This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Sabtu, 23 Juli 2022

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri (QS. Al Baqarah: 222)

Kewajiban Bertaubat dan Urgensinya : Taubat dari dosa yang dilakukan oleh seorang mu'min, dan saat itu ia sedang berusaha menuju kepada Allah SWT, adalah kewajiban agama. Diperintahkah oleh Al Quran, didorong oleh sunnah, serta disepakati kewajibannnya oleh seluruh ulama, baik ulama zhahir maupun ulama bathin.

Hingga Sahl bin Abdullah berkata: Barangsiapa yang berkata bahwa taubat adalah tidak wajib maka ia telah kafir, dan barangsiapa yang menyetujui perkataan seperti itu maka ia juga kafir. Dan ia berkata: "Tidak ada yang lebih wajib bagi makhluk dari melakukan taubat, dan tidak ada hukuman yang lebih berat atas manusia selain ketidak tahuannya akan ilmu taubat, dan tidak menguasai ilmu taubat itu (Di sebutkan oleh Abu Thalib Al Makki dalam kitabnya Qutul Qulub, juz 1 hal. 179).

Allah SWT berfirman: "Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim". (QS .Al Hujurat: 11)

Ini adalah dalil akan kewajiban bertaubat. Karena jika ia tidak bertaubat maka ia akan menjadi orang-orang zhalim. Dan orang-orang yang zhalim tidak akan beruntung. "Sesungguhnya orang-orang yang zalim tidak akan beruntung." (QS. Yusuf: 23)

Juga tidak dicintai Allah SWT:  "Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim."( QS. Ali 'Imran: 57).

Serta mereka tidak mendapatkan petunjuk dari Allah SWT: "Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Maidah: 51).

Dan mereka juga tidak selamat dari api neraka : "Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut." (QS. Maryam: 71-72.).

Ayat-ayat yang lain : Di antara ayata-yat Al Quran yang mengajak kepada taubat dan menganjurkannya, serta menjelaskan keutamaannya dan buahnya adalah firman Allah SWT (QS. Al Baqarah: 222):

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri." (QS. Al Baqarah: 222)

Taubat dalam Al Quran

Al Quran memberi perhatian yang besar terhadap taubat dalam banyak ayat-ayat yang tersebar dalam surah-surah Makkiah atau Madaniah. Kita akan membaca ayat-ayat itu nantinya, insya Allah. "Bertaubatlah kepada Allah SWT dengan Taubat yang semurni-murninya".

Di antara perintah yang paling tegas untuk melaksanakan taubat dalam Al Quran adalah firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu" (QS. At Tahrim: 8).

Ini adalah perintah yang lain dari Allah SWT dalam Al Quran kepada manusia untuk melakukan taubat dengan taubat nasuha: yaitu taubat yang bersih dan benar. Perintah Allah SWT dalam Al Quran itu menunjukkan wajibnya pekerjaan ini, selama tidak ada petunjuk lain yang mengindikasikan pengertian selain itu. Sementara dalam ayat itu tidak ada petunjuk yang lain itu. Oleh karena itu, hendaknya seluruh kaum mu'min berusaha untuk menggapai dua hal atau dua tujuan yang pokok ini. Yaitu:

Menghapuskan dosa-dosa

Masuk ke dalam surga. Seluruh individu muslim amat membutuhkan dua hal ini: Pertama: agar kesalahannya dihapuskan, dan dosa-dosanya diampunkan. Karena manusia, disebabkan sifat kemanusiaannya, tidak mungkin terbebas dari kesalahan dan dosa-dosa. Itu bermula dari kenyatan elemen pembentukan manusia tersusun dari unsur tanah yang berasal dari bumi, dan unsur ruh yang berasal dari langit. Salah satunya menarik ke bawah sementara bagian lainnya mengajak ke atas. Yang pertama dapat menenggelamkan manusia pada perangai binatang atau lebih buruk lagi, sementara yang lain dapat mengantarkan manusia ke barisan para malaikat atau lebih tinggi lagi.

Oleh karena itu, manusia dapat melakukan kesalahan dan membuat dosa. Dengan kenyataan itu ia membutuhkan taubat yang utuh, sehingga ia dapat menghapus kesalahan yang diperbuatnya.

Kedua: agar ia dapat masuk surga. Siapa yang tidak mau masuk surga? Pemikiran yang paling berat menghantui manusia adalah: akan masuk kemana ia nantinya di akhirat. Ini adalah masalah ujung perjalanan manusia yang paling penting: apakah ia akan selamat di akhirat atau binasa? Apakah ia akan menang dan bahagia ataukah ia akan mengalami kebinasaaan dan penderitaan? Keberhasilan, kemenangan dan kebahagiaan adalah terdapat dalam surga. Sedangkan kebinasaan, kekecewaan serta penderitaan terdapat dalam neraka:

"Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh dia telah beruntung. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan" (QS. Ali Imran: 185.).

Konsekuensi dengan Kewajiban bertaubat ini

Allah Swt sangat menyukai orang yang bertobat: "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri." (QS. Al Baqarah: 222).

Dan dalam penjelasan tentang keluasan ampunan Allah SWT dan rahmat-Nya bagi orang-orang yang bertaubat. Allah SWT berfirman:

"Katakanlah: "Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Az-Zumar: 53)

Ayat ini membukakan pintu dengan seluas-luasnya bagi seluruh orang yang berdosa dan melakuan kesalahan. Meskipun dosa mereka telah mencapai ujung langit sekalipun. Seperti sabda Rasulullah Saw:

"Jika kalian melakukan kesalahan-kesalahan (dosa) hingga kesalahan kalian itu sampai ke langit, kemudian kalian bertaubat, niscaya Allah SWT akan memberikan taubat kepada kalian." (Hadist diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abi Hurairah, dan ia menghukumkannya sebagai hadits hasan dalam kitab sahih Jami' Shagir - 5235)

Di antara keutamaan orang-orang yang bertaubat adalah: Allah SWT menugaskan para malaikat muqarrabin untuk beristighfar bagi mereka serta berdo'a kepada Allah SWT agar Allah SWT menyelamatkan mereka dari azab neraka. Serta memasukkan mereka ke dalam surga. Dan menyelamatkan mereka dari keburukan. Mereka memikirkan urusan mereka di dunia, sedangkan para malaikat sibuk dengan mereka di langit. Allah SWT berfirman:

"(Malaikat-malaikat) yang memikul 'arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala, ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka kedalam surga 'Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak -bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari(pembalasan?)kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar." (QS.Ghaafir: 7-9).

Siapa yang Wajib Melaksanakan Taubat

Di antara ayat Al Quran yang berbicara tentang taubat adalah firman Allah: "Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung" (QS. An-Nur: 31).

Dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan kepada seluruh kaum mu'minin untuk bertaubat kepada Allah SWT, dan tidak mengecualikan seorangpun dari mereka. Meskipun orang itu telah demikian taat menjalankan syari'ah, dan telah menanjak dalam barisan kaum muttaqin, namun tetap ia memerlukan taubat.

  1. Diantara kaum mu'minin ada yang bertaubat dari dosa-dosa besar, jika ia telah melakukan dosa besar itu. Karena ia memang bukan orang yang ma'shum (terjaga dari dosa).
  2. Di antara mereka ada yang bertaubat dari dosa-dosa kecil, dan sedikit sekali orang yang selamat dari dosa-dosa macam ini.
  3. Dari mereka ada yang bertaubat dari melakukan yang syubhat. Dan orang yang menjauhi syubhat maka ia telah menyelamatkan agama dan nama baiknya.
  4. Dan diantara mereka ada yang bertaubat dari tindakan-tindakan yang dimakruhkan.
  5. Dan di antara mereka malah ada orang yang melakukan taubat dari kelalaian yang terjadi dalam hati mereka.
  6. Dan dari mereka ada yang bertaubat karena mereka berdiam diri pada maqam yang rendah dan tidak berusaha untuk mencapai maqam yang lebih tinggi lagi.

Taubat orang awam tidak sama dengan taubat kalangan khawas, juga tidak sama dengan taubat kalangan khawas yang lebih tinggi lagi. Maka kembali --yaitu dengan bertaubat-- kepada Allah SWT bagi setiap manusia adalah amat urgen, baik ia seorang Nabi atau orang yang berperangai seperti babi, juga bagi wali atau si pencuri. Perkataan itu didukung oleh hadits:

"Seluruh kalian adalah pembuat salah dan dosa, dan orang yang berdosa yang paling baik adalah mereka yang sering bertaubat". Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya dari Anas.

Dari Abi Hurairah r.a. dari Nabi Saw bersabda:

"Demi Dzat Yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, jika kalian tidak berbuat dosa niscaya Allah SWT akan membinasakan kalian dan mendatangkan suatu makhluk lain yang berbuat dosa, sehingga mereka kemudian meminta ampun kepada Allah SWT dan Allah SWT mengampuni mereka". (Karena di antara nama Allah SWT adalah "Al Ghaffaar" --Maha Pemberi ampunan. Maka siapa yang akan memberikan ampunan jika seluruh hamba-Nya adalah orang-orang yang tidak pernah melakukan dosa?!! Maka orang yang telah melakukan dosa hendaknya tidak menjadi putus asa, selama dosa yang ia lakukan itu adalah bukan dosa besar. Karena ampunan Allah SWT lebih besar dari dosanya itu. Dan Allah SWT berfirman: "Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Penyampun lagi Maha Penyayang". (QS. Az-Zumar: 53).). Hadits diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya.

Contoh konkritnya: Jika suatu saat orang terbebas dari maksiat yang dilakukan oleh tubuhnya, maka ia tidak dapat terlepas dari keinginan berbuat maksiat dalam hatinya. Dan jikapun tidak ada keinginan itu, dapat pula ia merasakan was-was yang ditiupkan oleh syaitan sehingga ia lupa dari dzikir kepada Allah SWT. Dan jika tidak, dapat pula ia mengalami kelalaian dan kurang dalam mencapai ilmu tentang Allah SWT, sifat-sifat-Nya serta perbuatan-perbuatan-Nya. Semua itu adalah kekurangan dan masing-masing mempunyai sebabnya. Dan membiarkan sebab-sebab itu dengan menyibukkan diri dengan pekerjaan yang berlawanan berarti mengembalikan diri ke tingkatannya yang rendah. (Lihat: Syarh Ainul Ilmi wa Zainul Hilm, juz 1 hal. 175. Kitab ini adalah mukhtasar (ringkasan) kitab Ihya Ulumuddin).

Mengajak Kaum Musyrikin dan Kaum Kafir untuk Bertaubat (yang Bagi kaum Muslimin adalah Wajib)

Di antara ayat-ayat Al Quran ada yang mengajak kaum musyrikin untuk bertaubat, serta membukan pintu bagi mereka untuk bergabung dalam masyarakat muslim, serta menjadi saudara seiman mereka. Seperti firman Allah SWT dalam surah at-Taubah setelah memerintahkan untuk memerangi kaum musyrikin yang melanggar perjanjian damai:

"Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. at-Taubah: 5).

"Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama." (QS. At-Taubah: 11)

Al Quran juga mengajak orang-orang Kristen untuk bertaubat dari perkataan mereka tentang ketuhanan al Masih atau ia sebagai satu dari tiga oknum tuhan! Sedangkan ia sebetulnya hanyalah seorang hamba Allah. Dan baginya telah terjadi apa yang terjadi bagi manusia biasa. Serta Al Quran mengajak untuk menyembah Allah SWT saja.

Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah al Masih putera Maryam", padahal al-Masih (sendiri) berkata: "Hai bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu" Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: " bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepadaNya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al Maidah: 72-74 ).

Bahkan Allah SWT Yang Maha Pemurah juga membuka pintu taubat bagi orang-orang kafir yang telah demikian keji menyiksa kaum mu'mimin dan mu' minat, serta telah melemparkan kaum mu'minin itu ke dalam api yang panas:

"Yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar. Ketika mereka duduk di sekitarnya. Sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang beriman." (QS. al Buruj: 5-7.)

Allah SWT berfirman setelah menyebutkan kisah mereka itu, bahwa mereka membenci kaum mu'minin itu semata karena kaum mu'minin beriman kepada Allah SWT semata (ayat 8).

Allah SWT befirman: "Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mu'min laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar." (QS. al Buruuj: 10).

Hasan al Bashri mengomentari ayat ini: "lihatlah kedermawanan dan kemurahan Allah SWT ini: mereka membunuh para wali-Nya, dan Dia kemudian mengajak mereka itu untuk bertaubat dan meminta ampun kepada-Nya!."

Hingga kemurtadan --yaitu orang yang kafir setelah iman- taubat mereka masih dapat diterima. Allah SWT berfirman:

"Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim. Mereka itu balasannya ialah: Bahwasanya la'nat Allah ditimpakan kepada mereka, (demikian pula) la'nat para malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh, kecuali orang-orang yang taubat, sesudah (kafir) itu dan mengadakan perbaikan. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran: 86-89.)

Taubat Nabi-nabi dalam Al Quran

Al Quran telah menyebutkan kepada kita taubat Nabi-nabi dan orang-orang yang saleh atas perbuatan salah mereka. Mereka segera menyesal, bertaubat dan beristighfar dari kesalahan itu. Dengan berharap agar Allah SWT mengampuni dan meneriman taubat mereka.

  1. Taubat Nabi ADAM a.s : Pemimpin orang-orang yang taubat adalah nenek moyang manusia, Adam a.s. Yang telah Allah SWT jadikan dia dengan tangan-Nya dan meniupkan ke dalam dirinya secercah dari ruh-Nya, memerintahkan malaikat untuk sujud kepadanya, mengajarkan kepadanya seluruh nama-nama, serta menampilkan keutamaannya atas malaikat dengan ilmu pengetahuannya. Namun Adam yang selamat dalam ujian ilmu pengetahuan, tidak selamat dalam "term pertama" ujian iradah (mengekang hawa nafsu). Allah SWT mengujinya dengan beban pertama yang ditanggungkan kepadanya. Yaitu melarang untuk memakan suatu pohon. Hanya satu pohon yang dilarang untuk dimakannya, sementara memberikan kebebasan baginya untuk memakan seluruh pohon surga sesuka hatinya, bersama isterinya. Di sini tampak ia tidak dapat menahan keinginan pribadinya, serta melupakan larangan Rabbnya dengan dipengaruhi bujuk rayu syaitan dan tipu dayanya, sehingga dia pun memakannya dan dia pun terjatuh dalam kemaksiatan. Namun secepatnya dia mencuci dan membersihkan dirinya dari bekas-bekas dosa itu, dengan taubat dan istighfar. "Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk." (QS. Thaaha: 121-122)
  2. Taubat Nabi MUSA a.s : Al Quran menceritakan kepada kita tentang taubat Musa yang dipilih Allah untuk membawa risalah-Nya dan menerima kalam-Nya. Namun ia telah melakukan dosa sebelum mendapatkan risalah. Yaitu karena menuruti permintaan seseorang dari kaumnya yang sedang bertengkar dengan kaum Fir'aun untuk membantunya, maka kemudian Musa memukulnya dan orang itupun tewas seketika. "Musa berkata: Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan adalah musuh yang menyesatkan, lagi nyata (permusuhannya). Musa mendo'a: Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, karena itu ampunilah aku. Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. al Qashash: 15-16)
  3. Taubat Nabi YUNUS a.s : Al Quran juga menceritakan tentang taubat Nabi Yunus a.s. Ketika beliau berdakwah kepada kaumnya untuk menyembah Allah SWT namun mereka tidak menuruti dakwahnya itu. Maka Nabi Yunus tidak merasa sabar menghadapi itu, dan marah terhadap kaumnya, kemudian beliaupun pergi meninggalkan mereka. Kemudian Allah SWT ingin menguji beliau dengan cobaan yang dapat membersihkannya, dan menampakkan sifat aslinya yang bagus. Serta sejauh mana keyakinanya terhadap Rabbnya dan kejujurannya dengan Rabbnya. Beliau kemudian menaiki sebuah kapal laut, di tengah laut kapal itu dihantam angin besar, dan dipermainkan oleh ombak, dan mereka merasa bahwa mereka sedang berada dalam bahaya yang besar. Para anak buah kapal berkata; kita harus mengurangi beban kapal sehingga kapal ini tidak tenggelam. Dan akhirnya mereka harus memilih untuk menceburkan sebagian orang yang berada di atas kapal itu agar para penumpang yang lain selamat dari ancaman tenggelam itu. Hal itu dilakukan dengan sistem undian. Kemudian undian itu jatuh kepada Yunus, dan beliaupun harus mengikuti nasibnya itu. Maka beliaupun dilemparkan ke laut, dan kemudian ditelan oleh seekor ikan paus, sambil mendapatkan kecaman karena ia marah terhadap kaumnya serta meninggalkan mereka, karena putus harapan atas mereka. Tanpa berupaya untuk terus mengulangi usahanya itu. Di dalam perut ikan paus itu, keyakinan Yunus kembali menguat, dan beliau berdo'a dalam kegelapan yang menyelimutinya itu: kegelapan laut, kegelapan malam, dan kegelapan perut ikan paus, dengan kalimat-kalimat yang direkam oleh Al Quran ketika bercerita dengan ringkas tentang Yunus ini: "Dan (ingatlah) kisah Dzun Nun (Yunus) ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya atau menyulitkannya, maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: Bahwa tidak ada tuhan (yang berhak di sembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim. Maka Kami telah memperkenankan do'anya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman." (QS. al Anbiyaa: 87-88)

Tiga kalimat pendek yang dipergunakan oleh Yunus a.s. (La Ilaha Illa Anta Subhaanaka Inni kuntu minazh zhaalimiin), namun ketiganya mempunyai pengertian yang besar:

  • Pertama: menunjukkan atas tauhid --tauhid uluhiyah (Tauhid uluhiyah sendiri mengandung arti mengesakan Allah dengan semua peribadatan yang disyariatkan. Segala peribadatan tersebut tidaklah boleh dipalingkan kepada siapapun, apakah nabi yang diutus atau malaikat yang mempunyai kedudukan dekat disisi Allah, terlebih lagi kepada yang lain. Contoh dari ibadah antara lain thowaf, sholat, haji, puasa, nadzar, i'tikaf, menyembelih, sujud, ruku', khauf (rasa takut), raja` (rasa harap), senang, takut, khusu', istighosah atau jenis ibadah yang lainnya yang telah Allah syariatkan didalam Al-Qur'an dan telah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam syariatkan dalam sunnahnya yang shohih, baik perbuatan maupun ucapan. ), yang dengannya Allah SWT mengutus para Rasul, menurunkan kitab-kitab, dan dengannya pula berdiri surga dan neraka: "La Ilaha Illa Anta" “tidak ada tuhan (yang berhak di sembah) selain Engkau".
  • Kedua: menunjukkan pembersihan Allah SWT dari seluruh kekurangan. Ini adalah makna tasbih yang dilakukan langit dan bumi dan seluruh makhluk. Karena segala sesuatu bertasbih dengan memuji-Nya. "Subhaanaka" "Maha Suci Engkau".
  • Ketiga: Menunjukkan pengakuan atas dosa yang dilakukan. Tidak menjalankan hak Rabbnya dengan sempurna serta menzhalimi diri sendiri karena sikapnya itu. "Inni kuntu minazh zhaalimiin" "sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim " ini adalah tanda sebuah taubat.

Tidak heran jika kata-kata yang pendek namun jujur dan ikhlas itu segera mendapatkan jawabannya di dunia ini, sebelum di akhirat:

"Maka Kami telah memperkenankan do'anya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman." (QS. al Anbiya: 88)

Dan kata-kata yang mengandung tiga hal ini: peng-esaan, pembersihan dan pengakuan, menjadi contoh bagi pujian dan do'a ketika terjadi kesulitan. Hingga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmizi dan ia mensahihkannya diriwayatkan:

"Do'a saudaraku Dzun Nun (Nabi Yunus) yang jika dibaca oleh orang yang sedang tertimpa bencana niscaya Allah SWT akan menghilangkan bencana dan kesulitannya itu: "Tidak ada tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang yang melakukan kezaliman".

4. Taubat Nabi DAUD a.s.: Al Quran juga menuturkan kepada kita tentang cerita taubat nabi Daud a.s. seperti diceritakan dalam surah Shaad. Yaitu ketika dua orang yang sedang berselisih datang kepada beliau, dan memasuki mihrab beliau, sehingga beliau terkejut melihat kedua orang itu. Keduanya kemudian berkata:

"Janganlah kamu merasa takut (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain ; maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukkilah kami ke jalan yang lurus. Sesungguhnya saudaraku ini, mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: Serahkanlah kambingmu itu kepadaku, dan ia mengalahkan aku dalam perdebatan. Daud berkata: Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini. Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya, maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik." (QS. Shaad: 22-25)

Kita lihat, apa kesalahan Nabi Daud dalam kisah ini, yang dia sangka sebagai fitnah, dan cobaan bagi beliau, kemudian beliau beristighfar kepada Rabbnya, serta tunduk sujud dan memohon ampunan.

Yang tampak dalam kisah itu adalah: Nabi Daud a.s. bertindak dengan tergesa-gesa serta tidak meneliti dahulu secara mendalam, sehingga beliau terpengaruhi oleh dorongan emosi ketika mendengar perkataan salah seorang yang sedang berselisih itu. Dan secara tergesa-gesa memutuskan hukum dengan merugikan pihak lain, tanpa terlebih dahulu mendengar alasan-alasannya, dan memberikan kesempatan kepadanya untuk membela dirinya sendiri. Oleh karena itu, datang perintah Tuhan agar Daud tidak cepat terpengaruh oleh emosinya dalam menetapkan suatu hukum. Dalam firman Allah SWT:

"Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia denga adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah." (QS. Shaad: 26)

Taubat dalam Sunnah Nabi Saw.

Dalam sunnah Nabi Saw, kita banyak menemukan hadits-hadits yang mengajak kita untuk bertaubat, menjelaskan keutamaannya, dan mendorong untuk melakukannya dengan berbagai cara. Hingga Rasulullah Saw bersabda:

"Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kepada Allah SWT, karena sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah SWT dalam satu hari sebanyak seratus kali". (Hadits diriwayatkan oleh Muslim dari Al Aghar al Muzni.)

Dari Abi Musa r.a. diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

"Sesungguhnya Allah SWT membuka "tangan"-Nya pada malam hari untuk memberikan ampunan kepada orang yang melakukan dosa pada siang hari, dan membuka "tangan"-Nya pada siang hari, untuk memberikan ampunan kepada orang yang melakukan dosa pada malam hari, (terus berlangsung demikian) hingga (datang masanya) matahari terbit dari Barat (kiamat)". Hadits diriwayatkan oleh an-Nasaai.

Dari Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw bersabda:

"Jika kalian melakukan dosa hingga dosa kalian sampai ke matahari, kemudian kalian bertaubat, niscaya Allah SWT akan mengampuni kalian". Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang baik. (Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam kitab Az Zuhd (4248), dan dalam kitab az Zawaid diterangkan: ini adalah isnad hasan.).

Dari Jabir r.a. ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:

"Di antara kebahagiaan manusia adalah, panjang usianya, dan Allah SWT memberikan rezeki taubat kepadanya". Hadits ini diriwayatkan oleh Al Hakim. Dan ia berkata: isnad hadits ini sahih. (Penilaian Al Hakim ini disetujui oleh Adz Dzahabi (4/240) dan Al Haitsami menyebutkan sebagian hadits ini dan berkata: Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Bazzar, dan sanadnya adalah hasan (10/203).).

Dari Abi Hurairah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda:

"Seorang hamba melakukan dosa, dan berdo'a: 'Ya Tuhanku, aku telah melakukan dosa maka ampunilah aku'. Tuhannya berfirman: 'hamba-Ku mengetahui bahwa ia mempunyai Tuhan yang akan mengampuni dan menghapus dosanya, maka Tuhan-pun mengampuninya'. Kemudian waktu berjalan dan orang itu tetap seperti itu hingga masa yang ditentukan Allah SWT, hingga orang itu kembali melakukan dosa yang lain. Orang itupun kembali berdo'a: 'Ya Tuhanku, aku kembali melakukan dosa, maka ampunilah dosaku'. Tuhan-nya berfirman: 'Hamba-Ku mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan Yang mengampuni dan menghapus dosanya', maka Tuhan-pun mengampuninya. Kemudian ia terus dalam keadaan demikian hingga masa yang ditentukan Allah SWT, hingga akhirnya ia kembali melakukan dosa. Dan ia berdo'a: 'Ya Tuhanku, aku telah melakukan dosa, maka ampunilah daku'. Tuhan-nya berfirman: 'Hamba-Ku mengetahui bahwa ia mempunyai Tuhan Yang mengampuni dan menghapus dosanya'. Maka Tuhannya berfirman: 'Aku telah berikan ampunan kepada hamba-Ku, dan silahkan ia melakukan apa yang ia mau". Hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

'falya'mal ma syaa' "silakan ia melakukan apa yang ia mau" maknanya adalah, wallahu a'lam, : selama dia melakukan dosa dan beristighfar kemudian diampuni, dan ia tidak melakukan dosa itu lagi. Dengan dalil redaksi: "kemudian ia melakukan dosa lagi" maka ia dapat melakukannya lagi jika itu merupakan perangainya, sesuai kemauannya. Karena ia, setiap kali ia melakukan suatu dosa maka taubat dan istihgfarnya menjadi penghapus dosanya itu, dan ia tidak mendapatkan celaka. Tidak karena ia melakukan suatu dosa, kemudian ia beristighfar dari dosanya itu dengan tanpa berusaha membebaskan dirinya dari kebiasan buruknya itu, karena itu adalah taubat orang yang suka bohong.

Telah disebutkan sebelumnya, Rasulullah Saw bersabda:

"Sesungguhnya seorang hamba, jika ia melakukan dosa maka terdapat bintik hitam dalam hatinya, dan jika ia bertaubat dan meninggalkan perbuatan dosa itu serta beristighfar, maka hatinya kembali dibersihkan".

Dari Abdullah bin Umar r.a. dari Nabi Saw bersabda:

"Sesungguhnya Allah SWT akan menerima taubat seorang hamba selama nafasnya belum sampai di tenggorokan (sakratul maut)". Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Tirmizi. Ia berkata: hadits ini hasan.

Dari Abdullah bin Mas'ud r.a. dari Nabi Saw bersabda:

"Orang yang bertaubat dari dosa adalah seperti orang yang tidak berdosa". Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Thabrani dan keduanya dari riwayat Abi Ubaidah bin Abdullah bin Mas'ud dari bapaknya. Dan ia tidak mendengar darinya. Dan para perawi Thabrani adalah sahih.

Dari Abi Sa'id al Khudri r.a. bahwa Nabi Saw bersabda:

"Pada jaman sebelum kalian ada seseorang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan manusia, kemudian ia mencari manusia yang paling alim di muka bumi, dan ia pun ditunjukkan kepada seorang rahib. Ia mendatangi rahib itu dan bertanya: bahwa ia telah membunuh sembilan puluh sembilan manusia, maka apakah ia masih dapat bertaubat?. Sang rahib menjawab: "tidak". Dan orang itupun membunuh sang rahib, hingga ia melengkapi bilangan seratus orang yang telah ia bunuh. Kemudian ia kembali menanyakan tentang orang yang paling alim di muka bumi, dan ia pun ditunjukkan kepada seorang alim, dan ia bertanya: bahwa ia telah membunuh seratus manusia, maka apakah ia dapat bertaubat? Orang alim itu menjawab: "ya bisa, siapa yang menghalangi antaranya dengan taubat? Pergilah engkau ke daerah ini dan ini, karena di sana ada manusia yang menyembah Allah, maka beribadahlah bersama mereka, dan jangan kembali ke negerimu lagi; karena ia adalah negeri yang buruk". Orang itu kemudian berangkat menuju negeri yang ditunjukan itu hingga sampai di tengah perjalanan, di sana malaikat maut mendatanginya dan mencabut nyawanya. Kemudian malaikat rahmat dan malaikat azab bertengkar; malaikat rahmah berkata: Orang ini telah berangkat untuk bertaubat kepada Allah SWT (oleh karena itu ia berhak mendapatkan rahmah). Sedangkan malikat azab berkata: orang ini tidak pernah melakukan kebaikan sedikitpun (oleh karena itu ia seharusnya diazab. Selanjutnya, datang malaikat dalam bentuk seorang manusia, dan berkata kepada keduanya: Ukurlah antara dua negeri itu (antara tempat asalnya dan tempat tujuannya), tempat mana yang lebih dekat orang itu, maka orang itu dimasukkan dalam kelompok itu. Malaikat pun mengukurnya dan mendapati orang itu lebih dekat ke tempat yang ditujunya (tempat orang saleh), maka orag itupun dicabut oleh malaikat rahmah".

dalam riwayat lain:

"Allah SWT memerintahkan kepada negeri yang buruk itu untuk menjauh dan kepada negeri yang saleh untuk mendekat. Kemudian memerintahkan kepada malaikat: Ukurlah antara keduanya, dan para malaikut mendapati orang itu lebih dekat ke negeri yang saleh sekadar satu hasta, maka Allah SWT mengampuni orang itu".

Dari Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw bersabda:

"Allah SWT berfirman: " Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku akan bersamanya ketika ia berdzikir kepada-Ku, dan Allah SWT lebih senang dengan taubat seorang manusia dari pada seorang kalian yang menemukan kembali perbekalannya di padang tandus. Barangsiapa yang mendekat kepada-Ku satu hasta maka Aku akan mendekat kepadanya satu lengan, dan barang siapa mendekat kepada-Ku satu lengan maka Aku akan mendekat kepadanya dua lengan, dan jika ia menghadap kepada-Ku dengan berjalan maka Aku akan menemuinya dengan berlari". Hadits diriwayatkan oleh Muslim, dan lafazhnya darinya, juga Bukhari dengan lafazh yang sama.

Unsur-unsur Taubat

Terma dari akar kata "t-w-b" dalam bahasa Arab menunjukkan pengertian: pulang dan kembali. Sedangkan taubat kepada Allah SWT berarti pulang dan kembali ke haribaan-Nya serta tetap di pintu-Nya.

Allah SWT telah menciptakan manusia dari dua unsur. Di dalam tubuhnya terdapat unsur tanah, juga unsur ruh. Inilah yang menjadikannya layak dijadikan objek sujud oleh malaikat sebagai penghormatan dan pemuliaan kedudukannya. Allah SWT berfirman:

"(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah". Maka apabila telah Ku sempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." QS. Shaad: 71-72..

Allah SWT tidak memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada Adam kecuali setelah Allah SWT memperbagus bentuknya dan meniupkan ruh ke dalam tubuhnya.

Ketika manusia ta'at kepada Rabbnya berarti tiupan ruh itu mengalahkan sisi tanahnya. Atau dengan kata lain, sisi ruhani mengalahkan sisi materi. Dan sisi Rabbani mengalahkan sisi tanah yang rendah. Maka manusia meningkat dan mendekat kepada Rabbnya, sesuai dengan usahanya untuk meningkatkan sisi ruhaninya ini.

Ketika manusia berbuat maksiat terhadap Rabbnya, maka posisi itu terbalik; sisi tanah mengalahkan sisi ruh, dan sisi materi yang rendah mengalahkan sisi Rabbani yang tinggi. Maka manusia merendah dan menjadi lebih hina, serta menjauh dari Allah SWT sesuai dengan seberapa jauh dosa dan kemaksiatan yang ia lakukan.

Kemudian taubat memberikan kesempatan kepadanya untuk mencapai apa yang tidak ia dapatkan, serta meluruskan kembali perjalanan hidupnya. Maka manusia itupun kembali menaik setelah kejatuhannya, dan mendekat kepada Rabbnya setelah ia menjauhi-Nya, serta kembali kepada-Nya setelah memberontak dari-Nya.

Taubat Nasuha

Taubat yang diperintahkan agar dilakukan oleh kaum mu'minin adalah taubat nasuha (yang semurni-murninya) seperti disebut dalam Al Quran:

"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya." QS. at-Tahrim: 8

Kemudian apa makna taubat nasuha itu.

  1. Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam kitab tafsirnya: "artinya adalah, taubat yang sebenarnya dan sepenuh hati, akan menghapus keburukan-keburukan yang dilakukan sebelumnya, mengembalikan keaslian jiwa orang yang bertaubat, serta menghapus keburukan-keburukan yang dilakukannya."
  2. Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Ibnu Qayyim menyebutkan dari Umar, Ibnu Mas'ud serta Ubay bin Ka'b r.a. bahwa pengertian taubat nasuha: adalah seseorang yang bertaubat dari dosanya dan ia tidak melakukan dosa itu lagi, seperti susu tidak kembali ke payudara hewan.
  3. Hasan Al Bashri berkata: taubat adalah jika seorang hamba menyesal akan perbuatannya pada masa lalu, serta berjanji untuk tidak mengulanginya.
  4. Al Kulabi berkata: Yaitu agar meminta ampunan dengan lidah, menyesal dengan hatinya, serta menjaga tubuhnya untuk tidak melakukannnya lagi.
  5. Sa'id bin Musayyab berkata: taubat nasuha adalah: agar engkau menasihati diri kalian sendiri.
  6. Muhammad bin Ka'b al Qurazhi berkata: taubat itu diungkapkan oleh empat hal: beristighfar dengan lidah, melepaskannya dari tubuh, berjanji dalam hati untuk tidak mengerjakannya kembali, serta meninggalkan rekan-rekan yang buruk.

Penjelasan Tentang Unsur-unsur yang Menciptakan Hakikat Taubat

Dari penuturan Al Gazhali dan ulama lainnya dapat ditarik pengertian: bahwa hakikat taubat yang diperintahkan Allah SWT bagi seluruh kaum mu'minin agar mereka beruntung, serta memerintahkan agar mereka bertaubat dengan taubat nasuha, terdiri dari beberapa unsur dan faktor yang tiga itu: tersusun secara berurutan satu sama lain.

1. Unsur pengetahuan dalam taubat

Unsur pertama adalah unsur pengetahuan. Yang tampak dalam pengetahuan manusia akan kesalahannya dan dosanya ketika ia melakukan kemaksiatan kepada Rabbnya, serta matanya terbuka sehingga ia dapat melihat kesalahannya itu, melepaskan sumbatan dari telinganya sehingga ia dapat mendengar, dan mengusir kegelapan dari akalnya sehingga ia dapat berpikir, dalam setiap kesempatan kembalinya diri kepada fithrahnya. Saat itu ia akan mengetahui keagungan Rabbnya, kemuliaan maqam-Nya dan kebesaran hak-Nya. Juga mengetahui kekurangan dirinya, mengapa ia mengikuti syaitan, serta kerugiannya yang jelas di dunia dan akhirat jika ia terus berjalan mengikuti perilaku Iblis dan tentaranya.

Kesadaran jiwa adalah pangkal pertama bagi bangunan taubat. Dialah yang akan mendorong hati untuk menyesal, kemudian bertekad untuk meninggalkan dosa itu, lidahnya beristihgfar, kemudian tubuhnya mencegah dari melakukan dosa itu.

Inilah yang diperingatkan oleh Al Quran dalam firman Allah SWT:

"Dan orang -orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Qur'an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya" (QS. al Hajj: 54.)

Allah SWT berfirman tentang sifat kaum muttaqin: "Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampunan terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? - Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui". (QS. Ali Imran: 135)

Al Qusyairi berkata dalam kitabnya "Risalah Qusyairiah": taubat yang pertama adalah: bangunnya hati dari kelalaian, serta sang hamba melihat kondisi yang buruk akibat dosa yang ia perbuat. Dan itu akan mendorongnya untuk mengikuti dorongan hati nuraninya agar tidak melanggar perintah Allah SWT. Karena dalam khabar disebutkan: "penasehat dari Allah SWT terdapat dalam hati setiap orang muslim". (Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dari An Nuwas bin Sam'an). Dan dalam khabar: "Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh tubuh, dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh, ketahuilah itulah hati". (Hadits muttafaq alaih dari Nu'man bin Basyir).

Jika hatinya merenungkan keburukan perbuatannya, serta ia menyadari dosa-dosa yang ia perbuat itu, niscaya dalam hatinya akan terdetik keinginan untuk bertaubat, dan menjauhkan diri dari melakukan tindakan-tindakan yang buruk itu. Kemudian Allah SWT akan membantunya dengan menguatkan tekadnya itu, melakukan tindakan koreksional atas dosa-dosanya, serta melakukan perbuatan-perbuatan yang seharusnya dalam bertaubat. (Risalah Qusyairiah dengan tahqiq Dr. Abdul Halim Mahmud, dan Dr. Mahmud bin Syarif, (juz 1/ 254, 255).

2. Unsur Hati dan Keinginan

Unsur kedua dalam taubat adalah: unsur jiwa, yang berhubungan dengan hati dan keinginan diri. Atau dengan kata lain: emosi dan inklinasi. Dari unsur ini ada yang berhubungan dengan masa lalu, dan ada yang berhubungan dengan masa depan.

a. Menyesal dengan sangat

Yang berkaitan dengan masa lalu adalah apa yang kita kenal dengan penyesalan. Tentang ini terdapat hadits: "penyesalan adalah taubat". Karena ia adalah bagian yang paling penting dari taubat. Al Qusyairi mengutip dari beberapa ulama: penyesalan itu cukup untuk mewujudkan taubat. Karena penyesalan itu akan menghantarkan kepada dua rukun lainnya, yaitu tekad dan meninggalkan perbuatan dosa. Adalah mustahil jika ada seseorang yang menyesali tindakan yang masih terus ia lakukan atau ingin ia lakukan kembali.

Penyesalan adalah: perasaan, emosi atau gerak hati. Yaitu suatu bentuk penyesalan dalam diri manusia atas perbuatan dosa yang ia lakukan terhadap Rabbnya, terhadap makhluk yang lain dan bagi dirinya sendiri. Ini adalah penyesalan yang mirip dengan api yang membakar hati dengan sangat. Malah ia akan merasakannya seperti dipanggang ketika ia mengingat dosanya, sikap pelanggarannya serta hak Rabbnya atasnya. Itu adalah kondisi "terbakar di dalam" yang diungkapkan oleh sebagian kaum sufi ketika mereka mendefinisikan taubat: melelehkan lemak (yang terkumpul) karena kesalahan masa lalu. Dan yang lain berkata: ia adalah api hati yang membakar, serta sakit dalam hati yang tidak terobati!.

Contoh penyesalan dalam Al-quran dan Hadist:

Al Quran telah mendeskripsikan sisi jiwa ini bagi beberapa orang yang melakukan taubat, dengan deskripsi yang amat bagus. Yaitu dalam kisah tiga sahabat yang absen dari mengikuti perang yang besar bersama Rasulullah Saw, yaitu perang Tabuk. Yang merupakan peperangan pertama Rasulullah Saw dengan negara yang paling kuat di dunia saat itu: negara Romawi. Mereka tidak mengungkapkan alasan bohong seperti kaum munafik, maka Rasulullah Saw memerintahkan untuk mengucilkan mereka. Kemudian mereka menyesali perbuatan mereka itu dengan sangat, dan dilukiskan oleh Al Quran sebagai berikut:

"Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat ) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang". (QS. at-Taubah: 118)

Di antara bentuk penyesalan adalah: mengakui dosa, dan tidak lari dari pertanggungjawaban dosa itu, serta meminta ampunan dan maghfirah dari Allah SWT.

Seperti kita temukan dalam kisah Adam setelah beliau dan istirnya memakan pohon yang dilarang itu:

"Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi". (QS. al A'raf: 23)

b. Tekad yang kuat

Jika penyesalan itu berkaitan dengan masa lalu dan kesalahan yang telah ia perbuat; ada dimensi dalam taubat yang berkaitan dengan masa depan, yaitu dengan bertekad untuk meninggalkan maksiat itu dan bertaubat darinya secara total, dan tidak akan kembali melakukannya selama-lamanya. Seperti susu yang tidak mungkin kembali ke puting hewan setelah diperah. Ini semua berpulang pada keinginan dan tekad orang itu. Dan tekad itu harus kuat betul, bukan keinginan yang dilandasi oleh keragu-raguan. Tidak seperti mereka yang pada pagi harinya bertaubat sementara pada sore harinya kembali mengulangi lagi dosanya!

Taubat itu tidak batal jika suatu saat tekadnya itu sedikit melemah kemudian ia terlena oleh dirinya, tertipu oleh syaitan sehingga ia terpeleset, dan kembali melakukan kemaksiatan. Dalam kasus seperti ini, ia harus segera melakukan taubat, menyesal dan menyusun tekad lagi. Dan ia tidak perlu putus-asa takut taubatnya tidak diterima jika memang tekadnya tulus. Allah SWT berfirman:

"Maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat" (QS. al Isra: 25).

Imam Ibnu Katsir berkata: "Sedangkan jika ia bertekad untuk bertaubat dan memegang teguh tekadnya, maka itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya pada masa lalu. Seperti terdapat dalam hadits sahjih "Islam menghapuskan apa yang sebelumnya, dan taubat menghapuskan dosa yang sebelumnya".

Ibnu Katsir berkata: "apakah syarat taubat nasuha itu orang harus tetap bersikap seperti itu hingga ia mati, seperti diungkapkan dalam hadits dan atsar: "kemudian ia tidak kembali melakukannya selama-lamanya", ataukah cukup bertekad untuk tidak mengulangi lagi, untuk menghapus dosa yang telah lalu, sehingga ketika ia kembali melakukan dosa setelah itu, maka ia tidak merusak taubatnya dan menghidupkan kembali dosa yang telah terhapuskan, dengan melihat generalitas pengertian hadits: "Taubat menghapus dosa yang sebelumnya" (Tafsir Ibnu Katsir: 4/ 392 , cet. Al Halabi.).

Ibnu Qayyim membicarakan hal ini dalam kitabnya "Madarij Salikin" dan menyebut dua pendapat:

  1. Satu pendapat mengharuskan agar orang itu tidak mengulangi kembali dosanya sama sekali. Dan berkata: ketika ia kembali melakukan dosa, maka jelaslah taubatnya yang dahulu itu batal dan tidak sah.
  2. Sedangkan menurut pendapat kalangan mayoritas, hal itu tidak menjadi syarat. Kesahihan taubat hanya ditentukan oleh tindakannya meninggalkan dosa itu, dan bertaubat darinya, serta bertekad dengan kuat untuk tidak mengulanginya lagi. Dan jika ia mengulanginya lagi padahal ia dahulu telah bertekad untuk tidak mengulang dosanya itu, maka saat itu ia seperti orang yang melakukan kemaksiatan dari permulaan sekali, sehingga taubatnya yang lalu tidak batal.

Ia berkata: masalah ini dibangun di atas dasar pertanyaan: "Apakah seorang hamba yang bertaubat dari suatu dosa kemudian ia mengulanginya dosanya itu, ia kembali menanggung dosa yang telah ia mintakan taubatnya sebelumnya, sehingga ia harus menanggung dosa yang lalu dan sekarang ini, jika ia mati saat masih melakukan maksiat? Ataukah itu telah terhapus, sehingga ia tidak lagi menanggung dosanya, namun hanya menanggung dosa yang terakhir itu?"

Dalam masalah ini ada dua pendapat:

Satu kelompok berpendapat: ia kembali menanggung dosa yang telah ia mintakan taubatnya dahulu itu, karena taubatnya telah rusak dan batal ketika ia mengulangi dosanya. Mereka berkata: karena taubat dari dosa adalah seperti keislaman dengan kekafiran. Seorang yang kafir ketika ia masuk Islam maka keislamannya itu akan menghapuskan seluruh dosa kekafiran dan dosa yang pernah dilakukannya. Kemudian jika ia murtad, dosanya yang lalu itu kembali ia tanggung ditambah dengan dosa murtad. Seperti terdapat dalam hadits Nabi Saw:

"Barangsiapa yang beramal baik dalam Islam (setelah masuk ke dalamnya dari kejahiliyahan) maka ia tidak akan dipertanyakan akan apa yang telah diperbuatnya pada masa jahiliah. Dan siapa yang berbuat buruk dalam Islam, maka ia akan dimintakan pertanggungjawaban akan dosanya pada yang pertama (saat masih jahiliah) dan yang lainnya (setelah Islam)".

Ini adalah orang yang masuk Islam namun merusakan keislamannya itu. Dan telah diketahui bersama bahwa kemurtadan adalah perusakan yang paling besar terhadap keislaman seseorang. Maka ia akan kembali menanggung dosa yang telah ia lakukan dalam kekafirannya sebelum ia masuk Islam, dan keislaman yang pernah ia rasakan itu tidak menghapuskan dosa-dosa yang lama itu. Demikian juga dosa orang yang taubatnya ia langgar, maka dosa yang dilakukan sebelum taubat yang ia langgar itu kembali ia tanggung. Juga tidak menghalangi dosa yang ia lakukan kemudian.

Mereka berkata: karena kesahihan taubat disyaratkan kontinuitasnya dan terus dijalani, maka sesuatu yang tergantung dengan suatu syarat akan hilang ketika syarat itu lenyap. Seperti kesahihan Islam disayaratkan kontinuitasnya dan terus dijalaninya. taubat adalah wajib secara ketat sepanjang usia seseorang. Masanya adalah sepanjang usia orang itu. Oleh karena itu, hukumnya-pun harus terus ditaati sepanjang usianya. Maka bagi dia, masa sepanjang usianya itu adalah seperti orang yang menahan diri dari melakukan hal-hal yang membatalkan puasa ketika ia berpuasa pada hari itu. Maka jika sepanjang hari ia menahan diri dari yang membatalkan puasa, kemudian ia melakukan perbuatan yang membatalkan puasa pada sore harinya, niscaya seluruh puasanya yang telah ia jalani dari pagi hari itu otomatis batal, dan tidak dinilai sebagai puasa. Dan ia sama seperti orang yang tidak puasa sama sekali.

Mereka berkata: ini didukung oleh hadits sahih, yaitu sabda Rasulullah Saw:

"Sesungguhnya seorang hamba telah beramal dengan amal penghuni surga, hingga antara dirinya dengan surga itu sekadar satu lengan, kemudian ketentuan takdirnya datang hingga akhirnya ia beramal dengan amal penghuni neraka sehingga iapun masuk ke neraka itu".

Ini lebih umum dari amal yang kedua itu, suatu kekafiran yang menghantarkan kepada neraka selamanya, atau kemaksiatan yang menghantarkannya ke neraka. Karena Rasulullah Saw tidak mensabdakan: "maka ia murtad dan iapun meninggalkan Islam". Namun menghabarkan bahwa: ia beramal dengan amal yang menghantarkannya ke neraka. Dan dalam sebagian kitab sunan terdapat: "Ada seorang hamba yang telah melakukan ketaatan kepada Allah SWT selama enam puluh tahun, dan ketika ia menjelang kematiannya ia melakukan kecurangan dalam berwasiat maka iapun masuk neraka".

Penutup yang buruk lebih umum dari penutup dengan kekafiran atau kemaksiatan. Dan seluruh amal perbuatan dinilai dengan akhir amal itu.

Sedangkan kelompok kedua,  yaitu mereka yang berkata bahwa dosa yang lama yang telah ia mintakan taubatnya tidak kembali ditanggungnya jika ia melanggar taubatnya itu-- berdalil bahwa dosa itu telah terhapus dengan taubat. Maka ia seperti orang yang tidak melakukannya sama sekali, sehingga ia seperti tidak ada. Sehingga ia tidak kembali ke situ setelahnya. Namun yang harus ia tanggung hanya dosa yang baru itu, bukan dosa yang lama.

Mereka berkata: tidak disyaratkan dalam kesahihan taubat itu ia tidak pernah berdosa hingga mati. Namun jika ia telah menyesal dan meninggalkan dosa serta bertekad untuk meninggalkan sama sekali perbuatannya itu, niscaya dosanya segera terhapuskan. Dan jika ia kembali melakukannya, ia memulai dari baru catatan dosanya itu.

Mereka berkata: ini tidak seperti kekafiran yang menghancurkan seluruh amal kebaikan. Karena kekafiran itu lain lagi masalahnya. Oleh karenanya ia menghapuskan seluruh kebaikan. Sedangkan kembali berdosa tidak menghapuskan amal kebaikan yang telah dilakukannya.

Mereka berkata: taubat adalah termasuk kebaikan yang paling besar. Maka jika taubat itu dibatalkan dengan melakukan dosa kembali, niscaya pahala-pahala itu juga terhapuskan. Pendapat itu tidak benar sama sekali. Itu sama seperti mazhab kaum khawarij yang mengkafirkan orang karena dosa yang ia perbuat. (Dan kaum Mu'tazilah yang memasukkan orang yang berdosa besar dalam neraka, meskipun ia telah melakukan banyak amal yang baik. Kedua kelompok itu sepakat memasukkan orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar dalam neraka. Namun khawarij mengkafirkan mereka, dan mu'tazilah menilai mereka fasik. Dan kedua mazhabn itu adalah batil dalam Islam.) Bersebrangan dengan nash-nash, akal serta keadilan:

"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya, dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar" [QS. an-Nisa: 40].

Mereka berkata: Sedangkan kontinuitas taubat adalah syarat keabsahan kesempurnaan dan kemanfaatan taubat itu, bukan syarat keabsahan taubat atas dosa yang sebelumnya. Namun tidak demikian halnya dengan ibadah, seperti puasa selama satu hari penuh, serta bilangan raka'at dalam shalat. Karena ia adalah suatu ibadah secara utuh, sehingga ibadah itu tidak dapat diterima jika tidak terpenuhi seluruh rukun dan bagian-bagiannya. Sedangkan taubat, ia adalah ibadah yang beragam sesuai dengan ragam dosa. Setiap dosa memiliki cara taubat tersendiri. Jika seseorang melakukan suatu ibadah dan tidak melakukan yang lain, itu tidak berarti ibadah yang dilakukannya itu tidak sah karena ia tidak mengerjakan ibadah yang lain, seperti telah disebutkan sebelumnya.

Oleh karenanya: Apakah orang yang shalat namun ia tidak berpuasa, atau yang menunaikan zakat namun tidak pernah melaksanakan ibadah hajji (padahal ia mampu), pahala ibadah yang ia lakukan terhapus? Pokok masalah: taubat sebelumnya adalah kebaikan, sedangkan mengulang dosa itu adalah keburukan, maka pengulangan dosa itu tidak menghapus kebaikan itu, juga tidak membatalkan kebaikan yang dilakukan bersamaan dengannya.

Mereka berkata: ini dalam pokok-pokok (ushul) ahli sunnah lebih jelas. Mereka sepakat bahwa seseorang bisa mendapat perlindungan dari Allah SWT dan pada saat yang sama juga dibenci oleh-Nya. Atau ia dicintai Allah SWT namun ia juga sekaligus dibenci dari segi lain. Atau ada orang yang beriman namun masih mempunyai kemunafikan, juga keimanan dan kekafiran. Dan orang itu dapat lebih dekat kepada suatu sisi dari sisi yang lain. Sehingga ia menjadi kelompok sisi itu. Seperti firman Allah SWT: "Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari padi keimanan" (QS. Ali Imran: 167).

Dengan dasar ini, ahli sunnah mengatakan bahwa para pelaku dosa besar masuk neraka, namun setelah merasakan siksa neraka itu mereka akan keluar darinya dan masuk surga, karena adanya dua unsur pada dirinya.

Jika demikian, maka orang yang mengulang melakukan dosa setelah bertaubat adalah orang yang dibenci Allah SWT karena ia mengulangi dosanya, namun juga dicintai karena ia telah melakukan taubat dan amal ang yang baik sebelumnya. Dan Allah SWT telah menetapkan bagi segala seuatu sebab-sebabnya, dengan adil dan penuh hikmah, dan Allah SWT tidak sedikitpun melakukan kezhaliman.

"Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya)" (QS. Fushilat: 46).

3.  Sisi Praktis dalam Taubat

Dalam taubat juga terdapat sisi atau unsur praksis yang harus dijalankan, hingga hakikat taubat dapat dipenuhi, serta ia dapat memberikan hasilnya bagi jiwa dalam kehidupan.

a. Meninggalkan Kemaksiatan Secepatnya

Suatu taubat tidak bermakna jika orang yang bertaubat itu masih tetap menjalankan kemaksiatan yang ia sesali itu, serta tiddak meinggalknanya; karena, kalau begitu, apa yang ia taubatkan, jadinya? Meninggalkan taubat itu dinilai sebagai pekerjaan, karena ia menahana diri dari kemaksiatan yang ia ingin lakukan, untuk tetap dalam ketaatan. Tidak diragukan lagi, menahan diri ini adalah pekerjaan, gerak tubuh, serta jihad fi sabilillah. Allah SWT berfirman:

"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan ) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami." (QS. al 'Ankabut: 69).

b. Istighfar

Dengan pengertian, memintah maghfirah dan ampunan dari Allah SWT. Seperti dikatakan oleh bapak yang pertama, Adam, dan ibu yang pertama, Hawa; setelah keduanya makan pohon yang dilarang itu:

"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi." (QS. al A'raaf: 23)

Syarat-syarat Istighfar dan Etika-etikanya

1.NIAT: niat yang benar dan ikhlas semata ditujukan kepada Allah SWT. Karena Allah SWT tidak menerima amal perbuatan manusia kecuali jika amal itu dilakukan dengan ikhlas semata untuk-Nya. Allah SWT berfirman:

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus" [QS. Al Bayyinah: 5].

Dan sabda Rasulullah Saw :

"Seluruh amal perbuatan manusia ditentukan oleh niatnya. Dan orang yang beramal mendapatkan balasan atas amalnya itu sesuai dengan apa yang diniatkannya". Hadits muttafaq alaih.

2.Agar hati dan lidah secara serempak melakukan istighfar. Sehingga tidak boleh lidahnya berkata: aku beristighfar kepada Allah SWT, sementara hatinya ingin terus melakukan maksiat.

Rabi'ah berkata: istighfar kita butuh kepada istighfar lagi! Jika istighfar kita hanya dengan lidah saja, tidak disertai dengan hati.

3.Di antara adab yang melengkapi istighfar itu adalah: agar ia berada dalam keadaan suci, sehingga ia berada dalam kondisi yang paling sempurna, zhahir dan bathin. Seperti dalam hadits Ali bin Abi Thalib, ia berkata: Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. (dan apa yang diucapkan oleh Abu Bakar itu adalah benar adanya) meriwayatkan kepadaku bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabsda:

"Tidak ada seseorang yang berbuat dosa, kemudian ia bangun dan bersuci serta memperbaiki bersucinya, kemudian ia beristighfar kepada Allah SWT, kecuali Allah SWT pasti mengampuninya" [Al Hafizh berkata: hadits ini diriwaytkan oleh Ahmad dan yang empat dan Ibnu Hibban mensahihkannya. Fathul Bari: 11/ 98. Sedangkan dalam Jami' Shagir dinisbahkan kepada Abi Daud dan Tirmizi. Sementara Al Albani menyebutkannya dalam Dha'if al Jami' (5006)]. Kemudian Rasulullah Saw membaca ayat :

"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui" (QS. Ali Imran: 135).

4. Agar ia ber istighfar kepada Allah SWT, dan ia berada dalam kondisi takut dan mengharap. Karena Allah SWT menyifati diri-Nya dengan firman-Nya:

"Yang Mengampuni dosa dan Menerima taubat lagi keras hukuman-Nya" (QS. Ghafir: 3).

5. Di antara adab itu adalah: agar ia memilih waktu yang utama. Seperti saat menjelang subuh. Seperti firman Allah SWT :

" Dan yang memohon ampun di waktu sahur" (QS. Ali Imran: 17).

"Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)" (QS. adz-Dzariaat: 18).

6. Istighfar dalam shalat. Pada saat bersujud, sebelum salam atau setelah salam.

Rasulullah Saw telah mengajarkan Abu Bakar untuk mengucapkan sebelum salam: "Wahai Allah, sesungguhnya aku telah berbuat zalim kepada diriku dengan kezaliman yang banyak, dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Engkau, maka ampunilah daku dengan ampunan dari-Mu, dan kasihilah aku, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi ampunan dan Maha Penyayang ".

7. Di antara adab itu adalah: agar ia berdo'a bagi dirinya sendiri dan bagi kaum mu'minin, sehingga ia masuk dalam kelompok mereka, semoga Allah SWT menyayanginya dan mengampuninya dengan berkah mereka dan dengan masuk dalam kelompok mereka.

Oleh karena itu kita dapati para nabi tidak hanya ber istighfar kepada diri mereka. Namun juga bagi diri mereka, bagi kedua orang tua mereka, serta bagi kaum mu'minin dan mu'minat seperti terdapat dalam do'a Nur dan Ibrahim serta nabi-nabi lainnya.

Di antara do'a Nuh itu adalah:

"Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan" (QS. Nuuh: 28).

Dan dari do'a Ibrahim adalah:

"Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang -orang mu'min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)" (QS. Ibrahim: 41).

8. Agar ia berdo'a dan ber istighfar dengan redaksi yang disebutkan dalam al Quran dan sunnah. Dan dalam ber istighfar dan berdo'a dengan al Quran dan hadits itu mendapatkan dua balasan: Balasan doa dan istighfar dan Balasan mengikuti al Quran dan sunnah.

Di antara redaksi-redaksi doa al Quran adalah; doa yang diucapkan oleh Adam, Nuh, Ibrahim dan nabi-nabi serta rasul-rasul yang lain. Di antaranya adalah:

"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi" (QS. al A'raaf: 23).

(QS. al Mumtahanah: 4-5), (QS. Ali Imran: 147),  (QS. Al Hasyr: 10), (QS. Ali Imran: 193).

Dan dalam hadits terdapat do'a dengan redaksi yang bermacam-macam. Di antaranya adalah sayyidul istihgfar yang telah kami sebutkan sebelumnya. Di antaranya adalah:

"Wahai Tuhanku, ampunilah kesalahanku, kebodohanku serta tindakanku yang berlebihan dalam urusanku".

"Ya Allah, jauhkanlah daku dari kesalahanku sebagaimana Engkau jauhkan antara Timur dan Barat. Ya Allah, sucikanlah aku dari kesalahanku dengan air, salju dan embun. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahan seperti baju yang putih dibersihkan dari kotoran". Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abi Hurairah dan diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dari A'isyah. Dan adalah Rasulullah Saw berdo'a dengan do'a itu setelah takbiratul ihram dalam shalat, serta sebelum membaca surah Al Fatihah.

c. Mengubah Lingkungan dan Teman

Merubah lingkungan masyarakat yang penuh dengan kotoran, yang ia tempati saat ia melakukan kemaksiatan dan penyelewengan. Kemudian mencari lingkungan yang bersih dan suci yang bebas dari penyakit yang berbahaya. Yang kami maksud dengan penyakit-penyakit itui adalah: penyakit kesalahan, dosa dan penyelewengan. Dan ini lebih berbahaya dari penyakit badan, dan lebih cepat pengaruhnya.

Ini artinya, orang yang bertaubat hendaknya meninggalkan teman-temannya yang jahat yang mengajaknya untuk melakukan kemaksiatan dan menarik kakinya ke arah itu. Yang membuat ia terjatuh seperti mereka. Sehingga ia kemudian turut meminum minuman keras, berjudi, menggunakan obat bius, memperjual belikan barang yang haram, menerima sogokan, jatuh dalam tipu daya wanita, bekerja dengan musuh sebagai mata-mata, atau meninggalkan shalat serta mengikuti syahwat... dan macam-macam kesalahan lainnya. Oleh karena itu, ia harus mengganti teman-teman yang jahat itu dengan teman-teman yang baik. Yang dengan melihat mereka saja ia akan mengingat Allah SWT, pembicaraan mereka mengajak kepada ketaatan kepada Allah SWT , dan perbuatan mereka menunjukkan kepada jalan Allah SWT.

Pengaruh teman dan sahabat bagi manusia amat besar, seperti diungkapkan oleh para bijak bestari dan para penyair dari semenjak dahulu kala. Hingga ada penyair yang berkata:

"Tentang seseorang maka janganlah tanyakan dirinya sendiri, namun tanyakan temannya Karena setiap teman dengan temannya adalah sama. "

Teman ada dua macam: teman yang membawa engkau menuju surga, dan teman yang menjerumuskan engkau ke dalam neraka. Al Quran telah menceritakan kepada kita akan bahaya teman jenis terakhir ini. Karena ia dapat menyesatkan dan menghalangi dari jalan Allah. Dan mungkin korban-korban mereka baru diketahui di akhirat nanti, ketika tabir kegaiban telah dibuka, dan manusia melihat hakikat sejara jelas. Allah berfirman:

"Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang-orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul". Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab (ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Qur'an ketika Al Qur'an itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia." (QS. al Furqan: 27-29).

Oleh karena itu, kita melihat seluruh teman di dunia menjadi musuh di akhirat. Masing-masing mencela yang lain, dan satu orang melaknat temannya yang lain, serta mereka saling membebaskan diri dari masing-masing. Seluruh mereka berkata kepada sahabatnya: engkaulah yang telah menyesatkan dan membuatku sesat. Kecuali ada satu jenis teman dan kekasih yang tetap saling mencintai, yaitu orang-orang yang taqwa, yang takut kepada Rabb mereka, dan azab yang buruk. Allah SWT berfirman:

"Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa." (QS. az-Zukhruf: 67)

Ini diperkuat oleh hadits sahih: yaitu hadits yang berbicara tentang orang yang telah membunuh seratus orang, kemudian ia bertanya siapa orang yang paling pandai di dunia. Kemudian ia diberitahukan untuk menemui seorang alim ia berkata kepadanya: bahwa ia telah membunuh seratus orang, maka apakah ia masih mempunyai kesempatan untuk bertaubat? Orang alim itu menjawab: ya, siapa yang yang menghalangi orang untuk bertaubat? Pergilah engkau ke daerah ini dan ini, karena di sana terdapat orang-orang yang menyembah Allah SWT, maka beribadahlah kepada Allah SWT bersama mereka, dan jangan engkau kembali ke kampungmu, karena ia adalah kampung yang buruk... hadits. (Hadits  muttafaq alaih dari Abi Sa'id al Khudri).

d. Mengiringi Perbuatan Buruk dengan Perbuatan Baik

Ini adalah cabang lain yang menyempurnakan dua cabang itu dan memperkuat taubat. Yaitu: mengiringi keburukan dengan kebaikan, sehingga dapat menghapus pengaruhnya dan membersihkan kotorannya. Inilah yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw kepada Abu Dzarr r.a. ketika beliau mewasiatkan kepadanya dengan wasiat yang agung ini, dan bersabda:

"Bertakwalah di manapun engkau berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya ia akan menghapusnya, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik." (Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmizi dari Abi Dzar. Tirmizi berkata: hadits ini hasan sahih. Dan Al Hakim mensahihkannya atas syarat Bukhari dan Muslim, dan disetujui oleh Adz Dzahabi dan Al Baihaqi dalam Asy-Syu'ab. Dan Ahmad serta Tirmizi dan Al Baihaqi juga Thabrani meriwayatkannya pula Mu'adz. Adz Dzahabi berkata dalam kitab Muhadz-dzab: sanadnya adalah hasan. (Al Faidl: 1/121)

Yang dimaksud adalah: seorang muslim, jika ia melakukan maksiat, hendaknya segera mengiringinya dengan kebaikan. Seperti shalat, shadaqah, puasa, perbuatan yang baik, istighfar, dzikr, tasbih dan lainnya, dari macam-macam perbuatan yang baik. Seperti firman Allah SWT :

"Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk." (QS. Huud: 114)

Contoh konkritnya:

  1. Jika kesalahannya itu adalah membicarakan keburukan orang lain di hadapan seesorang tertentu, maka kebaikan itu adalah memuji orang tadi dihadapan orang yang diajak berghibah sebelumnya, atau ia beristighfar kepada Allah SWT baginya.
  2. Orang yang kejahatannya adalah membaca buku-buku yang buruk, maka kebaikannya adalah membaca al Quran, kitab hadits serta ilmu-ilmu Islam.
  3. Orang yang keburukannya adalah menghardik kedua orang tua, maka kebaikannya itu adalah dengan berlaku sebaik-sebaiknya dengan keduanya dan memuliakannya serta berbuat baik kepadanya, terutama saat mereka dalam usia lanjut.
  4.  Jika keburukannya adalah duduk dalam tempat hiburan, main-main dan melakukan yang haram, maka kebaikannya itu adalah duduk di tempat kebaikan, dzikr dan ilmu yang bermanfaat.
  5. Jika keburukannya itu adalah bekerja di koran yang memusuhi Islam dan para da'inya, maka kebaikannya itu adalah bekerja di koran yang melawan musuh-musuh Islam itu, dengan menyebarkan berita yang jujur, serta pendapat yang lurus.
  6. Jika keburukannya adalah mengarang kitab yang menyesatkan, serta mengajak kepada kemungkaran dalam perkataan dan perbuatan, menyebarakan pemikiran yang menyesatkan serta mengajak kepada syahwat, maka kebaikannya itu adalah mengarang kitab yang melawan kecenderungan itu, mengajak kepada kebaikan, memerintahkan kepada yang ma'ruf, serta melarang dari kemunkaran.
  7. Barangsiapa keburukannya adalah menzhalimi manusia, memusuhi orang-orang lemah, serta mengganggu kehormatan mereka dan hak-hak material atau immaterial mereka, maka kebaikan mereka itu adalah berusaha menegakkan keadilan, berlaku jujur kepada orang yang zhalim, membela orang-orang yang lemah, dan berusaha memperjuangkan hak-hak mereka.
  8. Jika keburukannya adalah bergabung dengan kelompok penguasa yang despotis dan mendukung kebohongan mereka, serta membantu mereka menjalankan kezaliman mereka terhadap rakyat, maka kebaikannya adalah membantah orang-orang yang zalim itu sedapat mungkin, serta membuka kebobrokan mereka di hadapan massa, membongkar kelakuan buruk mereka serta korupsi yang mereka lakukan, sehingga manusia menjauh dari mereka.

Inilah kebaikan yang dapat menghapuskan dosa orang yang melakukan keburukan semampu ia lakukan. Yaitu dengan melawannya, menghilangkan pengaruhnya, serta membersihkan diri dari pengaruhnya. Yaitu dengan meniti jalan yang berlawanan dari perbuatan buruk itu, seperti dijelaskan oleh imam Al Ghazali. Karena orang yang sakit diobati dengan lawannya penyakit itu.

Cara penghapusan dosa dengan lawannya ini, diperkuat oleh syari'ah. Yaitu al Quran mewajibkan dalam kasus pembunuhan karena kealpaan dengan membebaskan budak. Karena perbudakan adalah semacam kematian seseorang, karena ia tidak mempunyai kebebasan. Dengan membebaskan budak maka terdapat penghidupan maknawi di dalamnya. Karena manusia tidak mungkin menghidupkan orang secara material dan langsung, maka ia dapat menghidupkannya secara maknawi, yaitu dengan membebaskannya.

4. Agar Taubat Ditujukan Kepada Allah SWT

Ada rukun yang dituntut untuk dipenuhi dalam taubat, meskipun banyak orang tidak menyebutkannya, yang aku dapati diungkapkan secara implisit, tidak secara eksplisit. Yaitu agar meninggalkan dosa, menyesal darinya, dan bertekad untuk tidak mengulanginya, semata karena Allah SWT saja, karena ingin mendapatkan pahala-Nya, serta takut terhadap hukuman-Nya.

  1. Barangsiapa yang meninggalkan minum khamar semata karena dokter melarangnya, dan takut jika hal itu akan mengancam kesehatannya, kemudian orang itu meninggalkannya semata karena itu, maka ia tidak dapat dimasukkan dalam kelompok orang yang taubat. Jika ia meninggalkan perbuatan itu dengan latar belakang seperti itu, maka hal itu tidak dianggap sebagai taubat.
  2. Orang yang meninggalkan zina, semata karena ia terkena aids, atau takut terkena penyakit itu, atau penyakit-penyakit kelamin lainnya, sehingga ia takut terhadap keselamatan dirinya, kemudian ia meninggalkan zina, maka itu bukan taubat yang sebenarnya.
  3. Orang yang meninggalkan menggunakan obat bius, semata karena takut ditangkap polisi dan ancaman hukuman mati, maka ia bukan orang yang bertaubat, dan meninggalkannya itu bukan taubat.
  4. Orang yang uangnya habis di meja judi, kemudian ia meninggalkan judi itu, karena tidak memiliki uang lagi serta kekayaannya sudah habis, saat itu ia tidak dapat dikatakan telah bertaubat, dan ia tidak termasuk dalam golongan orang yang taubat.

Al Quran kita temukan berbicara tentang dua anak Adam. Ketika yang jahat membunuh saudaranya yang baik, kemudian ia membawa-bawa mayat saudaranya itu dalam waktu lama, dan ia tidak tahu bagaimana menguburkannya, karena itu adalah kematian yang pertama dalam sejarah manusia:

"Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal. (QS. al Maaidah: 31)

Penyesalan saudara yang jahat ini bukan dari kemaksiatannya kepada Allah SWT, atau karena ia telah membunuh saudaranya, namun semata karena ia membawa-bawa mayat itu dalam waktu yang cukup lama, serta ia tidak tahu bagaimana menguburkannya, oleh karena itu penyesalannya itu tidak berguna baginya.


Referensi sebagai berikut ini ;














4 Fase Yang Akan Dilalui Orang Dzalim

Banyak orang mengira bahwa hukuman Allah kepada orang zhalim itu harus cepat, langsung setelah kezhaliman.

‏وهذا خطأ .. ‏فالظالم يمر بأربع مراحل لا بد من فهمها جيدا

Orang zhalim itu melewati 4 fase, ini yang harus dipahami dengan baik oleh kita:

المرحلة الأولى :الإمهال والإملاء ‏{وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ} ‏وفيها يمهل الله الظالم لعله يتوب أو يرجع عما فعل.

Fase Pertama : Al-ImHâl wa Al-Imlâ' (Pembiaran dan Penangguhan)

‏وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِين(الأعراف : ١٨٣)

"Dan Aku akan memberikan tenggang waktu kepada mereka.Sungguh, rencana-Ku amat tangguh dan terencana, kuat, dan tidak ada yang menandinginya." (Al-A'rôf : 183)

المرحلة الثانية : الاستدراج

Fase Ke-2 : Al-Istidrôj (Menarik sedikit demi sedikit kepada kehancuran, dengan memberikan banyak kenikmatan, kesuksesan, kemenangan dan melalaikan mereka untuk mensyukurinya).

‏{سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ - الأعراف : ١٨٢}

"...akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui." (Al-A'rôf : 182)

‏وليس معناة أن تضيق الدنيا عليه، لا بل تفتح عليه الدنيا وترتفع الدرجة وتبسط عليه اللذات ويعطيه الله ما يطلب ويرجو بل وفوق ما طلب . ‏لأن الدرج يدل على الإرتفاع ‏والدرك يدل على النزول.

Bukan artinya dunia jadi sempit bagi si zholim. Akan tetapi, dunia dibukakan baginya, kedudukannya naik, diluaskan baginya segala kelezatan dunia, diberikan keberhasilan, kemenangan.

Allah beri dia apa yang dia inginkan, karena ada kata 'ad darj' (الدرج), sedangkan kata 'ad-dark' (الدرك) menunjukkan suatu hal yang rendah atau dibawah.

‏ المرحلة الثالثة : التزيين

Fase ke-3 : At-Tazyîn (syaitan menjadikan indah perbuatan buruk mereka)

‏{وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ - العنكبوت : ٣٨}

"..syetan telah menjadikan terasa indah bagi mereka perbuatan (buruk) mereka.." (Al-'Ankabût : 38)

‏وفيها يموت قلب الظالم فيرى ما يراه حسنا ، بل هو الواجب فعله لم يعد في قلبه حياة ، ليلومه على ما يفعل ‏

Di fase ini, hati si zholim mati. Ia melihat segala tindak tanduknya adalah baik, bahkan ia melihat hal yang dipandangnya itu wajib dilakukan. Kehidupan di hatinya tidak kembali lagi, kehidupan (hati) yang bisa mencela atas kejahatan yang ia lakukan.

المرحلة الرابعة : الأخذ

Fase ke-4 : Al-Akhdz (Siksa dari Allah)

‏{وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ - هود: 102}

"Dan begitulah siksa Tuhanmu apabila Dia menyiksa (penduduk) negeri² yang berbuat zhalim. Sungguh, siksa-Nya sangat pedih, sangat berat". (QS Hûd : 102)

‏وفيها تتنزل العقوبة من الله تعالى على ... الظالم وتكون العقوبة شديدة جدا

Di fase inilah adzab dari Allah turun secara berangsur-angsur kepada si zholim, dan adzabnya amat perih.

احفظوا ‏هذه المراحل جيدا { فَلَا تَعْجَلْ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّمَا نَعُدُّ لَهُمْ عَدًّا }

"Maka janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (memintakan adzab) terhadap mereka, karena Kami menghitung dengan hitungan teliti (datangnya hari siksaan) untuk mereka". (QS Maryam : 84)

Semoga Allah Swt mencintai hambanya yang mau bertaubat dan berbuat dzalim, sehingga Allah Swt menegur hambaanya tersebut dan bertaubat kepada Allah Swt sehingga sadar akan kedzalimannya dan kembali kepada Allah Swt dengan taubatan nasuka, Aamin Ya Robal 'Aalamin.


Referensi sebagai berikut ini ;








Hukum Membangun Masjid Dengan Harta Haram

Bagaimana Hukum Membangun Masjid dengan Harta Haram? Padahal masjid adalah tempat ibadah umat Islam. Masjid merupakan tempat suci yang harus dijauhkan dari segala kotoran dan najis. Lantas bolehkah membangun masjid dengan harta haram? Karena memang kadang terjadi seseorang yang mendapatkan harta haram atau dengan cara haram kemudian membangun masjid dengan uang tersebut.

Tulisan berikut mencoba untuk menjelaskan persoalan tersebut berdasarkan penjelasan dari ahli ilmu.

Jenis Harta Haram

Hal pertama yang harus diketahui adalah tentang jenis harta haram. Harta yang haram itu ada dua jenis:

1. Harta haram karena jenisnya (dzatnya)

Contoh harta haram karena dzatnya adalah harta rampasan dan harta curian.

Harta semacam ini tidak seorang pun boleh memanfaatkannya saat dia tahu bahwa itu harta curian dari seseorang bahkan wajib untuk mengembalikannya kepada pemiliknya.

2. Harta haram karena cara mendapatkannya.

Harta yang haram karena cara mendapatkannya adalah harta yang haram karena cara memperoleh harta tersebut diharamkan, seperti menjual minuman keras, muamalah dengan cara riba, honor penyanyi dan yang semacam itu.

Harta ini haram hanya bagi orang yang mencarinya dengan cara seperti itu saja.

Adapun orang lain yang mendapatkan uang tersebut darinya dengan cara yang mubah, maka tidak ada dosa baginya.

Hukum Membangun Masjid dengan Harta Haram

Terkait hukum membangun masjid sesuai definisi Islam dengan harta haram, berikut rinciannya:

1. Terkait dengan harta haram jenis pertama, yaitu yang haram karena jenisnya (dzatnya)

Cara taubat orang yang merampas harta ini adalah dengan mengembalikannya kepada pemiliknya. Orang yang merampas harta tidak boleh membagi dengan mendermakan harta itu untuk membangun masjid sementara dia mampu mengembalikannya kepada pemiliknya.

Akan tetapi, bila tidak bisa mengembalikan harta tersebut ke pemiliknya, seperti harta yang dirampas oleh sebagian pemerintah zalim dari rakyatnya, maka tidak mengapa untuk menginfakkannya untuk kemaslahatan kaum Muslimin, di antaranya membangun masjid.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan:

“Apabila harta itu telah diambil dengan cara yang tidak benar dan tidak memungkinkan untuk mengembalikannya kepada pemiliknya, seperti kebanyakan harta negara (maksudnya harta rakyat yang dirampas oleh penguasa), maka cara membantu pemanfaatan harta semacam ini untuk kepentingan kaum Muslimin seperti menyekat wilayah perbatasan (tsughur), membiayai para tentara yang berperang dan yang semacam itu, merupakan bentuk bantuan atas kebaikan dan takwa.

Karena yang menjadi kewajiban atas penguasa dalam harta semacam ini, yang tidak mungkin mengetahui pemiliknya dan mengembalikannya kepada mereka dan tidak pula kepada ahli warisnya, adalah dengan cara mengalokasikannya untuk kemaslahatan kaum Muslimin dengan diiringi taubat apabila sang penguasa itulah yang zhalim.

Ini merupakan pendapat jumhur ulama seperti Malik, Abu Hanifah dan Ahmad. Pendapat ini dinukil dari lebih dari satu sahabat Nabi dan dalil-dalil syar’i menunjukkan atas hal itu…”

Majmu’ Al Fatawa (28/283) dan As – Siyasah Asy Syar’iyyah karya Ibnu Taimiyah hal. 66)

2. Terkait dengan harta jenis kedua, yaitu haram karena cara mendapatkannya.

Harta semacam ini bila diambil oleh orang lain dari pemiliknya dengan cara yang mubah maka tidak berdosa.

Seperti bila menyumbangkannya untuk membangun masjid atau membayar upah pekerja masjid atau berinfak dari harta tersebut pada istri dan anak-anaknya, maka orang-orang (yang diberi harta tersebut) tidak diharamkan untuk memanfaatkannya.

Yang diharamkan hanyalah bagi orang yang memperoleh harta tersebut dengan cara yang haram saja. Dan cara taubat dari harta haram semacam ini adalah membebaskan diri darinya dan menyedekahkannya di jalan-jalan kebaikan di antaranya adalah membangun masjid.

Imam An Nawawi rahimahullah berkata,” Al Ghazali berkata,” Apabila dia memiliki harta haram dan ingin bertaubat dan bebas darinya, apabila harta itu ada pemiliknya yang sudah diketahui maka wajib untuk menyerahkannya kepadanya atau kepada yang mewakilinya.

Apabila pemiliknya telah meninggal maka wajib untuk membayarkannya kepada ahli warisnya. Apabila tidak diketahui pemiliknya dan sudah putus asa untuk mengetahuinya, maka selayaknya untuk mengalokasinnya untuk kemaslahatan umum kaum Muslimin, seperti jembatan, masjid-masjid dan seterusnya yang kaum Muslimin sama-sama berkepentingan di dalamnya. Jika tidak, maka disedekahkan kepada seorang fakir atau orang-orang fakir….”

Hingga An Nawawi berkata, ”Apa yang dikatakan oleh Al Ghazali ini juga disebutkan oleh sahabat-sahabat (ulama madzhab Syafi’i) yang lain, mereka mengatakan, ”Karena tidak diperbolehkan untuk menyia-nyiakan harta ini dan membuangnya ke laut. Dengan demikian tidak tersisa pilihan kecuali mengalokasikannya untuk kemaslahatan kaum Muslimin, wallahu a’lam.” [Al Majmu’ Karya An Nawawi (9/351)]

Hukum Shalat di Masjid yang Dibangun dengan Uang Haram

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum shalat di masjid yang dibangun dengan uang haram, maka beliau menjawab:

“Shalat di dalam masjid seperti itu boleh dan tidak berdosa. Karena orang yang membangunnya dengan harta haram bisa jadi ingin membebaskan diri dari harta haram yang dia peroleh dengan cara membangun masjid.

Ketika itu, pembangunanya terhadap masjid tersebut halal, jika dia bertujuan untuk membersihkan diri dari harta haram, meskipun membebaskan diri dari harta haram itu tidak diharuskan dalam bentuk membangun masjid.

Bahkan, bila dia mendermakannya dalam proyek-proyek sosial itu sudah bisa menjadi bentuk pembebasan dari harta haram.” (Majmu’ Fatawa ibni Utsaimin (12/ soal no.304). lihat juga Asy Syarh Al Mumti’ karya beliau juz 4 hal.344)

Demikian penjelasan hukum membangun masjid dengan harta haram. Adapun hukum uang haram untuk membeli inventaris masjid seperti membeli jam digital masjid, karpet masjid, sutrah shalat masjid, atau inventaris lainnya, perlu kajian yang lebih yang akan kami hadirkan. Semoga memberikan kejelasan dan kemanfaatan bagi kaum Muslimin.

Referensi sebagai berikut ini ;























Cara Taubat Dari Modal Usaha Yang Haram

Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir setiap usaha yang dijalankan oleh para pengusaha atau bisnisman selalu membutuhkan adanya modal, sedikit maupun banyak. Akan tetapi sebagai seorang muslim yang telah menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan hari akhir, sudah seharusnya menggunakan modal yang halal dalam menjalankan usahanya, agar senantiasa mendatangkan manfaat dan berkah dari Allah.

Allah telah memerintahkan kepada kita semua agar selalu mencari rezeki dari sumber yang halal. Dan perintah ini banyak ‎terkandung dalam ayat Al-Quran, diantaranya adalah firman-Nya: “Maka makanlah yang baik dari rezki yang telah diberikan oleh Allah kepadamu, dan syukuriklah ni’mat ‎Allah jika kamu benar-benar menyembah-Nya.”‎  (QS. An-Nahl: 114)

Demikian pula di dalam banyak hadits, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menganjurkan kepada kita agar bekerja dan berusaha mencari rezeki dengan cara yang halal. Diantaranya adalah hadits-hadits berikut:  

عَنْ جَدِّهِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ ، قَالَ : قِيلَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ ؟ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ.

Dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Ada seseorang bertanya, “Penghasilan apakah yang paling baik, Wahai Rasulullah?” Beliau jawab: “Penghasilan seseorang dari jerih payah tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur.” [HR. Ahmad di dalam Al-Musnad no.16628] yang dimaksud dengan jual beli yang mabrur ialah jual beli yang benar menurut syariat, diterima dan diberi pahala oleh Allah, dan tidak mengandung unsur menipu atau khianat. (Lihat Faidhul Qadir Syarhu Al-Jami’I Ash-Shaghir, karya Abdur Rauf Al-Munawi II/47).

لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Sungguh salah seorang dari kalian mencari kayu bakar lalu memikulnya di atas punggungnya itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, lalu ia memberinya atau menolaknya.” (HR. Bukhari no.1470)

إِنَّ رِجَالاً يَتَخَوَّضُونَ فِى مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ ، فَلَهُمُ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Dari Khaulah Al-Anshariyah radhiyallahu anha, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya ada orang-orang yang mengelola dan mengambil harta kaum muslimin tanpa hak, maka bagi mereka azab neraka pada hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 3118)

Demikianlah perintah Allah dan rasul-Nya kepada kita semua agar bekerja dan berusaha mencari rezeki dengan cara yang halal lagi baik. Sebab yang namanya modal tidak harus berupa uang, tapi bisa juga berbentuk ketrampilan, pikiran positif, tenaga dan lain sebagainya yang dimiliki seseorang dan dimungkinkan dapat menghasilkan uang yang halal, seperti menulis atau menterjemah buku-bukuh Islam yang bermanfaat, mengajarkan ketrampilan dan keahlian kepada orang lain, sebagai pengelola usaha tertentu dengan modal dari investor yang percaya pada kita, atau sebagai kuli (jasa tenaga) dan lain sebagainya. Semua itu dapat mendatangkan penghasilan halal yang dapat kita jadikan modal usaha di kemudian hari setelah kita mengumpulkannya dengan giat dan sabar.


Akan tetapi kalau kita perhatikan di zaman sekarang, tidak sedikit pengusaha yang menjalankan usahanya dengan menggunakan modal yang haram, atau mencari rezeki dengan cara dan profesi yang haram. Mereka kurang atau bahkan tidak sabar menghadapi keadaan sulit yang menghimpit mereka. Mereka lebih suka mengambil jalan pintas dan cepat dalam mengais rezeki untuk memperkaya diri. Sehingga demi terwujudnya impian dan cita-cita menjadi orang yang kaya raya, diantara mereka ada yang menggunakan cara-cara yang diharamkan oleh syariat Islam seperti, korupsi, menipu, mengurangi takaran dan timbangan dalam jual beli, menjual barang-barang haram, bekerja di tempat-tempat maksiat dan berprofesi dengan profesi-profesi haram seperti menjadi penari latar dengan cara vulgar di depan umum, berjoget dan bernyanyi, sebagai model perempuan yang berlenggang lenggok di catwalk dan disaksikan kaum lelaki, sebagai aktor/artis film-film yang mengumbar syahwat, demikian pula para perempuan pendamping tamu di bar, kafe, atau tempat biliar dan sejenisnya. Semua itu adalah contoh perbuatan-perbuatan yang hasil upahnya diharamkan, karena tindakan atau transaksi yang dilakukannya tidak dibenarkan secara syar’i.

Kita dapatkan pula sebagian pengusaha yang lebih memilih mengambil pinjaman uang dari bank-bank, koperasi-koperasi atau lembaga-lembaga keuangan yang konvensional maupun yang berbasis syariah meskipun di dalamnya diberlakukan sistem bunga riba. Dan menjalankan usaha dengan modal dari hasil transaksi riba ini memiliki banyak bahaya dan petaka bagi pelakunya. Apalagi status keharamannya telah jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Allah berfirman: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah: 275).

Transaksi riba itu lebih dari tujuh puluh macam jenisnya (sesuai penjelasan hadis

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam). Salah satunya adalah riba ‘bunga bank’.

Allah berfirman pula: “Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil” (QS. Al Baqarah: 188).

maksudnya, janganlah kita mengelola dan memperoleh harta kekayaan melalui jalan yang batil, yaitu jalan yang tidak sesuai dengan syariat Islam.

Kiranya benar sinyalemen Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dengan sanadnya kepada al-Auza’i: “Akan datang suatu zaman di tengah -tengah manusia di mana mereka menghalalkan transaksi riba dengan nama jual beli (perdagangan)” (Hadits ini Mursal. Disebutkan oleh Ibnul Qayyim di dalam I’lamul Muwaqqi’in III/166)

CARA BERTAUBAT DARI MODAL USAHA YANG HARAM

Lalu bagaimana bila seseorang terlanjur berusaha dan berbisnis dengan modal yang haram sedangkan ia ingin segera bertaubat kepada Allah dan membersihkan dirinya dan harta bendanya dari hal-hal yang haram?

Maka kami katakan, bahwa hal pertama yang wajib baginya sebelum melakukan hal-hal lain adalah bersegera bertaubat kepada Allah dengan taubat nashuha, yaitu dengan memohon ampunan kepada-Nya atas segala dosa yang telah diperbuatnya, menyesalinya dengan sebesar-besar penyesalan dan bertekad bulat untuk tidak mengulanginya kembali di kemudian hari. Hal ini sebagaimana firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. At-Tahrim: 8)

Allah Ta’ala berfirman pula:

“Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.” (QS. An-Nur: 31)

Selanjutnya, agar taubatnya sempurna dan diterima Allah maka hendaknya ia membersihkan kekayaannya dari segala modal dan harta yang diperolehnya dengan cara yang haram. Dan dalam hal ini ada dua permasalahan: 

Permasalahan pertama: Bertaubat dari harta benda atau modal haram yang diperoleh secara zhalim, yakni tanpa seizin atau kerelaan dari pemiliknya seperti pencurian, perampokan, penipuan/penggelapan, korupsi, dan semisalnya.

Untuk bertaubat dalam masalah ini ada dua keaadaan:

Keadaan Pertama: Memungkinkan baginya untuk mengembalikan harta benda atau modal haram tersebut kepada pemiliknya. Maka dalam keadaan seperti ini wajib baginya untuk mengembalikannya kepada pemiliknya atau kepada ahli warisnya jika harta benda tersebut milik individu, dan mengembalikannya kepada pemerintah jika harta benda tersebut milik negara. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:

لاَ يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ عَصَا أَخِيهِ لاَعِبًا أَوْ جَادًّا فَمَنْ أَخَذَ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرُدَّهَا إِلَيْهِ

“Janganlah salah seorang dari kamu mengambil harta benda saudaranya baik dengan bercanda maupun serius. Apabila salah seorang dari kamu mengambil tongkat saudaranya maka hendaknya ia mengembalikannya kepadanya.” (HR. Ahmad (no.(17262, Abu Daud (no.4350) dan At-Tirmidzi (no.2086)).

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَىْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ (رواه البخاري)

Keadaan Kedua: Tidak memungkinkan baginya untuk mengembalikan harta benda atau modal haram tersebut kepada pemiliknya karena telah meninggal dunia atau tidak mengetahui keberadaannya dan keberadaan ahli warisnya padahal sudah berusaha keras mencarinya. Maka dalam keadaan ini hendaknya ia menginfakkan harta benda atau modal haram tersebut dengan mengatas-namakan pemiliknya kepada fakir miskin atau disalurkan ke jalur-jalur yang mendatangkan kemaslahatan bagi kaum muslimin secara umum. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Bertakwalah kamu kepada Allah semampu kamu.” (QS. At-Taghabun: 16)

Dan berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, bahwasanya ia pernah membeli seorang budak wanita dari seseorang, lalu ia masuk untuk mempertimbangkan harganya. Tiba-tiba tuan budak itu pergi, maka ia (Abdullah bin Mas’ud) menunggunya hingga lama sekali dan ia tak kunjung kembali. Maka ia bershodaqoh seharga budak itu seraya berkata, “Ya Allah, pahala shodaqoh ini untuk tuan budak wanita ini, jika ia ridho maka pahalanya untuknya, tetapi jika ia datang (dan meminta harganya, pen) maka pahalanya untukku dan ia memperoleh dari kebaikan-kebaikanku sesuai dengan kadarnya.” (Madariju As-Salikin, karya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah I/421)

Permasalahan Kedua: Bertaubat dari harta benda atau modal haram yang diperoleh secara suka rela, yakni ia mengambilnya dengan izin dan kerelaan dari pemiliknya, seperti harta atau modal haram hasil transaksi riba, perjudian, bisnis barang-barang haram seperti khamr, narkoba dan semisalnya, upah pelacuran, hasil praktek perdukunan, hasil suap, dan semisalnya.

Untuk bertaubat dalam masalah ini ada dua keadaan pula:

Keadaan pertama: Ketika memperoleh harta benda atau modal haram tersebut ia dalam keadaan tidak mengetahui keharamannya, dikarenakan ia adalah seorang mualaf (baru masuk Islam), atau tinggal di wilayah yang belum terdengar dakwah Islam atau penjelasan tentang larangan-larangan tersebut.

Maka dalam keadaan demikian, ia wajib bertaubat kepada Allah dengan taubat nashuha sebagaimana telah disebutkan di atas, sedangkan harta atau modal haram yang telah ada di tangannya tersebut menjadi halal baginya, dan ia tidak berdosa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (QS. Al-Baqarah: 275-276)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala tidak memerintahkan untuk mengembalikan harta benda yang telah diambil melalui transaksi riba setelah bertaubat. Akan tetapi Dia memerintahkan agar mengembalikan harta hasil riba yang belum diambilnya.” (Al-Fatawa As-Sa’diyah hlm. 303)

Dan Syaikh Asy-Syinqithi rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat ini: “Dari ayat yang mulia ini dapat diambil pelajaran bahwa Allah tidak menyiksa seorang manusia disebabkan melakukan suatu perkara kecuali setelah Dia mengharamkannya. Dia telah menerangkan makna ini dalam banyak ayat Al-Qur’an. Allah berfirman tentang orang-orang (para sahabat, pen) yang pernah minum khamr dan memakan harta hasil perjudian sebelum turunnya ayat yang mengharamkannya:

“Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentang apa yang mereka makan (dahulu), apabila mereka bertakwa dan beriman, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman.” (QS. Al-Ma-idah: 93)

Demikian pula Allah berfirman tentang orang-orang yang menikahi mantan istri ayah mereka sebelum turunnya ayat yang mengharamkannya, mereka tidak berdosa.

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa’: 22-23).

Dan Allah berfirman tentang orang-orang yang membunuh hewan buruan ketika sedang ihram (haji atau umroh), mereka tidak berdosa tatkala melakukannya sebelum mengetahui keharamannya.  (baca QS. Al-Ma-idah: 95)

Dan dalil yang paling jelas adalah firman Allah:

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan[663] suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taubah:115)

Maksud ayat ini, seorang hamba tidak akan diazab oleh Allah semata-mata karena kesesatannya, kecuali jika hamba itu melanggar perintah-perintah yang sudah dijelaskan. (Lihat Adhwa-ul Bayan I/188)

Keadaan Kedua: Ketika ia memperoleh harta benda atau modal haram tersebut dalam keadaan telah mengetahui keharamannya dan mengerti bahwa muamalah dan perbuatan-perbuatan tersebut tidak diperbolehkan dalam agama Islam.

Maka dalam keadaan seperti ini, di samping berkewajiban bertaubat kepada Allah dengan taubat nashuha, ia juga berkewajiban untuk menyalurkan semua harta atau modal haram yang ada dalam kepemilikannya tersebut kepada fakir miskin atau untuk kepentingan-kepentingan umum bagi kaum muslimin. Dan hal itu bukan termasuk shodaqoh tathawwu’ (sunnah), tetapi termasuk dari upaya menyelamatkan apa yang diharamkan Allah, sebagai sarana menyucikan dirinya dan hartanya dari penghasilan yang tidak sesuai dengan syari’at Allah.

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Para ulama kita berkata: Sesungguhnya cara bertaubat bagi orang yang di tangannya terdapat harta yang haram, jika dari hasil riba, maka hendaklah dia kembalikan kepada yang telah dia ambil ribanya. Ia harus mencari orang tersebut jika dia tidak mengetahui keberadaannya. Jika ia telah putus asa (setelah berusaha keras) untuk menemukannya, maka hendaklah ia sedekahkan harta tersebut atas nama orang itu. Jika ia mengambilnya dengan cara dzalim, maka hendaklah ia melakukan hal yang sama terhadap orang yang pernah didzaliminya. Jika tersamarkan olehnya, sehingga dia tidak mengetahui berapa jumlah harta yang haram dibanding yang halal yang ada di tangannya, maka hendaklah ia berusaha mengetahui kadar apa yang ada di tangannya dari harta yang harus dikembalikannya, sampai dia tidak ragu lagi bahwa apa yang tersisa di tangannya telah bersih. Lalu dia kembalikan harta yang telah dia pisahkan dari miliknya tersebut kepada orang yang pernah dia dzalimi (hartanya) atau yang dia ambil riba darinya. Jika telah putus asa dalam mencari orang tersebut, maka dia bersedekah dengan harta tersebut atas nama orang itu.

Jika telah menumpuk kedzaliman yang ada dalam tanggungannya dan dia mengetahui bahwa dia wajib mengembalikan sesuatu yang dia tidak mampu membayar selamanya karena demikian banyak jumlahnya, maka cara bertaubatnya adalah dia melepaskan (menginfakkan) semua harta yang ada di tangannya, baik kepada orang-orang miskin atau kepada sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan bagi kaum muslimin. Sampai tidak ada lagi yang tertinggal di tangannya kecuali yang paling minimal berupa pakaian yang dapat menutupinya dalam shalat. Yaitu yang menutup auratnya, antara pusar sampai lututnya. Juga yang mencukupi kebutuhan makanannya dalam sehari, karena itulah yang boleh baginya untuk dia mengambil dari harta orang lain dalam kondisi darurat, walaupun orang yang diambil barangnya tersebut merasa benci.” (Lihat Tafsir Al-Qurthubi dalam menjelaskan ayat ini dalam permasalahan yang ke-36)

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang meninggal yang di masa hidupnya dia bermuamalah dengan cara riba. Apakah ada cara yang syar’i bagi kerabatnya yang hidup dan ingin menebus dosanya yang meninggal?

Beliau menjawab: “Disyariatkan bagi ahli warisnya agar menentukan secara teliti kadar yang masuk ke dalam hartanya dari hasil riba lalu dia sedekahkan atas nama yang meninggal dan mendoakannya dengan memohon ampunan baginya.” (Lihat Al-Fatawa Al-Islamiyyah, II/387, yang disusun oleh Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad)

Dan sebelum kami akhiri tulisan ini, kami sampaikan sebuah hadits yang dapat menghibur dan memotivasi kita untuk segera bertaubat dari modal usaha yang haram. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

من ترك شيئاً للّه عوضه اللّه خيراً منه

“Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena (takut azab) Allah, maka Allah akan memberinya ganti yang lebih baik.” (HR. Ahmad no.20739)

Dan imam Malik meriwayatkan dari sebagian istri salafus shalih yang selalu mengingatkan suami mereka setiap akan keluar rumah untuk mencari nafkah dengan bisikan, “kami mampu bertahan menahan kelaparan, akan tetapi kami tidak mampu bertahan memakan neraka Allah”. (Lihat Subulussalam, Ash-Shan’ani ).


Referensi sebagai berikut ini ;













Hukum Bersedekah Dengan Uang Haram


Kita sering menjumpai orang-orang tidak lagi memperdulikan dari mana hartanya berasal, apakah dari yang haram ataukah dari yang halal. Selama ia memuaskan keluarga, mengenyangkan perut, itu sudah cukup dan menyenangkan bagi dirinya sendiri. Padahal harta haram jika digunakan akan sangat berdampak buruk bagi kehidupan seorang muslim, baik dalam sosialnya, ibadahnya, dan keberkahan hidupnya. Mengetahui hukum tentang sumber harta kemudian menjadi penting bagi muslim. 

Lalu bagaimana jika seorang memberi sedekah menggunakan harta haram, dengan tujuan meringankan beban orang yang disedekahi, dan membantu sesama? Dalam hal ini, apakah sedekahnya sah atau tidak? Keutamaan Bersedekah Bersedekah adalah salah satu amalan yang mulia di sisi Allah SWT. Orang yang bersedekah juga dijanjikan keberkahan dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. 

Allah menyiapkan pahala untuk mereka dan tempat kembali yang baik. Setiap pagi dan sore terdapat dua malaikat yang turun ke bumi, mereka bertugas untuk mendoakan hamba Allah yang selalu mengeluarkan hartanya di jalan Allah. Ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Salah satu dari dua malaikat tersebut berdoa, ‘Ya Allah berilah ganti untuk orang yang berinfaq.” Harta orang yang berinfaq akan Allah SWT ganti dengan kebaikan baik di dunia maupun di akhirat. 

Sebaliknya, orang-orang yang kikir akan hartanya akan didoakan keburukan untuknya oleh malaikat. Di antara malaikat berkata, “Ya Allah, berilah kebinasaan bagi orang yang kikir.” Maksud kebinasaan di sini yaitu kebinasaan pada hartanya, baik yang nampak maupun tidak nampak. 

Adapun kebinasaan yang nampak yaitu saat hartanya tertimpa musibah. Bisa jadi hartanya hilang, terbakar, dirampok, dan diambil dengan cara zalim. Sedangkan yang tidak nampak, hartanya tetap utuh tapi sama sekali tidak ada berkahnya. Dia tidak bisa mengambil manfaat terhadap harta tersebut. Itulah yang dinamakan kebinasaan dalam harta.. 

Hukum Bersedekah Dengan Uang Haram Seorang bersedekah dengan harta hasil riba, korupsi, curian, judi, menipu, dan dengan cara haram lainya. Pada esensinya ia tidak bisa disebut dengan sedekah, karena itu perbuatan yang batil. Allah tidak menerima suatu amalan dari yang haram. Ia sebagaimana disebutkan dalam hadis, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thayyib (baik). 

Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thayyib (baik).” (HR. Muslim No. 1015). Hadis lainnya, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu.” (HR. Muslim No. 1014). 

Dari hadis ini menjelaskan, Allah akan memberi ganjaran pahala kepada anak Adam yang menginfakkan harta thayyib (yang baik) di jalan Allah. Walaupun ia bersedekah dengan nilai yang kecil, sebutir kurma, seteguk air minum, yang terpenting ia berasal dari hasil jerih payahnya sendiri. Maka tidaklah Allah melihat sedekahnya, kecuali Allah melipatgandakan pahala kepadanya. 

Salah Kaprah Muslim tentang Sedekah Banyak dari kalangan umat muslim menganggap bahwa bersedekah dapat mensucikan harta haram. Sejatinya tidak, hal ini merupakan salah kaprah, sebab harta haram tetaplah haram, sebagaimana kaidah fikih “Segala sesuatu yang diawali dengan perbuatan haram, maka itu juga haram”. Walaupun disedekahkan, ia tidak dapat mengubah esensi nilai dari harta tersebut. 

Justru hal ini bukan malah membaik, tapi membuat harta itu semakin kotor di hadapan Allah. Dan Allah tidak mungkin menerima pemberiannya sebagai sedekah, sebagaimana Rasulullah bersabda “Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim No. 224).  

Bersedekah dengan harta haram ulama mengibaratkan seseorang menaruh satu tetes kapur ke dalam sebotol air minum. Menurut hukum akal, kapur sedikit itu tidak akan tercemar. Akan tetapi kalau dilihat secara makna gaibnya, kapur itu ibarat najis walaupun satu tetes, pasti air tersebut tercemari oleh najis dan tidak mungkin digunakan. 

Kedua, sedekah dengan harta haram ibaratnya seorang mencuci pakaiannya dengan air kencing. Bukannya bersih, justru semakin kotor. Maka segala sesuatu yang haram jika tercampur dengan yang halal, maka yang haram pasti menang. Pendapat Para Ulama Terkait hukum harta haram, beberapa ulama berbeda pendapat. 

Ada yang mengatakan harta haram tidak boleh disedekahkan dan ada juga yang mengatakan harta haram tidak boleh disimpan, harus diberikan kepada yang membutuhkan. Dalam sumber harta haram, para ulama membaginya dalam hukum menjadi dua. Pertama, harta haram yang didapatkan dengan cara menzolimi seperti menipu, korupsi, mencuri, merampok, dan lainnya. 

Kedua, harta yang didapatkan dari akad yang saling ridho antar kedua pihak, seperti riba, jual beli barang haram, judi, dan sebagainya. Dari kalangan mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa jika harta didapat dari mencuri, menipu, dan korupsi, maka harus dikembalikan kepada pemilik asalnya. Ia tidak boleh digunakan secara pribadi. Jika pemilik asalnya tidak ditemukan atau sudah meninggal maka harus dikembalikan kepada ahli warisnya. 

Akan tetapi, di sini ulama berbeda pendapat. Seadainya ahli warisnya tidak ada dan pemilik asalnya sudah meninggal, maka pelaku dianjurkan untuk bertaubat dan berbuat baik sebanyak-banyaknya agar pahalanya dapat menutupi dosa-dosanya ketika diadili oleh Allah kelak di akhirat. 

Pendapat kedua, yaitu pendapat jumhur ulama. Bagi yang membawa harta hasil curian, menipu, dan korupsi, pelaku boleh menyedekahkannya dengan syarat sedekah diniatkan atas nama pemilik harta tersebut. Allah SWT Maha Mengetahui ke mana pahala itu akan disalurkan. 

Seandainya pemilik sahnya diketahui, hendaknya pelaku pilihan padanya: antara merelakan uangnya yang telah disedekahkan, atau pelaku harus menggantinya.. 

Adapun harta yang didapatkan dari akad yang saling ridho seperti riba dan judi, ada dua pendapat hukum. Pertama, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa harta tersebut tidak boleh disedekahkan, karena harta kotor lebih baik disimpan. 

Kedua, Dr. Muhammad Ali Fardus berpendapat, harta riba sebaiknya disedekahkan atas nama shohibulhaqi majhul, atau pemilik harta yang tidak diketahui. Ketiga, harta haram tidak boleh disimpan. Ia sebaiknya diberikan kepada fakir miskin, kaum dhuafa, pembangunan fasilitas umum, kegiatan sosial keagamaan, pembangunan masjid, dan orang-orang yang membutuhkannya. 

Tapi ia tidak boleh diniatkan untuk sedekah, karena harta kotor tidak boleh disedekahkan. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Bila harta haram diberikan kepada orang miskin, maka harta itu tidak menjadi haram lagi di tangannya. Status harta itu ditangannya halal lagi baik.” 

Membersihkan Diri dari Harta Haram

Dua Cara Melepaskan Harta Haram : Ada dua cara untuk melepaskan dirinya dari harta yang diperoleh dengan cara tidak benar itu.Pertama: Mengembalikan harta itu kepada orang-orang yang terlibat dalam perjudian itu sesuai dengan porsi masing-masing. Sebab, hukum asal harta itu adalah milik pemiliknya. Suatu kepemilikan tidak beralih tangan secara sah kecuali dengan cara yang sah. Jadi, mengembailkan harta kepada yang berhak adalah solusi pertama.

Kedua: Apabila tidak memungkinkan mengembalikan kepada pemilik sah harta itu, maka dapat didonasikan untuk kepentingan public atau kebutuhan fakir miskin. Harta tersebut dapat digunakan untuk pembangunan sarana public –selain tempat ibadah- atau membantu fakir miskin. Bisa juga disalurkan ke penanggulangan bencana.


Membersihkan Diri dari Harta Haram, Kadang harta sebagian orang Islam bercampur dengan harta haram tanpa sengaja, sebagian yang lain sengaja megumpulkan harta dari sumber haram, bagaimana tindakan yang benar mengenai harta haram tersebu.

Harta haram terbagi dua: Haram karena zatnyaSeperti khamar, bangkai, babi, dan semacamnya yang seperti apapun cara memperolehnya tetap tak bisa digunakan. Cara membersihkan diri darinya yaitu bertaubat dan membuangnya seperti disebutkan dalam sunnah.Anas bin Malik berkata bahwa Abu Thalhah bertanya kepada Rasulullah tentang anak yatim yang mendapat warisan khamar. Rasulullah bersabda, “Tumpahkan.” Abu Thalhah bertanya, “Boleh saya jadikan cuka?” Rasulullah bersabda, “Tidak boleh.” (Abu Dawud)

Haram karena cara memperolehnyaSeperti yang diperoleh dengan cara riba, menjual barang haram, transakasi penipuan, judi, dll. Harta semacam ini juga terbagi dua:

Ia mengetahui pemilik asal harta dan bisa mengembalikan kepadanya atau kepada ahli warisnya.Dalam kondisi ini ia harus mengembalikan harta tersebut kepada yang berhak. Tindakannya membersihkan diri dengan menyumbangkannya atau menyedekahkannya tidak menghapus kesalahannya. Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. Annisa: 58)

Ia tidak mengetahui keberadaan pemilik asal harta, atau tidak bisa mengembalikannya.Dalam kondisi ini, ia harus menyumbangkan harta tersebut untuk kemaslahatan umum dengan niat taubat dan membersihkan diri dari harta haram.Dalilnya adalah: Riwayat ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya dari seorang Kaum Anshar, ia berkata, “… Kemudian makanan dihidangkan lalu Rasulullah dan orang-orang menyuap dan mulai makan, lalu bapak-bapak kami memandang Rasulullah mengunyah makanan di mulutnya dan ia berkata, ‘Saya merasakan daging kambing yang diambil tanpa izin pemiliknya.’ Lalu istri tuan rumah berkata, ‘Wahai Rasulullah! Saya menyuruh seseorang untuk membeli kambing di pasar tapi tak dapat, lalu saya suruh dia untuk beli kambing tetangga yang baru ia beli tapi tak ketemu pemiliknya, lalu saya utus seorang meminta ke istri pemilik kambing dan dia mengirimkan kambing tersebut ke saya.’ Rasulullah bersabda, ‘Berikan kambing ini ke para tawanan perang untuk mereka makan.’” (HR. Abu Dawud 3332)

Petunjuk dalil: Ketika Rasulullah mengetahui bahwa kambing didapatkan bukan dengan cara yang benar, beliau menyuruh perempuan tersebut melepaskan diri dari barang haram itu dengan menyumbangkan untuk kepentingan umum, yaitu memberikannya kepada para tawanan perang.

Ulama juga menjadikan hadits di atas sebagai dalil untuk memberikan harta seorang yang tak ada/tak diketahui ahli warisnya untuk kemaslahatan umum.

Ibnu Taimiyah berkata, “Ulama sepakat bahwa seorang yang meninggal dan tak ketahuan ahli warisnya maka hartanya disumbangkan untuk kepentingan umum; walaupun bisa dipastikan bahwa orang pada umumnya punya kerabat jauh, tetapi siapanya tak ketahuan dan tak ada harapan untuk dapat infonya, untuk itu ia dianggap tidak ada.” (Alfatawa Alkubra 4/209)

Imam Nawawy berkata, “Algazhaly berkata, ‘Jika ada harta haram pada seseorang dan ia tahu siapa pemilik sebenarnya, maka ia wajib mengembalikannya kepada orang tersebut atau yang mewakilinya. Jika orang yang berhak sudah meninggal, maka ia berikan kepada ahli warisnya; jika ia tak mengetahui pemiliknya dan sudah tak ada harapan untuk mengetahuinya, maka ia wajib sumbangkan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, seperti untuk pembangunan jembatan, jalan, masjid, kepentingan jalanan Mekkah, dll, yang bisa dinikmati bersama oleh orang Islam; jika tidak bisa ia sedekahkan kepada satu orang miskin atau orang-orang miskin…’ dan apa yang dikatakan oleh Algazhaly dalam masalah ini sama dengan pendapat para sejawat di Mazhab Syafii; alasannya, seperti yang mereka katakan dan juga Algazhaly riwayatkan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan yang lainnya dari generasi salaf, dari Ahmad Bin Hambal, Alharits Almuhasiby dan selain keduanya dari ulama wara’, yaitu karena kita tidak boleh memusnahkan barang yang bermasalah dan membuangnya ke laut, jadi pilihannya adalah menyalurkannya untuk kepentingan kaum muslimin.” (Almajmu’ 9/332)

Tempat-tempat penyaluran harta haram

Menurut pendapat yang kuat dan merupakan pendapat jumhur ulama, harta haram yang ingin dibersihkan bisa disalurkan kepada penerima zakat, karena tak ada dalil yang mengatakan hanya bisa disalurkan untuk kepentingan umum, kecuali pembangunan mesjid. Jadi harta haram yang ingin dibersihkan bisa disalurkan untuk para mustahiq zakat, amal sosial seperti memberi makan orang miskin, pembangunan mesjid, kegiatan pendidikan, dll.

Adapun hadits, “Sesungguhnya Allah mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik” (HR. Muslim 1015), maksudnya adalah bahwa sesungguhnya Allah SWT tidak menerima sedekah dan infaq kecuali yang bersumber dari harta halal dan baik. Adapun dalam pembersihan harta haram bukan berniat untuk infak dan sedekah yang mengharapkan pahala dan balasan, karena orang yang melakukan pembersihan bukan pemilik sah harta tersebut. Niatnya hanya membersihkan harta haram yang ada di tangannya dan bertaubat kepada Allah SWT.

Siapa yang melakukan pembersihan harta haram

Siapa saja yang ada padanya harta haram bisa melakukan sendiri pembersihan dan meyalurkannya kepada yang berhak. Namun, jika ia mewakilkan penyalurannya kepada pihak kedua yang terpercaya maka itu lebih baik (Alfatawa Alkubra 5/421).

Jika nominal harta haram tak pasti jumlahnya

Jika seorang muslim mengetahui dengan pasti nominal harta haram yang ada padanya maka ia harus membersihkannya secepatnya.

Namun, jika ia tak mengetahui dengan pasti maka ia memperkirakan ke titik aman; kalau ia ragu maka harus mengambil pilihan yang lebih hati-hati dengan mengeluarkan seluruh yang meragukan apakah ia dapat dengan jalan halal atau haram. Rasulullah bersabda, “Barang siapa menjauhi yang syubuhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.” (Muslim 1599)

  1. Harta yang haram karena zatnya jika tidak dimanfaatkan untuk suatu yang dibolehkan maka wajib dimusnahkan, seperti minuman keras dan obat-obatan terlarang.
  2. Harta yang haram karena cara mendapatkannya jika ketahuan pemilik sahnya dan memungkinkan untuk dikembalikan kepadanya atau kepada ahli warisnya, wajib segera ditunaikan kepada yang berhak, tidak bisa dengan menyalurkannya untuk amal sosial.
  3. Harta yang haram yang tak ketahuan pemiliknya atau ketahuan pemiliknya tapi tidak memungkinkan untuk menyerahkan kepadanya atau kepada ahli warisnya, wajib segera dillakukan pembersihan.
  4. Menurut pendapat kuat, boleh membersihkan harta haram dengan menyalurkannya untuk amal sosial dan mustahik zakat tanpa pengecualian.
  5. Niat orang yang melakukan pembersihan harta haram adalah taubat dan menjauhi harta haram, tidak dibenarkan untuk niat sedekah dan infaq karena ia bukan pemilik sah harta tersebut.
  6. Dia harus berusaha maksimal jika ia tak mengetahui secara pasti nominal harta haram yang ada padanya. Jika ia ragu apakah harta itu haram atau halal maka sebaiknya membersihkannya untuk menjaga agamanya dan menghindari yang syubuhat.
Referensi sebagai berikut ini ;








Langkah Taubat Nasuha dalam Pandangan Islam (Dari Dosa Syirik & Jenis-jenis Kesyirikan)

Sejatinya manusia adalah makhluk yang diberi akal dan pikiran. Hingga mungkin sekali manusia tak luput dari kesalahan. Tapi Allah swt tidak diam begitu saja dengan semua doa yang diperbuat oleh umatnya. Banyak kesempatan yang diberikan agar mereka segera bertobat dan kembali ke jalan-Nya. Orang yang sangat beruntung adalah mereka yang bertobat. Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa` ayat 110 yang berbunyi:

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا

Artinya: “Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Sebagai hamba Allah, manusia memiliki dua pilihan dalam hidupnya. Yaitu, melepaskan dosa yang telah dilakukan atau tetap melakukan dosa tersebut selama hidupnya.

Meskipun manusia melakukan banyak dosa, Allah akan tetap mengampuni dosa bagi manusia yang bertobat dengan tobatan nasuha. Karena Allah merupakan Tuhan Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Tobat adalah insyaf atau sadar dan timbul kemauan dalam diri manusia untuk meninggalkan dosa yang telah mereka perbuat. Sedangkan tobat nasuha merupakan tobat yang dilakukan secara bersungguh-sungguh dengan tekad yang penuh, niat, dan menyempurnakannya dengan usaha memperbaiki diri.

1. Evaluasi Diri

Pertama-tama yang biasa dilakukan bagi mereka yang ingin melakukan tobat nasuha adalah evaluasi diri. Merenungi tentang dosa-dosa yang telah dilakukan. Tanpa merenung, maka tidak akan menemukan apa kesalahan dan dosa yang telah mereka perbuat. Oleh sebab itu, perlu sekali melakukan evaluasi diri secara mendalam.

2. Akui Kesalahan

Dengan cara mengakui segala kesalahan yang telah diperbuat, dan meminta ampun kepada Allah adalah langkah dalam melakukan tobat nasuha. Kesalahan kepada siapa pun perlu disadari, sehingga bisa memohon ampun serta berkomitmen tidak akan mengulangi kesalahannya.

3. Perbaiki Kesalahan

Setelah mengakui dan menyadari semua kesalahan yang telah diperbuat, maka perbaikilah semua kekeliruan tersebut. Ini adalah salah satu bukti bahwa mereka bersungguh-sungguh melakukan tobat. Dalam langkah ini, Allah menilai bukan hanya dari niat, tetapi tentunya juga amalan baik yang konsisten.

4. Mohon Ampun Kepada Allah

Selanjutnya memohon ampunan kepada Allah dengan melakukan salat tobat dan berdoa dengan berserah diri pada-Nya atas segala dosa yang telah diperbuat, baik secara disengaja ataupun tidak disengaja.

Karena hanya Allah yang dapat menilainya, maka minta ampunlah setiap saat. Allah Maha Pengampun dan Penyayang, maka memohon ampunlah kepada Allah dengan sungguh-sungguh.

5. Bertobat dengan Kondisi Beriman

Orang yang beriman akan senantiasa menjaga dirinya dengan bertobat. Kemudian tidak akan mengulang dosa yang telah dilakukannya. Allah berjanji akan mengampuni dosa manusia jika mereka mau memohon ampun kepada-Nya.

Allah juga akan menghapus dosa-dosa manusia dengan syarat yang bertobat merupakan orang yang dalam keadaan beriman. Sementara orang yang tidak dalam kondisi beriman, belum tentu akan diterima pertobatannya.

6. Bertobat atas Khilaf

Cara bertobat selanjutnya adalah dengan tidak mengulangi lagi kesalahan dosa yang dilakukan. Bahkan mereka akan menjauhi perbuatan yang keliru dan membawakan dampak yang buruk. Tobat nasuha adalah tobat yang bersungguh-sungguh dan melakukan kesalahan bukan karena disengaja melainkan karena khilaf atau ketidaktahuan. Karena orang beriman tidak akan melaksanakan hal-hal yang dilarang Allah secara sengaja. Tobatnya akan diterima oleh Allah asalkan tidak akan dilakukan lagi perbuatan dosa itu.

7. Bertobat Sebelum Ajal

Sebelum ajal menjemput, alangkah baiknya sebagai muslim bertobat setiap waktu dengan menyadari kesalahan yang diperbuat. Manusia tidak tahu kapan ajal datang. Sedangkan kematian dalam kondisi belum bertobat adalah salah satu penyebab hati gelisah menurut Islam.

"Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan yang hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, barulah ia mengatakan, ‘Sesungguhnya saya bertobat sekarang.’ Dan tidak pula diterima tobat orang-orang yang mati sedang mereka dalam keadaan kafir. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (QS. An Nisa: 18).

Surat Az-Zumar Allah ampuni semua dosa, meski termasuk dosa membunuh dan berzina kecuali dosa syirik. Allah mengampuni dosa-dosa hambanya karena sesungguhnya Allah yang mengetahui segala rahasia dan alasan, baik yang diungkapkan maupun yang disembunyikan. Allah menyediakan jalan pertaubatan dan hijrah kepada setiap pendosa, termasuk dosa besar dan keji seperti termasuk di dalamnya membunuh mau pun berzina.

Dalam hadis riwayat Muslim, dari Ibnu Mas'ud RA yang bertanya kepada Rasulullah Muhammad SAW. "Dosa manakah yang lebih besar?Nabi SAW menjawab, Kamu menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dia telah menciptakanmu. Ibnu Mas’ud bertanya kembali. Lalu apa? Nabi SAW menjawab, Kamu membunuh anakmu karena khawatir ia makan bersamamu. Ibnu Mas'ud bertanya, Lalu apa? Nabi SAW menjawab, Kamu berzina dengan isteri tetanggamu.

Namun, Allah tidak memaafkan dosa syirik hambanya yang mati dalam keadaan menyekutukan atau menduakanNya dengan tuhan-tuhan dan sesembahan lain. Firman Allah dalam Surah Az Zumar 53:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (53)

وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ (54)

Artinya : Katakanlah, Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepadaNya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). (QS. Az Zumar: 53-54).

Allah tidak mengampuni Dosa Syirik, Firman Allah SWT: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa asyirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar. (Surah An Nisa’ : 48).

Rasulullah SAW bersabda, "Allah brefirman; "Hai hambaKu, selama engkau menyembahku dan mengharapKu, maka Aku mengampuni apa yang datang daripadamu. Hai hambaku jika kau tidak bersyirik kepadaKu aku akan menemuimu dengan sebanyak itu pengampunan. (Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Dzarr).

Sabdanya Rasulullah lagi, "Tiada seorang hamba mengucapkan, "Lailaha Illahllhu" lalu mati mengucapkannya melainkan ia masuk syurga" Bertanya Abu Dzar, Walaupun berzina dan mencuri?Beliau menjawab, "Walaupun berzina dan mencuri"

Persoalan, pertanyaan dan jawaban ini berulang tiga kali antara beliau dan Abu Dzar, yang akhirnya ditambah oleh Rasulullah SAW dengan kata-kata, "Walaupun tidak disukai oleh Abu Dzar, Maka keluarlah Abu Dzar dari tempat Rasulullah SAW sambil mengulang-ulangi kata Rasulullah yang mengenai dirinya. Dan demikian seterusnya tiap kali ia meriwayatkan hadis ini, tidak lupa membubuhinya dengan kata-kata Rasulullah terakhir itu.

Diriwayatkan oleh Abu ya’la dari Jabir, bahwa Rasulullah SAW bersabda : Pintu maghfirah Allah atas hambanya selalu terbuka selama belum tertutup oleh dinding. Bertanya seorang, apakah dinding itu Ya Rasululah?" "yaitu, syirik kepada Allah,"  jawab Rasulullah Sabdanya lagi : Barangsiapa mengetahui bahwa Aku (Allah) berkuasa mengampuni segala dosa, Aku (Allah) ampunilah dosa-dosa dan tidak peduli selama ia tidak bersyirik kepadaKU.

Sungguh Dialah Yang Maha pengampun lagi Maha penyayang. Seorang lelaki bertanya, "Bagaimana dengan syirik Ya Rasulullah?. Beliau enggan menjawab, hanya membaca ayat 48 Surat An Nisa.

Dosa Syirik, Syirik adalah dosa besar yang paling besar, diletakkan sebagai dosa besar yang pertama daripada 76 dosa besar yang dihimpun oleh Imam Al-Zahabi dalam kitabnya Al-Kaba’ir. Maka jelas syirik merupakan perkara yang sangat diharamkan dalam Islam

Jenis-jenis Syirik Yang Wajib Diketahui

Ada enam jenis syirik yang telah dibahagikan oleh Imam al-Sanusi melalui al-Muqaddimat.

  1. Syirik istiqlal : Menetapkan adanya dua tuhan atau lebih yang berlainan seperti akidah Majusi yang mempercayai adanya Ahura Mazda dan Angra Mainyu.
  2. Syirik tab’id : Menyatukan tuhan daripada beberapa oknum seperti akidah Triniti agama Kristian.
  3. Syirik taqrib : Beribadah kepada sesuatu selain daripada Allah SWT dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
  4. Syirik taqlid : Beribadah kepada Allah kerana mengikut orang lain.
  5. Syirik asbab : Menyandarkan satu kesan terhadap sebab tertentu yang bersifat adat seperti berpegang bahwa manusia kenyang kerana makan, dan bukan Allah SWT yang mengenyangkannya.
  6. Syirik aghrad : Beramal kerena selain daripada Allah SWT.

Untuk nomor 1 sehingga 4, seseorang itu akan dikira sebagai kufur secara jimak dan untuk nombor 6, ianya dikira sebagai maksiat dan tidak kufur secara jimak. Walau bagaimanapun, untuk nombor 5 memerlukan perincian yang mendalam.

Berikut cara hijrah dan bertaubat

1. Menyesali perbuatannya

Tidak akan terhapus dosa seorang hamba tidak mengawalinya dengan sadar akan penyesalan, rasa sesal yang dirasakan oleh seseorang yang berbuat zina dapat mengembalikannya pada jalan yang benar dan kembali pada Allah SWT. Menyesali dosa yang pernah dilakukan dapat membersihkan hati dan memantapkan niat jika rasa sesal itu dijadikan awal dan cambuk untuk bertaubat kepada Allah SWT.

2. Taubat nasuha

Jika ingin menghapus dosa-dosa besar seperti zina maka seseorang harus lah bertaubat dengan sungguh-sungguh atau taubat nasuha. Taubat nasuha adalah taubat yang sungguh-sungguh berasal dari hati dan dilakukan karena seseorang menyesali perbuatannya.

Allah memberikan janji bahwa Ia akan mengampuni dosa-dosa hambanya yang melakukan kesalahan sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah SWT pada surat At Tahrim ayat 8 berikut ini

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ ۖ نُورُهُمْ يَسْعَىٰ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia, sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami, Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS At tahrim ayat 8)

3. Shalat taubat

Shalat adalah salah satu amalan yang dapat mendekatkan diri pada Allah SWt dan menghapuskan dosa. Seseorang yang ingin bertaubat atas dosa-dosanya dapat meminta ampunan lewat shalat taubat. Shalat taubat itu sendiri adalah shalat sunnah yang dikerjakan sebanyak dua hingga enam rakaat pada malam hari selepas shalat isya. Dengan mengerjakan shalat taubat dan tentunya tidak meninggalkan shalat wajib, dosa yang dilakukan akan diampuni oleh Allah SWT sebagaimana yang disebutkan dalam Qu’an surat Al baqarah ayat 222.

Lebih disunnahkan terlebih dahulu melakukan mandi taubat, sama seperti mandi junub. Dan niatkan dalam hati keinginan untuk bertaubat.

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Artinya : Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS Al Baqarah 222)

4. Perbanyak zikir dan istigfhar

Memperbanyak dzikir dan istigfar pada Allah adalah salah satu amalan untuk menghapuskan dosa-dosa. Kalimat istigfar merupakan kalimat permohonan ampun dari Allah SWT dan dosa-dosa seseorang dapat dihilangkan dengan terus menyebut nama Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT surat Al imran ayat 135 berikut ini

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Artnya : Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS Al imran ayat 135).

5. Melakukan kebaikan pada sesama

Jika seseorang berbuat dosa dan keburukan maka untuk menghapuskannya ia perlu melakukan hal atau kebaikan pada orang atau makhluk lainnya seperti dengan bersedekah, menghapuskan utang orang lain, memberi makan binatang dan sebagainya seperti yang dikisahkan seorang wanita pelacur yang masuk surga karena memberi minum anjing yang kehausan.

6. Berpuasa

Berpuasa adalah salah satu cara melatih hawa nafsu dan kesabaran kita. Puasa juga dapat menghapuskan dosa apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh terutama jika melakukan puasa sunnah seperti puasa arafah (baca keutamaan puasa arafah) dan asy syura.(baca keutamaan puasa arafah)

7. Memperbanyak membaca Alquran dan bersholawat pada Nabi Muhammad.

Alquran dapat menjernihkan hati dan membacanya tidak hanya mendatangkan ketenangan akan tetapi juga menghapuskan dosa seseorang. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut ini

"Bacalah Al Qur`an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat untuk memberikan syafa`at kepada pembacanya” (HR. Muslim).

Bersholawat pada Nabi Muhammad insyaallah akan mendapat syafaat beliau di akhirat. Percayalah sesungguhnya Nabi Muhammad tidak akan rela jika masih ada umatnya yang belum masuk syurga, kecuali yang telah melakukan dosa syirik atau tertutup hatinya dari Allah yang Maha Esa.


Referensi Sebagai Beriku ini ;