This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Senin, 08 Agustus 2022

Hukum Gadai dalam Islam

Ilustrasi : Hukum Gadai dalam Islam

Gadai dalam fiqih muamalah pula bisa dianggap menggunakan Rahn, yaitu penahanan terhadap suatu barang menggunakan hak sebagai akibatnya bisa dijadikan menjadi pembayaran  dari barang tadi. Barang yg dirancang jaminan tidak boleh dimanfaatkan oleh orang yg memberi hutang, kecuali  orang yang berhutang, di saat jatuh tempo masih belum mampu melunasi hutangnya , maka barang yg didesain jaminan akan dijual pada orang lain sebagai ganti buat membayar hutangnya.  misalnya: ibu pak.budi masuk rumah sakit, tapi ia tidak punya uang buat membayar rumah sakit, akhirnya dia meminjam uang sebesar 5 juta kepada pegadaian menggunakan agunan sepeda motornya yang seharga 10 juta selama 3 bulan. tapi tiap bulan beliau wajib membayar bunganya sebesar 50rb rupiah. pada waktu jatuh tempo pak budi masih belum mampu melunasi hutangnya, akhinya sepedanya di jual oleh pemberi hutang seharga 7 juta.

pada islam gadai seperti pada haramkan, sebab si pemberi hutang selain mengambil bunga jua mengambil keuntungan pada penjualan sepeda itu. Nabi Muhammad SAW bersabda yang merupakan “dari Ibrahim mengatakan, Rasul SAW bersabda: seluruh pinjaman yang menarik manfaat adalah riba”(HR. Ibnu Abi Syaibah).

dari hadist diatas telah kentara bahwa gadai merupakan pinjaman yg pada haramkan , sebab menarik manfaat. akan tetapi para ulama’ tidak sinkron pendapat dalam aturan pengambilan manfaat barang gadai.

Jumhur fuqaha’ beropini bahwa si pemberi hutang tidak boleh merogoh suatu manfaat barang-barang gadaian tadi sekalipun si penerima pinjaman mengizinkannya karena hal ini termasuk kepada hutang yang menarik manfaat.

menurut Imam Ahmad, Ishak, Al-laits serta Al-hasan, Jika barang gadaian berupa tunggangan yg dapat dipergunakan atau binatang ternak yang bisa diambil susunya, maka penerima gadai bisa merogoh manfaat dari kedua benda tersebut desesuaikan dengan biaya pemeliharaan yg dimuntahkan selama tunggangan atau hewan itu ada padanya. Jika beliau dibiaya sang pemiliknya, maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tadi.

Rasulullah SAW bersabda yg artinya ”binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya bila digadaikan, hewan boleh di ambil susunya untuk pada minumkarena pembiayaannya, Jika di gadaikan, bagi orang yg memegang serta meminumnya wajib memberikan porto”.

Jadi, pengambilan manfaat di barang-barang gadai tadi pada tekankan pada porto atau tenga buat pemeliharaannya. sehingga bagi yg memegang barang-barang gadai punya kewajiban tambahan . kewajibannya yaitu memelihara binatang yg dijadikan agunan tersebut, diantaranya yaitu, memberi makan, minum, kawasan yg layak dan membersihkannya Jika barang yg digadaikan itu merupakan binatang,  dan harus membelikan bensin Bila barang yang pada jadikan agunan ialah kendaraaan.

dapat disimpulkan bahwa gadai itu artinya haram Jika bertujuan buat merogoh keuntungan, mirip mengambil bunga setiap bulan, akan tetapi Bila barang tersebut adalah binatang atau tunggangan, maka digunakan buat mencari laba hanya buat porto pemeliharaannya saja.

Referensi : Hukum Gadai dalam Islam












Hukum Tidak Sengaja Makan Daging Babi

Ilustrasi : Hukum Tidak Sengaja Makan Daging Babi

Hukum Tidak Sengaja Makan Daging Babi. Kesempatan kali ini kita akan membahas mengenai hukum jika tidak sengaja makan daging babi. Seperti yang kita ketahui dalam agama Islam daging babi merupakan salah satu makanan yang diharamkan untuk dikonsumsi umat islam. Untuk itu sebagai umat islam kita harus menghindari dari memakan daging babi karena bisa menjadikan dosa. Babi diharamkan dalam islam bukan tanpa alasan, daging babi diharamkan karena banyak mengandung bakteri yang bisa mempengaruhi terhadap kesehatan tubuh kita. Untuk mengetahui lebih dalam mengapa babi diharamkan dalam islam, kamu bisa menyimak artikel kami lainnya pada link berikut.

Babi sudah jelas diharamkan untuk dikonsumsi, namun apa hukumnya jika kita mengkonsumsi daging babi secara tidak sengaja. Hal demikian terjadi apabila kita membeli makanan siap santap. Tanpa mengetahui kandungan didalamnya secara tidak sengaja banyak saudara umat muslim lainnya yang memakan daging babi. Nah untuk menemukan jawabannya mengenai hukum tidak sengaja makan babi, simak artikel dibawah ini.

Apa hukumnya jika tidak sengaja makan daging babi

Berdasarkan Al-quran

Memakan daging babi sebenarnya sudah jelas memiliki hukum haram, namun hukum haram yang berlaku tidak demikian jika memang kita secara sengaja atau bahkan terpaksa memakan daging babi. Hal ini dijelaskan pula dalam QS al-Baqarah ayat 173, yakni:

فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: “Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Berdasarkan penjelasan ayat Al-Quran diatas maka kita tidak perlu khawatir jika terlanjur memakan daging babi karena tidak sengaja karena itu tidak akan mengakibatkan dosa. Tidak hanya karena secara tidak sengaja, dalam keadaan yang memaksa jika dapat menggugurkan dosa jika kita memakan daging babi. Keadaan memaksa dalam ini merupakan keadaan darurat dimana tidak ada bahan makanan lain selain daging babi yang bisa dikonsumsi. Kondisi darurat adalah kondisi yang mengancam jiwa. Tidak ada makanan lain selain daging babi yang tersedia, sehingga tanpa memakan daging babi tersebut maka kita dapat meninggal. Jika dalam keadaan tersebut daging babi diperbolehkan untuk dimakan dengan syarat memakan secukupnya dan tidak berlebihan. Sesungguhnya Allah Swt. maha pengampun dan maha penyayang. Allah akan mengampuni seluruh dosa jika dilakukan secara tidak sengaja. Seperti yang dijelaskan pada hadist riwayat HR. Muslim no. 126 dibawah ini.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إن الله تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه

“Sesungguhnya Allah telah memaafkan umatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa” (HR Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 4/4, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Maka perbuatan yang hukumnya haram ketika dilakukan karena murni tidak tahu, murni tidak sengaja atau murni lupa tidak terhitung sebagai dosa di sisi Allah. Maka untuk hal tersebut ia tidak dituntut untuk bertaubat, karena tuntutan bertaubat itu terkait dengan dosa.

Berdasarkan hadist Rasulullah SAW

Untuk memperkuat pernyataan berdasarkan Ayat Al-quran QS al-Baqarah ayat 173 diatas, Rasulullah SAW pernah bersabda seperti dibawah ini.

“Sesungguhnya Allah telah memaafkan umatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa” (HR Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 4/4, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Dengan hadits ini, semakin memperkuat hukum bagi orang yang tidak sengaja memakan daging babi. Jika memang hal itu dilakukan secara tidak sengaja makan kita akan terhindar dari dosa.

Memakan babi secara tidak sengaja memang tidak akan mengakibatkan dosa bagi kita, namun sebaiknya kita selalu senantiasa waspada dalam memiliki makanan yang hendak dikonsumsi. Kita harus lebih teliti dalam memilih makanan, jangan karena Allah Swt. maha pengampun kita dengan lalainya memakan makanan apapun tanpa diteliti terlebih dahulu. Untuk lebih meningkatkan kewaspadaan kita terhadap makanan yang mengandung babi, kamu bisa simak artikel dibawah ini.

Dengan selalu berwaspada dan teliti dalam memilih makanan insyaallah kita akan terhindar dari makanan yang mengandung babi atau apapun makanan yang haram dikonsumsi umat islam.

Nah demikianlah pembahasan kita kali ini mengenai hukum tidak sengaja makan daging babi. Jadi, seorang muslim harus mengupayakan diri terlebih dahulu, jika sudah dalam kondisi mengancam jiwa maka Allah memberikan keringanan untuk memakan daging tersebut. Sekian dan terima kasih telah menyimak tuntas artikel dari IHATEC kali ini selamat berjumpa kembali pada artikel berikutnya.

Referensi : Hukum Tidak Sengaja Makan Daging Babi











Tanya Kiai: Hukum Mengambil Uang Orang Tua Tanpa Izin

Ilustrasi : Tanya Kiai: Hukum Mengambil Uang Orang Tua Tanpa Izin

Tanya Kiai: Hukum Mengambil Uang Orang Tua Tanpa Izin. Pertanyaan (Yana, bukan nama sebenarnya): Apakah seorang anak boleh mengambil uang orang tuanya tanpa izin? Bagaimana hukumnya dalam Islam?  Jawaban (Kiai Muhammad Hamdi):  Mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar adalah haram. Jika harta yang diambil berada di tempat penyimpanannya dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, maka disebut pencurian. Rasulullah ﷺ mengecam pelaku pencurian dengan sabda beliau ﷺ: 

لَعَنَ اللَّهُ السَّارِقَ يَسْرِقُ البَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ وَيَسْرِقُ الحَبْلَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ

Allah melaknat pencuri yang mencuri sebutir telur, lalu di lain waktu ia dipotong tangannya karena mencuri tali (HR. Bukhari no. 6783).  Lantas, apakah seorang anak bisa dianggap mencuri harta orang tuanya jika ia mengambilnya tanpa izin? Mengambil uang orang tua tanpa izin.  Jika seorang anak mengambil hak nafkahnya yang seharusnya diberikan oleh sang ayah, maka Imam Syafii membolehkan mengambilnya sesuai kadar haknya.

Hal ini berdasarkan hadis riwayat Sayyidah Aisyah ra. yang menceritakan bahwa Sahabat Hindun binti Utbah ra. pernah mengadu tentang suaminya kepada Rasulullah ﷺ.  Hindun berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan itu laki-laki yang pelit, dan dia tidak memberiku sesuatu yang mencukupiku dan anakku, kecuali aku mengambil hartanya sedangkan dia tidak mengetahuinya.”

Mendengar hal itu, Rasulullah ﷺ lalu bersabda:

خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang baik (HR. Bukhari no. 5364).  Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani saat mengomentari hadis ini menjelaskan:

وَاسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى أَنَّ مَنْ لَهُ عِنْدَ غَيْرِهِ حَقٌّ وَهُوَ عَاجِزٌ عَنِ اسْتِيفَائِهِ جَازَ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ مَالِهِ قَدْرَ حَقِّهِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَجَمَاعَةٍ

Hadis ini dijadikan dalil bahwa bagi seseorang yang memiliki hak di sisi orang lain, dan dia tidak berkuasa untuk menagihnya, maka dia boleh mengambil dari hartanya sekadar haknya dengan tanpa izinnya. Ini adalah pendapat Syafii dan mayoritas. Namun, anak yang dimaksud di dalam hadis di atas adalah anak yang wajib dinafkahi oleh ayahnya. Mazhab Syafii berpendapat bahwa anak yang wajib dinafkahi adalah anak kecil (belum baligh) atau sudah baligh tetapi sedang menempuh pendidikan atau tidak mampu bekerja karena lumpuh. 

Sementara Imam Syaukani tidak membedakan antara anak kecil atau pun dewasa, karena lahiriah hadis di atas tidak merincinya, sehingga bersifat umum.  Jika yang mengambil uang adalah anak kecil yang belum baligh, maka ulama sepakat tidak ada dosa meskipun uang yang diambil adalah bukan hak nafkahnya, karena Rasulullah ﷺ bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

Pena (pencatat amal) diangkat dari tiga orang, yaitu dari orang yang tidur sampai ia terjaga, dari anak kecil sampai ia keluar air mani (baligh), dan dari orang gila sampai ia berakal (HR. Abu Dawud no. 4403; Imam Al-Hakim menilai hadis ini shahih). Adapun jika anak yang mengambil uang adalah anak yang tidak wajib dinafkahi karena telah dewasa dan mampu mencari nafkah untuk menutupi kebutuhannya, atau ayahnya telah memberikan nafkahnya dan memenuhi segala kebutuhannya, maka hukumnya haram dan termasuk pencurian.

Namun demikian, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak ada hukuman potong tangan terhadap anak yang mencuri harta ayahnya atau kakeknya. Ensiklopedi Fikih Kuwait menuliskan:

سَرِقَةُ الْفَرْعِ مِنَ الأَصْلِ ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ (الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ) إِلَى أَنَّهُ لاَ قَطْعَ فِي سَرِقَةِ الْوَلَدِ مِنْ مَالِ أَبِيهِ وَإِنْ عَلاَ لِوُجُوبِ نَفَقَةِ الْوَلَدِ فِي مَال وَالِدِهِ؛ وَلِأَنَّهُ يَرِثُ مَالَهُ وَلَهُ حَقُّ دُخُول بَيْتِهِ

Terkait pencurian seorang anak dari orang tua, mayoritas ulama fikih (mazhab Hanafi, Syafii, dan Hanbali) berpendapat bahwa tidak ada potong tangan dalam pencurian seorang anak dari harta ayahnya dan ke atasnya (kakek, buyut, dan seterusnya), karena kewajiban menafkahi anak dari harta ayahnya, dan karena sang anak mewarisi hartanya, dan dia memiliki hak memasuki rumahnya.

Islam mengharamkan pencurian atau mengambil harta milik orang lain tanpa sepengetahuan dan izinnya. Termasuk mengambil harta orang tua tanpa izin mereka.  jika seorang ayah tidak memberikan nafkah yang mencukupi sang anak, maka dia boleh mengambil harta milik sang ayah secukupnya. Adapun jika orang tua telah mencukupi kebutuhannya, maka haram untuk mengambil darinya tanpa seizinnya.  Walaupun begitu, mayoritas ulama dari mazhab Syafii, Hanafi, dan Hanbali tidak menghukumi potong tangan bagi anak yang mengambil harta orang tuanya tanpa izin. Karena anak juga menjadi ahli waris dari orang tuanya.

seorang anak seyogianya meminta izin kepada orang tua dengan baik jika membutuhkan sesuatu darinya. Sebaliknya, orang tua janganlah menahan sesuatu yang menjadi hak anak dan memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena itu, komunikasi antara keduanya sangatlah penting.

Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًاۚ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ مِّنْ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَاِيَّاهُمْ

Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, dan janganlah membunuh anak-anakmu karena kemiskinan. (Tuhanmu berfirman) Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka (QS. Al-An’am 6: 151).

Referensi: Tanya Kiai: Hukum Mengambil Uang Orang Tua Tanpa Izin














Hadis-Hadis tentang Implikasi Riba dalam Kehidupan

Ilustrasi : Hadis-Hadis tentang Implikasi Riba dalam Kehidupan

Islam adalah agama yang syumūl dan kāmil. Secara garis besar dalam Islam mencakup tiga ruang lingkup pembahasan, yaitu aqidah, ibadah, dan muamalah. Pertama, aqidah. Aqidah adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan (iman), termasuk di dalamnya tauhid (pengesaan terhadap Allah swt) dan keyakinan terhadap hal-hal yang sifatnya batiniyah (tidak kasat mata), seperti keyakinan terhadap surga dan neraka, malaikat, jin, dan sebagainya. Kedua, Ibadah. Ibadah adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan peribadatan atau penghambaan diri dari seorang hamba kepada sang pencipta, Allah swt. Ibadah terbagi dalam dua jenis; ibadah mahdah (ibadah yang telah diatur waktu dan tata cara pelaksanaannya) dan ibadah ghair mahdah (ibadah yang tidak diatur secara khusus waktu dan tata cara pelaksanaannya).

Ketiga, muamalah. Muamalah berkaitan dengan hubungan seseorang dengan orang lain, atau seseorang dengan lingkungan di sekitarnya. Di antara contoh perkara muamalah adalah jual-beli, al-Qard (utang-piutang), ‘ariyah (pinjam-meminjam), sewa-menyewa, gadai, syirkah (kerja sama/serikat), dan yang lainnya. Di antara contoh-contoh muamalah tersebut ada yang memiliki potensi terjadinya riba. Lalu, apakah riba itu dan bagaimana implikasinya terhadap kehidupan?

Definisi dan Hukum Riba

Secara etimologi riba bermakna az–ziyādah (tambahan) dan al-Faḍl (kelebihan) (Ahmad Warson Munawwir, 1997). Sedangkan secara terminologi riba memiliki dua pengertian; pengertian yang bersifat khusus dan umum. Adapun pengertian secara khusus riba adalah tambahan yang disyaratkan sebagai kompensasi dari pembayaran qarḍ (utang) yang melebihi batas waktunya, yaitu setiap kali adanya penangguhan atau keterlambatan dalam pembayaran, maka akan dikenakan biaya tambahan. Adapun pengertian secara umum riba adalah segala bentuk tambahan yang terjadi dalam transaksi utang-piutang dan jual-beli, yakni jual-beli yang bersifat fāsid dan dilarang oleh syara’. Ini sebagaimana yang disebutkan oleh as-Sarkhasi, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Rusyd, dan selainnya (Nazih Hammad, 2008). Menurut as-Sayyid Sābiq riba adalah tambahan atas harta yang pokok (As-Sayyid Sabiq, 2004).

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwasannya riba adalah biaya tambahan yang disyaratkan saat pengembalian harta pokok dan biaya tambahan yang dibebankan sebab keterlambatan dalam pengembalian atau sebab adanya permintaan penangguhan dalam pembayaran. Jika dilihat secara teknis, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal dengan cara yang batil.

Adapun hukum riba adalah haram. Tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama terkait dengan keharaman riba. Ini didasarkan pada al-Qur’an dan hadis yang melarang perbuatan riba.

ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمۡرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ

Artinya: Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. al-Baqarah: 275)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ۝ فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ فَأۡذَنُواْ بِحَرۡبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَٰلِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok harta kamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan). (QS. al-Baqarah: 278-279)

عَنْ جَابِرٍ ، قَالَ : لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ. وَقَالَ : هُمْ سَوَاءٌ

Artinya: Dari Jabir (diriwayatkan bahwa) ia berkata: “Rasulullah saw  melaknat pemakan riba, yang memberikannya, pencatatnya dan saksi-saksinya. Rasulullah SAW mengatakan, ‘mereka itu sama.” (HR. Muslim no. 1598)

Jenis dan Contoh Riba

Riba secara umum terbagi dalam dua jenis, yaitu riba Nasi’ah dan riba Faḍl. Pertama, riba Nasi’ah. Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa riba Nasi’ah didefinisikan oleh ulama Hanafiyah sebagai penambahan waktu penyerahan barang, dan penambahan barang pada utang dalam penukaran dua barang berbeda jenis yang ditakar atau ditimbang, atau dua barang sejenis meskipun bukan barang yang ditakar atau ditimbang (Wahbah az-Zuhaili, 1985). Riba Nasi’ah juga berarti tambahan yang disyaratkan dan diambil oleh orang yang memberi pinjaman dari orang yang meminjam sebagai kompensasi atas adanya penangguhan waktu (As-Sayyid Sabiq, 2004).

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ يَقُولُ : حَدَّثَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا رِبَا إِلَّا فِي النَّسِيئَةِ

Artinya: Dari Ibnu Abbas (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Usamah ibn Zaid telah bercerita padaku bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada riba kecuali pada riba Nasi’ah.” (HR. al-Bukhari no. 2178, Muslim no. 1596, an-Nasa’i no. 4580, Ibnu Majah no. 2257)

Kedua, riba Faḍl. Para fuqaha Hanafiyah mengartikan riba faḍl sebagai tambahan pada harta dalam akad jual beli sesuai ukuran syariat (yaitu takaran atau timbangan) jika barang yang ditukar sama (Wahbah az-Zuhaili, 1985). Riba Faḍl juga berarti jual beli uang dengan uang atau makanan dengan makanan disertai dengan tambahan. Hal ini haram berdasarkan Sunnah Rasulullah saw dan ijma’, karena rnerupakan sarana yang akan mengantarkan pada riba nasi’ah. Dalam hal ini, penggunaan kata riba sebagai bentuk majaz sama halnya dengan penvebutan suatu sebab yang digunakan untuk menunjuk pada akibat (As-Sayyid Sabiq, 2004).

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Artinya: Dari Ubadah ibn Shamit (diriwayatkan bahwa) ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Emas dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam harus dengan jumlah yang sama dan dari tangan ke tangan (cash). Apabila terdapat perbedaan dalam hal macamnya, maka juallah terlebih dahulu lalu bayarlah (pertukaran tersebut) dengan cash (hasil dari penjualan tersebugt).”(HR. Muslim no. 1587)

Menurut sebagian ulama, riba itu terbagi menjadi empat macam, yaitu riba faḍl, riba Qarḍ, riba Yad, dan riba Nasa’i (Syaikhu, dkk, 2020). Pertama, riba Faḍl, yaitu (menukarkan dua barang yang sejenis dengan tidak sama jumlahnya), Riba Faḍl terdapat dalam bentuk transaksi yang dilakukan melalui serah-terima secara langsung (dari tangan ke tangan), di sini terjadi kelebihan atau tambahan terhadap nilai tukar salah satu komoditi yang mestinya termasuk dalam jenis yang sama dan keduanya memiliki nilai tukar yang sama.

Kedua, riba Qarḍ (riba jahiliyah/riba Nasi’ah). Maknanya adalah riba yang terjadi pada transaksi utang-piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama risiko, dan hasil usaha muncul bersama biaya. Transaksi ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban hanya karena berjalannya waktu. Riba Qarḍ adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang (muqtariḍ). Riba Jahiliyah yaitu utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang telah ditetapkan.

Ketiga, riba Yad. Bercerai (berpisah) dari tempat akad sebelum dilakukannya proses timbang terima, yaitu menjual dengan pembayaran barang yang sejenis, tetapi tidak secara kontan. Keempat, riba Nasa’i, yaitu pertukaran (barang) yang disyaratkan terlambat (untuk menyerahkan) salah satu dari dua barang (keterlambatan tersebut nanti harus disertai dengan tambahan).

Kemudian, contoh riba Nasi’ah atau riba Qarḍ. Misalnya, seseorang memberi pinjaman uang sebesar Rp. 500.000,00. dengan syarat pengembaliannya kelak ditambahkan 10% dari pokok pinjaman. Tambahan 10% dari pokok adalah riba karena tidak tamāṡul (sama).

Adapun contoh riba Faḍl, misalnya seseorang menukar empat liter beras Dolog/Bulog (jenis lain) dengan dua liter beras Rojolele. Pertukaran tersebut termasuk riba. Sebab, beras dengan beras adalah sejenis dan tidak boleh dilebihkan salah satunya. Jalan tengahnya adalah lima liter beras Dolog dijual terlebih dahulu, kemudian hasil penjualannya dibelikan beras Rojolele. Contoh kedua, menukar 10 gram emas 24 karat dengan 5 gram emas 22 karat. Ini termasuk riba, karena nilainya (harganya) berbeda. Atau menukar 10 gram emas 22 karat dengan 20 gram emas 12 karat yang harganya sama. Ini juga termasuk riba, karena ukurannya berbeda.

Bisnis-bisnis yang Mengandung Riba

Di era kontemporer ini praktik riba semakin luas, berkembang, dan mudah untuk dijumpai. Adapun bisnis-bisnis yang di dalamnya memiliki potensi mengandung riba di antaranya adalah pegadaian, Kredit Pemilikan Rumah (KPR), pinjaman ke bank (terkhusus ke bank konvensional), transaksi jual-beli, Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), kartu kredit, serta memberi hadiah dalam pembayaran utang (Sumber: Mentalkaya.com).

Adapun contohnya praktik riba di pegadaian. Seseorang menggadaikan surat berharga atau barang berupa surat tanah, Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), atau yang lainnya. Pihak pegadaian biasanya menambahkan biaya administrasi dan bunga yang wajib dibayarkan ketika menebus barang tersebut kembali. Inilah yang dimaksud dengan contoh riba.

Contoh selanjutnya Kredit Pemilikan Rumah (KPR) termasuk salah satu contoh riba. Sebab seseorang wajib untuk mencicil angsuran berdasarkan harga rumah dan bunganya disertai tambahan biaya administrasi di setiap bulannya. Begitu juga dengan transaksi bisnis lainnya, ketika di dalamnya dikenakan bunga atau biaya tambahan di luar biaya pokok dan biaya administrasi, maka itu termasuk riba. Termasuk juga peminjam memberi hadiah tatkala melakukan pembayaran utang. Hal tersebut bisa dikategorikan riba, sebab mengambil manfaat dari utang. Terkecuali, apabila di antara mereka berdua (peminjam dan pemberi pinjaman) sudah terbiasa saling memberikan hadiah sebelumnya, sehingga pemberian hadiah tersebut bukan disebabkan alasan utang-piutang.

Kemudian, bisnis yang sedang marak terjadi hari ini adalah “pinjaman online (pinjol)”. Pinjaman online tersebut ada yang sifatnya legal dan ada juga yang ilegal. Tidak sedikit masyarakat yang meminjam uang melalui pinjol tersebut. Padahal bunga pinjaman yang dibebankan kepada debitur tidak sedikit. Mayoritas yang menjadi mangsa dari pinjol adalah masyarakat yang perekonomiannya menengah ke bawah. Mengapa mereka mau untuk melakukan pinjaman secara online? Di antara alasannya adalah pinjol lebih mudah syaratnya dan lebih cepat cairnya dibandingkan dengan pinjam ke lembaga-lembaga ekonomi yang legal. Cukup dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan tanpa jaminan uang pinjaman dapat diterima.

Pinjaman online (pinjol) yang ilegal marak hadir di tengah masyarakat yang sedang mengalami keterdesakan ekonomi. Masa pandemi Covid-19 banyak melibas berbagai sektor perekonomian masyarakat, sehingga mereka harus mencari cara dengan cepat untuk mendapatkan modal dan biaya untuk bertahan hidup. Solusi yang didapatkan adalah meminjam sejumlah uang dari penyedia jasa layanan pinjol, tanpa memperdulikan apakah penyedia jasa pinjol tersebut legal atau ilegal, apakah aman atau tidak aman, apakah termasuk perkara riba atau tidak, serta apakah kelak mampu membayar utang-utang tersebut atau tidak.

Banyak kasus masyarakat mengalami gagal bayar karena bunga yang mencekik dan tidak masuk akal. Dalam proses penagihan pun, mereka sering menerima teror, intimidasi, dan berbagai ancaman penuh dengan caci-maki yang berdatangan melalui telepon, pesan singkat, dan pesan WhatsApp. Bahkan, ada pula keluarga yang hingga memutuskan untuk menutup rapat rumahnya dan mengurung diri karena tak kuasa menghadapi teror-teror itu (Sumber: Kompas.com). Lebih mengkhawatirkan, ketika ada seseorang rela mengakhiri hidupnya hanya untuk menghindari dan melepaskan dirinya dari dari para penagih utang pinjol tersebut.

Hadis-hadis tentang Implikasi Riba dalam Kehidupan

Sejak empat belas abad yang lalu, Rasulullah saw telah memberikan himbauan kepada umatnya untuk menjauhi riba dan telah menjelaskan dampak negatif (bahaya) riba terhadap kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat. Namun, banyak di antara kaum Muslimin belum mengetahui himbauan Rasulullah saw terkait dengan riba. Mereka menyangka riba adalah perbuatan yang normal dan lazim terjadi di masyarakat, sehingga para ustaz, ‘alim, muballig, dan siapa pun yang mengetahui bahaya dan dampak riba senantiasa menyampaikan dan mensosialisasikan himbauan tersebut kepada masyarakat kaum Muslimin. Tentu, dengan cara yang makruf dan lemah-lembut. Adapun himbauan dan penjelasan Rasulullah saw terkait dengan implikasi riba terhadap kehidupan adalah sebagai berikut:

Pertama, pelaku riba akan mendapatkan dosa dan dosa riba yang paling ringan adalah seperti seseorang menzinai ibu kandungnya sendiri. Dari ‘Abdullah, Rasulullah saw bersabda:

الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا

“Riba itu ada 73 pintu.” (HR. Ibnu Majah, no. 2275)

Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw bersabda:

الرِّبَا سَبْعُونَ حُوبًا أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ

“Riba itu ada tujuh puluh dosa. Yang paling ringan adalah seperti seseorang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR. Ibnu Majah, no. 2274)

Dalam riwayat al-Hakim disebutkan:

الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ

“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR. Al-Hakim no. 2259).

Kedua, memakan harta hasil riba lebih parah dari 33 kali berzina. Jeleknya perbuatan riba disebutkan oleh seorang tabi’in yang bernama Ka’ab al-Ahbar, seorang mantan pendeta Yahudi yang paham akan kitab-kitab Yahudi, bahkan bisa mengetahui secara umum mana bagian yang sahih dan batil dari kitab tersebut (Aż-Żahabi, Siyar A’lām An-Nubāla’, 1981). Ka’ab ra. menyatakan:

لأَنْ أَزْنِىَ ثَلاَثاً وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْ أَنْ آكُلَ دِرْهَمَ رِباً يَعْلَمُ اللَّهُ أَنِّى أَكَلْتُهُ حِينَ أَكَلْتُهُ رِباً

“Aku berzina sebanyak 33 kali lebih aku suka daripada memakan satu dirham riba yang Allah tahu aku memakannya ketika aku memakan riba.” (HR. Ahmad, 5: 225. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Ketiga, masyarakat pelaku riba berhak mendapat azab dari Allah swt. Jika riba sudah merajalela di masyarakat, maka masyarakat tersebut layak untuk mendapatkan azab. Tersebarnya riba merupakan “pernyataan tidak langsung” dari suatu kaum bahwa mereka menghendaki dan layak untuk mendapatkan azab dari Allah swt. Dari Ibnu ‘Abbas ra. Rasulullah saw bersabda:

إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ

“Apabila telah marak perzinaan dan praktik ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diazab oleh Allah.” (HR. Al-Hakim no. 2261)

Keempat, doa orang pemakan riba sulit terkabul. Dalam hadis Abu Hurairah ra. Nabi saw menceritakan, “Ada seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya menjadi kusut dan berdebu. Lalu, orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdoa:

يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

“Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?” (HR. Muslim, no. 1014)

Kelima, tubuh (jasmani) yang tumbuh dari harta yang haram kelak berhak untuk disentuh api neraka. Suatu waktu Ka’ab pernah dinasihati oleh Rasulullah saw:

يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. at-Tirmidzi, no. 614).

Penyelesaian dan penanganan riba ini tidaklah mudah. Cara terbaik untuk menyelesaikannya tidak cukup hanya dengan menyampaikan ancaman dan bahaya riba terhadap kehidupan, tetapi diperlukan juga ada lembaga-lembaga dan jasa-jasa yang berbasis syari’ah yang siap untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan modal bisnis atau pendanaan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang membutuhan. Lembaga dan jasa pelayanan tersebut murni berprinsip ta’awun (tolong-menolong) tidak ada unsur untuk meraih laba sedikit pun dari memberikan pinjaman (utang) kepada masyarakat.

Demikianlah penjabaran singkat terkait dengan riba. Dimulai dari definisi, jenis-jenis dan contoh-contohnya dalam kehidupan, serta hadis-hadis mengenai implikasi (ancaman dan bahaya) riba terhadap kehidupan. Di antara cara untuk mengatasi riba selain dengan menyampaikan hadis-hadis di atas, perlu juga memberikan himbauan kepada masyarakat agar meminjam modal (uang) ke lembaga-lembaga keuangan syari’ah, seperti bank syari’ah dan koperasi syari’ah, sehingga sedikit demi sedikit praktik riba bisa berkurang.

Referensi : Hadis-Hadis tentang Implikasi Riba dalam Kehidupan



















Surat Al Maidah Ayat 3 Arab Latin Artinya, Tentang Makanan Haram Mengundi Nasib dan Ayat Terakhir Rasulullah Muhammad SAW

Ilustrasi : Surat Al Maidah Ayat 3 Arab Latin Artinya, Tentang Makanan Haram Mengundi Nasib dan Ayat Terakhir Rasulullah Muhammad SAW

Surat Al Maidah Ayat 3 Arab Latin Artinya, Tentang Makanan Haram Mengundi Nasib dan Ayat Terakhir Rasulullah Muhammad SAW. Kandungan Surat Al Maidah Ayat 3 tentang 10 makanan yang diharamkan dalam islam dan semuanya berasal dari hewan. Dalam Surat Al Maidah Ayat 3 dijelaskan 10 makanan yang diharamkan yaitu bangkai, darah, daging babi, dan daging hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Diharamkan pula apa yang disembelih untuk berhala.

Selanjutnya Surat Al Maidah Ayat 3 menjelaskan larangan mengundi nasib dengan azlām (anak panah). Terdiri dari 3 anak panah tanpa bulu', yang pertama ditulis "Tuhanku telah menyuruhku" yang kedua ditulis “Tuhanku melarangku”, dan yang ketiga dibiarkan kosong.

Ketiga anak panah tersebut tersimpan dalam ka'bah, jika hendak melakukan sesuatu atau pekerjaan yang besar maka juru kunci akan mengambilkannya lalu mereka melakukan apa yang tertulis, jika kosong mereka akan mengundinya lagi.

Dalam Surat Al Maidah Ayat 3 dijelaskan sesuatu yang sangat penting bagi kaum muslim "Pada hari ini (pada waktu haji wada‘ "haji terakhir Rasulullah" orang-orang kafir telah berputus asa untuk mengalahkan agamamu.

Janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Maka, siapa yang terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Setelah ayat ini dibacakan oleh Nabi, maka Umar menangis lalu Nabi bertanya apa yang menyebabkan ia menangis. Umar menjawab, "Sesuatu yang sudah sempurna tidak ada yang ditunggu lagi kecuali kurangnya." Rasulullah membenarkan ucapan Umar itu (Riwayat Ibnu Jarir dan Harun bin Antarah dari ayahnya ).

Diriwayatkan bahwa ayat ini turun di Arafah tanggal 9 Zulhijjah 10 H, hari Jumat sesudah asar. Sejarah telah mencatat: bahwa 81 hari sesudah turunnya ayat ini Nabi Muhammad saw pun wafat setelah menunaikan risalahnya selama kurang lebih 23 tahun.

Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa orang-orang yang terpaksa makan makanan yang diharamkan Allah karena lapar tanpa niat untuk berbuat dosa, dibolehkan asal dia makan seperlunya saja, sekedar mempertahankan hidup. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Surat Al Maidah turun di kota Madinah sehingga surah tersebut masuk dalam golongan surat madaniyah, berjumlah 120 ayat, masuk dalam nomer surah ke-5 juz 6 (ayat 1-82) dan juz 7 (ayat 83-120) dalam kitab suci Al Qur'an.

Surat Al Maidah memiliki arti "jamuan hidangan", nama lain dari Surat Al Maidah yaitu al-'Uqud yang berarti "Perjanjian-Perjanjian" dan al-Munqiz yang berarti "Yang Menyelamatkan".

Berikut ini adalah bacaan Surat Al Maidah Ayat 3 lengkap dengan tulisan arab latin dan artinya.

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَاَنْ تَسْتَقْسِمُوْا بِالْاَزْلَامِۗ ذٰلِكُمْ فِسْقٌۗ اَلْيَوْمَ يَىِٕسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ دِيْنِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِۗ اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ٣

ḥurrimat 'alaikumul-maitatu wad-damu wa laḥmul-khinzīri wa mā uhilla ligairillāhi bihī wal-munkhaniqatu wal-mauqụżatu wal-mutaraddiyatu wan-naṭīḥatu wa mā akalas-sabu'u illā mā żakkaitum, wa mā żubiḥa 'alan-nuṣubi wa an tastaqsimụ bil-azlām, żālikum fisq, al-yauma ya`isallażīna kafarụ min dīnikum fa lā takhsyauhum wakhsyaụn, al-yauma akmaltu lakum dīnakum wa atmamtu 'alaikum ni'matī wa raḍītu lakumul-islāma dīnā, fa maniḍṭurra fī makhmaṣatin gaira mutajānifil li`iṡmin fa innallāha gafụrur raḥīm

Artinya: "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang (sempat) kamu sembelih. (Diharamkan pula) apa yang disembelih untuk berhala.

(Demikian pula) mengundi nasib dengan azlām (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu. Oleh sebab itu, janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku.

Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Maka, siapa yang terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Itulah ulasan Surat Al Maidah Ayat 3 tentang 10 makanan yang diharamkan pengundian nasib dan ayat terakhir sebelum Rasul wafat. 

Referensi : Surat Al Maidah Ayat 3 Arab Latin Artinya, Tentang Makanan Haram Mengundi Nasib dan Ayat Terakhir Rasulullah Muhammad SAW























Sangat Berbahaya Bermualamalah Dengan Harta Haram

Ilustrasi : Sangat Berbahaya Bermualamalah Dengan Harta Haram

Merupakan kenikmatan yang sangat besar, Allah subhanahu wa ta’ala masih memperkenankan kita untuk hidup di dunia ini. Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kesempatan kepada kita untuk membenahi diri. Apakah dengan waktu yang tersisa hingga datangnya kematian kita bisa mengisinya dengan amalan-amalan saleh, memohon ampun kepadanya dan bisa bersyukur, ataukah sisa umur yang Allah berikan justru kita gunakan untuk selalu bermaksiat kepada Allah, tidak pernah sadar akan banyaknya dosa yang telah kita lakukan dan selalu mengingkari kenikmatan.

Berbicara tentang harta haram tentu permasalahannya sangatlah kompleks dan butuh kajian atau pembahasan yang sangat panjang untuk membahas permasalahan ini. Sebelum kita memasuki pembahasan tentang harta haram dan bagaimana bermuamalah dengan harta haram, maka sudah sepantasnya kita merenungi beberapa hal sebagai muqaddimah (pendahuluan) agar kita bisa sadar akan pentingnya mempelajari ilmu agama secara umum dan ilmu tentang muamalat, bagaimana akibat dari memanfaatkan harta haram, pentingnya keberkahan di dalam harta dan apa sebenarnya tujuan kita berbisnis.

Sepenting apakah kita harus belajar agama?

Jika kita ditanya oleh seseorang, “Sepenting apakah kita harus belajar agama Islam?” maka sudah sepantasnya jawaban yang kita sampaikan kepadanya adalah “Dia lebih penting dari makan dan minum.” Karena seseorang apabila kelaparan dan kehausan dan dia mati dalam keadaan seperti itu, tetapi dia mengetahui tentang ilmu, maka ilmunya akan mengantarkan dia kepada kehidupan yang penuh dengan kenikmatan dan tidak akan pernah kelaparan dan kehausan lagi. Sedangkan orang yang kenyang dengan makanan dan minuman dan dia mati dalam keadaan tidak mengetahui ilmu yang bisa memasukkan dia ke dalam surga atau neraka, maka bisa jadi dia mati konyol dan kekal dalam neraka selama-lamanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan banyak sekali keutamaan ilmu agama di dalam hadits-hadits-nya. Di antaranya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا ، سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barang siapa yang menapaki jalan untuk menuntut ilmu di dalamnya maka Allah akan memudahkan jalannya untuk menuju surga.”

Pada hadits ini kita bisa memahami bahwa orang yang ingin mendapatkan kesusahan hidup di dunia dan kesulitan untuk menuju surga Allah, maka dia tidak perlu belajar ilmu agama. Tetapi jika yang diinginkan adalah sebaliknya, maka dia harus belajar ilmu agama, sehingga dia akan memahami jalan-jalan yang tepat dan mudah untuk menuju surga Allah ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَاللَّهُ الْمُعْطِي وَأَنَا الْقَاسِمُ ، وَلاَ تَزَالُ هَذِهِ الأُمَّةُ ظَاهِرِينَ عَلَى مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ.

“Barang siapa yang Allah menginginkan kepadanya kebaikan maka Allah akan memahamkan agama kepadanya. Allah Maha Pemberi dan sayalah yang membagi. Umat ini akan senantiasa tampak di atas orang-orang yang menyelisihi mereka sampai datang urusan Allah dan mereka tetap tampak (di atas kebenaran).”

Pada hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jelas menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang Allah inginkan kebaikan kepadanya adalah Allah berikan ilmu kepadanya. Karena dengan ilmu orang tersebut akan mengetahui apa saja yang dicintai oleh Allah dan apa saja yang dibenci oleh-Nya. Begitu pula orang tersebut akan mengetahui batasan-batasan yang halal dan haram dan Allah juga akan berikan sifat takut kepadanya ketika dia mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah ta’ala.

Pada hadits ini juga terdapat faidah bahwa akan ada di antara kaum muslimin yang berada di atas kebatilan dan memperjuangkan hal tersebut sehingga mereka akan menyelisihi orang-orang yang tampak dengan kebenaran.

Apa tujuan kita berbisnis, berniaga dan mencari harta?

Terkadang manusia perlu untuk selalu diingatkan tujuan mulia yang Allah subhanahu wa ta’ala harapkan dari penciptaan manusia. Tujuan manusia diciptakan oleh Allah adalah semata-mata untuk beribadah kepada Allah, yaitu melakukan segala hal yang dicintai oleh Allah dan meninggalkan semua hal yang dibenci oleh Allah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat: 56)

Ayat di atas sangat menjelaskan tujuan penciptaan manusia. Begitu pula Allah subhanahu wa ta’ala katakan:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Rab semesta Alam.” (QS Al-An’am: 162)

Jika kita memahami tujuan kita hanya untuk itu, maka sudah sepantasnya kita tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tujuan tersebut. Jika manusia tidak sadar dan tidak pernah ingin tahu akan hal ini, maka selamanya dia tidak akan mendapatkan kebahagian hakiki.

Apabila manusia lalai dengan tujuan ini dan mengganti tujuannya dengan tujuan lain, seperti: mencari dunia, mengejar ketenaran, memenuhi syahwat dan mendapatkan kedudukan tinggi, maka dia akan sangat mudah untuk berbagai cara yang diharamkan oleh Allah untuk mencapai tujuan tersebut.

Menyebarnya harta haram di masyarakat

Menyebarnya harta haram di masyarakat kita sudah dianggap sebagai hal yang biasa. Bahkan sebagian kaum muslimin tidak perhatian lagi dengan apa yang dia dapatkan, darimana harta yang didapatkan, apakah dari yang halal ataukah yang haram. Hal ini telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلاَلِ أَمْ مِنَ الْحَرَامِ

“Akan datang suatu zaman, seseorang tidak peduli apa yang dia ambil, apakah dengan cara yang halal ataukah dengan cara yang haram.”

Sebagian kaum muslimin merasa tidak mungkin mencari rezeki kecuali dengan cara yang haram, padahal seorang muslim harus paham bahwa rezeki telah diatur oleh Allah dan tidak mungkin rezeki tersebut tertukar kepada orang lain.

Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan salah satu sifat-Nya di dalam Al-Qur’an:

يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ

“Melapangkan rezeki kepada orang yang dikehendaki-Nya dan menyempitkannya.” (QS Ar-Ra’du: 26, Al-Isra’: 30, Ar-Rum: 37, Saba’: 36, Az-Zumar: 52 dan Asy-Syura: 12)

dan dengan lafaz:

يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ

“Melapangkan rezeki kepada orang yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya.” (QS Al-Qashash: 82, Al-’Ankabut: 62 dan Saba’: 39)

Dan sudah sepantasnya seseorang memiliki sifat tawakkal kepada Allah dan tidak tergantung dengan harta haram. Di dalam hadits Ibnu ‘Umar berikut disebutkan pelajaran yang sangat berharga agar tidak tergantung dengan manusia begitu pula tidak tergantung dengan harta haram:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ سَائِلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِذَا بِتَمْرَةٍ عَائِرَةٍ فَقَالَ:  أَمَا إِنَّكَ لَوْ لَمْ تَأْتِهَا لَأَتَتْكَ

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata, “Sesungguhnya ada seorang peminta meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian datanglah kurma yang sangat banyak dan beliau berkata, ‘Sesungguhnya jika engkau tidak mendatanginya, maka dia akan mendatangimu.’.”

Agar terhindar dari harta yang haram maka seseorang harus belajar ilmu agama dan meningkatkan ketakwaan dan ketakutakannya kepada Allah.

Umar bin Al-Khattab radhiallahu ‘anhu mengatakan:

 لاَ يَبِعْ فِى سُوقِنَا إِلاَّ مَنْ قَدْ تَفَقَّهَ فِى الدِّينِ.

“Tidak ada yang berjualan di pasar kami kecuali orang yang telah belajar agama.”

Umar radhiallahu ‘anhu melarang orang yang tidak tahu ilmu agama untuk berjualan di pasar, karena seorang pedagang harus memahami banyak hal agar bisa mendapatkan rezeki yang halal, bagaimana agar dia bebas dari riba, dari menipu orang lain dan dari hal-hal yang tidak jelas dalam perniagaan.

Hal tersebut di atas membutuhkan ilmu. Jika seseorang tidak memperhatikan ini, maka penyesalan yang mendalam akan dia alami baik di dunia ataupun di akhirat apabila dia benar-benar takut kepada Allah ta’ala. Cukuplah seseorang merasakan pedihnya azab Allah di dunia dengan kebodohan yang dia miliki.

Bahaya atau dampak buruk harta haram

Harta haram sangat berbahaya untuk seorang muslim. Sudah sepantasnya dia tidak mendekatinya. Seorang muslim seharusnya bisa mengatakan, “Alhamdulillah 100 % harta yang saya dapatkan adalah halal.” Sanggupkah pembaca untuk mengatakan hal tersebut?

Di antara bentuk bahaya dan ancaman untuk orang yang memakan harta yang haram adalah sebagai berikut:

Dia akan dimasukkan ke neraka

Orang yang memakan harta haram diancam oleh Allah untuk masuk ke dalam neraka. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ ، إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ.

“Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah! Sesungguhnya tidaklah daging tumbuh dari harta yang haram, kecuali neraka lebih berhak untuknya.”

Umat Islam akan ditimpa kehinaan

Banyak yang mengingingkan agar Islam kembali ke masa kejayaannya. Akan tetapi, banyak kaum muslimin justru meninggalkan banyak sebabnya dan melakukan hal-hal yang dapat menghinakan umat Islam. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

 إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ .

“Jika kalian berjual beli dengan cara ‘iinah (suatu jual beli yang ada riba di dalamnya), kalian mengambil buntut-buntut sapi (sibuk dengan peternakan), kalian telah rida dengan pertanian dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan kepada kalian sebuah kehinaan. Dan Dia tidak akan mencabutnya kecuali kalian kembali kepada agama kalian.”

Jual beli ‘Iinah adalah jual beli yang terdapat unsur pengelabuan di dalamnya untuk menghalalkan riba. Dosa riba adalah dosa yang besar, tetapi ketika diadakan manipulasi dalam jual beli sehingga seolah-olah ketika dilihat tidak ada riba di dalamnya, maka ini bentuk dosa yang lebih besar karena adanya unsur pengelabuan. Tidak lain seperti apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi untuk menghalalkan apa yang mereka diharamkan untuk melakukannya dengan menggunakan tipu daya.

Pemakan harta haram telah mengikuti bujukan setan

Orang yang memakan harta haram maka sebenarnya dia telah mengikuti langkah-langkah setan dan telah bermaksiat kepada Allah ta’ala:

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Wahai manusia! Makanlah dari apa-apa yang ada di bumi yang halal dan baik, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (QS Al-Baqarah: 168)

Allah sudah mengabarkan bahwa setan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Dan sebenarnya kita semua mengetahui bahwa setan tidak akan membiarkan diri mereka sendirian berada di neraka, tetapi mereka akan selalu menggoda manusia sampai akhir zaman nanti.

Orang tersebut telah membangkang dari perintah Allah

Allah subhanahu wa ta’ala menyuruh para Rasul dan kaum muslimin untuk selalu mencari rezeki yang halal dan meninggalkan harta yang haram. Barang siapa yang melalaikannya maka dia telah membangkang dari perintah Allah ta’ala.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Wahai para Rasul! Makanlah kalian dari yang baik-baik dan beramalsalehlah. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahu apa yang kalian lakukan.” (QS Al-Mukminun: 51)

Menjadi sebab tidak dikabulkan doa seseorang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) . ثُمَّم ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ .

“Wahai manusia! Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik-baik saja. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang yang beriman sebagaimana yang diperintahkan kepada para mursalin (rasul). Allah berfirman: ‘Wahai rasul-rasul! Makanlah kalian dari yang baik-baik dan beramal shalihlah. Sesungguhnya saya Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.’ Dan Allah juga berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah kalian dari yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepada kalian.’ Kemudian beliau menyebutkan seorang laki-laki yang sedang mengadakan perjalanan jauh, rambutnya acak-acakan dan berdebu. Dia mengangkat tangannya mengarah ke langit, (dia berkata), ‘Ya Rab-ku! Ya Rab-ku! Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya juga haram dan dipenuhi dengan yang haram. Bagaimana mungkin akan dikabulkan (doanya) dengan keadaan seperti itu. ”

Keberkahan dari harta halal

Para sahabat meskipun mereka memiliki kesibukan sebagai pedagang, mereka tetap tidak melalaikan kewajiban-kewajiban yang Allah perintahkan kepada mereka, bahkan Allah menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah ta’ala.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

“Para lelaki yang perniagaan dan jual beli tidak melalaikan mereka dari mengingat Allah, mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut terhadap suatu hari dimana hati-hati dan penglihatan-penglihatan menjadi goncang.” (QS An-nur: 37)

Seorang muslim harus memperhatikan keberkahan pada hartanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا ، أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا – فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا.

“Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar (pilih) selama mereka belum berpisah. Apabila keduanya jujur dan saling menjelaskan maka diberkahilah merek pada jual beli mereka. Apabila keduanya saling menutupi (aib) dan berdusta, maka akan dilenyapkan keberkahan jual beli mereka berdua.”

Yang dimaksud dengan keberkahan pada harta adalah orang tersebut akan mendapatkan kebaikan dari hartanya, mendapatkan kebaikan yang berkesinambungan dan selalu mendapatkan tambahan kebaikan dengan harta tersebut.

Apabila seseorang tidak memperhatikan keberkahan pada hartanya, maka dia akan mendapatkan keburukan dari hartanya, seperti selalu menggunakannya pada maksiat dan hal-hal yang tidak bermanfaat.

Referensi sbb ini : Bermualamalah Dengan Harta Haram














Kata-Kata Mutiara Islami tentang Harta Kekayaan, Menjauhkanmu dari Sifat Serakah

Ilustrasi : Kata-Kata Mutiara Islami tentang Harta Kekayaan, Menjauhkanmu dari Sifat Serakah

Kata-kata mutiara Islami tenta harta kekayaan dapat memberikan pelajaran berarti, seperti menjauhkanmu dari sifat serakah. Dalam menjalani hidup di dunia ini memang diperlukan harta, berupa uang, rumah, kendaraan bermotor, perhiasaan, dan yang lainnya. Namunm sebagai seorang muslim, kita telah dianjurkan untuk mencari harta secara halal dan menjauhkan diri dari sumber harta yang bersifat haram.

Dalam mencari atau mengumpulkan harta kekayaan kita tidak boleh sedikit pun merugikan orang lain karena hal tersebut dapat memengaruhi berkah hartamu.  Sebagai seorang muslim yang beriman, jika memiliki harta yang berlebih, harus membelanjakan atau menghabiskannya sesuai perintah Allah SWT. Contohnya dengan cara bersedekah, memberikan makanan dan minuman kepada kaum papa atau orang yang membutuhkan, yang berada di sekitar kita.

Dengan itu semua, harta yang kita miliki akan selalu diberkahi oleh Allah SWT karena harta tidak akan berkurang jika digunakan untuk beramal.  Kata-kata mutiara Islami tentang harta kekayaan juga dapat memberikanmu gambaran bagaimana seharusnya kita membelanjakan harta yang dimiliki. 

1. "Al-Qur'an memerintahkan umat muslim hanya membelanjakan hartanya kepada hal yang dibutuhkan."

2. "Kekayaan dalam Al-Qur'an telah dianggap sebagai sarana untuk mencapai kesucian. Ketika kita memberi amal dari kekayaan kita, itu memurnikan hati dan kekayaan kita."

3. "Allah tidak menyukai orang yang menghabiskan uang dengan cara bodoh atau pelit. Harus selalu ada keseimbangan antara dua hal tersebut dalam membelanjakan uang."

4. "Allah SWT adalah Al-Mannan, Pemberi Bekal dan Kekayaan. Dia menyediakan bagi mereka yang tidak berterima kasih dan berterima kasih pada-Nya. Dia satu-satunya penyedia rezeki."

5. "Pada suatu hari penghakiman, umat Islam akan ditanya tentang kekayaannya, bagaimana dia memperoleh kekayaan, dari mana dia memperolehnya dan di mana dia menghabiskannya."

6. "Kekayaan adalah apa yang kamu infakkan di jalan Allah, bukan apa yang tersimpan di akun rekening bankmu."

7. "Tak ada seorangpun yang tahu apa yang akan dihasilkannya besok." (Q.S Luqman: 34)

8. "Kebanggaan diperoleh karena harta dan kemuliaan diperoleh karena takwa." - Hadis

9. "Sedekah tidak akan mengurangi kekayaan."

10. "Janganlah sombong dengan kekayaan yang kita miliki karena hal tersebut hanyalah titipan dari Allah SWT."

11. "Ketika kita memberi kekayaan, Allah membantu dan memberi kita lebih banyak pahala. Dikatakan oleh seorang sufi bahwa ketika kita mendandani orang miskin dari kekayaan kita, Allah akan mendandani kita di hadapan-Nya."

12. "Dalam Islam, keserakahan tidak dianjurkan. Nabi Muhammad bersabda bahwa ketika seseorang memperoleh kekayaan dengan keserakahan, hal itu tidak akan pernah memuaskannya atau menjadikannya baik. Keserakahan dan keegoisan adalah sifat yang tidak disukai oleh Allah Yang Mahakuasa."

13. "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar." (Q.S Al-Baqarah: 155)

14. "Kekayaan milik seorang yang kikir sama saja tak ada gunanya seperti kerikil." - Ali bin Abi Thalib

15. "Ketika Allah memberimu nikmat finansial (harta kekayaan), jangan tingkatkan standar hidupmu, akan tetapi tingkatkan standar sedekahmu."

16. "Jika kamu ingin kekayaanmu meningkat dan dosa-dosamu diampuni, berikanlah dengan amal." - Muhammad ibn Salih al-'Uthaymeen

17. "Ketika ada uang di tanganmu dan tidak di hatimu, itu tidak akan merugikanmu bahkan jika uang itu banyak; dan jika itu ada di dalam hatimu, itu akan menyakitimu bahkan jika tidak ada di tanganmu." - Ibn Qayyim Al-Jawziyyah

18. "Salurkan kekayaanmu menjadi amal kebaikan yang kelak akan mengikutimu sampai ke akhirat dengan membelanjakannya di jalan Allah. Jika tidak, kekayaan itu yang akan meninggalkanmu saat kamu meninggalkan dunia ini."

19. "Manfaatkanlah sebagian dari harta kekayaanmu sebelum kamu menjadi miskin."

20. "Yang penting bukanlah seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa banyak barakah yang ada dari apa yang kita miliki. " - Gohar Mushtaq

21. "Menghabiskan uang untuk satu keluarga juga dianggap sebagai ibadah. Dalam Islam sangat dianjurkan untuk menghabiskan uang untuk keluarga."

22. "Allah dalam Al-Qur'an menyebutkan bahwa kekayaan hanya milik-Nya. Tetapi, siapa yang diberkati dia harus menghabiskan di jalan Allah dan keluarganya dan orang-orang yang membutuhkan."

23. "Saya tidak peduli betapa miskinnya seseorang berpikir dia - jika dia memiliki keluarga yang penuh kasih, dia kaya tak terkira." - Yasir Qadhi

24. "Ilmu itu lebih baik daripada harta karena harta itu harus kamu jaga, sementara ilmu akan menjagamu." - Ali bin Abi Thalib

25. "Allah dalam Al-Qur'an mengatakan bahwa Dia memberkati orang-orang dengan kekayaan, tetapi kekayaan ini tidak boleh berada di antara Allah dan makhluk-Nya. Uang seharusnya tidak membuat manusia melupakan Allah."

26. "Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda, dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak siksaan Allah dari mereka. Dan mereka itu menjadi bahan bakar api neraka." (Q.S Ali Imran: 10)

27. "Pengeluaran di jalan Allah dicintai oleh-Nya. Karena segala sesuatu termasuk kekayaan kita adalah milik Allah sendiri sehingga kita harus membelanjakannya di jalan-Nya. Allah juga akan memberikan pahala karena membelanjakan uang untuk tujuan-Nya."

28. "Kekayaan dalam Al-Qur'an juga telah dianggap sebagai cobaan bagi umat Islam dan mereka seharusnya tidak mencintai kekayaan lebih dari Allah dan Nabi-Nya."

29. "Allah tidak menentang segala jenis kekayaan. Dia hanya memerintahkan kita untuk tidak melanggar."

30. "Muslim seharusnya tidak mendapatkan kekayaan secara tidak sah atau tidak adil karena itu adalah dosa besar dan menurunkan kekayaan seseorang. Allah menghukum orang yang tidak mendapatkan penghasilan dengan cara yang adil."

Referensi : Kata-Kata Mutiara Islami tentang Harta Kekayaan, Menjauhkanmu dari Sifat Serakah