This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Rabu, 27 Juli 2022

Penjelasan Isykal Hadits Mengenai Orang Yang Bermaksiat Tatkala Sendirian


Kesempatan kali ini kami akan coba membahas terkait hadits tentang maksiat. Semoga pembahasan hadits tentang maksiat ini bisa bermanfaat untuk kita semua. Memahami Hadits Tsauban dan Abu Hurairah.

Pertanyaan

Bagaimana memahami dua buah hadits, yaitu hadits Tsauban radhiallahu ‘anhu di mana Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا

“Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih. Kemudian Allah menjadikannya debu yang berterbangan.” 

Tsauban bertanya, “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka dan jelaskanlah perihal mereka agar kami tidak menjadi seperti mereka tanpa disadari.”

Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka adalah saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka shalat malam sebagaimana kalian, tetapi mereka adalah kaum yang jika bersendirian mereka menerjang hal yang diharamkan Allah.” (Shahih. HR. Ibnu Majah).

dan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ : يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

“Seluruh umatku diampuni kecuali al-mujaahirun (orang yang melakukan al-mujaaharah). Dan termasuk bentuk al-mujaaharah adalah seseorang berbuat dosa pada malam hari, kemudian di pagi hari Allah telah menutupi dosanya namun dia berkata, “Wahai fulan semalam aku telah melakukan dosa ini dan itu.” Allah telah menutupi dosanya di malam hari, akan tetapi di pagi hari dia membuka kembali dosa yang telah ditutup oleh Allah tersebut.” (Shahih. HR. Bukhari dan Muslim).

Penjelasan Isykal

Sebagian orang mengalami kesulitan dalam mengompromikan dua hadits ini dikarenakan secara tekstual kedua hadits ini memiliki kandungan yang bertentangan.

Pada hadits pertama, yaitu hadits Tsauban radhiallahu ‘anhu, pelaku maksiat yang melakukan maksiatnya ketika sendirian, tidak diketahui orang lain, dikatakan amalannya menjadi sia-sia dan diancam siksa nereka.

Sedangkan berdasarkan kandungan hadits kedua, yaitu hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, semestinya mereka yang menyembunyikan maksiatnya termasuk ke dalam golongan yang diampuni. Karena yang tidak diampuni adalah yang menampakkannya (al-mujaahirun).

Dalam mengompromikan kedua hadits ini para ulama menempuh beragam cara sebagai berikut:

Pertama: melemahkan hadits Tsauban.

Alasannya adalah sebagai berikut:

Status salah seorang rawi hadits ini bernama “Uqbah bin ‘Alqamah bin Hadij al-Ma’aafiriy dinilai lemah. Al-‘Uqailiy mengatakan,

لا يتابع على حديثه

“Hadits ‘Uqbah tidak memiliki mutaba’ah”

Ibnu ‘Adiy mengatakan,

روى عن الأوزاعي ما لم يوافقه عليه أحد

“Uqbah meriwayatkan hadits dari al-‘Auza’i yang tidak disepakati oleh seorang pun”

Selain itu, matan hadits Tsauban dinilai mungkar dengan alasan ketentuan dalam Islam adalah keburukan tidaklah menggugurkan pahala kebaikan, namun sebaliknya kebaikanlah yang mampu menghilangkan keburukan.

Namun, kedua alasan tersebut kurang tepat mengingat rawi ‘Uqbah bin ‘Alqamah telah dinilai sebagai rawi yang tsiqah oleh banyak ulama, diantaranya adalah Ibnu Ma’in dan An-Nasaa-i.

Alasan ulama menolak periwayatan ‘Uqbah adalah jika riwayat tersebut merupakan periwayatan anaknya, Muhammad, dari ‘Uqbah atau ‘Uqbah membawa suatu riwayat dari al-Auza’i. Sedangkan hadits Tsauban, bukanlah riwayat ‘uqbah dari al-Auza’i dan tidak pula diriwayatkan oleh Muhammad dari beliau. Dengan demikian, minimal sanad hadits ini adalah hasan. Wallahu a’lam.

Adapun penilaian atas kemungkaran matan hadits Tsaubah, maka hal ini pun tidak tepat mengingat makna yang sama dikemukakan dalam surat an-Nisaa ayat 108 di mana Allah ta’ala berfirman,

يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan” (QS. An-Nisaa : 108).

Meski dalam ayat di atas tidak disebutkan dengan jelas perihal gugurnya amalan mereka, namun hal itu dapat dipahami dari makna ayat tersebut. Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini,

هَذَا إِنْكَارٌ عَلَى الْمُنَافِقِينَ فِي كَوْنِهِمْ يَسْتَخْفُونَ بِقَبَائِحِهِمْ مِنَ النَّاسِ لِئَلَّا يُنْكِرُوا عَلَيْهِمْ، وَيُجَاهِرُونَ اللَّهَ بِهَا لِأَنَّهُ مُطَّلِعٌ عَلَى سَرَائِرِهِمْ وَعَالَمٌ بِمَا فِي ضَمَائِرِهِمْ؛ وَلِهَذَا قَالَ: {وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا} تَهْدِيدٌ لَهُمْ وَوَعِيدٌ

“Hal ini merupakan pengingkaran terhadap orang-orang munafik yang berupaya menyembunyikan keburukan mereka dari hadapan manusia agar tidak diingkari. Mereka pun pada akhirnya mengakui hal tersebut karena Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang ada di dalam hati mereka. Oleh karena itu, sebagai bentuk ancaman kepada mereka Allah berfirman yang artinya, “padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan” (Tafsiir Ibn Katsiir).

Kedua: Hadits Tsauban berkenaan dengan kaum munafikin, sedangkan hadits Abu Hurairah berkenaan dengan kaum muslimin.

Dengan demikian, tidak ada kontradiksi antara keduanya. Terlebih lagi jika kita memaknai karakter kemunafikan di sini sebagai kemunafikan ‘amaliy yang tidak menafikan ikatan keimanan alias tidak mengeluarkan pelaku perbuatan yang tersebut dalam hadits Tsauban dari lingkup keislaman.

Realita yang ada membenarkan hal tersebut. Jika kita merenungkan kondisi sebagian saudara kita yang nampak secara lahiriah berpegang teguh dengan agama namun terjerumus ke dalam kemungkaran, dan dengan mendengar pengakuan dari mereka sendiri yang telah bertaubat, tentu akan menjumpai hal yang mencengangkan.

Di antara mereka ada yang bermaksiat tatkala bersendirian dengan menyaksikan video dan memandang situs-situs yang mengandung konten tidak senonoh, serta menggunakan identitas palsu agar dapat berkomunikasi dengan lawan jenis non-mahram. Kita dapat melihat bahwa mereka yang melakukan hal tersebut secara lahiriah konsisten terhadap ajaran agama, nampak dalam pakaian, shalat, dan puasa yang dikerjakan. Pada mereka inilah ancaman dalam hadits Tsauban radhiallahu ‘anhu ditujukan, sebagai ancaman karena perbuatan mereka serupa dengan orang-orang munafik, atau dikarenakan mereka menjadi musuh iblis secara lahiriah, namun menjadi teman iblis di kala bersendirian sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian ulama salaf.

Ibnu Hajr al-Haitami rahimahullah mengatakan,

الكبيرة السادسة والخمسون بعد الثلاثمائة : إظهار زي الصالحين في الملأ ، وانتهاك المحارم ، ولو صغائر في الخلوة : أخرج ابن ماجه بسند رواته ثقات عن ثوبان رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : ( لأعلمنَّ أقواماً مِن أمتي يأتون

“Dosa besar ketiga ratus lima puluh enam adalah menampakkan keshalihan di hadapan manusia, namun menerjang perkara yang diharamkan Allah, meski dosa kecil di kala bersendiri. Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad para perawi yang tsiqah dari Tsauban radhiallahu ‘anhu dari nabi shallallalu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku…”” (az-Zawaajir ‘an Iqtiraafi al-Kabaa-ir).

Ketiga: Sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “إذَا خَلوا بِمَحَارِمِ الله” tidak hanya berarti bahwa pelaku dalam hadits Tsauban melakukan apa yang dilarang Allah tatkala bersendirian di rumah!

Namun dapat diartikan bahwa mereka terkadang melakukan hal tersebut bersama dengan kawan-kawan dan orang yang semisal dengannya. Dengan demikian, dalam hadits Tsauban terkandung penjelasan perihal mereka bersama-sama bersembunyi dari pandangan manusia untuk melakukan apa yang dilarang Allah, bukan berarti bahwa setiap dari mereka menyendiri di rumah masing-masing menerjang larangan Allah.

Mereka itulah yang tidak akan dimaafkan, sementara yang nampak bagi kami pelaku maksiat yang dimaafkan sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah adalah seorang yang dalam keadaan sendirian melakukan kemaksiatan.

Oleh karena itu, dalam hadits Abu Hurairah subjek disebutkan secara tunggal dan spesifik, di mana Allah telah menutupi aib yang dilakukannya di malam hari sebagaimana dalam kalimat “يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ”, sedangkan dalam hadits Tsauban terkandung lafadz jamak/plural mengingat dalam hadits tersebut terdapat kata “قوْم” dan “خَلَوا”.

Asy-Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani rahimahullah mengatakan, “Nampaknya kalimat “خلوا بمحارم الله” bukanlah berarti “سرّاً”(sendiri/rahasia), namun apabila terdapat kesempatan mereka melakukan apa yang dilarang oleh Allah. Dengan demikian kata “خلَوا” bukanlah berarti “سرّاً”, namun memiliki arti yang sama sebagaimana terdapat dalam sya’ir “خلا لكِ الجو فبيضي واصفري”” (Silsilah Huda wa an-Nuur kaset nomor 225).

Keempat: yang disebutkan dalam hadits Tsauban adalah orang yang menghalalkan maksiat atau melampaui batas

Mereka yang disebutkan dalam hadits Tsauban disifati dengan kalimat “ينتهكون محارم الله” (menerjang larangan Allah). Sifat ini menunjukkan akan penghalalan mereka terhadap larangan Allah tersebut atau menunjukkan bahwa mereka sangat melampaui batas dalam melakukannya dalam kondisi tersebut. Melampaui batas karena mereka merasa aman dari makar dan siksa Allah, serta absennya perhatian mereka bahwa sebenarnya Allah pasti mengetahui perbuatan mereka.

Oleh karena itu, mereka berhak memperoleh hukuman berupa gugurnya amalan shalih yang telah dikerjakan oleh mereka. Ancaman yang ada dalam hadits tersebut semata-mata bukan dikarenakan melakukan kemaksiatan. Inilah mengapa Tsauban radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan sifat mereka karena khawatir para sahabat juga termasuk di dalam ancaman tanpa disadari. Pertanyaan semisal ini merupakan pertanyaan yang dilakukan untuk mengenal kondisi hati pelaku kemaksiatan tersebut, bukan semata-mata untuk mengetahui perbuatan mereka.

Asy-Syaikh Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqithiy hafizhahullah mengatakan, “Maksud dari hadits ini adalah mereka memiliki sifat meremehkan dan … Allah, sehingga terdapat perbedaan antara kemaksiatan yang mendatangkan penyesalan dengan kemaksiatan yang tidak mendatangkan penyesalan bagi pelakunya. Berbeda seorang yang bermaksiat ketika sendiri dengan seorang yang meremehkan Allah, di mana kebaikannya di hadapan manusia merupakan tindakan riya’ meski banyak seperti gunung. Apabila dirinya berada di tengah-tengah orang shalih, dirinya menampakkan amalan yang baik karena berharap sesuatu kepada manusia, bukan berharap pahala kepada Allah. Maka, orang ini mengerjakan amal shalih yang banyaknya seperti gunung, secara lahiriah merupakan kebaikan, akan tetapi tatkala bersendirian dirinya menerjang larangan Allah. Tatkala tersembunyi dari pandangan manusia, dia tidak mengagungkan Allah dan tidak pula takut kepada-Nya.

Berbeda dengan seorang yang bermaksiat ketika bersendirian namun di dalam hatinya terdapat penyesalan, dia tidak menyukai dan membenci kemaksiatan tersebut, serta Allah memberikan karunia penyesalan atas kemaksiatan yang telah dilakukan. Seorang yang bermaksiat dalam kondisi bersendirian namun merasa menyesal dan merasa terluka atas kemaksiatan yang dilakukan, bukanlah dikatakan sebagai orang yang menerjang larangan Allah karena pada asalnya orang tersebut mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, namun syahwat telah menguasainya sehingga dia pun menyesali kemaksiatan tersebut. Adapun orang yang sebelumnyaadalah pribadi yang berkarakter lancang danberani menentang Allah.

Inilah makna dari hadits Tsauban mengingat hadits tersebut tidaklah menerangkan perihal satu orang, dua orang atau berbicara tentang kriteria tertentu, namun hadits tersebut menerangkan sifat-sifat secara sempurna. Di antara manusia ada yang bermaksiat tatkala bersendirian dan hatinya memang menentang Allah. Sedangkan yang lain bermaksiat tatkala bersendiri karena takluk akan syahwat, namun jika ditelisik lebih jauh, terkadang keimanan yang dimilikinya mampu mengalahkan syahwat tersebut dan mampu mencegah dirinya untuk bermaksiat. Akan tetapi dalam beberapa kondisi syahwat membutakannya karena memang syahwat mampu membutakan dan membuat seorang jadi tuli sehingga dia tidak mampu menerima nasehat. Akhirnya dia pun terjerumus ke dalam kemaksiatan dan digelincirkan setan. Allah berfirman,

إِنَّمَا اسْتَزَلَّهُمُ الشَّيْطَانُ بِبَعْضِ مَا كَسَبُوا وَلَقَدْ عَفَا اللَّهُ عَنْهُمْ

“Hanya saja mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” (Ali ‘Imraan : 155).

Ayat di atas menerangkan bahwa apabila hamba digelincirkan setan hingga bermaksiat, namun di lubuk hatinya masih terdapat pengakuan bahwa dirinya telah berbuat dosa, Allah juga mengetahui tatkala bermaksiat ada penyesalan dalam dirinya, benci akan kemaksiatan tersebut hingga sebagian di antara mereka ketika bermaksiat ada yang berangan-angan agar dirinya diwafatkan sebelum melakukan kemaksiatan tersebut. Orang yang demikian ini sebenarnya orang yang masih mengagungkan Allah, akan tetapi dia belum diberi karunia berupa keimanan yang dapat menghalanginya dari perbuatan maksiat. Dan terkadang Allah mengujinya dengan kemaksiatan tersebut dikarenakan dia telah menghina orang lain, durhaka pada orang tua, atau memutus silaturahim sehingga Allah tidak menurunkan rahmat-Nya. Bisa juga dia menyakiti ulama atau salah seorang wali Allah sehingga Allah pun mengumumkan perang terhadap dirinya. Dengan demikian kondisi orang tersebut layaknya seorang yang sedang dihinakan meski dalam hatinya dia idak ridha terhadap perbuatan tersebut.

Maka, seorang yang bermaksiat tatkala bersendirian memiliki beberapa tingkatan. Di antara mereka melakukan kemaksiatan dan dalam hatinya terdapat sikap lancang dan meremehkan Allah. Anda dapat melihat sebagian pelaku kemaksiatan ketika bermaksiat, di mana tidak ada seorang pun yang melihat dan memperingati dirinya, dia melakukan kemaksiatan tersebut dengan bangga, angkuh, dan pencemoohan terhadap Allah. Mereka mengucapkan kalimat-kalimat penghinaan dan melakukan berbagai perbuatan yang meremehkan kekuasaan Allah, tatkala seseorang menasehatinya dia pun menolak dengan penuh keangkuhan sehingga dirinya menganggap remeh keagungan Allah, agama dan syari’at-Nya. Orang ini secara lahiriah apabila berada di hadapan manusia dia tetap shalat dan berpuasa, namun jika bersendirian dia bermaksiat dan meremehkan keagungan Allah –wal ‘iyaadzu billah-. Orang yang demikian tentu tidak sama dengan mereka yang terkalahkan oleh syahwat, terfitnah dengan apa yang dilihatnya namun menyadari bahwa kemaksiatan yang dilakukannya dapat membawa musibah dan kehancuran. Dia mengerjakan kemaksiatan tersebut, namun hatinya tidak nyaman dengan maksiat tersebut, merasa terluka dan menyesal ketika telah melakukannya.

Dengan demikian, kandungan hadits Tsauban ini tidak bersifat mutlak. Kandungan dari hadits ini hanya mencakup mereka yang bermaksiat di kala bersendirian dan di dalam dirinya terdapat penentangan dan sikap meremehkan ketentuan-ketentuan Allah –wal ‘iyaadzu billah-” (Syarh Zaad al-Mustaq’ni’).

Semoga Allah menganugerahkan dan menghiasi hati kita dengan keimanan, serta kita memohon kepada-Nya agar menganugerahi diri kita agar membenci kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.


banyak, kaum Muslimin yang berlomba-lomba dalam beramal salih. Bukan tanpa alasan, tentu hal ini dilakukan sebagai bekal untuk di akhirat nanti. Namun, tahukah Anda bahwa ada satu maksiat yang dapat menghancurkan amalan meski sudah sebesar gunung.Misalnya, menonton film porno, melihat gambar-gambar yang tidak senonoh, membaca artikel yang bisa mengundang syahwat, dan lain sebagainya.

Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam pernah menyampaikan kepada sahabat tentang kaum yang tampak alim ketika berkumpul, namun zalim pada diri sendiri tatkala sendirian dan sepi. Kaum ini muncul pada akhir zaman, menjelang hari kiamat.

Mereka melakukan maksiat yang dianggap sepele, namun faktanya hal tersebut justru menghancurkan pahala dari amalan-amalan yang sudah mereka lakukan. Bahkan, amalan yang sudah setinggi Gunung Tihamah pun tetap akan musnah.

Dari riwayat sahabat Tsauban Radhiallahu ‘anhu di mana Rasulullah Shallallahu ’alaihi wassallam pernah bersabda:

"Sungguh aku mengetahui suatu kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan banyak kebaikan semisal Gunung Tihamah. Namun Allah menjadikan kebaikan tersebut menjadi debu yang bertebaran." Tsauban berkata, "Wahai Rasulullah, coba sebutkan sifat-sifat mereka pada kami supaya kami tidak menjadi seperti mereka sedangkan kami tidak mengetahuinya."

Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam lalu menjawab, "Adapun mereka adalah saudara kalian. Kulit mereka sama dengan kulit kalian. Mereka menghidupkan malam (dengan ibadah) seperti kalian. Akan tetapi mereka adalah kaum yang jika bersepian mereka merobek tirai untuk bisa bermaksiat pada Allah." (HR Ibnu Majah Nomor 4245)

Tidak hanya tindakan, bermaksiat dengan pikiran-pikiran yang melanggar aturan pun juga mampu memusnahkan pahala. Meski sesama manusia tidak mengetahuinya, namun Allah Subhanahu wa ta'ala Maha Mengetahui dan senantiasa mengawasi kita. Sebagaimana berfirman Allah Ta'ala:

"Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan." (QS An-Nisa’: 108)

Orang-orang seperti inilah yang pahalanya akan dihapuskan oleh Allah Subhanahu wa ta'ala meskipun mereka sudah melakukan banyak amal kebaikan, yakni bermaksiat ketika sepi. Di depan orang dia terlihat alim dan salih, akan tetapi di kala sendiri dia justru bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Oleh karena itu, berdoalah kepada Allah agar dijauhkan dari hal-hal demikian.

Suatu ketika Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassallam pernah menyampaikan kepada sahabat tentang kaum yang tampak alim ketika berkumpul, namun dzalim pada diri sendiri tatkala sendirian dan sepi. Kaum ini muncul pada akhir zaman, menjelang hari kiamat.

Mereka melakukan maksiat yang dianggap sepele, namun faktanya justru menghancurkan pahala dari amalan yang sudah dilakukan. 

Bahkan, meskipun amalan yang dimiliki sudah setinggi gunung Tihamah, namun pahalanya tetap akan musnah.

Tindakan maksiat ini dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan dalam keadaan berani serta menganggap remeh dosa. 

Nah, apakah kita termasuk dalam kaum yang dikatakan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassallam?

Dari riwayat sahabat Tsauban radhiallahu ‘anhu di mana Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam pernah bersabda:

لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا

“Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih. Kemudian Allah menjadikannya debu yang berterbangan.”

Tsauban bertanya, “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka dan jelaskanlah perihal mereka agar kami tidak menjadi seperti mereka tanpa disadari.”

Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka adalah saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka shalat malam sebagaimana kalian, tetapi mereka adalah kaum yang jika bersendirian mereka menerjang hal yang diharamkan Allah.”(Shahih. HR. Ibnu Majah)

Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ : يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

“Seluruh umatku diampuni kecuali al-mujaahirun (orang yang melakukan al-mujaaharah). Dan termasuk bentuk al-mujaaharah adalah seseorang berbuat dosa pada malam hari, kemudian di pagi hari Allah telah menutupi dosanya namun dia berkata, “Wahai fulan semalam aku telah melakukan dosa ini dan itu.” Allah telah menutupi dosanya di malam hari, akan tetapi di pagi hari dia membuka kembali dosa yang telah ditutup oleh Allah tersebut.” (Shahih. HR. Bukhari dan Muslim).

Karena Manusia sering kali menganggap remeh dosa, sehingga mengabaikan tindakan-tindakan yang dianggap tidak merugikan orang lain. 

Padahal, meskipun tidak terhitung menyakiti orang lain, namun apa saja yang melanggar larangan Allah Subhanahu wata'ala tetap saja berbuah dosa.

Termasuk melakukan maksiat dikala sedang sendirian, di jaman yang semakin canggih, saat-saat sepi justru memiliki potensi yang besar bagi diri untuk melakukan tindakan melanggar perintah Ilahi. 

Jika kita merenungkan kondisi sebagian saudara kita yang nampak secara lahiriah berpegang teguh dengan agama namun terjerumus ke dalam kemungkaran, dan dengan mendengar pengakuan dari mereka sendiri yang telah bertaubat, tentu akan menjumpai hal yang mencengangkan.

Di antara mereka ada yang bermaksiat tatkala bersendirian dengan menyaksikan video dan memandang situs-situs yang mengandung konten tidak senonoh, serta menggunakan identitas palsu agar dapat berkomunikasi dengan lawan jenis non-mahram. 

Kita dapat melihat bahwa mereka yang melakukan hal tersebut secara lahiriah konsisten terhadap ajaran agama, nampak dalam pakaian, shalat, dan puasa yang dikerjakan. 

Pada mereka inilah ancaman dalam hadits Tsauban radhiallahu ‘anhu ditujukan, sebagai ancaman karena perbuatan mereka serupa dengan orang-orang munafik, atau dikarenakan mereka menjadi musuh iblis secara lahiriah, namun menjadi teman iblis di kala bersendirian.

Apakah kita termasuk dalam kaum yang menggunakan di kala bersendirian untuk bermaksiat. Tidak hanya tindakan, bermaksiat dengan pikiran-pikiran yang melanggar aturan juga mampu memusnahkan pahala. 

Karena faktanya, sesama manusia memang tidak mengetahuinya, namun Allah Subhanahu wata'ala senantiasa mengawasi kita. Seperti dalam  QS. An-Nisa’: 108 :

يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 108).

Meski dalam ayat di atas tidak disebutkan dengan jelas perihal gugurnya amalan mereka, namun hal itu dapat dipahami dari makna ayat tersebut. 

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini,

هَذَا إِنْكَارٌ عَلَى الْمُنَافِقِينَ فِي كَوْنِهِمْ يَسْتَخْفُونَ بِقَبَائِحِهِمْ مِنَ النَّاسِ لِئَلَّا يُنْكِرُوا عَلَيْهِمْ، وَيُجَاهِرُونَ اللَّهَ بِهَا لِأَنَّهُ مُطَّلِعٌ عَلَى سَرَائِرِهِمْ وَعَالَمٌ بِمَا فِي ضَمَائِرِهِمْ؛ وَلِهَذَا قَالَ: {وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا} تَهْدِيدٌ لَهُمْ وَوَعِيدٌ

“Hal ini merupakan pengingkaran terhadap orang-orang munafik yang berupaya menyembunyikan keburukan mereka dari hadapan manusia agar tidak diingkari. Mereka pun pada akhirnya mengakui hal tersebut karena Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang ada di dalam hati mereka. 

Oleh karena itu, sebagai bentuk ancaman kepada mereka Allah berfirman yang artinya, “padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan” (Tafsiir Ibn Katsiir).

Namun dapat diartikan bahwa mereka terkadang melakukan hal tersebut bersama dengan kawan-kawan dan orang yang semisal dengannya. 

Dengan demikian, dalam hadits Tsauban terkandung penjelasan perihal mereka bersama-sama bersembunyi dari pandangan manusia untuk melakukan apa yang dilarang Allah, bukan berarti bahwa setiap dari mereka menyendiri di rumah masing-masing menerjang larangan Allah.

Mereka itulah yang tidak akan dimaafkan, sementara yang nampak bagi pelaku maksiat yang dimaafkan sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah adalah seorang yang dalam keadaan sendirian melakukan kemaksiatan.

Oleh karena itu, dalam hadits Abu Hurairah subjek disebutkan secara tunggal dan spesifik, di mana Allah telah menutupi aib yang dilakukannya di malam hari sebagaimana dalam kalimat “يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ”, sedangkan dalam hadits Tsauban terkandung lafadz jamak/plural mengingat dalam hadits tersebut terdapat kata “قوْم” dan “خَلَوا”.

Mereka yang disebutkan dalam hadits Tsauban disifati dengan kalimat “ينتهكون محارم الله” (menerjang larangan Allah).

Sifat ini menunjukkan akan penghalalan mereka terhadap larangan Allah tersebut atau menunjukkan bahwa mereka sangat melampaui batas dalam melakukannya dalam kondisi tersebut. 

Melampaui batas karena mereka merasa aman dari makar dan siksa Allah, serta absennya perhatian mereka bahwa sebenarnya Allah pasti mengetahui perbuatan mereka.

Oleh karena itu, mereka berhak memperoleh hukuman berupa gugurnya amalan shalih yang telah dikerjakan oleh mereka. 

Ancaman yang ada dalam hadits tersebut semata-mata bukan dikarenakan melakukan kemaksiatan. Inilah mengapa Tsauban radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan sifat mereka karena khawatir para sahabat juga termasuk di dalam ancaman tanpa disadari. 

Pertanyaan semisal ini merupakan pertanyaan yang dilakukan untuk mengenal kondisi hati pelaku kemaksiatan tersebut, bukan semata-mata untuk mengetahui perbuatan mereka.

Berbeda seorang yang bermaksiat ketika sendiri dengan seorang yang meremehkan Allah, di mana kebaikannya di hadapan manusia merupakan tindakan riya’ meski banyak seperti gunung. 

Apabila dirinya berada di tengah-tengah orang shalih, dirinya menampakkan amalan yang baik karena berharap sesuatu kepada manusia, bukan berharap pahala kepada Allah. 

Maka, orang ini mengerjakan amal shalih yang banyaknya seperti gunung, secara lahiriah merupakan kebaikan, akan tetapi tatkala bersendirian dirinya menerjang larangan Allah. 

Tatkala tersembunyi dari pandangan manusia, dia tidak mengagungkan Allah dan tidak pula takut kepada-Nya.

Berbeda dengan seorang yang bermaksiat ketika bersendirian namun di dalam hatinya terdapat penyesalan, dia tidak menyukai dan membenci kemaksiatan tersebut, serta Allah memberikan karunia penyesalan atas kemaksiatan yang telah dilakukan. 

Seorang yang bermaksiat dalam kondisi bersendirian namun merasa menyesal dan merasa terluka atas kemaksiatan yang dilakukan, bukanlah dikatakan sebagai orang yang menerjang larangan Allah karena pada asalnya orang tersebut mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah.

Namun syahwat telah menguasainya sehingga dia pun menyesali kemaksiatan tersebut. Adapun orang yang sebelumnya adalah pribadi yang berkarakter lancang dan berani menentang Allah.

Inilah makna dari hadits Tsauban mengingat hadits tersebut tidaklah menerangkan perihal satu orang, dua orang atau berbicara tentang kriteria tertentu, namun hadits tersebut menerangkan sifat-sifat secara sempurna. 

Di antara manusia ada yang bermaksiat tatkala bersendirian dan hatinya memang menentang Allah. Sedangkan yang lain bermaksiat tatkala bersendiri karena takluk akan syahwat. 

Namun jika ditelisik lebih jauh, terkadang keimanan yang dimilikinya mampu mengalahkan syahwat tersebut dan mampu mencegah dirinya untuk bermaksiat. 

Akan tetapi dalam beberapa kondisi syahwat membutakannya karena memang syahwat mampu membutakan dan membuat seorang jadi tuli sehingga dia tidak mampu menerima nasehat. 

Akhirnya dia pun terjerumus ke dalam kemaksiatan dan digelincirkan setan. Allah berfirman,

إِنَّمَا اسْتَزَلَّهُمُ الشَّيْطَانُ بِبَعْضِ مَا كَسَبُوا وَلَقَدْ عَفَا اللَّهُ عَنْهُمْ

“Hanya saja mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” (Ali ‘Imraan : 155).

Ayat di atas menerangkan bahwa apabila hamba digelincirkan setan hingga bermaksiat, namun di lubuk hatinya masih terdapat pengakuan bahwa dirinya telah berbuat dosa.

Allah juga mengetahui tatkala bermaksiat ada penyesalan dalam dirinya, benci akan kemaksiatan tersebut hingga sebagian di antara mereka ketika bermaksiat ada yang berangan-angan agar dirinya diwafatkan sebelum melakukan kemaksiatan tersebut. 

Orang yang demikian ini sebenarnya orang yang masih mengagungkan Allah, akan tetapi dia belum diberi karunia berupa keimanan yang dapat menghalanginya dari perbuatan maksiat. 

Dan terkadang Allah mengujinya dengan kemaksiatan tersebut dikarenakan dia telah menghina orang lain, durhaka pada orang tua, atau memutus silaturahim sehingga Allah tidak menurunkan rahmat-Nya. 

Bisa juga dia menyakiti ulama atau salah seorang wali Allah sehingga Allah pun mengumumkan perang terhadap dirinya. 

Dengan demikian kondisi orang tersebut layaknya seorang yang sedang dihinakan meski dalam hatinya dia idak ridha terhadap perbuatan tersebut.

Maka, seorang yang bermaksiat tatkala bersendirian memiliki beberapa tingkatan. Di antara mereka melakukan kemaksiatan dan dalam hatinya terdapat sikap lancang dan meremehkan Allah. 

Kita dapat melihat sebagian pelaku kemaksiatan ketika bermaksiat, di mana tidak ada seorang pun yang melihat dan memperingati dirinya, dia melakukan kemaksiatan tersebut dengan bangga, angkuh, dan pencemoohan terhadap Allah. 

Mereka mengucapkan kalimat-kalimat penghinaan dan melakukan berbagai perbuatan yang meremehkan kekuasaan Allah, tatkala seseorang menasehatinya dia pun menolak dengan penuh keangkuhan sehingga dirinya menganggap remeh keagungan Allah, agama dan syari’at-Nya. 

Orang ini secara lahiriah apabila berada di hadapan manusia dia tetap shalat dan berpuasa, namun jika bersendirian dia bermaksiat dan meremehkan keagungan Allah wal ‘iyaadzu billah. 

Orang yang demikian tentu tidak sama dengan mereka yang terkalahkan oleh syahwat, terfitnah dengan apa yang dilihatnya namun menyadari bahwa kemaksiatan yang dilakukannya dapat membawa musibah dan kehancuran. 

Dia mengerjakan kemaksiatan tersebut, namun hatinya tidak nyaman dengan maksiat tersebut, merasa terluka dan menyesal ketika telah melakukannya.

Dengan demikian, kandungan hadits Tsauban ini tidak bersifat mutlak. Kandungan dari hadits ini hanya mencakup mereka yang bermaksiat di kala bersendirian dan di dalam dirinya terdapat penentangan dan sikap meremehkan ketentuan-ketentuan Allah wal ‘iyaadzu billah” 

Semoga Allah menganugerahkan dan menghiasi hati kita dengan keimanan, serta kita memohon kepada-Nya agar menganugerahi diri kita agar membenci kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.semoga bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan kita.

Referensi sebagai Berikut ini ;




Amalan Sebesar Gunung Hancur Akibat Bermaksiat Saat Sendiri

Amalan Sebesar Gunung Hancur Akibat Bermaksiat Saat Sendiri. banyak, kaum Muslimin yang berlomba-lomba dalam beramal salih. Bukan tanpa alasan, tentu hal ini dilakukan sebagai bekal untuk di akhirat nanti. Namun, tahukah Anda bahwa ada satu maksiat yang dapat menghancurkan amalan meski sudah sebesar gunung.Misalnya, menonton film porno, melihat gambar-gambar yang tidak senonoh, membaca artikel yang bisa mengundang syahwat, dan lain sebagainya.

Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam pernah menyampaikan kepada sahabat tentang kaum yang tampak alim ketika berkumpul, namun zalim pada diri sendiri tatkala sendirian dan sepi. Kaum ini muncul pada akhir zaman, menjelang hari kiamat.

Mereka melakukan maksiat yang dianggap sepele, namun faktanya hal tersebut justru menghancurkan pahala dari amalan-amalan yang sudah mereka lakukan. Bahkan, amalan yang sudah setinggi Gunung Tihamah pun tetap akan musnah.

Dari riwayat sahabat Tsauban Radhiallahu ‘anhu di mana Rasulullah Shallallahu ’alaihi wassallam pernah bersabda:

"Sungguh aku mengetahui suatu kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan banyak kebaikan semisal Gunung Tihamah. Namun Allah menjadikan kebaikan tersebut menjadi debu yang bertebaran." Tsauban berkata, "Wahai Rasulullah, coba sebutkan sifat-sifat mereka pada kami supaya kami tidak menjadi seperti mereka sedangkan kami tidak mengetahuinya."

Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam lalu menjawab, "Adapun mereka adalah saudara kalian. Kulit mereka sama dengan kulit kalian. Mereka menghidupkan malam (dengan ibadah) seperti kalian. Akan tetapi mereka adalah kaum yang jika bersepian mereka merobek tirai untuk bisa bermaksiat pada Allah." (HR Ibnu Majah Nomor 4245)

Tidak hanya tindakan, bermaksiat dengan pikiran-pikiran yang melanggar aturan pun juga mampu memusnahkan pahala. Meski sesama manusia tidak mengetahuinya, namun Allah Subhanahu wa ta'ala Maha Mengetahui dan senantiasa mengawasi kita. Sebagaimana berfirman Allah Ta'ala:

"Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan." (QS An-Nisa’: 108)

Orang-orang seperti inilah yang pahalanya akan dihapuskan oleh Allah Subhanahu wa ta'ala meskipun mereka sudah melakukan banyak amal kebaikan, yakni bermaksiat ketika sepi. Di depan orang dia terlihat alim dan salih, akan tetapi di kala sendiri dia justru bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Oleh karena itu, berdoalah kepada Allah agar dijauhkan dari hal-hal demikian.

Suatu ketika Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassallam pernah menyampaikan kepada sahabat tentang kaum yang tampak alim ketika berkumpul, namun dzalim pada diri sendiri tatkala sendirian dan sepi. Kaum ini muncul pada akhir zaman, menjelang hari kiamat.

Mereka melakukan maksiat yang dianggap sepele, namun faktanya justru menghancurkan pahala dari amalan yang sudah dilakukan. 

Bahkan, meskipun amalan yang dimiliki sudah setinggi gunung Tihamah, namun pahalanya tetap akan musnah.

Tindakan maksiat ini dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan dalam keadaan berani serta menganggap remeh dosa. 

Nah, apakah kita termasuk dalam kaum yang dikatakan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassallam?

Dari riwayat sahabat Tsauban radhiallahu ‘anhu di mana Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam pernah bersabda:

لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا

“Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih. Kemudian Allah menjadikannya debu yang berterbangan.”

Tsauban bertanya, “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka dan jelaskanlah perihal mereka agar kami tidak menjadi seperti mereka tanpa disadari.”

Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka adalah saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka shalat malam sebagaimana kalian, tetapi mereka adalah kaum yang jika bersendirian mereka menerjang hal yang diharamkan Allah.”(Shahih. HR. Ibnu Majah)

Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ : يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

“Seluruh umatku diampuni kecuali al-mujaahirun (orang yang melakukan al-mujaaharah). Dan termasuk bentuk al-mujaaharah adalah seseorang berbuat dosa pada malam hari, kemudian di pagi hari Allah telah menutupi dosanya namun dia berkata, “Wahai fulan semalam aku telah melakukan dosa ini dan itu.” Allah telah menutupi dosanya di malam hari, akan tetapi di pagi hari dia membuka kembali dosa yang telah ditutup oleh Allah tersebut.” (Shahih. HR. Bukhari dan Muslim).

Karena Manusia sering kali menganggap remeh dosa, sehingga mengabaikan tindakan-tindakan yang dianggap tidak merugikan orang lain. 

Padahal, meskipun tidak terhitung menyakiti orang lain, namun apa saja yang melanggar larangan Allah Subhanahu wata'ala tetap saja berbuah dosa.

Termasuk melakukan maksiat dikala sedang sendirian, di jaman yang semakin canggih, saat-saat sepi justru memiliki potensi yang besar bagi diri untuk melakukan tindakan melanggar perintah Ilahi. 

Jika kita merenungkan kondisi sebagian saudara kita yang nampak secara lahiriah berpegang teguh dengan agama namun terjerumus ke dalam kemungkaran, dan dengan mendengar pengakuan dari mereka sendiri yang telah bertaubat, tentu akan menjumpai hal yang mencengangkan.

Di antara mereka ada yang bermaksiat tatkala bersendirian dengan menyaksikan video dan memandang situs-situs yang mengandung konten tidak senonoh, serta menggunakan identitas palsu agar dapat berkomunikasi dengan lawan jenis non-mahram. 

Kita dapat melihat bahwa mereka yang melakukan hal tersebut secara lahiriah konsisten terhadap ajaran agama, nampak dalam pakaian, shalat, dan puasa yang dikerjakan. 

Pada mereka inilah ancaman dalam hadits Tsauban radhiallahu ‘anhu ditujukan, sebagai ancaman karena perbuatan mereka serupa dengan orang-orang munafik, atau dikarenakan mereka menjadi musuh iblis secara lahiriah, namun menjadi teman iblis di kala bersendirian.

Apakah kita termasuk dalam kaum yang menggunakan di kala bersendirian untuk bermaksiat. Tidak hanya tindakan, bermaksiat dengan pikiran-pikiran yang melanggar aturan juga mampu memusnahkan pahala. 

Karena faktanya, sesama manusia memang tidak mengetahuinya, namun Allah Subhanahu wata'ala senantiasa mengawasi kita. Seperti dalam  QS. An-Nisa’: 108 :

يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 108).

Meski dalam ayat di atas tidak disebutkan dengan jelas perihal gugurnya amalan mereka, namun hal itu dapat dipahami dari makna ayat tersebut. 

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini,

هَذَا إِنْكَارٌ عَلَى الْمُنَافِقِينَ فِي كَوْنِهِمْ يَسْتَخْفُونَ بِقَبَائِحِهِمْ مِنَ النَّاسِ لِئَلَّا يُنْكِرُوا عَلَيْهِمْ، وَيُجَاهِرُونَ اللَّهَ بِهَا لِأَنَّهُ مُطَّلِعٌ عَلَى سَرَائِرِهِمْ وَعَالَمٌ بِمَا فِي ضَمَائِرِهِمْ؛ وَلِهَذَا قَالَ: {وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا} تَهْدِيدٌ لَهُمْ وَوَعِيدٌ

“Hal ini merupakan pengingkaran terhadap orang-orang munafik yang berupaya menyembunyikan keburukan mereka dari hadapan manusia agar tidak diingkari. Mereka pun pada akhirnya mengakui hal tersebut karena Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang ada di dalam hati mereka. 

Oleh karena itu, sebagai bentuk ancaman kepada mereka Allah berfirman yang artinya, “padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan” (Tafsiir Ibn Katsiir).

Namun dapat diartikan bahwa mereka terkadang melakukan hal tersebut bersama dengan kawan-kawan dan orang yang semisal dengannya. 

Dengan demikian, dalam hadits Tsauban terkandung penjelasan perihal mereka bersama-sama bersembunyi dari pandangan manusia untuk melakukan apa yang dilarang Allah, bukan berarti bahwa setiap dari mereka menyendiri di rumah masing-masing menerjang larangan Allah.

Mereka itulah yang tidak akan dimaafkan, sementara yang nampak bagi pelaku maksiat yang dimaafkan sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah adalah seorang yang dalam keadaan sendirian melakukan kemaksiatan.

Oleh karena itu, dalam hadits Abu Hurairah subjek disebutkan secara tunggal dan spesifik, di mana Allah telah menutupi aib yang dilakukannya di malam hari sebagaimana dalam kalimat “يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ”, sedangkan dalam hadits Tsauban terkandung lafadz jamak/plural mengingat dalam hadits tersebut terdapat kata “قوْم” dan “خَلَوا”.

Mereka yang disebutkan dalam hadits Tsauban disifati dengan kalimat “ينتهكون محارم الله” (menerjang larangan Allah).

Sifat ini menunjukkan akan penghalalan mereka terhadap larangan Allah tersebut atau menunjukkan bahwa mereka sangat melampaui batas dalam melakukannya dalam kondisi tersebut. 

Melampaui batas karena mereka merasa aman dari makar dan siksa Allah, serta absennya perhatian mereka bahwa sebenarnya Allah pasti mengetahui perbuatan mereka.

Oleh karena itu, mereka berhak memperoleh hukuman berupa gugurnya amalan shalih yang telah dikerjakan oleh mereka. 

Ancaman yang ada dalam hadits tersebut semata-mata bukan dikarenakan melakukan kemaksiatan. Inilah mengapa Tsauban radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan sifat mereka karena khawatir para sahabat juga termasuk di dalam ancaman tanpa disadari. 

Pertanyaan semisal ini merupakan pertanyaan yang dilakukan untuk mengenal kondisi hati pelaku kemaksiatan tersebut, bukan semata-mata untuk mengetahui perbuatan mereka.

Berbeda seorang yang bermaksiat ketika sendiri dengan seorang yang meremehkan Allah, di mana kebaikannya di hadapan manusia merupakan tindakan riya’ meski banyak seperti gunung. 

Apabila dirinya berada di tengah-tengah orang shalih, dirinya menampakkan amalan yang baik karena berharap sesuatu kepada manusia, bukan berharap pahala kepada Allah. 

Maka, orang ini mengerjakan amal shalih yang banyaknya seperti gunung, secara lahiriah merupakan kebaikan, akan tetapi tatkala bersendirian dirinya menerjang larangan Allah. 

Tatkala tersembunyi dari pandangan manusia, dia tidak mengagungkan Allah dan tidak pula takut kepada-Nya.

Berbeda dengan seorang yang bermaksiat ketika bersendirian namun di dalam hatinya terdapat penyesalan, dia tidak menyukai dan membenci kemaksiatan tersebut, serta Allah memberikan karunia penyesalan atas kemaksiatan yang telah dilakukan. 

Seorang yang bermaksiat dalam kondisi bersendirian namun merasa menyesal dan merasa terluka atas kemaksiatan yang dilakukan, bukanlah dikatakan sebagai orang yang menerjang larangan Allah karena pada asalnya orang tersebut mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah.

Namun syahwat telah menguasainya sehingga dia pun menyesali kemaksiatan tersebut. Adapun orang yang sebelumnya adalah pribadi yang berkarakter lancang dan berani menentang Allah.

Inilah makna dari hadits Tsauban mengingat hadits tersebut tidaklah menerangkan perihal satu orang, dua orang atau berbicara tentang kriteria tertentu, namun hadits tersebut menerangkan sifat-sifat secara sempurna. 

Di antara manusia ada yang bermaksiat tatkala bersendirian dan hatinya memang menentang Allah. Sedangkan yang lain bermaksiat tatkala bersendiri karena takluk akan syahwat. 

Namun jika ditelisik lebih jauh, terkadang keimanan yang dimilikinya mampu mengalahkan syahwat tersebut dan mampu mencegah dirinya untuk bermaksiat. 

Akan tetapi dalam beberapa kondisi syahwat membutakannya karena memang syahwat mampu membutakan dan membuat seorang jadi tuli sehingga dia tidak mampu menerima nasehat. 

Akhirnya dia pun terjerumus ke dalam kemaksiatan dan digelincirkan setan. Allah berfirman,

إِنَّمَا اسْتَزَلَّهُمُ الشَّيْطَانُ بِبَعْضِ مَا كَسَبُوا وَلَقَدْ عَفَا اللَّهُ عَنْهُمْ

“Hanya saja mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” (Ali ‘Imraan : 155).

Ayat di atas menerangkan bahwa apabila hamba digelincirkan setan hingga bermaksiat, namun di lubuk hatinya masih terdapat pengakuan bahwa dirinya telah berbuat dosa.

Allah juga mengetahui tatkala bermaksiat ada penyesalan dalam dirinya, benci akan kemaksiatan tersebut hingga sebagian di antara mereka ketika bermaksiat ada yang berangan-angan agar dirinya diwafatkan sebelum melakukan kemaksiatan tersebut. 

Orang yang demikian ini sebenarnya orang yang masih mengagungkan Allah, akan tetapi dia belum diberi karunia berupa keimanan yang dapat menghalanginya dari perbuatan maksiat. 

Dan terkadang Allah mengujinya dengan kemaksiatan tersebut dikarenakan dia telah menghina orang lain, durhaka pada orang tua, atau memutus silaturahim sehingga Allah tidak menurunkan rahmat-Nya. 

Bisa juga dia menyakiti ulama atau salah seorang wali Allah sehingga Allah pun mengumumkan perang terhadap dirinya. 

Dengan demikian kondisi orang tersebut layaknya seorang yang sedang dihinakan meski dalam hatinya dia idak ridha terhadap perbuatan tersebut.

Maka, seorang yang bermaksiat tatkala bersendirian memiliki beberapa tingkatan. Di antara mereka melakukan kemaksiatan dan dalam hatinya terdapat sikap lancang dan meremehkan Allah. 

Kita dapat melihat sebagian pelaku kemaksiatan ketika bermaksiat, di mana tidak ada seorang pun yang melihat dan memperingati dirinya, dia melakukan kemaksiatan tersebut dengan bangga, angkuh, dan pencemoohan terhadap Allah. 

Mereka mengucapkan kalimat-kalimat penghinaan dan melakukan berbagai perbuatan yang meremehkan kekuasaan Allah, tatkala seseorang menasehatinya dia pun menolak dengan penuh keangkuhan sehingga dirinya menganggap remeh keagungan Allah, agama dan syari’at-Nya. 

Orang ini secara lahiriah apabila berada di hadapan manusia dia tetap shalat dan berpuasa, namun jika bersendirian dia bermaksiat dan meremehkan keagungan Allah wal ‘iyaadzu billah. 

Orang yang demikian tentu tidak sama dengan mereka yang terkalahkan oleh syahwat, terfitnah dengan apa yang dilihatnya namun menyadari bahwa kemaksiatan yang dilakukannya dapat membawa musibah dan kehancuran. 

Dia mengerjakan kemaksiatan tersebut, namun hatinya tidak nyaman dengan maksiat tersebut, merasa terluka dan menyesal ketika telah melakukannya.

Dengan demikian, kandungan hadits Tsauban ini tidak bersifat mutlak. Kandungan dari hadits ini hanya mencakup mereka yang bermaksiat di kala bersendirian dan di dalam dirinya terdapat penentangan dan sikap meremehkan ketentuan-ketentuan Allah wal ‘iyaadzu billah” 

Semoga Allah menganugerahkan dan menghiasi hati kita dengan keimanan, serta kita memohon kepada-Nya agar menganugerahi diri kita agar membenci kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.semoga bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan kita.

Referensi sebagai Berikut ini ;















Jangan Suka Memvonis, Semua Amal Hancur Karena Mencela Orang Maksiat (Ustadz Khalid Basalamah)

Jangan Suka Memvonis, Semua Amal Hancur Karena Mencela Orang Maksiat (Ustadz Khalid Basalamah). Ustadz Khalid Basalamah menjelaskan ada perbuatan yang ternyata bisa menghancurkan amal. Perbuatan yang bisa menghancurkan semua amal tersebut adalah mencela orang yang berbuat maksiat. Menurut Ustadz Khalid Basalamah, semua amal yang telah diperbuat akan hancur karena mencela orang maksiat. Mencela atau bahkan sampai memvonis orang maksiat tidak akan diampuni Allah, akan membuat amal hancur kata Ustadz Khalid Basalamah.

Kita tidak bisa membuang fakta bahwa kita sering mencemooh, mengolok-olok orang yang berbuat maksiat. kemudian, kenapa mencela orang maksiat bisa membuat amal hancur sedangkan maksiat adalah perbuatan tercela? Maka dengan petunjuk dari Allah, kita bisa mengetahui kenapa mencela dan memvonis orang maksiat bisa menghancurkan amal. Ustadz Khalid Basalamah menjelaskan bahwa ada kata-kata yang tidak boleh diucapkan kepada pelaku maksiat. Ustadz Khalid Basalamah pun menegaskan untuk jangan langsung memvonis seseorang dengan perkataan tersebut.

Karena setiap keputusan dosa atau tidaknya seseorang itu hanya Allah yang tentukan. Segala perbuatan buruk manusia hanya Allah yang berhak menentukan kesalahannya. "Menasehati orang boleh, namun jangan sampai memvonis," jelas Ustadz Khalid Basalamah. Adapun sebuah dalil yang menguatkan bahwa akan hancur amal seseorang yang mencela dan memvonis orang yang berbuat maksiat. “Rasulullah SAW bercerita bahwa seseorang berkata demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si fulan,” jelas UKB.

Lalu Allah yang Maha Tinggi berfirman yang artinya: “Siapa yang berani bersumpah atas nama Aku, bahwa Aku tidak akan ampuni si fulan, sesungguhnya Aku sudah mengampuninya dan Aku telah menghapus amalmu.” Allah tidak suka dengan orang yang suka mendahului kehendak-Nya. "Bisa saja Allah masih bisa mengampuninya, bisa jadi dia berbuat salah tapi di akhir hidup dia bertaubat," ujar Ustadz Khalid Basalamah.

Ustadz Khalid Basalamah menyebutkan sesungguhnya orang yang diolok-olok karena kesalahannya sudah diampuni Allah. Sedangkan amal dari orang yang mengolok-olok itu sudah Allah hancurkan. Ustadz Khalid Basalamah menegaskan bahwa ini ancaman yang berat. Walaupun sebenarnya niatnya baik, tapi dia bukan sekadar menasehati dan membenci perbuatannya, tapi dia mencela orang itu.

“Pencelaan ini yang jadi masalah,” ujar Ustadz Khalid Basalamah. Jika hal itu dikatakan, justru amalan orang yang mencela itu yang akan hancur. Jadi jangan suka memvonis orang yang berbuat maksiat, kata Ustadz Khalid Basalamah. Memvonis dengan berkata bahwa Allah tidak akan ampuni dosamu dan kamu akan masuk neraka, maka kata-kata ini dilarang. Ustadz Khalid Basalamah mengatakan tugas kita menyampaikan bukan memvonis. Itulah kata-kata yang tidak boleh diucapkan saat menasehati seseorang, menurut Ustadz Khalid Basalamah.

Referensi sebagai Berikut ini ;










Allah Bisa Menyamaratakan Azab Karena Maksiat Seorang

Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam kitabnya yang berjudul Ad-Da' u wa ad- Dawa' (Terapi Penyakit Hati) menuliskan, dalam dalam Musnad Imam Ahmad, disebutkan: Dari Ummu Salamah, ia berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: 'Jika tampak jelas berbagai kemaksiatan pada ummatku, maka Allah akan menyamaratakan azab dari sisi-Nya kepada mereka semua.' Kemudian, aku bertanya: 'Bukankah ada orang-orang shalih di antara mereka?' Beliau menjawab: 'Benar.' Aku melanjutkan: 'Apa yang terjadi pada mereka?' Beliau menjelaskan: 'Saat itu mereka juga ditimpa bencana seperti halnya yang lain, tetapi mereka akan mendapatkan ampunan dan keridhaan Allah."

Ibnu Qayyim menyatakan maksiat dan dosa berkesinambungan akan menghancurkan kehidupan dunia dan akhirat seorang hamba. Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwa-sanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak.

"Mudharatnya bagi hati seperti mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan yang beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat?" tulis Ibnu Qayyim.

Kekuatan hati dalam diri seseorang yang mencegah dan melarangnya untuk berbuat segala bentuk kesalahan dan kemaksiatan disebut 'ismah. Para nabi dan rasul mempunyai keberpihakan kepada kebenaran yang sangat kuat sehingga mereka jarang berbuat maksiat.

Akan tetapi, sebagai manusia, mereka tidak terbebas dari kekhilafan. Nabi Adam, misalnya, tergoda bujuk rayu iblis untuk mencicipi buah khuldi atau Nabi Yunus yang tercela karena lari meninggalkan kaumnya seperti diinformasikan oleh Allah SWT dalam surah Assaffaat ayat 142: ''Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela.''

Mencegah kemaksiatan bisa diasah dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah dan berusaha sungguh-sungguh untuk selalu melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Manusia dikaruniai oleh Allah akal budi dan hati nurani. Kecenderungan setiap orang atau fitrah seseorang adalah berpihak kepada hati nurani karena hati nurani akan memberikan tanda yang selalu berkiblat pada kebenaran.

Ini adalah fitrah yang dimiliki oleh setiap insan ciptaan Allah. Jadi, sejatinya setiap manusia mempunyai kecenderungan kepada kebenaran yang diwakili oleh hati nurani.

Persoalannya sekarang adalah seberapa kuat komitmen seseorang untuk jujur dan berpihak kepada hati nuraninya, sehingga apa yang dilakukannya selalu yang diridhai oleh Allah SWT? Di sinilah perlunya tuntunan agama dalam kehidupan seseorang.

Salah dan khilaf adalah ciri manusia ciptaan Allah. Hanya Allah yang Mahasempurna. Oleh sebab itu, ampunan dan kasih sayang Allah melebihi salah dan khilaf yang diperbuat manusia.

Kecenderungan untuk selalu berjalan di atas rel yang telah Allah tentukan harus secara terus-menerus dipelihara, dikokohkan, dan diimplementasikan dalam segala jenis aktivitas walau tanpa disadari kesalahan-kesalahan kecil sering terjadi.

Sesaat saja manusia tidak ingat akan Allah, itu sudah kekhilafan, apalagi sampai melakukan perbuatan yang bertentangan dengan fitrah dan hati nuraninya.

''Yaitu, orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Mahaluas Ampunan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang keadaanmu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu, maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.'' (QS An-Najm [53]: 32).

Referensi sebagai Berikut ini ;




Mencegah Maksiat, Mendekatkan Diri kepada Allah Swt

Mencegah Maksiat, Mendekatkan Diri kepada Allah Swt. Kekuatan hati dalam diri seseorang yang mencegah dan melarangnya untuk berbuat segala bentuk kesalahan dan kemaksiatan disebut 'ismah. Para nabi dan rasul mempunyai keberpihakan kepada kebenaran yang sangat kuat sehingga mereka jarang berbuat maksiat.

Akan tetapi, sebagai manusia, mereka tidak terbebas dari kekhilafan. Nabi Adam, misalnya, tergoda bujuk rayu iblis untuk mencicipi buah khuldi atau Nabi Yunus yang tercela karena lari meninggalkan kaumnya seperti diinformasikan oleh Allah SWT dalam surah Assaffaat ayat 142: ''Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela.''

Mencegah kemaksiatan bisa diasah dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah dan berusaha sungguh-sungguh untuk selalu melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Manusia dikaruniai oleh Allah akal budi dan hati nurani. Kecenderungan setiap orang atau fitrah seseorang adalah berpihak kepada hati nurani karena hati nurani akan memberikan tanda yang selalu berkiblat pada kebenaran.

Ini adalah fitrah yang dimiliki oleh setiap insan ciptaan Allah. Jadi, sejatinya setiap manusia mempunyai kecenderungan kepada kebenaran yang diwakili oleh hati nurani.

Persoalannya sekarang adalah seberapa kuat komitmen seseorang untuk jujur dan berpihak kepada hati nuraninya, sehingga apa yang dilakukannya selalu yang diridhai oleh Allah SWT? Di sinilah perlunya tuntunan agama dalam kehidupan seseorang.

Salah dan khilaf adalah ciri manusia ciptaan Allah. Hanya Allah yang Mahasempurna. Oleh sebab itu, ampunan dan kasih sayang Allah melebihi salah dan khilaf yang diperbuat manusia.

Kecenderungan untuk selalu berjalan di atas rel yang telah Allah tentukan harus secara terus-menerus dipelihara, dikokohkan, dan diimplementasikan dalam segala jenis aktivitas walau tanpa disadari kesalahan-kesalahan kecil sering terjadi.

Sesaat saja manusia tidak ingat akan Allah, itu sudah kekhilafan, apalagi sampai melakukan perbuatan yang bertentangan dengan fitrah dan hati nuraninya.

''Yaitu, orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Mahaluas Ampunan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang keadaanmu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu, maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.'' (QS An-Najm [53]: 32).


Pertama, muhasabah atau introspeksi diri dengan mohon petunjuk dan ampunan kepada Sang Pencipta. Adakalanya musibah dan kesulitan yang terjadi akibat perbuatan manusia itu sendiri, karena kita memang tempatnya salah dan lupa, kesalahan bukanlah suatu aib yang harus di tutupi, akan tetapi jika itu berhubungan dengan hablum min naas maka kita harus minta maaf secara langsung, dan apabila berbuat dosa kepada Allah maka bermunajat mohon ampunan serta tidak mengulangi lagi perbuatan dosa, Insyaallah pengampunan dan kasih sayang Allah SWT Maha Luas. Allah SWT berfirman:

فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا (62)

Artinya : “Maka Bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: “Demi Allah, Kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna“” (QS. an-Nisaa’[4] : 62).

Kedua, menyadari bahwa kami milik Allah SWT6 dengan demikian apa saja yang kita lakukan dengan niat semata-mata karena lillahi ta’ala. Hakikat kehidupan dunia adalah ditandai dengan adanya cobaan dan ujian yang beraneka ragam. Sebagian ada yang berhasil dan ada pula yang gagal melewatinya. Proses perjuangan untuk menaklukkkan cobaan dan ujian inilah yang kemudian disebut dengan hidup. Allah SWT berfirman:

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156)

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun””(QS. al-Baqarah [2]: 156)

Ketiga, menyadari bahwa musibah dan kesulitan milik semua orang, semua orang pasti akan mengalami dan menemui musibah dan kesulitan sebagai ujian dalam kehidupannya dengan bentuk dan kadar yang berbeda-beda, tidak perlu iri dengan kemudahan dan kesenangan yang didapat oleh orang lain. Kadangkala sebagian orang harus menjadi korban demi sebagian orang yang lain. Harus ada yang sakit agar manusia mengetahui nikmatnya sehat, harus ada yang menakutkan agar diketahui nilai keberanian,  harus  ada  petaka  agar  dirasakan  makna  kesabaran.7 Allah SWT berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155)

Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS. al-Baqarah [2]:155).

Musibah dan kesulitan bisa diartikan sebagai alat untuk menguji tingkat keimanan dan kesabaran manusia. Terlalu naif jika dalam kehidupan ini memimpikan suasana dan keadaan yang serba enak dan mudah. Namun, bukan berarti kita tidak boleh untuk hidup bahagia dan senang, kita hanya diingatkan bahwa kebahagiaan yang sejati dan abadi adalah kebahagiaan di alam akhirat kelak. Allah SWT berfirman:

وَأَكِيدُ كَيْدًا (16) فَمَهِّلِ الْكَافِرِينَ أَمْهِلْهُمْ رُوَيْدًا (17)

Artinya: “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal” (QS. Al-A’la [87]: 16-17).

Keempat, menyadari bahwa musibah dan kesulitan yang menimpa setiap orang setara dengan kemampuan dan kesanggupan untuk memikulnya. Allah tidak akan membebani di luar batas kemapuan seorang hamba untuk memikulnya. Allah SWT berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya” (QS. al-Baqarah [2]:286)

Ini adalah bentuk kasih sayang Allah SWT kepada hambanya, dibalik musibah dan kesulitan mengandung hikmah dan kebaikan, selain itu tidak akan melampaui batas kemampuan manusia.

Kelima, menyadari dan yakin bahwa dalam setiap musibah dan kesulitan ada kemudahan, Islam mengajarkan, bahwa letak kemudahan itu ada di balik kesulitan, karena sesunggunya bersama kesulitan ada kemudahan. Allah SWT berfirman:

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (5) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (6)

Artinya: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS. al-Insyirah [94]: 5 – 6).

Dari setiap musibah dan kesulitan ini akan memberikan gambaran yang jelas tentang siapa diri kita. Karena ia adalah representasi yang mampu memberikan gambaran utuh tentang kepribadian dan karakter kita. Musibah dan kesulitan akan menjadi bayangan yang akan terus melekat kepada manusia. Keniscayaan bagi manusia mukallaf, maka tidak seorang pun yang luput darinya,8 bisa datang kapan dan dimana saja. Tahapan-tahapan ujian diciptakan oleh Allah SWT untuk mengetahui siapa-siapa dari hambaNya yang sabar dan syukur dan juga menjelaskan siapa saja dari hambaNya yang kufur. Ketika semua usaha telah dikerahkan dan tidak mampu teratasi, maka secara alami manusia akan bersimpuh dan menyebut Tuhannya agar diturunkan pertolongan. Itulah hikmah di balik musibah dan kesulitan. Maka janganlah kita membenci musibah dan kesulitan, karena terkadang melalui kehadirannya kita menjadi dekat dan bersyukur kepada Sang Kholiq.

Inilah realita kehidupan, musibah dan kesulitan jika dipahami dengan bijaksana akan menumbuhkan kesadaran alamiah bahwa itu merupakan bagian dari lembaran hidup yang harus dijalani. Jika demikian, maka tidak akan ada lagi perasaan takut, sedih berlebihan, putus asa untuk menghadapinya.

Referensi sebagai Berikut ini ;














Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dalam mensikapi musibah dan kesulitan

Pertama, muhasabah atau introspeksi diri dengan mohon petunjuk dan ampunan kepada Sang Pencipta. Adakalanya musibah dan kesulitan yang terjadi akibat perbuatan manusia itu sendiri, karena kita memang tempatnya salah dan lupa, kesalahan bukanlah suatu aib yang harus di tutupi, akan tetapi jika itu berhubungan dengan hablum min naas maka kita harus minta maaf secara langsung, dan apabila berbuat dosa kepada Allah maka bermunajat mohon ampunan serta tidak mengulangi lagi perbuatan dosa, Insyaallah pengampunan dan kasih sayang Allah SWT Maha Luas. Allah SWT berfirman:

فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا (62)

Artinya : “Maka Bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: “Demi Allah, Kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna“” (QS. an-Nisaa’4 : 62).

Kedua, menyadari bahwa kami milik Allah SWT6 dengan demikian apa saja yang kita lakukan dengan niat semata-mata karena lillahi ta’ala. Hakikat kehidupan dunia adalah ditandai dengan adanya cobaan dan ujian yang beraneka ragam. Sebagian ada yang berhasil dan ada pula yang gagal melewatinya. Proses perjuangan untuk menaklukkkan cobaan dan ujian inilah yang kemudian disebut dengan hidup. Allah SWT berfirman:

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156)

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun””(QS. al-Baqarah 2: 156)

Ketiga, menyadari bahwa musibah dan kesulitan milik semua orang, semua orang pasti akan mengalami dan menemui musibah dan kesulitan sebagai ujian dalam kehidupannya dengan bentuk dan kadar yang berbeda-beda, tidak perlu iri dengan kemudahan dan kesenangan yang didapat oleh orang lain. Kadangkala sebagian orang harus menjadi korban demi sebagian orang yang lain. Harus ada yang sakit agar manusia mengetahui nikmatnya sehat, harus ada yang menakutkan agar diketahui nilai keberanian,  harus  ada  petaka  agar  dirasakan  makna  kesabaran.7 Allah SWT berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155)

Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS. al-Baqarah [2]:155).

Musibah dan kesulitan bisa diartikan sebagai alat untuk menguji tingkat keimanan dan kesabaran manusia. Terlalu naif jika dalam kehidupan ini memimpikan suasana dan keadaan yang serba enak dan mudah. Namun, bukan berarti kita tidak boleh untuk hidup bahagia dan senang, kita hanya diingatkan bahwa kebahagiaan yang sejati dan abadi adalah kebahagiaan di alam akhirat kelak. Allah SWT berfirman:

وَأَكِيدُ كَيْدًا (16) فَمَهِّلِ الْكَافِرِينَ أَمْهِلْهُمْ رُوَيْدًا (17)

Artinya: “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal” (QS. Al-A’la [87]: 16-17).

Keempat, menyadari bahwa musibah dan kesulitan yang menimpa setiap orang setara dengan kemampuan dan kesanggupan untuk memikulnya. Allah tidak akan membebani di luar batas kemapuan seorang hamba untuk memikulnya. Allah SWT berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya” (QS. al-Baqarah [2]:286)

Ini adalah bentuk kasih sayang Allah SWT kepada hambanya, dibalik musibah dan kesulitan mengandung hikmah dan kebaikan, selain itu tidak akan melampaui batas kemampuan manusia.

Kelima, menyadari dan yakin bahwa dalam setiap musibah dan kesulitan ada kemudahan, Islam mengajarkan, bahwa letak kemudahan itu ada di balik kesulitan, karena sesunggunya bersama kesulitan ada kemudahan. Allah SWT berfirman:

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (5) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (6)

Artinya: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS. al-Insyirah [94]: 5 – 6).

Dari setiap musibah dan kesulitan ini akan memberikan gambaran yang jelas tentang siapa diri kita. Karena ia adalah representasi yang mampu memberikan gambaran utuh tentang kepribadian dan karakter kita. Musibah dan kesulitan akan menjadi bayangan yang akan terus melekat kepada manusia. Keniscayaan bagi manusia mukallaf, maka tidak seorang pun yang luput darinya,8 bisa datang kapan dan dimana saja. Tahapan-tahapan ujian diciptakan oleh Allah SWT untuk mengetahui siapa-siapa dari hambaNya yang sabar dan syukur dan juga menjelaskan siapa saja dari hambaNya yang kufur. Ketika semua usaha telah dikerahkan dan tidak mampu teratasi, maka secara alami manusia akan bersimpuh dan menyebut Tuhannya agar diturunkan pertolongan. Itulah hikmah di balik musibah dan kesulitan. Maka janganlah kita membenci musibah dan kesulitan, karena terkadang melalui kehadirannya kita menjadi dekat dan bersyukur kepada Sang Kholiq.

Inilah realita kehidupan, musibah dan kesulitan jika dipahami dengan bijaksana akan menumbuhkan kesadaran alamiah bahwa itu merupakan bagian dari lembaran hidup yang harus dijalani. Jika demikian, maka tidak akan ada lagi perasaan takut, sedih berlebihan, putus asa untuk menghadapinya.

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)

Ali bin Abi Tholib –radhiyallahu ‘anhu– mengatakan,

مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ

“Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)

Perkataan ‘Ali –radhiyallahu ‘anhu– di sini selaras dengan firman Allah Ta’ala,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)

Para ulama salaf pun mengatakan yang serupa dengan perkataan di atas.

Ibnu Qoyyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, “Di antara akibat dari berbuat dosa adalah menghilangkan nikmat dan akibat dosa adalah mendatangkan bencana (musibah). Oleh karena itu, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa. Begitu pula datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)

Ibnu Rajab Al Hambali –rahimahullah- mengatakan, “Tidaklah disandarkan suatu kejelekan (kerusakan) melainkan pada dosa karena semua musibah, itu semua disebabkan karena dosa.” (Latho’if Ma’arif, hal. 75)

Saatnya Merubah Diri

Oleh karena itu, sudah sepatutnya setiap hamba merenungkan hal ini. Ketahuilah bahwa setiap musibah yang menimpa kita dan datang menghampiri negeri ini, itu semua disebabkan karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Betapa banyak kesyirikan merajalela di mana-mana, dengan bentuk tradisi ngalap berkah, memajang jimat untuk memperlancar bisnis dan karir, mendatangi kubur para wali untuk dijadikan perantara dalam berdoa. Juga kaum muslimin tidak bisa lepas dari tradisi yang membudaya yang berbau agama, namun sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masih banyak yang enggan meninggalkan tradisi perayaan kematian pada hari ke-7, 40, dst. Juga masih gemar dengan shalawatan yang berbau syirik semacam shalawat nariyah. Juga begitu banyak kaum muslimin gemar melakukan dosa besar. Kita dapat melihat bahwa masih banyak di sekitar kita yang shalatnya bolog-bolong. Padahal para ulama telah sepakat –sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qoyyim- bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar yang lebih besar dari dosa besar yang lainnya yaitu lebih besar dari dosa berzina, berjudi dan minum minuman keras. Na’udzu billah min dzalik. Begitu juga perzinaan dan perselingkuhan semakin merajalela di akhir-akhir zaman ini. Itulah berbagai dosa dan maksiat yang seringkali diterjang. Itu semua mengakibatkan berbagai nikmat lenyap dan musibah tidak kunjung hilang.

Agar berbagai nikmat tidak lenyap, agar terlepas dari berbagai bencana dan musibah yang tidak kunjung hilang, hendaklah setiap hamba memperbanyak taubat yang nashuh (yang sesungguhnya). Karena  dengan beralih kepada ketaatan dan amal sholeh, musibah tersebut akan hilang dan berbagai nikmat pun akan datang menghampiri.

Allah Ta’ala berfirman,

ذَلِكَ بِأَنَّ اللّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمْ وَأَنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu ni’mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri , dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Anfaal: 53)

إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ro’du: 11)


Referensi sebagai Berikut ini ;