Musibah Datang Karena Maksiat dan Dosa. “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30). Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu– mengatakan,
“Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)
Perkataan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu– di sini selaras dengan firman Allah Ta’ala,
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)
Para ulama salaf pun mengatakan yang serupa dengan perkataan di atas.
Ibnu Qoyyim Al Jauziyah rahimahullah- mengatakan, “Di antara akibat dari berbuat dosa adalah menghilangkan nikmat dan akibat dosa adalah mendatangkan bencana (musibah). Oleh karena itu, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa. Begitu pula datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah- mengatakan, “Tidaklah disandarkan suatu kejelekan (kerusakan) melainkan pada dosa karena semua musibah, itu semua disebabkan karena dosa.” (Latho’if Ma’arif, hal. 75)
Saatnya Merubah Diri
Oleh karena itu, sudah sepatutnya setiap hamba merenungkan hal ini. Ketahuilah bahwa setiap musibah yang menimpa kita dan datang menghampiri negeri ini, itu semua disebabkan karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Betapa banyak kesyirikan merajalela di mana-mana, dengan bentuk tradisi ngalap berkah, memajang jimat untuk memperlancar bisnis dan karir, mendatangi kubur para wali untuk dijadikan perantara dalam berdoa. Juga kaum muslimin tidak bisa lepas dari tradisi yang membudaya yang berbau agama, namun sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masih banyak yang enggan meninggalkan tradisi perayaan kematian pada hari ke-7, 40, dst. Juga masih gemar dengan shalawatan yang berbau syirik semacam shalawat nariyah. Juga begitu banyak kaum muslimin gemar melakukan dosa besar. Kita dapat melihat bahwa masih banyak di sekitar kita yang shalatnya bolog-bolong. Padahal para ulama telah sepakat –sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qoyyim- bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar yang lebih besar dari dosa besar yang lainnya yaitu lebih besar dari dosa berzina, berjudi dan minum minuman keras. Na’udzu billah min dzalik. Begitu juga perzinaan dan perselingkuhan semakin merajalela di akhir-akhir zaman ini. Itulah berbagai dosa dan maksiat yang seringkali diterjang. Itu semua mengakibatkan berbagai nikmat lenyap dan musibah tidak kunjung hilang.
Agar berbagai nikmat tidak lenyap, agar terlepas dari berbagai bencana dan musibah yang tidak kunjung hilang, hendaklah setiap hamba memperbanyak taubat yang nashuh (yang sesungguhnya). Karena dengan beralih kepada ketaatan dan amal sholeh, musibah tersebut akan hilang dan berbagai nikmat pun akan datang menghampiri.
“(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu ni’mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri , dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Anfaal: 53)
Syekh Ali Jaber mengungkap ada satu dosa yang bisa jadi penyebab kesulitan manusia. Karena dosa tersebut, kata Syekh Ali Jaber, Allah tidak mau menolong manusia, termasuk bagi yang memiliki utang. Menurut Syekh Ali Jaber, Allah tidak akan memberikan cobaan bagi hamba di luar batas kemampuannya. Artinya, selalu ada jaminan bagi setiap penyelesaian masalah bagi hamba yang mau bersabar. Salah satu cobaan dari Allah kepada hambaNya yakni dalam bidang ekonomi. Karena hal tersebutlah seseorang bisa menjadi kesulitan keuangan hingga akhirnya berutang.
Syekh Ali Jaber kemudian menyebut selain berusaha ada banyak doa yang bisa dibaca untuk melunasi utang. Akan tetapi, ternyata semua doa itu akan sia-sia apabila seseorang melakukan satu dosa yang dimaksud. Menurut Syekh Ali Jaber, dosa yang dimaksud yakni meninggalkan salat. Karena dengan meninggalkan salat semakin bertumpuknya dosa sehingga menjadi penyebab sulitnya membayar utang.
"Tapi tidak pernah berpikir yang membuat utang semakin banyak kenapa, bisa jadi (semakin) banyak karena pertama sholatnya nggak beres," ujarnya."Dosa itu (tidak sholat) salah satu penyakit yang sangat cepat menghancurkan iman dan berkah rezeki," tegasnya.Terakhir Syekh Ali Jaber menyampaikan apabila ingin dikabulkan hajatnya maka sempurnakan terlebih dahulu ibadahnya
Hakukan hal Ini, Bila Kita Merasa Hidup Ini Sulit dan Penuh Dosa Besar Memenihi Bumi & Langit. Di antara bukti Allah Swt Maha Adil adalah setiap cobaan atau ujian yang diberikan pada manusia tak pernah di luar batas kemampuannya (laa yukallifullahu nafsan illaa wus’ahaa). Begitupun setiap syariat yang disedurkan pasti berdasar atas kesanggupan manusia, tak ada alasan karena syariat datang bukan untuk menjadi beban, melainkan pelindung dan memberi kemudahan.
Meskipun sudah pasti dengan syariat itu tak akan dipersulit, tapi manusia tetap dituntut merendahkan dirinya untuk memohon kepada-Nya. Sebagaimana Allah tegaskan pada akhir surat al-Baqarah ayat 286: Wahai Tuhan Kami, jangan Engkau pikulkan pada kami apa yang tak sanggup kami lakukan. Ayat ini menurut pemaparan Syahrullah Iskandar dengan merujuk pada Tafsir Min Wahyi al-Qur’an adalah doa bentuk harapan bagi orang beriman kepada Allah, agar tak mendapati beban yang berat dalam menjalani ajaran dan syariat agama, sehingga ia bisa dijalani dengan mudah.
Dalam tuntunan syariat ada perintah ada larangan, pada sisi yang lain tak menghendaki hamba-Nya dipersulit dengan syariat-Nya. Tapi jika diperhadapkan antara yang sulit dan berat baginya, maka jalan yang mesti diambil adalah yang memudahkan. Karena itu, Nabi SAW jika dihadapkan pada pilihan yang agak sulit dan berat untuk dijalankan oleh sahabatnya, maka Nabi lebih memilih dan menganjurkan yang mendatangkan kemudahan.
Mengapa hal itu dilakukan oleh Nabi SAW? Tak lain Nabi SAW ingin mempertegas Islam adalah agama yang memudahkan tak ingin memberatkan (yuriidu bikumullahul yusra wa laa yuriidu bikumul ‘usr). Misalnya, shalat perintah utamanya dilakukan dengan berdiri, tapi pada kondisi yang memberatkan untuk berdiri dibolehkan untuk duduk, atau dalam perjalanan Allah memberi kelonggaran bisa dikerjakan dengan mendahulukan (jama’ taqdim) atau mengakhirkan shalatnya (jama’ ta’khir).
Ibadah haji pun bagi mereka yang mampu baik secara materi maupun fisik. Ada orang yang mampu secara materi, tapi kebugaran tubuh tak mendukung maka kewajiban haji-pun baginya gugur, apalagi hanya mampu secara fisik tapi tak didukung dengan kemampuan materi. Karena itu, tak ada perintah dan kewajiban syariat agama yang keluar dari koridor kemampuan manusia. Kesulitan akan mengantar manusia pada kemudahan. Karena syariat agama Islam berjalan sesuai dengan naluri kemanusiaan.
Setelah meminta kepada Allah agar diberi kemudahan untuk menjalankan tuntunan agama, bentuk permohonan selanjutnya adalah wa’fu ‘anna (maafkanlah kami). Do’a ini dipanjatkan agar dosa dosa dihapuskan (yamhuu al-sayyiaat) dan berharap siksaan Allah digugurkan. Jadi, meminta agar dihapuskan dosanya berarti tak ada lagi jejak kesalahan dan dosa yang ada dalam diri, maka pada hakikatnya meminta karena minta agar dihapus dan digugurkan siksaan-Nya. Doa semacam ini, kerap dipanjatkan oleh Nabi SAW, allahumma innaka afuwwun tuhibbu al ‘afwa fa’fu anni (Ya Allah Engkaulah Yang Maha memaafkan dan suka memaafkan, maka hapuslah kesalahanku).
Setelah itu, seraya meminta waghfirlana (ampunilah kami). Do’a ini mencakup permohonan agar ditutupi aibnya dan diberikan ampunan-Nya. Sebab dosa dan kesalahan bagian dari aib manusia, sudang barang tentu semua manusia memiliki aib dengan harapan aibnya ditutupi oleh Allah dan dimaafkan. Bukankah sekian banyak dosa yang dilakukan, kebobrokan, kecurangan selama ini tak diketahui orang lain? Karena itu, permohonan fa’fuu (ampunilah) lebih luas makna dan cakupannya ketimbang waghfirlana. Sebab menghapus itu menghilangkan jejak sedangkan menutupi berarti masih ada tapi tak diperlihatkan (wal mahwu ablaghu min al satri)
Lalu ayat ini ditutup dengan dua permohonan yaitu warhamna (sayangilah kami), selipan harapan agar selalu dalam balutan kasih-sayang-Nya. Mengapa memohon kasih sayang Allah? kalau bukan sifat rahman (Pengasih-Nya) maka hidup tak bisa dinikmati dengan bahagia dan menyenangkan. Dengan sifat rahiim (Maha Penyayangnya) pula yang menjadi penolong dihari kemudian bukan sebab utama karena pengabdian atau ibadah. Lalu ayat doa ini ditutup dengan fanshurna ‘alal qaumil kafirin bentuk doa agar terhindar dari gangguan orang orang yang dzolim. Sebab tak ada pertolong kecuali dari Allah.
Kemaksiatan membawa pelakunya tak hanya terancam api neraka, namun juga tersiksa di dunia. Kadang kala, seorang tak merasakan dampak tersebut dan terus saja melakukan maksiat. Kadang kala pula, seorang menganggap kesulitan hidup sebagai ujian yang wajar ditimpa manusia padahal sebetulnya balasan atas kemaksiatan yang ia lakukan. Bahkan, kesedihan, kegalauan, kebodohan, kemiskinan, kehampaan, kelemahan, kegelisahan dan hal-hal negatif lainnya bisa jadi datang karena kemaksiatan yang terus saja dikerjakan. Berikut tujuh kesulitan hidup yang akan menerpa seorang pelaku maksiat.
1. Dijauhkan dari Ilmu
Seorang pelaku maksiat akan dihalangi mendapatkan ilmu dan mendatangkan kebodohan. Allah menjadikan ilmu sebagai cahaya yang benderang. Sementara perbuatan maksiat akan memadamkannya. Karena itulah ilmu dan maksiat tak bisa berpadu. Sebagaimana perkataan Imam Malik kepada Imam Asy Syafi’i, “Sungguh aku melihat bahwasanya Allah Ta’ala telah memberikan cahaya di hatimu. Janganlah kamu memadamkannya dengan kemaksiatan.”
2. Dihalangi dari Rezeki
Salah satu sebab dibukanya rezeki seseorang adalah ketakwaan kepada Allah. Hal ini berlaku sebaliknya. Seorang yang bermaksiat akan menyebabkan sulitnya mendapatkan rezeki dan mendatangkan kefakiran. Imam Ahmad berkata dalam Al Musnad, “Sungguh seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang ia kerjakan.” Seseorang akan kembali dibuka rezekinya jika meninggalkan kemaksiatan dan bertaubat darinya.
3. Dipersulit Urusannya
Ketika menghadapi suatu urusan, seorang yang gemar bermaksiat kepada Allah akan dipersulit jalan keluarnya. Ia akan menghadapi banyak masalah hidup dan tak pernah menemukan jalan keluar dari masalah tersebut. Manusia sering kali menghadapi kesulitan demi kesulitan, namun hanya sedikit yang menyadari bahwa kesulitan itu datang akibat kemaksiatan yang dikerjakannya. Akibat ini diketahui dari janji Allah yang menjamin kemudahan urusan setiap hamba-Nya yang bertakwa.
4. Hati yang Terus Gelisah
Kegundahan dan kegelisahan akan selalu dirasakan seseorang selama ia diliputi kemaksiatan. Meski betapa besar kenikmatan dari maksiat yang didapatkan, ia tak akan merasakan kehidupan yang damai dan tenang. Rasa gelisah akibat maksiat pun berbeda dari kegelisahan biasa. Inilah perasaan yang paling menyulitkan dalam hidup. Tentu tak ada seorang pun di dunia ini yang tak menginginkan kedamaian dalam hidup. Seorang bijak pernah mengatakan bahwa “Jika dosa-dosa itu telah membuatmu gelisah, tinggalkan dosa itu, niscaya kau akan merasakan ketenangan.”
5. Kesulitan Bermuamalah
Kegelisahan yang terus menumpuk akibat maksiat yang terus saja dilakukan, akan berdampak negatif pula pada saat bersosialisasi atau bermuamalah. Kebaikan orang sekitar tak akan lagi dirasakan, baik kerabat, teman, pasangan, bahkan kendaraan. Sebagaimana banyak dari kalangan ulama terdahulu merasakan, “Sungguh saat aku bermaksiat kepada Allah, aku merasakan dampak buruknya pada tingkah laku istriku dan hewan tungganganku.” Kegelisahan akan meliputi segala aspek hidup, sampai-sampai seorang akan membenci dirinya sendiri karenanya.
6. Suramnya Wajah dan Gelapnya Hati
Ketakwaan diibaratkan dengan cahaya. Adapun maksiat merupakan kegelapan. Makin menumpuk kemaksiatan yang dilakukan seseorang, makin menumpuk pula kegelapan dalam hatinya. Semakin meluas kegelapan tersebut, wajah akan nampak suram di mata manusia yang memandang. Shahabat Rasulullah yang mulia, Ibnu ‘Abbas berkata, “Sesungguhnya kebaikan akan memunculkan sinar pada wajah, cahaya pada hati, kelapangan rezeki, kekuatan badan, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, kejelekan akan menyebabkan kesuraman wajah, kegelapan hati, kelemahan badan, kurangnya rezeki, dan kebencian di hati manusia.”
7. Fisik yang Lemah
Sebagai mana perkataan Ibnu ‘Abbas, bahwasanya lemahnya fisik menjadi salah satu dampak dari kejelekan atau kemaksiatan. Kegelisahan hati akibat kemaksiatan akan terus membuat hati lemah. Sementara kekuatan fisik bersumber dari kekuatan hati. Hal ini terbukti dalam sejarah bahwa pasukan muslimin yang sedikit selalu mampu mengalahkan kaum kafir yang jumlahnya berkali-kali lipat lebih banyak. Hal itu disebabkan, hati mereka dipenuhi ketakwaan dan menghindari perbuatan maksiat kepada-Nya. Alhasil, fisik mereka sangat tangguh dan mampu menghadapi lawan yang terkuat sekalipun.
Tujuh hal tersebut tentu sangat menyulitkan hidup. Padahal setiap manusia berharap dapat hidup dengan nyaman, tenang dan dihindarkan dari masalah yang berat. Apalah artinya seorang ingin tampil cantik hingga gemar bertabaruj ala jahiliyyah, namun ternyata wajahnya suram di mata manusia. Apalah artinya memakan riba dan mendapat banyak harta, namun keberkahan tak pernah meliputinya hingga harta yang banyak itu terus saja terasa kurang.
Apalah artinya jika tidur nyenyak hingga terlambat shalat subuh, namun urusan di hari itu menjadi amat sangat sulit. Apalah artinya menikmati hura-hura pesta atau konser yang gemerlap, namun hati menjadi gundah gulana setelahnya. Apalah artinya memiliki banyak teman saat hang out, namun ternyata mereka semua tak mendekatkan diri pada Allah. Masih banyak contoh kemaksiatan lain yang tanpa sadar telah menjerumuskan pelakunya pada kesulitan hidup di dunia, dan terlebih lagi, di akhirat kelak.
Akibat-akibat tersebut pun hanya akan dirasakan muslimin yang masih memiliki ketakwaan dan kecintaan kepada Allah. Akibat-akibat tersebut di atas, tak berlaku bagi seorang yang telah mati hatinya. Sejatinya, segala kesulitan akibat maksiat merupakan sebuah teguran sekaligus kesempatan yang diberikan Allah agar para hamba tersadar akan kekeliruannya, lalu kembali mendekat kepada-Nya, bersimpuh di hadapan-Nya dan menangisi dosa-dosanya. Karena itu, bertaubatlah, sebelum hati benar-benar mati akibat dosa maksiat yang terlampau banyak, lalu kesempatan itu pun hilang seketika.
Bukan Hanya Berdampak di Akhirat, Ini 7 Kesulitan Hidup Akibat Maksiat. Kemaksiatan membawa pelakunya tak hanya terancam api neraka, namun juga tersiksa di dunia. Kadang kala, seorang tak merasakan dampak tersebut dan terus saja melakukan maksiat. Kadang kala pula, seorang menganggap kesulitan hidup sebagai ujian yang wajar ditimpa manusia padahal sebetulnya balasan atas kemaksiatan yang ia lakukan. Bahkan, kesedihan, kegalauan, kebodohan, kemiskinan, kehampaan, kelemahan, kegelisahan dan hal-hal negatif lainnya bisa jadi datang karena kemaksiatan yang terus saja dikerjakan. Berikut tujuh kesulitan hidup yang akan menerpa seorang pelaku maksiat.
1. Dijauhkan dari Ilmu
Seorang pelaku maksiat akan dihalangi mendapatkan ilmu dan mendatangkan kebodohan. Allah menjadikan ilmu sebagai cahaya yang benderang. Sementara perbuatan maksiat akan memadamkannya. Karena itulah ilmu dan maksiat tak bisa berpadu. Sebagaimana perkataan Imam Malik kepada Imam Asy Syafi’i, “Sungguh aku melihat bahwasanya Allah Ta’ala telah memberikan cahaya di hatimu. Janganlah kamu memadamkannya dengan kemaksiatan.”
2. Dihalangi dari Rezeki
Salah satu sebab dibukanya rezeki seseorang adalah ketakwaan kepada Allah. Hal ini berlaku sebaliknya. Seorang yang bermaksiat akan menyebabkan sulitnya mendapatkan rezeki dan mendatangkan kefakiran. Imam Ahmad berkata dalam Al Musnad, “Sungguh seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang ia kerjakan.” Seseorang akan kembali dibuka rezekinya jika meninggalkan kemaksiatan dan bertaubat darinya.
3. Dipersulit Urusannya
Ketika menghadapi suatu urusan, seorang yang gemar bermaksiat kepada Allah akan dipersulit jalan keluarnya. Ia akan menghadapi banyak masalah hidup dan tak pernah menemukan jalan keluar dari masalah tersebut. Manusia sering kali menghadapi kesulitan demi kesulitan, namun hanya sedikit yang menyadari bahwa kesulitan itu datang akibat kemaksiatan yang dikerjakannya. Akibat ini diketahui dari janji Allah yang menjamin kemudahan urusan setiap hamba-Nya yang bertakwa.
4. Hati yang Terus Gelisah
Kegundahan dan kegelisahan akan selalu dirasakan seseorang selama ia diliputi kemaksiatan. Meski betapa besar kenikmatan dari maksiat yang didapatkan, ia tak akan merasakan kehidupan yang damai dan tenang. Rasa gelisah akibat maksiat pun berbeda dari kegelisahan biasa. Inilah perasaan yang paling menyulitkan dalam hidup. Tentu tak ada seorang pun di dunia ini yang tak menginginkan kedamaian dalam hidup. Seorang bijak pernah mengatakan bahwa “Jika dosa-dosa itu telah membuatmu gelisah, tinggalkan dosa itu, niscaya kau akan merasakan ketenangan.”
5. Kesulitan Bermuamalah
Kegelisahan yang terus menumpuk akibat maksiat yang terus saja dilakukan, akan berdampak negatif pula pada saat bersosialisasi atau bermuamalah. Kebaikan orang sekitar tak akan lagi dirasakan, baik kerabat, teman, pasangan, bahkan kendaraan. Sebagaimana banyak dari kalangan ulama terdahulu merasakan, “Sungguh saat aku bermaksiat kepada Allah, aku merasakan dampak buruknya pada tingkah laku istriku dan hewan tungganganku.” Kegelisahan akan meliputi segala aspek hidup, sampai-sampai seorang akan membenci dirinya sendiri karenanya.
6. Suramnya Wajah dan Gelapnya Hati
Ketakwaan diibaratkan dengan cahaya. Adapun maksiat merupakan kegelapan. Makin menumpuk kemaksiatan yang dilakukan seseorang, makin menumpuk pula kegelapan dalam hatinya. Semakin meluas kegelapan tersebut, wajah akan nampak suram di mata manusia yang memandang. Shahabat Rasulullah yang mulia, Ibnu ‘Abbas berkata, “Sesungguhnya kebaikan akan memunculkan sinar pada wajah, cahaya pada hati, kelapangan rezeki, kekuatan badan, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, kejelekan akan menyebabkan kesuraman wajah, kegelapan hati, kelemahan badan, kurangnya rezeki, dan kebencian di hati manusia.”
7. Fisik yang Lemah
Sebagai mana perkataan Ibnu ‘Abbas, bahwasanya lemahnya fisik menjadi salah satu dampak dari kejelekan atau kemaksiatan. Kegelisahan hati akibat kemaksiatan akan terus membuat hati lemah. Sementara kekuatan fisik bersumber dari kekuatan hati. Hal ini terbukti dalam sejarah bahwa pasukan muslimin yang sedikit selalu mampu mengalahkan kaum kafir yang jumlahnya berkali-kali lipat lebih banyak. Hal itu disebabkan, hati mereka dipenuhi ketakwaan dan menghindari perbuatan maksiat kepada-Nya. Alhasil, fisik mereka sangat tangguh dan mampu menghadapi lawan yang terkuat sekalipun.
Tujuh hal tersebut tentu sangat menyulitkan hidup. Padahal setiap manusia berharap dapat hidup dengan nyaman, tenang dan dihindarkan dari masalah yang berat. Apalah artinya seorang ingin tampil cantik hingga gemar bertabaruj ala jahiliyyah, namun ternyata wajahnya suram di mata manusia. Apalah artinya memakan riba dan mendapat banyak harta, namun keberkahan tak pernah meliputinya hingga harta yang banyak itu terus saja terasa kurang.
Apalah artinya jika tidur nyenyak hingga terlambat shalat subuh, namun urusan di hari itu menjadi amat sangat sulit. Apalah artinya menikmati hura-hura pesta atau konser yang gemerlap, namun hati menjadi gundah gulana setelahnya. Apalah artinya memiliki banyak teman saat hang out, namun ternyata mereka semua tak mendekatkan diri pada Allah. Masih banyak contoh kemaksiatan lain yang tanpa sadar telah menjerumuskan pelakunya pada kesulitan hidup di dunia, dan terlebih lagi, di akhirat kelak.
Akibat-akibat tersebut pun hanya akan dirasakan muslimin yang masih memiliki ketakwaan dan kecintaan kepada Allah. Akibat-akibat tersebut di atas, tak berlaku bagi seorang yang telah mati hatinya. Sejatinya, segala kesulitan akibat maksiat merupakan sebuah teguran sekaligus kesempatan yang diberikan Allah agar para hamba tersadar akan kekeliruannya, lalu kembali mendekat kepada-Nya, bersimpuh di hadapan-Nya dan menangisi dosa-dosanya. Karena itu, bertaubatlah, sebelum hati benar-benar mati akibat dosa maksiat yang terlampau banyak, lalu kesempatan itu pun hilang seketika.
Mengalami masa-masa sulit seperti yang kita alami sebagai umat Islam saat ini, cukup melegakan membaca janji Allah SWT dalam Alquran sebagaimana dalam surat Al-Insyirah ayat 5-6: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.“
Namun pemikiran yang muncul di benak semua orang adalah, mengapa kita harus melalui kesulitan sejak awal? Mengapa Allah SWT tidak menjadikan hidup kita menyenangkan?
Mengapa kita harus melihat orang-orang di Suriah terbunuh dan terluka? Mengapa Muslim menderita akibat Islamofobia yang merenggut hak atau semangat mereka untuk sedikitnya?
Kali ini akan dijelaskan sebagaimana dilansir di About Islam. Membaca firman-firman Allah SWT dalam Alquran, seseorang dapat menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu dan memahami kebijaksanaan agung di balik situasi tersebut.
Berikut tujuh ayat Alquran yang menjelaskan tentang mengapa ada masa sulit kehidupan.
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.”
Mungkin penjelasan pertama dan terpenting tentang mengapa orang-orang yang benar harus melalui masa-masa sulit dijelaskan oleh ayat yang fasih di atas. Allah menyatakan bahwa Dia dapat mengalahkan musuh-musuh-Nya tanpa bantuan orang-orang beriman. Dia, tentu, mampu melakukan apa saja.
Namun, sunnah (hukum) Allah adalah melakukan itu melalui kita sehingga kita akan diuji. Hidup ini tidak lain adalah ujian. (QS Al-Mulk: 2).
Bagian dari ujian ini adalah agar Allah menunjukkan siapa yang akan membela kebenaran dan mendukungnya. Jika bukan karena masa-masa sulit seperti ini, orang akan selalu mengklaim bahwa mereka berdiri pada kebenaran. Klaim ini harus diverifikasi dengan ujian dan kesengsaraan. (QS Al-`Ankabut: 2)
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”
Pernyataan dalam ayat tersebut dibuat sekelompok orang beriman dan utusan mereka ketika mereka tersentuh oleh kesulitan dan mereka terguncang di jalan menuju Allah. Allah berfirman kepada Rasul-Nya, kepada orang-orang beriman, dan kepada seluruh umat manusia bahwa jalan menuju Allah penuh dengan masa-masa sulit ini:
Ketika ayat tersebut menegaskan kembali bahwa menghadapi kesulitan yang tidak dapat dihindari, hal ini membawa perhatian pembaca pada tiga keyakinan penting yaitu kemenangan adalah milik Allah, sangat dekat, dan sebut Dia untuk mewujudkannya.
Kesulitan membantu menghubungkan orang-orang yang beriman kepada Allah secara komprehensif. Hati mereka akan melekat pada-Nya dan harapan mereka hanya akan ada di dalam Dia. Masa-masa sulit memelihara tauhid di hati orang-orang beriman dengan cara yang tidak mungkin dilakukan pada saat-saat mudah.
Berikut Penjelasan Mengapa Ada Kesulitan Dalam Hidup Manusia Didunia.
“Dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir.” Setelah pertempuran Uhud ketika kekalahan parsial menimpa tentara Muslim, ayat-ayat turun pada orang-orang beriman untuk menghibur mereka, memperbaiki kesalahan mereka, menganalisis peristiwa tersebut, dan menjelaskan apa yang terjadi.
Sungguh masa yang sulit ketika Allah mendeskripsikannya dengan kata mosibah (malapetaka). Saat menjelaskan alasan Allah membiarkan bencana seperti itu terjadi pada Nabi tercinta dan para sahabatnya. Allah SWT berfirman, "Dan untuk membantu membersihkan orang-orang beriman..."
Orang-orang percaya membutuhkannya dan itu memang membersihkan mereka. Itu membersihkan setiap individu dari semua kotoran. Ini membersihkan mereka dari cinta dunia ini, yang alasan utama kekalahan mereka. Ini juga membersihkan mereka dari dosa-dosa yang mereka miliki sebelum kesulitan.
“Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka dikatakan: "Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu)". Mereka berkata: "Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikuti kamu". Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.”
Selain di level individu, bentuk ujian lainnya ada di level kelompok. Orang munafik ada di hampir setiap masyarakat. Mereka mengaku berpihak pada kebenaran dan mereka bekerja sangat keras untuk menipu orang. Ketika pertempuran Badar terjadi dan Allah memberikan kemenangan besar kepada Rasul-Nya, sekelompok orang munafik muncul. Kehadiran kelompok semacam itu di masyarakat mana pun dapat merusaknya. Mereka mencari keuntungan duniawi dan tidak tertarik untuk mendukung kebenaran. Seringkali, mereka benar-benar berpihak pada kebenaran dan melawannya dari dalam.
Saat-saat setelah pertempuran Badar mengingatkan kita dengan saat-saat setelah revolusi Arab terjadi dan memperoleh sebagian keberhasilan. Semua orang berpihak pada revolusi termasuk mereka yang menentangnya secara agresif.
Namun, ketika revolusi mulai menghadapi kesulitan dan menjadi jelas bahwa tidak ada keuntungan duniawi yang akan dicapai, banyak orang kembali menentangnya. Kemunafikan tidak selalu dalam iman. Itu juga sifatnya. Masa-masa sulit mengungkap semua jenis orang munafik dan melindungi masyarakat dari bahaya mereka.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Itu adalah tujuan akhir untuk menyembah Allah. Namun ibadah dalam Islam bukan hanya seperangkat ritual yang dilakukan seseorang. Ibadah dalam Islam bersifat komprehensif yang mencakup semua jenis tindakan, baik emosional maupun fisik. Ada aspek-aspek yang sangat berharga dari ibadah ini yang nyaris tidak terlihat di luar masa-masa sulit.
Sabar, konsep yang sangat komprehensif yang mencakup kesabaran, ketekunan, dan ketabahan, sangat menunjukkan dirinya pada saat-saat sulit. Tawakal, ketergantungan sepenuhnya kepada Allah, paling banyak dilakukan pada saat-saat sulit. Kerendahan hati di hadapan Allah paling terlihat ketika kita dihadapkan pada kesengsaraan.
Pertobatan adalah salah satu upaya pertama selama masa-masa sulit. Ini dibutuhkan Nabi Yunus untuk lepas dari kegelapan perut ikan paus untuk berseru kepada Allah. (QS Al-Anbiya: 87)
“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.”
Pengorbanan yang terjadi pada saat kesusahan berpihak pada kebenaran dan dukungannya sangat diapresiasi Allah SWT. Faktanya, Dia mengizinkan itu terjadi sehingga Dia meninggikan derajat orang-orang percaya itu dan menunjukkan seberapa besar mereka mendukung kebenaran.
Allah SWT memilih beberapa dari mereka dan memberikan mereka pengorbanan dengan hal yang paling berharga dalam hidup mereka, bahwa itulah hidup mereka. Dia kemudian memberi mereka gelar yang tinggi di surga dan memberi mereka apa yang tidak Dia berikan kepada orang lain.
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.“
Akhirnya, mereka yang gagal melihat hikmah di balik kesulitan juga akan gagal melihat kemudahan. Semoga Allah SWT menunjukkan kebenaran kepada kita dan membantu kita untuk mengikutinya. Semoga Dia memberi kita Sabr ketika masa-masa sulit, dan memberi kita kemudahan dalam kehidupan ini dan di akhirat.
Mengalami masa-masa sulit seperti yang kita alami sebagai umat Islam saat ini, cukup melegakan membaca janji Allah SWT dalam Alquran sebagaimana dalam surat Al-Insyirah ayat 5-6: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.“ Namun pemikiran yang muncul di benak semua orang adalah, mengapa kita harus melalui kesulitan sejak awal? Mengapa Allah SWT tidak menjadikan hidup kita menyenangkan. Mengapa kita harus melihat orang-orang di Suriah terbunuh dan terluka? Mengapa Muslim menderita akibat Islamofobia yang merenggut hak atau semangat mereka untuk sedikitnya?
Kali ini akan dijelaskan sebagaimana dilansir di About Islam. Membaca firman-firman Allah SWT dalam Alquran, seseorang dapat menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu dan memahami kebijaksanaan agung di balik situasi tersebut.
Berikut tujuh ayat Alquran yang menjelaskan tentang mengapa ada masa sulit kehidupan.
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.”
Mungkin penjelasan pertama dan terpenting tentang mengapa orang-orang yang benar harus melalui masa-masa sulit dijelaskan oleh ayat yang fasih di atas. Allah menyatakan bahwa Dia dapat mengalahkan musuh-musuh-Nya tanpa bantuan orang-orang beriman. Dia, tentu, mampu melakukan apa saja.
Namun, sunnah (hukum) Allah adalah melakukan itu melalui kita sehingga kita akan diuji. Hidup ini tidak lain adalah ujian. (QS Al-Mulk: 2).
Bagian dari ujian ini adalah agar Allah menunjukkan siapa yang akan membela kebenaran dan mendukungnya. Jika bukan karena masa-masa sulit seperti ini, orang akan selalu mengklaim bahwa mereka berdiri pada kebenaran. Klaim ini harus diverifikasi dengan ujian dan kesengsaraan. (QS Al-`Ankabut: 2)
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”
Pernyataan dalam ayat tersebut dibuat sekelompok orang beriman dan utusan mereka ketika mereka tersentuh oleh kesulitan dan mereka terguncang di jalan menuju Allah. Allah berfirman kepada Rasul-Nya, kepada orang-orang beriman, dan kepada seluruh umat manusia bahwa jalan menuju Allah penuh dengan masa-masa sulit ini:
Ketika ayat tersebut menegaskan kembali bahwa menghadapi kesulitan yang tidak dapat dihindari, hal ini membawa perhatian pembaca pada tiga keyakinan penting yaitu kemenangan adalah milik Allah, sangat dekat, dan sebut Dia untuk mewujudkannya.
Kesulitan membantu menghubungkan orang-orang yang beriman kepada Allah secara komprehensif. Hati mereka akan melekat pada-Nya dan harapan mereka hanya akan ada di dalam Dia. Masa-masa sulit memelihara tauhid di hati orang-orang beriman dengan cara yang tidak mungkin dilakukan pada saat-saat mudah.
Berikut Penjelasan Mengapa Ada Kesulitan Dalam Hidup Manusia Didunia.
“Dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir.” Setelah pertempuran Uhud ketika kekalahan parsial menimpa tentara Muslim, ayat-ayat turun pada orang-orang beriman untuk menghibur mereka, memperbaiki kesalahan mereka, menganalisis peristiwa tersebut, dan menjelaskan apa yang terjadi.
Sungguh masa yang sulit ketika Allah mendeskripsikannya dengan kata mosibah (malapetaka). Saat menjelaskan alasan Allah membiarkan bencana seperti itu terjadi pada Nabi tercinta dan para sahabatnya. Allah SWT berfirman, "Dan untuk membantu membersihkan orang-orang beriman..."
Orang-orang percaya membutuhkannya dan itu memang membersihkan mereka. Itu membersihkan setiap individu dari semua kotoran. Ini membersihkan mereka dari cinta dunia ini, yang alasan utama kekalahan mereka. Ini juga membersihkan mereka dari dosa-dosa yang mereka miliki sebelum kesulitan.
“Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka dikatakan: "Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu)". Mereka berkata: "Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikuti kamu". Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.”
Selain di level individu, bentuk ujian lainnya ada di level kelompok. Orang munafik ada di hampir setiap masyarakat. Mereka mengaku berpihak pada kebenaran dan mereka bekerja sangat keras untuk menipu orang. Ketika pertempuran Badar terjadi dan Allah memberikan kemenangan besar kepada Rasul-Nya, sekelompok orang munafik muncul. Kehadiran kelompok semacam itu di masyarakat mana pun dapat merusaknya. Mereka mencari keuntungan duniawi dan tidak tertarik untuk mendukung kebenaran. Seringkali, mereka benar-benar berpihak pada kebenaran dan melawannya dari dalam.
Saat-saat setelah pertempuran Badar mengingatkan kita dengan saat-saat setelah revolusi Arab terjadi dan memperoleh sebagian keberhasilan. Semua orang berpihak pada revolusi termasuk mereka yang menentangnya secara agresif.
Namun, ketika revolusi mulai menghadapi kesulitan dan menjadi jelas bahwa tidak ada keuntungan duniawi yang akan dicapai, banyak orang kembali menentangnya. Kemunafikan tidak selalu dalam iman. Itu juga sifatnya. Masa-masa sulit mengungkap semua jenis orang munafik dan melindungi masyarakat dari bahaya mereka.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Itu adalah tujuan akhir untuk menyembah Allah. Namun ibadah dalam Islam bukan hanya seperangkat ritual yang dilakukan seseorang. Ibadah dalam Islam bersifat komprehensif yang mencakup semua jenis tindakan, baik emosional maupun fisik. Ada aspek-aspek yang sangat berharga dari ibadah ini yang nyaris tidak terlihat di luar masa-masa sulit.
Sabar, konsep yang sangat komprehensif yang mencakup kesabaran, ketekunan, dan ketabahan, sangat menunjukkan dirinya pada saat-saat sulit. Tawakal, ketergantungan sepenuhnya kepada Allah, paling banyak dilakukan pada saat-saat sulit. Kerendahan hati di hadapan Allah paling terlihat ketika kita dihadapkan pada kesengsaraan.
Pertobatan adalah salah satu upaya pertama selama masa-masa sulit. Ini dibutuhkan Nabi Yunus untuk lepas dari kegelapan perut ikan paus untuk berseru kepada Allah. (QS Al-Anbiya: 87)
“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.”
Pengorbanan yang terjadi pada saat kesusahan berpihak pada kebenaran dan dukungannya sangat diapresiasi Allah SWT. Faktanya, Dia mengizinkan itu terjadi sehingga Dia meninggikan derajat orang-orang percaya itu dan menunjukkan seberapa besar mereka mendukung kebenaran.
Allah SWT memilih beberapa dari mereka dan memberikan mereka pengorbanan dengan hal yang paling berharga dalam hidup mereka, bahwa itulah hidup mereka. Dia kemudian memberi mereka gelar yang tinggi di surga dan memberi mereka apa yang tidak Dia berikan kepada orang lain.
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.“
Akhirnya, mereka yang gagal melihat hikmah di balik kesulitan juga akan gagal melihat kemudahan. Semoga Allah SWT menunjukkan kebenaran kepada kita dan membantu kita untuk mengikutinya. Semoga Dia memberi kita Sabr ketika masa-masa sulit, dan memberi kita kemudahan dalam kehidupan ini dan di akhirat.
Ada beberapa hal yang bisa membantu seorang hamba untuk bersabar menghadapi gangguan dari orang lain .
Menyadari bahwa Allah subhanahu wa ta’ala yang menciptakan perbuatan para hamba. Perbuatan hamba, baik gerak, diam, maupun keinginannya, semua adalah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala. Apa yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki pasti terjadi, sedangkan yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi. Tidak ada hal sekecil apa pun yang bergerak, di alam yang tinggi dan yang rendah, kecuali dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala dan kehendak-Nya. Para hamba adalah alat.
Karena itu, pandanglah kepada Dzat yang menguasakan mereka atas diri Anda, jangan Anda lihat perbuatan mereka terhadap Anda. Dengan demikian, Anda akan bisa terlepas dari kecemasan dan kesedihan.
Menyadari dosa-dosanya
Hamba mengakui dosa-dosanya dan mengakui pula bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menguasakan mereka atas dirinya akibat dosa yang diperbuatnya. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (asy-Syura:30)
Apabila hamba mempersaksikan bahwa dia ditimpa oleh segala hal yang tidak disukai akibat dosa-dosanya, ia akan menyibukkan diri dengan bertobat dan memohon ampunan atas dosa-dosa yang menyebabkan Allah subhanahu wa ta’ala menguasakan mereka atas dirinya tersebut. Dia tidak lagi (memiliki waktu) untuk mencela, mengecam, dan mencaci maki mereka.
Apabila Anda melihat seorang hamba mencaci maki orang yang menyakitinya, tidak mau berintrospeksi dan mencela dirinya sendiri, serta tidak memohon ampunan, ketahuilah bahwa musibah yang menimpanya adalah musibah yang sejati.
Apabila si hamba bertobat dan memohon ampunan seraya berkata bahwa hal ini disebabkan dosa-dosanya, gangguan manusia tersebut berubah menjadi kenikmatan baginya.
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengucapkan sebuah kalimat yang indah, “Seorang hamba hendaknya tidak berharap selain kepada Rabbnya, dan tidak khawatir kecuali terhadap dosanya.”
Diriwayatkan pula dari beliau radhiallahu ‘anhu dan yang selainnya, “Tidaklah terjadi sebuah bencana kecuali karena dosa, dan tidak akan dihilangkan bencana itu kecuali dengan tobat.”
karat-terkelupas
Menyadari pahala yang baik yang dijanjikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala terhadap orang yang memaafkan dan bersabar.
Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang lalim.” (asy-Syura: 40)
Dalam hal menghadapi gangguan orang lain, manusia terbagi menjadi tiga golongan:
Zalim; dia mengambil lebih banyak daripada haknya.
Pertengahan; dia mengambil sebatas haknya.
Berbuat baik; dia memaafkan dan tidak mengambil haknya.
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tiga golongan ini dalam ayat di atas. Awal ayat (Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa) untuk golongan yang pertengahan; pertengahan ayat (barang siapa memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas [tanggungan] Allah) untuk golongan yang berbuat baik; dan akhir ayat (Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang lalim) untuk golongan yang zalim.
Selain itu, dia menyadari pula seruan sang penyeru pada hari kiamat,
لِيَقُمْ مَنْ وَجَبَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ
“Berdirilah orang yang telah Allah pastikan pahalanya.” Tidak ada yang berdiri (menyambut seruan itu) selain orang yang memaafkan dan melakukan perbaikan.
Jika bersamaan dengan itu dia mempersaksikan bahwa pahalanya akan hilang apabila dia menyiksa dan membalas (gangguan tersebut), akan mudah baginya bersabar dan memaafkan.
Menyadari bahwa jika hamba memaafkan dan berbuat baik, hal itu akan mewariskan keselamatan kalbunya terhadap saudaranya.
Selain itu, hal ini akan membersihkan kalbu dari niat buruk, rasa dendam, ingin menuntut balas, dan berbuat jahat, sekaligus mendapatkan manisnya pemaafan.
Pemaafan tersebut berlipat ganda lebih lezat dan lebih bermanfaat di dunia dan di akhirat daripada manfaat yang didapat jika dia membalas gangguan orang. Dia pun akan masuk dalam (golongan yang disebutkan oleh) firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٣٤
“Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imran: 134)
Dia akan dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Keadaannya seperti seseorang yang dirampas darinya uang satu dirham lantas diganti dengan ribuan dinar. Ketika itulah dia akan sangat gembira dengan anugerah Allah subhanahu wa ta’ala terhadap dirinya.
Mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang membalas (gangguan orang lain) karena kepentingan pribadinya kecuali akan mewariskan kehinaan dalam jiwanya.
Apabila dia memaafkan, Allah subhanahu wa ta’ala akan memuliakannya. Inilah yang dikabarkan oleh ash-Shadiqul Mashduq (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dalam sabdanya,
مَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا
“Tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala menambah kepada hamba dengan pemaafan selain kemuliaan.”2
Kemuliaan yang didapatkan seorang hamba dengan sebab pemaafan lebih dia sukai dan lebih bermanfaat baginya daripada kemuliaan yang didapatkan dengan sebab membalas. Kemuliaan yang seperti ini hanyalah secara lahir, namun mewariskan kerendahan dalam batin. Adapun pemaafan memang terasa rendah dalam batin, tetapi mewariskan kemuliaan lahir dan batin.
Faedah terbesar: menyadari bahwa balasan itu sesuai dengan amalan, dan bahwa dirinya sendirilah yang zalim dan berdosa.
Dia juga mempersaksikan bahwa siapa yang memaafkan orang lain, Allah subhanahu wa ta’ala akan memaafkannya; siapa yang mengampuni (kesalahan) orang lain, Allah subhanahu wa ta’ala pun akan mengampuninya.
Apabila hamba mempersaksikan bahwa perbuatan memaafkan dan berbuat baik kepada mereka yang berbuat jelek kepadanya akan menyebabkan dirinya dibalasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana amalannya. Allah subhanahu wa ta’ala akan memaafkan, tidak mengungkit, dan berbuat baik kepada dirinya meskipun dirinya berdosa; menjadi mudah baginya memaafkan orang dan bersabar atas gangguannya.
Cukuplah faedah ini bagi orang yang berakal.
Mengetahui bahwa apabila dirinya sibuk menuntut balas, waktunya akan sia-sia, kalbunya akan tercerai berai, dan akan luput darinya sekian banyak kebaikan yang tidak bisa dia raih.
Bisa jadi, (musibah) ini lebih berat daripada musibah yang dia dapatkan akibat gangguan orang. Apabila dia memaafkan dan tidak menolehnya lagi, kalbu dan badannya lapang untuk menggapai berbagai maslahat yang lebih penting baginya daripada membalas.
Perbuatannya membalas, mengambil haknya, dan membela, dilakukan untuk kepentingan pribadinya.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sekali pun membalas karena kepentingan pribadi beliau. Demikianlah keadaan makhluk-Nya yang terbaik dan termulia, tidak pernah membalas demi kepentingan pribadinya. Padahal menyakiti beliau berarti menyakiti Allah subhanahu wa ta’ala dan terkait dengan hak-hak agama. Di samping itu, pribadi beliau adalah jiwa yang paling mulia, paling suci, paling berbakti, paling jauh dari segala akhlak tercela, dan paling berhak memiliki segenap akhlak mulia. Meski demikian, beliau tidak pernah membalas demi kepentingan pribadi.
Lantas, bagaimana bisa salah seorang dari kita membalas demi kepentingan pribadinya, padahal dirinya paling tahu tentang jiwanya dan berbagai kejahatan serta aibnya sendiri, Orang yang arif menganggap pribadinya tidak bernilai hingga pantas membalas. Dia pun menilai pribadinya tidaklah berharga hingga pantas untuk dibela.
Ada beberapa hal yang bisa membantu seorang hamba untuk bersabar menghadapi gangguan dari orang lain .
Menyadari bahwa Allah subhanahu wa ta’ala yang menciptakan perbuatan para hamba
Perbuatan hamba, baik gerak, diam, maupun keinginannya, semua adalah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala. Apa yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki pasti terjadi, sedangkan yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi. Tidak ada hal sekecil apa pun yang bergerak, di alam yang tinggi dan yang rendah, kecuali dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala dan kehendak-Nya. Para hamba adalah alat.
Karena itu, pandanglah kepada Dzat yang menguasakan mereka atas diri Anda, jangan Anda lihat perbuatan mereka terhadap Anda. Dengan demikian, Anda akan bisa terlepas dari kecemasan dan kesedihan.
Menyadari dosa-dosanya
Hamba mengakui dosa-dosanya dan mengakui pula bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menguasakan mereka atas dirinya akibat dosa yang diperbuatnya. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (asy-Syura:30)
Apabila hamba mempersaksikan bahwa dia ditimpa oleh segala hal yang tidak disukai akibat dosa-dosanya, ia akan menyibukkan diri dengan bertobat dan memohon ampunan atas dosa-dosa yang menyebabkan Allah subhanahu wa ta’ala menguasakan mereka atas dirinya tersebut. Dia tidak lagi (memiliki waktu) untuk mencela, mengecam, dan mencaci maki mereka.
Apabila Anda melihat seorang hamba mencaci maki orang yang menyakitinya, tidak mau berintrospeksi dan mencela dirinya sendiri, serta tidak memohon ampunan, ketahuilah bahwa musibah yang menimpanya adalah musibah yang sejati.
Apabila si hamba bertobat dan memohon ampunan seraya berkata bahwa hal ini disebabkan dosa-dosanya, gangguan manusia tersebut berubah menjadi kenikmatan baginya.
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengucapkan sebuah kalimat yang indah, “Seorang hamba hendaknya tidak berharap selain kepada Rabbnya, dan tidak khawatir kecuali terhadap dosanya.”
Diriwayatkan pula dari beliau radhiallahu ‘anhu dan yang selainnya, “Tidaklah terjadi sebuah bencana kecuali karena dosa, dan tidak akan dihilangkan bencana itu kecuali dengan tobat.”
karat-terkelupas
Menyadari pahala yang baik yang dijanjikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala terhadap orang yang memaafkan dan bersabar.
Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang lalim.” (asy-Syura: 40)
Dalam hal menghadapi gangguan orang lain, manusia terbagi menjadi tiga golongan:
Zalim; dia mengambil lebih banyak daripada haknya.
Pertengahan; dia mengambil sebatas haknya.
Berbuat baik; dia memaafkan dan tidak mengambil haknya.
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tiga golongan ini dalam ayat di atas. Awal ayat (Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa) untuk golongan yang pertengahan; pertengahan ayat (barang siapa memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas [tanggungan] Allah) untuk golongan yang berbuat baik; dan akhir ayat (Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang lalim) untuk golongan yang zalim.
Selain itu, dia menyadari pula seruan sang penyeru pada hari kiamat,
لِيَقُمْ مَنْ وَجَبَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ
“Berdirilah orang yang telah Allah pastikan pahalanya.”1
Tidak ada yang berdiri (menyambut seruan itu) selain orang yang memaafkan dan melakukan perbaikan.
Jika bersamaan dengan itu dia mempersaksikan bahwa pahalanya akan hilang apabila dia menyiksa dan membalas (gangguan tersebut), akan mudah baginya bersabar dan memaafkan.
Menyadari bahwa jika hamba memaafkan dan berbuat baik, hal itu akan mewariskan keselamatan kalbunya terhadap saudaranya.
Selain itu, hal ini akan membersihkan kalbu dari niat buruk, rasa dendam, ingin menuntut balas, dan berbuat jahat, sekaligus mendapatkan manisnya pemaafan.
Pemaafan tersebut berlipat ganda lebih lezat dan lebih bermanfaat di dunia dan di akhirat daripada manfaat yang didapat jika dia membalas gangguan orang. Dia pun akan masuk dalam (golongan yang disebutkan oleh) firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٣٤
“Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imran: 134)
Dia akan dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Keadaannya seperti seseorang yang dirampas darinya uang satu dirham lantas diganti dengan ribuan dinar. Ketika itulah dia akan sangat gembira dengan anugerah Allah subhanahu wa ta’ala terhadap dirinya.
Mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang membalas (gangguan orang lain) karena kepentingan pribadinya kecuali akan mewariskan kehinaan dalam jiwanya.
Apabila dia memaafkan, Allah subhanahu wa ta’ala akan memuliakannya. Inilah yang dikabarkan oleh ash-Shadiqul Mashduq (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dalam sabdanya,
مَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا
“Tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala menambah kepada hamba dengan pemaafan selain kemuliaan.”2
Kemuliaan yang didapatkan seorang hamba dengan sebab pemaafan lebih dia sukai dan lebih bermanfaat baginya daripada kemuliaan yang didapatkan dengan sebab membalas. Kemuliaan yang seperti ini hanyalah secara lahir, namun mewariskan kerendahan dalam batin. Adapun pemaafan memang terasa rendah dalam batin, tetapi mewariskan kemuliaan lahir dan batin.
Faedah terbesar: menyadari bahwa balasan itu sesuai dengan amalan, dan bahwa dirinya sendirilah yang zalim dan berdosa.
Dia juga mempersaksikan bahwa siapa yang memaafkan orang lain, Allah subhanahu wa ta’ala akan memaafkannya; siapa yang mengampuni (kesalahan) orang lain, Allah subhanahu wa ta’ala pun akan mengampuninya.
Apabila hamba mempersaksikan bahwa perbuatan memaafkan dan berbuat baik kepada mereka yang berbuat jelek kepadanya akan menyebabkan dirinya dibalasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana amalannya. Allah subhanahu wa ta’ala akan memaafkan, tidak mengungkit, dan berbuat baik kepada dirinya meskipun dirinya berdosa; menjadi mudah baginya memaafkan orang dan bersabar atas gangguannya.
Cukuplah faedah ini bagi orang yang berakal.
Mengetahui bahwa apabila dirinya sibuk menuntut balas, waktunya akan sia-sia, kalbunya akan tercerai berai, dan akan luput darinya sekian banyak kebaikan yang tidak bisa dia raih.
Bisa jadi, (musibah) ini lebih berat daripada musibah yang dia dapatkan akibat gangguan orang. Apabila dia memaafkan dan tidak menolehnya lagi, kalbu dan badannya lapang untuk menggapai berbagai maslahat yang lebih penting baginya daripada membalas.
Perbuatannya membalas, mengambil haknya, dan membela, dilakukan untuk kepentingan pribadinya.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sekali pun membalas karena kepentingan pribadi beliau. Demikianlah keadaan makhluk-Nya yang terbaik dan termulia, tidak pernah membalas demi kepentingan pribadinya. Padahal menyakiti beliau berarti menyakiti Allah subhanahu wa ta’ala dan terkait dengan hak-hak agama.
Di samping itu, pribadi beliau adalah jiwa yang paling mulia, paling suci, paling berbakti, paling jauh dari segala akhlak tercela, dan paling berhak memiliki segenap akhlak mulia. Meski demikian, beliau tidak pernah membalas demi kepentingan pribadi.
Lantas, bagaimana bisa salah seorang dari kita membalas demi kepentingan pribadinya, padahal dirinya paling tahu tentang jiwanya dan berbagai kejahatan serta aibnya sendiri?
Orang yang arif menganggap pribadinya tidak bernilai hingga pantas membalas. Dia pun menilai pribadinya tidaklah berharga hingga pantas untuk dibela.
Sabar dalam Islam, Hadits tentang Ujian dan Cobaan Bahkan Musibah. Di dalam Islam dikenal banyak hadits yang menjelaskan soal anjuran untuk berlaku sabar dan keutamaan bersabar. Salah satunya seperti diriwayatkan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu dikutip Tim Hikmah dari Kitab Riyadhus Shalihin karya Imam An Nawawi.
Berkata Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda,"Sesungguhnya Allah SWT berfirman, 'Jika Aku menguji hamba-Ku dengan dua yang dicintainya, kemudian dia bersabar, maka Aku akan mengganti keduanya itu untuknya dengan surga'."
Menurut Yusuf Al-Qaradhawi Ph.D dalam "Mukjizat Sabar dalam Al-Quran" menjelaskan sabar adalah beramal penuh keyakinan bahwa kemudaratan dan ketaatan itu memberi manfaat. Sabar juga disebut sebagai penolong agama dalam menundukkan nafsu dan kemalasan.
Allah berfirman dalam surah Al-Ankabut ayat 58 dan 69 yang berbunyi:
"...Demikianlah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal soleh. Yaitu mereka yang sabar dan mereka pula berserah diri bulat-bulat kepada Tuhannya." (QS Al-Ankabut, ayat 58 dan 59).
Allah SWT juga menjelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 153:
"Wahai sekalian orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan dengan bersabar dan mengerjakan sembahyang, karena sesungguhnya Allah menyertai (menolong) orang-orang yang sabar." (QS Al-Baqarah ayat 153).
Hadits tentang ujian dan cobaan ini didasarkan pada hadits dari Ali bin Abi Thalib Ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
"Sabar itu ada tiga macam: sabar dalam menghadapi musibah, sabar dalam menjalankan ketaatan dan sabar dalam menghindari kemaksiatan. Siapa yang sabar dalam menghadapi musibah sehingga mampu menjalaninya dengan baik, dengan segala kekuatan hatinya, maka Allah akan mencatat untuknya sebanyak 300 derajat yang antara satu derajat dengan derajat yang lain seperti jarak antara langit dengan bumi. Siapa yang sabar dalam menjalankan ketaatan, maka Allah akan mencatat untuknya 600 yang antara satu derajat dengan derajat yang lain seperti jarak antara batas dasar bumi hingga puncak 'Arasy. Siapa yang sabar dalam menghindari kemaksiatan, maka Allah akan mencatat untuknya 900 derajat yang antara satu derajat dengan derajat yang lain seperti jarak dua kali antara batas dasar bumi hingga puncak 'Arasy." (HR. Ibnu Hibban, Ibnu Abid Dun-ya dan Dailami).
Cobaan yang menimpa kita tentu sudah diatur oleh Allah SWT. Jika kita bersabar, Allah SWT akan melipatkan pahala dan membantu menyelesaikan semua cobaan dan ujian yang dihadapi oleh umatnya dengan cara berdoa.
Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada seorang Muslim pun yang ditusuk oleh duri atau lebih dari itu, kecuali Allah pasti akan menghilangkan kesalahan-kesalahannya. Sebagaimana pohon yang menggugurkan daunnya." (HR. Bukhari).
Sehingga Islam mengajarkan kepada manusia agar sabar seperti lima nabi yang memiliki keteguhan yang kuat. Kelima nabi yang sabar itu adalah Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad.
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Ahqaf ayat 35:
"Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan azab bagi mereka." (QS Al-Ahqaf: 35).
3 Tingkatan Sabar yang Dianjurkan oleh Nabi Muhammad. Allah SWT memerintahkan kepada semua muslim untuk bersabar dalam menjalani kehidupan di dunia. Sering kali manusia diberikan ujian, tetapi ujian yang diberikan sebenarnya tidak terlepas dari batas kemampuan umatnya. Selain itu, umat muslim juga dianjurkan untuk bertakwa kepada Allah.
Sabar dalam maksud ini adalah untuk menahan diri dari maksiat dan tetap taat kepada Allah SWT. Seperti firman Allah dalam QS. Ali-Imran ayat 200, yang berbunyi:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imran: 200)
Sabar bukan perkara yang mudah untuk dilakukan. Akan tetapi, Allah akan memberikan ganjaran yang setimpal bagi orang-orang yang sabar. Sebab, Allah sangat mencintai orang-orang yang sabar.
Ada tiga tingkatan sabar yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Seperti dalam kitab as-Shabru wa Tsawâb ‘alaihi, Syekh Ibnu Abid Dunya mencantumkan sebuah hadis riwayat Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Artinya: “Sabar ada tiga tingkatan; sabar atas musibah, sabar dalam menjalani ketaatan, dan sabar dari laku kemaksiatan. Siapa saja yang sabar menghadapi musibah, sampai ia mampu merestorasinya sebaik mungkin, Allah akan mengangkat 300 derajatnya. Di mana, satu dengan lainnya berjarak sejauh antara langit dan bumi.
Dan, yang bersabar dalam menjalani ketaatan, Allah mengangkat 600 derajatnya. Di mana, satu dengan lainnya berjarak sejauh antara lapisan-lapisan bumi dan batas (ketinggian) ‘arsy.
Sedangkan, bagi yang bersabar dari laku kemaksiatan, Allah mengangkat 900 derajatnya. Di mana, satu dengan lainnya berjarak sekitar dua kali lipat antara lapisan-lapisan bumi dan batas (ketinggian) ‘arsy.”
1. Sabar menghadapi musibah
Seperti yang telah diketahui, sebagai umat muslim, takdir Allah ada dua macam, yaitu takdir yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan (musibah). Bagi siapa pun yang mendapat takdir baik, maka hendaklah bersyukur. Tapi bagi yang sedang menghadapi musibah, maka hendaklah bersabar.
Nasihat bersabar dari Rasul saat menghadapi musibah dapat dipelajari dari hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Beliau berkata:
مَرَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِامْرَأَةٍ تَبْكِى عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ « اتَّقِى اللَّهَ وَاصْبِرِى » . قَالَتْ إِلَيْكَ عَنِّى ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِى ، وَلَمْ تَعْرِفْهُ . فَقِيلَ لَهَا إِنَّهُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – . فَأَتَتْ بَابَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِينَ فَقَالَتْ لَمْ أَعْرِفْكَ . فَقَالَ « إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى »
Artinya: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kuburan. Lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, (Bertakwalah pada Allah dan bersabarlah). Kemudian wanita itu berkata, (Menjauhlah dariku. Sesungguhnya engkau belum pernah merasakan musibahku dan belum mengetahuinya). Kemudian ada yang mengatakan pada wanita itu bahwa orang yang berkata tadi adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Kemudian wanita tersebut mendatangi pintu (rumah) Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Kemudian dia tidak mendapati seorang yang menghalangi dia masuk pada rumah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Kemudian wanita ini berkata, (Aku belum mengenalmu). Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, (Sesungguhnya namanya sabar adalah ketika di awal musibah).” (HR. Bukhari)
2. Bersabar tidak melakukan maksiat
Setiap saat seorang muslim pasti selalu mendapat godaan dari makhluk yang terlihat nyata atau pun makhluk yang gaib untuk melakukan maksiat. Baik itu perbuatan dosa kecil maupun besar, seorang muslim harusnya sabar untuk menahan diri. Dosa-dosa yang tidak sengaja dilakukan seperti melihat yang tidak seharusnya dilihat dan menggunjing orang lain termasuk perbuatan yang harusnya dihindari.
Sebaiknya, berperilakulah selayaknya yang diperintahkan oleh Allah SWT. Sebab, balasan dari Allah tidak mungkin ingkar. Seperti firman Allah dalam QS. Az-Zumar ayat 10, yang berbunyi:
Artinya: Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS. Az-Zumar: 10)
3. Sabar menjalani ketaatan
Sabar dalam menjalani perintahkan Allah SWT, dan segala ibadah yang dibebankan, serta kesulitan yang dihadapi tatkala menegakkan perintah-perintah-Nya. Sabar dalam hal ini adalah level tertinggi dalam tingkatan kesabaran. Seorang mukmin bersabar ketika melakukan ketaatan, yakni dengan sebaik mungkin mengikuti tuntunan Rasulullah ﷺ. Karena sabar adalah penolong umat muslim. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 153, yang berbunyi:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah:153)