This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Kamis, 28 Juli 2022

Mengenali Harta Haram (Ke 1)

Salah satu diantara upaya menghindari bahaya adalah mengenal tanda bahaya. Termasuk upaya untuk menghindari harta haram adalah mengenal harta haram, dan bagaimana cara bertaubat darinya.

In syaa Allah dalam 3 bagian artikel, kita akan membahas beberapa permasalahan seputar harta haram.  

Pengertian Harta Haram

Salah satu definisi harta haram, disebutkan oleh Syaikh Dr. Khalid al-Mushlih,

المكاسب المحرمة: هي الأموال التي تحصلتْ أو اجتمعت من طريق ممنوع شرعًا

“Harta haram adalah semua harta yang didapatkan atau dikumpulkan dengan cara yang melanggar syariat.” (at-Taubah minal Makasib al-Muharramah, Paper untuk Jurnal Kementrian Keadilan, Arab Saudi)

Urgensi Memahami Harta Haram

Kita memahami hidup ini tidak ada yang sia-sia, karena semua akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Dari Abu Barzah Al-Aslami, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

“Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana dia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi 2417 dan dishahihkan al-Albani)

Apa yang kita miliki akan dihisab oleh Allah, dari mana didapatkan dan untuk apa digunakan. Anda tidak boleh merasa aman -yang penting rizki di tangan saya halal- tapi anda juga harus memikirkan bagaimana cara penggunaannya yang benar.

Terlebih di akhir zaman ketika manusia semakin rakus dengan harta. Di beberapa kota, materialis menjadi karakter yang ada pada setiap orang. Manusia lebih mengejar fasilitas dunia sekalipun belum waktunya untuk memilikinya, sehingga harus nekat utang riba.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

“Sungguh akan datang satu zaman di tengah manusia, seseorang tidak lagi peduli dengan harta yang dia ambil, apakah dari harta halal ataukah dari harta haram.” (HR. Ahmad 9870 & Bukhari 2083)

Mengenal keburukan tentu bukan untuk diamalkan, namun agar kita bisa lebih mudah menghindarinya. Orang bisa saja terjebak dalam keburukan ketika dia tidak mengenalnya. Pepatah arab mengatakan,

عرفت الشر لا للشر لكن لتوقيه ، ومن لا يعرف الشر من الخير يقع فيه

Saya mengenali keburukan bukan untuk diamalkan, tapi untuk menghindarinya. Siapa yang tidak mengetahui keburukan, diantara kebaikan, maka dia akan terjerumus ke dalamnya.

Perjuangan Mencari yang Halal

Bekerja mencari yang halal, merupakan hal yang terpuji dalam Islam. Allah memerintahkan manusia agar bekerja dan berusaha untuk mencari yang halal. Allah berfirman,

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (QS. al-Mulk:15)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  juga memuji harta yang baik karena diperoleh dengan cara halal. Beliau berkata kepada Amr bin al-Ash, “Wahai Amr, sebaik-baik harta adalah harta yang shalih yang dimiliki laki-laki yang shalih.” (HR. Ahmad 17763, Ibnu Hibban 3210 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memuji orang yang mendapatkan harta dari jerih payahnya. Beliau bersabda,

مَا أكَلَ أَحَدٌ طَعَاماً قَطُّ خَيْراً مِنْ أنْ يَأكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِه ، وَإنَّ نَبيَّ الله دَاوُدَ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَأكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik dari memakan hasil jerih payahnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dari hasil jerih payahnya sendiri.” (HR. al-Bukhari 2072)

Demikian juga disebutkan dalam hadis dari Zubair bin Awwam radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِىَ بِحُزْمَةِ الْحَطَبِ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا فَيَكُفَّ اللَّهُ بِهَا وَجْهَهُ ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ

“Kalian mengambil beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar di punggungnya lalu menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupnya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi ataupun tidak.” (HR. Ahmad 1407 & Bukhari 1471)

Mencari harta halal dengan cara yang halal merupakan sifat mulia yang telah dicerminkan oleh orang masa silam. Mereka, para ulama di masa silam, juga saling mengingatkan untuk berhati-hati dalam masalah makanan, minuman, dan mata pencaharian.

Dari Abi Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أكَلَ طَيِّبًا ، وعَمِلَ فِي سُنَّةٍ ، وَأَمِنَ الناسُ بَوَائِقَهُ ، دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barang siapa mengkonsumsi sesuatu yang baik, melaksanakan sunnah, dan masyarakat sekitarnya tidak terganggu dengan keburukannya, maka dia masuk surga.” (HR. Tirmidzi 2711)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ، فَلاَ عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيثٍ، وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِى طُعْمة

“Ada empat hal, bila keempatnya ada pada dirimu, maka segala urusan dunia yang luput darimu tidak akan membahayakanmu: menjaga amanah, berkata benar, akhlak baik, dan menjaga urusan makanan.” (HR. Ahmad 6652)

Banyak sekali orang-orang shalih terdahulu, yang selalu mengedepankan sikap kehati-hatian dan kewaspadaan mereka dalam mencari harta halal. Diantaranya,

[1]   Wara’nya Abu Bakr as-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu

Suatu ketika hamba sahayanya membawa sesuatu makanan dan Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu memakannya. Lalu hamba sahaya itu berkata, “Wahai tuanku, tahukah Anda dari mana makanan ini?”

Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Dari mana engkau dapat makanan ini?”

Budak itu menjawab, “Dahulu saya pernah berlagak seperti orang pintar (dukun), padahal saya tidak pandai ilmu perdukunan. Saya hanya menipunya. Lalu (di kemudian hari) dia menjumpaiku dan memberikan upah kepadaku. Makanan yang tadi Anda makan adalah bagian pemberian tersebut.”

Mendengar hal itu Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu langsung memasukkan jari-jarinya ke mulutnya sampai ia memuntahkan semua makanan yang baru beliau makan.

[2]   Wara’nya Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu

Suatu ketika Umar radhiyallahu ‘anhu diberi minum susu dan beliau radhiyallahu ‘anhu begitu senang. Kemudian beliau radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada orang yang memberinya minum, “Dari manakah engkau mendapatkan susu ini?” Orang itu menjawab,”Saya berjalan melewati seekor onta sedekah, sementara mereka sedang berada dekat dengan sumber air. Lalu saya mengambil air susunya.”. Mendengar cerita orang itu, seketika itu pula Umar radhiyallahu ‘anhu memasukkan jari ke mulutnya agar ia memuntahkan susu yang baru diminumnya.

[3] Kisah seorang wanita shalihah yang menasehati suami tercintanya 

Kisah seorang wanita shalihah yang menasehati suami tercintanya dengan ucapannya, “Wahai suamiku! Bertakwalah engkau kepada Allah saat mencari rezeki untuk kami! Karena sesungguhnya kami mampu menahan lapar dan dahaga, akan tetapi kami tak akan mampu menahan panasnya api neraka.”

Begitulah sikap kehati-hatian orang-orang shalih dalam rangka menjaga agama mereka. Dalam rangka merealisasikan ketakwaan mereka serta menjauhkan diri-diri mereka dari perkara-perkara syubhat (yang tidak jelas).

Lalu bagaimanakah nasib mereka yang dengan sengaja mencari yang haram untuk mengisi perutnya sendiri dan memenuhi kebutuhan keluarganya?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

“Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman, yang saat itu seseorang tidak peduli lagi dari mana dia mendapatkan harta, apakah dari jalan halal ataukah yang haram.” (HR. Bukhari 2083)

Rajin Ibadah, Tapi Meremehkan Masalah Kehalalan Harta

Adakalanya seorang muslim yang rajin beribadah, namun dia memandang remeh dan kurang peduli dengan masalah harta haram. Bisa jadi amal ibadahnya tertolak, doanya tidak diijabah, dan usahanya tidak diberkahi.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

“Wahai manusia, sesungguhnya Allah ta’ala baik dan Dia tidak akan menerima kecuali yang baik…

Di akhir hadis, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ada seorang lelaki yang sedang melakukan safar, rambutnya kusut, kusam, dan berdebu. Dia mengangkat tangannya ke langit lalu berdoa, “Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!… Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dia kenyang dengan yang haram, bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” (HR. Muslim 2393)

Karena itulah, sedekah dari harta yang haram akan tertolak dan tidak diterima.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةً بِغَيْرِ طَهُورٍ ، وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ

“Allah tidak akan menerima shalat seseorang tanpa berwudhu (bersuci), dan tidak akan menerima sedekah dengan harta ghulul (khianat).” (HR. Muslim 557)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

إِذَا أَدَّيْتَ زَكَاةَ مَالِكَ فَقَدْ قَضَيْتَ مَا عَلَيْكَ، وَمَنْ جَمَعَ مَالًا حَرَامًا ثُمَّ تَصَدَّقَ مِنْهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهِ أَجْرٌ وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ

“Jika engkau telah menunaikan zakat hartamu, maka engkau telah melaksanakan kewajiban. Barang siapa yang mengumpulkan harta dari jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya.” (HR. Ibn Hibban 3367 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)

Orang yang bertaqwa, memiliki sifat taqwa, wara’ (menahan dari yang haram), ‘iffah (menjaga kehormatan). Sehingga dia akan selalu memikirkan kondisinya ketika di akhirat. Dia sadar untuk lebih memilih kenikmatan di akhirat, meskipun harus melepaskan sebagian kenikmatan dunia.  

Allah ta’ala  berfirman,

قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَىٰ وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا

“Katakanlah! Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.” (QS. an-Nisa’: 7)


Cinta dan tamak harta merupakan sifat, tabiat dan watak manusia, Allâh Azza wa Jalla berfirman :


وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا


Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan [al-Fajr/89:20]


Usaha yang baik dan halal merupakan hal yang terpuji dalam agama Islam, karena Allâh Azza wa Jalla memerintahkan manusia agar berkerja dan berusaha keras, sebagaimana firman-Nya :


هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ


Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya.Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. [al-Mulk/67:15]


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Amr bin al-’Âs,‘Wahai Amr, Nikmat harta yang baik adalah yang dimiliki laki-laki yang shalih’(diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya)


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :


مَا أكَلَ أَحَدٌ طَعَاماً قَطُّ خَيْراً مِنْ أنْ يَأكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِه ، وَإنَّ نَبيَّ الله دَاوُدَ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَأكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ


‘Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik daripada memakan hasil jerih payahnya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud Alaihissallam makan dari hasil jerih payahnya sendiri’. [HR. al-Bukhâri]


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :


لأَنْ يَأخُذَ أحَدُكُمْ أحبُلَهُ ثُمَّ يَأتِيَ الجَبَلَ ، فَيَأْتِيَ بحُزمَةٍ مِنْ حَطَب عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا ، فَيكُفّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَسْألَ النَّاسَ ، أعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ


Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allâh mencukupkan kebutuhan hidupnya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi ataupun tidak’[HR. al-Bukhâri]


Allâh Azza wa Jalla menjadikan rasa suka dan cinta terhadap harta sebagai cobaan dan ujian. Karena, Allâh Azza wa Jalla , Dzat yang Mahaagung yang telah menetapkan ketuhanan dan keesaan-Nya dalam ayat-ayat al-Qur’ân kemudian juga mengingatkan bahwa Dialah satu-satunya yang mengatur hukum halal dan haram, satu-satunya Pencipta dan Pemberi rezeki, yang berhak mengatur kehidupan dunia ini. Jadi hak untuk menetapan hukum halal dan haram hanyalah milik-Nya semata.


Allâh Azza wa Jalla berfirman :


يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ


Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. [al-Baqarah/2:168]


Allâh Azza wa Jalla berfirman :


وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ


Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allâh telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allâh yang kamu beriman kepada-Nya.[al-Mâidah/5:88]


Halalan thayyiban dalam ayat di atas sesuatu yang dihalakan bagi kalian dan bukan diperoleh dengan cara yang diharamkan, seperti merampas, merampok, mencuri, riba, risywah atau sogokan, korupsi, penipuan dan berbagai macam mu’âmalah haram lain.


Thayyiban maksudnya tidak al-khabîts, yakni tidak kotor atau najis, seperti bangkai, daging babi atau anjing, minuman keras dan yang sejenisnya.


Orang-orang yang memiliki harta halal dan mata pencaharian yang halal adalah orang-orang yang paling selamat agamanya, paling tenang hati dan pikirannya, paling lapang dadanya, paling sukses kehidupannya. Kehormatan dan harga diri mereka bersih dan terjaga, rezeki mereka penuh berkah dan citra mereka dimasyarakat selalu indah.


Mencari harta halal dengan cara yang halal adalah sifat mulia yang telah dicerminkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Mereka, para assalafus shâlih juga selalu saling mengingatkan untuk berhati-hati dalam masalah makanan, minuman dan mata pencaharian.


Dari Abi Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


مَنْ أكَلَ طَيِّبًا ، وعَمِلَ فِي سُنَّةٍ ، وَأَمِنَ الناسُ بَوَائِقَهُ ، دَخَلَ الْجَنَّةَ


Barangsiapa mengkonsumsi sesuatu yang baik, melaksanakan sunnah dan masyarakat sekitarnya tidak terganggu dengan keburukannya, maka dia masuk surga’. [HR. Tirmidzi]


Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ، فَلاَ عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيثٍ، وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِى طُعْمة


Ada empat hal, bila keempatnya ada pada dirimu, maka segala urusan dunia yang luput darimu tidak akan membahayakanmu : menjaga amanah, berkata benar, akhlak baik dan menjaga urusan makanan’.


SIKAP ORANG-ORANG SHALIH

Banyak sekali potret orang-orang shalih terdahulu sebagai bukti kehati-hatian dan kewaspadaan mereka dalam masalah ini. Diantaranya :


1. Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu anhu . Suatu ketika hamba sahayanya membawa sesuatu makanan dan Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu anhu memakannya. Lalu hamba sahaya itu berkata, “Wahai tuanku, tahukah Anda dari mana makanan ini?” Abu Bakar Radhiyallahu anhu menjawab, ‘Dari mana engkau dapat makanan ini?’ Budak itu menjawab, “Dahulu saya pernah berlagak seperti orang pintar (dukun), padahal saya tidak pandai ilmu perdukunan. Saya hanya menipunya. Lalu (di kemudian hari) dia menjumpaiku dan memberikan upah kepadaku. Makanan yang tadi Anda makan adalah bagian pemberian tersebut.” Mendengar hal itu Abu Bakar Radhiyallahu anhu langsung memasukkan jari-jarinya ke mulutnya sampai ia memuntahkan semua makanan yang baru beliau makan.


2. Suatu ketika Umar Radhiyallahu anhu diberi minum susu dan beliau Radhiyallahu anhu begitu senang. Kemudian beliau Radhiyallahu anhu bertanya kepada orang yang memberinya minum, “Dari manakah engkau mendapatkan susu ini?” Orang itu menjawab, ‘Aku berjalan melewati seekor unta sedekah, sementara mereka sedang berada dekat dengan sumber air. Lalu aku mengambil air susunya.’ Mendengar cerita orang itu, seketika itu pula Umar Radhiyallahu anhu memasukkan jari ke mulutnya agar ia memuntahkan susu yang baru diminumnya.


Baca Juga  Hukum Seorang Anak Dinafkahi Dari Hasil Riba

3. Kisah seorang wanita shalihah yang menasehati suami tercintanya dengan ucapannya, “Wahai suamiku! Bertakwalah engkau kepada Allâh saat mencari rezeki untuk kami! Karena sesungguhnya kami mampu menahan lapar dan dahaga, akan tetepi kami tak akan mampu menahan panas api neraka.”


Begitulah sikap wara’ orang-orang shalih, dalam rangka menjaga agama mereka, merealisasikan ketakwaan mereka serta menjauhkan diri-diri mereka dari perkara-perkara syubhat (yang tidak jelas).


Lalu bagaimanakah nasib mereka yang dengan sengaja mencari yang haram untuk mengisi perutnya sendiri dan memenuhi kebutuhan keluarganya?


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ


Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman, yang saat itu seseorang tidak peduli lagi dari mana dia mendapatkan harta, apakah dari jalan halal ataukah yang haram’. [HR. al-Bukhâri]


Rakus dan tamak terhadap dunia, mengekor kepada syahwat dan tamak akan rezeki serta melupakan hari perhitungan menjadikan manusia terbuai untuk memburu angan-angan gemerlap dan kelezatan dunia tanpa memperhatikan sumber penghasilan dan usahanya.


Dari Khudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berkata, “Kemarilah kalian semua!’ Kemudian para shahabat beliau menghampirinya dan duduk menghadapnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,‘Ini ada utusan Allâh malaikat Jibril. Ia membisikkan ke dalam benakku bahwa satu jiwa tidak akan wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya sekalipun rezekinya terlambat datang kepadanya. Karena itu, hendaklah kamu bertakwa kepada Allâh dan lakukanlah usaha dengan cara yang baik! Janganlah kedatangan rezeki yang terlambat menyeretmu untuk bermaksiat kepada Allâh Azza wa Jalla , karena apa yang ada di sisi Allâh hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya.” [HR. Bazzâr dalam Musnadnya dengan sanad yang shahih]


Kalimat أجملوا في الطلب (lakukanlah usaha dengan cara yang baik!) dalam hadits di atas maksudnya adalah usaha mencari rezeki agar memperoleh pendapatan dunia.


PENGARUH MAKANAN HARAM

Adakalanya seorang Muslim bersungguh-sungguh dalam melakukan amal shalih akan tetapi ia memandang remeh dan kurang peduli dengan masalah mengkonsumsi harta yang haram, padahal akibatnya sangat fatal. Orang seperti ini akan rugi di dunia dan di akhirat. Amal ibadahnya tertolak, doanya tidak akan diijabahi (tidak dikabulkan oleh Allâh Azza wa Jalla) dan harta serta usahanya tidak akan diberkahi.


Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla baik dan Dia tidak akan menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allâh telah memerintahkan kepada orang-orang Mukmin dengan apa yang telah diperintahkan kepada para Rasul. sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman :


يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ


Wahai sekalian para Rasul, makanlah yang baik-baik dan beramal shalihlah, sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan [al-Mukminûn/23:51]


Allâh juga berfirman :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ


“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik dari rezeki yang Kami berikan kepada kalian”[al-Baqarah/2:172].


Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan perihal seorang lelaki yang sedang melakukan safar (perjalanan jauh), yang berambut kusut, kusam dan berdebu, yang menadahkan tangan ke langit lalu berdoa: Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!… Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dia dikenyangkan dengan makanan yang haram, maka bagaimana bisa doa dikabulkan? [HR. Muslim]


Oleh sebab itu, sedekah dari harta yang haram akan tertolak dan tidak diterima. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةً بِغَيْرِ طَهُورٍ ، وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ


Allâh tidak akan menerima shalat seseorang tanpa berwudlu (bersuci), dan tidak akan menerima sedekah dengan harta ghulul (curian/korupsi) [HR. Muslim]


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


إِذَا أَدَّيْتَ زَكَاةَ مَالِكَ فَقَدْ قَضَيْتَ مَا عَلَيْكَ، وَمَنْ جَمَعَ مَالًا حَرَامًا ثُمَّ تَصَدَّقَ مِنْهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهِ أَجْرٌ وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ


‘Jika engkau telah menunaikan zakat hartamu maka engkau telah melaksanakan kewajiban dan barang siapa yang mengumpulkan harta dari jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya’. [HR. Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân dalam Shahihnya]


Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ


Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram. [HR. Ibn Hibban dalam Shahîhnya]


Dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdabda :


يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحتٍ إلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَولَى بِهِ


Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali neraka lebih utama atasnya. [HR. Tirmidzi]


Kata السحت dalam hadits di atas maksudnya adalah semua yang haram dalam segala bentuk dan macamnya, seperti hasil riba, hasil sogokan, mengambil harta anak yatim dan hasil dari berbagai bisnis yang diharamkan syari’at.


Hendaklah setiap individu Muslim selalu ingat, bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menanyakan di hari Kiamat tentang harta masing-masing orang, dari mana ia memperolehnya dan kemana ia infakkan? Sebuah pertanyaan untuk sebuah penegasan dan penghitungan, yang kemudian diiringi balasan dah hukuman yang adil.


Baca Juga  Bolehkan Mengambil Riba Untuk Fakir Miskin?

Maka barangsiapa melatih dirinya agar memiliki sifat takwa, wara’ (menahan dari yang haram), ‘iffah (menjaga kehormatan), qanâ’ah (merasa cukup dengan yang ada dan halal) serta menjadi orang senantiasa melakukan introspeksi diri, maka sifat itu akan menjadi tabiat dan karakternya.


Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :


قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَىٰ وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا


Katakanlah! “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” [an-Nisâ’/4:7]


Dari Khaulah al-Anshâriyah Radhiyallahu anha bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


إِنَّ رِجَالًا يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمْ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


Sesungguhnya ada sebagian orang yang mengambil harta milik Allâh bukan dengan cara yang haq, sehingga mereka akan mendapatkan neraka pada hari Kiamat’ [HR. al-Bukhâri]


GHULUL, DOSA BESAR YANG DIREMEHKAN

Diantara dosa besar yang dianggap sepele oleh sebagian besar masyarakat adalah al-ghulûl. al-Ghulûl maksudnya mengambil sesuatu yang bukan miliknya dari harta bersama, atau memanfaatkan barang-barang inventaris kantor untuk kepentingan pribadi atau keluarganya bukan untuk kepentingan umum. Prilaku seperti ini termasuk perbuatan zhalim yang berat bisa menyeret masyarakat pada kerusakan, terutama pelakunya. Pelaku tindak kezhaliman ini terancam hukuman yang keras di dunia dan juga di akhirat, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’ân. Allâh Azza wa Jalla berfirman :


وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


Barangsiapa berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu” [ali Imrân/3:161]


Dari Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mempekerjakan seseorang dari kabilah al-Azdi yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Setelah bekerja ia datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Ini untuk Anda dan yang ini untukku, aku diberi hadiahkan. Mendengar ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar seraya bersabda :‘Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, ‘Ini untukmu dan ini hadiah untukku!’ Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan melihat, apakah ia diberi hadiah ataukah tidak? Demi Allâh Azza wa Jalla , tidaklah seseorang datang dengan mengambil sesuatu dari yang tidak benar melainkan ia akan datang dengannya pada hari Kiamat, lalu dia akan memikulnya di lehernya. (Jika yang ia ambil adalah) unta, maka akan keluar suara unta. Jika sapi, maka akan keluar suara sapi; Jika kambing, maka akan keluar suara kambing.


Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami bisa melihat putih kedua ketiak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, ‘Wahai Allâh! Aku telah menyampaikannya?’[HR. al-Bukhâri dan Muslim]


Dari Buraidah Radhiyallahu anhu , dia mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam barsabda, “Barangsiapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami telah menetapkan rezeki (gaji atau upah), maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah ghulûl (pengkhianatan, korupsi atau penipuan)’. [HR. Abu Daud]


Permasalahannya, bukan pada banyak atau sedikitnya barang yang diambil, akan tetapi ini merupakan asas atau sendi, juga merupakan aturan agama yang mereka anut, serta akhlak yang menghiasi diri mereka serta amanah yang wajib mereka tunaikan. Jika virus ghulûl (korupsi) dibiarkan, maka dia akan membesar. Orang yang sudah terbiasa mengambil suatu yang kecil, suatu ketika dia akan berani mengambil sesuatu yang lebih besar.


Jika ghulûl (mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya) sudah menjadi hal jamak atau lumrah pada sebuah masyarakat, dimana si pelaku tanpa rasa sungkan dan malu mengambil harta yang bukan haknya, itu artinya akhlak yang hina ini telah tersebar di kalangan mereka. Padahal setiap akhlak tercela itu menyeret pelakunya pada prilaku yang lebih buruk sehingga terjebak dalam sebuah rangkaian perbuatan maksiat yang terus-menerus merusak hati dan menghancurkan moral serta membangkitkan egois. Semua ini akan menyeret seseorang untuk berbuat zhalim, menyulut rasa dengki dan mengakibatkan perpecahan.


Kerusakan pada managemen kantor dan keuangan bisa juga memberikan dampak negatif pada masyarakat, keterpurukan akhlak, kemiskinan serta kerusakan agama mereka, juga membuka peluang untuk berbuat korup dan merebaknya budaya sogok. Sehingga sering terdengar, banyak orang yang tidak bisa mendapatkan hak kecuali dengan sogok.


Kalau amanah sudah ditinggalkan maka banyak hak yang terabaikan, keadilan akan melemah, kezhaliman merajalela, rasa aman hilang dan masyarakat dilanda ketakutan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam harits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :


Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’.


Dan Ibn Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Yang pertama kali hilang dari agamamu adalah amanah.”


PENUTUP

Maka tiada jalan untuk selamat dari siksa Allâh Azza wa Jalla , kecuali dengan murâqabatullâh (merasa selalu dalam pengawasan Allâh Azza wa Jalla) disaat sepi atau ramai, selalu takut kepada Allâh sebelum takut kepada manusia. Dan tidak ada jalan untuk membangkitkan umat dan memajukannya serta melepaskannya dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan kecuali dengan menegakkan keadilan, menghilangkan kezhaliman, mempekerjakan orang yang amanat.



Dorongan hawa nafsu menjadikan seseorang untuk tamak terhadap harta. Dalam eksesnya, kerakusan akan membutakan mata batinnya. Ia tak lagi peduli pada soal halal atau haram dari hartanya atau caranya memperoleh kekayaan. Padahal, kehidupan di dunia tidak selamanya. Kelak di akhirat, setiap insan akan dimintai pertanggungjawaban.

Kisah berikut mengajarkan teladan tentang kehati-hatian dalam mendapatkan harta. Cerita yang dimaksud berasal dari sebuah hadis sahih, yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu.

Nabi Muhammad SAW suatu kali menuturkan riwayat tentang dua orang lelaki dari umat beriman pada zaman lampau. Lelaki pertama hendak membeli lahan dari lelaki kedua. Mereka kemudian saling bersepakat tentang harga area tersebut. Ijab kabul pun berlangsung dengan lancar. Masing-masing akhirnya memperoleh haknya secara adil. Si pembeli mendapatkan tanah, sedangkan si penjual menerima sejumlah uang.

Beberapa hari kemudian, si pembeli terkejut saat mengunjungi lahan yang baru dibelinya itu. Pasalnya, di sana ia menemukan sebuah guci yang berisi penuh emas. Ia kemudian melaporkan seguci emas itu kepada orang yang telah menjual lahan ini kepadanya

Masing-masing tetap bersikukuh menolak mengambil guci berisi harta itu.

"Wahai hamba Allah, aku menemukan guci berisi emas ini di atas lahan yang kini menjadi milikku. Ambillah guci ini! Sungguh, aku membeli darimu hanya sebidang tanah sesuai kesepakatan," kata si pembeli.

Namun, anjuran ini ditolak si penjual. Alasannya, dirinya telah menjual tanah itu beserta isinya. Dan, emas-emas di dalam guci itu ditemukan di lahan yang telah dijualnya sehingga kini pantaslah menjadi milik si pembeli.

"Ambillah guci ini! Sungguh, saya menjual tanah ini kepadamu berikut isinya!" kata dia.

"Tidak, Anda-lah yang seharusnya mengambil guci ini," sanggah si pembeli, "sebab, saya hanya membeli tanah dari Anda, bukan guci ini."

Lama kelamaan, keduanya naik pitam. Masing-masing tetap bersikukuh menolak mengambil guci berisi harta itu. Untuk menyelesaikan perselisihan, para warga setempat menyarankan keduanya agar membawa perkara ini ke hadapan hakim untuk diadili.

Di pengadilan, hakim menerima keterangan dari mereka berdua. Tetap saja, tidak ada yang mau mengalah dengan menerima guci penuh emas itu.

Sang hakim kemudian berkata kepada mereka, "Apakah masing- masing kalian mempunyai anak?"

Si pembeli menjawab, "Ya, anak saya laki-laki."

"Anak saya perempuan," kata si penjual menimpali.

Kalau begitu, lanjut hakim, "Nikahkanlah mereka berdua. Berilah belanja kepada mereka dari harta dalam guci ini, serta bersedekahlah kalian berdua!"

Setelah itu, mereka pun melaksanakan perintah hakim. Berkat pernikahan putra-putri mereka, keduanya menjadi lebih erat dalam ikatan persaudaraan.

Berawal dari takut terhadap harta syubhat, yakni harta yang diragukan kehalalan atau keharamannya. Kedua insan itu akhirnya menjadi satu keluarga besar.

Kisah yang disampaikan melalui hadis ini menunjukkan fadhilah sikap amanah dan jujur. Tidak ada nafsu baik dari si pembeli maupun penjual lahan itu untuk menguasai harta yang bukan haknya. Mereka tidak berambisi dalam muamalah yang penuh keadilan.

Allah SWT pun membalas sikap hati-hati (wara') mereka dengan sesuatu yang lebih baik: ikatan keluarga. Malahan, harta itu kemudian menjadi jelas statusnya dan lebih berkah karena dipakai anak keturunannya dalam membina rumah tangga.

Kedua lelaki beriman itu mengadakan sengketa karena menolak memiliki harta. Bilakah keadaan masyarakat kini yang marak kita jumpai? Di pelbagai pemberitaan, tak sedikit pertikaian yang didorong ambisi masing-masing pihak untuk menguasai harta yang dipersengketakan.

Sengketa demikian tidak mengherankan. Sebab, dalam setiap jiwa manusia memang tertanam rasa cinta terhadap dunia. Allah Ta'ala telah berfirman dalam surah Ali Imran ayat 14. Artinya, "Dijadikan indah dalam (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak, dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)."

Bagaimanapun, Islam mengajarkan agar kecintaan itu tidak berlebihan. Bila ada perselisihan, hendaknya diselesaikan secara adil dan mengutamakan sikap lapang dada. Jangan sampai hak seseorang terampas, apalagi nyawa di kandung badan.

Bila ada perselisihan, hendaknya diselesaikan secara adil dan mengutamakan sikap lapang dada.

Alquran dan Sunnah telah mewanti-wanti agar manusia mencari harta dari jalan yang halal. Alquran surah at-Taubah ayat 34 mengambil contoh para tokoh agama yang justru semena-mena sehingga tega memakan harta yang bukan haknya.

Arti ayat itu, "Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang lain dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang pedih."

Referensi Sebagai Berikut ini ;











Dahsyatannya Bahaya Memakan Harta Haram

Cinta dan tamak harta merupakan sifat, tabiat dan watak manusia, Allah Swt  berfirman :

وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا

Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan (al-Fajr/89:20)

Usaha yang baik dan halal merupakan hal yang terpuji dalam agama Islam, karena Allah Swt   memerintahkan manusia agar berkerja dan berusaha keras, sebagaimana firman-Nya :

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya.Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (al-Mulk/67:15)

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Amr bin al-’Âs,‘Wahai Amr, Nikmat harta yang baik adalah yang dimiliki laki-laki yang shalih’(diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya)

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

مَا أكَلَ أَحَدٌ طَعَاماً قَطُّ خَيْراً مِنْ أنْ يَأكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِه ، وَإنَّ نَبيَّ الله دَاوُدَ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَأكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ


‘Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik daripada memakan hasil jerih payahnya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud Alaihissallam makan dari hasil jerih payahnya sendiri’. (HR. al-Bukhâri)

Rasulullah SAW juga bersabda :

لأَنْ يَأخُذَ أحَدُكُمْ أحبُلَهُ ثُمَّ يَأتِيَ الجَبَلَ ، فَيَأْتِيَ بحُزمَةٍ مِنْ حَطَب عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا ، فَيكُفّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَسْألَ النَّاسَ ، أعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ

Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allâh mencukupkan kebutuhan hidupnya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi ataupun tidak’(HR. al-Bukhâri)

Allah Swt  menjadikan rasa suka dan cinta terhadap harta sebagai cobaan dan ujian. Karena, Allah Swt , Dzat yang Mahaagung yang telah menetapkan ketuhanan dan keesaan-Nya dalam ayat-ayat al-Qur’ân kemudian juga mengingatkan bahwa Dialah satu-satunya yang mengatur hukum halal dan haram, satu-satunya Pencipta dan Pemberi rezeki, yang berhak mengatur kehidupan dunia ini. Jadi hak untuk menetapan hukum halal dan haram hanyalah milik-Nya semata.

Allah Swt  berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (al-Baqarah/2:168)

Allah Swt  berfirman :

وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ

Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allâh telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allâh yang kamu beriman kepada-Nya.(Al-Maidah/5:88)

Halalan thayyiban dalam ayat di atas sesuatu yang dihalakan bagi kalian dan bukan diperoleh dengan cara yang diharamkan, seperti merampas, merampok, mencuri, riba, risywah atau sogokan, korupsi, penipuan dan berbagai macam mu’âmalah haram lain.

Thayyiban maksudnya tidak al-khabîts, yakni tidak kotor atau najis, seperti bangkai, daging babi atau anjing, minuman keras dan yang sejenisnya.

Orang-orang yang memiliki harta halal dan mata pencaharian yang halal adalah orang-orang yang paling selamat agamanya, paling tenang hati dan pikirannya, paling lapang dadanya, paling sukses kehidupannya. Kehormatan dan harga diri mereka bersih dan terjaga, rezeki mereka penuh berkah dan citra mereka dimasyarakat selalu indah.

Mencari harta halal dengan cara yang halal adalah sifat mulia yang telah dicerminkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Mereka, para assalafus shâlih juga selalu saling mengingatkan untuk berhati-hati dalam masalah makanan, minuman dan mata pencaharian.

Dari Abi Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أكَلَ طَيِّبًا ، وعَمِلَ فِي سُنَّةٍ ، وَأَمِنَ الناسُ بَوَائِقَهُ ، دَخَلَ الْجَنَّةَ

Barangsiapa mengkonsumsi sesuatu yang baik, melaksanakan sunnah dan masyarakat sekitarnya tidak terganggu dengan keburukannya, maka dia masuk surga’. (HR. Tirmidzi)

Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ، فَلاَ عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيثٍ، وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِى طُعْمة

Ada empat hal, bila keempatnya ada pada dirimu, maka segala urusan dunia yang luput darimu tidak akan membahayakanmu : menjaga amanah, berkata benar, akhlak baik dan menjaga urusan makanan’.

SIKAP ORANG-ORANG SHALIH

Banyak sekali potret orang-orang shalih terdahulu sebagai bukti kehati-hatian dan kewaspadaan mereka dalam masalah ini. Diantaranya :

  1. Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu anhu . Suatu ketika hamba sahayanya membawa sesuatu makanan dan Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu anhu memakannya. Lalu hamba sahaya itu berkata, “Wahai tuanku, tahukah Anda dari mana makanan ini?” Abu Bakar Radhiyallahu anhu menjawab, ‘Dari mana engkau dapat makanan ini?’ Budak itu menjawab, “Dahulu saya pernah berlagak seperti orang pintar (dukun), padahal saya tidak pandai ilmu perdukunan. Saya hanya menipunya. Lalu (di kemudian hari) dia menjumpaiku dan memberikan upah kepadaku. Makanan yang tadi Anda makan adalah bagian pemberian tersebut.” Mendengar hal itu Abu Bakar Radhiyallahu anhu langsung memasukkan jari-jarinya ke mulutnya sampai ia memuntahkan semua makanan yang baru beliau makan.
  2. Suatu ketika Umar Radhiyallahu anhu diberi minum susu dan beliau Radhiyallahu anhu begitu senang. Kemudian beliau Radhiyallahu anhu bertanya kepada orang yang memberinya minum, “Dari manakah engkau mendapatkan susu ini?” Orang itu menjawab, ‘Aku berjalan melewati seekor unta sedekah, sementara mereka sedang berada dekat dengan sumber air. Lalu aku mengambil air susunya.’ Mendengar cerita orang itu, seketika itu pula Umar Radhiyallahu anhu memasukkan jari ke mulutnya agar ia memuntahkan susu yang baru diminumnya.
  3. Kisah seorang wanita shalihah yang menasehati suami tercintanya dengan ucapannya, “Wahai suamiku! Bertakwalah engkau kepada Allâh saat mencari rezeki untuk kami! Karena sesungguhnya kami mampu menahan lapar dan dahaga, akan tetepi kami tak akan mampu menahan panas api neraka.”

Begitulah sikap wara’ orang-orang shalih, dalam rangka menjaga agama mereka, merealisasikan ketakwaan mereka serta menjauhkan diri-diri mereka dari perkara-perkara syubhat (yang tidak jelas). Lalu bagaimanakah nasib mereka yang dengan sengaja mencari yang haram untuk mengisi perutnya sendiri dan memenuhi kebutuhan keluarganya?

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman, yang saat itu seseorang tidak peduli lagi dari mana dia mendapatkan harta, apakah dari jalan halal ataukah yang haram’. (HR. al-Bukhari)

Rakus dan tamak terhadap dunia, mengekor kepada syahwat dan tamak akan rezeki serta melupakan hari perhitungan menjadikan manusia terbuai untuk memburu angan-angan gemerlap dan kelezatan dunia tanpa memperhatikan sumber penghasilan dan usahanya.

Dari Khudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berkata, “Kemarilah kalian semua!’ Kemudian para shahabat beliau menghampirinya dan duduk menghadapnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,‘Ini ada utusan Allâh malaikat Jibril. Ia membisikkan ke dalam benakku bahwa satu jiwa tidak akan wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya sekalipun rezekinya terlambat datang kepadanya. Karena itu, hendaklah kamu bertakwa kepada Allâh dan lakukanlah usaha dengan cara yang baik! Janganlah kedatangan rezeki yang terlambat menyeretmu untuk bermaksiat kepada Allâh Azza wa Jalla , karena apa yang ada di sisi Allâh hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya.” (HR. Bazzâr dalam Musnadnya dengan sanad yang shahih)

Kalimat أجملوا في الطلب (lakukanlah usaha dengan cara yang baik!) dalam hadits di atas maksudnya adalah usaha mencari rezeki agar memperoleh pendapatan dunia.

PENGARUH MAKANAN HARAM

Adakalanya seorang Muslim bersungguh-sungguh dalam melakukan amal shalih akan tetapi ia memandang remeh dan kurang peduli dengan masalah mengkonsumsi harta yang haram, padahal akibatnya sangat fatal. Orang seperti ini akan rugi di dunia dan di akhirat. Amal ibadahnya tertolak, doanya tidak akan diijabahi (tidak dikabulkan oleh Allâh Azza wa Jalla) dan harta serta usahanya tidak akan diberkahi.

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla baik dan Dia tidak akan menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allâh telah memerintahkan kepada orang-orang Mukmin dengan apa yang telah diperintahkan kepada para Rasul. sebagaimana Allah Swt  berfirman :

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Wahai sekalian para Rasul, makanlah yang baik-baik dan beramal shalihlah, sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan (Al-Mukminûn/23:51)

Allah juga berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik dari rezeki yang Kami berikan kepada kalian”(al-Baqarah/2:172).

Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan perihal seorang lelaki yang sedang melakukan safar (perjalanan jauh), yang berambut kusut, kusam dan berdebu, yang menadahkan tangan ke langit lalu berdoa: Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!… Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dia dikenyangkan dengan makanan yang haram, maka bagaimana bisa doa dikabulkan? (HR. Muslim)

Oleh sebab itu, sedekah dari harta yang haram akan tertolak dan tidak diterima. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةً بِغَيْرِ طَهُورٍ ، وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ

Allâh tidak akan menerima shalat seseorang tanpa berwudlu (bersuci), dan tidak akan menerima sedekah dengan harta ghulul (curian/korupsi) (HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَدَّيْتَ زَكَاةَ مَالِكَ فَقَدْ قَضَيْتَ مَا عَلَيْكَ، وَمَنْ جَمَعَ مَالًا حَرَامًا ثُمَّ تَصَدَّقَ مِنْهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهِ أَجْرٌ وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ

‘Jika engkau telah menunaikan zakat hartamu maka engkau telah melaksanakan kewajiban dan barang siapa yang mengumpulkan harta dari jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya’. (HR. Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân dalam Shahihnya)

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ

Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram. (HR. Ibn Hibban dalam Shahîhnya)

Dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdabda :

يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحتٍ إلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَولَى بِهِ

Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali neraka lebih utama atasnya. (HR. Tirmidzi)

Kata السحت dalam hadits di atas maksudnya adalah semua yang haram dalam segala bentuk dan macamnya, seperti hasil riba, hasil sogokan, mengambil harta anak yatim dan hasil dari berbagai bisnis yang diharamkan syari’at.

Hendaklah setiap individu Muslim selalu ingat, bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menanyakan di hari Kiamat tentang harta masing-masing orang, dari mana ia memperolehnya dan kemana ia infakkan? Sebuah pertanyaan untuk sebuah penegasan dan penghitungan, yang kemudian diiringi balasan dah hukuman yang adil.

Maka barangsiapa melatih dirinya agar memiliki sifat takwa, wara’ (menahan dari yang haram), ‘iffah (menjaga kehormatan), qanâ’ah (merasa cukup dengan yang ada dan halal) serta menjadi orang senantiasa melakukan introspeksi diri, maka sifat itu akan menjadi tabiat dan karakternya.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَىٰ وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا

Katakanlah! “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” (an-Nisâ’/4:7)

Dari Khaulah al-Anshâriyah Radhiyallahu anha bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ رِجَالًا يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمْ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Sesungguhnya ada sebagian orang yang mengambil harta milik Allâh bukan dengan cara yang haq, sehingga mereka akan mendapatkan neraka pada hari Kiamat’ [HR. al-Bukhâri]

GHULUL, DOSA BESAR YANG DIREMEHKAN

Diantara dosa besar yang dianggap sepele oleh sebagian besar masyarakat adalah al-ghulûl. al-Ghulûl maksudnya mengambil sesuatu yang bukan miliknya dari harta bersama, atau memanfaatkan barang-barang inventaris kantor untuk kepentingan pribadi atau keluarganya bukan untuk kepentingan umum. Prilaku seperti ini termasuk perbuatan zhalim yang berat bisa menyeret masyarakat pada kerusakan, terutama pelakunya. Pelaku tindak kezhaliman ini terancam hukuman yang keras di dunia dan juga di akhirat, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an. Allah Swt   berfirman :

وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu” (Ali Imran/3:161)

Dari Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mempekerjakan seseorang dari kabilah al-Azdi yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Setelah bekerja ia datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Ini untuk Anda dan yang ini untukku, aku diberi hadiahkan. Mendengar ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar seraya bersabda :‘Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, ‘Ini untukmu dan ini hadiah untukku!’ Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan melihat, apakah ia diberi hadiah ataukah tidak? Demi Allâh Azza wa Jalla , tidaklah seseorang datang dengan mengambil sesuatu dari yang tidak benar melainkan ia akan datang dengannya pada hari Kiamat, lalu dia akan memikulnya di lehernya. (Jika yang ia ambil adalah) unta, maka akan keluar suara unta. Jika sapi, maka akan keluar suara sapi; Jika kambing, maka akan keluar suara kambing.

Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami bisa melihat putih kedua ketiak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, ‘Wahai Allâh! Aku telah menyampaikannya?’(HR. al-Bukhâri dan Muslim)

Dari Buraidah Radhiyallahu anhu , dia mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam barsabda, “Barangsiapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami telah menetapkan rezeki (gaji atau upah), maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah ghulûl (pengkhianatan, korupsi atau penipuan)’. (HR. Abu Daud)

Permasalahannya, bukan pada banyak atau sedikitnya barang yang diambil, akan tetapi ini merupakan asas atau sendi, juga merupakan aturan agama yang mereka anut, serta akhlak yang menghiasi diri mereka serta amanah yang wajib mereka tunaikan. Jika virus ghulûl (korupsi) dibiarkan, maka dia akan membesar. Orang yang sudah terbiasa mengambil suatu yang kecil, suatu ketika dia akan berani mengambil sesuatu yang lebih besar.

Jika ghulûl (mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya) sudah menjadi hal jamak atau lumrah pada sebuah masyarakat, dimana si pelaku tanpa rasa sungkan dan malu mengambil harta yang bukan haknya, itu artinya akhlak yang hina ini telah tersebar di kalangan mereka. Padahal setiap akhlak tercela itu menyeret pelakunya pada prilaku yang lebih buruk sehingga terjebak dalam sebuah rangkaian perbuatan maksiat yang terus-menerus merusak hati dan menghancurkan moral serta membangkitkan egois. Semua ini akan menyeret seseorang untuk berbuat zhalim, menyulut rasa dengki dan mengakibatkan perpecahan.

Kerusakan pada managemen kantor dan keuangan bisa juga memberikan dampak negatif pada masyarakat, keterpurukan akhlak, kemiskinan serta kerusakan agama mereka, juga membuka peluang untuk berbuat korup dan merebaknya budaya sogok. Sehingga sering terdengar, banyak orang yang tidak bisa mendapatkan hak kecuali dengan sogok.

Kalau amanah sudah ditinggalkan maka banyak hak yang terabaikan, keadilan akan melemah, kezhaliman merajalela, rasa aman hilang dan masyarakat dilanda ketakutan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam harits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :

Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’.

Dan Ibn Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Yang pertama kali hilang dari agamamu adalah amanah.”

Maka tiada jalan untuk selamat dari siksa Allah Swt, kecuali dengan murâqabatullâh (merasa selalu dalam pengawasan Allâh Azza wa Jalla) disaat sepi atau ramai, selalu takut kepada Allâh sebelum takut kepada manusia. Dan tidak ada jalan untuk membangkitkan umat dan memajukannya serta melepaskannya dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan kecuali dengan menegakkan keadilan, menghilangkan kezhaliman, mempekerjakan orang yang amanat.

Dorongan hawa nafsu menjadikan seseorang untuk tamak terhadap harta. Dalam eksesnya, kerakusan akan membutakan mata batinnya. Ia tak lagi peduli pada soal halal atau haram dari hartanya atau caranya memperoleh kekayaan. Padahal, kehidupan di dunia tidak selamanya. Kelak di akhirat, setiap insan akan dimintai pertanggungjawaban.

Kisah berikut mengajarkan teladan tentang kehati-hatian dalam mendapatkan harta. Cerita yang dimaksud berasal dari sebuah hadis sahih, yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu.

Nabi Muhammad SAW suatu kali menuturkan riwayat tentang dua orang lelaki dari umat beriman pada zaman lampau. Lelaki pertama hendak membeli lahan dari lelaki kedua. Mereka kemudian saling bersepakat tentang harga area tersebut. Ijab kabul pun berlangsung dengan lancar. Masing-masing akhirnya memperoleh haknya secara adil. Si pembeli mendapatkan tanah, sedangkan si penjual menerima sejumlah uang.

Beberapa hari kemudian, si pembeli terkejut saat mengunjungi lahan yang baru dibelinya itu. Pasalnya, di sana ia menemukan sebuah guci yang berisi penuh emas. Ia kemudian melaporkan seguci emas itu kepada orang yang telah menjual lahan ini kepadanya

Masing-masing tetap bersikukuh menolak mengambil guci berisi harta itu.

"Wahai hamba Allah, aku menemukan guci berisi emas ini di atas lahan yang kini menjadi milikku. Ambillah guci ini! Sungguh, aku membeli darimu hanya sebidang tanah sesuai kesepakatan," kata si pembeli.

Namun, anjuran ini ditolak si penjual. Alasannya, dirinya telah menjual tanah itu beserta isinya. Dan, emas-emas di dalam guci itu ditemukan di lahan yang telah dijualnya sehingga kini pantaslah menjadi milik si pembeli.

"Ambillah guci ini! Sungguh, saya menjual tanah ini kepadamu berikut isinya!" kata dia.

"Tidak, Anda-lah yang seharusnya mengambil guci ini," sanggah si pembeli, "sebab, saya hanya membeli tanah dari Anda, bukan guci ini."

Lama kelamaan, keduanya naik pitam. Masing-masing tetap bersikukuh menolak mengambil guci berisi harta itu. Untuk menyelesaikan perselisihan, para warga setempat menyarankan keduanya agar membawa perkara ini ke hadapan hakim untuk diadili.

Di pengadilan, hakim menerima keterangan dari mereka berdua. Tetap saja, tidak ada yang mau mengalah dengan menerima guci penuh emas itu.

Sang hakim kemudian berkata kepada mereka, "Apakah masing- masing kalian mempunyai anak?"

Si pembeli menjawab, "Ya, anak saya laki-laki."

"Anak saya perempuan," kata si penjual menimpali.

Kalau begitu, lanjut hakim, "Nikahkanlah mereka berdua. Berilah belanja kepada mereka dari harta dalam guci ini, serta bersedekahlah kalian berdua!"

Setelah itu, mereka pun melaksanakan perintah hakim. Berkat pernikahan putra-putri mereka, keduanya menjadi lebih erat dalam ikatan persaudaraan.

Berawal dari takut terhadap harta syubhat, yakni harta yang diragukan kehalalan atau keharamannya. Kedua insan itu akhirnya menjadi satu keluarga besar.

Kisah yang disampaikan melalui hadis ini menunjukkan fadhilah sikap amanah dan jujur. Tidak ada nafsu baik dari si pembeli maupun penjual lahan itu untuk menguasai harta yang bukan haknya. Mereka tidak berambisi dalam muamalah yang penuh keadilan.

Allah SWT pun membalas sikap hati-hati (wara') mereka dengan sesuatu yang lebih baik: ikatan keluarga. Malahan, harta itu kemudian menjadi jelas statusnya dan lebih berkah karena dipakai anak keturunannya dalam membina rumah tangga.

Kedua lelaki beriman itu mengadakan sengketa karena menolak memiliki harta. Bilakah keadaan masyarakat kini yang marak kita jumpai? Di pelbagai pemberitaan, tak sedikit pertikaian yang didorong ambisi masing-masing pihak untuk menguasai harta yang dipersengketakan.

Sengketa demikian tidak mengherankan. Sebab, dalam setiap jiwa manusia memang tertanam rasa cinta terhadap dunia. Allah Ta'ala telah berfirman dalam surah Ali Imran ayat 14. Artinya, "Dijadikan indah dalam (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak, dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)."

Bagaimanapun, Islam mengajarkan agar kecintaan itu tidak berlebihan. Bila ada perselisihan, hendaknya diselesaikan secara adil dan mengutamakan sikap lapang dada. Jangan sampai hak seseorang terampas, apalagi nyawa di kandung badan.

Bila ada perselisihan, hendaknya diselesaikan secara adil dan mengutamakan sikap lapang dada. Alquran dan Sunnah telah mewanti-wanti agar manusia mencari harta dari jalan yang halal. Alquran surah at-Taubah ayat 34 mengambil contoh para tokoh agama yang justru semena-mena sehingga tega memakan harta yang bukan haknya.

Arti ayat itu, "Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang lain dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang pedih."

Referensi Sebagai berikut ini ;
















Kisah Dua Pemuda yang Takut Menerima Harta Syubhat

Kisah Dua Pemuda yang Takut Sekali Menerima Harta Syubhat. Dalam sejarah umat manusia selalu ada kisah teladan yang bernilai luhur. Salah satunya kisah dua orang pemilik harta yang tak merasa memiliki hartanya. Mereka seakan tak membutuhkan perkara dunia. Salah satu alasan mereka adalah takut bila harta diterimanya syubhat. Apalagi sampai haram. Lebih lanjut kisah itu menggambarkan bagaimana dua orang pria yang sama-sama menolak untuk memiliki bejana yang mengandung emas di dalamnya. Masing-masing mengira bahwa bejana itu bukan miliknya, melainkan milik kawannya. Akhirnya, seorang hakim yang mengadili perkara keduanya menetapkan sebuah keputusan yang unik. Seperti apa keunikannya, dapat disimak dalam hadits riwayat Abu Hurairah.

Melalui hadits itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan dua orang pria yang bertransaksi jual beli sebidang tanah. Setelah bertransaksi, si pembeli mendapati sebuah bejana berisi emas di tanah yang dibelinya. Namun, keadaan keduanya sungguh mengherankan. Biasanya, kondisi demikian membuat dua pihak bersengketa. Masing-masing ingin mendapatkan emas. Mengklaim bahwa itu miliknya. Pembeli merasa, emas itu ada di tanah yang telah dibelinya. Begitu pula si penjual merasa hanya menjual tanah. Tidak termasuk emas yang ada di dalamnya.   

Tidak mengherankan sengketa seperti itu terjadi karena kecintaan manusia terhadap dunia. Dan kecintaan itu tertanam dalam setiap jiwa manusia. Dalam kaitan ini, Allah telah berfirman, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga),” (QS Ali ‘Imrân 3: 14).   

Akibat kecintaan itu tak sedikit di antara mereka yang sampai berani terlibat perselisihan, pertengkaran, dan permusuhan. Bahkan, tak jarang pula mereka yang menghalalkan segala cara. Termasuk pertumpahan darah dan persengketaan demi menguasai harta yang ada di tangan orang lain.   

Allah telah mengabarkan penyakit yang satu ini. Yaitu penyakit makan harta orang lain dengan cara batil. Wahyu-Nya telah sampai kepada para pengidapnya. Padahal, mereka penegak syariat-Nya, Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang lain dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (QS al-Taubah 9 : 34).   

Tak diragukan lagi, kedua pria di atas termasuk orang saleh dan wara‘. Dinding keimanan, ketakwaan, dan kesalehan mereka sangat kuat berada di balik kezuhudan mereka terhadap harta. Terlebih jika status harta itu haram dan tidak jelas pemiliknya. Orang-orang takwa betul-betul mengetahui bahwa harta haram itu akan membinasakan harta yang halal, mengundang murka, dan siksa Ilahi. Dan yang paling berbahaya adalah menjadi sebab pemiliknya masuk api neraka. Belum lagi orang-orang yang dirampas hartanya akan mengambil kebaikan orang-orang yang merampas sebanyak harta yang dirampasnya.   

Maka dari itu, orang-orang saleh dan takwa akan berusaha sekuat mungkin untuk tidak makan harta haram. Mereka akan berusaha menyerahkan satu harta kepada pemiliknya. Rupanya tipe orang yang seperti itu masih banyak di tengah umat ini, terutam di tengah generasi terdahulu. Konon, para mujahid dahulu selalu membawa hartanya dalam jumlah besar lalu menyerahkannya kepada panglima perang. Setelah itu, mereka tidak pernah mengambilnya lagi sedikit pun

Selain keadaan kedua pria di atas terbilang aneh, keadaan hakim yang mengadili perkara mereka juga lebih aneh dan terbilang langka. Sebelum memberi keputusan, ia menanyakan keturunan keduanya. Seorang mengaku memiliki anak laki-laki, sedangkan yang satu mengaku memiliki anak perempuan. Kemudian, sang hakim memutuskan agar kedua anak itu dinikahkan, dan pernikahannya dibiayai dari harta yang mereka perselihkan kepemilikannya. Sang hakim seakan ingin menyatukan dua keluarga dengan pernikahan putra-putri mereka. Selain kita tahu bahwa penikahan di antara orang-orang yang baik akan memperkuat tali keimanan di antara mereka dan kian meneguhkan hubungan orang-orang saleh. Suami istri yang saleh besar kemungkinan melahirkan turunan yang saleh.

Demikian kisah yang disarikan dari hadits riwayat al-Bukhari (no. 3472) dan Muslim (no. 1721). Dari kisah di atas, dapat dipetik sejumlah pelajaran, di antaranya:   Hadis ini menginformasikan bahwa pada umat dan syariat terdahulu sudah disyariatkan transaksi jual-beli. Berbeda dengan asumsi para ulama Malikiah yang menyebutkan masyarakat kuno belum mengenal jual-beli. 

Dalam setiap zaman dan generasi selalu ada orang-orang saleh dan takwa yang mementingkan harta dan makanan yang halal, serta menjauhi harta dan makanan haram. Disyariatkan meminta keputusan hukum kepada ahli ilmu yang dipandang mampu memberikannya. Industri atau pembuatan alat-alat rumah tangga sudah dikenal sejak zaman dahulu kala. Contohnya, dalam kisah di atas sudah ada bejana yang berisi emas di dalamnya. 

Ketika seseorang menemukan harta yang terpendam dan mungkin diketahui pemiliknya serta waktu terpendamnya dimungkinkan belum lama, maka hukumnya adalah hukum barang temuan. Ia harus mencari pemiliknya dan menyerahkannya. Namun, apabila waktu terpendamnya sudah lama dan pemiliknya tidak mungkin diketahui, maka hukumnya adalah hukum barang temuan (rikâz) yang menjadi milik orang menemukannya dikurangi seperlima zakat darinya. Wallahu a’lam. (Lihat: Umar Sulaiman al-Asyqar, Shahih al-Qashash al-Nabawi, [Oman: Darun Nafais], 1997, Cetakan Pertama, hal. 267).

Dorongan hawa nafsu menjadikan seseorang untuk tamak terhadap harta. Dalam eksesnya, kerakusan akan membutakan mata batinnya. Ia tak lagi peduli pada soal halal atau haram dari hartanya atau caranya memperoleh kekayaan. Padahal, kehidupan di dunia tidak selamanya. Kelak di akhirat, setiap insan akan dimintai pertanggungjawaban.

Kisah berikut mengajarkan teladan tentang kehati-hatian dalam mendapatkan harta. Cerita yang dimaksud berasal dari sebuah hadis sahih, yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu.

Nabi Muhammad SAW suatu kali menuturkan riwayat tentang dua orang lelaki dari umat beriman pada zaman lampau. Lelaki pertama hendak membeli lahan dari lelaki kedua. Mereka kemudian saling bersepakat tentang harga area tersebut. Ijab kabul pun berlangsung dengan lancar. Masing-masing akhirnya memperoleh haknya secara adil. Si pembeli mendapatkan tanah, sedangkan si penjual menerima sejumlah uang.

Beberapa hari kemudian, si pembeli terkejut saat mengunjungi lahan yang baru dibelinya itu. Pasalnya, di sana ia menemukan sebuah guci yang berisi penuh emas. Ia kemudian melaporkan seguci emas itu kepada orang yang telah menjual lahan ini kepadanya

Masing-masing tetap bersikukuh menolak mengambil guci berisi harta itu.

"Wahai hamba Allah, aku menemukan guci berisi emas ini di atas lahan yang kini menjadi milikku. Ambillah guci ini! Sungguh, aku membeli darimu hanya sebidang tanah sesuai kesepakatan," kata si pembeli.

Namun, anjuran ini ditolak si penjual. Alasannya, dirinya telah menjual tanah itu beserta isinya. Dan, emas-emas di dalam guci itu ditemukan di lahan yang telah dijualnya sehingga kini pantaslah menjadi milik si pembeli.

"Ambillah guci ini! Sungguh, saya menjual tanah ini kepadamu berikut isinya!" kata dia.

"Tidak, Anda-lah yang seharusnya mengambil guci ini," sanggah si pembeli, "sebab, saya hanya membeli tanah dari Anda, bukan guci ini."

Lama kelamaan, keduanya naik pitam. Masing-masing tetap bersikukuh menolak mengambil guci berisi harta itu. Untuk menyelesaikan perselisihan, para warga setempat menyarankan keduanya agar membawa perkara ini ke hadapan hakim untuk diadili.

Di pengadilan, hakim menerima keterangan dari mereka berdua. Tetap saja, tidak ada yang mau mengalah dengan menerima guci penuh emas itu.

Sang hakim kemudian berkata kepada mereka, "Apakah masing- masing kalian mempunyai anak?"

Si pembeli menjawab, "Ya, anak saya laki-laki."

"Anak saya perempuan," kata si penjual menimpali.

Kalau begitu, lanjut hakim, "Nikahkanlah mereka berdua. Berilah belanja kepada mereka dari harta dalam guci ini, serta bersedekahlah kalian berdua!"

Setelah itu, mereka pun melaksanakan perintah hakim. Berkat pernikahan putra-putri mereka, keduanya menjadi lebih erat dalam ikatan persaudaraan.

Berawal dari takut terhadap harta syubhat, yakni harta yang diragukan kehalalan atau keharamannya. Kedua insan itu akhirnya menjadi satu keluarga besar.

Kisah yang disampaikan melalui hadis ini menunjukkan fadhilah sikap amanah dan jujur. Tidak ada nafsu baik dari si pembeli maupun penjual lahan itu untuk menguasai harta yang bukan haknya. Mereka tidak berambisi dalam muamalah yang penuh keadilan.

Allah SWT pun membalas sikap hati-hati (wara') mereka dengan sesuatu yang lebih baik: ikatan keluarga. Malahan, harta itu kemudian menjadi jelas statusnya dan lebih berkah karena dipakai anak keturunannya dalam membina rumah tangga.

Kedua lelaki beriman itu mengadakan sengketa karena menolak memiliki harta. Bilakah keadaan masyarakat kini yang marak kita jumpai? Di pelbagai pemberitaan, tak sedikit pertikaian yang didorong ambisi masing-masing pihak untuk menguasai harta yang dipersengketakan.

Sengketa demikian tidak mengherankan. Sebab, dalam setiap jiwa manusia memang tertanam rasa cinta terhadap dunia. Allah Ta'ala telah berfirman dalam surah Ali Imran ayat 14. Artinya, "Dijadikan indah dalam (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak, dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)."

Bagaimanapun, Islam mengajarkan agar kecintaan itu tidak berlebihan. Bila ada perselisihan, hendaknya diselesaikan secara adil dan mengutamakan sikap lapang dada. Jangan sampai hak seseorang terampas, apalagi nyawa di kandung badan.

Bila ada perselisihan, hendaknya diselesaikan secara adil dan mengutamakan sikap lapang dada.

Alquran dan Sunnah telah mewanti-wanti agar manusia mencari harta dari jalan yang halal. Alquran surah at-Taubah ayat 34 mengambil contoh para tokoh agama yang justru semena-mena sehingga tega memakan harta yang bukan haknya.

Arti ayat itu, "Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang lain dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang pedih."

Referensi Sebagai berikut ini;














Dorongan hawa nafsu menjadikan seseorang untuk tamak terhadap harta

Dorongan hawa nafsu menjadikan seseorang untuk tamak terhadap harta. Dalam eksesnya, kerakusan akan membutakan mata batinnya. Ia tak lagi peduli pada soal halal atau haram dari hartanya atau caranya memperoleh kekayaan. Padahal, kehidupan di dunia tidak selamanya. Kelak di akhirat, setiap insan akan dimintai pertanggungjawaban.

Kisah berikut mengajarkan teladan tentang kehati-hatian dalam mendapatkan harta. Cerita yang dimaksud berasal dari sebuah hadis sahih, yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu.

Nabi Muhammad SAW suatu kali menuturkan riwayat tentang dua orang lelaki dari umat beriman pada zaman lampau. Lelaki pertama hendak membeli lahan dari lelaki kedua. Mereka kemudian saling bersepakat tentang harga area tersebut. Ijab kabul pun berlangsung dengan lancar. Masing-masing akhirnya memperoleh haknya secara adil. Si pembeli mendapatkan tanah, sedangkan si penjual menerima sejumlah uang.

Beberapa hari kemudian, si pembeli terkejut saat mengunjungi lahan yang baru dibelinya itu. Pasalnya, di sana ia menemukan sebuah guci yang berisi penuh emas. Ia kemudian melaporkan seguci emas itu kepada orang yang telah menjual lahan ini kepadanya

Masing-masing tetap bersikukuh menolak mengambil guci berisi harta itu.

"Wahai hamba Allah, aku menemukan guci berisi emas ini di atas lahan yang kini menjadi milikku. Ambillah guci ini! Sungguh, aku membeli darimu hanya sebidang tanah sesuai kesepakatan," kata si pembeli.

Namun, anjuran ini ditolak si penjual. Alasannya, dirinya telah menjual tanah itu beserta isinya. Dan, emas-emas di dalam guci itu ditemukan di lahan yang telah dijualnya sehingga kini pantaslah menjadi milik si pembeli.

"Ambillah guci ini! Sungguh, saya menjual tanah ini kepadamu berikut isinya!" kata dia.

"Tidak, Anda-lah yang seharusnya mengambil guci ini," sanggah si pembeli, "sebab, saya hanya membeli tanah dari Anda, bukan guci ini."

Lama kelamaan, keduanya naik pitam. Masing-masing tetap bersikukuh menolak mengambil guci berisi harta itu. Untuk menyelesaikan perselisihan, para warga setempat menyarankan keduanya agar membawa perkara ini ke hadapan hakim untuk diadili.

Di pengadilan, hakim menerima keterangan dari mereka berdua. Tetap saja, tidak ada yang mau mengalah dengan menerima guci penuh emas itu.

Sang hakim kemudian berkata kepada mereka, "Apakah masing- masing kalian mempunyai anak?"

Si pembeli menjawab, "Ya, anak saya laki-laki."

"Anak saya perempuan," kata si penjual menimpali.

Kalau begitu, lanjut hakim, "Nikahkanlah mereka berdua. Berilah belanja kepada mereka dari harta dalam guci ini, serta bersedekahlah kalian berdua!"

Setelah itu, mereka pun melaksanakan perintah hakim. Berkat pernikahan putra-putri mereka, keduanya menjadi lebih erat dalam ikatan persaudaraan.

Berawal dari takut terhadap harta syubhat, yakni harta yang diragukan kehalalan atau keharamannya. Kedua insan itu akhirnya menjadi satu keluarga besar.

Kisah yang disampaikan melalui hadis ini menunjukkan fadhilah sikap amanah dan jujur. Tidak ada nafsu baik dari si pembeli maupun penjual lahan itu untuk menguasai harta yang bukan haknya. Mereka tidak berambisi dalam muamalah yang penuh keadilan.

Allah SWT pun membalas sikap hati-hati (wara') mereka dengan sesuatu yang lebih baik: ikatan keluarga. Malahan, harta itu kemudian menjadi jelas statusnya dan lebih berkah karena dipakai anak keturunannya dalam membina rumah tangga.

Kedua lelaki beriman itu mengadakan sengketa karena menolak memiliki harta. Bilakah keadaan masyarakat kini yang marak kita jumpai? Di pelbagai pemberitaan, tak sedikit pertikaian yang didorong ambisi masing-masing pihak untuk menguasai harta yang dipersengketakan.

Sengketa demikian tidak mengherankan. Sebab, dalam setiap jiwa manusia memang tertanam rasa cinta terhadap dunia. Allah Ta'ala telah berfirman dalam surah Ali Imran ayat 14. Artinya, "Dijadikan indah dalam (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak, dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)."

Bagaimanapun, Islam mengajarkan agar kecintaan itu tidak berlebihan. Bila ada perselisihan, hendaknya diselesaikan secara adil dan mengutamakan sikap lapang dada. Jangan sampai hak seseorang terampas, apalagi nyawa di kandung badan.

Bila ada perselisihan, hendaknya diselesaikan secara adil dan mengutamakan sikap lapang dada.

Alquran dan Sunnah telah mewanti-wanti agar manusia mencari harta dari jalan yang halal. Alquran surah at-Taubah ayat 34 mengambil contoh para tokoh agama yang justru semena-mena sehingga tega memakan harta yang bukan haknya.

Arti ayat itu, "Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang lain dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang pedih."


Sesulit apa pun kita untuk mencari uang, jauhkanlah hal-hal yang didapatkan dengan cara haram dan dari sumber yang tak halal pula. Dalam Islam, apa-apa yang dilakukan dengan cara haram tidak akan bermanfaat bagi orang tersebut. Di dalam Al-Quran juga mengingatkan kepada semua muslim bahwa uang haram, seperti halnya riba, tidak ada kebaikan di dalamnya seperti yang tercantum pada surat Al-Baqarah ayat 276 yang artinya:

"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa."

Berbicara tentang riba, perolehan harta yang didapat dari aktivitas riba, sudah jelas keharamannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Allah SWT memberikan banyak cara untuk mendapatkan uang dengan cara yang halal, seperti jual-beli.

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 275 yang artinya:

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."

Lalu, pernah tidak kamu mempertanyakan jika uang yang didapat secara riba dan digunakan untuk hal-hal baik, seperti sedekah diperbolehkan atau tidak dan seperti apa hukumnya. Kita semua jelas tahu, riba adalah perbuatan haram, berarti uang yang didapat pun bukanlah dari cara yang halal. Namun, jika uang riba tersebut digunakan untuk hal-hal baik tentu tidak akan membuat uang tersebut menjadi halal. Artinya, niat baik tidak bisa melepaskan perkara yang jelas-jelas keharamannya.

Jadi, harta yang diperoleh dari aktivitas riba dan semacamnya, tetap keharamannya. Tidak boleh diambil, apa pun bentuk penggunaan dan keperluannya. Sebab, harta tersebut adalah harta yang telah diharamkan. Maka dari itu, jauhi segala hal yang berbau riba dan hal-hal yang tida halal untuk menaikkan jumlah harta kamu.

Referensi Sebagai berikut ini ;







Bagaimana Hukum Memakai Uang Haram untuk Amal Kebaikan/Sedekah?

Bagaimana Hukum Memakai Uang Haram untuk Amal Kebaikan/Sedekah? Sesulit apa pun kita untuk mencari uang, jauhkanlah hal-hal yang didapatkan dengan cara haram dan dari sumber yang tak halal pula. Dalam Islam, apa-apa yang dilakukan dengan cara haram tidak akan bermanfaat bagi orang tersebut. Di dalam Al-Quran juga mengingatkan kepada semua muslim bahwa uang haram, seperti halnya riba, tidak ada kebaikan di dalamnya seperti yang tercantum pada surat Al-Baqarah ayat 276 yang artinya :

"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa."

Berbicara tentang riba, perolehan harta yang didapat dari aktivitas riba, sudah jelas keharamannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Allah SWT memberikan banyak cara untuk mendapatkan uang dengan cara yang halal, seperti jual-beli.

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 275 yang artinya:

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."

Lalu, pernah tidak kamu mempertanyakan jika uang yang didapat secara riba dan digunakan untuk hal-hal baik, seperti sedekah diperbolehkan atau tidak dan seperti apa hukumnya. Kita semua jelas tahu, riba adalah perbuatan haram, berarti uang yang didapat pun bukanlah dari cara yang halal. Namun, jika uang riba tersebut digunakan untuk hal-hal baik tentu tidak akan membuat uang tersebut menjadi halal. Artinya, niat baik tidak bisa melepaskan perkara yang jelas-jelas keharamannya. Jadi, harta yang diperoleh dari aktivitas riba dan semacamnya, tetap keharamannya. Tidak boleh diambil, apa pun bentuk penggunaan dan keperluannya. Sebab, harta tersebut adalah harta yang telah diharamkan. Maka dari itu, jauhi segala hal yang berbau riba dan hal-hal yang tida halal untuk menaikkan jumlah harta kamu.

Referensi Sebagai berikut ini ;








Taubat Penerima Suap

Beberapa fatwa ulama berkaitan dengan suap-menyuap: beda suap dengan hadiah, mau menerima suap tapi memberikan uang suap ke fakir miskin dan mengenai bertaubat atas dosa suap. Uang tips, “salam tempel”, hadiah dan turunan sogok lain sepertinya telah menyatu dengan dinamika dunia kerja. Tapi pegawai yang bertakwa tidak akan menggadaikan iman untuk terlibat dalam suap-menyuap, sogok-menyogok atau menerima “salam tempel” dan hadiah yang bukan haknya. Godaan melakukan perbuatan tercela ini sering karena ketidaktahuan akan hukum syariat dan ancaman dosanya. Bahkan tidak tahu beda antara sogok atau suap dan hibah atau hadiah. Berikut sebagian fatwa ulama yang berkaitan dengan suap-menyuap.

Beda Suap, Hadiah atau Hibah

Risywah (suap) adalah sesuatu yang diberikan seseorang untuk mendapatkan apa bukan menjadi haknya, atau untuk melarikan diri dari kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 24/256). Ibnu Abidin menjelaskan, suap adalah sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau yang lainnya agar memberi keputusan yang menguntungkan dirinya atau memaksanya melakukan yang dia inginkan. (Hasyiyah Ibn Abidin, 5/362).

Syaikh Ibnu Baz dalam fatwanya menjelaskan keterangan Ibn Abidin tersebut. “Dari apa yang disampaikan Ibn Abidin, jelaslah suap bentuknya lebih umum, tidak hanya berupa harta atau jasa tertentu, untuk mempengaruhi hakim agar memutuskan sesuai keinginannya. Sementara yang menjadi sasaran suap adalah semua orang yang diharapkan bisa membantu kepentingan penyuap. Baik kepala pemerintahan maupun para pegawainya. Maksud Ibn Abidin ‘agar memberi keputusan yang menguntungkan dirinya atau memaksanya melakukan yang dia inginkan’ adalah mewujudkan tujuan dan keinginan penyuap. Baik dengan alasan yang benar maupun salah.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 23/223 – 224)

Hibah didefinisikan para ulama sebagai “Memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya, dengan pemindahan kepemilikan secara cuma-cuma.” (Fathul Qadir, 9/19 dan Al-Mughni, 5/379). Hibah semakna dengan hadiah. Biasanya, motivasi memberikan hibah adalah rasa cinta kepada yang diberi hibah, ingin memuliakan orang yang diberi hibah, memberikan sedekah kepadanya, atau sebagai tanda terima kasih terhadap perbuatan baiknya. Dalam memberikan hadiah maupun hibah, sama sekali tidak ada maksud untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.

Para pegawai yang digaji tetap tidak boleh menerima hadiah karena posisinya sebagai pegawai. Baik menerima dari klien maupun bawahan. Baik sebagai ungkapan terima kasih atas jasa pelayanan yang telah diberikan maupun dalam rangka memuliakan.

Kesimpulan ini berdasarkan riwayat bahwa pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskan seorang lelaki untuk memungut sedekah. Ternyata utusan itu menerima hadiah dari penyetor zakat. Seusai dari tugasnya lelaki tersebut berkata, “Wahai Rasulullah, harta ini adalah hasil kerjaku dan aku serahkan kepadamu. Sedangkan harta ini adalah hadiah yang aku dapatkan.” Menanggapi sikap utusan tersebut, Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda, “Mengapa engkau tidak duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu lihatlah, adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?” Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dan berkhutbah. “Amma ba’du: Mengapa seorang utusan yang aku beri tugas, lalu ketika pulang ia berkata, ‘Ini hasil tugasku sedangkan ini adalah hadiah milikku?’ Tidakkah ia duduk saja di rumah ayah dan ibunya, lalu dia lihat, adakah ia mendapatkan hadiah atau tidak. Sungguh demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman-Nya, tidaklah ada seorang dari kalian yang mengambil sesuatu tanpa haknya (korupsi), melainkan kelak pada hari kiyamat ia akan memikul harta korupsinya. Bila dia mengambil seekor unta maka dia membawa untanya dalam keadaan bersuara. Bila ia mengambil sapi, maka ia membawa sapinya itu yang terus melenguh (bersuara). Dan bila yang dia ambil adalah seekor kambing, maka dia membawa kambingnya itu yang terus mengembik. Sungguh aku telah menyampaikan peringatan ini.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dalam hadis tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan standar yang jelas dalam hal hadiah yang diterima seorang pegawai. Hadiah yang diterima pegawai karena peran atau jabatannya, hakekatnya gratifikasi, dan tentu hukumnya haram. Dalam hadis tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara hadiah yang datang sebelum seeorang menjalankan tugas dan hadiah yang datang setelahnya, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Tidakkah engkau duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu lihatlah, adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?”

Dalam hadis lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan ketentuan tersebut melalui sabdanya, “Hadiah para pegawai adalah korupsi.” (HR. Ahmad dan lainnya). Karena itu, hati-hati dengan uang tips yang pernah Anda terima, karena semuanya masuk dalam cakupan hadis ini.

Disuap Tanpa Berharap, Diterima, Lalu Diberikan ke Fakir Miskin

Hukum mengenai disuap tanpa berharap, uangnya diterima tetapi lalu uangnya itu diberikan ke fakir miskin dapat dirinci sebagai berikut:

Pertama, ada orang menyuap pegawai untuk melancarkan tujuannya, lalu pegawai menerima dan memberikan uang suap itu ke orang miskin. Dalam kasus ini, menerima uang suap termasuk perbuatan haram berdasarkan keumuman dalil yang melarang suap. Selain itu, perbuatan ini menunjukkan sikap mendiamkan kemunkaran dan menyetujui terjadinya sogok. Karena orang yang menyogok merasa tujuannya telah dia dapatkan dengan sogok yang dia berikan.

Dari Abdullah  bin Amr bin Ash Radliallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap. (HR. Ahmad 6791, Abu Daud 3580 dan dishahihkan Al-Albani).

Memberikan uang suap kepada orang miskin bukanlah alasan membolehkan menerima suap. Seorang hamba tidak boleh melakukan hal yang haram dengan tujuan agar bisa bersedekah.

Kedua, ada pegawai menerima uang tips, kemudian dia memberikan sebagian uang itu kepada kita, tanpa kita memintanya. Bolehkah kita menerimanya untuk diberikan ke orang miskin? Perbuatan ini statusnya sama. Hukumnya haram. Berarti kita mendiamkan praktek suap dan menunjukkan sikap setuju terhadap praktek suap. Bisa jadi tujuan utama memberikan sebagian uang suap kepada kita agar kita menyetujui praktek suap.

Ketiga, ada orang yang pernah menerima uang tips, dan ingin bertaubat, dia lalu menyerahkan uang itu kepada kita untuk disedekahkan kepada orang miskin. Bolehkah kita menerimanya? Kita boleh menerimanya, dan memberikannya ke fakir miskin, karena dalam tindakan ini kita membantu orang lain melakukan ketaatan.

Keempat, bolehkah orang miskin menerimanya? Boleh, dan harta itu halal baginya, karena mereka menerimanya dengan cara yang halal, yaitu sedekah. An-Nawawi menukil pendapat Al-Ghazali, yang menjelaskan, “Orang yang pernah mengambil harta haram kemudian dia ingin bertaubat dan berlepas diri darinya, maka jika harta itu ada pemiliknya, wajib dia kembalikan kepadanya atau diserahkan ke orang yang mewakilinya. Jika pemiliknya sudah mati maka wajib dia serahkan ke ahli warisnya. Jika dia tidak mengetahui pemiliknya dan dia putus asa untuk bisa menemukannya maka dia boleh menyalurkan harta yang haram itu untuk kemaslahatan kaum muslimin, seperti fasilitas umum, masjid, atau semacamnya yang bisa dinikmati oleh kaum muslimin. Jika tidak memungkinkan, bisa disedekahkan kepada orang miskin.”

Bertaubat atas Dosa Suap, Harus Kembalikan Uang Suap.

Menerima uang suap termasuk perbuatan haram dan diganjar dosa besar. Suap diancam laknat. Karena itu, siapa saja yang pernah melakukan suap-menyuap tidak ada pilihan selain harus bertaubat. Apakah uang suap itu wajib dikembalikan?

Ada beberapa keadaan. Pertama, jika penyuap memberikan uang suap untuk mendapatkan haknya, yang disuap wajib mengembalikan harta itu kepada penyuap, karena harta itu diperolehnya dengan cara batil dan zalim kepada orang lain. Kedua, jika penyuap memberikan uang suap untuk mendapatkan yang bukan haknya, dan dia telah berhasil, maka uang itu tidak boleh dikembalikan ke penyuap sehingga penyuap tidak mendapatkan dua kepentingan sekaligus, yakni memperoleh yang bukan haknya dan mendapatkan kembali hartanya.

Dalam keadaan tersebut, pegawai yang bertaubat wajib menyerahkan harta suap dengan menyedekahkannya ke orang miskin atau disalurkan untuk kepentingan umum. Ibnul Qoyim mengatakan. “Jika ada orang yang mendapatkan harta dari orang lain dengan cara haram, dan pemberi harta telah mendapat manfaatnya, seperti wanita pezina yang mendapat harta dari konsumennya, atau penyanyi, penjual khamr, saksi palsu, atau semacamnya, kemudian dia bertaubat, sebagian ulama berpendapat, dia wajib mengembalikannya kepada pemiliknya. Karena harta itu adalah harta pemberi uang, dan penerima mengambilnya tanpa izin syariat. Pemberi suap tidak mendapatkan manfaat mubah dari harta yang dia berikan.”

Ulama lain berpendapat, taubatnya dengan menyedekahkan uang suap tersebut dan tidak mengembalikannya kepada penyuap (pendapat syaikhul Islam, Ibn Taimiyah, dan inilah pendapat yang kuat. (Madarijus Salikin, 1/389)

“Memberikan hadiah maupun hibah harus sama sekali tidak ada maksud untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.”

“Pegawai yang memiliki gaji tetap tidak boleh menerima hadiah karena posisinya sebagai pegawai.”

“Memberi uang suap ke orang miskin bukanlah alasan pembenar menerima suap.”

Al-Ghazali: “Orang yang pernah mengambil harta haram kemudian dia ingin bertaubat dan berlepas diri darinya, maka jika harta itu ada pemiliknya, wajib dia kembalikan kepadanya.”

Hukum Suap-Menyuap

Suap : sesuatu yang diberikan seseorang untuk mendapatkan apa bukan menjadi haknya, atau untuk melarikan diri dari kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya.

Hibah: sesuatu harta yang diberikan kepada orang yang memanfaatkannya dengan pemindahan kepemilikan, secara cuma-cuma.

Beda suap dengan hibah/hadiah:

Hibah atau hadiah umumnya diberikan karena dorongan rasa cinta atau penghormatan.

Sap dan semacamnya diberikan karena tendensi tertentu dari pemberi.

Pegawai tidak boleh menerima hadiah maupun hibah karena peran atau jabatannya.

Hukum menerima uang suap untuk diberikan ke fakir miskin:

Menerima uang suap dari klien atau dari pegawai lain yang menerima suap: haram, meskipun diniatkan untuk disedekahkan.

Menyalurkan uang hasil suap dari orang yang bertaubat untuk diberikan kepada orang miskin: boleh

Seorang pegawai yang menyerahkan uangnya kepada orang miskin karena bertaubat, boleh menerima uang tersebut dan statusnya halal baginya.

Kepada siapa uang suap harus diserahkan:

Jika pemberi suap melakukan tindakan menyuap untuk mendapatkan haknya maka uang itu wajib dikemballikan kepadanya.

Jika pemberi suap melakukan tindakan menyuap untuk mendapatkan yang bukan haknya, dan dia telah berhasil maka tidak perlu dikembalikan, tapi disedekahkan.


Sedekah dengan Harta Haram, Mengenai sedekah dengan harta haram, maka bisa ditinjau dari tiga macam harta haram berikut:

Harta yang haram secara zatnya. Contoh: khomr, babi, benda najis. Harta seperti ini tidak diterima sedekahnya dan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya.

Harta yang haram karena berkaitan dengan hak orang lain. Contoh: HP curian, mobil curian. Sedekah harta semacam ini tidak diterima dan harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik sebenarnya.

Harta yang haram karena pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta dari hasil dagangan barang haram. Sedekah dari harta jenis ketiga ini juga tidak diterima dan wajib membersihkan harta haram semacam itu. Namun apakah pencucian harta seperti ini disebut sedekah? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Intinya, jika dinamakan sedekah, tetap tidak diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

“Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim no. 224).

Ghulul yang dimaksud di sini adalah harta yang berkaitan dengan hak orang lain seperti harta curian. Sedekah tersebut juga tidak diterima karena alasan dalil lainnya yang telah disebutkan, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014). Lihat bahasan Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 92-93.

Adapun bersedekah dengan harta yang berkaitan dengan hak orang  lain (barang curian, misalnya), maka Ibnu Rajab membaginya menjadi dua macam,

Jika bersedekah atas nama pencuri, sedekah tersebut tidaklah diterima, bahkan ia berdosa karena telah memanfaatkannya. Pemilik sebenarnya pun tidak mendapatkan pahala karena tidak ada niatan dari dirinya. Demikian pendapat mayoritas ulama.

Jika bersedekah dengan harta haram tersebut atas nama pemilik sebenarnya ketika ia tidak mampu mengembalikan pada pemiliknya atau pun ahli warisnya, maka ketika itu dibolehkan oleh kebanyakan ulama di antaranya Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad.  Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 264-268.

Kaedah dalam Harta Haram Karena Usaha (Pekerjaan)

Kaedah dalam memanfaatkan harta semacam ini -semisal harta riba- disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,

أن ما حُرِّم لكسبه فهو حرام على الكاسب فقط، دون مَن أخذه منه بطريق مباح.

“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh)” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)

Contoh dari kaedah di atas:

Boleh menerima hadiah dari orang yang bermuamalah dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)

Boleh transaksi jual beli dengan orang yang bermuamalan dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)

Jika ada yang meninggal dunia dan penghasilannya dari riba, maka hartanya halal pada ahli warisnya. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 10)

Contoh-contoh di atas dibolehkan karena harta haram dari usaha tersebut diperoleh dengan cara yang halal yaitu melalui hadiah, jual beli dan pembagian waris.

Di Manakah Menyalurkan Harta Haram?

Dari pendapat terkuat dari pendapat yang ada, harta haram harus dibersihkan, tidak didiamkan begitu saja ketika harta tersebut tidak diketahui lagi pemiliknya atau pun ahli warisnya. Namun di manakah tempat penyalurannya? Ada empat pendapat ulama dalam masalah ini:

Pendapat pertama, disalurkan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak khusus pada orang dan tempat tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Pendapat kedua, disalurkan sebagai sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang terdapat maslahat, pemberian pada fakir miskin atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam Ghozali dari ulama Syafi’iyah.

Pendapat ketiga, disalurkan pada maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain untuk masjid. Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut berasal dari harta yang thohir (suci).

Pendapat keempat, disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.

Ringkasnya, pendapat pertama dan kedua memiliki maksud yang sama yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin seperti diberikan pada fakir miskin. Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan pembatasan pada jihad saja, namun menunjukkan afdholiyah. Sedangkan pendapat keempat dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaro’an (kehati-hatian) dalam masalah asal yaitu  shalat di tanah rampasan (al ardhul maghsubah), di mana masalah kesahan shalat di tempat tersebut masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta haram tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid. Dalam rangka hati-hati, harta haram disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, pada orang yang butuh, fakir miskin, selain untuk masjid dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi si pemilik harta haram.

Referensi Sebagai berikut ini ;














Cara Membersihkan Harta Haram Yang Termakan (3)

Ilustrasi : Cara Membersihkan Harta Haram Yang Termakan (3)

Cara Membersihkan Harta Haram Yang Termakan (3), Mengenai sedekah dengan harta haram, maka bisa ditinjau dari tiga macam harta haram berikut : Harta yang haram secara zatnya. Contoh: khomr, babi, benda najis. Harta seperti ini tidak diterima sedekahnya dan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya. Harta yang haram karena berkaitan dengan hak orang lain. Contoh: HP curian, mobil curian. Sedekah harta semacam ini tidak diterima dan harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik sebenarnya.

Harta yang haram karena pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta dari hasil dagangan barang haram. Sedekah dari harta jenis ketiga ini juga tidak diterima dan wajib membersihkan harta haram semacam itu. Namun apakah pencucian harta seperti ini disebut sedekah? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Intinya, jika dinamakan sedekah, tetap tidak diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

“Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim no. 224).

Ghulul yang dimaksud di sini adalah harta yang berkaitan dengan hak orang lain seperti harta curian. Sedekah tersebut juga tidak diterima karena alasan dalil lainnya yang telah disebutkan, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014). Lihat bahasan Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 92-93.

Adapun bersedekah dengan harta yang berkaitan dengan hak orang  lain (barang curian, misalnya), maka Ibnu Rajab membaginya menjadi dua macam,

Jika bersedekah atas nama pencuri, sedekah tersebut tidaklah diterima, bahkan ia berdosa karena telah memanfaatkannya. Pemilik sebenarnya pun tidak mendapatkan pahala karena tidak ada niatan dari dirinya. Demikian pendapat mayoritas ulama.

Jika bersedekah dengan harta haram tersebut atas nama pemilik sebenarnya ketika ia tidak mampu mengembalikan pada pemiliknya atau pun ahli warisnya, maka ketika itu dibolehkan oleh kebanyakan ulama di antaranya Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad.  Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 264-268.

Kaedah dalam Harta Haram Karena Usaha (Pekerjaan)

Kaedah dalam memanfaatkan harta semacam ini -semisal harta riba- disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,

أن ما حُرِّم لكسبه فهو حرام على الكاسب فقط، دون مَن أخذه منه بطريق مباح.

“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh)” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)

Contoh dari kaedah di atas:

Boleh menerima hadiah dari orang yang bermuamalah dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)

Boleh transaksi jual beli dengan orang yang bermuamalan dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)

Jika ada yang meninggal dunia dan penghasilannya dari riba, maka hartanya halal pada ahli warisnya. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 10)

Contoh-contoh di atas dibolehkan karena harta haram dari usaha tersebut diperoleh dengan cara yang halal yaitu melalui hadiah, jual beli dan pembagian waris.

Di Manakah Menyalurkan Harta Haram?

Dari pendapat terkuat dari pendapat yang ada, harta haram harus dibersihkan, tidak didiamkan begitu saja ketika harta tersebut tidak diketahui lagi pemiliknya atau pun ahli warisnya. Namun di manakah tempat penyalurannya? Ada empat pendapat ulama dalam masalah ini:

Pendapat pertama, disalurkan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak khusus pada orang dan tempat tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Pendapat kedua, disalurkan sebagai sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang terdapat maslahat, pemberian pada fakir miskin atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam Ghozali dari ulama Syafi’iyah.

Pendapat ketiga, disalurkan pada maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain untuk masjid. Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut berasal dari harta yang thohir (suci).

Pendapat keempat, disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.

Ringkasnya, pendapat pertama dan kedua memiliki maksud yang sama yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin seperti diberikan pada fakir miskin. Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan pembatasan pada jihad saja, namun menunjukkan afdholiyah. Sedangkan pendapat keempat dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaro’an (kehati-hatian) dalam masalah asal yaitu  shalat di tanah rampasan (al ardhul maghsubah), di mana masalah kesahan shalat di tempat tersebut masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta haram tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid.

Dalam rangka hati-hati, harta haram disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, pada orang yang butuh, fakir miskin, selain untuk masjid dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi si pemilik harta haram.

Referensi Sebagai berikut ini ;