This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Kamis, 04 Agustus 2022

Hukum membebaskan harta haram setelah bertaubat

Pertama : Barang siapa yang mencari harta yang haram dzatnya atau apa saja yang dilarang oleh syari’at untuk diperjual belikan, dimanfaatkan atau digunakan, dengan cara apapun, maka tidak perlu dikembalikan kepada pemiliknya, dia pun tidak boleh mengambilnya, ia pun tidak boleh memanfaatkannya untuk jual beli, diberikan sebagai hadiah, dimanfaatkan atau yang lainnya.

Harta yang haram karena dzatnya, maksudnya adalah semua benda yang keharamannya berkaitan dengan dzatnya, seperti; khamr, berhala, babi, dan lain sebagainya.

Kedua : Barang siapa yang mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar tanpa izin dan ridho dari pemiliknya, seperti; harta hasil curian, ghasab (mengambil tanpa izin), korupsi dari dana umum, atau yang didapat karena curang dan menipu, bunga riba yang dibayarkan oleh pemiliknya secara darurat dan terpaksa, uang suap yang dibayarkan oleh pelakunya dengan terpaksa untuk mendapatkan haknya, dan lain sebagainya. Harta seperti ini wajib dikembalikan kepada pemiliknya dan ia tidak akan terbebas tanggung jawab kecuali dengan itu.

Jika dia telah terlanjur membelanjakan atau menggunakannya, maka akan tetap menjadi hutang bagi dirinya sampai ia mampu mengembalikannya kepada pemiliknya.

Ibnul Qayyim berkata:

Jika yang diterima telah diambil tanpa ridha dari pemiliknya, juga tidak terpenuhi penggantinya, maka harus dikembalikan kepadanya, jika kesulitan untuk mengembalikan, maka menjadi hutang yang diketahui oleh pemilik harta sebelumnya, jika tidak bisa melunasinya, maka ia kembalikan kepada ahli warisnya, jika tidak mungkin maka ia sedekahkan sejumlah harta tersebut.

Jika pemilik hak memilih untuk mendapatkan pahala pada hari kiamat, maka itu menjadi haknya, jika ia tidak mau kecuali akan mengambil amal kebaikan orang yang mengambil haknya, maka ia sempurnakan sejumlah harta tersebut dan pahala sedekahnya menjadi pahala orang yang mensedekahkannya, sebagaimana yang telah ditetapkan dari para sahabat –radhiyallahu ‘anhum-“. (Zaad Al Ma’ad: 5/690)

Rincian pembicaraan seputar masalah harta yang haram ini pada jawaban soal nomor: 83099, 169633.

Ketiga : Barang siapa yang mencari harta yang haram dengan cara transaksi yang haram, karena ia belum memahami keharaman transaksi ini, atau ia meyakini boleh karena ada fatwa yang terpercaya dari ulama, maka hal ini tidak ada konsekuensi apapun, syaratnya ia bersegera untuk berhenti melakukan transaksi haram tersebut kapan saja ia mengetahui keharamannya, berdasarkan firman Allah –Ta’ala-:

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ سورة البقرة 275

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)”. (QS. Al Baqarah: 275)

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah berkata:

“Adapun yang tidak ada keraguan di dalamnya menurut kami adalah: apa yang ia terima karena penafsiran atau karena ketidaktahuannya, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) tanpa ada keraguan, sebagaimana tuntunan dari Al Qur’an dan As Sunnah dan ibrah yang ada”. (Tafsir Ayaat Asykalat ‘ala Katsir min Al ‘Ulama’: 2/592)

Beliau pun berkata:

“Harta yang didapat oleh seseorang dari bentuk transaksi yang masih ada perdebatan di kalangan umat, karena beda penafsiran dan diyakini bolehnya dengan ijtihad, atau karena taqlid, atau karena sama dengan beberapa ulama, atau karena sebagian mereka telah berfatwa demikian, dan lain sebagainya.

Semua harta yang mereka terima ini, tidak perlu mereka keluarkan, meskipun ternyata setelah itu mereka salah dalam transaksi tersebut dan terjadi kesalahan dalam fatwa…

Seorang muslim yang berbeda penafsiran tersebut dan meyakini bolehnya jual beli, sewa menyewa dan transaksi yang bersumber dari fatwa sebagian ulama, jika telah menerima keuntungan namun ternyata terbukti setelahnya bahwa pendapat yang benar adalah haram, maka harta yang sudah didapat tidak menjadi haram kerena telah mereka terima berdasarkan takwil/penafsiran tadi”. (Majmu’ Al Fatawa: 29/443)

Beliau juga berkata:

“Barang siapa yang mengerjakan sesuatu sementara ia belum mengetahui akan keharamannya, lalu setelah itu ia mengetahuinya, maka tidak bisa diberikan sanksi, dan jika ia mengerjakan transaksi ribawi yang diyakini bahwa hukumnya boleh, ia pun telah menikmati keuntungannya, kemudian mendapatkan petunjuk dari Tuhannya dan berhenti, maka tetap menjadi miliknya apa yang telah lalu”. (Tafsir Ayaat Asykalat ‘ala Katsirin min Al Ulama: 2/578)

Dan di dalam Fatawa Lajnah Daimah lil Ifta’ disebutkan:

“Kurun waktu selama anda bekerja di bank, kami berharap semoga Allah berkenan untuk mengampuni anda, harta yang sudah anda kumpulkan dan anda terima dari pekerjaan di bank pada masa lalu, anda tidak berdosa karenanya jika anda memang benar-benar belum tahu hukumnya”. (Fatawa Lajnah Daimah: 15/46)

Syeikh Al Utsaimin –rahimahullah- berkata:

“Jika dia belum mengetahui bahwa hal ini haram, maka baginya semua apa yang telah didapat dan tidak ada dosa, atau karena dia mengikuti fatwa seorang ulama bahwa hal itu tidak haram maka tidak perlu mengeluarkan (harta) apapun, Allah –Ta’ala- telah berfirman:

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang

larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah”. (QS. Al Baqarah: 275)

(Al Liqa Asy Syahri: 19/67 sesuai dengan Maktabah Syamilah)

Keempat : Barang siapa yang mencari harta haram sementara ia mengetahui keharamannya, ia menerimanya atas izin dan ridho dari pemiliknya, seperti; barang yang diterima karena akad yang rusak, gaji pekerjaan haram, keuntungan dari perdagangan haram, gaji melayani perbuatan haram, seperti; persaksian palsu, menuliskan administrasi riba, atau harta suap yang diambil agar yang membayarkannya mendapatkan bagian yang bukan menjadi haknya, atau harta yang ia dapatkan dari hasil judi, undian/lotre, perdukunan dan lain sebagainya.

maka harta tersebut haram karena pekerjaannya, tidak wajib dikembalikan kepada pemiliknya, sesuai dengan pendapat yang lebih kuat dari kedua pendapat para ulama.

Ibnu Al Qayyim –rahimahullah- berkata:

“Jika uang yang diterima itu atas ridho pemiliknya, sebagai imbalan dari pekerjaan yang haram, seperti penukaran dengan khamr, babi, zina atau perbuatan keji lainnya. Maka dalam kasus seperti ini tidak wajib mengembalikan imbalan tersebut kepada yang membayarnya, karena ia bayarkan berdasarkan keinginannya sendiri, dan telah sesuai dengan pekerjaan haram yang dilakukan. Maka tidak boleh terkumpul padanya uang dan barangnya secara bersamaan, karena kalau demikian justru dianggap membantu perbuatan dosa dan permusuhan, dan memudahkan para pelaku kemaksiatan.

Apa yang diinginkan oleh pelaku zina dan perbuatan keji lainnya, jika ia ketahui sudah mendapatkan tujuannya dan meminta kembali uangnya, maka hal ini termasuk yang akan dijaga syari’at untuk melakukannya, dan tidak baik berpendapat demikian”. (Zaad Al Ma’ad: 5/691)

Menurut mayoritas ulama diwajibkan baginya untuk membebaskan diri dari harta haram tersebut dengan cara mensedekahkannya kepada orang-orang fakir dan miskin dan untuk kemaslahatan umum lainnya, dan jika ia telah membelanjakannya untuk keperluannya maka tetap menjadi hutang dan beban bagi dirinya, ia tetap wajib untuk mensedekahkan setelah ia mampu membayarnya.

Referensi : Hukum membebaskan harta haram setelah bertaubat












Muslim Dilarang Mengambil Hak Orang Lain

Muslim Dilarang Mengambil Hak Orang Lain. Sebagai seorang Muslim perlu memiliki kehati-hatian wara'  dalam memperoleh rezeki. Jangan sampai rezeki yang dapat itu justru diperoleh dengan cara-cara batil semisal mengambil hak orang lain.  Misalnya saja seseorang yang membangun perusahaan dengan mengambil tanah orang lain dan mengklaim bahwa tanah itu adalah miliknya atau dalam perkara lain semisal mengkorupsi dana yang seharusnya disalurkan untuk kepentingan masyarakat, dan lainnya. Sebab sejatinya orang yang mengambil hak orang lain itu akan dapat kesengsaraan di hari kiamat. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad ﷺ: 

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:  مَنْ أَخَذَمِنَ الْاَ ْرِض شِبْرًابِغَيْرِ حَقِّهِ خُسِفَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اِلَى سَبْعِ أَرْضِيْنَ.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa mengambil sejengkal tanah bumi yang bukan haknya, niscaya ditenggelamkan ia pada hari kiamat sampai ke dalam tujuh lapis bumi.” (HR Bukhari). 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 188 sebagai berikut:  

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ

“Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” 

Dalam tafsir tahlili Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Kementerian Agama RI dijelaskan bahwa pada bagian pertama dari ayat ini Allah melarang makan harta orang lain dengan jalan batil.  

Pengertian makan dalam ayat ialah mempergunakan atau memanfaatkan, sebagaimana biasa dipergunakan dalam bahasa Arab dan bahasa lainnya. Batil ialah cara yang dilakukan tidak menurut hukum yang telah ditentukan Allah SWT. 

Para ahli tafsir mengatakan banyak hal yang dilarang yang termasuk dalam lingkup bagian pertama ayat ini, antara lain seperti makan uang riba, menerima harta tanpa ada hak untuk itu, makelar-makelar yang melaksanakan penipuan terhadap pembeli atau penjual. 

Kemudian pada ayat bagian kedua atau bagian terakhir yang melarang menyuap hakim dengan maksud untuk mendapatkan sebagian harta orang lain dengan cara yang batil, dengan menyogok atau memberikan sumpah palsu atau saksi palsu. Rasulullah bersabda:

إِنَّمَا اَنَا بَشَرٌ وَإِنَّكُمْ تَخْتَصِمُوْنَ إِلَيَّ، وَلَعَلَّ بَعْضُكُمْ أَنْ يَكُوْنَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِي لَهُ بِنَحْوِ مَا أَسْمَعُ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيْهِ شَيْئًا يَأْخُذُهُ، فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ، فَبَكَى الْخَصْمَانِ وَقَالَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا: اَنَا حِلٌّ لِصَاحِبِي فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ اِذْهَبَا فَتَوَخَّيَا ثُمَّ اسْتَهِمَا ثُمَّ لِيُحْلِلْ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا صَاحِبَهُ (رواه مالك وأحمد والبخاري ومسلم و غيرهم)

“Sesungguhnya saya adalah manusia dan kamu datang membawa suatu perkara untuk saya selesaikan. Barangkali di antara kamu ada yang lebih pintar berbicara sehingga saya memenangkannya, berdasarkan alasan- alasan yang saya dengar. Maka siapa yang mendapat keputusan hukum dari saya untuk memperoleh bagian dari harta saudaranya (yang bukan haknya) kemudian ia mengambil harta itu, maka ini berarti saya memberikan sepotong api neraka kepadanya. 

(Mendengar ucapan itu) keduanya saling menangis dan masing-masing berkata. Saya bersedia mengikhlaskan harta bagian saya untuk teman saya. Lalu Rasulullah ﷺ memerintahkan, “Pergilah kamu berdua dengan penuh rasa persaudaraan dan lakukanlah undian dan saling menghalalkan bagianmu masing-masing menurut hasil undian itu.” (Riwayat Malik, Aḥmad, Bukhari, Muslim).

Referensi : Muslim Dilarang Mengambil Hak Orang Lain

















Para pelaku rencana jahat dan tipu muslihat diancam dengan siksa neraka

Peringatan dari Allah Swt untuk Pelaku Rencana Jahat. Allah SWT mengancam para pelaku rencana jahat dan tipu muslihat, apalagi bila korban mereka adalah kaum Muslimin. Ada banyak keterangan di dalam Alquran dan Sunnah yang menegaskan ancaman demikian.

Nabi Muhammad SAW bersabda, "Rencana jahat dan tipu muslihat adanya di neraka." Sanad hadis tersebut dinyatakan sahih oleh Syekh al-Albani.

Selain itu, Rasulullah SAW juga berpesan, "Tidak masuk surga seorang penipu, orang yang menyebut-nyebut kebaikan (yang pernah ia berikan kepada orang lain), dan orang kikir."

Kemudian disebutkan oleh beliau shalallahu 'alaihi wasallam, "Penghuni neraka ada lima, di antaranya, seseorang yang setiap pagi dan sore selalu menipumu terkait keluarga dan harta bendamu (orang Islam)." Al-Walidi menjelaskan, "Para penipu kelak (di akhirat) akan diperlakukan seperti orang yang ditipu. Hal itu disebabkan penipuan yang pernah mereka lakukan (selama di dunia).

Yaitu, mereka (para penipu) diberi cahaya seperti halnya cahaya yang diberikan kepada orang-orang yang beriman. Kemudian, saat mereka berjalan di atas jembatan shirat, cahaya mereka padam dan mereka berada dalam kegelapan." Demikian dikutip dari buku Al-Kabaair karya Imam adz-Dzahabi.

Hal itu sudah diisyaratkan dalam firman Allah Ta'ala, yakni surah Fathir ayat 43. Terjemahannya, "Rencana yang jahat tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri."

Kemudian, "Sesungguhnya, orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka." Demikian arti surah an-Nisa ayat 142.

Tentu saja, dosa yang dibebankan kepada pelaku rencana jahat dan tipu-tipu akan lebih berat sekiranya korbannya adalah orang banyak. Entah itu kaum Muslimin atau rakyat seluruhnya. Imam adz-Dzahabi menyebut dua perbuatan itu termasuk dosa besar dalam pandangan Islam.

Referensi : Para pelaku rencana jahat dan tipu muslihat diancam dengan siksa neraka




Syariat Islam menganjurkan untuk memakan harta yang halal

Anjuran Makan Harta Halal dan Jauhi Harta Haram. Syariat Islam menganjurkan untuk memakan harta yang halal. Syariat Islam menganjurkan untuk memakan harta yang halal dan menjauhkan harta yang haram. Baginda Nabi Muhammad SAW bersabda Allah Maha Suci dan hanya menerima harta yang suci. Allah SWT memerintahkan kaum muslimin sebagaimana perintah-Nya kepada rasul-Nya. Dalam surah Al-Mu'minun ayat 51 Allah SWT berfirman. "Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik, dan berbuat baiklah. Sesungguhnya aku mengetahui apa yang kamu lakukan."

Dalam surah Al-Baqarah ayat 172 Allah berfirman. "Hai orang-orang yang beriman, Makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu." Syekh Daud bin Syekh Abdullah Al Fathani dalam kitabnya Jam'ul Fawaid,  menuliskan, Baginda Nabi Muhammad SAW bercerita mengenai seseorang yang bepergian jauh (biasanya doa para musafir itu dikabulkan). Dengan rambut kusut, pakaian penuh debu menggambarkan kesusahannya kedua tangannya menengadah ke langit sambil berkata.

"Ya Allah! Ya Allah!" Tetapi, makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya dari hasil yang haram pula. "Bagaimana doa akan dikabulkan?"Syekh Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi Rah.a mengatakan, faidah dari kisah di atas banyak orang yang merasa risau mengapa doa-doa kaum muslimin tidak dikabulkan? Dari hadits di atas dapat diketahui penyebabnya. Namun demikian kita jangan berputus asa dari tidak diterimanya doa kita, karena dengan rahmat Allah SWT kadang-kadang doa orang kafir pun dikabulkan oleh Allah SWT, apalagi orang fasik.

"Namun, doa yang sebenarnya memenuhi syarat untuk diterima adalah doanya orang-orang bertaqwa," katanya. Untuk itu kami selalu mengharap lah kepada doa-doa para Muttaqin. Barangsiapa ingin doanya dikabulkan oleh Allah SWT maka sangat penting untuk menjauhi harta yang haram. "Siapakah yang ingin doanya tidak dikabulkan?" katanya.

Referensi : Syariat Islam menganjurkan untuk memakan harta yang halal




















Suap Menyuap Dalam Perspektif/Pandangan Agama Islam

Suap Menyuap Dalam Perspektif Agama Islam. Kita tentunya banyak dan sering mengikuti perkembangan bangsa kita Indonesia, baik dari media cetak maupun elektonik, berita-berita di televisi, radio dan internet yang tak pernah sepi dari membahas permasalahan-permasalahan bangsa yang tak kunjung selesai sampai saat ini, permasalahan berupa kasus korupsi, suap, menyalahgunakan wewenang menjadi topik hangat yang sering didiskusikan, dibahas dan diberitakan, seperti larinya tahanan dan para koruptor keluar dari penjara dengan menikmati hiburan bahkan jalan-jalan keluar negeri dengan menyuap pejabat yang berwenang tampaknya suatu hal yang biasa dan ringan. Apakah suap atau risywah dalam istilah Islam adalah suatu hal yang kecil ataukah sebaliknya, yaitu termasuk dosa besar dan pelakunya mendapatkan siksa yang berat di akhirat kelak?.

Untuk kembali menyegarkan pemahaman kita tentang risywah atau suap dalam Islam. Kata Risywah menurut bahasa dalam kamus Al-Mishbahul Munir dan Kitab Al-Muhalla ibnu Hazm yaitu: “pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya.” Atau pengertian risywah menurut Kitab Lisanul ‘Arab dan Mu’jamul Washith yaitu: “pemberian yang diberikan kepada seseorang agar mendapatkan kepentingan tertentu“. Maka berdasarkan definisi tersebut, suatu yang dinamakan risywah adalah jika mengandung unsur pemberian atau athiyah, ada niat untuk menarik simpati orang lain atau istimalah, serta bertujuan untuk membatalkan yang benar (Ibtholul haq), merealisasikan kebathilan (ihqoqul bathil), mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan (almahsubiyah bighoiri haq) , mendapat kepentingan yang bukan menjadi haknya (al hushul ‘alal manafi’) dan memenangkan perkaranya atau al hukmu lahu.

Bagaimanakah hukum risywah dalam Islam tentang suap – menyuap dalam islam? Beberapa nash di dalam Al-Quran dan Sabda Rosulullah mengisyaratkan bahkan menegaskan bahwa Risywah suatu yang diharamkan di dalam syariat, bahkan termasuk dosa besar, Allah Swt berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah kamu memakan harta sebagian dari kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqoroh: 188)

Kemudian firman Allah:

سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ

“Mereka itu adalah orang-orang yang suka  mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram” (QS. Al-Maidah; 42)

Iman Al-Hasan dan Said bin Jubair mengomentari ayat ini dengan mengatakan bahwa ma’na “akkaluuna lisshuht”yaitu risywah, karena risywah identik dengan memakan harta yang diharamkan Allah.

Di dalam hadits disebutkan:

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال : لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الراشي و المرتشي

هذا حديث صحيح الإسناد

Dari Abdullah bin Umar ra berkata, “Rosulullah melaknat bagi penyuap dan yang menerima suap.”  (HR. Al-Khamsah dishohihkan oleh at-Tirmidzi)

وعن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : “كل لحم نبت بالسحت فالنار أولى به ” قالوا : يا رسول الله ؛ وما السحت ؟ قال : “الرشوة في الحكم” . قال عمر بن الخطاب رضي الله عنه : رشوة الحاكم من السحت وعن ابن مسعود أيضا أنه قال : السحت أن يقضي الرجل لأخيه حاجة فيهدي إليه هدية فيقبلها.

“Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram (ashuht), nerakalah yang paling layak untuknya. Sahabat bertanya: “Wahai Rosulullah, apa barang haram yang di maksud itu?”. Rosulullah bersabda: “Suap dalam perkara hukum.” (Tafsir Al-Quthubi, tafsir surat Al-Maidah ayat: 42)

Umar bin Khatthab berkata: menyuap hakim adalah dari perkara shuht. Ibnu Mas’ud berkata: “Perbuatan Shuht adalah seseorang menyelesaikan hajat saudaranya maka orang tersebut memberikan hadiah kepadanya lalu dia menerimanya.”

Dari uraian ayat-ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa Suap – Menyuap dalam islam merupakan perkara yang diharamkan oleh Islam, baik memberi ataupun menerimanya sama-sama diharamkan di dalam syariat. Namun ada pengecualian yang menurut mayoritas ulama memperbolehkan penyuapan yang dilakukan oleh sesorang untuk mendapatkan haknya, karena dia dalam kondisi yang benar dan mencegah kezholiman terhadap orang lain, dalam hal ini dosanya tetap ditanggung oleh yang menerima suap. (Hal ini dapat dilihat lebih mendalam dalam kitab Kasyful Qina’ 6/304) Nihayatul Muhtaj 8/ 243, AlQurthubi 6/183, Al-Muhalla 8/118, Matholib ulin Nuha, dalam bab-bab yang membahas tentang suap menyuap dan memakan harta haram).

Dalam permasalahan ini Imam Abu Hanifah membagi pengertian risywah ini ke dalam 4 hal:

Pertama, memberikan sesuatu untuk mendapatkan pangkat dan kedudukan ataupun jabatan, maka hukumnya adalah haram bagi pemberi maupun penerima.

Kedua, memberikan sesuatu kepada hakim agar bisa memenagkan perkaranya, hukumnya adalah haram bagi penyuap dan yang disuap, walaupun keputusan tersebut adalah benar, karena hal itu adalah sudah menjadi tugas seorang hakim dan kewajibannya.

Ketiga, memberikan sesuatu agar mendapat perlakuan yang sama di hadapan penguasa dengan tujuan mencegah kemudharatan dan meraih kemaslahatan, hukumnya haram bagi yang disuap saja. Al-Hasan mengomentari sabda Nabi yang berbunyi, Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan disuap” dengan berkata, “jika ditujukan untuk membenarkan yang salah dan menyelahkan yang benar. Adapun jika seseorang memberikan hartanya selama untuk melindungi kehormatannya maka hal itu tidak apa-apa”.  

Keempat, memberikan sesuatu kepada seseorang yang tidak bertugas di pengadilan atau instansi tertentu agar bisa menolongnya dalam mendapatkan haknya di pengadilan atau pada instansi tersebut, maka hukumnya halal bagi keduanya, baik pemberi dan penerima, karena hal tersebut sebagai upah atas tenaga dan potensi yang dikeluarkan nya. Tapi Ibnu Mas’ud dan Masyruq lebih cenderung bahwa pemberian tersebut termasuk juga suap yang dilarang, karena orang tersebut memang harus membantunya agar tidak terzholimi, sebagaimana firman Allah:

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan janganlah sekali-kali karena kebencianmu kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorong kamu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha berat siksanya.” (dari kitab Mau’shuah Fiqhiyah dan Tafsir ayat ahkam Lil Jashosh)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah

Maka bila dilihat dari sisi esensi risywah yaitu pemberian (athiyyah), maka ada beberapa istilah dalam Islam yang memiliki keserupaan dengannya, di antara hal tersebut adalah:

Pertama: Hadiah, yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang sebagai penghargaan atau ala sabilil ikram. Perbedaannya dengan risywah adalah, jika risywah diberikan dengan tujuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, sedangkan hadiah diberikan dengan tulus sebagai penghargaan dan rasa kasih sayang.

Kedua: Hibah, yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tanpa mengharapkan imbalan dan tujuan tertentu. Perbedaannya dengan risywah adalah bahwa Ar-Raasyi yaitu pemberi suap memberikan sesuatu karena ada tujuan dan kepentingan tertentu, sedangkan Al-Waahib atau pemberi hibah memberikan sesuatu tanpa tujuan dan kepentingan tertentu.

Ketiga: Shadaqoh, yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang karena mengharapkan keridhoaan dan pahala dari Allah Swt. Seperti halnya zakat ataupun infaq. Perbedaannya dengan risywah adalah bahwa seseorang yang bersedekah ia memberikan sesuatu hanya karena mengharapkan pahala dan keridhoaan Allah semata tanpa unsur keduniawian yang dia harapkan dari pemberian tersebut.

Lalu bagaimanakan jika pemberian hadiah atau hibah tersebut diberikan oleh seseorang kepada pejabat pemerintah atau penguasa, ataupun hakim, maka dalam hal ini Imam Bukhori meriwayatkan hadits dari Abu Humaid As-saidi dalam hadits yang masyhur dengan istilah Hadits Ibnul Utbiyah sebagai berikut:

حدثنا عبد الله بن محمد قال حدثنا سفيان عن الزهري عن عروة بن الزبير عن أبي حميد الساعدي رضي الله تعالى عنه قال استعمل النبي رجلا من الأزد يقال له ابن الأتبية على الصدقة فلما قدم قال هذا لكم وهذا أهدي لي قال فهلا جلس في بيت أبيه أو بيت أمه فينظر أيهدي له أم لا والذي نفسي بيده لا يأخذ أحد منه شيئا إلا جاء به يوم القيامة يحمله على رقبته إن كان بعيرا له رغاء أو بقرة لها خوار أو شاة تيعر ثم رفع بيده حتى رأينا عفرة إبطيه أللهم هل بلغت أللهم هل بلغت ثلاثا

Dari Abi Humaid As Sa’idi ra berkta Nabi saw mengangkat seseorang dari suku Azdy bernama Ibnu Al-Utbiyyah untuk mengurusi zakat, tatkala ia datang kepada Rosulullah, ia berkata: Ini untuk anda dan ini dihadiahkan untuk saya. Rosulullah bersabda, ” Kenapa ia tidak duduk saja di rumah ayahnya aatau ibunya, lantas melihat apakah ia akan diberi hadiah atau tidak. Demi Zat yang jiwaku berada ditangan-Nya tidaklah seseorang mengambilnya darinya sesuatupun kecuali ia datang pada hari kiamat dengan memikulnya di lehernya, kalau unta atau sapi atau kambing semua akan bersuara dengan suaranya, kemudian Rosulullah mengangkat tangannya sampai kelihatan ketiaknya lantas bersabda, Ya Allah tidaklah kecuali telah aku sampaikan, sungguh telah aku sampaikan, sungguh telah aku sampaikan. (HR. Bukhori)

Risywah hukumnya tetap haram walaupun menggunakan istilah hadiah, hibah atau tanda terima kasih dan lain-lain, sebagaimana hadits di atas. Oleh karena itu, setiap perolehan apa saja di luar gaji dan dana resmi dan legal yang terkait dengan jabatan  atau pekerjaan merupakan harta ghulul atau korupsi yang hukumnya tidak halal meskipun itu atas nama ‘hadiah’ dan tanda ‘terima kasih’ akan tetapi dalam konteks dan perspektif  syariat Islam bukan merupakan hadiah tetapi dikategorikan sebagai ‘risywah’ atau syibhu risywah yaitu semi suap, atau juga risywah masturoh yaitu suap terselubung dan sebagainya.

Para ulama berpendapat, bahwa segala sesuatu yang dihasilkan dengan cara yang tidak halal atau  seperti risywah maka harus dikembalikan kepada pemiliknya jika pemiliknya diketahui, atau kepada ahli warisnya jika pemiliknya sudah meninggal, jika pemiliknya tidak diketahui maka harus dikembalikan kepada baitul maal, atau dikembalikan kepada negara jika itu dari uang negara dalam hal ini adalah uang rakyat, atau digunakan untuk kepentingan umum. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terkait dengan orang yang bertaubat setelah mengambil harta orang lain secara tidak benar, sebagaiamna ungkapannya: “jika pemiliknya diketahui maka diserahkan kepada pemiliknya, jika tidak diketahui maka diserahkan untuk kepentingan umat islam.”

Seorang muslim yang baik dan sholih harus berusaha untuk menjauhkan diri dari harta yang haram, tidak menerima dan tidak memakannya. Jika terpaksa dan telah menerimanya serta tidak dapat mengelak darinya maka hendaklah harta tersebut tidak dipergunakan untuk keperluan pribadi dan keluarganya khususnya terkait dengan kebutuhan makanan. Namun hendaklah harta tersebut dipergunakan untuk keperluan sosial dan kepentingan sarana umum, seperti jalan raya, jembatan dll.

Rosulullah bersabda:

عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يا أيها الناس إن الله عز و جل طيب لا يقبل إلا طيبا و إن الله عز و جل أمر المؤمنين بما به المرسلين فقال : يا أيها الرسل كلوا من الطيبات ، و قال : يا أيها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم ، ثم ذكر الرجل يطيل السفر أشعث أغبر يمد يده إلى السماء يا رب ! يا رب ! و مطعمه حرام و مشربه حرام و ملبسه حرام و غذي بالحرام فأنى يستجاب له ( أخرجه مسلم)

“Wahai manusia, sesungguhnya Allah azza wajalla adalah Dzat yang Baik dan tidak menerima kecuali sesuatu yang baik, dan Allah memerintahkan kaum muslimin sebagaimana memerintakan kepada para nabi, “Wahai Rosul-rosul makanlah dari yang baik-baik” dan firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman makanlah dari yang baik-baik yang kami rezekikan kepadamu.” Kemudian Rosulullah menyebutkan bahwa sesorang yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya kusut, dan berdebu menengadakan keduabelah tangannya ke langit sambil berdoa; wahai Rabb, wahai Tuhan, sedangkan makanannnya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimana mungkin dikabulkan doanya. (HR. Muslim).

Referensi : Suap Menyuap Dalam Perspektif Agama Islam














Makna Hakiki Bekerja dan Rezeki

Ilustrasi : Makna Hakiki Bekerja dan Rezeki

Bekerja, adalah salah satu konsep yang menjadi perhatian dalam Islam. Bekerja merupakan hal mendasar dalam kehidupan. Hidup manusia dapat berjalan baik jika setiap orang mau bekerja, baik untuk kepentingan individu ataupun kepentingan sosial.

Dengan bekerja, seseorang dapat membangun kepercayaan dirinya. Seseorang yang bekerja tentu berbeda dengan orang yang tidak bekerja sama sekali atau pengangguran dalam masalah pencitraan dirinya. Bahkan dengan bekerja, seseorang akan merasa terhormat di hadapan orang lain. Karena dengan hasil tangannya sendiri, mereka mampu bertahan hidup. Sungguh berbeda jika dibandingkan dengan seorang pengemis yang selalu meminta belas kasih orang lain. Bekerja malahan akan menaikkan derajat suatu bangsa di hadapan bangsa lain.

Mengingat begitu pentingnya masalah bekerja dalam kehidupan, maka Islam memberikan perhatian khusus kepada umat manusia untuk bekerja. Bekerja merupakan upaya untuk melanggengkan kehidupan itu sendiri. Bahkan, bekerja dalam pandangan Islam selalu dikaitkan dengan masalah keimanan. Banyak kalam Allah SWT yang menyebutkan bahwa pembahasan tentang bekerja dengan cara terbaik (amal saleh) selalu disandingkan dengan keimanan kepada Allah SWT. Masalah keimanan selalu diletakkan di awal kalimat sebelum amal saleh. Dalam Al-Quran Surat  Al-‘Ashr ayat 1 – 3, yang artinya, : 1. Demi masa ; 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian ; 3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Dalam Al-Quran Surat At-Taubah ayat 105 yang artinya : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”

Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, bekerja disejajarkan dengan keimanan, sekaligus sebagai wujud dari keimanan itu sendiri. Hal ini pulalah yang memberikan pemahaman bahwa bekerja hendaknya berada dalam bingkai keimanan kepada Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran Surat  Al-Insyiqaaq ayat 6 yang artinya : “Sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.”

Dalam Islam, bekerj abukan sekadar untuk mendapatkan materi, tetapi lebih jauh dan lebih dalam dari itu. Bekerja sebagai upaya mewujudkan firman Allah sebagai bagian dari keimanan. Dengan demikian, bekerja merupakan aktivitas yang mulia. Dengan bekerja, seseorang dapat melaksanakan perintah-perintah Allah SWT lainnya, seperti zakat, infak, dan sedekah. Bahkan Rasulullah SAW menempatkan posisi terhormat bagi mereka yang berinfak dari hasil kerjanya sendiri. Sabda Rasulullah SAW : “Tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.”

Malahan mereka yang bekerja atas dasar niat untuk menafkahi keluarganya dikategorikan sebagai mujahid (pejuang) di jalan Allah. Allah SWT pun menempatkan mereka sebagai syahid (dunia) apabila meninggal saat bekerja untuk mencari penghidupan yang terbaik bagi keluarganya. Sabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bekerja dan barangsiapa yang bekerja keras untuk keluarganya, maka ia seperti mujahid di jalan Allah.” (HR. Ahmad)

Dalam Islam, bekerja juga merupakan wujud syukur akan nikmat dan karunia Allah SWT. Selain itu, bekerja juga sangat dianjurkan, karena dapat menjaga wibawa dan kehormatan diri. Dengan bekerja, seseorang tak kan meminta-minta dan mengharapkan pemberian orang lain. Allah SWT dan Rasul-Nya melarang para peminta-minta, yaitu mereka yang tidak bekerja dan hanya berpangku tangan. Ibnu Mas’ud mengatakan : “Saya amat benci melihat seorang laki-laki yang menganggur, tidak ada usahanya untuk kepentingan dunia dan tidak pula untuk kepentingan akhirat.”

Bekerja di dunia merupakan salah satu jembatan menuju akhirat. Karena itu, bekerja bukan semata-mata mencari penghidupan dunia. Cara kerja kita akan menentukan, apakah kita akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat atau tidak? Maka, setiap langkah kerja kita akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT kelak.

Allah berfirman dalam Al-Quran Surat  Al-Qashash ayat 77, yang artinya : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Begitu banyak kalam Allah SWT dan hadits Rasulullah SAW yang secara khusus memberikan motivasi untuk bekerja. Bekerja dengan cara terbaik demi mendapatkan rezeki halal dan penghidupan terbaik. Di antaranya dalam Al-Quran Surat  Al-Jumu’ah ayat 10, yang artinya : “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi ; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”

Juga hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Baihaqi : “Sesungguhnya Allah senang jika salah seorang di antara kamu mengerjakan sesuatu pekerjaan yang dilakukan secara professional.” (HR. Baihaqi)

Banyak orang memaknai rezeki begitu sempit, yaitu sekadar uang atau materi. Pemahaman yang umum melekat adalah rezeki merupakan hasil kerja seseorang dan bukanlah pemberian dari Sang Pemilik Rezeki. Ketika kita mendapatkan kesehatan yang baik, masih bisa menghirup udara dengan bebas, mata masih bisa melihat dengan jernih, telinga masih bisa mendengar dengan jelas, mulut masih bisa berbicara dengan indah, tangan masih bisa digerakkan, dan kaki masih bisa diayunkan untuk melangkah, seakan semua kenikmatan itu bukanlah sebuah rezeki.

Semua itu hanya dianggap sebuah kewajaran biasa. Padahal, di saat salah satu bagian tubuh tidak dapat difungsikan dengan baik, tentu akan banyak mengeluarkan biaya untuk menormalkannya kembali. Untuk itu, tidakkah sesungguhnya kesehatan yang melekat pada diri merupakan rezeki terbesar (setelah keimanan) dari Allah SWT?

Tetapi kebanyakan manusia tidak memahami dan menyadarinya. Untuk itulah, Rasulullah SAW bersabda : “Dua hal yang sering manusia lupakan adalah kesehatan dan kesempatan.”

Rezeki menurut para ulama ialah apa saja yang bisa dimanfaatkan (dipakai, dimakan atau dinikmati) oleh manusia. Rezeki dapat berupa uang, makanan, ilmu pengetahuan, rumah, kendaraan, pekerjaan, anak-anak, istri, kesehatan, ketenangan, serta segala sesuatu yang dirasa nikmat dan membawa manfaat bagi manusia. Rezeki merupakan kelengkapan hidup yang pasti Allah karuniakan kepada mahluk hidup di dunia, khususnya manusia. Sebagaimana ajal, keberadaan rezeki telah dijamin Allah SWT. Tidak ada manusia yang hidup di dunia tanpa dilengkapi rezeki.

Sayangnya, kebanyakan orang memahami rezeki sebagai harta dan materi belaka. Bahkan, lebih sempit lagi, yaitu berupa uang. Dengan demikian, muncul anggapan bahwa jika seseorang tidak memiliki uang berarti dia tidak mendapatkan rezeki. Begitu pula jika seseorang bekerja dan hanya mendapatkan sejumlah kecil uang, dianggap hanya mendapat sedikit rezeki. Sementara itu, pengalaman masa kerja, kebahagiaan, dan lain sebagainya tidak dianggap sebagai sebuah rezeki.

Ada pula pemahaman masyarakat bahwa peluang tempat untuk mengais rezeki hanya dengan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sementara pekerjaan selain PNS bukanlah tempat yang layak untuk mendapatkan rezeki. Ini merupakan pemahaman yang keliru. Padahal, dalam hadits Rasulullah SAW disebutkan, 99 pintu rezeki manusia diperoleh dari berdagang.

Banyak kalangan memiliki pemahaman berbeda terhadap makna rezeki ini. Pemahaman makna tersebut akan menentukan cara seseorang dalam memperlakukan rezeki yang ada padanya.

Berikut ini tiga model pemahaman tentang makna rezeki :

Sebagian orang memahami bahwa rezeki yang didapat menjadi miliknya sepenuhnya. Tidak ada campur tangan pihak lain dalam mendapatkan rezeki tersebut, baik orang lain ataupun Allah SWT. Baginya, segala sesuatu yang diperoleh adalah hasil kerja kerasnya semata. Orang yang berpaham demikian jauh dari rasa syukur dan sangat sulit untuk membagi rezekinya dengan orang lain. Bagi mereka, berbagi hanya akan mengurangi rezeki yang dimiliki. Mereka tidak sadar bahwa segala sesuatu sesungguhnya hanya milik Allah SWT.

Para ulama memahami makna rezeki sebagai atho’ atau pemberian. Makna tersebut merupakan makna dasar dari kata ar-rizqu dalam bahasa Arab. Dengan pengertian atho’, segala rezeki yang diperoleh seseorang di dunia adalah semata-mata pemberian Allah SWT. Rezeki bukanlah hasil kerja dari seseorang. Sementara, kerja hanyalah sebatas haal (jalan) atau perantara untuk mendapatkan rezeki. Sedangkan, sebab utama diperolehnya rezeki adalah pemberian dari Allah SWT. Ada banyak perantara bagi seseorang untuk mendapatkan rezeki. Bisa melalui kerja yang dilakukan, melalui orang lain, atau menemukan sesuatu di jalan, dan lain sebagainya. Coba renungkan jika rezeki adalah hasil dari kerja kita, tentunya mereka yang bekerja keras dan banting tulang saja yang mendapatkan hasil banyak. Pemahaman tentang rezeki sebagai pemberian Allah SWT akan memudahkan seseorang untuk memenuhi segala aturan-Nya dan berbagi dengan orang lain.

Pemahaman lainnya adalah rezeki yang dimiliki seseorang semata-mata amanah dari Allah SWT. Sebuah amanah yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan-Nya. Inilah pemahaman sesungguhnya tentang rezeki. Pemahaman ini akan mengantarkan seseorang pada rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap rezeki. Lantaran, Sang Pemilik Rezeki dapat mengambil kembali semua rezeki, kapan pun Dia berkehendak. Jika seseorang telah memiliki pemahaman ini, tentunya ia tak kan menolak kehendak-Nya dan tak kan membuatnya stress atau bingung. Mereka pun akan berhati-hati dalam mengelola rezekinya. Jangan sampai menyinggung perasaan Sang Pemilik Utamanya. Apa pun kehendak Sang Pemilik Rezeki, tentu akan dipenuhinya dengan senang hati sebagai wujud rasa syukur atas rezeki yang dipercayakan pada dirinya. Kalaupun tidak ada rezeki padanya, mereka paham bahwa –mungkin– itulah yang terbaik menurut Sang Pemilik. Meskipun belum diberi kepercayaan, mereka akan terus berupaya menampilkan yang terbaik dalam kehidupan ini. Seraya selalu mendekatkan diri pada-Nya dan menarik simpati-Nya, sehingga Sang Pemilik mempercayakan rezeki pada dirinya.

Bekerja dengan hati nurani adalah bekerja dengan berlandaskan pada pusat kesadaran manusia, yaitu kalbu. Hati nurani adalah hati yang telah diwarnai atau dipenuhi cahaya kebenaran. Sedangkan kalbu merupakan dasar kefitrahan diri. Pada dasarnya, kalbu cenderung pada panggilan kesucian, kebenaran, dan ketaatan kepada Allah SWT. Dalam bekerja, hendaknya mendengarkan suara hati nurani sebagai pengambil kebijaksanaan.

Penanaman nilai-nilai spiritual di dunia kerja diyakini mampu mendorong munculnya motivasi dan produktivitas kerja yang tinggi atas dasar ibadah. Dengan demikian, pekerjaan yang dilakukan secara ikhlas, tanpa pamrih, penuh kesadaran, bertanggung jawab, bersemangat, dan bersungguh-sungguh karena merasa dinilai Allah SWT, suci bersih dari penyimpangan, penyelewengan dan kebohongan, penuh prestasi, terobsesi untuk selalu menampilkan yang terbaik, serta menjadi teladan, contoh terbaik dalam kebaikan bagi lainnya. Berbagai sikap ini harus dibina dan dikembangkan dalam keseharian kerja kita.

Ketika bekerja dengan kesadaran spiritual, seseorang selalu merasa dilihat, dinilai, dan diawasi Allah SWT, sehingga tidak membutuhkan penilaian dari manusia. Ada atau tidak ada pimpinan yang mengontrol, selalu menampilkan sikap yang terbaik dalam setiap langkah pekerjaannya. Kerja spiritual inilah yang diyakini mampu memotivasi sekaligus menjadi modal utama sebuah kesuksesan dalam pencapaian visi perusahaan atau instansi. 

Referensi : Makna Hakiki Bekerja dan Rezeki





















Kisah Nyata Pemuda Tinggalkan Makanan Haram, Allah Swt Bayar Kontan dengan Rumah dan Istri

Kisah Nyata Pemuda Tinggalkan Makanan Haram, Allah Bayar Kontan dengan Rumah dan Istri. Semua upaya mendapat uang haram sangat dibenci Allah SWT. Mereka yang memakan uang haram akan mendapat murka Allah SWT. Uang haram sangat berbahaya dan memberi dampak buruk bagi diri sendiri dan juga keluarga. Tak hanya di dunia, dampak uang haram juga akan dibawa sampai ke kehidupan di akhirat kelak.

Seorang anak muda di Damaskus, Suriah, menginsiprasi. Pasalnya pemuda yang hidup pada zaman tabiin tersebut mengukir kisah menakjubkan dalam hidupnya, karena menjaga diri dari barang yang haram. Kisah menakjubkan itu bermula saat dia meminta izin untuk tinggal bersama seorang ulama di sebuah masjid.

Ulama tersebut memperbolehkan anak muda itu untuk tinggal bersamanya di masjid itu. Namun Ulama tersebut memberi tahu anak muda itu kehidupanya.Sang pemuda bergantung pada ulama, ketika tak ada makanan, pemuda dan ulama tersebut berpuasa.Namun tak lama berselang Allah menguji kedua insan tersebut, kala itu keduanya tidak makan selama tiga hari.Anak muda tersebut belum terbiasa sehingga tidak dapat menahan rasa lapar, sampai-sampai dia membungkukan badannya agar bisa menahan rasa lapar tersebut.

Ustadz Khalid Basalamah mengisahkan, pada saat menahan lapar pemuda tersebut tergoda oleh setan untuk mencuri makanan di rumah yang berada di sebelah masjid.Lalu mencoba untuk mencuri makanan di antara rumah yang ada di sekitar masjid tersebut dengan cara memanjat melewati atas rumah.Di rumah yang pertama, anak muda tersebut melihat wanita yang terbuka auratnya sehingga dia tidak jadi untuk mencuri di rumah tersebut. Pada rumah berikutnya anak muda tersebut mencoba masuk karena mencium wangi makanan yang keluar dari rumah itu, lalu masuklah anak muda tersebut dan melihat ada sebuah panci yang berisikan terong.

Setelah itu dia membuka panci tersebut dan memakan terong yang ada di panci, pada saat hendak menelan gigitan pertama terong tersebut, anak muda tersebut sadar bahwa apa yang dia lakukan itu merupakan hal yang haram, berdosa. Dia tahu bahwa Allah Ta'ala tak akan membiarkan hamba-Nya mati kelaparan bila meninggalkan yang haram.

Setelah merasa sadar, dia langsung bergegas kembali ke masjid, mengeluarkan kembali makanan yang ada di mulutnya tersebut. Sesampainya di masjid, dia dipanggil oleh ulama yang setia bersamanya, menanyakan apakah siap untuk menikah. Namun ketika sang ulama menanyakan apakah si pemuda ingin menikah sampai mengulang pertanyaannya hingga tiga kali, pemuda tersebut tidak menjawab.

Tak lama kemudian, anak muda tersebut mengaku, selama ini dia bergantung pada ulama masjid tersebut, takut bila menikah tak bisa memberi istrinya makan. Lalu ulama menjelaskan bahwa wanita yang bersedia nikah baru ditinggal suaminya meninggal dan sudah melewati masa idah.Mantan suaminya meninggalkan harta yang banyak, singkat cerita menikahlah anak muda tersebut dengan wanita itu.Saat keduanya menuju rumah, anak muda itu kaget bukan kepalang karena rumah tersebut adalah rumah yang sempat didatanginya, hampir mencuri terong yang dimuntahkan. Sang pemuda bahkan menyampaikan kejadian yang sebenarnya kepada sang istri.

Dengan penuh hikmah, sang istri menyatakan bahwa ketika meninggalkan sesuatu yang haram, maka Allah Ta'ala menggantinya secara langsung, mengganti dengan istri berserta rumah dan isinya.Referensi : Kisah Nyata Pemuda Tinggalkan Makanan Haram, Allah Swt Bayar Kontan dengan Rumah dan Istri











Makanan Halal dan Haram

Ilustrasi : Makanan Halal dan Haram

Haram artinya dilarang, jadi makanan yang haram adalah makanan yang dilarang oleh syara’ untuk dimakan. Setiap makanan yang dilarang oleh syara’ pasti ada bahayanya dan meninggalkan yang dilarang syara’ pasti ada faidahnya dan mendapat pahala. Berbagai jenis makanan yang diharamkan oleh Allah SWT ini antara lain termaktub dalam firman Allah surat Al-Maidah ayat 3:  Jenis makanan haram. Berdasarkan ayat ini 5 kriteria makanan yang haram dimakan :

  1. Bangkai, kecuali bangkai ikan dan belalang.
  2. Darah, kecuali hati dan limpa. 
  3. Babi dan Anjing termasuk binatang haram untuk dimakan, karena telah diharamkan oleh Allah, Rasulullah SAW, dan para Ulama.
  4. Daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah.
  5. Hewan yang mati karena tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk, atau diterkam binatang buas.
  6. Semua makanan yang jijik, yaitu yang kotor dan menjijikan. Tikus termasuk binatang yang kotor dan menjijikkan, jadi tidak halal (haram)
  7. Bagian yang dipotong dari binatang yang masih hidup.
  8. Makanan yang didapat dengan cara yang tidak halal seperti makanan hasil curian, rampasan, korupsi, riba dan cara-cara lain yang dilarang agama.
  9. Binatang yang bertaring atau berkuku tajam, yang biasa ia gunakan untuk mencengkeram atau menyerang musuh-musuhnya.
  10. Binatang yang hidup di dua alam. Di antara ulama yang mengharamkan adalah sebagian ulama Syafiiyah dan Hanafiyah. Contoh: katak, buaya, dan kura-kura.

Jenis-Jenis Minuman Haram

  • Semua minuman yang memabukkan atau apabila diminum menimbulkan mudharat dan merusak badan, akal, jiwa, moral dan aqidah seperti arak, khamar, narkotika, dan sejenisnya.
  • Minuman dari benda najis atau benda yang terkena najis.
  • Minuman yang didapatkan dengan cara-cara yang tidak halal atau yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Referensi : Makanan Halal dan Haram

Akibat Memakan Harta Hasil Korupsi Sangat Mengerikan

Akibat Memakan Harta Hasil Korupsi Sangat Mengerikan. Tidak ada perbedaan pendapat para ulama terkait bagaimana hukum harta atau makanan yang diperoleh secara bathil. Jumhur ulama secara bulat memutuskan bahwa hukum terhadap perkara tersebut adalah haram. Barang siapa yang memakan sesuatu dari harta yang haram, maka mereka seperti memakan api neraka.

Korupsi adalah salah satu bentuk mengambil hak orang lain secara haram, artinya diperoleh secara batil. Atau memberikan sesuatu kepada orang lain yang tidak berhak menerimanya. Jadi sudah jelas bahwa hasil yang diperoleh dari praktik korupsi adalah semuanya haram. Jika ia berbentuk jabatan, maka jabatannya haram, maka gaji yang didapat dari jabatan tersebut juga haram.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia, juga memutuskan dan menetapkan jika perbuatan korupsi sebagai perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dan hukumnya haram. Pelakunya harus tobat nasuha dan mengembalikan apa yang diambilnya kepada yang berhak.

Makna dari haram yaitu jika seseorang melakukan perbuatan tertentu maka ia akan mendapatkan dosa, sedangkan jika ia meninggalkan, maka tidak berdosa. Lalu mengapa banyak orang yang tidak takut korupsi? Apakah berarti mereka tidak takut dosa? Inilah yang akan kita bahas dalam tulisan sederhana ini.

Firman Allah Swt, "Dan janganlah sebahagian kamu makan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu ke hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah, 188).

Dalam ayat diatas secara tegas dikatakan bahwa memakan harta orang lain secara batil, maka akibatnya adalah dosa besar. Dan tempat orang yang melakukan dosa besar itu adalah neraka jahannam. Dan firman Allah Swt tersebut barangkali sudah diketahui banyak orang, bahkan mungkin yang menghafal ayat ini sendiri juga pelaku korupsi.

Maka sangat disayangkan apabila pelaku korupsi di Indonesia yang mengingkari ayat Tuhannya. Berarti mereka tergolong dalam golongan orang-orang yang menentang Allah Swt. Dengan demikian mereka telah melakukan dosa besar bahkan vonis murtad (keluar dari Islam) patut diberikan. Tidak peduli mereka sudah berhaji sembilan kali.

Perbuatan korupsi dalam pandangan agama sangat tidak dibenarkan. Karena hal itu menyangkut dengan rezeki halal yang harus mereka makan. Jika korupsi makanan yang mereka peroleh bukan dari rezeki yang halal.

Akibatnya, secuil makanan yang haram akan mengendap dalam perut seseorang. Ia akan tumbuh bersama daging dan darah. Tubuh manusia manapun yang tumbuh berkembang dan yang haram, maka nerakalah yang paling layak untuknya. Bayangkan jika uang haram tersebut lalu dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan anak dan istri mereka.

Ancaman bagi pemakan harta yang haram sangatlah berat. Bukan hanya azab dihari akhirat nantinya. Namun juga azab atau siksaan tersebut ada yang langsung ditampakkan didunia. Misalnya hidup pelaku korupsi tidak pernah bahagia, padahal hartanya banyak. Karena jabatan yang diperoleh dengan cara suap menyuap, maka jabatannya itu tidak berkah, atau jabatan itu semakin membuat mereka jauh dengan Tuhannya.

Saat ini banyak kita lihat disekeliling kita bagaimana kehidupan seorang pejabat yang kita tahu ia memang korup. Sungguh sangat menyedihkan. Kehidupan dalam rumah tangga sering kacau, ribut, hingga terjadi perceraian. Tidak ada kebahagiaan dalam rumah tangga.

Anak-anak mereka hidup bebas, liar, dan banyak yang terjerumus narkoba, seks bebas, jauh dari agama. Sehingga masa depan mereka suram dan hancur. Tak pelak akhirnya masuk penjara dengan hukuman yang lama. Kenapa ini bisa terjadi. Karena dalam tubuh mereka berkembang darah dari makanan hasil korupsi yang haram.

Mungkin dari segi harta atau materi, para pelaku korupsi tidak mengalami kekurangan, bahkan berlimpah. Apalagi jika mereka pandai menyembunyikan hasil rampokan harta orang lain tersebut dengan rapi. Sampai aparat penegak hukum pun luput. Atau mereka saat ini sedang berkuasa, lalu aparatur bidang penindakan hukum takut menangkapnya.

Namun percayalah bahwa hal itu tidak akan bertahan lama. Lambat laun yang namanya bau busuk pasti tercium juga. Maknanya bahwa perbuatan korupsi yang dilakukan pasti juga akan terbongkar dengan sendirinya. Inilah bukti bahwa Tuhan tidak akan membiarkan siapapun berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain. Sampai mempermainkan nasib anak yatim dan fakir miskin dengan memakan hak mereka secara batil.

Sebagai bukti, memang korupsi di Indonesia sudah menggurita. Terjadi diberbagai daerah dan dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari kepala desa hingga kepala negara. Dari politisi hingga hakim agung. Ada korupsi Bank Century, korupsi E-KTP, korupsi Al-Quran pun nekat dilakukan. Namun bagaimana akhirnya? Pelakunya pasti tertangkap dan kasusnya terbongkar.

Jadi sekali lagi, tidak usah coba-coba korupsi karena berpikir bahwa nanti bisa ditutup-tutupi dan sembunyikan. Percayalah bahwa pasti ketahuan. Lebih baik menerima seluruh hasil yang kita peroleh dengan cara yang halal walaupun masih mengalami kekurangan. Meskipun belum cukup, namun berkah. Hidup lebih tenang, damai, dan bahagia.

Ada sebuah hasil penelitian yang membuktikan bahwa terdapat kasus anak-anak dan generasi bangsa rusak karena orang tuanya menghidupi (makan, minum sandang, papan) dan membiayai pendidikan anak-anaknya dengan uang yang tidak sepenuhnya halal.

Pada masanya mereka menjadi pemimpin yang dilahirkan dari makanan haram hasil korupsi. Maka apa yang terjadi? Berlakulah maksiat dinegeri yang ia pimpin. Inilah kehancuran nyata sebuah bangsa, dimulai dengan kehancuran moral rakyatnya, lalu diikuti dengan bejatnya para pemimpin. Ini disebabkan oleh korupsi.

Sebagai penutup izinkan saya mengutip sebuah hadits Rasulullah saw yang mengingatkan siapa saja tentang suap menyuap (korupsi) "Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap. (HR Ahmad). Dalam nasehat yang lain juga dikatakan "hadiah untuk pejabat (penguasa) adalah kecurangan; penyuap dan yang menerima suap tempatnya adalah neraka." Semoga tulisan ini bermanfaat kiranya bagi yang mau mengambil pelajaran, tentu saja terutama bagi penulis sendiri. Dan jika mungkin bagi pembaca sekalian.

Referensi : Akibat Memakan Harta Hasil Korupsi Sangat Mengerikan













Tanda Ini Menunjukkan Mantan Akan Kembali Kepadamu

Ilustrasi : Tanda Ini Menunjukkan Mantan Akan Kembali Kepadamu

Tidak dapat dihindari bahwa setelah putus cinta dengan seseorang yang Anda cintai, akan tiba saatnya ketika Anda bertanya-tanya apakah hubungan itu benar-benar berakhir atau apakah ada kemungkinan mantan Anda hanya berpura-pura melupakan Anda. Dan jika demikian, apakah ada kemungkinan kalian berdua bisa kembali bersama suatu hari nanti? Bagaimana Anda tahu jika perpisahan tersebut untuk selamanya? Ada beberapa tanda yang bisa menunjukkan hal tersebut. 

1. Dia sudah dalam hubungan (rebound) baru

Berantem itu adalah sebuah persoalan yang biasa dihadapi setiap pasangan. Saat si dia marah, kamu bisa membuatnya tak marah lagi kok. (Ilustrasi: Kelas Cinta). Anda telah mengetahui bahwa mantan pacar Anda sudah menjalin hubungan lain. Bagaimana ini mungkin? Bisakah dia benar-benar move on secepat itu?.  Para ahli menunjukkan bahwa hubungan rebound umum terjadi setelah putus cinta. Inti dari hubungan rebound adalah untuk mengisi kekosongan yang tersisa setelah putus cinta yang menyakitkan. Hubungan rebound adalah "pembalut luka" emosional.

Dengan demikian, mantan Anda bisa menjalin hubungan rebound bahkan ketika dia masih mencintai Anda. Ada sejumlah petunjuk yang akan membantu Anda mengetahui apakah hubungan baru pacar Anda itu asli atau kedok belaka. Apakah dia mulai berkencan dengan sangat cepat setelah putus? Jika Anda berdua baru putus selama beberapa minggu dan dia sudah berkencan lagi, kemungkinan dia sedang pulih dan dia masih menyukai Anda.

2. Aktif di media sosial

Apakah dia menguntit media sosial Anda? Jika mantan pacar Anda menyisir melalui media sosial Anda dengan berkomentar, membagikan hal-hal yang Anda posting dan menyukai posting-an Anda, ini adalah tanda-tanda bahwa dia mungkin masih memiliki perasaan untuk Anda.

Dia tidak akan memantau konten media sosial Anda jika tidak. Seseorang tidak menginvestasikan waktu dan energi mereka untuk hal-hal yang tidak berarti baginya.

Tetapi jika mantan Anda telah berhenti mengikuti dan tidak berteman dengan akun media sosial Anda, itu berarti dia mencoba untuk pindah dan dia tidak menginginkan Anda dalam hidupnya dengan mengikuti aturan tidak ada kontak.

3. Dia belum mengembalikan barang-barang Anda

Banyak hadiah dan barang mungkin dipertukarkan karena hubungan tersebut. Apakah Anda masih memiliki banyak barang milik mantan pacar Anda?

Jika mantan Anda tidak sepenuhnya melupakan Anda, dia akan memilih untuk tidak mengambil barang-barangnya sehingga dia dapat memiliki alasan untuk datang menjemputnya di lain waktu. Selama ada barang miliknya di rumah Anda, ini adalah pertanda kuat bahwa Anda berdua akan selalu memiliki urusan yang belum selesai.

Jika mantan pacar Anda mengembalikan semua barang Anda, dan mengembalikan hadiah Anda setelah putus cinta, dan mengumpulkan barang-barangnya, ini adalah caranya untuk memberi tahu Anda bahwa dia serius untuk move on.

4. Dia tidak berubah

Jika Anda memperhatikan dan menyadari bahwa mantan pacar Anda sedang mencoba hal baru dan memiliki pengalaman baru, Anda harus mengakui bahwa dia sedang melanjutkan hidupnya.

Apakah dia belajar bahasa baru? Bepergian lebih banyak? Melakukan perjalanan hiking? Pergi berkemah? Ini jelas memberitahu Anda bahwa mantan Anda telah move on. Dia menginginkan kehidupan yang mendorongnya keluar dari zona nyaman dan rutinitas hariannya.

Dia juga terlihat berbeda. Apakah dia mendapatkan potongan rambut baru atau mewarnai rambutnya? Apakah dia berpakaian berbeda? Dia sengaja membangun kehidupan baru dan Anda lebih baik percaya bahwa dia terus maju.

5. Dia tidak move on

4 Zodiak Paling Pandai Mengekspresikan Cinta (sumber: Pexels)

Move on tidak selalu harus simbolis. Terkadang, orang tidak dapat benar-benar move on setelah putus cinta, terutama jika mantan pasangan bekerja di tempat yang sama atau mereka memiliki teman bersama.

6. Dia berkencan dengan seseorang yang sifatnya berlawanan dengan Anda

Para ahli menunjukkan bahwa kadang-kadang, mantan mencoba untuk mengkompensasi rasa sakit karena putus cinta dengan menemukan seseorang yang tidak seperti mantan mereka.

7. Dia masih menjalin komunikasi

Apakah kalian masih saling berkirim pesan dan menelepon seperti dulu? Apakah dia menelepon untuk memeriksa Anda dan menanyakan bagaimana hari Anda? Ini adalah salah satu tanda terbesar bahwa dia mungkin merindukan Anda dan tidak melupakan Anda. Tetapi jika dia memutuskan semua kontak, dia tidak ingin tetap berhubungan sama sekali. Ini sudah berakhir. Jika dia menghindari pergi ke tempat-tempat di mana Anda mungkin berada, bahkan tempat-tempat di mana dia biasanya ingin pergi, dia berusaha keras untuk memastikan bahwa Anda berdua tidak memiliki alasan untuk terhubung lagi.


Anak yang Dikasih Makan Uang Haram Bisa Jadi Nakal & Tertekan (Kyai Said)

Uang haram yang digunakan untuk menafkahi anak-anak dapat mengganggu mental dan tumbuh kembangnya. Uang yang haram mampu mengganggu tumbuh kembang anak karena pasti ada saja masalah yang muncul akibat uang tersebut hingga akhirnya membuat anak tertekan.  Ketua umum PBNU mengingatkan agar tidak mencari nafkah dengan cara yang tidak halal. Uang yang dihasilkan dengan cara demikian, tidak akan memberikan berkah bagi seluruh anggota keluarga. Oleh karena itu, Kiai Said mengimbau agar menjauhi diri dari uang haram apalagi untuk digunakan memberi makan anggota keluarga.

“Jika uang haram dimakan anak, belum tentu anaknya menjadi anak soleh, anaknya bisa jadi nakal. Dan itu saya bukan omong kosong,” Maka ingatlah selalu bahwa amanat ini amanat dari Allah, amanat dari negara, amanat dari rakyat. Untuk menghidari ‘uang haram’ Kiai Said memberikan tip sederhana: “Hendaklah berani mengatakan iya terhadap kebenaran, mengatakan tidak terhadap kezaliman atau penyimpangan,” kata Kiai Said singkat. Sebab menurutnya, barang siapa yang berpegang amanat dengan kuat dan berpegang pada perintah Allah maka hidupnya akan penuh berkah. Sebaliknya, barang siapa yang melanggar akan diazab dengan siksaan Allah baik di dunia atau di akhirat. Tapi kalau melanggar hukum, penyimpangan, sebelum di akhirat, di dunia pun tidur tidak nyenyak, hidup tidak tenang.

Referensi : Anak yang Dikasih Makan Uang Haram Bisa Jadi Nakal &  Tertekan