Hukuman Dunia Bagi Orang yang Sombong di Zaman Rasulullah Muhammad SAW. Sifat sombong adalah sifat yang sangat tercela dan harus dihilangkan. Sebab kesombongan bisa membuat orang mendapat laknat dan azab di dunia hingga mati pun masuk neraka.
Banyak ayat ayat dalam kitab suci Al Qur'an yang menjelaskan agar seseorang menghindari sifat sombong. Beberapa di antaranya ialah;
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)
إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ
“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 23)
Begitu juga dengan dosa pertama yang dilakukan Iblis. Sebagian salaf menjelaskan bahwa dosa pertama kali yang muncul kepada Allah adalah kesombongan.
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur (sombong) dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir“ (QS. Al Baqarah:34)
Selain dari Al Qur'an dalam suatu hadist Nabi Muhammad juga memberikan penjelasan dan definisi dari sifat sombong. Beberapa di antaranya;
Haritsah bin Wahb Al Khuzai’i berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Maukah kamu aku beritahu tentang penduduk neraka? Mereka semua adalah orang-orang keras lagi kasar, tamak lagi rakus, dan takabbur(sombong).“ (HR. Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853).
Menuru Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam, sifat sombong adalah sifat yang menolak kebenaran dan meremehkan atau merendahkan orang lain.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra, Nabi bersabda;
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim no. 91)
Karena itu kita dilarang bersikap sombong. Dikisahkan pada zaman Rasulullah ada juga orang yang sombong yang langsung mendapat hukuman dari Allah. Orang tersebut mendapat hukum di dunia disebabkan perbuatannya menolak perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia dihukum karena kesombongannya.
Berikut ini hadist yang mengisahkan orang yang mendapat hukuman langsung seketika di dunia, ketika Ia bersikap sombong.
Artinya : “Ada seorang laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu!” Orang tersebut malah menjawab, “Aku tidak bisa.” Beliau bersabda, “Apakah kamu tidak bisa?” -dia menolaknya karena sombong-. Setelah itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya” (H.R. Muslim no. 3766).
Karena sikap sombong, orang tersebut mendapat hukum di dunia disebabkan perbuatannya menolak perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia tidak bisa mengangkat tangan kanannya hingga ke mulut.
Referensi : Hukuman Dunia Bagi Orang yang Sombong di Zaman Rasulullah Muhammad SAW
10 Dosa Besar dalam Agama Islam yang Harus Dihindari. Perbuatan dosa merupakan sesuatu yang harus dihindari oleh umat Islam. Sebab, Allah SWT akan memberikan ganjaran berupa siksaan untuk setiap dosa yang diperbuat, baik dosa besar maupun dosa kecil.
Disadur dari buku Dosa-dosa Besar: Suap-Meminta-minta karangan Hafidz Muftisany, dosa besar merupakan sebuah pelanggaran besar yang dilakukan oleh manusia terhadap perintah Allah SWT dan menimbulkan kerugian maupun kerusakan kepada orang lain.
Seseorang yang berbuat dosa dipastikan akan mendapatkan azab berupa siksa api neraka. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Az-Zukhruf ayat 74 yang bunyinya:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa kekal di dalam azab neraka Jahannam.”
10 Dosa Besar dalam Agama Islam
Perbuatan dosa besar biasanya memberikan dampak merusak secara langsung kepada orang lain. Karenanya, balasan bagi pelakunya sangatlah pedih. Mengutip dari buku Dosa-dosa besar karangan M. Mutawalli Sya"rawi, berikut 10 dosa besar dalam Islam yang wajib dihindari.
1. Syirik
Syirik merupakan perbuatan menyekutukan Allah SWT. Syirik termasuk perbuatan yang dilakukan secara sadar, sehingga dosanya tidak akan diampuni-Nya. Allah berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (Surat An-Nisa ayat 48)
Artinya: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Surat An-Nisa ayat 93)
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Surat Al-Baqarah ayat 275)
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).” Surat Al-Furqan ayat 68)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Surat Al-Ma’idah ayat 90)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (Surat An-Nisa ayat 10)
10. Meninggalkan shalat
Shalat merupakan hal yang pertama dihisab di akhirat, maka dari itu orang yang meninggalkan shalat mendapatkan dosa besar.
Artinya: “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.’” (Surat Al-Muddatstsir ayat 42-43)
Referensi : 10 Dosa Besar dalam Agama Islam yang Harus Dihindari
9 Sumber Dosa, Perut Yang Kenyang dan Terlalu Banyak Tidur. Sembilan sumber dosa yang perlu diketahui oleh seorang muslim. Dosa yang dilakukan oleh orang muslim kebanyakan berawal dari salah satu sumber dosa ini. Dosa besar berawal dari dosa kecil yang terus dilakukan. Kesembilan sumber dosa ini ternyata dekat dengat kehidupan sehari-hari. Apa saja sembilan sumber dosa. Kitab ini berisi nasihat-nasihat dari Nabi Muhammad SAW, para sabahat, dan ulama ulama terdahulu, dikumpulkan oleh Syekh Imam Nawawi Al-Bantani. Syekh Imam Nawawi Al-Bantani adalah seorang ulama asal Indonesia yang diakui oleh dunia. Dan di kenal sebagai bapak kitab kuning. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Allah telah mewahyukan kepasa Musa bin Imran dalam Taurat sebagai berikut, ‘sesungguhnya, sumber dosa itu ada tiga, yaitu: sifat sombong, sifat dengki, sifat tamak. Dari tiga hal tersebut, lahirlah enam sumber dosa yang lainnya sehingga semuanya berjumlah sembilan. Enam sumber lainnya adalah: perut yang kenyang, banyak tidur, senang bersantai-santai, cinta terhadap harta benda, senang jika dipuji dan disanjung, gila jabatan atau pangkat.”
Sifat sombong, ini adalah sumber dosa yang pertama. Seperti perkataan Rasulullah SAW yang artinya, “sikap sombong itu berakibat menolak kebenaran dan meremehkan orang”
Sifat dengki, adalah rasa tidak suka atau iri dengan menaruh rasa marah terhadap seseorang. Ini merupakan sumber dosa kedua.
Sifat tamak, tamak atau rakus adalah salah satu sifat tercela, ini merupakan sumber dosa yang ketiga.
Perut yang kenyang. Allah tidak menyukai orang yang perutnya selalu kenyang. Seperti dalam firman-Nya, yang artinya:“Makan dan Minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (QS Al-A’raf ayat 31).
Banyak tidur, tidurlah secukupnya, jangan berlebihan. Bahkan ada waktu tertentu yang dilarang untuk tidur seperti pada pagi hari dan sebelum maghrib.
Senang bersantai-santai, bisa juga dikatakan hobi rebahan. Ini merupakan sumber dosa, karena dengan terlalu bersantai-santai bisa menyebabkan lupa waktu dan lupa beribadah.
Cinta terhadap harta benda, seorang ulama berkata, “kamu harus menyirnakan cinta dunian dan harta dari hatimu hingga kamu anggap keduanya serupa batu dan tanah.” Sayid Abdullah Al-Haddad.
Senang dipuji dan disanjung, sifat seperti ini adalah sumber dosa yang tidak terasa. Karena sifat ini sangat halus masuk kedalam diri manusia.
Senang dipuji atau disanjung bisa menimbulkan sikap merendahkan orang lain. Gila jabatan atau pangkat, sifat seperti ini sama seperti sifat senang dipuji. Namun ternayta sifat gila jabatan lebih berbahaya. Karena bisa berujung ingin diagungkan. Sementara keagungan hanya milik Allah Swt.
Referensi : Itulah sembilan sumber dosa yang perlu diketahui dan dihindari. Agar tidak mendatangkan dosa besar atau dosa kecil.
Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah 2: 168)
Pada saat mendengar istilah “jin” atau pun “setan”, maka dalam benak sebagian orang muncul rasa takut dalam menghadapinya. Hal ini tidak sepenuhnya salah, karena memang banyak faktor yang dapat menimbulkan hal tersebut. Di antaranya, adanya peran dari media yang memberikan stigma itu hampir setiap hari, yaitu jin atau pun setan adalah makhluk yang menyeramkan, makhluk yang selalu menganggu, makhluk yang sangat mudah terusik dengan keberadaan manusia, dan sebagainya. Padahal, kita sebagai manusia dan mereka sama-sama merupakan makhluk Allâh I yang dibebani hukum untuk beribadah kepadaNya sebagaimana tersurat dalam Q.S. adz-Dzariyat 51: 56, yang artinya “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”. Semua selain Allâh I disebut sebagai makhluk, apa dan bagaimanapun bentuknya, karena Allâh lah al-Khâliq (Yang Menciptakan) dan selainnya adalah al-makhluq (yang diciptakan).
Dari ayat tersebut di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa antara manusia dan jin ada titik persamaan, yaitu masing-masing mempunyai kemampuan untuk memilih jalan yang baik atau buruk. Kita sering mendengar juga bahwa selain jin, makhluk yang seringkali mengganggu manusia adalah setan. Ternyata, setan yang banyak diceritakan Allâh I kepada kita dalam al-Qur’ân, adalah termasuk golongan jin. Dari penjelasan tersebut, kita pahami bahwa “jin” itu merupakan sebuah nama untuk suatu makhluk yang Allâh ciptakan dari api dan “setan” atau pun “iblis” itu merupakan julukan untuk jin. Mengenai hal ini akan dijelaskan selanjutnya.
Dalam sebuah buku karya Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar yang diterjemahkan oleh H.T. Fuad wahab dengan judul “Menembus Dunia Jin dan Setan” disebutkan bahwa terdapat beberapa nama jin. Dalam bukunya tersebut, beliau mengutip pendapat dari Ibnu Abdil Bar yang mengatakan bahwa jin menurut ahli bahasa terdiri dari beberapa tingkatan (Al-Asyqar, 2006):
Kalau yang mereka maksudkan jin secara mutlak, maka mereka sebut jinniyyȗn,
Jika yang mereka maksudkan adalah jin yang tinggal bersama manusia, maka mereka sebut ‘âmir bentuk jamaknya ‘ummâr,
Jika yang mereka maksudakan jin yang biasa mendatangi anak-anak, maka mereka sebut arwâh,
Jika yang mereka maksudkan adalah jin yang jahat dan merintangi kebaikan, maka mereka sebut setan,
Jika yang mereka maksudkan adalah jin yang lebih jahat dan lebih mempunyai kemampuan, maka mereka sebut ‘ifrît.
Selain penjelasan tersebut, istilah “setan” digunakan sebagai julukan untuk jin yang putus asa dari rahmat Allâh I, sedangkan “iblis” digunakan sebagai julukan untuk jin yang penuh dengan tipu muslihat.
Kita semua harus meyakini adanya jin, tetapi bukan berarti kita harus takut apalagi malah tunduk kepadaNya. Karena bagaimana pun, berbagai dalil telah menyebutkan dengan jelas bahwa jin termasuk kedalam makhluk Allâh I. Di sisi lain, kita pun harus meyakini bahwa manusia, sejatinya adalah makhluk Allâh yang paling mulia, tetapi kemuliaan ini tidak pantas menjadikannya sombong terhadap makhluk lainnya. Jika kesombongan itu ada, maka bisa mengakibatkan derajatnya akan jauh lebih rendah daripada iblis dan akan menyebabkan Allâh I sangat marah. Dalam sebuah Hadits Qudsi disebutkan: “Kemuliaan adalah sarungKu dan kesombongan adalah selendangKu. Siapa saja yang mencabut salah satu dari kedua pakaianKu itu, maka pasti Aku akan menyiksanya” (H.R. Muslim). Maksud dari kata mencabut dalam hadits tersebut ialah merasa dirinya paling mulia atau berlagak sombong. Sebaliknya, jika manusia melakukan ketaatan yang sebaik-baiknya kepada Allâh I, maka bukan hal yang mustahil, ia menjadi lebih mulia daripada malaikat. Hal itu adalah karena manusia, oleh Allâh diberikan anugerah yang lengkap berupa jasad, ruh, hati, akal dan nafsu. Kelima hal itulah yang dapat mengubah kedudukannya, terutama dalam penggunaan akal dan nafsu.
Permusuhan dan peperangan antara manusia dan setan akan berlangsung terus menerus sampai hari kiamat. Akar dari permusuhan ini tidak lain adalah karena keangkuhan dan kesombongan setan atau iblis dan bermula ketika ia enggan bersujud kepada Nabi Adam sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Banyak ayat-ayat al-Qur’ân yang memberi peringatan kepada kita agar selalu waspada terhadap bujukan setan dan keterampilannya dalam menyesatkan manusia dengan ketekunan dan semangat yang tinggi. Bagaimana tidak, setan yang pertama kali mengganggu manusia, oleh Allâh I diberikan penangguhan kematian hingga hari kiamat, sehingga strategi setan dan para pengikutnya dalam menyesatkan manusia terus menerus diperbarui, yang akibatnya cara setan berperang dengan manusia semakin penuh dengan tipu muslihat. Semakin tinggi kualitas seorang manusia dalam hal ketakwaan kepada Allâh I, maka semakin tinggi pula kualitas tipu muslihat setan untuk mengganggunya. Cara setan mengganggu orang biasa tentu akan berbeda dengan cara setan mengganggu seorang yang berilmu.
Dari penjelasan di atas, kita sebagai manusia yang beriman, tentu harus memposisikan setan sebagai musuh yang sebenarnya sekaligus harus mewaspadai tipu dayanya. Rasa dendam yang dimiliki setan semenjak diusir dari surga akan terus membakar semangatnya dalam menyesatkan manusia sampai datangnya hari kiamat. Tidak ada satu manusia pun yang terlepas dari gangguan setan. Oleh karena itu, mari kita sama-sama mencermati beberapa teknik setan dalam menyesatkan manusia.
Menghiasi kebatilan.
Lalai atau berlebihan.
Tentang masalah ini, Ibnu Qayyim mengatakan bahwa setiap ada perintah Allâh, setan punya dua pilihan; pertama mendorong lalai dan kedua berlebihan. Setan mendatangi hati manusia dan mendeteksinya. Jika ia mendapati seorang hamba yang kurang semangat, lalai dan hanya menginginkan keringanan-keringanan saja, maka setan menempuh jalan ini; dirintanginya, disuruhnya diam, ditimpakan kemalasan, dan sebagainya. Jika setan menemukan orang yang selalu siaga, rajin, penuh semangat, maka ia tidak menempuh cara tadi. Ia justru perintahkan orang itu untuk lebih rajin lagi dan tidak merasa cukup atas amal yang telah dikerjakannya; tidak tidur kalau orang lain tidur, tidak buka puasa kalo orang lain berbuka, dan sebagainya yang pada intinya adalah berlebihan. Yang pertama manusia didorong untuk tidak mengerjakan perintah, sedangkan yang kedua untuk melampaui batas. Banyak orang yang terperdaya dengan usaha setan yang kedua ini dan tidak selamat, kecuali orang yang berilmu dengan mendalam, punya keimanan dan kekuatan untuk melawan setan, dan selalu menempuh jalan tengah (shirâthal mustaqîm).
Merintangi amal dan menganjurkan menangguhkannya
Memberikan janji-janji dan membangkitkan angan-angan
Berpura-pura menasihati.
Ada sebuah kisah yang sangat penting untuk kita ambil hikmahnya, yaitu tentang seorang ahli ibadah di kalangan Bani Israil yang tergolong shalih pada saat itu. Pada saat itu, terdapat tiga orang laki-laki bersaudara yang mempunyai seorang saudara perempuan yang masih perawan dan tidak mempunyai sanak saudara yang lainnya. Ketika ketiga saudara laki-lakinya bermaksud ikut berperang, mereka kebingungan. Kepada siapa saudara perempuannya harus dititipkan; siapa yang akan melindunginya dan menyediakan keperluannya selama mereka tidak ada. Setelah lama, terpikirlah oleh mereka bahwa yang paling aman dan paling dapat dipercaya untuk menitipkan adiknya adalah kepada ahli ibadah orang Israil. Pada awalnya, ahli ibadah itu bersikeras menolaknya, tetapi setelah didesak oleh mereka, akhirnya dia mau menerima saudara perempuannya itu untuk tinggal di sebuah rumah dekat biaranya. Pada awalnya, kewajiban sang ahli ibadah atas perempuan tersebut ditunaikan dengan sewajarnya dan dengan penuh kehati-hatian, akan tetapi setan mulai melancarkan serangan tipu dayanya secara perlahan dan bertahap, hingga pada akhirnya berbagai maksiat pun dilakukan oleh sang ahli ibadah tadi yang menyebabkannya harus dihukum pancung, dan pada akhirnya ia mati dalam keadaan sȗul khâtimah. Na’ȗdzu billâhi min dzâlika.
Bertahap dalam menyesatkan
Memunculkan rasa takut dan keraguan
Masuk di hati dan menuruti kesenangan hati
Sebagai penutup, tidak ada alasan bagi kita semua sebagai manusia yang beriman untuk tidak bekerjasama dalam memerangi setan sebagai musuh yang sebenarnya. Kita berdoa kepada Allah semoga selalu memberikan kita kekuatan dan keistiqamahan dalam menghadapi tipu muslihat dari setan dan pengikutnya. Kita patut bersyukur bahwa Allâh I memberikan kita nikmat yang amat sangat besar yaitu dengan kehadiran Nabi Muhammad r yang membawa risalah kenabian sekaligus menjadi mukjizatnya yang terbesar sepanjang masa, yaitu al-Qur’ân. Di samping itu, Rasulullah pun menguraikan dalam haditsnya berbagai hal tentang tipu muslihat setan dan cara membentenginya.
Berhenti Berharap itu Dosa. “Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87). Sahabat, pernah merasakan hidup yang begitu sulit sampai hati merasa kehilangan harapan dan berputus asa?
Berhati-hatilah, karena ketika hati kita berhenti berharap, hakikatnya kita telah melakukan salah satu perbuatan dosa terbesar:
“Dosa besar yang paling besar adalah menyekutukan Allah, merasa aman dari makar Allah, putus asa terhadap rahmat Allah, dan putus harapan terhadap kelapangan dari Allah.”
(Hadis hasan sahih; diriwayatkan oleh Ath-Thabrani)
Apa yang membuat putus asa dan hilang harapan menjadi salah satu dosa terbesar yang tak boleh dilakukan oleh orang beriman?
1. Hilang harapan berarti hilang keimanan
Mustahil orang yang beriman pada Allah kehilangan harapannya terhadap Allah. Karena hakikat keimanan adalah meyakini Allah sebagai Tuhan yang Maha Kuasa memelihara hamba-hambaNya, Tuhan tempat setiap makhluk bersandar, Tuhan tempat menitipkan asa dan harapan.
Maka kehilangan harapan bisa dipastikan menggerus keimanan itu sendiri, semakin tipis harapan seseorang pada Allah, menunjukkan tipisnya keyakinan dirinya terhadap Kemaha Kuasaan Allah.
Jelas bahwa kita diharamkan kehilangan harapan. Setiap saat dilanda kesukaran, perkuatlah kesabaran dan teguhkanlah keyakinan bahwa Allah mampu mengubah keadaan menjadi baik.
2. Sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat
“…sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al Baqarah: 214)
Sahabat, sering kali Allah menunda pertolonganNya, disebabkan ketidakpasrahan kita terhadap kehendakNya. Mungkin karena kita begitu ngoyo, begitu percaya diri bahwa kita mampu mengatasi persoalan sendiri. Tapi bisa jadi pula pertolongan Allah yang amat dekat itu tertunda karena Allah ingin menguji keimanan itu sendiri.
Seberapa kuatkah kita berpegang kepadaNya di saat semua pintu harapan tampak tertutup rapat?
3. Bersama kesulitan ada kemudahan
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan…” “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al Insyirah: 5-6)
Sahabat, kita diharamkan berputus asa dan putus harapan karena memang bersama kesulitan ada kemudahan.
“Dan termasuk dari rahasia-rahasia menarik tentang bergandengannya jalan keluar dengan kesulitan dan kemudahan dengan kesukaran adalah: bahwa kesulitan jika bertambah kuat, bertambah besar dan bertambah memuncak, maka terjadi pada seorang hamba keputus asaan untuk (meminta) jalan keluarnya dari sisi para makhluk, dan akhirnya hatinya terpaut dengan Allah semata, inilah dia tawakkal kepada Allah yang hakiki, dan ia adalah termasuk dari sebab-sebab yang dicari dengannya hajat-hajat, karena sesungguhnya Allah akan mencukupi siapa yang bertawakkal kepadanya, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah maka Dia lah pencukupnya.“ (lihat kitab Jami’ Al ‘ulum wa Al HIkam. 21/40).
4. Allah tidak menghendaki kesukaran bagi HambaNya
Dilarangnya pupus harapan terhadap pertolongan Allah salah satunya juga dikarenakan Allah tidak pernah membebankan seseorang di luar kesanggupannya. Lalu, buat apa kita berputus asa jika beban yang Allah berikan pada kita sesungguhnya masih dalam koridor kesanggupan diri kita?
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185)
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqarah: 286).
5. Bagi orang yang sabar ada ampunan dan pahala kebaikan yang begitu besar
“Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa.” (QS. Al-Israa’: 83)
“… kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Huud: 9-11)
Sahabat, semoga kita senantiasa mengingat bahwa seorang muslim pantang berputus asa apalagi sampai kehilangan harapan pada Allah
Jangan Berputus Asa Terhadap Sesuatu yang Luput Darimu. Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi segala nikmat dan menakdirkan segala sesuatu dengan penuh hikmah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Di pagi yang berbahagia, di bulan penuh berkah dan bulan semangat untuk mentadabburi Al Qur’an, ada sebuah ayat yang patut direnungkan oleh kita bersama. Ayat tersebut terdapat dalam surat Al Hadid, tepatnya ayat 22-23. Inilah yang seharusnya kita gali hari demi hari di bulan suci ini. Karena merenungkan Al Qur’an, meyakini dan mengamalkannya tentu lebih utama daripada sekedar membaca dan tidak memahami artinya.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al Hadid: 22-23). Berikut beberapa faedah yang bisa diperoleh dari ayat di atas:
Faedah pertama
Yang dimaksud dengan “lauh” adalah lembaran dan “mahfuzh” artinya terjaga. Kata Ibnu Katsir, Lauhul Mahfuzh berada di tempat yang tinggi, terjaga dari penambahan, pengurangan, perubahan dan penggantian. Di dalam Lauhul Mahfuzh dicatat takdir setiap makhluk. Lauhul Mahfuzh dalam Al Qur’an biasa disebut dengan Al Kitab, Al Kitabul Mubin, Imamul Mubin, Ummul Kitab, dan Kitab Masthur.
Faedah kedua
Setiap musibah dan bencana apa pun itu yang menimpa individu atau menimpa khalayak ramai, baik itu gempa bumi, kekeringan, kelaparan, semua itu sudah dicatat di kitab Lauhul Mahfuzh. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya awal yang Allah ciptakan (setelah ‘arsy, air dan angin adalah qolam (pena), kemudian Allah berfirman, “Tulislah”. Pena berkata, “Apa yang harus aku tulis”. Allah berfirman, “Tulislah takdir berbagai kejadian dan yang terjadi selamanya”
Takdir yang dicatat di Lauhul Mahfuzh tidak mungkin berubah sebagaimana maksud dari ayat yang kita bahas. Begitu pula disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ
“Pena telah diangkat dan lembaran catatan (di Lauhul Mahfuzh) telah kering”.
“Dicatat di Lauhul Mahfuzh berbagai macam takdir. Ketika selesai pencatatan, tidaklah satu pun lagi yang dicatat.”
Intinya, al kitabah (pencatatan) ada dua macam: (1) pencatatan yang tidak mungkin diganti dan dirubah, yaitu catatan takdir di Lauhul Mahfuzh; (2) pencatatan yang dapat diubah dan diganti, yaitu catatan di sisi para malaikat. Allah Ta’ala berfirman,
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar Ro’du: 39). Catatan yang terakhir yang terjadi itulah yang ada di Lauhul Mahfuzh.
Dari sini kita bisa memahami berbagai hadits yang membicarakan bahwa silaturahmi (menjalin hubungan dengan kerabat) bisa memperpanjang umur dan melapangkan rizki, atau do’a bisa menolak takdir. Di sisi Allah, yaitu ilmu-Nya, Allah mengilmui bahwa hamba-Nya menjalin hubungan kerabat dan berdo’a kepada-Nya. Ini di sisi ilmu Allah. Lantas Allah Ta’ala mencatatnya di Lauhul Mahfuzh keluasan rizki dan bertambahnya umur.
Artinya di sini, Allah Ta’ala telah mengilmi bahwa hamba-Nya melakukan silaturahmi atau berdo’a kepada-Nya. Demikian yang Allah catat di Lauhul Mahfuzh yaitu adanya keluasan rizki dan bertambahnya umur.
Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika ditanya apakah rizki yang telah ditakdirkan bisa bertambah dan berkurang, beliau rahimahullah menjawab, “Rizki itu ada dua macam. Pertama, rizki yang Allah ilmui bahwasanya Allah akan memberi rizki pada hamba sekian dan sekian. Rizki semacam ini tidak mungkin berubah. Kedua, rizki yang dicatat dan diketahui oleh Malaikat. Ketetapan rizki semacam ini bisa bertambah dan berkurang sesuai dengan sebab yang dilakukan oleh hamba. Allah akan menyuruh malaikat untuk mencatat rizki baginya. Jika ia menjalin hubungan silaturahmi, Allah pun akan menambah rizki baginya.”
Jadi sama sekali takdir yang ada di Lauhul Mahfuzh tidak berubah, yang berubah adalah catatan yang ada di sisi Malaikat, dan itu pun sesuai ilmu Allah Ta’ala.
Faedah keempat
Musibah yang terjadi di muka bumi dan terjadi pada diri manusia, itu telah dicatat di kitab sebelum diciptakannya makhluk. Inilah tafsiran yang lebih baik pada firman Allah,
إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا
“melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya”, yang dimaksud dengan menciptakannya di sini adalah penciptaan makhluk. Demikian dipilih oleh Ibnu Katsir rahimahullah. Pendapat ini didukung dengan riwayat dari Ibnu Jarir, dari Manshur bin ‘Abdirrahman, ia berkata, “Setiap musibah di langit dan di bumi telah dicatat di kitab Allah (Lauhul Mahfuzh) sebelum penciptaan makhluk.”
Faedah kelima
Tidaklah suatu musibah itu terjadi kecuali disebabkan karena dosa. Qotadah rahimahullah mengatakan, “Telah sampai pada kami bahwa tidaklah seseorang terkena sobekan karena terkena kayu, terjadi bencana pada kakinya, atau kerusakan menimpa dirinya, melainkan itu karena sebab dosa yang ia perbuat. Allah pun dapat memberikan maaf lebih banyak.”
Faedah keenam
Ayat ini adalah di antara dalil untuk menyanggah pemahaman Qodariyah yang menolak ilmu Allah yang telah dulu ada[12]. Artinya, Qodariyah meyakini bahwa Allah baru mengilmui setelah kejadian itu terjadi. Padahal sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash,” Allah mencatat takdir setiap makhluk 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.”
Faedah ketujuh
Maksud firman Allah,
إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” Yaitu Allah mengetahui segala sesuatu sebelum penciptaan sesuatu tersebut. Allah pun telah mencatatnya. Ini sungguh amat mudah bagi Allah karena Allah Maha Mengetahui sesuatu yang telah terjadi, sesuatu yang tidak terjadi dan mengetahui sesuatu yang tidak terjadi seandainya ia terjadi. Sungguh Maha Luas Ilmu Allah.
Faedah kedelapan
Segala sesuatu yang telah ditakdirkan akan menimpa seseorang, tidak mungkin luput darinya. Segala sesuatu yang tidak ditakdirkan baginya, tidak mungkin akan menimpanya. Inilah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Hendaklah engkau tahu bahwa sesuatu yang ditakdirkan akan menimpamu, tidak mungkin luput darimu. Dan segala sesuatu yang ditakdirkan luput darimu, pasti tidak akan menimpamu.”
Jika demikian, tidak perlu seseorang merasa putus asa dari apa yang tidak ia peroleh. Karena jika itu ditakdirkan, pasti akan terjadi. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,
لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ
“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu”
Jika memang engkau kehilangan Hpmu yang berharga, tidak perlu bersedih karena inilah takdir yang terbaik untukmu. Siapa tahu engkau kelak akan mendapatkan ganti yang lebih baik. Engkau belum kunjung diangkat jadi PNS, jadi khawatir pula karena memang itu belum takdirmu. Engkau belum juga diterima di universitas pilihanmu, jangan pula khawatir karena takdir Allah sama sekali tidaklah kejam. Tidaklah perlu bersedih terhadap apa yang luput darimu.
Faedah kesembilan
Jangan pula terlalu berbangga dengan nikmat yang kita peroleh karena itu sama sekali bukanlah usaha kita. Itu semua adalah takdir yang Allah tetapkan dan rizki yang telah Allah bagi. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ
“Dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu”
Faedah kesepuluh
Janganlah menjadikan nikmat Allah sebagai sikap sombong dan membanggakan diri di hadapan lainnya. Itulah selanjutnya Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”
Sebagai penutup dari sajian ini, ada penjelasan yang amat bagus dari Asy Syaukani rahimahullah. Beliau mengatakan, “Janganlah bersedih dengan nikmat dunia yang luput darimu. Janganlah pula berbangga dengan nikmat yang diberikan padamu. Karena nikmat tersebut dalam waktu dekat bisa sirna. Sesuatu yang dalam waktu dekat bisa sirna tidak perlu dibangga-banggakan. Jadi tidak perlu engkau berbangga dengan hasil yang diperoleh dan tidak perlu engkau bersedih dengan sesuatu yang luput darimu. Semua ini adalah ketetapan dan takdir Allah … Intinya, manusia tidaklah bisa lepas dari rasa sedih dan berbangga diri.”
Jadi tidak perlu berbangga diri dan bersedih hati atas nikmat Allah yang diperoleh dan luput darimu. Pahamilah bahwa itu semua adalah takdir Allah, tak perlu sedih. Itu semua adalah yang terbaik untuk kita, mengapa harus terus murung. Itu semua pun sewaktu-waktu bisa sirna, mengapa harus berbangga diri.
Referensi : Jangan Berputus Asa Terhadap Sesuatu yang Luput Darimu
Rasulullah bersabda “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia” (H.R. Muslim). Mengapa manusia dihinggapi rasa kesombongan? Menurut ustas Amiruddin, manusia dihinggapi kesombongan karena beberapa hal, yaitu; 1) Selalu membanggakan diri; 2) Meremehkan atau merendahkan orang lain; 3) Selalu menonjolkan diri atau CCM (cari-cari muka); dan 4) Mengikuti hawa nafsu. Selain itu, menurutnya ada juga 4 tempatnya orang sombong, yaitu;
1) Kecantikan/ketampanan;
2) Kekayaan;
3) Orang berilmu; dan
4) Pangkat dan jabatan.
Karena menganggap dirinya cantik, kaya, pejabat, atau berilmu maka meremehkan, merendahkan dan menghina orang lain, Ada beberapa contoh kesombongan yang terjadi pada masa terdahulu. Misalnya Fir’aun, karena kekuasaan membuatnya sombong dan menyatakan diri sebagai Tuhan. Tapi pada saat ditenggelamkan oleh Tuhan, dia tidak mampu menolong dirinya sendiri. Begitu pun Raja Namrud, karena kepintarannya dia menjadi sombong dan membuat patung untuk disembah manusia, tapi akibatnya dia terbunuh oleh patungnya sendiri.
Kesombongan, lanjut ustas Amiruddiin adalah dosa pertama yang dibuat oleh Iblis pada saat diperintahkan sujud kepada Adam. Tetapi iblis menolak sujud karena merasa diri lebih mulia dari manusia (Adam) yang diciptakan dari tanah, sementara iblis berasal dari api. Kesombongan iblis tersebut menyebabkan kemurkahan Allah dan melaknatnya. “Kesombongan iblis tersebut adalah dosa yang pertama dan dosa pertama yang dilaknat oleh Allah Swt,” tegas ustas Amiruddin sambil membacakan Q.S. al- Baqarah ayat 34.
Mentadabburi Al Qur’an, ada sebuah ayat yang patut direnungkan oleh kita bersama. Ayat tersebut terdapat dalam surat Al Hadid, tepatnya ayat 22-23. Inilah yang seharusnya kita gali hari demi hari di bulan suci ini. Karena merenungkan Al Qur’an, meyakini dan mengamalkannya tentu lebih utama daripada sekedar membaca dan tidak memahami artinya.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al Hadid: 22-23)
Dosa yang Dibarengi Sombong Tidak Akan Diampuni Allah Swt. Setiap keturunan Nabi Adam pasti pernah melakukan kesalahan, kecuali para nabi yang memang dijaga (ma’shûm) oleh Allah subhânahu wa ta’âlâ. Selain syirik (menyekutukan Allah), dosa selainnya terdapat potensi akan diampuni oleh Allah. Dosa syirik tidak akan pernah diampuni oleh Allah kecuali jika pelakunya melakukan pertaubatan khusus. Perlu menjadi catatan, di sini hanya disampaikan “ada potensi”.
Kalau saja Allah tidak mengampuni selama-lamanya, itu hak prerogatif Allah sendiri. Wallahu a’lam. Hal ini diungkapkan oleh Ibnu Khuzaiman dalam kitab at-Tauhîd:
Artinya: “Allah azza wa jalla terkadang berkenan mengampuni segala macam maksiat yang dilakukan oleh orang Muslim, selain syirik, meskipun orang tidak pernah bertaubat dari dosanya. Oleh karena itu, Allah mengajari kita dalam Al-Qur’an ‘dan mengampuni selain dosa itu (syirik) kepada siapa pun yang dikehendaki (Allah)’ (QS an-Nisa: 48).”
Dosa selain syirik, meskipun berpotensi diampuni Allah, menurut Sufyan ats-Tsauri, masih ada satu syarat lagi, yaitu saat melakukan dosa, pelakunya tidak melakukan dosa tersebut dengan dibarengi hati yang sombong.
Artinya, apabila ada orang melakukan dosa, semata-mata ia larut, melakukan dosa hanya untuk mengikuti hawa nafsunya, ia masih punya secercah harapan akan diampuni Allah suatu saat nanti. Adapun pelaku dosa sombong, tidak punya harapan sekali untuk diampuni Allah.
Mengapa dosa yang dilakukan orang Muslim dengan sombong tidak akan diampuni? Karena dosa disertai sombong merupakan perbuatan Iblis. Pada saat Allah memerintah Iblis untuk bersujud (hormat) kepada Adam, Iblis tidak sudi melakukannya lantaran sombong.
Dosa disertai kesombongan berarti maksiat dalam dua sisi. Secara lahiriah memang melakukan maksiat. Dari sudut batin, orang tersebut juga bermaksiat. Sifat sombong merupakan sifat yang hanya berhak dimiliki Allah. Tidak ada makhluk satu pun yang berhak memakai. Berbeda dari sifat ar-Rahmân, Mahakasih, misalnya. Selain Allah mempunyai sifat ini, manusia diberi sifat kasih pula oleh Allah.
Adapun kesalahan yang hanya dalam rangka mengikuti syahwat atau menuruti hawa nafsu saja tanpa dibarengi rasa sombong dalam hati, seperti kesalahan Nabi Adam ketika beliau makan buah khuldi yang menjadikannya dikeluarkan dari surga. Meskipun sampai dikeluarkan begitu, Nabi Adam pada akhirnya diampuni oleh Allah karena beliau hanya mengikuti keinginan, bukan dalam rangka sombong. Yang perlu menjadi catatan, cerita Nabi Adam tersebut tidak menunjukkan bahwa Nabi Adam maksiat sebagaimana kita maksiat.
Hal ini diungkapkan oleh Sufyan ats-Tsauri, seorang pembesar tabi’in, pembesar ulama hadits. Beliau menjadi rujukan sebagaimana Abu Bakar dan Umar dalam masanya.
Artinya: “Dari Sufyan ats-Tsauri radliyallahu anh, ‘Setiap maksiat yang dilakukan dari unsur syahwat atau keinginan, pengampunan dari Allah layak diharapkan. Setiap maksiat yang timbul dari kesombongan, tidak bisa diharapkan ampunannya dari Allah. Karena maksiat iblis, bertumpu atas dasar kesombongan, dan kesalahan Adam pondasinya adalah mengikuti keinginan saja.”
Referensi : Dosa yang Dibarengi Sombong Tidak Akan Diampuni Allah Swt
Sombong Tergolong Dosa Besar dalam Islam. Sombong mempengaruhi cara berbicara, bertindak, dan memperlakukan orang lain. Semua manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan memiliki perasaan sombong. Namun, ada perbedaan dalam derajat kesombongan itu sendiri. Meskipun hanya perasaan kecil dan bahkan tidak terlihat, namun perasaan sombong pada akhirnya bisa tumbuh menjadi lebih besar. Itulah sebabnya, dalam Islam diajarkan agar senantiasa berdoa kepada Allah agar tidak dijadikan sebagai bagian di antara orang-orang yang sombong dan menyombongkan diri. Aa'isha Varma menjelaskan tentang larangan bersikap dan memiliki perasaan sombong dalam Islam. Aa'isha Varma adalah seorang mualaf yang terlahir dalam budaya Hindu. Setelah melewati perjalanan spiritual dengan memeluk agama Buddha, Aa'isha kemudian menemukan cahaya keimanan melalui Islam.
Kini ia telah enam tahun memeluk Islam. Dia memiliki gelar sarjana di bidang SDM dan merupakan pembelajar Islam seumur hidup. Ketika kesombongan menemukan jalannya dalam hati umat Islam, perasaan demikian dengan cepat mempengaruhi cara berbicara, bertindak, dan memperlakukan orang lain. Itulah sebabnya, Aa'ish mengatakan perasaan sombong harus dihindari dan umat Islam seyogyanya berupaya menjauhi perasaan sombong sama seperti dosa lainnya.
Dosa yang paling parah adalah sombong terhadap Allah dengan menolak berserah diri dan menyembah-Nya. Kesombongan menjadi dosa besar dalam Islam. Bahkan, Nabi Muhammad SAW bersabda dalam hadist yang diriwayatkan Tirmidzi, bahwa "Seseorang tidak akan masuk surga jika ia memiliki kesombongan walau seberat atom di hatinya." Dengan demikian, kesombongan bisa membawa kebingungan dalam agama Allah dan pada akhirnya merusak hati dan mencegah manusia untuk merenungi ayat-ayat Alquran. Untuk itulah, Nabi SAW mengajarkan umatnya mengekang kesombongan dengan sholat.
Sebagai Muslim, Allah memerintahkan untuk menyembah-Nya melalui sholat. Nabi SAW juga mengatakan, sholat adalah satu-satunya hal yang memisahkan Muslim dari orang-orang kafir. Selama menunaikan sholat, jamaah membuat shaf (barisan) tanpa memperdulikan posisi apa yang mereka pegang dalam masyarakat. Dengan demikian, semua orang di mata Allah pada dasarnya sama dan yang membedakan hanyalah ketakwaan. Sementara itu, sujud dalam sholat menunjukkan betapa rendah hatinya seorang Muslim. Sebab, cara terdekat Allah dengan hamba-Nya ialah ketika hamba-hamba itu bersujud kepadanya. Sebagai Muslim, Allah memerintahkan manusia tidak membungkuk di hadapan siapa pun kecuali Allah.
"Islam mengajarkan kita rendah hati satu sama lain. Salah satu ciri seorang Muslim yang baik adalah rendah hati dan sederhana, kesombongan adalah ciri setan. Kebanggaan bisa membuat orang tidak taat pada ajaran Nabi Muhammad," kata Aa'isha. Kesombongan membawa dampak yang buruk. Kesombongan akan membuat seorang Muslim tidak memaafkan Muslim lainnya, ketika dimintai maaf. Oleh karena itu, orang yang sombong akan mulai berpikir dia lebih baik daripada orang lain. Dia juga akan lupa bahwa semua manusia diciptakan dari tanah liat dan akan kembali ke tanah (makam) serta kembali kepada Allah.
Tidak hanya itu, kesombongan akan menyebabkan orang tidak merasa puas dan selalu mengejar kekuasaan dan jabatan. Kesombongan juga akan menjauhkan orang dari agama Allah. Allah bahkan mengutuk orang-orang yang sombong dan menyombongkan diri. Sebagaimana kesombongan syetan, yang enggan bersujud kepada Adam atas perintah Allah. Syeitan mengatakan, "Aku lebih baik dari dia (Adam), Kamu menciptakan aku dari api, dan dia Kamu ciptakan dari tanah liat." Allah berfirman dalam Alquran tentang kesombongan sebagai dosa terbesar. "(Kepada mereka) akan dikatakan, 'Masuklah ke gerbang Neraka untuk tinggal selamanya di dalamnya, dan itulah tempat seburuk-seburuknya bagi orang-orang yang menyombongkan diri'."(QS, 39:72).
Menurut Alquran, kesombongan adalah dosa yang akan mendapat hukuman berat dari Allah. Nabi Muhammad SAW juga bersabda, bahwa kesombongan adalah penyakit yang merupakan dosa terbesar di sisi Allah. Beliau mengatakan, bahwa orang yang memiliki kesombongan dalam hatinya tidak akan masuk syurga. Aa'isha mengatakan orang yang hidup dalam kesombongan dan pengkhianatan tinggal di dunia yang gelap yang penuh dengan ketakutan akan kehilangan, membuat kesalahan, dipermalukan, stres, keraguan, kebencian, kemarahan, dan gairah.
Tingkah laku orang yang sombong akan selalu membuat mereka tampil lebih berharga dan unggul di mata orang lain. Dengan kata lain, mereka merasa lebih unggul dari orang lain. Allah SWT menjauhkan orang-orang yang sombong dari dibimbing oleh tanda-tanda-Nya. Untuk orang-orang itu, Allah SWT berfirman dalam Alqur'an:
"Aku akan memalingkan dari Ayat-Ku (ayat-ayat Alquran), yaitu orang-orang yang berperilaku angkuh di bumi, tanpa hak, dan (bahkan) jika mereka melihat semua Ayat (bukti, ayat, tanda pelajaran, wahyu, dan lainnya), mereka tidak akan percaya pada hal-hal itu."(QS, 7:146).
Lantas, apa dosa yang paling parah dalam Islam? Dosa yang paling besar adalah sombong terhadap Allah dengan menolak berserah diri dan menyembah Allah. Allah berfirman tentang orang-orang sombong tersebut dalam Alquran. "Sesungguhnya! Mereka yang menyimpang dari ibadah kepadaku (karena kesombongan), mereka pasti akan masuk Neraka dalam penghinaan!" (QS, 40:60).
Selanjutnya, Aa'Isha menambahkan, orang yang memiliki perasaan sombong merasa dan menyukai jika orang-orang harus berdiri (memberi penghormatan) untuknya, baik saat dia datang atau dia duduk. Ia juga tidak suka jika ada orang yang duduk atau berjalan di sampingnya. Orang yang sombong hidup dalam ketidaknyamanan yang terus-menerus menyebabkan mereka tidak pernah menemukan kedamaian dalam hidup. Seperti air asin laut, rasa haus tidak pernah padam dengannya.
Referensi : Sombong Tergolong Dosa Besar dalam Islam
Takut Hanya kepada Allah Swt. Setiap orang pasti pernah merasakan takut, mulai dari takut digigit ular, takut kehilangan jabatan, hingga takut kepada Tuhan. Dalam psikologi agama, sebagian manusia mencari dan membutuhkan Tuhan, antara lain, karena adanya rasa takut dalam diri terhadap kekuatan gaib.
Manusia takut kepada kekuatan dahsyat yang ada di alam raya ini, seperti gunung meletus, angin puting beliung, banjir bandang, tsunami, dan sebagainya sehingga membuatnya mencari pelindung, pemberi rasa aman dan keselamatan hidupnya.
Secara psikologis, takut adalah kondisi psikis (kejiwaan) yang diliputi rasa khawatir, kegalauan, ketakutan, waswas, atau kurang nyaman terhadap sesuatu yang tidak disukainya itu jika terjadi pada dirinya. Takut bisa saja menjadi energi positif jika dimaknai secara positif, demikian pula sebaliknya.
Kata takut dalam Alquran, antara lain, dinyatakan dengan khauf dan khasyyah. Kata khauf lebih umum daripada kata khasyyah. Khasyyah menunjukkan rasa takut yang lebih spesifik dan disertai pengetahuan (ma’rifah). Khasyyah disematkan kepada ulama [ilmuwan, saintis yang takut kepada Allah] (QS Fathir 35: 28).
Takut dalam arti khasyyah hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu, seperti Nabi SAW, sesuai dengan sabdanya, “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah di antara kalian.”
Adapun takut dalam arti khauf cenderung dimaknai menghindar dan lari dari yang ditakuti. Akan tetapi, khasyyah merupakan takut yang cenderung berpegang teguh kepada ilmu atau pengetahuan yang ditakuti dan kepada kebesaran-Nya.
Dalam kajian akhlak tasawuf, takutnya Mukmin harus dimaknai secara positif, yaitu rasa takut yang menyebabkannya melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan Allah dan Rasul-Nya. Jika rasa takutnya itu meningkat, Mukmin tidak merasa cukup dengan hanya melaksanakan kewajiban, tetapi juga melengkapinya dengan amalan sunah, dan menjauhi hal-hal yang berbau syubhat (grey area), samar-samar status hukumnya.
Setidaknya, ada enam hal yang harus ditakuti Mukmin. Pertama, takut siksa Allah yang ditimpakan kepadanya karena dosa-dosa yang pernah diperbuatnya. Kedua, takut tidak dapat menunaikan kewajibannya kepada Allah SWT dan kepada sesama. Ketiga, takut tidak diterima amal ibadah yang dilakukannya sehingga amalnya menjadi sia-sia belaka. Keempat, takut dihadapkan kepada aneka fitnah (akibat perilakunya) dan kemurkaan Allah yang akan menimpanya di dunia. Kelima, takut su’ul khatimah (akhir kehidupan atau kematian yang buruk). Keenam, takut azab kubur, pengadilan, dan azab Allah di akhirat kelak.
Oleh karena itu, menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, takut kepada Allah SWT itu hukumnya wajib. Karena takut kepada Allah dapat mengantarkan hamba untuk selalu beribadah kepada-Nya dengan penuh ketundukan dan kekhusyukan. Siapa yang tidak takut kepada-Nya, berarti ia seorang pendosa, pelaku maksiat. Karena tidak takut kepada Allah, koruptor semakin merajalela, semakin serakah, dan tidak lagi memiliki rasa malu (QS Ali Imran 3: 175).
Muslim yang memaknai takut secara positif pasti akan bervisi masa depan, menyiapkan generasi yang tangguh, kuat, dan unggul (QS an-Nisa’ 4: 9). Di atas semua itu, memaknai takut secara positif dapat mengantarkan hamba meraih dan merengkuh rasa cinta paling tinggi, yaitu ridha, sehingga pada gilirannya dapat meraih surga-Nya (QS al-Bayyinah 98: 8).
Takut kepada Allah SWT menjadikan hamba semakin dekat dan intim dengan-Nya sehingga ia tidak lagi takut kehilangan jabatan, takut kepada atasan, atau takut tidak memiliki masa depan.
Sedekah Pakai Uang Haram hingga Remehkan Kewajiban Allah SWT. Sedekah bisa menambah rezeki. Tapi, hati-hati bila sedekah menggunakan harta dari rezeki haram. Ada orang bersedekah, tapi menggunakan harta haram. Itu sama saja dengan pembersihan harta. Harta dari rezeki haram, harus dikeluarkan. Akan tetapi, ada lagi yang lebih berbahaya. Melakukan sedekah dengan anggapan tidak apa-apa tidak salat dan tidak menjalankan kewajiban Allah SWT lainnya, yang penting sudah sedekah. Itu bisa membuat seseorang murtad.
Berikut penjelasan lengkap Ustaz Syam Elmarusy: Mudah-mudahan sehat selalu, berkah rezekinya, rezekinya halal insyaallah semoga bisa bersedekah dengan rezeki yang halal. Karena kalau daripada yang haram, tidak bisa, mohon maaf, ada istrilah jangan bersuci dari air kencing. Jadi sama diibaratkan orang yang berwudu, tapi dia berwudu daripada air yang sudah dicampuri oleh najis. Apalagi kalau air benar-benar air najis full, sudah tahu haramnya, tapi dipakai untuk mensucikan dirinya dengan cara bersedekah.
Maka bersedekahnya dihitung sedekah. Mungkin yang menerima sah-sah saja menerimanya karena dia menerima dari sesuatu yang halal. Maksudnya dia menerima daripada sedekah, halal. Namun yang bersedekah itu tadi yang akan mendapatkan perhitungan di hadapan Allah SWT.
Maka bolehkan bersedekah dengan uang yang haram? Uang yang haram tadi bisa digunakan untuk fasilitas umum. Bisa digunakan untuk orang yang membutuhkan. Misalnya, ada orang sudah hijrah, sudah taubat, dia sadar bahwa ada sebagian hartanya yang dia sadari bukan harta yang halal. Maka dia wajib mengeluarkan harta tersebut daripada dirinya, baik itu dipergunakan oleh orang yang membutuhkan atau untuk fasilitas umum.
Tapi, jangan bangga akan itu. Banyak juga kan orang yang bangga, saya yang bangun ini, saya bantu dia. Padahal pembersihan harta daripada rezeki haram yang dia miliki.
Kedua, dia tidak pernah salat, tidak pernah puasa, tak pernah melakukan ibadah lainnya, tapi bersedekahnya kuat. Kalau ada orang seperti ini, digolongkan orang yang fasik. Orang yang melakukan dosa, kenapa? Karena sebagian dia lakukan, sebagian lagi dia tinggalkan daripada kewajiban Allah SWT.
Kalau ditanya dia bilang, 'Nggak apa-apa nggak salat, yang penting sedekah, yang penting baik sama orang,' nah ini naik lagi hukumnya. Bukan lagi berdosa, tapi bisa jadi murtad. Kenapa murtad? Karena meremehkan perintah Allah SWT.
Ada orang bulan Ramadhan, puasa di siang hari kemudian disuruh salat, 'Ah sudahlah, saya nggak bisa, saya nggak sanggup lagi salat kalau begini,' dia dianggap sah puasanya, tapi dia berdosa nggak salat. Ada orang begini, dia salat, tapi meremehkan salat. Orang begini yang lebih parah daripada orang yang tidak salat. Kenapa? Meremehkan apa yang diwajibkan Allah SWT bisa menyebabkan orang keluar dari keimanannya, karena kita wajib mengimani itu, wajib salat lima waktu, wajib mengimani ibadah haji, wajib mengimani apa yang diperintahkan Allah SWT.
Maka jangan pernah untuk mengatakan nggak apa-apa nggak salat yang penting sedekah, nggak apa-apa nggak salat yang penting akhlaknya baik, nggak apa-apa nggak berkerudung yang penting hatinya... wah.... Meremehkan perintah Allah SWT. Jangan sampai ada kalimat-kalimat tidak mewajibkan apa yang diwajibkan Allah, tidak boleh mengharamkan yang dihalalkan Allah, dan tidak boleh menghalalkan yang diharamkan oleh Allah. Kalau malas mah malas aja, jangan menambah-nambahkan hal yang meremehkan.
Referensi : Sedekah Pakai Uang Haram hingga Remehkan Kewajiban Allah SWT (Ustaz Syam Elmarusy).