Hasil Usaha Maksiat Celaka Dunia & Akhirat. Salah satu kaedah yang sudah pasti dalam agama Islam adalah seseorang tidak boleh mengambil harta seorang Muslim kecuali dengan izinnya atau ridhanya. Banyak dalil yang menunjukkan hal ini, diantaranya: Firman Allâh Azza wa Jalla :
Sesungguhnya darah kamu dan harta kamu haram atas kamu (yakni tidak boleh diganggu-pen), seperti keharaman harimu ini, di bulanmu ini, di negerimu ini. [HR. Muslim, no. 1218, dari Sahabat Jâbir bin Abdullah Radhiyallahu anhu]
Setiap Muslim atas Muslim lainnya haram (tidak boleh diganggu), darahnya, hartanya, dan kehormatannya. [HR. Muslim, no. 2564 dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]
Ingat, janganlah kamu berbuat zhalim! Ingat, janganlah kamu berbuat zhalim! Sesungguhnya harta seseorang tidak halal kecuali (yang diberikan) dengan keridhaan hatinya.[1]
Bahaya Memakan harta Yang Haram
Dari sisi rasa dan rupa, mungkin tidak ada beda antara makanan yang didapatkan dengan cara halal dan dengan cara yang haram, namun konsekuensi buruk dari mengkonsumsi makan haram itu banyak sekali. Misalnya, do’a yang dipanjatkan tidak dikabulkan oleh Allâh Azza wa Jalla, sebagaimana telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits :
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla itu suci, tidak menerima kecuali yang suci. Dan sesungguhnya Allâh memerintahkan orang beriman sebagaimana dia memerintahkan para rasul-Nya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman, (yang artinya), ‘Wahai Para Rasul! Makanlah yang baik-baik dan beramal shalihlah’.
Dan Dia berfirman, (yang artinya),‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami berikan kepada kalian’.
Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ada seorang laki-laki melakukan perjalanan jauh dalam keadaan kusut dan berdebu, dia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa, ‘Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!’, padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan kebutuhannya dipenuhi dari sesuatu yang haram, maka (jika begitu keadaannya) bagaimana doanya akan dikabulkan. [HR. Muslim, no. 1015; Ahmad, no. 1015; Tirmidzi, no. 2989; dll]
Akibat buruk lainnya, Allâh Azza wa Jalla tidak akan menerima shadaqah yang berasal dari barang haram. Karena Allâh Azza wa Jalla itu suci, tidak menerima kecuali yang suci. Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma menyatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Shalat tanpa bersuci tidak akan diterima, demikian juga sedekah dari ghulul (tidak akan diterima). (HR. Muslim, no. 224(
Juga termasuk efek buruk lainnya adalah daging yang tumbuh dari makanan yang haram, maka neraka lebih pantas baginya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah! Sesungguhnya (pemilik) daging yang tumbuh dari yang haram tidak akan masuk surga, neraka lebih pantas baginya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla itu suci, tidak menerima kecuali yang suci. Dan sesungguhnya Allâh memerintahkan orang beriman sebagaimana dia memerintahkan para rasul-Nya.
Allah Swt berfirman, (yang artinya), ‘Wahai Para Rasul! Makanlah yang baik-baik dan beramal shalihlah’.
Dan Dia berfirman, (yang artinya),‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami berikan kepada kalian’.
Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ada seorang laki-laki melakukan perjalanan jauh dalam keadaan kusut dan berdebu, dia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa, ‘Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!’, padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan kebutuhannya dipenuhi dari sesuatu yang haram, maka (jika begitu keadaannya) bagaimana doanya akan dikabulkan. (HR. Muslim).
Akibat buruk lainnya, Allah Swt idak akan menerima shadaqah yang berasal dari barang haram. Karena Allah Swtitu suci, tidak menerima kecuali yang suci. Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma menyatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Shalat tanpa bersuci tidak akan diterima, demikian juga sedekah dari ghulul (tidak akan diterima). (HR. Muslim, no. 224)
Juga termasuk efek buruk lainnya adalah daging yang tumbuh dari makanan yang haram, maka neraka lebih pantas baginya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah! Sesungguhnya (pemilik) daging yang tumbuh dari yang haram tidak akan masuk surga, neraka lebih pantas baginya.
Beliau rahimahullah juga berkata, “Para Ulama mengatakan, ‘Termasuk dalam bab ini adalah orang yang mengambil upeti, orang yang melakukan khianat, … pencuri, …, pemakan riba, pemberi riba, pemakan harta yatim, orang yang bersaksi palsu, orang yang meminjam barang lalu mengingkarinya, pemakan suap, orang yang mengurangi takaran dan timbangan, orang yang menjual barang cacat namun dia menutupinya, penjudi, tukang sihir, peramal dengan bintang, pembuat gambar atau patung makhluk bernyawa, pelacur (WTS/PSK), wanita yang menangis di waktu kematian untuk dibayar, orang yang mengambil upeti orang lewat, guide yang mengambil upah tanpa sepengetahuan penjual, orang yang memberi informasi kepada pembeli dengan harga yang lebih (dari harga sebenarnya), orang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasilnya”. (Al-Kabâir, hlm. 120)
Itulah di antara dosa dan bahaya mengambil harta orang dengan cara batil dan memakannya. Sebagaimana insan yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla, janganlah kita nekat, sehingga mengkibatkan celaka dunia dan akhirat. Hendaklah kita segera bertaubat sebelum terlambat. Karena cepat atau lambat, kita semua pasti akan menghadap Allâh yang Maha Menghisab amal seluruh umat. Dan Allâh mencintai orang-orang yang bertaubat. Kita memohon taufik kepada Allah Swt agar membimbing kita kepada perkara yang Dia cintai dan ridhai, sesungguhnya Dia Maha Pemurah dan Maha Suci. Semoga Allah mengampuni hambanya yang mau bertaubat kepada Allah Swt, Aamin Ya Rabbal 'Alamin.
6 Dosa yang Tak Diampuni Meskipun Sudah Taubat. Pernahkah kita berpikir tentang dosa-dosa kita, baik dosa besar maupun dosa kecil. Kita berlomba-lomba untuk memohon ampun, padahal terdapat dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah Swt meskipun sudah bertaubat. Berikut 6 dosa yang tidak diampuni Allah meskipun sudah bertaubat.
1. Memakan harta anak yatim secara haram
Untuk menghapuskan dosa tersebut memakan harta anak yatim, yaitu membayar kembali harta yang telah digunakan serta memohon maaf kepada anak yatim tersebut.
Jika anak yatim tersebut memaafkan perbuatannya barulah boleh bertaubat kepada Allah seandainya anak yatim tersebut tidak memaafkan perbuatannya maka dosanya pun tidak terhapuskan.
2. Menuduh wanita sholehah berzina
Orang yang menuduh wanita soleha hendaklah memohon maaf kepada wanita tersebut jika wanita sholehah tersebut memaafkan, maka terhapus dosa tersebut dan bolehlah bertaubat kepada Allah Swt. Sekiranya wanita soleha tidak memaafkannya maka dosa tidak terhapus dan tidak boleh bertaubat kepada Allah Swt.
3. Lari dari medan jihad yang memperjuangkan kalimat Allah
Mereka yang lari dari medan jihad adalah mereka yang dayus dan tidak layak memasuki surga. Dalam sejarah Islam hukuman mereka yang lari dari medan jihad sehingga Rasulullah terpaksa menunggu arahan Allah untuk memaafkan kesalahan tersebut.
4. Melakukan sihir/santet/perdukunan
Mereka yang melakukan sihir dan para pengamal sihir adalah mereka yang syirik kepada Allah Swt. Memang tidak hanya bertaubat kepada Allah Swt melainkan mengucap kembali kalimat syahadat dan menyerah kepada Islam untuk melaksanakan hukuman yang sewajarnya.
5. Syirik kepada Allah atau menyamakan kedudukan Allah dengan makhluk lain
Menyamakan Allah dengan makhluk lain melalui niat percakapan dan perbuatan yang disadari atau tidak disadari maka dosa ini tidak boleh bertaubat. Kecuali dengan mengucap kembali ke dua kalimat syahadat. Pemerintahan Islam meski melaksanakan hukuman hudud, barulah Allah rela menerima kembali amal ibadah seseorang hamba yang telah menduakan Allah.
6. Membunuh para nabi yang diutus oleh Allah Swt
Mereka yang membunuh para nabi hendaklah dihukum bunuh dan berserah diri kepada Allah untuk mengazab mereka. Rasulullah pernah memutuskan utusan untuk membunuh mereka yang menghina atau mengejek Allah dan Rasulullah SAW pada masa Negara Islam Madinah.
Pesan Rasulullah Muhammad SAW untuk Para Pelaku Maksiat. Setiap orang ditakdirkan pasti melakukan sebuah dosa, meski itu hanya dosa kecil. Tetapi Allah SWT selalu memberikan jalan keluar dan pengampunan untuk dosa-dosa kecil yang telah dilakukan. Salah satunya adalah untuk mengerjakan sholat tobat dua rakaat. Hal ini dianjurkan imam empat mazhab berdasarkan hadits dari Abu Bakar Ash-Shiddiq yang dinukilkan Ali bin Abi Talib, Nabi SAW bersabda:
عن علي -رضي الله عنه- قال: كنتُ رجلًا إذا سَمِعْتُ من رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ حديثًا نفعَني اللَّهُ منهُ بما شاءَ أن ينفعَني، وإذا حدَّثَني أحدٌ من أصحابِهِ استَحلفتُهُ، فإذا حلَفَ لي صدَّقتُهُ، قالَ: وحدَّثَني أبو بَكْرٍ وصدقَ أبو بَكْرٍ رضيَ اللَّهُ عنهُ، أنَّهُ قالَ: سَمِعْتُ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يقولُ: ما مِن عبدٍ يذنبُ ذنبًا، فيُحسنُ الطُّهورَ، ثمَّ يقومُ فيُصلِّي رَكْعتينِ، ثمَّ يستغفِرُ اللَّهَ، إلَّا غفرَ اللَّهُ لَهُ، ثمَّ قرأَ هذِهِ الآيةَ: وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ إلى آخرِ الآيةِ
Dari Ali bin Abi Thalib RA, dia berkata, “Aku adalah pria yang senantiasi mendengarkan apa hadits yang Allah berikan manfaatnya bagiku dengan apa yang dia kehendaki manfaatnya untuku. Jika seorang dari sahabat Rasul menyampaikan hadits makan aku akan mengambil sumpah, dan jika dia bersumpah untukku aku mempercayainya.”
Ali kembali berkata, ”Abu Bakar memberitahuku dia mendengar Rasulullah SAW bersabda, :Tidaklah seorang hamba melakukan dosa kemudian dia bersuci dengan baik, lalu berdiri untuk sholat dua rakaat kemudian meminta ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya. "Kemudian beliau membaca ayat ini:
إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ “Dan ( juga ) orang - orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri , mereka ingat kepada Allah ... " hingga akhir ayat.” ( HR Abu Dawud No 1521 , At-Tirmidzi No 406 Ibnu Majah No 1395).
Bagi siapa saja yang melakukan dosa hendaknya bersuci dengan berwudhu, kemudian melaksanakan dua rakaat sholat tobat berniat untuk memohon ampunan kepada Allah SWT. Setelah melaksanakan sholat tobat, kemudian memanjatkan doa memohon ampun seperti yang diajarkan Rasulullah pada hadits di atas.
Benarkah Jodoh, Rezeki, Kematian dan Perceraian adalah Takdir dari Allah Swt, Salah satu dari perkataan yang umum di masyarakat adalah bahwa jodoh, rezeki, ajal (kematian) dan perceraian adalah takdir dari Allah Ta’ala, benarkah demikian? Jawabannya adalah Ya, betul sekali bahwa semua itu adalah merupakan takdir dari Allah Ta’ala. Akan tetapi keempatnya memiliki karakter masing-masing, yang apabila kita rinci terbagi menjadi dua; Pertama; Rezeki dan Kematian, Kedua; Jodoh dan Perceraian. Permasalahan ini sangat penting untuk dibahas karena terkait dengan Qadha dan Qadar yang masuk ke ranah tauhid atau keyakinan sebagai seorang muslim. Selain itu jangan sampai kita masuk ke dalam aliran Jabariah yang menganggap bahwa manusia hanya seperti wayang yang dipaksa mengikuti takdirNya, atau seperti Qadariah yang meyakini semuanya adalah kehendak manusia tanpa campur tangan Allah Swt.
Beriman dengan Qadha dan Qadar
Dasar keimanan terhadap qadha dan qadar adalah firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an, yaitu firmanNya:
Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu. QS. Al-Hijr: 21.
Pada ayat yang lainnya disebutkan:
وَكَانَ أَمْرًا مَقْضِيًّا
“Dan ini perkara yang sudah ditetapkan.” (QS. Maryam: 21).
Riwayat shahih mengenai hal ini adalah sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam :
Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, dan kamu beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk. HR. Muslim.
Riwayat lainnya menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah ta’ala ialah pena, kemudian Allah berfirman kepadanya, ‘Tulislah.’ Pena berkata, ‘Tuhanku, apa yang harus saya tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takaran (takdir) segala sesuatu hingga hari kiamat.” (H.R. Ahmad dan At-Tirmidzi).
Merujuk pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an dan riwayat shahih dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dapat dipahami bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan takdir seluruh makhlukNya. Riwayat lainnya menjelaskan:
“Allah telah mencatat seluruh takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi” HR. Muslim, Thirmidzi dan Abu Dawud.
Ada dua istilah yang kemudian dibahas oleh para ulama, yaitu; qadha dan qadar. Keduanya memiliki makna yang berbeda ketika disatukan dalam satu pembahasan (qadha-qadar) apabila dipisah maknanya sama yaitu takdir dari Allah Ta’ala. Secara lebih rinci ada dua pendapat mengenai hal ini;
Pertama, Qadha dan Qadar bermakna Sama.
Mereka menyatakan bahwa makna qadha dan qadar itu sama maknanya yaitu ketentuan dari Allah Ta’ala sejak zaman dahulu kala. Pendapat ini dipegang oleh Abdul Aziz bin Abdullah yang menyatakan:
القضاء والقدر، هو شيء واحد، الشيء الذي قضاه الله سابقاً ، وقدره سابقاً، يقال لهذا القضاء ، ويقال له القدر
Qadha dan qadar adalah dua kata yang artinya samya, aitu sesuatu yang telah Allah qadha’-kan (tetapkan) dulu, dan yang telah Allah takdirkan dulu. Bisa disebut qadha, bisa disebut taqdir.
Persamaaan makna ini sebagaimana tercatat dalam al-Qamus al-Muhith, yaitu;
القدر : القضاء والحكم
Qadar adalah qadha dan hukum.
Merujuk kepada pendapat ini maka tidak ada perbedaan makna antara qadha dan qadar yaitu ketetapan dari Allah Ta’ala sejak zaman azali.
Kedua, Berbeda makna antara Qadha dan Qadar.
Pendapat ini memiliki dua pendapat yang berbeda pula, yaitu;
Qadha lebih dahulu dari pada qadar. Qadha adalah ketetapan Allah di zaman azali. Sementara qadar adalah ketetapan Allah untuk apapun yang saat ini sedang terjadi. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,
قال العلماء : القضاء هو الحكم الكلي الإجمالي في الأزل ، والقدر جزئيات ذلك الحكم وتفاصيله
Para ulama mengatakan, al-qadha adalah ketetapan global secara keseluruhan di zaman azali. Sementara qadar adalah bagian-bagian dan rincian dari ketetapan global itu. (Fathul Bari, 11/477).
Al-Jurjani menyatakan,
والفرق بين القدر والقضاء : هو أن القضاء وجود جميع الموجودات في اللوح المحفوظ مجتمعة، والقدر وجودها متفرقة في الأعيان بعد حصول شرائطها
Perbedaan antara qadar dan qadha, bahwa qadha bentuknya ketetapan adanya seluruh makhluk yang tertulis di al-Lauh al-Mahfudz secara global. Sementara qadar adalah ketetapan adanya makhluk tertentu, setelah terpenuhi syarat-syaratnya. (at-Ta’rifat, hlm. 174)
Kebalikan dari pendapat sebelumnya, qadar lebih dahulu dari pada qadha. Qadar adalah ketetapan Allah di zaman azali. Sementara qadha adalah penciptaan Allah untuk apapun yang saat ini sedang terjadi.
Ar-Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat (hlm. 675) menyatakan,
والقضاء من الله تعالى أخص من القدر؛ لأنه الفصل بين التقدير، فالقدر هو التقدير، والقضاء هو الفصل والقطع
Qadha Allah lebih khusus dibandingkan qadar. Karena qadha adalah ketetapan diantara taqdir (ketetapan). Qadar itu taqdir, sementara qadha adalah keputusan.
Pendapat ini dipegang pula oleh Muhammad bin Shaleh yang menyatakan “Maka ketika Allah menetapkan sesuatu akan terjadi pada waktunya, ketentuan ini disebut Qadar. Kemudian ketika telah tiba waktu yang telah ditetapkan pada sesuatu tersebut, ketentuan tersebut disebut Qadha’”.
Ulama dari kalangan Asy’ariyah dan Maturidiyah berpendapat bahwa makna qadha dan qadar itu berbeda. Syekh M. Nawawi Banten menyatakan:
اختلفوا في معنى القضاء والقدر فالقضاء عند الأشاعرة إرادة الله الأشياء في الأزل على ما هي عليه في غير الأزل والقدر عندهم إيجاد الله الأشياء على قدر مخصوص على وفق الإرادة
“Ulama tauhid atau mutakallimin berbeda pendapat perihal makna qadha dan qadar. Qadha menurut ulama Asy’ariyyah adalah kehendak Allah atas sesuatu pada azali untuk sebuah ‘realitas’ pada saat sesuatu di luar azali kelak. Sementara qadar menurut mereka adalah penciptaan (realisasi) Allah atas sesuatu pada kadar tertentu sesuai dengan kehendak-Nya pada azali,” (Kasyifatus Saja, hal. 12).
Beliau memberikan contoh qadha dan qadar menurut kelompok Asyariyyah, Qadha adalah putusan Allah pada azali bahwa kelak kita akan menjadi apa. Sementara qadar adalah realisasi Allah atas qadha terhadap diri kita sesuai kehendak-Nya.
فإرادة الله المتعلقة أزلا بأنك تصير عالما قضاء وإيجاد العلم فيك بعد وجودك على وفق الإرادة قدر
“Kehendak Allah yang berkaitan pada azali, misalnya kau kelak menjadi orang alim atau berpengetahuan adalah qadha. Sementara penciptaan ilmu di dalam dirimu setelah ujudmu hadir di dunia sesuai dengan kehendak-Nya pada azali adalah qadar,” (Kasyifatus Saja, 12).
Sedangkan bagi kelompok Maturidiyyah, qadha dipahami sebagai penciptaan Allah atas sesuatu disertai penyempurnaan sesuai ilmu-Nya. Dengan kata lain, qadha adalah batasan yang Allah buat pada azali atas setiap makhluk dengan batasan yang ada pada semua makhluk itu seperti baik, buruk, memberi manfaat, menyebabkan mudarat, dan seterusnya.
وقول الأشاعرة هو المشهور وعلى كل فالقضاء قديم والقدر حادث بخلاف قول الماتريدية وقيل كل منهما بمعنى إرادته تعالى
“Pandangan ulama Asy’ariyyah cukup masyhur. Atas setiap pandangan itu, yang jelas qadha itu qadim (dulu tanpa awal). Sementara qadar itu hadits (baru). Pandangan ini berbeda dengan pandangan ulama Maturidiyyah. Ada ulama berkata bahwa qadha dan qadar adalah pengertian dari kehendak-Nya,” (Kasyifatus Saja, hal. 12).
Merujuk pada berbagai pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa qadha dan qadar adalah takdir dan ketetapan dari Allah Ta’ala. Pada dasarnya ia bersifat azali sejak penciptaan Qalam (pena) yang telah dititahkan oleh Allah Ta’ala untuk menuliskan takdir semesta. Ketetapan ini tidaklah meniadakan adanya usaha dari ikhtiar manusia, dengan kata lain takdir dari Allah Ta’ala terkait dengan usaha maksimal dari manusia.
Iman dengan Takdir: Rezeki dan Kematian
Kembali pada pembahasan di awal, bahwa rizki dan ajal merupakan takdir dari Allah Ta’ala, maka tidak bisa seorangpun untuk menolaknya. Terkait dengan rizki Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki.” (QS. An Nahl: 71).
Merujuk pada ayat-ayat ini maka jelas sekali bahwa rizki dari Allah Ta’ala sudah ditetapkan, namun demikian manusia memiliki usaha untuk menjemput rizki tersebut. Semakin dia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjemput rizki tersebut maka ia akan mendapatkan apa yang dia usahakan. Sehingga jika ada orang yang mengatakan bahwa rizki itu sudah ditentukan, jadi kita tidak perlu usaha maka perkataan ini tidak tepat. Karena perintah untuk berikhtiar sendiri sangat jelas, seperti dalam firmaNya:
“Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. QS. Al-Mulk:15.
Pada ayat yang lainnya juga disebutkan secara jelas:
Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. QS. Al-Jumu’ah: 10.
Merujuk pada pemahaman dari ayat ini adalah bahwa, rizki itu sudah ditetapkan Allah Ta’ala akan tetapi manusia juga diperintahkan untuk mencarinya, menjemputnya dan mendapatkan rizki yang halal.
Adapun berkaitan dengan ajal maka Allah Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185).
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An Nisa’: 78).
Selain dua ayat ini, banyak sekali ayat dan juga hadits yang menunjukan bahwa ajal atau kematian itu sudah ditentukan oleh Allah Ta’ala waktu dan tempatnya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,
”Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (bersatunya sperma dengan ovum), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula. Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) seperti itu pula. Kemudian seorang Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya. Maka demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Dia, sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli surga, sehingga jarak antara dirinya dengan surga hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka dengan itu ia memasukinya. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli neraka, sehingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli surga, maka dengan itu ia memasukinya”. HR. Bukhari dan Muslim.
Sebagaimana berkaitan dengan rizki yang sudah ditentukan maka ajal atau kematian juga sudah ditentukan. Namun ia tidak meniadakan ikhtiar manusia, maksudnya dalam konteks kematian jika ada orang yang buhun diri kemudia dia beralasan bahwa itu adalah takdir maka bisa dikatakan bahwa ketika seseorang bunuh diri dan meninggal dunia maka itu adalah takdir. Tetapi ia berdosa karena telah membunuh dirinya sendiri, sehingga ia akan disiksa di neraka, sebagaimana ayat dan juga sabda Nabi yang mulia:
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An Nisa: 29-30).
من قتل نفسه بشيء عذب به يوم القيامة
“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan di adzab dengan itu di hari kiamat”. HR. Bukhari dan Muslim.
Ayat dan hadits ini menunjukan larangan untuk bunuh diri serta ancaman bagi yang melakukannya. Walaupun mati adalah takdir, tetapi manusia memiliki kontrisbusi (kehendak) dalam prosesnya. Kehendak inilah yang kemudian menjadi sebab ia mendapatkan siksa.
Iman dengan Takdir: Jodoh dan Perceraian.
Berikutnya terkait dengan jodoh dan perceraian, bahwa keduanya adalah merupakan takdir dari Allah Ta’ala. Jodoh seseorang sudah ditentukan, sebagaimana firmanNya:
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga). QS. An-Nur: 26.
Ayat ini berbicara secara umum bahwa manusia itu diciptakan secara berpasang-pasangan , sebagaimana firmanNya:
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. Adz Dzariyat: 59). Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan,
جميع المخلوقات أزواج: سماء وأرض، وليل ونهار، وشمس وقمر، وبر وبحر، وضياء وظلام، وإيمان وكفر، وموت وحياة، وشقاء وسعادة، وجنة ونار، حتى الحيوانات [جن وإنس، ذكور وإناث] والنباتات
“Setiap makhluk itu berpasang-pasangan. Ada matahari dan bumi. Ada malam dan ada siang. Ada matahari dan ada rembulan. Ada daratan dan ada lautan. Ada terang dan ada gelap. Ada iman dan ada kafir. Ada kematian dan ada kehidupan. Ada kesengsaraan dan ada kebahagiaan. Ada surga dan ada neraka. Sampai pada hewan pun terdapat demikian. Ada juga jin dan ada manusia. Ada laki-laki dan ada perempuan. Ada pula berpasang-pasangan pada tanaman.”
Jika ada seseorang yang ternyata tidak menikah hingga meninggal dunia maka bukan berarti ia tidak ada pasangan. Adanya unsur kehendak dalam dirinya untuk tidak menikah atau hal lainnya yang menjadikan ia tidak berjumpa dengan pasangannya. Intinya adalah bahwa jodoh itu sudah takdir, namun manusia juga memiliki kehendakn untuk mencarinya dan menentukannya. Jika seseorang telah berusaha untuk mencari pasangan kemudian hingga menikah maka itulah jodohnya. Jika ternyata kemudian ia bercerai dan menikah dengan orang lain maka itupun takdirNya juga.
Perceraian sebagai takdir dari Allah Ta’ala juga merupakan ketetapan yang sudah pasti adanya. Namun ia juga tidak lepas dari kehendak dari manusia, kehidupan keluarga yang penuh dengan romantika; suka dan duka silih berganti, gelombang dan prahara rumah tangga yang sering menerjang terkadang berakhir dengan perceraian. Perceraian itu takdir ketika sudah terjadi, tetapi manusia memiliki kehendak untuk melakukannya atau bersabar dan tetap mempertahankan keluarganya.
Kesimpulan: Pembahasan mengenai jodoh, rizki, ajal dan perceraian terkait erat dengan tauhid atau keimanan seorang muslim yaitu iman (percaya/yakin) dengan takdir dari Allah Swt. Semua hal di dunia ini sudah ditakdirkan, tetap manusia memiliki kehendak dan ikhtiar. Kaya atau miskin, bahagia atau sengsara, menikah atau tetap sendiri, mempertahankan keluarga atau bercerai semua itu adalah pilihan bagi manusia.
Jika kita menganggap bahwa semua itu sudah menjadi takdirNya dan manusia hanya menjalankannya maka ia terbawa pada pemikiran Jabariyah atau Jabriah yang menganggap bahwa manusia hanya seperti boneka (wayang) yang dipaksa mengikuti takdir dari Allah Swt. Sedangkan bila ia berkeyakinan bahwa manusia memiliki kehendak penuh untuk melakukan segala sesuatu tanpa takdir Allah Swt, maka ia terjebak ke dalam pemikiran Qadariah di mana manusia seolah-olah bebas tanpa kuasa dariNya.
Maka, jalan tengah dari keduanya yang merupakan solusi terbaik adalah pendapat dari Ahlu Sunnah wal Jamaah yang meyakini bahwasanya semua takdir semesta telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala sejak awal mula penciptaan, tetapi manusia memiliki kehendak dan ikhtiar untuk menentukan dan memilih yang yang terbaik baginya. Istilah lainnnya menyatakan “Beralih dari satu takdir ke takdir lainnya”, karena kita tidak tahu yang mana takdir kita. Oleh karena itu tetap yakin dengan takdir Allah Ta’ala dan terus berusaha untuk menjadi yang terbaik dan melakukan hal-hal yang baik agar kehidupan kita berakhir dalam kebaikan yaitu di surga sebagai negeri keabadian.
Murtad Sebagai Alasan Perceraian Dalam Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah dalam penelitian ini mengkaji tentang kepastian hukum mengenai ketentuan murtad di dalam Kompilasi Hukum Islam harus diperoleh agar benar-benar dapat menjadi pedoman bagi setiap subjek hukum dalam melakukan perbuatan hukum dan dapat pula menjadi pedoman bagi para Hakim Pengadilan Agama yang memutus perkara perceraian dengan alasan murtad. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan analisis data deskriptif analisis.
Ketentuan hukum dengan murtad sebagai alasan perceraian sebagaimana termaktub dalam Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam, haruslah memenuhi ketiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan, kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum. Selanjutnya pertimbangan hakim menerapkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa alasan perceraian yang diajukan pemohon/penggugat telah dapat dikwalifikasikan kedalam maksud penjelasan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jis. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991, dengan demikian gugatan pemohon/penggugat agar Majelis Hakim menjatuhkan talak satu ba’in sughra pemohon/penggugat terhadap termohon/tergugat telah beralasan menurut hukum.
Para hakim di Mahkamah Syar’iyah pada umumnya dalam memberikan putusan mengambil dasar hukum pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Terhadap gugatan Pemohon/Penggugat baik yang diakui oleh Termohon/Tergugat maupun yang dibantah, karena perkara aquo mengenai perceraian maka kepada Pemohon/Penggugat tetap dibebankan untuk membuktikan kebenaran dalil-dalil gugatannya (Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 angka (4) huruf (e).
Alat bukti (P) merupakan akta otentik yang berdaya bukti sempurna dan mengikat yang memberi bukti bahwa Pemohon/Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang sah.
Apabila kesaksian yang diberikan oleh minimal dua orang saksi Pemohon/Penggugat didasarkan pengetahuan, penglihatan dan pendengaran langsung saksi dan keterangannya saling terkait satu dengan yang lain, maka berdasarkan ketentuan Pasal 309 R.Bg jo. Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, saksi-saksi tersebut dipandang telah memenuhi syarat materil dan formil suatu kesaksian, maka keterangan saksi-saksi tersebut merupakan alat bukti yang mempunyai nilai pembuktian.
Menurut pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa untuk melakukan suatu perceraian harus ada cukup alasan di mana suami isteri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri dan pengadilan telah berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Selanjutnya dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum lslam (KHl) menegaskan salah satu alasan perceraian yaitu adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara suami isteri dan tidak ada harapan lagi untuk kembali rukun.
Majelis Hakim berpendapat Berdasarkan fakta sebagaimana diuraikan, bahwa antara Pemohon/Penggugat dan Termohon/Tergugat sudah tidak ada lagi ketentraman dan keharmonisan dalam membina rumah tangga karena telah terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus yang menunjukkan tidak adanya keinginan dari Pemohon/Penggugat untuk menerima Termohon/Tergugat lagi, sehingga melanjutkan rumah tangga yang seperti ini justru akan menimbulkan mudharat yang lebih besar dari pada mashlahatnyakarena tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, saling mencintai dan saling menghormati sebagaimana diatur dalam Pasal 1 dan 33 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 77 ayat (1), (2), (3) dan (4) Kompilasi Hukum Islam sudah tidak terwujud sebagaimana diisyaratkan dalam al-Quran surat ar-Rum ayat 21:
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Kemudian Apabila berpisahnya Pemohon/Penggugat dengan Termohon/Tergugat memang merupakan sebuah kerusakan (mafsadah) bagi kehidupan rumah tangga Pemohon/Penggugat dengan Termohon/Tergugat. Akan tetapi, bila perkawinan mereka tetap dipertahankan, juga merupakan sebuah kerusakan (mafsadah). Karena, didalam rumah tangga Pemohon/Penggugat dengan Termohon/Tergugattidak terwujud lagi keharmonisan, ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan dikarenakan dalam rumah tangga Pemohon/Penggugat dengan Termohon/Tergugat selalu terjadi perselisihan dan pertengkaran. Oleh karena itu, Majelis Hakim berkesimpulan bila dua mafsadah (kerusakan) saling berhadapan, maka solusi hukumnya adalah melihat mafsadah (kerusakan) mana yang lebih sedikit akibat bahaya yang ditimbulkan dari keduanya. Hal ini, sesuai dengan kaedah fiqh yang berbunyi:
اذا تعارض المفسدتان ارتكب اخف بهما ضررين
Artinya: “Bila terjadi pertentangan di antara dua mafsadah/kerusakan, maka jalan keluarnya adalah melihat bahaya mana yang lebih sedikit akibat yang ditimbulkan dari keduanya”.
Selainitu, bila Pemohon/Penggugat dengan Termohon/Tergugat disatukan kembali dan kemudian menjalankan kehidupan rumah tangga sebagaimana biasanya memang ada kemaslahatan di dalamnya karena dapat menjaga mempertahan kankeutuhan rumah tangga dan menjaga martabat keluarga baik dari pihak Pemohon/Penggugat dengan Termohon/Tergugat. Menurut ajaran Islam, walaupun ada kemaslahatan tetapi juga disitu ada mafsadah (kerusakan), maka meninggalkan kerusakan lebih utama daripada mengambil kemaslahatan. Hal ini, sesuai dengan kaedah fiqh yang berbunyi:
ترك المفاسدمقدم على جلب المصالح
Artinya: “Meninggalkan kerusakan lebih utama daripada mengambil kemaslahatan”.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa alasan perceraian yang diajukan Pemohon/Penggugat telah dapat dikwalifikasikan kedalam maksud penjelasan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jis. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (k) Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991, dengan demikian gugatan Pemohon/Penggugat agar Majelis Hakim menjatuhkan talak satu ba’insughra Pemohon/Penggugat terhadap Termohon/Tergugat telah beralasan menurut hukum.
Dengan beralasannya gugatan Pemohon/Penggugat, maka berdasarkan Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, gugatan Pemohon/Penggugat patut dikabulkan.
Adapun murtad menurut teori hukum antar tata hukum belum mempunyai dampak yuridis jika tidak disertai dengan adanya suatu perpindahan sosial dari mereka yang murtad itu. Artinya, orang yang pindah agama itu benar-benar telah meninggalkan syariat agamanya semula beserta kewajiban-kewajibannya, sudah diterima oleh masyarakat agamanya yang baru dan benar-benar melaksanakan ajaran agama yang baru itu. Peralihan agama bukan sekedar persoalan pribadi dan persoalan keagamaan, tetapi harus merupakan peralihan sosial yuridis agar mempunyai akibat hukum di bidang status sosial seseorang.
Yang dimaksud dengan murtad dalam kaitannya dengan perceraian berdasarkan hukum positif di Indonesia, adalah murtad yang dilakukan dengan resmi, dengan alat-alat bukti yang dapat menimbulkan kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan Surat Mahkamah Islam Tinggi tanggal 7 Januari 1939 No. A/6/9 yang menyatakan bahwa murtad itu harus terbukti di hadapan sidang Pengadilan Agama. Dan murtad yang dilakukan tanpa ada paksaan, sehingga akibat dari murtad tersebut perkawinan tidak mungkin dapat berjalan dengan langgeng.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, segala macam bentuk perceraian, termasuk perceraian dengan alasan murtad, harus melalui proses pengadilan dan perceraian baru sah setelah mendapat keputusan dari Pengadilan. Bahkan Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perceraian dengan alasan murtad hanya dapat dikabulkan jika murtad tersebut mengakibatkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Inilah yang menjadi inti yang membedakan antara fasakhnya (batal) perkawinan akibat murtad menurut hukum Islam dengan perceraian dengan alasan murtad menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Dalam hukum positif di Indonesia, Pengadilan tidak berwenang untuk memutuskan suatu perkawinan akibat murtad (pindah agama) apabila tidak terjadi permasalahan rumah tangga, meskipun secara agama khususnya hukum Islam perbuatan tersebut menyebabkan perkawinan menjadi terfasakh (batal). Hakim hanya berwenang mengadili sebatas apa yang menjadi isi gugatan sehingga diluar isi gugatan hakim tidak berwenang untuk mengadili dan memutuskannya.
Berdasarkan kedua dalil ini dapatlah dipahami alasan perumusan redaksi Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam mengenai murtad sebagai alasan perceraian di pengadilan, yaitu peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Ketentuan Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam tersebut di atas bukan hanya menggantungkan syarat perceraian kepada alasan “telah terjadinya peralihan agama (murtad) oleh salah satu pihak dalam perkawinan”, tetapi secara terikat digantungkan pula kepada syarat “terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga akibat murtad tersebut”.
Artinya, alasan perceraian menurut Pasal 116 huruf (h) haruslah memenuhi 2 (dua) kualifikasi hukum yang tak terpisahkan, yaitu:
Adanya peralihan agama (murtad) oleh salah satu pihak dalam perkawinan, yaitu suami atau istri;
Adanya ketidakrukunan dalam rumah tangga akibat peralihan agama (murtad) tersebut.
Kualifikasi ini mengandung konsekuensi hukum bahwa peralihan agama (murtad) oleh satu pihak dalam perkawinan yang tidak mengakibatkan ketidakrukunan dalam rumah tangga, tidaklah dapat menjadi alasan perceraian. Jika rumah tangga tetap rukun setelah suami atau istri murtad, maka pihak yang tetap beragama Islam tidak mempunyai alasan apapun untuk mengajukan tuntutan perceraian kepada Pengadilan Agama. Dengan demikian, ketentuan Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam haruslah dibaca sebagai berikut: “Murtad (peralihan agama) dapat menjadi alasan perceraian, hanyalah jika kondisi setelah terjadinya murtad itu berdampak pada terjadinya suatu bentuk ketidakrukunan dalam rumah tangga pihak yang mengajukan perceraian”.
Bukan hanya murtadnya suami atau istri yang harus dibuktikan di Pengadilan. Ketidakrukunan dalam rumah tangga akibat murtad tersebut harus pula dibuktikan di Pengadilan oleh pihak yang mengajukan tuntutan perceraian. Pembuktian ketidakrukunan dalam rumah tangga para pihak berperkara harus dinilai Majelis Hakim di Pengadilan dengan terlebih dahulu menentukan kualitas perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri yang didalilkan oleh pihak yang mengajukan perkara dengan penilaian dan pertimbangan sebagai berikut :
Para pihak sudah tidak dapat didamaikan.
Ketika persidangan dibuka untuk pertama kalinya dalam perkara perceraian, Hakim berusaha mendamaikan pihak yang berpekara dengan cara menasehati mereka untuk hidup rukun kembali dalam kehidupan rumah tangga.
Usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dalam sidang terbuka untuk umum sebelum memasuki pemeriksaan terhadap pokok perkara permohonan cerai talak atau cerai gugat, bahkan dapat dilakukan secara intensif pada setiap persidangan.
Selain usaha mendamaikan yang dilakukan hakim di persidangan, kedua belah pihak juga harus menjalani proses mediasi yang dibantu oleh mediator.
Apabila para pihak tidak sepakat untuk berdamai maka dilanjutkan acara berikutnya yaitu pembacaan surat gugatan, mendengar jawaban tergugat dan penggugat dipersidangan, pemeriksaan alat bukti dan saksi-saksi dan pembacaan putusan.
Penilaian hakim mengenai telah terjadi perselisihan dapat dilakukan oleh hakim selama proses persidangan berlangsung, jika para pihak yang berperkara ternyata masih dapat rukun kembali atau apabila terlihat nyata dalam sikap para pihak rumah tangga mereka masih rukun, maka majelis hakim akan menilai bahwa kondisi yang demikian itu belum dapat dijadikan alasan perceraian.
Hakim dalam mengadili suatu perkara perceraian yang diajukan kepadanya harus mengetahui dengan jelas tentang fakta dan peristiwa mengenai ketidakrukunan tersebut, baik berupa perselisihan dan pertengkaran terus menerus maupun berupa ketidakharmonisan dalam rumah tangga tersebut. Fakta dan peristiwa tersebut harus dibuktikan dengan saksi saksi dan alat bukti yang diajukan para pihak.
Ketidakrukunan dalam rumah tangga bukanlah merupakan sebab utama, akan tetapi merupakan akibat dari sebab lain yang mendahuluinya, yaitu perbedaan agama akibat murtad yang menimbulkan perbedaan dan perselisihan antara suami dan istri. Murtadnya suami atau istri tersebut haruslah merupakan fakta dan peristiwa yang mengganggu keharmonisan rumah tangga sehingga menyebabkan keretakan rumah tangga dan keadaan tersebut tidak dapat dipulihkan kembali.
Jika murtadnya suami atau istri tersebut dapat dimaklumi oleh istri atau suaminya, atau jika suami istri secara bersama-sama dapat mengatur rumah tangga dengan baik dan rukun, maka tidak ada masalah dalam rumah tangga, dan karenanya perkawinan tersebut tidak dapat diputuskan dengan perceraian, karena perkawinan antara suami isteri dapat dipulihkan kembali.
Bala’ dan Musibah Turun karena Dosa dan Terangkat karena Taubat. Sebuah ungkapan bijak dalam bahasa Arab berbunyi,
ما نزل البلاء إلا بذنب وما رفع إلا بتوبة
“Setiap musibah yang turun disebabkan oleh dosa, dan tidak akan terangkat kecuali dengan taubat”
Hal ini perlu diperhatikan oleh setiap muslim, agar ia tidak terlalu mencari “kambing hitam” atas apa yang terjadi di dunia ini, akan tetapi hendaknya langsung introspeksi terhadap dirinya sendiri kemudian memperbaik dosa kesalahan tersebut serta mengiringi keburukan tersebut dengan segera melakukan kebaikan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻭَﺃَﺗْﺒِﻊِ ﺍﻟﺴَّﻴِّﺌَﺔَ ﺍﻟْﺤَﺴَﻨَﺔَ ﺗَﻤْﺤُﻬَﺎ
“Iringilah kejelakan dengan kebaikan, niscaya kebaikan kebaikan akan menghapuskannya.” Semua musibah dan kesusahan yang menimpa kita adalah karena dosa dan maksiat yang kita lakukan.
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (Asy Syura: 30).
Oleh karena itu kita dianjurkan agar memperbanyak bertaubat dan beristighfar agar dosa dihapus oleh Allah dan tidak Allah turunkan kepada kita dalam bentuk bala’ dan musibah.
Istighfar adalah sumber kemudahaan hidup dengan izin Allah, karenanya kita sangat dianjurkan memperbanyak istigfar di manapun dan kapan pun. Istigfar adalah amalan yang sangat mudah karena hanya menggerakkan lidah dan menghadirkan hati.
“Perbanyaklah istighfar di rumah-rumah, meja-meja makan, jalan-jalan, pasar-pasar dan majelis-majelis kalian di manapun kalian berada, karena kalian tidak tahu kapan turunnya pengampunan Allah Subhanahu wa Swt”
“Wahai anakku biasakan lisanmu dengan ucapan: [اللهم اغفر لي] ‘Allhummafirli’ karena Allah memiliki waktu-waktu yang tidak ditolak permintaan hamba-Nya di waktu itu.” Dengan taubat kepada Allah maka bala’ dan musibah akan diangkat. Imam Al-Qurthubi menukil dari Ibnu Shubaih dalam tafsirnya, bahwasanya ia berkata,
“Ada seorang laki-laki mengadu kepadanya Hasan Al-Bashri tentang kegersangan bumi maka beliau berkata kepadanya, “beristighfarlah kepada Allah!”
yang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan maka beliau berkata kepadanya, “beristighfarlah kepada Allah!”
yang lain lagi berkata kepadanya, “Doakanlah (aku) kepada Allah, agar Ia memberiku anak!” maka beliau mengatakan kepadanya, “beristighfarlah kepada Allah!”
Dan yang lain lagi mengadu tentang kekeringan kebunnya maka beliau mengatakan pula kepadanya, “beristighfarlah kepada Allah!”
Dan kami pun menganjurkan demikian kepada orang tersebut.
Maka Hasan Al-Bashri menjawab: “Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri, tetapi sungguh Allah telah berfirman dalam surat Nuh (ayat 10-12).
Dan dengan istigfar kita akan mendapatkan berbagai kemudahan, hati yang lapang dan rezeki
“dan hendaklah kamu meminta ampun [istigfar] kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian),niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan.” (Hud: 3)
Syaikh Muhammad Amin As-Syinqithi berkata menafsirkan ayat ini,
“Pendapat terkuat tentang yang dimaksud dengan kenikmatan adalah rezeki yang melimpah, kehidupan yang lapang, dan keselamatan di dunia dan yang dimaksud dengan waktu yang ditentukan adalah kematian.”
Hendaknya kita renungkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.”
Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan dan dosa. Dan menjadi keharusan seorang muslim dan muslimah untuk bertaubat atas segala kesalahan yang pernah dilakukan dan senantiasa meminta ampun kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Banyak ayat-ayat dalam Al-Quran yang menunjukkan bahwa kaum muslimin harus bertaubat dan beristighfar jika seseorang itu telah meninggalkan kewajiban. Allah Ta'ala berfirman :
"Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi." (QS Ghafir : 55)
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal." (QS Muhammad :19)
"Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus." (QS Al-Fath : 2)
Dengan demikian, taubat dengan istighfardilakukan karena meninggalkan perintah dan melakukan pelarangan, sebab sesungguhnya keduanya termasuk keburukan, kesalahan dan dosa.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
"Hai sekalian manusia bertaubatlah kalian kepada Allah dan mintalah ampunan darinya, sesungguhnya saya bertaubat dalam sehari seratus kali." (HR: Muslim).
Hakikat Taubat dan Istighfar
Sebagian besar orang menyangka bahwa istighfar dan taubat hanyalah cukup dengan lisan semata. Sebagian mereka mengucapkan, "Aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya." Tetapi, kalimat itu tidak membekas di dalam hati, juga tidak berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Sesungguhnya istighfar dan taubat jenis ini adalah perbuatan orang-orang dusta.
Para ulama banyak menjelaskan hakikat istighfar dan taubat. Di antaranya Imam ar-Raghib al-Ashfahani. Beliau menerangkan, "Dalam istilah syara’, taubat adalah meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali dosa yang telah dilakukan, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya, dan berusaha melakukan apa yang bisa diulangi (diganti). Jika keempat hal itu telah terpenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna."
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya "Tazkiyatun Nafs' menjelaskan, orang yang bertaubat dari dosa atau dari kekafiran sangat boleh jadi lebih utama daripada orang yang tidak pernah terjerumus pada kekafiran dan dosa, lalu ia tidak mau bertaubat.
Karena itu, bertaubat dari setiap dosa hukumnya adalah wajib. Jika dosa itu adalah dosa terhadap Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan tidak ada sangkut pautnya dengan anak cucu Adam, maka syarat taubatnya adalah, berhenti dari melakukan perbuatan dosa itu, menyesal telah melakukan perbuatan dosa tersebut, dan berjanji tidak akan pernah mengulanginya lagi untuk selama-lamanya.
Jika taubat itu berkaitan dengan manusia, selain tiga syarat di atas, maka hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau sejenisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalasnya atau meminta maaf kepadanya. Jika berupa ghibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf.
Sedangkan istighfar, sebagaimana diterangkan Imam ar-Raghib al-Ashfahani adalah "Meminta (ampunan) dengan ucapan dan perbuatan. AllahTa'ala berfirman,
"Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun." (QS Nuh: 10).
Tidaklah berarti bahwa mereka diperintahkan meminta ampun hanya dengan lisan semata, tetapi dengan lisan dan perbuatan. Bahkan hingga dikatakan, memohon ampun (istighfar) hanya dengan lisan saja tanpa disertai perbuatan adalah pekerjaan para pendusta.
Taubat dan istighfar pun memiliki keutamaan dan faedah, di antaranya :
1. Bertaubat dapat meraih kecintaan Allah Ta'ala. Allah berfirman
(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala,
"Ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS Ghafir : 7-8)
3. Orang yg bertaubat ditambah rezekinya oleh Allah.
Allah berfirman tentang perkataan Nabi Nuh ‘alaihis salam kepada kaumnya:
“Aku (Nuh) katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai” (QS Nuh : 10-12)
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata :
” Maknanya, jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepadaNya dan kalian senantiasa menta’atiNya, niscaya Ia akan membanyakkan rizki kalian menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian, membanyakan harta dan anak-anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang di dalamnya bermacam-macam buah-buahan untuk kalian serta mengalirkan sungai-sungai diantara kebun-kebun itu (untuk kalian)." (Tafsir Ibnu Katsir 4/329)
4. Orang yang bertaubat dari kemaksiatan yang dia lakukan maka akan keburukan-keburukannya akan diubah oleh Allah menjadi kebaikan dan memperberat timbangan kebaikannya pada hari kiamat kelak. Allah berfirman :
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Al-Furqan : 70)
5. Taubat bukan hanya menghapuskan dosa-dosa, bahkan merupakan sebab masuk surga
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS At-Tahriim : 8)
6. Taubat merupakan sebab datangnya kemenangan. Allah Ta'ala berfirman :
“Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun” (QS Al-Anfaal : 33)
Lantas kapan pintu taubat itu ditutup? Allah Ta'ala akan selalu menerima taubat hamba-Nya selama ajal belum menjemput orang tersebut. Apabila roh telah sampai ke hulqum (tenggorokan ) maka taubat seseorang itu sudah tidak berguna lagi. Perlu diingat, bahwa Allah akan selalu menerima taubat hamba-Nya sebesar apapun dosa itu.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah SWT menerima taubat seorang hamba selama roh belum sampai ke tenggorrokan ( HR: Ahmad,
Ibnu Majah, Tirmizi dan ia berkata : hadis hasan ).
Pintu taubat juga sudah tertutup apabila matahari telah terbit dari arah barat. Rasululllah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Barang siapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari tempat tenggelamnya (sebelah barat ), niscaya Allah SWT akan menerima taubatnya. (HR: Muslim )
Walau demikian, janganlah kita menunda-nunda taubat. Karena taswif (menunda-nunda ) adalah tanda orang yang tidak beruntung.
5 Keutamaan Istighfar, dari Pembuka Pintu Rezeki hingga Taubat. Istighfar atau Astaghfirullah al-'Adzim merupakan salah satu kalimat istimewa dalam Islam. Kalimat ini memiliki keutamaan serta manfaat bagi yang terus melafalkannya. Kalimat istighfar berdasarkan Hadist Riwayat Muslim Nomor 591 adalah "Astagfirullah... Astagfirullah" yang artinya "Aku memohon ampun kepada Allah. Aku memohon ampun kepada Allah." Berikut 5 keutamaan dan manfaat istighfar kepada Allah :
1. Pintu Rezeki
Mengamalkan kalimat istighfar dapat membuka pintu rezeki seseorang. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Surat Nuh (10-12) yang artinya:
"Maka aku katakan kepada mereka 'mohon ampun (istighfar) kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai."
2. Turunkan Hujan
Selain dapat membuka pintu rezeki, Allah SWT juga berjanji akan mengirimkan hujan kepada umatnya yang mengucap istighfar sebagai kalimat taubat. Dengan hujan, Allah SWT menyuburkan berbagai jenis tanaman dan kebun sebagai makanan.
3. Taubat
Keutamaan istighfar kepada Allah SWT lainnya adalah menggugurkan dosa dalam taubat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam Hadist Riwayat Bukhari nomor 6307 yang artinya:"Demi Allah, aku sungguh beristighfar pada Allah dan bertaubat pada-Nya dalam sehari lebih dari 70 kali."
4. Rasa Malas
Rasa malas bisa datang pada siapa saja. Hal ini tentu dapat menghalangi kegiatan seseorang, misalnya dalam beribadah.Namun, mengucap istighfar dapat menghilangkan rasa malas tersebut. Dalam Hadist Riwayat Muslim nomor 2702, Nabi Muhammad SAW juga bersabda yang artinya: "Ketika hatiku malas, aku beristighfar pada Allah dalam sehari sebanyak 100 kali."
5. Dimudahkan Urusannya
Keutamaan istighfar juga dijanjikan Allah SWT, dapat memberikan jalan keluar dari segala masalah hidup yang terjadi. Kalimat istighfar pun bisa menambah rezeki seseorang. Dalam Hadist Riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya: "Barang siapa memperbanyak istighfar, niscaya Allah memberikan jalan keluar bagi setiap kesedihannya, kelapangan untuk setiap kesempitannya, dan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka."