murka Allah.
5. Berzina
Berzina termasuk salah satu perbuatan yang dimurkai oleh Allah, jangankan berbuat zina mendekatinya pun dilarang.
Berzina termasuk perbuatan keji dan buruk yang dibenci Allah subahahu wa ta'ala.
Hal itu sebagaimana firman Allah dalam Al Quran surat Al Isra ayat 32.
"Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al Isra ayat 32).
Muslim Wajib Tahu, 5 Hal yang Bikin Allah Swt Murka. Jangan sampai membuat Allah murka. Kemurkaan Allah SWT harus dihindari manusia dengan tidak melakukan hal yang dilarang.
1. Syirik
Syirik artinya menyekutukan Allah, perbuatan ini sangat dimurkai oleh Allah dan termasuk dosa besar.
2. Druhakan kepada Orangtua
Berbuat durhaka kepada orang tua termasuk perkara yang dibenci oleh Allah. Berani melawan orang tua bisa mendatangkan murka Allah.
Bahkan mengatakan "ah" saja kepada orang tua dilarang oleh Allah. Sebagaimana firmannya dalam Al Quran surat Al Isra ayat 23.
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (QS. Al Isra ayat 23).
3. Kikir
Allah memerintahkan kita untuk berbuat baik terhadap sesama dan gemar bersedekah serta jangan kikir.
Kikir atau pelit adalah sifat yang sangat dibenci oleh Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam Al Quran surat Ali Imran ayat 180.
"Dan jangan sekali-kali orang-orang yang kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya mengira bahwa (kikir) itu baik bagi mereka, padahal (kikir) itu buruk bagi mereka. Apa (harta) yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan (di lehernya) pada hari Kiamat. Milik Allah-lah warisan (apa yang ada) di langit dan di bumi. Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan." 9QS. Ali Imran ayat 180).
4. Membunuh Seseorang
Allah mengharamkan seorang muslim membunuh sesamanya tanpa alasan yang benar. Hal ini termasuk perbuatan yang dimurkai oleh Allah.
Sebagaimana firman Allah dalam Al Quran surat Al Isra ayat 33.
"Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan." (QS. Al Isra ayat 33).
Karena termasuk perbuatan dosa maka harus kita hindari agar tak mendapat murka Allah.
5. Berzina
Berzina termasuk salah satu perbuatan yang dimurkai oleh Allah, jangankan berbuat zina mendekatinya pun dilarang.
Berzina termasuk perbuatan keji dan buruk yang dibenci Allah subahahu wa ta'ala.
Hal itu sebagaimana firman Allah dalam Al Quran surat Al Isra ayat 32.
"Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al Isra ayat 32).
Seorang Muslim bisa terjebak pada empat keadaan berikut ini yang membuatnya tidak sadar bahwa itu sebetulnya adalah wujud kemurkaan Allah SWT pada dirinya.
Apa saja empat hal itu? Berikut ini adalah empat bentuk kemurkaan Allah SWT sebagaimana dilansir dari laman Mawdoo.
Pertama, penyebab datangnya kebencian di muka bumi itu ialah karena perbuatan buruk atau pelanggaran yang dilakukan seorang hamba, hingga perbuatan tersebut menjadi gunjingan banyak orang atau orang lain merasakan dampaknya.
Hal ini didasarkan pada hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari jalur Abu Hurairah RA. Nabi SAW bersabda:
"Apabila Allah SWT mencintai seorang hamba-Nya, Dia memanggil Jibril bahwa sesungguhnya Allah SWT mencintai si Fulan, maka cintailah dia. Maka jibril mencintai hamba itu lalu Jibril berseru kepada penduduk langit, sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah dia. Maka seluruh penduduk langit mencintai hamba itu, kemudian orang itu pun dijadikan bisa diterima oleh penduduk bumi."
Seorang Muslim bisa terjebak pada empat keadaan berikut ini yang membuatnya tidak sadar bahwa itu sebetulnya adalah wujud kemurkaan Allah SWT pada dirinya.
Apa saja empat hal itu? Berikut ini adalah empat bentuk kemurkaan Allah SWT sebagaimana dilansir dari laman Mawdoo.
Pertama, penyebab datangnya kebencian di muka bumi itu ialah karena perbuatan buruk atau pelanggaran yang dilakukan seorang hamba, hingga perbuatan tersebut menjadi gunjingan banyak orang atau orang lain merasakan dampaknya.
Dan jika Dia membenci seorang hamba, dia memanggil Jibril, dan berkata bahwa Allah SWT membenci hamba tersebut, jadi aku membencinya. Maka Jibril membencinya lalu berseru kepada penduduk langit, bahwa Allah SWT membenci hamba itu. Maka mereka membencinya. Kemudian hamba tersebut dibenci penduduk bumi.”
Kedua, wujud kemurkaan Allah SWT pada seorang hamba, yaitu hamba tersebut cenderung terus berada dalam cintanya kepada sesuatu yang dibenci Allah SWT, sama seperti saat dia membenci apa yang dicintai Allah SWT.
Ketiga, hamba tersebut selalu berada dalam kesesatan, ketidaktaatan dan dosa, dan bergerak di antara dosa dan dosa. Hamba ini tidak bertobat dari semua hal buruk itu dan mati untuknya.
Keempat, tanda Allah SWT murka pada seorang hamba, yaitu hamba tersebut lalai dalam melaksanakan sholat wajib, tidak menjaganya atau melaksanakannya.
Ini bentuk kelalaian dalam melaksanakan sholat lima waktu. Hak-hak Allah SWT dan hamba-hamba-Nya pun lenyap, sehingga menjadi tidak peduli terhadap nasib di dunia dan akhirat.
4 Tanda Ini Bukti Allah Swt Murka Kepada Seorang Hamba. Seorang Muslim bisa terjebak pada empat keadaan berikut ini yang membuatnya tidak sadar bahwa itu sebetulnya adalah wujud kemurkaan Allah SWT pada dirinya. Pertama, penyebab datangnya kebencian di muka bumi itu ialah karena perbuatan buruk atau pelanggaran yang dilakukan seorang hamba, hingga perbuatan tersebut menjadi gunjingan banyak orang atau orang lain merasakan dampaknya.
Hal ini didasarkan pada hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari jalur Abu Hurairah RA. Nabi SAW bersabda: "Apabila Allah SWT mencintai seorang hamba-Nya, Dia memanggil Jibril bahwa sesungguhnya Allah SWT mencintai si Fulan, maka cintailah dia. Maka jibril mencintai hamba itu lalu Jibril berseru kepada penduduk langit, sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah dia. Maka seluruh penduduk langit mencintai hamba itu, kemudian orang itu pun dijadikan bisa diterima oleh penduduk bumi."
Seorang Muslim bisa terjebak pada empat keadaan berikut ini yang membuatnya tidak sadar bahwa itu sebetulnya adalah wujud kemurkaan Allah SWT pada dirinya. Pertama, penyebab datangnya kebencian di muka bumi itu ialah karena perbuatan buruk atau pelanggaran yang dilakukan seorang hamba, hingga perbuatan tersebut menjadi gunjingan banyak orang atau orang lain merasakan dampaknya.
Dan jika Dia membenci seorang hamba, dia memanggil Jibril, dan berkata bahwa Allah SWT membenci hamba tersebut, jadi aku membencinya. Maka Jibril membencinya lalu berseru kepada penduduk langit, bahwa Allah SWT membenci hamba itu. Maka mereka membencinya. Kemudian hamba tersebut dibenci penduduk bumi.”
Kedua, wujud kemurkaan Allah SWT pada seorang hamba, yaitu hamba tersebut cenderung terus berada dalam cintanya kepada sesuatu yang dibenci Allah SWT, sama seperti saat dia membenci apa yang dicintai Allah SWT.
Ketiga, hamba tersebut selalu berada dalam kesesatan, ketidaktaatan dan dosa, dan bergerak di antara dosa dan dosa. Hamba ini tidak bertobat dari semua hal buruk itu dan mati untuknya.Keempat, tanda Allah SWT murka pada seorang hamba, yaitu hamba tersebut lalai dalam melaksanakan sholat wajib, tidak menjaganya atau melaksanakannya.Ini bentuk kelalaian dalam melaksanakan sholat lima waktu. Hak-hak Allah SWT dan hamba-hamba-Nya pun lenyap, sehingga menjadi tidak peduli terhadap nasib di dunia dan akhirat.
Jangan-jangan, Allah Sudah Tidak Peduli dengan Kita. Allah sudah tidak peduli dengan kita. Allah abaikan kita. Apa pun yang kita lakukan, hanya akan menambah buruk nasib kita. Hidup serba mudah bukan pertanda bahwa Allah meridhai kita. Begitu pun sebaliknya. Hidup serba susah bukan pertanda Allah murka dengan kita. Ridha dan murka Allah bergantung pada keikhlasan dan benarnya amal kita.
Betapa banyak orang yang Allah murkai, hidupnya begitu nyaman. Harta berlimpah. Kekuasaan di tangan. Semuanya serba ada dan mudah. Seolah Allah mengatakan pada orang ini, “Silakan puas-puasin duniamu. Di akhirat, kamu akan sengsara selamanya!”
Ya Allah, betapa kami berlindung dariMu dari apa yang digolongkan dalam ayat berikut ini.
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS.Al An’am: 44).
Bayangkan jika kita salah memahami konteks ini. Bahwa, orang yang Allah ridhai adalah yang hidupnya nyaman. Dan kenyamanan dan kenikmatan inilah yang selalu menjadi patokan. Seolah tak ada tarikan nafas dalam hidup ini kecuali dalam rangka mengejar kenyamanan itu.
Kita pun menjadi super sibuk. Sibuk dalam rangka mencari fasilitas kenyamanan itu. Dan di waktu yang berbeda, kita pun sibuk pula dalam menikmati kenyamanan yang sudah di tangan.
Persepsi kita tentang hidup pun mulai berubah. Persepsi yang akhirnya menggeser apa yang penting dan apa yang tidak penting dalam hidup ini. Begitu pun dengan apa yang bernilai dan apa yang tidak memiliki arti sama sekali.Bayangkan tentang sebuah persepsi seseorang yang rumahnya tak jauh dari masjid. Kumandang azan terdengar jelas dari dalam rumahnya. Ia sehat. Segala sarana sangat memungkinkan dirinya untuk berhenti sejenak dari urusan dunia untuk kemudian singgah di masjid. Tidak dalam hitungan jam. Hanya lima sampai sepuluh menit saja.
Namun, hal itu menjadi berbeda dalam kalkulasi untung ruginya. Seolah dia berhujah, aku paham itu azan. Tapi kesibukanku saat ini jauh lebih penting dari apa pun. Waktu berakhir shalat kan masih lebih dari dua jam lagi. Dan sepertinya, shalat di rumah jauh lebih khusyuk daripada di masjid. Kesibukan apa sebenarnya yang ia maksudkan sehingga berat untuk berangkat ke masjid. Rupanya, ia sedang menyimak berita penting dari televisi. Atau, ia sedang menuntaskan tugas kantornya di rumah.
Itu pun masih tergolong “wajar”. Karena di persepsi yang lebih bawah lagi hujjahnya lebih parah. “Aduh, baru mau mulai tidur. Yah, lagi tanggung nih chatingnya.” Dan seterusnya. Satu hal yang jarang kita dengar tentang bahaya merasa sibuk ini. Sibuk dalam hal yang sebenarnya bisa ditunda. Sibuk yang sebenarnya jauh di bawah nilai ibadah. Sibuk yang jika tidak dikerjakan pun tidak akan berpengaruh apa-apa. Untuk urusan dunia, maupun akhirat.Yaitu, sebuah ungkapan nasihat dari seorang tabi’in yang merupakan guru dari para ulama ahlussunnah. Beliau adalah Hasan Al-Bashri, rahimahullah.
Beliau mengatakan,
من علامة إعراض الله تعالى عن العبد أن يجعل شغله فيمالا يعنيه
“Termasuk tanda bahwa Allah berpaling dari seorang hamba adalah Dia menjadikan si hamba sibuk pada hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.”Kata kuncinya ada pada manfaat atau tidak. Jika iman sudah pada tingkat daya yang lemah, ilmu agama yang jauh dari memadai, sahabat yang hanya mengingatkan pada urusan dunia; kata ‘manfaat’ menjadi begitu bias.
Semua menjadi bergantung pada apa yang jelas terlihat. Jelas pula dirasakan. Dan, jelas hasilnya.Dalam hal jelas ini, urusan dunia jauh dirasakan lebih jelas dari apa pun tentang akhirat. Setan pun membimbingnya untuk lebih akrab lagi dengan keindahan dunia. Sementara urusan akhirat kian redup ditelan hiruk-pikuknya kesibukan.Semoga yang seperti itu bukan kita. Tapi jika itu yang terjadi, itulah pertanda bahwa Allah sudah tak lagi peduli dengan kita
Jangan-jangan, Allah Sudah Tidak Peduli dengan Seorang Hamba. Allah Swt sudah tidak peduli dengan kita. Allah abaikan kita. Apa pun yang kita lakukan, hanya akan menambah buruk nasib kita. Hidup serba mudah bukan pertanda bahwa Allah meridhai kita. Begitu pun sebaliknya. Hidup serba susah bukan pertanda Allah murka dengan kita. Ridha dan murka Allah bergantung pada keikhlasan dan benarnya amal kita.
Betapa banyak orang yang Allah murkai, hidupnya begitu nyaman. Harta berlimpah. Kekuasaan di tangan. Semuanya serba ada dan mudah. Seolah Allah mengatakan pada orang ini, “Silakan puas-puasin duniamu. Di akhirat, kamu akan sengsara selamanya!” Ya Allah, betapa kami berlindung dariMu dari apa yang digolongkan dalam ayat berikut ini. “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS.Al An’am: 44).
Bayangkan jika kita salah memahami konteks ini. Bahwa, orang yang Allah ridhai adalah yang hidupnya nyaman. Dan kenyamanan dan kenikmatan inilah yang selalu menjadi patokan. Seolah tak ada tarikan nafas dalam hidup ini kecuali dalam rangka mengejar kenyamanan itu. Kita pun menjadi super sibuk. Sibuk dalam rangka mencari fasilitas kenyamanan itu. Dan di waktu yang berbeda, kita pun sibuk pula dalam menikmati kenyamanan yang sudah di tangan.
Persepsi kita tentang hidup pun mulai berubah. Persepsi yang akhirnya menggeser apa yang penting dan apa yang tidak penting dalam hidup ini. Begitu pun dengan apa yang bernilai dan apa yang tidak memiliki arti sama sekali. Bayangkan tentang sebuah persepsi seseorang yang rumahnya tak jauh dari masjid. Kumandang azan terdengar jelas dari dalam rumahnya. Ia sehat. Segala sarana sangat memungkinkan dirinya untuk berhenti sejenak dari urusan dunia untuk kemudian singgah di masjid. Tidak dalam hitungan jam. Hanya lima sampai sepuluh menit saja.
Namun, hal itu menjadi berbeda dalam kalkulasi untung ruginya. Seolah dia berhujah, aku paham itu azan. Tapi kesibukanku saat ini jauh lebih penting dari apa pun. Waktu berakhir shalat kan masih lebih dari dua jam lagi. Dan sepertinya, shalat di rumah jauh lebih khusyuk daripada di masjid. Kesibukan apa sebenarnya yang ia maksudkan sehingga berat untuk berangkat ke masjid. Rupanya, ia sedang menyimak berita penting dari televisi. Atau, ia sedang menuntaskan tugas kantornya di rumah.
Itu pun masih tergolong “wajar”. Karena di persepsi yang lebih bawah lagi hujjahnya lebih parah. “Aduh, baru mau mulai tidur. Yah, lagi tanggung nih chatingnya.” Dan seterusnya. Satu hal yang jarang kita dengar tentang bahaya merasa sibuk ini. Sibuk dalam hal yang sebenarnya bisa ditunda. Sibuk yang sebenarnya jauh di bawah nilai ibadah. Sibuk yang jika tidak dikerjakan pun tidak akan berpengaruh apa-apa. Untuk urusan dunia, maupun akhirat. Yaitu, sebuah ungkapan nasihat dari seorang tabi’in yang merupakan guru dari para ulama ahlussunnah. Beliau adalah Hasan Al-Bashri, rahimahullah.
Beliau mengatakan,
من علامة إعراض الله تعالى عن العبد أن يجعل شغله فيمالا يعنيه
“Termasuk tanda bahwa Allah berpaling dari seorang hamba adalah Dia menjadikan si hamba sibuk pada hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” Kata kuncinya ada pada manfaat atau tidak. Jika iman sudah pada tingkat daya yang lemah, ilmu agama yang jauh dari memadai, sahabat yang hanya mengingatkan pada urusan dunia; kata ‘manfaat’ menjadi begitu bias. Semua menjadi bergantung pada apa yang jelas terlihat. Jelas pula dirasakan. Dan, jelas hasilnya. Dalam hal jelas ini, urusan dunia jauh dirasakan lebih jelas dari apa pun tentang akhirat. Setan pun membimbingnya untuk lebih akrab lagi dengan keindahan dunia. Sementara urusan akhirat kian redup ditelan hiruk-pikuknya kesibukan. Semoga yang seperti itu bukan kita. Tapi jika itu yang terjadi, itulah pertanda bahwa Allah sudah tak lagi peduli dengan kita
Tanda-tanda Allah Swt Mulai Tidak Peduli pada Seseorang Hamba (Ustadz Hanan Attaki). Manusia hidup di dunia tentu saja membutuhkan Allah dalam segala urusannya. Hal ini karena manusia hanyalah makhluk yang tak berdaya tanpa adanya pertolongan Allah Swt. Namun, ada kalanya manusia melampaui batas hingga menyinggung Allah dan membuat-Nya tak lagi peduli. Menurut Ustadz Hanan Attaki, tanda Allah mulai tidak peduli pada seseorang adalah ketika Allah mulai membiarkannya. Kondisi ini merupakan kondisi paling berbahaya dalam hidup seorang. Biasanya, ketika seseorang berbuat dosa, maka Allah beri dia cobaan agar kembali.
Saat seseorang berbuat kesalahan, Allah beri dia kesempatan untuk bertaubat. Jadi, cobaan yang datang pada seseorang merupakan tanda jika Allah masih peduli dan perhatian padanya. Kondisi yang berbahaya justru ketika seseorang berbuat dosa, Allah membiarkannya hingga tidak terjadi apa-apa. Kelihatannya kehidupannya tenang tanpa masalah walau berbuat dosa. Tapi, kenyataannya Allah sedang cuekin orang tersebut. Ketika dicuekin Allah itulah seburuk-buruknya kondisi dari seorang hamba.
Hal ini tertuang pada awal surah At-Taubat yang berbunyi barooatun yang artinya pemutusan hubungan. Jika disederhanakan, barooatun tersebut merupakan pernyataan cuek atau tidak pedulinya Allah pada seseorang. Namun, terkadang orang-orang dengan kondisi seperti ini tidak merasa dirinya diabaikan dan malah justru biasa-biasa saja. Maha Suci Allah dari segalanya. Dengan rahmatNya manusia senantiasa berada dalam kemujuran. Waspadalah. Untuk mencapai kemujuran maka senantiasa kita selalu mendekatkan diri kepada Allah azza wa jalla. Ketahuilah bahwa kedekatan seorang hamba dengan Allah sejatinya bisa dideteksi. Sehingga terdapat tanda tersendiri ketika Allah azza wa jalla telah berpaling dari hambaNya. Untuk mengetahui tanda Allah berpaling dari hambaNya maka ada baiknya kita mengingat ulang apa yang telah disampaikan oleh Imam Gazali dalam Kitab Ayyuhal Walad.
Kitab tersebut menjelaskan tanda Allah berpaling dari hambaNya sebagaimana berikut:
Wahai anakku, berikut ini adalah beberapa nasihat Rasulullah Saw kepada umatnya. Baca Juga: Empat Bacaan Alquran Ini Menjadi Perantara Selamat dari Gangguan Jin, Setan, dan Manusia
Beliau bersabda: “Tanda berpalingnya Allah dari hambanya adalah ia disibukkan dengan sesuatu yang tidak bermanfaat, dan sesungguhnya orang yang telah kehilangan waktu dari umurnya untuk selain ibadah, tentu sangat layak baginya kerugian yang panjang. Barang siapa umurnya telah melebihi 40 tahun sementara amal kebaikannya tidak melebihi amal keburukannya maka bersiap-siaplah menuju neraka”.
Semoga senantiasa kita tergolong sebagai hamba yang terus-menerus memelihara hubungan kita dengan Allah. Semoga.
Maha Suci Allah dari segalanya. Dengan rahmatNya manusia senantiasa berada dalam kemujuran. Waspadalah. Untuk mencapai kemujuran maka senantiasa kita selalu mendekatkan diri kepada Allah azza wa jalla. Ketahuilah bahwa kedekatan seorang hamba dengan Allah sejatinya bisa dideteksi. Sehingga terdapat tanda tersendiri ketika Allah azza wa jalla telah berpaling dari hambaNya. Untuk mengetahui tanda Allah berpaling dari hambaNya maka ada baiknya kita mengingat ulang apa yang telah disampaikan oleh Imam Gazali dalam Kitab Ayyuhal Walad. Kitab tersebut menjelaskan tanda Allah berpaling dari hambaNya sebagaimana berikut:
Wahai anakku, berikut ini adalah beberapa nasihat Rasulullah Saw kepada umatnya. Baca Juga: Empat Bacaan Alquran Ini Menjadi Perantara Selamat dari Gangguan Jin, Setan, dan Manusia
Beliau bersabda: “Tanda berpalingnya Allah dari hambanya adalah ia disibukkan dengan sesuatu yang tidak bermanfaat, dan sesungguhnya orang yang telah kehilangan waktu dari umurnya untuk selain ibadah, tentu sangat layak baginya kerugian yang panjang. Barang siapa umurnya telah melebihi 40 tahun sementara amal kebaikannya tidak melebihi amal keburukannya maka bersiap-siaplah menuju neraka”. Semoga senantiasa kita tergolong sebagai hamba yang terus-menerus memelihara hubungan kita dengan Allah. Semoga.
Setiap nikmat yang kita terima dari Allah SWT akan menambah kebahagiaan dan kesenangan dalam hidup. Namun, ada satu kondisi di mana nikmat bisa berubah menjadi laknat dan karunia yang diberikan merupakan murka Allah SWT. Inilah yang disebut dengan istidrâj. Istidrâj adalah pemberian Allah kepada orang yang sering melakukan maksiat kepada-Nya. Semakin mereka melupakan Allah, Allah tetap akan menambahkan kesenangan bagi mereka. Akibatnya, mereka semakin terjerumus dan Allah akan menjatuhkan siksa yang sangat pedih.
Contoh dari istidrâj ialah seperti orang-orang yang diberi nikmat kekuasaan, lalu ia menjadi sombong dan sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Allah terus mengucurkan nikmat duniawi kepada mereka, sesungguhnya di balik itu semua adalah laknat dan murka Allah SWT. Na'udzubillah. Dalam al-Quran ada beberapa terminologi; musibah, azab, dan laknat. Dari terminologi yang terdapat dalam al-Quran tersebut, sengaja kami membahas laknat karena masih banyak masyarakat yang belum mengerti tentang laknat itu. Kata laknat sendiri dalam bahasan al-Quran secara garis besar hampir sama dengan musibah dan adzab. Para mufasir pun berbeda-beda dalam menafsirkannya.
Namun jika dikaitkan dengan fenomena alam atau kejadiankejadian yang menimpa manusia secara umum, kepastian tentang laknat atau azab atau musibah masih belum dapat dipastikan. Yakni, suatu musibah atau azab yang dirasakan oleh seseorang atau suatu kaum apakah dapat dikategorikan sebagai laknat atau bukan. Di sisi lain, apakah sebab laknat diturunkan. Lalu siapakah orang-orang yang tergolong dalam laknat Tuhan dan kenapa laknat itu menimpa mereka. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendasari kami untuk membahas laknat dalam perspektif tafsir al-Maraghi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui laknat menurut pandangan al-Qur’an dan khususnya terhadap tafsir al-Maraghi, sehingga bisa dijadikan sebagai pelajaran oleh setiap muslim, khususnya dalam setiap perbuatan dan tingkah laku manusia.
Penelitian ini berpijak dari nas bahwa setiap muslim harus berpedoman kepada al-Qur’an dalam merambah kehidupan di dunia. Laknat merupakan suatu hukuman yang diturunkan Allah sebab perbuatan manusia yang melanggar perintah-Nya. Agar setiap orang mengetahui bahwa setiap perbuatan ada tanggung jawabnya masing-masing, maka setiap orang harus mengetahui mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang tak terpuji menurut Allah maupun yang digariskan dalam al-Qur’an.
Sudah semestinya, sebagai seorang manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah dengan melaksanakan segala perintahnya serta menjauhi larangannya. Apalagi menjauhi yang namanya berbuat maksiat. Bukan hanya dibenci oleh Allah melainkan dapat mendatangkan murka dan amarah-Nya. Terlebih jika perbuatan maksiat tersebut terus menerus dilakukan setiap hari. Allah tidak akan mengampuni manusia atau hambanya tersebut kecuali jika memang sungguh-sungguh untuk bertaubat Kepada-Nya.
Semua dosa yang kita lakukan dapat diampuni oleh Allah apapun bentuknya dan perilakunya dengan syarat utama adalah taubat seperti penjelasan ulama Syekh Ali Jaber.
"Semua orang dapat diampuni oleh Allah dosanya apapun dosa kita. Dosa zina, dosa riba, dosa sihir, sering bolak-balik ke tukang dukun. Semua apapun perilaku kita. Dengan syarat taubat. Kalau taubat pasti akan diampuni Allah SWT," jelas Syekh Ali Jaber menambahkan.
Akan tetapi, disini Syekh Ali Jaber mengatakan ada satu orang yang tidak akan diampuni hingga tidak akan diselamatkan dari perbuatanya."Tapi ada satu orang yang tidak akan diampuni oleh Allah SWT bahkan tidak diselamatkan dari pelaku itu. Sangat bahaya. Yang terang-terangan menceritakan berzinahan. Atau kebanggaan terhadap kemaksiatannya kepada Allah SWT," tambah Syekh Ali Jaber.
Tak hanya itu, Syekh Ali Jaber juga menjelaskan manusia yang berbuat maksiat dengan memberi tahu kepada khayalak ramai untuk diketahui teman-temannya atau orang lain akan membuat Allah murka hingga memberi azab kepadanya.
"Apalagi kalau perilaku (maksiat) itu tergantung (berhubungan) dengan orang lain," tambahnya.
Syekh Ali Jaber pun memberi contoh perilaku yang bisa mendatangkan azab hingga membuat Allah SWT pasti murka kepada manusia tersebut.
"Misal dia laki-laki dia sudah berhasil mempengaruhi seorang wanita sambil berzina. Mungkin dia bisa mengambil fotonya, bisa pernah shoot videonya, kemudian dia sharekan kepada teman-temannya. Aku sudah berhasil menggauli dia. Aku sudah berhasil berhubungan dengan dia dengan cara yang haram. Dia merasa bangga. Aku sudah berhasil menjatuhkan 10 wanita. Ada yang merasa bangga saya lebih banyak dari pada kamu," ungkap Syekh Ali Jaber mengumpamakan.
Padahal hal tesebut tutur Syekh Ali Jaber bukanlah suatu lelucon untuk diceritakan, tetapi membuat kemurkaan Allah sampai bisa membawa azab. "Dan hal ini bukan lucu, tapi bisa mendatangkan kemurkaan Allah SWT untuk anda. Bisa menghadirkan azab yang tidak dapat di sisi Allah ampunan dosa itu," kata Syekh Ali Jaber.
Hal ini juga ada dalam sabda Rasulullah SAW seperti yang dikatakan Syekh Ali Jaber. "Rasulullulah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: Kullubnu 'adzama mu'a failal mujahiru. Semua orang-orang diselamatkan oleh Allah. Diberikan aafiat, dari perilaku maksiat dan dosa kalau ada tanda keseriusan taubat mesti diampuni Allah dan kembali pada jalur yang benar," terangnya. Namun, kecuali orang-orang seperti ini yang tak akan selamat dari Allah SWT. "Kecuali kata Rasulullah illal mujahiruun, orang-orang yang suka membuka aib dosanya. Menceritakan kepada orang lain. Bahkan ia shoot kepada sosial media terhadap perilaku maksiat dan dosa sehari-harinya," tutup Syekh Ali Jaber menjelaskan mengenai orang yang kena azab oleh Allah SWT.
Manusia yang Bisa Mendatangkan Azab Sekaligus Kemurkaan Allah, Swt (Syekh Ali Jaber). Sudah semestinya, sebagai seorang manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah dengan melaksanakan segala perintahnya serta menjauhi larangannya.
Apalagi menjauhi yang namanya berbuat maksiat. Bukan hanya dibenci oleh Allah melainkan dapat mendatangkan murka dan amarah-Nya.
Terlebih jika perbuatan maksiat tersebut terus menerus dilakukan setiap hari.
Allah tidak akan mengampuni manusia atau hambanya tersebut kecuali jika memang sungguh-sungguh untuk bertaubat Kepada-Nya.
Semua dosa yang kita lakukan dapat diampuni oleh Allah apapun bentuknya dan perilakunya dengan syarat utama adalah taubat seperti penjelasan ulama Syekh Ali Jaber.
"Semua orang dapat diampuni oleh Allah dosanya apapun dosa kita. Dosa zina, dosa riba, dosa sihir, sering bolak-balik ke tukang dukun. Semua apapun perilaku kita. Dengan syarat taubat. Kalau taubat pasti akan diampuni Allah SWT," jelas Syekh Ali Jaber menambahkan.
Akan tetapi, disini Syekh Ali Jaber mengatakan ada satu orang yang tidak akan diampuni hingga tidak akan diselamatkan dari perbuatanya.
"Tapi ada satu orang yang tidak akan diampuni oleh Allah SWT bahkan tidak diselamatkan dari pelaku itu. Sangat bahaya. Yang terang-terangan menceritakan berzinahan. Atau kebanggaan terhadap kemaksiatannya kepada Allah SWT," tambah Syekh Ali Jaber.
Tak hanya itu, Syekh Ali Jaber juga menjelaskan manusia yang berbuat maksiat dengan memberi tahu kepada khayalak ramai untuk diketahui teman-temannya atau orang lain akan membuat Allah murka hingga memberi azab kepadanya.
"Apalagi kalau perilaku (maksiat) itu tergantung (berhubungan) dengan orang lain," tambahnya.
Syekh Ali Jaber pun memberi contoh perilaku yang bisa mendatangkan azab hingga membuat Allah SWT pasti murka kepada manusia tersebut.
"Misal dia laki-laki dia sudah berhasil mempengaruhi seorang wanita sambil berzina. Mungkin dia bisa mengambil fotonya, bisa pernah shoot videonya, kemudian dia sharekan kepada teman-temannya. Aku sudah berhasil menggauli dia. Aku sudah berhasil berhubungan dengan dia dengan cara yang haram. Dia merasa bangga. Aku sudah berhasil menjatuhkan 10 wanita. Ada yang merasa bangga saya lebih banyak dari pada kamu," ungkap Syekh Ali Jaber mengumpamakan.
Padahal hal tesebut tutur Syekh Ali Jaber bukanlah suatu lelucon untuk diceritakan, tetapi membuat kemurkaan Allah sampai bisa membawa azab.
"Dan hal ini bukan lucu, tapi bisa mendatangkan kemurkaan Allah SWT untuk anda. Bisa menghadirkan azab yang tidak dapat di sisi Allah ampunan dosa itu," kata Syekh Ali Jaber.
Hal ini juga ada dalam sabda Rasulullah SAW seperti yang dikatakan Syekh Ali Jaber.
"Rasulullulah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: Kullubnu 'adzama mu'a failal mujahiru. Semua orang-orang diselamatkan oleh Allah. Diberikan aafiat, dari perilaku maksiat dan dosa kalau ada tanda keseriusan taubat mesti diampuni Allah dan kembali pada jalur yang benar," terangnya.
Namun, kecuali orang-orang seperti ini yang tak akan selamat dari Allah SWT. "Kecuali kata Rasulullah illal mujahiruun, orang-orang yang suka membuka aib dosanya. Menceritakan kepada orang lain. Bahkan ia shoot kepada sosial media terhadap perilaku maksiat dan dosa sehari-harinya," tutup Syekh Ali Jaber menjelaskan mengenai orang yang kena azab oleh Allah SWT.