This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Kamis, 01 September 2022

Halal Itu Mudah dan Membawa Berkah

Ilustrasi : Halal Itu Mudah dan Membawa Berkah Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah akan mempertemukan kita semua dengan hal yang baik, jika niat awal kita adalah mencari kebaikan. Allah pun akan menuntun kita berkumpul dengan orang yang baik, di tempat yang baik, serta kesempatan yang baik. Dari kisah itu, maka perlu digaris-bawahi ungkapan, “Kita hanya akan dipertemukan dengan apa yang kita cari”.  Di masyarakat sering terdengar ungkapan, alih-alih mencari yang halal untuk mendapatkan rizki yang haram saja susah. Ucapan seperti ini tentu tidak laik dilontarkan oleh orang yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah yang Maha Pemurah, Maha Pemberi Rizki. Sebab, setiap makhluk hidup sudah dijamin jatah rizkinya oleh Allah.  “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Q.S. Huud, 11:6).  Ungkapan tersebut juga jelas menunjukkan sikap dan perilaku yang keliru dan berlebihan. Seperti perbuatan yang mencari-cari masalah. Pernyataan “mencari yang halal itu susah” itu berarti dapat dianggap sama dengan menyatakan, melaksanakan tuntunan agama Allah itu susah. Karena sejatinya, mencari dan mengkonsumsi yang halal itu adalah perintah Allah yang tegas di dalam ayat Al-Quran: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-Baqarah, 2: 168-169).  Allah memerintahkan agar mengkonsumsi yang halal dan thoyyib itu, dengan ayat yang artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik (yang halal), yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah (beribadah)." (Q.S. Al-Baqarah, 2:172).  Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang paling ahli ibadah bukan dilihat dari banyaknya ibadah yang ia kerjakan, tapi dilihat dari paling jauhnya ia dari mengkonsumsi makanan yang haram. Rasulullah Saw pernah menyampaikan nasihat berharga pada Abu Hurairah, “Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi sebaik-baiknya ahli ibadah. Jadilah orang yang qonaah (selalu merasa cukup dengan pemberian Allah), maka engkau akan menjadi orang yang benar-benar bersyukur. Sukailah sesuatu pada manusia sebagaimana engkau suka jika ia ada pada dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi seorang mukmin yang baik. Berbuat baiklah pada tetanggamu, maka engkau akan menjadi muslim sejati. Kurangilah banyak tertawa karena banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah).  Bila kita perhatikan keadaan kaum Salafus Shalih, mereka memiliki bobot ucapan yang berkualitas sehingga menyusup ke dalam sanubari, memendarkan cahaya dan hikmah. Tidak sedikit orang-orang yang ahli maksiat bertaubat kepada Allah dengan berkah ucapan mereka. Sedangkan di masa ini, tidak sedikit orang yang tampak ahli dan fasih berbicara, namun banyak dari isi bicara mereka adalah sumpah serapah, fitnah dan dusta. Salah satu penyebab semua itu karena terlalu mudah memasukkan makanan ke dalam perut, atau menerima hadiah dan uang yang tidak jelas sumbernya, sehingga tidak pula jelas kehalalannya. Dalam hadits Nabi saw disebutkan, ”Setiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram, maka api neraka lebih utama baginya (lebih layak membakarnya).” (H.R. At-Thabrani).  Jika makanan dan minuman yang dikonsumsi halal dari segi dzatnya dan diperoleh dengan cara yang halal pula, maka makanan dan minuman yang masuk ke dalam perut akan menjadi darah dan daging yang melahirkan energi positif serta memudahkan langkah seseorang melakukan amal-amal kebajikan yang mulia. Sebaliknya, jika makanan dan minuman yang masuk ke dalam perut berasal dari barang haram atau diperoleh dengan cara yang dilarang agama, seperti mencuri, korupsi, manipulasi, apalagi menipu dan merampok, maka ia akan menjadi energi negatif yang pada akhirnya menarik seseorang untuk cenderung kepada perbuatan-perbuatan maksiat.    Allah memberikan perintah kepada hamba-hamba-Nya, sesuai dengan kapasitas kemampuan hamba-Nya itu. Tidak mungkin Allah memberikan perintah sebagai beban tugas yang harus ditunaikan, yang melebihi kemampuan hamba-Nya untuk melaksanakan perintah Allah itu. Artinya, secara tegas, semua perintah agama Allah itu pasti bisa dilaksanakan: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (Q.S. Al-Baqarah, 2:286).  Maka perintah Allah kepada kita untuk mencari dan mengkonsumsi yang halal saja, pasti bisa dikerjakan, jika kita benar-benar beriman dan ingin menaati perintah Allah, sebagai manifestasi atau bukti keimanan yang dimiliki.  Lebih lanjut lagi, semua perintah Allah itu tentu mudah untuk diamalkan atau dikerjakan. Tidak sulit. Karena Allah menghendaki kemudahan bagi kita, sebagai hamba-Nya yang beriman. Dia tidak menghendaki kesukaran maupun kesulitan. Kalaupun tetap menyatakan sulit, itu berarti orang tersebut memang enggan atau tidak mau menaati perintah Allah yang pasti akan membawanya kepada keselamatan hakiki dunia sampai akhirat yang abadi nanti. Perhatikanlah isyarat yang dikemukakan dalam ayat: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [Q.S. Al-Baqarah, 2: 185].  Apalagi dalam kehidupan ini, Allah telah menyediakan semua kebutuhan konsumsi kita yang halal dalam jumlah yang sangat banyak. Perhatikanlah makna ayat berikut:  “Dia-lah (Allah) yang telah menjadikan UNTUKMU bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap.” (QS. Al-Baqarah: 29). Juga makna ayat: “Dan Dia telah menundukkan (memudahkan) untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al-Jatsiyah: 13). Dan ayat: “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-nikmat-Nya lahir dan batin (yang nampak maupun yang tidak nampak)." (QS. Luqman: 20).    Ketiga ayat tersebut, dan beberapa ayat lainnya jelas dan tegas menyebutkan bahwa Allah telah menyediakan segala sesuatu di bumi ini untuk manusia. Inilah nash yang bersifat umum tentang kehalalan segala sesuatu, sebagai kaidah asal. Lalu para ulama merumuskan Kaidah Fiqhiyyah yang menyebutkan: “Al-ashlu fi al-asy-ya’i al-ibaahah, illaa maa dalla daliilu ‘alaa tahriimihi” (‬Segala sesuatu itu pada dasarnya adalah halal atau boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Dan bahan konsumsi yang diharamkan itu hanya sedikit. Tertentu saja. “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (Q.S. Al-Baqarah, 2:173).  Dalam ayat yang lain dijelaskan pula: “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al-An’aam, 6:145).    Karena yang halal itu sangat banyak. Bahkan tersedia berlimpah. Sedangkan yang haram amat sedikit. Hanya beberapa jenis yang tertentu saja. Maka dengan pemahaman sederhana, mencari dan mengkonsumsi yang halal itu tentu amat mudah. Kalaupun ada kesulitan yang amat sangat, dan tidak bisa diatasi, misalnya, maka tetap ada jalan keluar. Disebut sebagai kondisi dharurat. Hal ini telah pula dijelaskan dalam ayat yang artinya: “Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al-An’aam, 6:145). Sehingga tidak ada alasan lagi bagi kita yang beriman untuk mencari rizki dan/atau mengkonsumsi bahan makanan maupun minuman yang tidak halal.  Logo Halal MUI  Dengan perkembangan ilmu dan teknologi, banyak bahan konsumsi telah dibuat dengan sistim fabrikasi dalam industri pangan. Menggunakan berbagai bahan dari berbagai sumber yang tidak jelas kehalalannya. Sehingga berakibat boleh jadi tidak semua produk tersebut terjamin kehalalannya untuk dikonsumsi oleh umat Muslim. Namun mencari bahan konsumsi yang halal itu tetap sangat mudah bagi kita. Yakni dengan melihat adanya tanda label atau logo halal dari MUI, sebagai bukti bahwa secara dzatiyah atau material, produk tersebut telah memperoleh Sertifikat Halal. Yakni melalui proses sertifikasi halal dan penetapan fatwa halal, oleh lembaga yang berwenang di negeri kita ini.  Dan untuk mengkonfirmasi validitas Sertifikat Halal dengan logo halal yang dipasang pada kemasan produk itu, bisa dicek di Daftar Produk halal di laman atau situs Halalmui.org. Sedangkan untuk produk restoran, bisa diperiksa dengan melakukan scanning pada QR Code Halal yang dipasang di restoran tersebut. Sehingga tidak ada alasan lagi untuk mengatakan bahwa mencari dan mengkonsumsi yang halal itu merupakan hal yang sulit.  Pelajaran dari Buya Hamka  Kalaupun masih beranggapan mencari yang halal itu sulit, maka perlu diteliti kondisi hati orang yang mengatakan sulit itu. Sebagaimana dikemukakan oleh Buya Hamka. Dalam satu ceramahnya yang terekam luas, Buya Hamka pernah mengemukakan, ketika ditanya oleh seorang laki-laki yang terlihat begitu menggebu-gebu. “Subhanallah Buya, sungguh saya tidak menyangka. Ternyata di Makkah itu ada wanita nakal, Buya. Kok bisa?,” ucapnya.  Dengan tenang dan tidak terbawa emosi, Buya Hamka justru menjawab, “Oh ya? Saya baru saja dari Los Angeles dan New York. Dan Masya Allah, ternyata di sana tidak ada wanita nakal.”  Nampak merasa aneh dan heran, laki-laki itu pun membantah Buya Hamka, “Ah mana mungkin Buya! Di Makkah saja ada kok. Pasti di Amerika jauh lebih banyak lagi.”  Dengan tenang Buya Hamka menjawab. “Kita memang hanya akan dipertemukan dengan apa-apa yang kita cari,” ucap Buya Hamka lagi sembari tersenyum teduh. Jadi meskipun seseorang pergi ke Makkah yang notabene adalah Tanah Suci, namun kalau yang diburu dan dicarinya hanyalah yang buruk, maka setan dari golongan jin maupun manusia niscaya akan menuntunnya ke arah keburukan tersebut; minal-jinnati wan-naas . “yang (selalu) membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin maupun manusia.” (Q.S. An-Naas, 114: 5-6). Sementara jika seseorang mencari kebaikan, meskipun ke Los Angeles dan New York, maka segala kejelekan pun akan tersembunyi dan enggan untuk muncul.  Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim yang baik, hendaknya kita selalu mengedepankan prasangka yang baik, itikad yang baik, dan harapan yang baik sehingga akan selalu dapat memperoleh kebaikan yang diridhoi Tuhan.  Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah akan mempertemukan kita semua dengan hal yang baik, jika niat awal kita adalah mencari kebaikan. Allah pun akan menuntun kita berkumpul dengan orang yang baik, di tempat yang baik, serta kesempatan yang baik.  Dari kisah itu, maka perlu digaris-bawahi ungkapan, “Kita hanya akan dipertemukan dengan apa yang kita cari”
Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah akan mempertemukan kita semua dengan hal yang baik, jika niat awal kita adalah mencari kebaikan. Allah pun akan menuntun kita berkumpul dengan orang yang baik, di tempat yang baik, serta kesempatan yang baik. Dari kisah itu, maka perlu digaris-bawahi ungkapan, “Kita hanya akan dipertemukan dengan apa yang kita cari”.

Di masyarakat sering terdengar ungkapan, alih-alih mencari yang halal untuk mendapatkan rizki yang haram saja susah. Ucapan seperti ini tentu tidak laik dilontarkan oleh orang yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah yang Maha Pemurah, Maha Pemberi Rizki. Sebab, setiap makhluk hidup sudah dijamin jatah rizkinya oleh Allah.

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Q.S. Huud, 11:6).

Ungkapan tersebut juga jelas menunjukkan sikap dan perilaku yang keliru dan berlebihan. Seperti perbuatan yang mencari-cari masalah. Pernyataan “mencari yang halal itu susah” itu berarti dapat dianggap sama dengan menyatakan, melaksanakan tuntunan agama Allah itu susah. Karena sejatinya, mencari dan mengkonsumsi yang halal itu adalah perintah Allah yang tegas di dalam ayat Al-Quran: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-Baqarah, 2: 168-169).

Allah memerintahkan agar mengkonsumsi yang halal dan thoyyib itu, dengan ayat yang artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik (yang halal), yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah (beribadah)." (Q.S. Al-Baqarah, 2:172).

Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang paling ahli ibadah bukan dilihat dari banyaknya ibadah yang ia kerjakan, tapi dilihat dari paling jauhnya ia dari mengkonsumsi makanan yang haram. Rasulullah Saw pernah menyampaikan nasihat berharga pada Abu Hurairah, “Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi sebaik-baiknya ahli ibadah. Jadilah orang yang qonaah (selalu merasa cukup dengan pemberian Allah), maka engkau akan menjadi orang yang benar-benar bersyukur. Sukailah sesuatu pada manusia sebagaimana engkau suka jika ia ada pada dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi seorang mukmin yang baik. Berbuat baiklah pada tetanggamu, maka engkau akan menjadi muslim sejati. Kurangilah banyak tertawa karena banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah).

Bila kita perhatikan keadaan kaum Salafus Shalih, mereka memiliki bobot ucapan yang berkualitas sehingga menyusup ke dalam sanubari, memendarkan cahaya dan hikmah. Tidak sedikit orang-orang yang ahli maksiat bertaubat kepada Allah dengan berkah ucapan mereka. Sedangkan di masa ini, tidak sedikit orang yang tampak ahli dan fasih berbicara, namun banyak dari isi bicara mereka adalah sumpah serapah, fitnah dan dusta. Salah satu penyebab semua itu karena terlalu mudah memasukkan makanan ke dalam perut, atau menerima hadiah dan uang yang tidak jelas sumbernya, sehingga tidak pula jelas kehalalannya. Dalam hadits Nabi saw disebutkan, ”Setiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram, maka api neraka lebih utama baginya (lebih layak membakarnya).” (H.R. At-Thabrani).

Jika makanan dan minuman yang dikonsumsi halal dari segi dzatnya dan diperoleh dengan cara yang halal pula, maka makanan dan minuman yang masuk ke dalam perut akan menjadi darah dan daging yang melahirkan energi positif serta memudahkan langkah seseorang melakukan amal-amal kebajikan yang mulia. Sebaliknya, jika makanan dan minuman yang masuk ke dalam perut berasal dari barang haram atau diperoleh dengan cara yang dilarang agama, seperti mencuri, korupsi, manipulasi, apalagi menipu dan merampok, maka ia akan menjadi energi negatif yang pada akhirnya menarik seseorang untuk cenderung kepada perbuatan-perbuatan maksiat.


Allah memberikan perintah kepada hamba-hamba-Nya, sesuai dengan kapasitas kemampuan hamba-Nya itu. Tidak mungkin Allah memberikan perintah sebagai beban tugas yang harus ditunaikan, yang melebihi kemampuan hamba-Nya untuk melaksanakan perintah Allah itu. Artinya, secara tegas, semua perintah agama Allah itu pasti bisa dilaksanakan: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (Q.S. Al-Baqarah, 2:286).

Maka perintah Allah kepada kita untuk mencari dan mengkonsumsi yang halal saja, pasti bisa dikerjakan, jika kita benar-benar beriman dan ingin menaati perintah Allah, sebagai manifestasi atau bukti keimanan yang dimiliki.

Lebih lanjut lagi, semua perintah Allah itu tentu mudah untuk diamalkan atau dikerjakan. Tidak sulit. Karena Allah menghendaki kemudahan bagi kita, sebagai hamba-Nya yang beriman. Dia tidak menghendaki kesukaran maupun kesulitan. Kalaupun tetap menyatakan sulit, itu berarti orang tersebut memang enggan atau tidak mau menaati perintah Allah yang pasti akan membawanya kepada keselamatan hakiki dunia sampai akhirat yang abadi nanti. Perhatikanlah isyarat yang dikemukakan dalam ayat: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [Q.S. Al-Baqarah, 2: 185].

Apalagi dalam kehidupan ini, Allah telah menyediakan semua kebutuhan konsumsi kita yang halal dalam jumlah yang sangat banyak. Perhatikanlah makna ayat berikut:

Dia-lah (Allah) yang telah menjadikan UNTUKMU bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap.” (QS. Al-Baqarah: 29). Juga makna ayat: “Dan Dia telah menundukkan (memudahkan) untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al-Jatsiyah: 13). Dan ayat: “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-nikmat-Nya lahir dan batin (yang nampak maupun yang tidak nampak)." (QS. Luqman: 20).


Ketiga ayat tersebut, dan beberapa ayat lainnya jelas dan tegas menyebutkan bahwa Allah telah menyediakan segala sesuatu di bumi ini untuk manusia. Inilah nash yang bersifat umum tentang kehalalan segala sesuatu, sebagai kaidah asal. Lalu para ulama merumuskan Kaidah Fiqhiyyah yang menyebutkan: “Al-ashlu fi al-asy-ya’i al-ibaahah, illaa maa dalla daliilu ‘alaa tahriimihi” (‬Segala sesuatu itu pada dasarnya adalah halal atau boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Dan bahan konsumsi yang diharamkan itu hanya sedikit. Tertentu saja. “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (Q.S. Al-Baqarah, 2:173).

Dalam ayat yang lain dijelaskan pula: “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al-An’aam, 6:145).


Karena yang halal itu sangat banyak. Bahkan tersedia berlimpah. Sedangkan yang haram amat sedikit. Hanya beberapa jenis yang tertentu saja. Maka dengan pemahaman sederhana, mencari dan mengkonsumsi yang halal itu tentu amat mudah. Kalaupun ada kesulitan yang amat sangat, dan tidak bisa diatasi, misalnya, maka tetap ada jalan keluar. Disebut sebagai kondisi dharurat. Hal ini telah pula dijelaskan dalam ayat yang artinya: “Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al-An’aam, 6:145). Sehingga tidak ada alasan lagi bagi kita yang beriman untuk mencari rizki dan/atau mengkonsumsi bahan makanan maupun minuman yang tidak halal.

Logo Halal MUI

Dengan perkembangan ilmu dan teknologi, banyak bahan konsumsi telah dibuat dengan sistim fabrikasi dalam industri pangan. Menggunakan berbagai bahan dari berbagai sumber yang tidak jelas kehalalannya. Sehingga berakibat boleh jadi tidak semua produk tersebut terjamin kehalalannya untuk dikonsumsi oleh umat Muslim. Namun mencari bahan konsumsi yang halal itu tetap sangat mudah bagi kita. Yakni dengan melihat adanya tanda label atau logo halal dari MUI, sebagai bukti bahwa secara dzatiyah atau material, produk tersebut telah memperoleh Sertifikat Halal. Yakni melalui proses sertifikasi halal dan penetapan fatwa halal, oleh lembaga yang berwenang di negeri kita ini.

Dan untuk mengkonfirmasi validitas Sertifikat Halal dengan logo halal yang dipasang pada kemasan produk itu, bisa dicek di Daftar Produk halal di laman atau situs Halalmui.org. Sedangkan untuk produk restoran, bisa diperiksa dengan melakukan scanning pada QR Code Halal yang dipasang di restoran tersebut. Sehingga tidak ada alasan lagi untuk mengatakan bahwa mencari dan mengkonsumsi yang halal itu merupakan hal yang sulit.

Pelajaran dari Buya Hamka

Kalaupun masih beranggapan mencari yang halal itu sulit, maka perlu diteliti kondisi hati orang yang mengatakan sulit itu. Sebagaimana dikemukakan oleh Buya Hamka. Dalam satu ceramahnya yang terekam luas, Buya Hamka pernah mengemukakan, ketika ditanya oleh seorang laki-laki yang terlihat begitu menggebu-gebu. “Subhanallah Buya, sungguh saya tidak menyangka. Ternyata di Makkah itu ada wanita nakal, Buya. Kok bisa?,” ucapnya.

Dengan tenang dan tidak terbawa emosi, Buya Hamka justru menjawab, “Oh ya? Saya baru saja dari Los Angeles dan New York. Dan Masya Allah, ternyata di sana tidak ada wanita nakal.”

Nampak merasa aneh dan heran, laki-laki itu pun membantah Buya Hamka, “Ah mana mungkin Buya! Di Makkah saja ada kok. Pasti di Amerika jauh lebih banyak lagi.”

Dengan tenang Buya Hamka menjawab. “Kita memang hanya akan dipertemukan dengan apa-apa yang kita cari,” ucap Buya Hamka lagi sembari tersenyum teduh. Jadi meskipun seseorang pergi ke Makkah yang notabene adalah Tanah Suci, namun kalau yang diburu dan dicarinya hanyalah yang buruk, maka setan dari golongan jin maupun manusia niscaya akan menuntunnya ke arah keburukan tersebut; minal-jinnati wan-naas . “yang (selalu) membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin maupun manusia.” (Q.S. An-Naas, 114: 5-6). Sementara jika seseorang mencari kebaikan, meskipun ke Los Angeles dan New York, maka segala kejelekan pun akan tersembunyi dan enggan untuk muncul.

Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim yang baik, hendaknya kita selalu mengedepankan prasangka yang baik, itikad yang baik, dan harapan yang baik sehingga akan selalu dapat memperoleh kebaikan yang diridhoi Tuhan.

Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah akan mempertemukan kita semua dengan hal yang baik, jika niat awal kita adalah mencari kebaikan. Allah pun akan menuntun kita berkumpul dengan orang yang baik, di tempat yang baik, serta kesempatan yang baik.

Dari kisah itu, maka perlu digaris-bawahi ungkapan, “Kita hanya akan dipertemukan dengan apa yang kita cari”


Referensi :  Halal Itu Mudah dan Membawa Berkah



Kisah Abu Bakar Makan Makanan Haram

Ilustrasi : Kisah Abu Bakar Makan Makanan Haram Kisah Abu Bakar Makan Makanan Haram. Sahabat Rasulullah, Abu Bakar ash-Shidiq, merupakan pria yang sangat menjaga kehalalan dalam hidupnya. Beliau sangat menghindari minuman dan makanan haram.  Ia tak akan pernah mau memakai pakaian yang diperoleh secara haram. Ia juga tidak mau menyimpan harta benda terkecuali diperoleh dengan jalan halal sehingga Allah pun meridhainya. Oleh karena itu ia sangat menghindari makanan haram.  Dikutip dari buku The Miracle of Yatim yang ditulis Abdul Hakim El Hamidy. Sudah menjadi kebiasaan sehari-hari, Abu Bakar menanyakan apa-apa yang dihidangkan oleh pelayannya.  Namun pada suatu hari Abu Bakar menyantap sejumlah hidangan yang telah diberikan oleh pelayannya tanpa menanyakan apa-apa terlebih dahulu. Pelayan Abu Bakar pun merasa heran karena untuk pertama kalinya, tuannya tidak menanyakan dulu soal makanan dan minuman yang telah disiapkannya.  Lalu pelayan itu pun bertanya, "Wahai tuanku, setiap hari engkau menanyakan makanan yang aku hidangkan, tetapi mengapa hari ini engkau tidak menanyakannya?"  Kemudian Abu Bakar pun langsung menghentikan mengunyah makanan yang tengah disantapnya, dan bertanya, "Aku telah dicekam rasa lapar, jadi dari mana engkau memeroleh makanan ini?"  Pelayan menjawab, "Aku bersikap seperti dukun dan meramalkan masa depan kepada seseorang di masyarakat yang masih bodoh. Kemudian sebagai gantinya ia memberikan makanan ini kepadaku."  Abu Bakar pun terkejut dan langsung memasukkan jari-jarinya ke dalam mulutnya supaya bisa memuntahkan makanan yang sudah terlanjur masuk ke dalam perutnya itu.  "Hampir saja engkau membinasakanku wahai pelayan!" katanya dengan nada marah. "Ya Allah, ampunilah aku atas keringat yang bercampur darah yang telah aku minum," lanjutnya.  Sayangnya, Abu Bakar tidak bisa lagi mengeluarkan semua makanan dan minuman yang sudah masuk ke dalam perutnya. Dia pun bertanya, apakah semua yang dilakukan pelayannya ini semata-mata untuk mendapatkan makanan?  Abu Bakar pun mengatakan, jika dia pernah mendengar Rasulullah bersabda, "Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka tempat terbaiknya."  Selain itu Allah pun berfirman: "Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. At Tahrim 6:66).  Dari penjelasan di atas menerangkan, jika sesuatu yang haram dan masuk ke dalam tubuh, maka tidak akan diridhai Allah sehingga hidup pun tidak akan berkah karena adanya dosa yang menyelimuti.  Khususnya dalam menjaga perut. Rasulullah pun selalu selektif terhadap makanan yang akan disantapnya, tidak akan makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.    Referensi : Kisah Abu Bakar Makan Makanan Haram

Kisah Abu Bakar Makan Makanan Haram. Sahabat Rasulullah, Abu Bakar ash-Shidiq, merupakan pria yang sangat menjaga kehalalan dalam hidupnya. Beliau sangat menghindari minuman dan makanan haram.

Ia tak akan pernah mau memakai pakaian yang diperoleh secara haram. Ia juga tidak mau menyimpan harta benda terkecuali diperoleh dengan jalan halal sehingga Allah pun meridhainya. Oleh karena itu ia sangat menghindari makanan haram.

Dikutip dari buku The Miracle of Yatim yang ditulis Abdul Hakim El Hamidy. Sudah menjadi kebiasaan sehari-hari, Abu Bakar menanyakan apa-apa yang dihidangkan oleh pelayannya.

Namun pada suatu hari Abu Bakar menyantap sejumlah hidangan yang telah diberikan oleh pelayannya tanpa menanyakan apa-apa terlebih dahulu. Pelayan Abu Bakar pun merasa heran karena untuk pertama kalinya, tuannya tidak menanyakan dulu soal makanan dan minuman yang telah disiapkannya.

Lalu pelayan itu pun bertanya, "Wahai tuanku, setiap hari engkau menanyakan makanan yang aku hidangkan, tetapi mengapa hari ini engkau tidak menanyakannya?"

Kemudian Abu Bakar pun langsung menghentikan mengunyah makanan yang tengah disantapnya, dan bertanya, "Aku telah dicekam rasa lapar, jadi dari mana engkau memeroleh makanan ini?"

Pelayan menjawab, "Aku bersikap seperti dukun dan meramalkan masa depan kepada seseorang di masyarakat yang masih bodoh. Kemudian sebagai gantinya ia memberikan makanan ini kepadaku."

Abu Bakar pun terkejut dan langsung memasukkan jari-jarinya ke dalam mulutnya supaya bisa memuntahkan makanan yang sudah terlanjur masuk ke dalam perutnya itu.

"Hampir saja engkau membinasakanku wahai pelayan!" katanya dengan nada marah. "Ya Allah, ampunilah aku atas keringat yang bercampur darah yang telah aku minum," lanjutnya.

Sayangnya, Abu Bakar tidak bisa lagi mengeluarkan semua makanan dan minuman yang sudah masuk ke dalam perutnya. Dia pun bertanya, apakah semua yang dilakukan pelayannya ini semata-mata untuk mendapatkan makanan?

Abu Bakar pun mengatakan, jika dia pernah mendengar Rasulullah bersabda, "Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka tempat terbaiknya."

Selain itu Allah pun berfirman: "Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. At Tahrim 6:66).

Dari penjelasan di atas menerangkan, jika sesuatu yang haram dan masuk ke dalam tubuh, maka tidak akan diridhai Allah sehingga hidup pun tidak akan berkah karena adanya dosa yang menyelimuti.

Khususnya dalam menjaga perut. Rasulullah pun selalu selektif terhadap makanan yang akan disantapnya, tidak akan makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.


Referensi : Kisah Abu Bakar Makan Makanan Haram


Hukum Pinjam Uang di Bank? (Begini Penjelasan Ustaz Adi Hidayat)

Hukum Pinjam Uang di Bank? (Begini Penjelasan Ustaz Adi Hidayat) Hukum Pinjam Uang di Bank? (Begini Penjelasan Ustaz Adi Hidayat). Banyak orang yang masih penasaran, bagaimana hukum pinjam uang di bank menurut Islam, apakah haram atau tidak? Ustaz Adi Hidayat menjelaskan kebenaran mengenai hukum meminjam uang di bank yang katanya haram. Meminjam uang di bank memang mengundang kekhawatiran bagi sebagian besar orang, karena bank dipercaya sebagai tempat riba. Hal ini dikarenakan kebanyakan bank menerapkan sistem bunga yang disinyalir sebagai bentuk riba.  Namun, benarkah anggapan yang menyatakan bahwa meminjam uang bank adalah riba dan hukumnya haram? Ustadz Adi Hidayat membantah bahwa pinjam uang ke bank hukumnya dosa."Sebetulnya gini, pinjam uang ke bank itu gak dosa," kata Ustaz Adi Hidayat "Kalau Bank mengajarkan kegunaan yang benar," lanjutnya. "Tapi, kalau ketentuan di Bank mengarahkan ke dosa baru jadi dosa," kata dia.  Ustadz Adi Hidayat mencontohkan pinjaman yang sesuai syariat islam pada sebuah Bank Syariah. "Misalnya, ada Bank Syariah dengan ketentuan syariah. (Karena) Pinjam-meminjam itu diatur, utang-piutang itu ada, ada aturannya”. Ustadz Adi Hidayat juga mengisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat juga pernah berhutang atau meminjam uang. Namun, hal itu tidak menimbulkan dosa karena sesuai dengan aturan dalam islam. "Nabi Muhammad SAW pernah meminjam uang dan dikembalikan dalam pinjaman. Sahabat lain juga pernah meminjam, dikembalikan dalam pinjaman," kata Ustadz Adi Hidayat.  Untuk itu, Ustadz Adi Hidayat menyarankan agar kita berusaha tidak berhutang selama tidak membutuhkannya. Jadi, meminjam itu kalau memang dibutuhkan. Kalau tidak jangan buka pintu hutang," kata Ustadz Adi Hidayat. "Jangan membuka pintu hutang kalau tidak bisa melunasinya," jelasnya. Ustadz Adi Hidayat juga menyarankan lebih baik hidup sederhana menggunakan uang sendiri daripada membuka pintu hutang yang belum tentu mampu dilunasi. "Tapi, berhutang juga bukanlah aib. Memang ada aturannya kalau kita bisa melunasinya" tegasnya.  "Yang salah adalah membuka pintu hutang pada cara yang salah. Bunga, bunga, bunga. Dan bunganya berganda lagi. Itu yang paling bahaya," ungkap Ustadz Adi Hidayat. Namun, jika sudah terlanjur melakukannya maka Ustadz Adi Hidayat menyarankan untuk berdoa meminta pada Allah SWT agar bisa melunasi hutang tersebut dan keluar dari riba. Lalu, setelahnya berusaha untuk menghindari pinjaman atau hutang di Bank yang mengandung bunga atau riba.  Referensi : Hukum Pinjam Uang di Bank? (Begini Penjelasan Ustaz Adi Hidayat)
Hukum Pinjam Uang di Bank? (Begini Penjelasan Ustaz Adi Hidayat). Banyak orang yang masih penasaran, bagaimana hukum pinjam uang di bank menurut Islam, apakah haram atau tidak? Ustaz Adi Hidayat menjelaskan kebenaran mengenai hukum meminjam uang di bank yang katanya haram. Meminjam uang di bank memang mengundang kekhawatiran bagi sebagian besar orang, karena bank dipercaya sebagai tempat riba. Hal ini dikarenakan kebanyakan bank menerapkan sistem bunga yang disinyalir sebagai bentuk riba.

Namun, benarkah anggapan yang menyatakan bahwa meminjam uang bank adalah riba dan hukumnya haram? Ustadz Adi Hidayat membantah bahwa pinjam uang ke bank hukumnya dosa."Sebetulnya gini, pinjam uang ke bank itu gak dosa," kata Ustaz Adi Hidayat "Kalau Bank mengajarkan kegunaan yang benar," lanjutnya. "Tapi, kalau ketentuan di Bank mengarahkan ke dosa baru jadi dosa," kata dia.

Ustadz Adi Hidayat mencontohkan pinjaman yang sesuai syariat islam pada sebuah Bank Syariah. "Misalnya, ada Bank Syariah dengan ketentuan syariah. (Karena) Pinjam-meminjam itu diatur, utang-piutang itu ada, ada aturannya”. Ustadz Adi Hidayat juga mengisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat juga pernah berhutang atau meminjam uang. Namun, hal itu tidak menimbulkan dosa karena sesuai dengan aturan dalam islam. "Nabi Muhammad SAW pernah meminjam uang dan dikembalikan dalam pinjaman. Sahabat lain juga pernah meminjam, dikembalikan dalam pinjaman," kata Ustadz Adi Hidayat.

Untuk itu, Ustadz Adi Hidayat menyarankan agar kita berusaha tidak berhutang selama tidak membutuhkannya. Jadi, meminjam itu kalau memang dibutuhkan. Kalau tidak jangan buka pintu hutang," kata Ustadz Adi Hidayat. "Jangan membuka pintu hutang kalau tidak bisa melunasinya," jelasnya. Ustadz Adi Hidayat juga menyarankan lebih baik hidup sederhana menggunakan uang sendiri daripada membuka pintu hutang yang belum tentu mampu dilunasi. "Tapi, berhutang juga bukanlah aib. Memang ada aturannya kalau kita bisa melunasinya" tegasnya.

"Yang salah adalah membuka pintu hutang pada cara yang salah. Bunga, bunga, bunga. Dan bunganya berganda lagi. Itu yang paling bahaya," ungkap Ustadz Adi Hidayat. Namun, jika sudah terlanjur melakukannya maka Ustadz Adi Hidayat menyarankan untuk berdoa meminta pada Allah SWT agar bisa melunasi hutang tersebut dan keluar dari riba. Lalu, setelahnya berusaha untuk menghindari pinjaman atau hutang di Bank yang mengandung bunga atau riba.

Referensi : Hukum Pinjam Uang di Bank? (Begini Penjelasan Ustaz Adi Hidayat)



Hukum Mengemis dan Meminta Sumbangan

Hukum Mengemis dan Meminta Sumbangan Hukum Mengemis dan Meminta Sumbangan. Profesi mengemis bagi sebagian orang, lebih diminati daripada profesi-profesi lainnya, karena cukup hanya dengan mengulurkan tangan sambil keliling masyarakat, dia bisa mendapatkan sejumlah uang yang cukup banyak tanpa harus bersusah payah.  Melihata fenomena ‘ngemis’ pada umumnya, kebanyakan masyarakat memandang bahwa pengemis itu identik dengan orang yang berpenampilan tidak rapi, rambutnya tidak terawat, wajahnya kusam, pakaiannya serba kumal atau robek-robek, yang dengannya dapat dijadikan sarana untuk mengungkapkan ‘kesengsaraan hidupnya’, serta menarik rasa belas kasihan masyarakat kepada dirinya.  Sebut saja, ‘model’ pengemis di atas adalah gaya pengemis konvensional. Di zaman beredarnya iPhone saat ini, pengemis tidak lagi berpenampilan kuno seperti itu. Pengemis telah berubah model dan penampilan, dengan target penghasilan yang lebih besar. Mereka berpakaian rapi, memakai jas berdasi dan sepatu, bahkan kendaraannya pun lumayan bagus. Ada yang menjalankannya sendirian dan ada pula yang berupa team pencari dana. Yang lebih mengherankan, sebagian orang bersemangat mencari sumbangan atau bantuan dana demi memperkaya diri dan keluarganya dengan cara membuat proposal-proposal untuk kegiatan tertentu, baik nyata atau fiktif. Setelah memperoleh dana, mereka tidak menyalurkan sebagaimana mestinya, tetapi justru digunakan untuk kepentingannya sendiri. Apapun itu, mereka semua statusnya sama, pengemis.  PENGERTIAN MENGEMIS (MEMINTA-MINTA)  Mengemis atau meminta-minta dalam bahasa Arab disebut dengan “tasawwul ”. Di dalam Al- Mu’jam Al-Wasith disebutkan: “Tasawwala  (bentuk fi’il madhy  dari  tasawwul)  artinya  meminta-minta  atau  meminta pemberian ”(Lihat Al-Mu’jamul Wasith I/465).  Sebagian ulama mendefinisikan tasawwul (mengemis) dengan upaya  meminta harta orang lain bukan  untuk  kemaslahatan  agama  melainkan  untuk  kepentingan  pribadi.  Al-Hafizh  Ibnu Hajar  Rahimahullah mengatakan:  “Perkataan  Al-Bukhari (Bab Menjaga Diri dari Meminta-minta) maksudnya adalah  meminta-minta sesuatu, selain untuk kemaslahatan agama ”. (Lihat Fathul Bari III/336).  Berdasarkan definisi di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa batasan  tasawwul atau “mengemis”  adalah  meminta  untuk  kepentingan  diri sendiri bukan  untuk  kemaslahatan agama atau kepentingan kaum muslimin.  HUKUM MENGEMIS DAN MEMINTA SUMBANGAN DALAM PANDANGAN ISLAM  Meminta-minta sumbangan atau mengemis pada dasarnya tidak disyari’atkan dalam agama Islam. Bahkan jika melakukannya dengan cara menipu atau berdusta kepada seseorang atau lembaga tertentu yang dimintai sumbangan, semacam dengan menampakkan dirinya seakan-akan orang yang sedang kesulitan atau membutuhkan biaya maka hukumnya haram dan termasuk dosa besar.  Di antara dalil-dalil syari yang menunjukkan haramnya mengemis dan meminta-minta sumbangan, dan bahkan ini termasuk dosa besar adalah sebagai berikut:  Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ  “Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya“. (Shohih. HR. Bukhari no. 1474, dan Muslim no. 1040 ).  Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallah ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ  “Barangsiapa meminta-minta kepada manusia harta mereka untuk memperbanyak hartanya, maka sesungguhnya dia hanyalah  sedang  meminta  bara  api. Maka  silahkan  dia  kurangi ataukah dia perbanyak ”. (Shohih. HR. Muslim II/720 no.1041, Ibnu Majah I/589 no. 1838, dan Ahmad II/231 no.7163).  Diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ  “Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api“. (HR. Ahmad IV/165 no.17543, Ibnu Khuzaimah IV/100 no.2446, dan Thabrani IV/15 no.3506).  Demikianlah beberapa dalil dari hadits-hadits Nabi yang mengharamkan mengemis atau meminta-minta sumbangan untuk kepentinagn pribadi atau keluarga.  MENGEMIS YANG DIBOLEHKAN  Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa ada beberapa keadaan yang membolehkan seseorang untuk mengemis atau meminta-minta sumbangan. Di antara keadaan-keadaan tersebut ialah sebagaimana berikut:  Ketika seseorang menanggung beban diyat (denda) atau pelunasan hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai dia mampu melunasinya. Setelah lunas, dia wajib untuk meninggalkan mengemis. Ketika seseorang ditimpa musibah yang menghabiskan seluruh hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. Ketika seseorang tertimpa kefakiran yang sangat berat, sehingga disaksikan oleh 3 orang berakal, pemuka masyarakatnya bahwa dia tertimpa kefakiran, maka  halal  baginya  meminta-minta  sampai  dia  mendapatkan kecukupan bagi kehidupannya. Pada tiga keadaan ini, seseorang diperbolehkan untuk meminta-minta sumbangan atau mengemis. Dalil kesimpulan ini adalah hadis yang diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq Al-Hilali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  “Wahai Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: Seseorang yang menanggung beban (hutang orang lain, diyat/denda), ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti. Dan seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. Dan seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”. (Shohîh. HR Muslim II/722 no.1044), Abu Dâwud I/515 no.1640, Ahmad III/477 no.15957, V/60 no.20620, dan an-Nasâ`i V/89 no.2580).  Ketika seseorang meminta sumbangan untuk kepentingan kaum muslimin, bukan kepentingan pribadinya. Mengemis untuk tujuan dakwah, termasuk tasawwul (mengemis dan meminta-minta sumbangan) yang diperbolehkan dalam Islam meskipun dia orang kaya. Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya sumbangan untuk kepentingan agama dan kemaslahatan kaum muslimin adalah pesan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada para pemimpin perang ketika sebelum berangkat. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:  فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ  “ Jika mereka (orang-orang  kafir  yang  diperangi,  pent)  tidak  mau  masuk  Islam  maka mintalah Al-Jizyah dari mereka! Jika mereka memberikannya maka terimalah dan tahanlah dari (memerangi, pen)  mereka! Jika  mereka  tidak  mau  menyerahkan  Al-Jizyah  maka mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka!”. (Shohih. HR. Muslim III/1356 no.1731, Abu Dawud II/43 no.2612, Ahmad V/358 no.23080).  Berdasarkan hadis di atas, meminta Al-Jizyah dari orang-orang  kafir tidak  termasuk  tasawwul  (mengemis atau meminta-minta yang dilarang) karena  Al-Jizyah  bukan  untuk  kepentingan pribadi tetapi untuk kaum muslimin.  Termasuk  dalam  pengertian  meminta  bantuan  untuk  kepentingan  kaum  muslimin adalah hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam juga pernah meminta bantuan seorang tukang kayu untuk membuatkan mimbar untuk beliau. Sahl bin Sa’d As-Sa’idi Radhiyallaahu ‘anhu berkata:  بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى امْرَأَةٍ أَنْ مُرِى غُلاَمَكِ النَّجَّارَ يَعْمَلْ لِى أَعْوَادًا أَجْلِسُ عَلَيْهِنَّ  “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus kepada seorang wanita: “Perintahkan anakmu yang tukang kayu itu untuk membuatkan untukku sebuah mimbar sehingga aku bisa duduk di atasnya!”. (Shohih. HR. Al-Bukhari: 429, An-Nasa’i 731 dan Ahmad 21801).  Al-Imam Al-Bukhari  Rahimahullah menyatakan: “Bab:Meminta bantuan kepada tukang kayu dan ahli pertukangan lainnya untuk membuat kayu-kayu mimbar dan masjid”. (Shahihul Bukhari: I/172).  Al-Imam Ibnu Baththal  Rahimahullah memberikan penjelasan: “Di dalam hadits ini terdapat pelajaran tentang  bolehnya  meminta  bantuan  kepada  tukang kayu dan orang yang kaya untuk segala hal yang manfaatnya bisa dirasakan kaum muslimin. Dan orang-orang yang segera tanggap untuk melakukannya, dihaturkan banyak terima kasih.” (Lihat Syarh Ibnu Baththal lil Bukhari II/100).  Sehingga dengan demikian,  kita  boleh  mengatakan: “Bantulah aku membangun masjid ini atau madrasah ini dan sebagainya!”  atau  meminta  sumbangan  kepada  kaum  muslimin  yang mampu untuk membangun masjid, madrasah dan sebagainya. (bagian ini dibuang, tdk penting)  Komite Tetap untuk Urusan Fatwa dan Riset Ilmiyyah Saudi Arabia pernah ditanya:  Tanya : “Bolehkah meminta bantuan dari seorang muslim untuk membangun masjid atau madrasah, apa dalilnya?”  Jawab : “ Perkara tersebut diperbolehkan, karena termasuk dalam tolong -menolong dalam kebaikan  dan  taqwa. Allah Subhaanahu wa ta’ala  berfirman:“ Dan tolong-menolonglah  kalian  dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran ” (QS. Al-Maidah: 2)  Wabillahit taufiq wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi washahbihi wasallam.  Al-Lajnah Ad- Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’:  Abdul Aziz bin Baaz (ketua), Abdur Razzaq Afifi (wk ketua), Abdullah Ghudayyan (anggota) Abdullah Qu’ud (anggota). (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Al- Majmu’atul Ula nomor: 6192 (6/242)).  Dalil hadis menegaskan, mengemis hukumnya haram. Akan tetapi, ada beberapa keadaan di mana seseorang boleh mengemis. Di sisi lain, ada kesalah-pahaman yang beredar di masyarakat dalam memahami siapakah ‘pengemis’. Sejalan dengan berjalannya waktu, saat ini ‘pengemis’ hadir dengan penampilan baru. Apapun itu, hukumnya tetap haram.  Pull Quote:  Satu: Barangsiapa meminta-minta kepada manusia harta mereka untuk memperbanyak hartanya, maka sesungguhnya dia hanyalah  sedang  meminta  bara  api. Maka  silahkan  dia  kurangi ataukah dia perbanyak  Kedua:  Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya.  Resume:  Islam mengajarkan kepada umatnnya agar menjadi umat yang bermartabat. Diantaranya adalah dengan melerang mereka untuk mengemis. Mengemis adalah upaya meminta harta orang lain untuk  kepentingan  pribadi, baik dilakukan dengan gaya ‘terhormat’ maupun dengan penampilan ‘melarat’. Hukum asal mengemis adalah haram. Diantara ancaman untuk orang yang suka mengemis adalah: Di bangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan wajahnya tidak berdaging. Disamakan dengan meminta bara api neraka Disamakan dengan orang yang makan bara api. Empat keadaan dibolehkan mengemis: Untuk membayar diyat (denda) atau melunasi utang Ketika ditimpa musibah yang menghabiskan seluruh hartanya Sangat fakir, sehingga ada 3 orang baik yang menegaskan bahwa dia orang fakir Mengajukan permohonan sumbangan untuk kepentingan dakwah islam dan kemaslahatan kaum muslimin.. Hukum Mengemis dan Meminta Sumbangan
Hukum Mengemis dan Meminta Sumbangan. Profesi mengemis bagi sebagian orang, lebih diminati daripada profesi-profesi lainnya, karena cukup hanya dengan mengulurkan tangan sambil keliling masyarakat, dia bisa mendapatkan sejumlah uang yang cukup banyak tanpa harus bersusah payah.

Melihata fenomena ‘ngemis’ pada umumnya, kebanyakan masyarakat memandang bahwa pengemis itu identik dengan orang yang berpenampilan tidak rapi, rambutnya tidak terawat, wajahnya kusam, pakaiannya serba kumal atau robek-robek, yang dengannya dapat dijadikan sarana untuk mengungkapkan ‘kesengsaraan hidupnya’, serta menarik rasa belas kasihan masyarakat kepada dirinya.

Sebut saja, ‘model’ pengemis di atas adalah gaya pengemis konvensional. Di zaman beredarnya iPhone saat ini, pengemis tidak lagi berpenampilan kuno seperti itu. Pengemis telah berubah model dan penampilan, dengan target penghasilan yang lebih besar. Mereka berpakaian rapi, memakai jas berdasi dan sepatu, bahkan kendaraannya pun lumayan bagus. Ada yang menjalankannya sendirian dan ada pula yang berupa team pencari dana. Yang lebih mengherankan, sebagian orang bersemangat mencari sumbangan atau bantuan dana demi memperkaya diri dan keluarganya dengan cara membuat proposal-proposal untuk kegiatan tertentu, baik nyata atau fiktif. Setelah memperoleh dana, mereka tidak menyalurkan sebagaimana mestinya, tetapi justru digunakan untuk kepentingannya sendiri. Apapun itu, mereka semua statusnya sama, pengemis.

PENGERTIAN MENGEMIS (MEMINTA-MINTA)

Mengemis atau meminta-minta dalam bahasa Arab disebut dengan “tasawwul ”. Di dalam Al- Mu’jam Al-Wasith disebutkan: “Tasawwala  (bentuk fi’il madhy  dari  tasawwul)  artinya  meminta-minta  atau  meminta pemberian ”(Lihat Al-Mu’jamul Wasith I/465).

Sebagian ulama mendefinisikan tasawwul (mengemis) dengan upaya  meminta harta orang lain bukan  untuk  kemaslahatan  agama  melainkan  untuk  kepentingan  pribadi.

Al-Hafizh  Ibnu Hajar  Rahimahullah mengatakan:  “Perkataan  Al-Bukhari (Bab Menjaga Diri dari Meminta-minta) maksudnya adalah  meminta-minta sesuatu, selain untuk kemaslahatan agama ”. (Lihat Fathul Bari III/336).

Berdasarkan definisi di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa batasan  tasawwul atau “mengemis”  adalah  meminta  untuk  kepentingan  diri sendiri bukan  untuk  kemaslahatan agama atau kepentingan kaum muslimin.

HUKUM MENGEMIS DAN MEMINTA SUMBANGAN DALAM PANDANGAN ISLAM

Meminta-minta sumbangan atau mengemis pada dasarnya tidak disyari’atkan dalam agama Islam. Bahkan jika melakukannya dengan cara menipu atau berdusta kepada seseorang atau lembaga tertentu yang dimintai sumbangan, semacam dengan menampakkan dirinya seakan-akan orang yang sedang kesulitan atau membutuhkan biaya maka hukumnya haram dan termasuk dosa besar.

Di antara dalil-dalil syari yang menunjukkan haramnya mengemis dan meminta-minta sumbangan, dan bahkan ini termasuk dosa besar adalah sebagai berikut:

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya“. (Shohih. HR. Bukhari no. 1474, dan Muslim no. 1040 ).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallah ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ

Barangsiapa meminta-minta kepada manusia harta mereka untuk memperbanyak hartanya, maka sesungguhnya dia hanyalah  sedang  meminta  bara  api. Maka  silahkan  dia  kurangi ataukah dia perbanyak ”. (Shohih. HR. Muslim II/720 no.1041, Ibnu Majah I/589 no. 1838, dan Ahmad II/231 no.7163).

Diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ

Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api“. (HR. Ahmad IV/165 no.17543, Ibnu Khuzaimah IV/100 no.2446, dan Thabrani IV/15 no.3506).

Demikianlah beberapa dalil dari hadits-hadits Nabi yang mengharamkan mengemis atau meminta-minta sumbangan untuk kepentinagn pribadi atau keluarga.

MENGEMIS YANG DIBOLEHKAN

Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa ada beberapa keadaan yang membolehkan seseorang untuk mengemis atau meminta-minta sumbangan. Di antara keadaan-keadaan tersebut ialah sebagaimana berikut:

  • Ketika seseorang menanggung beban diyat (denda) atau pelunasan hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai dia mampu melunasinya. Setelah lunas, dia wajib untuk meninggalkan mengemis.
  • Ketika seseorang ditimpa musibah yang menghabiskan seluruh hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup.
  • Ketika seseorang tertimpa kefakiran yang sangat berat, sehingga disaksikan oleh 3 orang berakal, pemuka masyarakatnya bahwa dia tertimpa kefakiran, maka  halal  baginya  meminta-minta  sampai  dia  mendapatkan kecukupan bagi kehidupannya.

Pada tiga keadaan ini, seseorang diperbolehkan untuk meminta-minta sumbangan atau mengemis. Dalil kesimpulan ini adalah hadis yang diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq Al-Hilali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Wahai Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: Seseorang yang menanggung beban (hutang orang lain, diyat/denda), ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti. Dan seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. Dan seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”. (Shohîh. HR Muslim II/722 no.1044), Abu Dâwud I/515 no.1640, Ahmad III/477 no.15957, V/60 no.20620, dan an-Nasâ`i V/89 no.2580).

  • Ketika seseorang meminta sumbangan untuk kepentingan kaum muslimin, bukan kepentingan pribadinya. Mengemis untuk tujuan dakwah, termasuk tasawwul (mengemis dan meminta-minta sumbangan) yang diperbolehkan dalam Islam meskipun dia orang kaya.

Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya sumbangan untuk kepentingan agama dan kemaslahatan kaum muslimin adalah pesan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada para pemimpin perang ketika sebelum berangkat. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ

“ Jika mereka (orang-orang  kafir  yang  diperangi,  pent)  tidak  mau  masuk  Islam  maka mintalah Al-Jizyah dari mereka! Jika mereka memberikannya maka terimalah dan tahanlah dari (memerangi, pen)  mereka! Jika  mereka  tidak  mau  menyerahkan  Al-Jizyah  maka mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka!”. (Shohih. HR. Muslim III/1356 no.1731, Abu Dawud II/43 no.2612, Ahmad V/358 no.23080).

Berdasarkan hadis di atas, meminta Al-Jizyah dari orang-orang  kafir tidak  termasuk  tasawwul  (mengemis atau meminta-minta yang dilarang) karena  Al-Jizyah  bukan  untuk  kepentingan pribadi tetapi untuk kaum muslimin.

Termasuk  dalam  pengertian  meminta  bantuan  untuk  kepentingan  kaum  muslimin adalah hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam juga pernah meminta bantuan seorang tukang kayu untuk membuatkan mimbar untuk beliau. Sahl bin Sa’d As-Sa’idi Radhiyallaahu ‘anhu berkata:

بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى امْرَأَةٍ أَنْ مُرِى غُلاَمَكِ النَّجَّارَ يَعْمَلْ لِى أَعْوَادًا أَجْلِسُ عَلَيْهِنَّ

“Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus kepada seorang wanita: “Perintahkan anakmu yang tukang kayu itu untuk membuatkan untukku sebuah mimbar sehingga aku bisa duduk di atasnya!”. (Shohih. HR. Al-Bukhari: 429, An-Nasa’i 731 dan Ahmad 21801).

Al-Imam Al-Bukhari  Rahimahullah menyatakan: “Bab:Meminta bantuan kepada tukang kayu dan ahli pertukangan lainnya untuk membuat kayu-kayu mimbar dan masjid”. (Shahihul Bukhari: I/172).

Al-Imam Ibnu Baththal  Rahimahullah memberikan penjelasan: “Di dalam hadits ini terdapat pelajaran tentang  bolehnya  meminta  bantuan  kepada  tukang kayu dan orang yang kaya untuk segala hal yang manfaatnya bisa dirasakan kaum muslimin. Dan orang-orang yang segera tanggap untuk melakukannya, dihaturkan banyak terima kasih.” (Lihat Syarh Ibnu Baththal lil Bukhari II/100).

Sehingga dengan demikian,  kita  boleh  mengatakan: “Bantulah aku membangun masjid ini atau madrasah ini dan sebagainya!”  atau  meminta  sumbangan  kepada  kaum  muslimin  yang mampu untuk membangun masjid, madrasah dan sebagainya. (bagian ini dibuang, tdk penting)

Komite Tetap untuk Urusan Fatwa dan Riset Ilmiyyah Saudi Arabia pernah ditanya:

Tanya : “Bolehkah meminta bantuan dari seorang muslim untuk membangun masjid atau madrasah, apa dalilnya?”

Jawab : “ Perkara tersebut diperbolehkan, karena termasuk dalam tolong -menolong dalam kebaikan  dan  taqwa. Allah Subhaanahu wa ta’ala  berfirman:“ Dan tolong-menolonglah  kalian  dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran ” (QS. Al-Maidah: 2)

Wabillahit taufiq wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi washahbihi wasallam.

Al-Lajnah Ad- Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’:

Abdul Aziz bin Baaz (ketua), Abdur Razzaq Afifi (wk ketua), Abdullah Ghudayyan (anggota) Abdullah Qu’ud (anggota). (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Al- Majmu’atul Ula nomor: 6192 (6/242)).

Dalil hadis menegaskan, mengemis hukumnya haram. Akan tetapi, ada beberapa keadaan di mana seseorang boleh mengemis. Di sisi lain, ada kesalah-pahaman yang beredar di masyarakat dalam memahami siapakah ‘pengemis’. Sejalan dengan berjalannya waktu, saat ini ‘pengemis’ hadir dengan penampilan baru. Apapun itu, hukumnya tetap haram.

Pull Quote:

Satu: Barangsiapa meminta-minta kepada manusia harta mereka untuk memperbanyak hartanya, maka sesungguhnya dia hanyalah  sedang  meminta  bara  api. Maka  silahkan  dia  kurangi ataukah dia perbanyak

Kedua:  Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya.

Resume:

  1. Islam mengajarkan kepada umatnnya agar menjadi umat yang bermartabat. Diantaranya adalah dengan melerang mereka untuk mengemis.
  2. Mengemis adalah upaya meminta harta orang lain untuk  kepentingan  pribadi, baik dilakukan dengan gaya ‘terhormat’ maupun dengan penampilan ‘melarat’.
  3. Hukum asal mengemis adalah haram.
  4. Diantara ancaman untuk orang yang suka mengemis adalah:
    1. Di bangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan wajahnya tidak berdaging.
    2. Disamakan dengan meminta bara api neraka
    3. Disamakan dengan orang yang makan bara api.
  5. Empat keadaan dibolehkan mengemis:
    1. Untuk membayar diyat (denda) atau melunasi utang
    2. Ketika ditimpa musibah yang menghabiskan seluruh hartanya
    3. Sangat fakir, sehingga ada 3 orang baik yang menegaskan bahwa dia orang fakir
    4. Mengajukan permohonan sumbangan untuk kepentingan dakwah islam dan kemaslahatan kaum muslimin.
Referensi : Hukum Mengemis dan Meminta Sumbangan


Kisah Nyata : Berhaji dengan Uang Haram, Wanita Ini Alami Kejadian Mengerikan, Semua Kaget Bukan Main

Berhaji dengan Uang Haram, Wanita Ini Alami Kejadian Mengerikan, Semua Kaget Bukan Main. Dan, beberapa waktu setelah itu, teka-teki misteri kejadian aneh yang dialaminya di Tanah Suci terbongkar sudah. Sebab, berdasarkan penuturan pembimbing umroh itu, “Keluarga yang membiayai saya Umroh ditangkap polisi.” Rupanya, uang yang digunakan untuk membiayai Umroh sang muslimah berasal dari sumber yang tidak halal, yakni dengan cara menipu.   Sering kita mendengar cerita bahwa banyak sekali jamaah haji atau jamaah umroh yang mengalami pembalasan atas perbuatan buruknya (atau perbuatan baiknya) kala di tanah air.  Contohnya ada orang yang waktu di tanah air suka menghujat orang, tahu-tahu di tanah suci mulutnya jadi mencong-mencong. Kisah nyata ada orang yang mendadak gila dan selalu menghitung batu dengan bilang bahwa itu uang.  Sebab dia di tanah air adalah seorang rentenir.  Alkisah ada orang yang tidak bisa melihat ka'bah padahal dia sedang di area Mathaf (tempat thowaf).  Kisah nyata tentang orang yang selalu tersandung setiap jalan dan bilang kok banyak batu padahal dia sedang di Masjidil Haram, dan sebagainya. Beragam kisah yang disebutkan diatas itu adalah kisah nyata akibat perbuatan negatif. Ada juga kisah nyata yang menceritakan hal positif, semisal bagaimana seseorang yang sangat ingin mencium hajar aswad.  Dia serasa ditolong entah siapa, sepertinya malaikat yang datang dan beralih rupa, memudahkan jalan baginya, sementara keadaan berdesak-desakan. (ini biasanya kisahnya para artis yang baru pertama kali ke tanah suci) Kali ini ada kisah nyata yang unik, Diceritakan oleh salah satu pembimbing haji travel terkemuka di tanah air.  Tentang seorang Pria Yang Akhirnya Benar-benar Taubat Setelah Kepalanya Terjebak Dalam Rok Seorang Wanita Di Depan Ka'bah. Banyak sekali dosa-dosa yang telah ia lakukan selama ini.  Selain suka main dengan wanita nakal. Pria ini ternyata juga menjadi seorang pejabat yang dzalim di daerahnya. Saat sedang berhaji di Makkah dia sangat menyesali segala perbuatan buruknya. Dia niat bertaubat sungguh-sungguh dan ingin mengembalikan hak rakyat yang dia ambil. Ketika di depan Ka'bah, dia meratap-ratap pilu, menangis, dan bersujud lama. Segala rupa macam doa dia baca dan dia rapal.  Namun ketika bangun dari sujudnya, mendadak dunia berubah! Jadi gelap, pengap, dan bau. Bukan main takutnya sang koruptor tadi. Makin kencang lah tangisnya dan semakin takut dia. Berjuta-juta sesal keluar dari seluruh hatinya. Sujud makin panjang. Dan setelah merasa lama dan hatinya lega dengan tangisan, dengan agak takut dia bangkit kembali.  Pelan-pelan dibukanya matanya. Seketika dunia telah kembali seperti sedia kala. Terang benderang, Masjidil Haram dengan Ka'bah nan agung terlihat begitu indahnya. Tak terperi kegembiraan pak koruptor tadi. Padahal, tadi saat dunia berubah mendadak gelap, sebenarnya tanpa dia sadari. Kala dia bangkit dari sujud pertama, dia masuk dalam rok seorang wanita Afrika yang sedang lewat di depannya. Kisah nyata yang unik ini akhirnya membuatnya taubat.   Meskipun cuma masuk roknya seorang wanita Afrika bertubuh tinggi dan besar. Namun yang menjadi catatan, apakah bertaubat, berbuat baik, merenungi segala dosa itu saat hanya sedang berada di tempat yang suci saja. Memang momennya bagus, tetapi tidak seharusnya seperti itu. Begitu juga, masa' berbuat baik, merubah penampilan jadi lebih shalih hanya semisal pada bulan puasa saja? Atau hari-hari besar Islam? Ini sangat jamak kita temukan di dunia selebriti.  Lantas setelah itu, setelah keluar dari bulan puasa, atau sekembali dari Mekkah. Kebiasaannya yang kurang baik. Penampilannya yang mengumbar aurat, itu balik lagi.Sangat disayangkan sebab pertanda bahwa ibadah yang dilakukannya itu tidak berefek positif pada pelakunya. Sebab ibadah yang diterima oleh Allah, bukan sekedar penggugur kewajiban, adalah ibadah yang memberikan dampak positif pada pelakunya.  Andai semisal kita kok sehabis ibadah tingkat ketakwaan kita biasa-biasa saja. Atau malah kelakuan kita semakin porak poranda. Maka kita harus tahu bahwa ibadah kita tidak berefek apa-apa. Mesti menata niat. Kadang aku pribadi sendiri heran. Kenapa seseorang yang melakukan perampasan terhadap hak rakyat, makan dengan rakus uang mereka, saat terkuak kasusnya buru-buru balik berbuat baik?  Dan itu mesti dengan jauh-jauh ke tanah suci? Seharusnya sebelum terbongkar, saat masih ditutupi Allah, dan saat dia sadar perbuatannya itu salah. Segera bergegas membenahi kesalahannya dan mengembalikan sesuatu yang bukan haknya. Dan tidak harus ke tanah suci, tapi taubatlah di tempat.  Lalu apa faedahnya dia jauh-jauh ke Mekkah, menemui orang-orang sholih meminta doa agar permasalahannya di-clear-kan setelah perbuatan buruknya. Atau persekongkolannya terbongkar dan ditelanjangi di depan rakyat? Hanya itu pikiran sederhanaku saat bersalaman dengan salah satu ketua partai besar yang terlihat linglung. Sebab banyaknya kasus yang menimpa dia. Padahal pak ketua ini terkenal dengan kecerdasan dan kecemerlangan karirnya saat masih mahasiswa.  Apa entah karena "keluguannya" di dunia politik sehingga dimanfaatkan oleh teman-temannya, atau memang karena kerakusannya. Satu pelajaran juga, bukti bahwa latar belakang seseorang yang sangat berkesan religius tidak selalu menjamin bahwa dia akan baik, selama tidak ada perlindungan Allah di sana. Sebab apapun keadaan kita, perhitungan adalah tetap pada bagaimana akhir kita nanti. Bukan pada kita ini siapa, dari keluarga apa, belajarnya apa, kontribusinya apa. Tapi pada akhir yang baik, husnul khatimah, atau sebaliknya, Naudzu billah min dzalik.
Berhaji dengan Uang Haram, Wanita Ini Alami Kejadian Mengerikan, Semua Kaget Bukan Main. Dan, beberapa waktu setelah itu, teka-teki misteri kejadian aneh yang dialaminya di Tanah Suci terbongkar sudah. Sebab, berdasarkan penuturan pembimbing umroh itu, “Keluarga yang membiayai saya Umroh ditangkap polisi.” Rupanya, uang yang digunakan untuk membiayai Umroh sang muslimah berasal dari sumber yang tidak halal, yakni dengan cara menipu. 

Sering kita mendengar cerita bahwa banyak sekali jamaah haji atau jamaah umroh yang mengalami pembalasan atas perbuatan buruknya (atau perbuatan baiknya) kala di tanah air.  Contohnya ada orang yang waktu di tanah air suka menghujat orang, tahu-tahu di tanah suci mulutnya jadi mencong-mencong. Kisah nyata ada orang yang mendadak gila dan selalu menghitung batu dengan bilang bahwa itu uang.  Sebab dia di tanah air adalah seorang rentenir.  Alkisah ada orang yang tidak bisa melihat ka'bah padahal dia sedang di area Mathaf (tempat thowaf).

Kisah nyata tentang orang yang selalu tersandung setiap jalan dan bilang kok banyak batu padahal dia sedang di Masjidil Haram, dan sebagainya. Beragam kisah yang disebutkan diatas itu adalah kisah nyata akibat perbuatan negatif. Ada juga kisah nyata yang menceritakan hal positif, semisal bagaimana seseorang yang sangat ingin mencium hajar aswad.

Dia serasa ditolong entah siapa, sepertinya malaikat yang datang dan beralih rupa, memudahkan jalan baginya, sementara keadaan berdesak-desakan. (ini biasanya kisahnya para artis yang baru pertama kali ke tanah suci) Kali ini ada kisah nyata yang unik, Diceritakan oleh salah satu pembimbing haji travel terkemuka di tanah air.  Tentang seorang Pria Yang Akhirnya Benar-benar Taubat Setelah Kepalanya Terjebak Dalam Rok Seorang Wanita Di Depan Ka'bah. Banyak sekali dosa-dosa yang telah ia lakukan selama ini.

Selain suka main dengan wanita nakal. Pria ini ternyata juga menjadi seorang pejabat yang dzalim di daerahnya. Saat sedang berhaji di Makkah dia sangat menyesali segala perbuatan buruknya. Dia niat bertaubat sungguh-sungguh dan ingin mengembalikan hak rakyat yang dia ambil. Ketika di depan Ka'bah, dia meratap-ratap pilu, menangis, dan bersujud lama. Segala rupa macam doa dia baca dan dia rapal.  Namun ketika bangun dari sujudnya, mendadak dunia berubah! Jadi gelap, pengap, dan bau. Bukan main takutnya sang koruptor tadi. Makin kencang lah tangisnya dan semakin takut dia. Berjuta-juta sesal keluar dari seluruh hatinya. Sujud makin panjang. Dan setelah merasa lama dan hatinya lega dengan tangisan, dengan agak takut dia bangkit kembali.

Pelan-pelan dibukanya matanya. Seketika dunia telah kembali seperti sedia kala. Terang benderang, Masjidil Haram dengan Ka'bah nan agung terlihat begitu indahnya. Tak terperi kegembiraan pak koruptor tadi. Padahal, tadi saat dunia berubah mendadak gelap, sebenarnya tanpa dia sadari. Kala dia bangkit dari sujud pertama, dia masuk dalam rok seorang wanita Afrika yang sedang lewat di depannya. Kisah nyata yang unik ini akhirnya membuatnya taubat. 

Meskipun cuma masuk roknya seorang wanita Afrika bertubuh tinggi dan besar. Namun yang menjadi catatan, apakah bertaubat, berbuat baik, merenungi segala dosa itu saat hanya sedang berada di tempat yang suci saja. Memang momennya bagus, tetapi tidak seharusnya seperti itu. Begitu juga, masa' berbuat baik, merubah penampilan jadi lebih shalih hanya semisal pada bulan puasa saja? Atau hari-hari besar Islam? Ini sangat jamak kita temukan di dunia selebriti.

Lantas setelah itu, setelah keluar dari bulan puasa, atau sekembali dari Mekkah. Kebiasaannya yang kurang baik. Penampilannya yang mengumbar aurat, itu balik lagi.Sangat disayangkan sebab pertanda bahwa ibadah yang dilakukannya itu tidak berefek positif pada pelakunya. Sebab ibadah yang diterima oleh Allah, bukan sekedar penggugur kewajiban, adalah ibadah yang memberikan dampak positif pada pelakunya.

Andai semisal kita kok sehabis ibadah tingkat ketakwaan kita biasa-biasa saja. Atau malah kelakuan kita semakin porak poranda. Maka kita harus tahu bahwa ibadah kita tidak berefek apa-apa. Mesti menata niat. Kadang aku pribadi sendiri heran. Kenapa seseorang yang melakukan perampasan terhadap hak rakyat, makan dengan rakus uang mereka, saat terkuak kasusnya buru-buru balik berbuat baik?

Dan itu mesti dengan jauh-jauh ke tanah suci? Seharusnya sebelum terbongkar, saat masih ditutupi Allah, dan saat dia sadar perbuatannya itu salah. Segera bergegas membenahi kesalahannya dan mengembalikan sesuatu yang bukan haknya. Dan tidak harus ke tanah suci, tapi taubatlah di tempat.

Lalu apa faedahnya dia jauh-jauh ke Mekkah, menemui orang-orang sholih meminta doa agar permasalahannya di-clear-kan setelah perbuatan buruknya. Atau persekongkolannya terbongkar dan ditelanjangi di depan rakyat? Hanya itu pikiran sederhanaku saat bersalaman dengan salah satu ketua partai besar yang terlihat linglung. Sebab banyaknya kasus yang menimpa dia. Padahal pak ketua ini terkenal dengan kecerdasan dan kecemerlangan karirnya saat masih mahasiswa.

Apa entah karena "keluguannya" di dunia politik sehingga dimanfaatkan oleh teman-temannya, atau memang karena kerakusannya. Satu pelajaran juga, bukti bahwa latar belakang seseorang yang sangat berkesan religius tidak selalu menjamin bahwa dia akan baik, selama tidak ada perlindungan Allah di sana. Sebab apapun keadaan kita, perhitungan adalah tetap pada bagaimana akhir kita nanti. Bukan pada kita ini siapa, dari keluarga apa, belajarnya apa, kontribusinya apa. Tapi pada akhir yang baik, husnul khatimah, atau sebaliknya, Naudzu billah min dzalik. 

Referensi : Berhaji dengan Uang Haram, Wanita Ini Alami Kejadian Mengerikan, Semua Kaget Bukan Main



Kisah Nyata : Derita Keluarga Makan Uang Haram

Semua upaya mendapat uang haram sangat dibenci Allah SWT. Mereka yang memakan uang haram akan mendapat murka Allah SWT. Uang haram sangat berbahaya dan memberi dampak buruk bagi diri sendiri dan juga keluarga. Tak hanya di dunia, dampak uang haram juga akan dibawa sampai ke kehidupan di akhirat kelak.“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu..” (QS,An-Nisa ayat 29)  Jika kita memberi makan keluarga kita dengan makanan yang halal, tetapi kita mendapatkannya dengan cara yang haram, maka hukum makanan itu tetaplah haram. Harta yang kita bawa pualng ke rumah pun hukumnya haram jika kita mendapatkannya dengan cara-cara yang haram atau terlarang. Orang-orang yang biasa hidup dari harta yang haram biasanya akan menuai kesengsaraan di akhir hidup merak. Seperti cerita berikut ini yang saya kutip dari majalah Hidayah edisi 79. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.  Sebut saja namanya parman. Lelaki yang tinggal di sebuah desa di Bekasi ini menghidupi keluarganya dengan cara haram. Ia biasa menadah barang-barang yang tidak jelas kepemilikannya dari berbagai daerah untuk menyambung hidupnya. Profesi itu ia jalani sejak menikah sampai punya anak empat.  Parman cepat kaya karena bisnis haramnya ini. Namun keberkahan tentu saja tak menghampiri keluarga itu. Satu demi satu musibah menimpa. Bahkan hingga detik ini, nasib keluarga itu berakhir tragis.   “Ada TV merek Sony 29 inci harga satu juta nih , mau nggak ?” tawa Parman pada tetangganya, Paijo (sebut saja demikian). Mendengar penawaran demikian murah, Paijo tak percaya. Dia pun lantas dtang ke rumah Parman untuk melihat sendiri barang yang dimaksud.  Rupanya omongan Parman seratus persen dapat dipercaya. Bahkan di rumahnya masih banyak barang-barang bermerek lainnya yang dijual dengan harga di bawah standar. Mulai dari barang elektronik, otomotif, barang pecah-belah, baju, dan lainnya.  Kabar ‘menggembirakan’ ini tak berapa lama cepat menyebar, karena Parmanlah yang langsung menawarkan barangnya. Maklum saja, dia juga lumayan dikenal royal, Parman sering mengajak tetangganya berkumpul untu ksekedar manggang ikan, atau nongkrong-nongkrong diiringi acara makan-makan.  Menurut YG, tetangga dekat Parman sekaligus narasumber cerita ini, Parman memang sering mengadakan pesta. Sifatnya yang royal ini mungkin saja trik dalam melancarkan usahanya. Dengan begitu, hubungan Parman dan tetangganya makin akrab. Khususnya anak-anak muda yang doyan nongkrong dan sering dibandarin Parman. Tanpa waktu lama, seketika Parman menjadi salah seorang jajaran orang kaya di kampungnya/ Bisnisnya seakan tiada pernah mati/ Usahanya makin lancar. Brang –barang bermerek yang ditadahnya makin banya. Mobilnya sering gonta-ganti.  Bisnis Parman makin meroket. Gaya hidup keluarganya benar-benar berbeda daru kebanyakan penduduk kampungnya. Penampilan istri Parman layaknya toko emas berjalan/ Keseharian anak pertamanya yang duduk di bangku kuliah laumayan mencolok. Bergitu juga dengan dua anak perempuan dan saru anak laki-lakinya. Pakaian, kasesoris dan kendaraan bermotor yang diapakai berkualitas kelas wahid(satu). Pergaulan mereka pun seakan berjarak dengan anak-anak tetangga.  Singkatnya, urusan duniawi Parman telah mencapai titi keberhasilan. Sementara, spiritualitasnya sama seklai tak tersentuh. Hali ini terlihat jelas dari pengakuannya yang tidak mengenalkan anak-anaknya pada pendidikan agama.  Jangankan itu, Parman sendiri sangat jarang shalat. Dalam setahun mungkin bisa dihitung jari. Apalagi ikut pengajian. Ia baru mau membaur dengan tetangga jika diluar urusan yang membawa manfaat dan berbau agama. Sukanya foya-foya.  Referensi : Kisah Nyata, Derita Keluarga Makan Uang Haram. Kisah Nyata : Derita Keluarga Makan Uang Haram

Semua upaya mendapat uang haram sangat dibenci Allah SWT. Mereka yang memakan uang haram akan mendapat murka Allah SWT. Uang haram sangat berbahaya dan memberi dampak buruk bagi diri sendiri dan juga keluarga. Tak hanya di dunia, dampak uang haram juga akan dibawa sampai ke kehidupan di akhirat kelak.“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu..” (QS,An-Nisa ayat 29)

Jika kita memberi makan keluarga kita dengan makanan yang halal, tetapi kita mendapatkannya dengan cara yang haram, maka hukum makanan itu tetaplah haram. Harta yang kita bawa pualng ke rumah pun hukumnya haram jika kita mendapatkannya dengan cara-cara yang haram atau terlarang. Orang-orang yang biasa hidup dari harta yang haram biasanya akan menuai kesengsaraan di akhir hidup merak. Seperti cerita berikut ini yang saya kutip dari majalah Hidayah edisi 79. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.

Sebut saja namanya parman. Lelaki yang tinggal di sebuah desa di Bekasi ini menghidupi keluarganya dengan cara haram. Ia biasa menadah barang-barang yang tidak jelas kepemilikannya dari berbagai daerah untuk menyambung hidupnya. Profesi itu ia jalani sejak menikah sampai punya anak empat.

Parman cepat kaya karena bisnis haramnya ini. Namun keberkahan tentu saja tak menghampiri keluarga itu. Satu demi satu musibah menimpa. Bahkan hingga detik ini, nasib keluarga itu berakhir tragis. 

“Ada TV merek Sony 29 inci harga satu juta nih , mau nggak ?” tawa Parman pada tetangganya, Paijo (sebut saja demikian). Mendengar penawaran demikian murah, Paijo tak percaya. Dia pun lantas dtang ke rumah Parman untuk melihat sendiri barang yang dimaksud.

Rupanya omongan Parman seratus persen dapat dipercaya. Bahkan di rumahnya masih banyak barang-barang bermerek lainnya yang dijual dengan harga di bawah standar. Mulai dari barang elektronik, otomotif, barang pecah-belah, baju, dan lainnya.

Kabar ‘menggembirakan’ ini tak berapa lama cepat menyebar, karena Parmanlah yang langsung menawarkan barangnya. Maklum saja, dia juga lumayan dikenal royal, Parman sering mengajak tetangganya berkumpul untu ksekedar manggang ikan, atau nongkrong-nongkrong diiringi acara makan-makan.

Menurut YG, tetangga dekat Parman sekaligus narasumber cerita ini, Parman memang sering mengadakan pesta. Sifatnya yang royal ini mungkin saja trik dalam melancarkan usahanya. Dengan begitu, hubungan Parman dan tetangganya makin akrab. Khususnya anak-anak muda yang doyan nongkrong dan sering dibandarin Parman. Tanpa waktu lama, seketika Parman menjadi salah seorang jajaran orang kaya di kampungnya/ Bisnisnya seakan tiada pernah mati/ Usahanya makin lancar. Brang –barang bermerek yang ditadahnya makin banya. Mobilnya sering gonta-ganti.

Bisnis Parman makin meroket. Gaya hidup keluarganya benar-benar berbeda daru kebanyakan penduduk kampungnya. Penampilan istri Parman layaknya toko emas berjalan/ Keseharian anak pertamanya yang duduk di bangku kuliah laumayan mencolok. Bergitu juga dengan dua anak perempuan dan saru anak laki-lakinya. Pakaian, kasesoris dan kendaraan bermotor yang diapakai berkualitas kelas wahid(satu). Pergaulan mereka pun seakan berjarak dengan anak-anak tetangga.

Singkatnya, urusan duniawi Parman telah mencapai titi keberhasilan. Sementara, spiritualitasnya sama seklai tak tersentuh. Hali ini terlihat jelas dari pengakuannya yang tidak mengenalkan anak-anaknya pada pendidikan agama.

Jangankan itu, Parman sendiri sangat jarang shalat. Dalam setahun mungkin bisa dihitung jari. Apalagi ikut pengajian. Ia baru mau membaur dengan tetangga jika diluar urusan yang membawa manfaat dan berbau agama. Sukanya foya-foya.

Referensi : Kisah Nyata, Derita Keluarga Makan Uang Haram