This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Senin, 18 Juli 2022

Tauhid, Taqwa & Karakteristik Ahli Surga

Tauhid, Taqwa & Karakteristik Ahli Surga, Bismillah. Alhamdulillah. Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad wa ala ali Sayyidina Muhammad.

اللهم إني اسئلك رضاك والجنة واعوذ بك من سختك والنار برحمتك ياارحم الراحمين

Allahumma, Ya Allah, sungguh aku mohon kepada-Mu ridlo-Mu dan surga-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari murka-Mu dan siksa api neraka, dengan luasnya rahmat-Mu wahai Dzat yang sebaik-baik pemberi kasih sayang. Aamiin.

Hidayah Al-Qur’an surah Al-A‘rāf/7 ayat 42-49

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَآ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

Dan orang-orang yang beriman serta mengerjakan kebajikan, Kami tidak akan membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Mereka itulah penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.

Tafsir Thalili

(42) Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang beriman dan beramal saleh sesuai dengan kesanggupannya akan menjadi penghuni surga. Hal ini sebagai balasan mereka mengimani Allah dan membenarkan kerasulan Nabi Muhammad, yang telah menyampaikan wahyu dan ajaran agama, dengan penuh ketaatan mengerjakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, mereka tidak akan dikeluarkan dari surga dan segala kenikmatan yang ada tidak akan dicabut untuk selama-lamanya.

Allah tidak akan memikulkan kewajiban kepada seseorang melainkan sesuai kesanggupannya. Semua perintah dan larangan Allah, tidak berat dan tidak pula memberatkan. Amal saleh yang akan menjadikan seseorang sebagai penghuni surga adalah mudah, tidak sulit dan tidak susah. Agama Islam adalah agama yang mudah dikerjakan, bukan agama yang berat. Mudah dikerjakan oleh laki-laki – perempuan, tua – muda, dan orang sehat – orang sakit, bahkan mudah dikerjakan oleh semua lapisan masyarakat, kapanpun di mana pun mereka berada.

QS. Al-A‘raf/ 7: 43

وَنَزَعْنَا مَا فِيْ صُدُوْرِهِمْ مِّنْ غِلٍّ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهِمُ الْاَنْهٰرُۚ وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ هَدٰىنَا لِهٰذَاۗ وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَآ اَنْ هَدٰىنَا اللّٰهُ ۚ لَقَدْ جَاۤءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّۗ وَنُوْدُوْٓا اَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ اُوْرِثْتُمُوْهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

dan Kami mencabut rasa dendam dari dalam dada mereka, di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kami ke (surga) ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak menunjukkan kami. Sesungguhnya rasul-rasul Tuhan kami telah datang membawa kebenaran.” Diserukan kepada mereka, “Itulah surga yang telah diwariskan kepadamu, karena apa yang telah kamu kerjakan.”

Tafsir Thalili

(43) Ayat ini menerangkan bagaimana keadaan penghuni surga yang jauh berbeda dari keadaan penghuni neraka, seperti siang dan malam. Penghuni surga tidak mempunyai rasa dendam dan benci. Allah membuang rasa dendam dan dengki itu dari dalam dada mereka. Allah menumbuhkan rasa kasih sayang, santun, menghormati, dan bergembira. Kebalikan dari penghuni neraka, mereka bermusuhan satu dengan yang lain, tuntut-menuntut, tuduh-menuduh dan hina-menghinakan. Penghuni surga bersenang-senang dan bergembira dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, tetapi penghuni neraka dalam keadaan susah dan bermuram durja, mereka diliputi oleh api yang bernyala-nyala. Penghuni surga senantiasa bersyukur dan berterimakasih, menunjukkan kebahagiaan dan kegembiraan mereka.

Mereka memuji Allah yang telah memberinya petunjuk selama hidup di dunia sehingga mereka menjadi orang yang beriman dan beramal saleh yang menyebabkan mereka menjadi penghuni surga. Kalau bukan karena petunjuk Allah, tentu mereka tidak mempercayai Rasul Allah, atau mereka akan menjadi orang yang zalim dan durhaka. Karena Rasul diutus untuk membawa ajaran-ajaran yang benar, menuntun umatnya mempercayai Allah Yang Maha Esa dan Maha Berkuasa dan mendorong mereka untuk mengerjakan amal saleh. Kemudian penghuni surga mendengar seruan dari malaikat, suatu seruan yang sangat menyenangkan dan menggembirakan, seruan yang merupakan penghormatan dan kemuliaan, yaitu inilah tempatmu yang bernama surga yang sudah diwariskan Allah untukmu sebagai balasan dari amal salehmu yang kamu kerjakan selama hidup di dunia.

Masuk surga adalah balasan dari amal saleh yang dilandasi iman kepada Allah. Juga karena adanya rahmat dari Allah. Kalau rahmat dari Allah tidak ada, seseorang belum tentu akan masuk surga, yaitu suatu tempat kesenangan yang disediakan Allah bagi hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh, tetapi bila tidak ada rahmat Allah, tentu seseorang tidak akan masuk surga. Sebab tidaklah sebanding amal saleh dengan nikmat surga itu.

Dari kata-kata “Kami wariskan” terkandung di dalamnya rahmat Allah. Tidak mungkin seseorang masuk surga, walaupun besar amal salehnya tanpa adanya rahmat Allah baginya. Sabda Rasulullah:

لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، قَالُوْا: وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ الله ُبِفَضْلِهِ وَرَحْمَتِهِ (رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة)

Amal perbuatan (seseorang) tidak akan memasukkannya ke dalam surga. Mereka (para sahabat) bertanya, “Apakah engkau juga begitu ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Juga saya begitu, kecuali kalau Allah memberikan kepada saya rahmat dan karunia-Nya.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

QS. Al-A‘raf/7: 44

وَنَادٰٓى اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ اَصْحٰبَ النَّارِ اَنْ قَدْ وَجَدْنَا مَا وَعَدَنَا رَبُّنَا حَقًّا فَهَلْ وَجَدْتُّمْ مَّا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا ۗقَالُوْا نَعَمْۚ فَاَذَّنَ مُؤَذِّنٌۢ بَيْنَهُمْ اَنْ لَّعْنَةُ اللّٰهِ عَلَى الظّٰلِمِيْنَ

Dan para penghuni surga menyeru penghuni-penghuni neraka, “Sungguh, kami telah memperoleh apa yang dijanjikan Tuhan kepada kami itu benar. Apakah kamu telah memperoleh apa yang dijanjikan Tuhan kepadamu itu benar?” Mereka menjawab, “Benar.” Kemudian penyeru (malaikat) mengumumkan di antara mereka, “Laknat Allah bagi orang-orang zalim,

Tafsir Thalili

(44) Ayat ini menerangkan bahwa kelak di akhirat akan terjadi dialog antara penghuni surga dan penghuni neraka. Hal ini terjadi, setelah penghuni surga menetap dalam surga dan penghuni neraka sudah menetap dalam neraka. Penghuni surga dengan segala kenikmatan dan kesenangan yang diperoleh, dan dengan wajah berseri-seri menghadapkan mukanya ke arah penghuni neraka yang sedang menderita karena kedurhakaan dan kekafirannya kepada Allah dan kepada Rasulullah, seraya berkata, “Sesungguhnya kami telah memperoleh apa yang dijanjikan Allah kepada kami yang disampaikan Rasul-Nya. Kami telah memperoleh kesenangan, kemuliaan yang abadi yang tidak dapat kami ceritakan bagaimana nikmatnya dalam surga. Apakah kamu sudah memperoleh azab dan siksaan?” Mereka menjawab, “Benar, kami sedang menerima azab, sebagaimana yang telah diancamkan kepada kami dengan perantaraan Rasul-Nya.” Di tengah-tengah percakapan yang seperti itu, terdengarlah satu seruan dari malaikat yang mengatakan, “Kutukan Allah terhadap orang zalim yang menganiaya dirinya sendiri yang tidak mau menerima kasih sayang Allah semasa di dunia, yaitu memasuki surga yang sudah dijanjikan Allah.”

Al-Qur’an surah Al-A‘rāf ayat 45

اَلَّذِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَيَبْغُوْنَهَا عِوَجًاۚ وَهُمْ بِالْاٰخِرَةِ كٰفِرُوْنَۘ

(yaitu) orang-orang yang menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah dan ingin membelokkannya. Mereka itulah yang mengingkari kehidupan akhirat.”

Tafsir Thalili

(45) Ayat ini menjelaskan, siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim. Yaitu orang-orang yang selalu berusaha melarang diri mereka sendiri ataupun orang lain untuk menuruti jalan Allah sebagaimana yang telah disampaikan Rasul Allah. Melarang mengikuti ajaran-ajaran agama yang benar, untuk mencari keridaan Allah. Berusaha menyesatkan orang lain dari jalan yang benar.

Selain dari itu termasuk orang yang zalim, ialah orang-orang yang berusaha menyelewengkan ajaran agama, tidak menurut ajaran yang sebenarnya. Cara yang mereka pakai untuk tujuan tersebut bermacam-macam. Di antara yang paling besar dosanya ialah menumbuhkan penyakit syirik. Tauhid diubah menjadi syirik dengan mencampuradukkan ajaran tauhid dengan ajaran agama lain dalam beribadah dan berdoa. Mempersekutukan Allah dengan berhala dan lain-lain atau dengan menjadikan berhala itu sebagai wasilah kepada Allah, perbuatan itu adalah termasuk syirik dan jelas dilarang. Firman Allah:

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ

Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar). (al-Bayyinah/98: 5); Sebenarnya orang-orang yang zalim itu termasuk orang-orang yang tak percaya kepada akhirat. Mereka tidak percaya datangnya hari Kiamat, tidak percaya dengan hari pembalasan dan lain-lain yang berhubungan dengan hari Kiamat.

Al-Qur’an surah Al-A‘raf ayat 46

وَبَيْنَهُمَا حِجَابٌۚ وَعَلَى الْاَعْرَافِ رِجَالٌ يَّعْرِفُوْنَ كُلًّا ۢ بِسِيْمٰىهُمْۚ وَنَادَوْا اَصْحٰبَ الْجَنَّةِ اَنْ سَلٰمٌ عَلَيْكُمْۗ لَمْ يَدْخُلُوْهَا وَهُمْ يَطْمَعُوْنَ

Dan di antara keduanya (penghuni surga dan neraka) ada tabir dan di atas A‘raf (tempat yang tertinggi) ada orang-orang yang saling mengenal, masing-masing dengan tanda-tandanya. Mereka menyeru penghuni surga, “Salamun ‘alaikum” (salam sejahtera bagimu). Mereka belum dapat masuk, tetapi mereka ingin segera (masuk).

Tafsir Thalili

(46) Ayat ini menerangkan bahwa antara penghuni surga dan penghuni neraka ada batas yang sangat kokoh. Batas itu berupa pagar tembok yang tidak memungkinkan masing-masing mereka untuk keluar dan untuk berpindah tempat. Di atas pagar tembok itu ada suatu tempat yang tertinggi, tempat orang-orang yang belum dimasukkan ke dalam surga. Mereka bertahan di sana menunggu keputusan dari Allah. Dari tempat yang tinggi itu mereka bisa melihat penghuni surga dan melihat penghuni neraka. Kedua penghuni itu kenal dengan tanda yang ada pada mereka masing-masing. Seperti mengenal mukanya yang telah disifatkan Allah dalam Al-Qur′an. Firman Allah:

وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ مُّسْفِرَةٌۙ ٣٨ ضَاحِكَةٌ مُّسْتَبْشِرَةٌ ۚ ٣٩ وَوُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌۙ ٤٠ تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ ۗ ٤١ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ ٤٢

Pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan pada hari itu ada (pula) wajah-wajah yang tertutup debu (suram), tertutup oleh kegelapan (ditimpa kehinaan dan kesusahan). Mereka itulah orang-orang kafir yang durhaka. (‘Abasa/80: 38-42); Mereka yang tinggal di tempat yang tinggi di atas pagar batas itu mempunyai kebaikan yang seimbang dengan kejahatannya, belum bisa dimasukkan ke dalam surga, tetapi tidak menjadi penghuni neraka. Mereka untuk sementara ditempatkan di sana, sambil menunggu rahmat dan karunia Allah untuk dapat masuk ke dalam surga.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud, bahwa Rasulullah bersabda:

تُوْضَعُ الْمَوَازِيْنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَتُوْزَنُ الْحَسَنَاتُ وَالسَّيِّئَاتُ فَمَنْ رَجَحَتْ حَسَنَاتُهُ عَلَى سَيِّئَاتِهِ مِثْقَالَ حَبَّةٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ رَجَحَتْ سَيِّئَاتُهُ عَلَى حَسَنَاتِهِ مِثْقَالَ حَبَّةٍ دَخَلَ النَّارَ. قِيْلَ وَمَنِ اسْتَوَتْ حَسَنَاتُهُ وَسَيِّئَاتُهُ، قَالَ: أُوْلٰئِكَ أَصْحَابُ اْلأَعْرَافِ لَمْ يَدْخُلُوْهَا وَهُمْ يَطْمَعُوْنَ (رواه ابن جرير عن ابن مسعود)

“Diletakkan timbangan pada hari Kiamat lalu ditimbanglah semua kebaikan dan kejahatan. Maka orang-orang yang lebih berat timbangan kebaikannya dari pada timbangan kejahatannya meskipun sebesar biji sawi/atom dia akan masuk surga”. Dan orang yang lebih berat timbangan kejahatannya dari pada timbangan kebaikannya meskipun sebesar biji sawi/atom, ia akan masuk neraka. Dikatakan kepada Rasulullah, bagaimana orang yang sama timbangan kebaikannya dengan timbangan kejahatannya? Rasulullah menjawab: mereka itulah penghuni A‘raf, mereka itu belum memasuki surga tetapi mereka sangat ingin memasukinya.” (Riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu Mas‘ud);Sesudah itu Ibnu Mas‘ud berkata, “sesungguhnya timbangan itu bisa berat dan bisa ringan oleh sebuah biji yang kecil saja. Siapa yang timbangan kebaikan dan kejahatannya sama-sama berat, mereka penghuni A‘raf, mereka berdiri menunggu di atas jembatan.

Kemudian mereka dipalingkan melihat penghuni surga dan neraka. Apabila mereka melihat penghuni surga, mereka mengucapkan: “Keselamatan dan kesejahteraaan bagimu. Apabila pandangan mereka dipalingkan ke kiri, mereka melihat penghuni neraka, seraya berkata, “Ya Tuhan kami janganlah Engkau tempatkan kami bersama dengan orang-orang zalim”. Mereka sama-sama berlindung diri kepada Allah dari tempat mereka. Ibnu Mas‘µd berkata, “Orang yang mempunyai kebaikan, mereka diberi cahaya yang menerangi bagian depan dan kanan mereka. Tiap-tiap orang dan tiap-tiap umat diberi cahaya setibanya mereka di atas jembatan, Allah padamkan cahaya orang-orang munafik laki-laki dan munafik perempuan. Tatkala penghuni surga melihat apa yang di hadapan orang-orang munafik, mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah cahaya kami.” Adapun penghuni A‘raf, cahaya mereka ada di tangan mereka, tidak akan tanggal. Pada waktu itu Allah berfirman :

لَمْ يَدْخُلُوْهَا وَهُمْ يَطْمَعُوْنَ

Mereka belum dapat masuk, tetapi mereka ingin segera (masuk). (al-A‘raf/7: 46); Yang dimaksud dalam ayat ini, bahwa penghuni A‘raf itu menyeru penghuni surga, mengucapkan selamat sejahtera, karena kerinduan mereka atas nikmat yang telah diberikan Allah kepada penghuni surga. Mereka belum juga dapat masuk ke dalamnya, sedang hati mereka sudah sangat rindu untuk masuk.

QS. Al-A‘raf/7: 47

۞ وَاِذَا صُرِفَتْ اَبْصَارُهُمْ تِلْقَاۤءَ اَصْحٰبِ النَّارِۙ قَالُوْا رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا مَعَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَ

Dan apabila pandangan mereka dialihkan ke arah penghuni neraka, mereka berkata, “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau tempatkan kami bersama-sama orang-orang zalim itu.”

Tafsir Thalili

(47) Ayat ini menerangkan, bila penghuni A‘raf ini mengalihkan pandangannya ke arah penghuni neraka, timbullah ketakutan mereka, lalu memohon kepada Allah agar mereka jangan dimasukkan bersama orang-orang yang zalim itu ke dalam neraka. Sedangkan melihat penghuni surga adalah kesenangan dan kesukaan mereka. Karena itu ketika mereka melihat surga mengucapkan salam sejahtera, karena kerinduan hati mereka melihat kesenangan yang ada di dalamnya. Jadi maksud ayat ini adalah menumbuhkan rasa takut dan gentar kepada penghuni A‘r±f itu, agar dapat dijadikan pelajaran bagi manusia untuk berhati-hati agar jangan mengerjakan pekerjaan yang dapat mendatangkan dosa.

QS. Al-A‘raf :48

وَنَادٰٓى اَصْحٰبُ الْاَعْرَافِ رِجَالًا يَّعْرِفُوْنَهُمْ بِسِيْمٰىهُمْ قَالُوْا مَآ اَغْنٰى عَنْكُمْ جَمْعُكُمْ وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُوْنَ

Dan orang-orang di atas A‘raf (tempat yang tertinggi) menyeru orang-orang yang mereka kenal dengan tanda-tandanya sambil berkata, “Harta yang kamu kumpulkan dan apa yang kamu sombongkan, (ternyata) tidak ada manfaatnya buat kamu.

Tafsir Thalili

(48) Ayat ini menerangkan dialog penghuni A‘r±f dengan penghuni neraka yang terdiri dari orang-orang yang sombong dan takabur pada masa hidup di dunia. Orang-orang yang merasa mulia karena kekayaan dan hartanya yang banyak, merasa bangga hidup di dunia, memandang hina terhadap orang-orang mukmin yang miskin dan lemah, yaitu lemah kekuatan dan lemah kedudukan, dan sedikit pengikutnya. Mereka selalu membanggakan, bahwa siapa yang hidup kaya dan mulia, serta berkuasa di dunia, itulah orang-orang yang akan berbahagia di akhirat dan terhindar dari azab Allah. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya:

وَمَآ اَرْسَلْنَا فِيْ قَرْيَةٍ مِّنْ نَّذِيْرٍ اِلَّا قَالَ مُتْرَفُوْهَآ ۙاِنَّا بِمَآ اُرْسِلْتُمْ بِهٖ كٰفِرُوْنَ ٣٤ وَقَالُوْا نَحْنُ اَكْثَرُ اَمْوَالًا وَّاَوْلَادًاۙ وَّمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِيْنَ ٣٥ 

Dan setiap Kamimengutus seorang pemberi peringatan kepada suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) berkata, ”Kami benar-benar mengingkari apa yang kamu sampaikan sebagai utusan.” Dan mereka berkata, ”Kami memiliki lebih banyak harta dan anak-anak (dari pada kamu) dan kami tidak akan diazab.” (Sab±/34: 34-35);Penghuni A‘r±f mengenali mereka dengan tanda-tanda yang ada pada mereka, seperti yang bermuka hitam dan berdebu serta tanda-tanda yang dapat dikenal semasa hidup di dunia, seperti pemimpin Quraisy dan golongan-golongannya yang menjadi musuh Islam, dan selalu menindas dan menganiaya orang-orang Islam, di antaranya Abu Jahal, Walid bin Mugirah, A¡ bin Wail dan lain-lain. Penghuni A‘r±f mengatakan kepada mereka, “Tidakkah dapat menolongmu dari siksaan api neraka harta kekayaanmu yang banyak, kesombonganmu terhadap orang-orang mukmin yang kamu anggap lemah. Tidak adakah faedah dan pahala yang kamu harapkan, sehingga kamu terlepas dari siksa yang pedih.”

QS. Al-A‘raf/7: 9

اَهٰٓؤُلَاۤءِ الَّذِيْنَ اَقْسَمْتُمْ لَا يَنَالُهُمُ اللّٰهُ بِرَحْمَةٍۗ اُدْخُلُوا الْجَنَّةَ لَا خَوْفٌ عَلَيْكُمْ وَلَآ اَنْتُمْ تَحْزَنُوْنَ

Itukah orang-orang yang kamu telah bersumpah, bahwa mereka tidak akan mendapat rahmat Allah?” (Allah berfirman), “Masuklah kamu ke dalam surga! Tidak ada rasa takut padamu dan kamu tidak pula akan bersedih hati.”

Tafsir Thalili

Ketika pembicaraan tentang golongan mukmin yang dulu mereka anggap lemah, miskin, dan hina, penghuni A’raf mengajukan pertanyaan dengan nada mencela dan menghina, “Wahai penghuni neraka! Itukah orang-orang yang kamu telah berani bersumpah, berlagak sombong, dan menghina mereka bahwa mereka tidak akan mendapat rahmat Allah?” Kenyataannya sekarang, merekalah yang beruntung dan mendapatkan rahmat Allah. Kemudian sesudah percakapan itu Allah mempersilakan penghuni A’raf masuk ke dalam surga, sesudah tertahan sementara di tempat itu. Allah berfirman, “Masuklah kamu ke dalam surga! Tidak ada rasa takut padamu dan kamu tidak pula akan bersedih hati.”

والله المستعان واعلم

اللهم ارحمنا بالقران العظيم


Tauhid, Taqwa & Karakteristik Ahli Surga, Referensi sebagai berikut ini ;









Doa yang Dibaca Penghuni Surga Saat Sapa Penghuni Neraka

Calon ahli suarga mempunyai sejumlah ciri saat hidupnya di dunia. Begitu pula, calon ahli neraka juga mempunyai ciri. Ada empat tanda atau ciri manusia yang akan masuk surga. Sebaliknya, ada empat tanda seseorang yang akan menjadi penghuni neraka,  keempat tanda atau ciri ahli surga itu adalah wajah yang berseri-seri; lisan yang fasih/lisan yang omongannya/janjinya bisa dipegang; hati yang penuh dengan ketakwaan; dan tangan yang senang memberi. Sebaliknya, empat tanda calon ahli neraka adalah wajah yang selalu cemberut; lisan yang keji atau kotor; hati yang keras; dan tangan yang pelit.seberat apa pun ujian yang datang, seorang Muslim harus sabar dan ikhlas menghadapinya, serta selalu berpikir dan bersikap positif dan optimistis. Ia lalu mengutip Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, “Jangan kamu minta mati kepada Allah karena masalah yang Allah berikan kepadamu, akan tetapi lebih baik engkau  berdoalah kepada Allah sebagai berikut, ‘Ya Allah, hidupkan aku selama Engkau izinkan aku hidup dalam keadaan yang  baik buat aku, dan wafatkanlah aku apabila Engkau kehendaki aku wafat dalam keadaan yang baik buat aku.”

Kaum Muslimin agar selalu membiasakan amal perbuatan yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu sebagai ikhtiar agar ia wafat dalam keadaan yang baik (husnul khatimah). Barang siapa yang hidup dalam satu kebiasaan, maka dia akan mati pada kebiasaannya itu pula.

Surat Al Araf ayat 43-47 menceritakan bagaimana kondisi ahli surga dan neraka. Keduanya saling menyeru, ahli surga bersyukur menjadi penghuninya dan ahli neraka menyesal telah menjadi orang zalim ketika di dunia.  

وَنَادَىٰ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابَ النَّارِ أَنْ قَدْ وَجَدْنَا مَا وَعَدَنَا رَبُّنَا حَقًّا فَهَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا ۖ قَالُوا نَعَمْ ۚ فَأَذَّنَ مُؤَذِّنٌ بَيْنَهُمْ أَنْ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ

"Dan para penghuni surga menyeru penghuni-penghuni neraka. "Sesungguhnya, kami telah memperoleh apa yang dijanjikan Tuhan kepada kami itu benar. Apakah kamu telah memperoleh apa yang dijanjikan Tuhan kepadamu itu benar?" Mereka menjawab, "Benar." Kemudian menyuruh malaikat menggumumkan diantara mereka "laknat Allah bagi orang-orang zalim." (QS Al Araf 43). 

Orang yang zalim itu seperti yang dijelaskan Al Araf ayat 45 yaitu orang yang menghalang-halangi orang lain dari jalan Allah dan ingin membelokkanya.  وَهُمْ بِالْآخِرَةِ كَافِرُونَ  "Mereka itulah yang mengingkari kehidupan akhirat." (Al-Araf ayat 45).

Begitu malangnya mereka berada di neraka, lalu para ahli surga berdoa. Dan doa ini abadikan dalam ayat 47.

رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ rabbana la taj'alna ma'al qaumizh zhalimin “Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau tempatkanlah kami bersama kaum yang  suka berbuat dzalim di dunia dahulu.” (Tarjamah Tafsiriyah QS Al Araf 47)  

Menurut Ustadz Rafiq Jauhary, jangan sekalipun mengira bahwa kelak di akhirat orang shalih yang menghuni surga yang tinggi dengan orang zalim yang menghuni neraka akan tetap menjalin hubungan baik. Mereka akan saling bermusuhan sekalipun sebelumnya di dunia mereka adalah kekasih atau kerabat dekat. Hal ini dijelaskan dalam surah az-Zukhruf ayat 67. Menurutnya, tidak ada yang bisa diperbuat penghuni surga untuk menolong para penghuni neraka. Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, para penghuni surga ketika pandangannya diperlihatkan kondisi pelaku kezaliman, di neraka yang wajahnya telah menghitam dan matanya biru membara. "Mereka berdoa kepada Allah agar tidak digolongkan bersama dengan para pelaku kezaliman.

Referensi ssebagai berikut ini ;









Makan Harta Orang Tua yang Berpenghasilan Haram

Makan Harta Orang Tua yang Berpenghasilan Haram, Harta haram mempunyai pengaruh yang sangat besar pada setiap individu. Harta semacam ini bisa berpengaruh pada do’a, yaitu do’a sulit terkabul karena memakan harta haram. Juga amalan sholih jadi menurun karena mengonsumsi rizki yang tidak halal. Serta di akhirat, daging yang tumbuh dari hasil haram lebih pantas disantap oleh neraka, wallahul musta’an. Lalu bolehkah harta orang tua yang berpenghasilan haram dinikmati oleh anak?

Harta yang Haram

Seperti kita telah ketahui bahwa harta haram itu ada dua macam sebagaimana dibagi oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu (1) harta yang haram karena zatnya seperti bangkai, daging babi, dan darah; dan (2) harta dari pekerjaan haram seperti dari riba, jual beli yang mengandung unsur ghoror atau ketidakjelasan dan jual beli dengan melakukan tindak penipuan. Lihat Majmu’ Al Fatawa, 21: 56-57.

Dan ada kaedah penting tentang harta haram jenis kedua yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,

أن ما حُرِّم لكسبه فهو حرام على الكاسب فقط، دون مَن أخذه منه بطريق مباح.

“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh)” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)

Memakan Harta Haram dari Orang Tua

Para ulama menjelaskan bahwa memakan harta orang tua yang berpenghasilan yang haram, maka perlu dirinci sebagai berikut:

  1. Jika seluruh sumber pendapatan berasal dari penghasilan yang haram, maka tidak boleh anak menikmati penghasilan tersebut jika ia mampu untuk bekerja baik penghasilannya berasal dari harta haram seluruhnya atau mayoritasnya.
  2. Jika anak dalam keadaan terpaksa memanfaatkan penghasilan orang tua dan tidak ada cara lain untuk mencukupi kebutuhan anak, maka tidaklah mengapa memakan harta seperti itu dan dosa ketika itu untuk orang tuanya saja. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah: 173). Yang dimaksud keadaan darurat di sini adalah menurut sangkaan seseorang bisa binasa atau tidak bisa memikul kesulitan. Keadaan darurat boleh membolehkan sesuatu yang diharamkan, namun sesuai kadarnya. Dalam ilmu kaedah fikih disebutkan,

وَ كُلُّ مَحْظُوْرٍ مَعَ الضَّرُوْرَةِ

بِقَدْرِ مَا تَحْتَاجُهُ الضَّرُوْرَة

Setiap larangan boleh diterjang saat darurat,

Namun sekadar yang dibutuhkan untuk menghilangkan darurat.

Artinya jika mengkonsumsi harta dari penghasilan haram tadi sudah menghilangkan bahaya atau mendapati penggantinya, maka memakan yang haram tadi dijauhi.

Demikian secara ringkas. Kita memohon kepada Allah moga dimudahkan mencari rizki yang halal dan dijauhkan dari rizki yang diharamkan.

Referensi sebagai berikut ini ;






Sangat Berbahaya memakan harta dari harta haram

Dari Jabir bin Abdillah RA, ia berkata, “Telah diriwayatkan kepada kami bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, aku mohonkan perlindungan untukmu kepada Allah dari kepemimpinan orang-orang bo doh.’

Ka’ab pun bertanya, ‘Apakah itu, wahai Rasulullah?’

Beliau menjawab, ‘Setelahku akan ada para penguasa di mana siapa yang ikut mereka dan membenarkan ucapannya serta mendukung kezalimannya, maka mereka bukanlah golonganku dan aku tidak termasuk golongannya dan mereka tidak akan masuk dalam telagaku (telaga Rasulullah SAW di surga).

“Dan barang siapa yang tidak mau ikut mereka, tidak membenarkan ucapannya dan tidak mendukung kezalimannya, maka mereka termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya serta mereka akan dapat ke telagaku,' kata Nabi SAW lagi.

'Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, shalat adalah taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah), puasa adalah benteng, sedekah menghapuskan kesalahan seperti air memadamkan api. Hai Ka’ab, tidak akan masuk surga orang yang dagingnya tumbuh dari makanan haram karena neraka lebih dekat dengannya'” (HR Muslim, Nasai, ad-Darami). Di antara hikmah dari hadis di atas adalah peringatan Nabi SAW tentang bahaya harta haram. Allah memerintahkan kita agar selalu makan makanan halal dan menjauhi yang haram sebagai bentuk syukur untuk menambah keberkahan hidup. (QS al-Baqarah [2]: 172). Orang yang memakan makanan halal akan dilindungi dari api neraka.”

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, ia berkata, “Seseorang di bawah tanggungan Rasulullah SAW bernama Kirkiroh, kemudian ia meninggal. Namun Rasul berkata, ia akan masuk ke neraka. Maka, para sahabat pergi memeriksanya, ternyata mereka menemukan sebuah baju jubah hasil tipuan.” (Shahih Bukhari, hadis No 2845).

Di antara bahaya memakan harta haram, pertama, pelakunya akan masuk neraka. Ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW. “Barang siapa yang mengambil hak milik orang Muslim dengan menggunakan sumpah, maka Allah akan mewajibkannya masuk neraka dan diharamkan masuk surga. Seorang bertanya, Walaupun barang yang kecil, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Walaupun sepotong kayu arok.” (HR Muslim, Nasai, ad-Darami dari Abu Umamah).

Kedua, pemakan haram tidak akan mencapai derajat takwa. Orang bertakwa adalah ahli surga. Dari Atiyyah as- Sa’di, Rasulullah SAW bersabda, “Seorang hamba tidak akan mencapai derajat muttaqin (bertakwa) sampai meninggalkan sebagian yang halal karena khawatir terperosok pada yang haram.”

Ketiga, orang yang makan makan an haram kesadaran beragamanya sem pit, artinya tidak banyak beramal yang mendapat pahala sehingga mu dah masuk neraka. “Seorang mukmin akan berada dalam kelapangan aga ma nya selama tidak makan yang ha ram. (HR Bukhari).

Keempat, pemakan harta haram tidak diterima amalnya dan ditolak doanya. “Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seorang yang memasukkan sekerat daging haram ke perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan barang siapa yang dagingnya tumbuh dari barang haram dan riba, maka neraka lebih utama untuk membakarnya.” (HR Muslim, Tirmidzi, Ahmad dan ad-Darami).

Orang yang makan harta haram sama dengan berusaha menghancurkan dirinya, merusak ibadahnya, mempermainkan doanya dan menghancurkan keluarga serta keturunannya.

Referensi sebagai berikut ini ; 











Pajak dan Bea Cukai dalam Perspektif Islam

Pajak dan Bea Cukai dalam Perspektif Islam, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber penerimaan dana APBN terbesar dari pajak dan bea cukai. Pajak pada umumnya digunakan untuk membangun fasilitas umum serta beberapa pengeluaran negara. Setiap warga negara yang memenuhi penghasilan kena pajak wajib membayar pajak. Bahkan hal mengenai pajak sendiri diatur dan ditegaskan dalam undang-undang. Begitu juga dengan bea cukai. Lantas, bagaimana pandangan Islam mengenai pajak dan bea cukai. 

Dalam istilah bahasa arab, pajak dikenal dengan nama Al-Usyr, Al-Maks, atau Adh-Dharibah, yang artinya adalah “pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak”. Adapun pengertian umumnya, pajak merupakan iuran wajib yang dibayarkan oleh wajib pajak kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah dan wajib pajak nantinya akan memperoleh imbalan secara tidak langsung atas pajak yang telah dibayarkannya tersebut. Pada zaman Rasulullah SAW, pajak hanya diterapkan kepada kaum kafir, yaitu orang kafir yang menggunakan tanah negara muslim atau orang-orang yang mengelola tanah tersebut dan dikenakan biaya berupa sewa (bukan pajak) dana dan beberapa sumber yang mengatakan bahwa pungutan pajak diperbolehkan kepada kaum muslimin dengan syarat apabila keadaan baitul mall sedang kosong. Akan tetapi, keadaan dunia sudah berbeda 180 derajat jika dibandingkan dengan zaman saat Rasulullah SAW memerintah. Indonesia, yang mayoritas penduduknya muslim akan tetapi tidak menggunakan dasar hukum Islam dalam pemerintahanya, tidak mungkin menerapkan pajak hanya untuk orang non-muslim saja.

Dalam Islam, segala transaksi harus didasarkan atas kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaski. Begitu juga dengan pajak. Beberapa ulama mengatakan bahwa pajak merupakan suatu kezaliman karena ditarik atas dasar paksaan dan bukan kerelaan dari pemiliknya. Dan Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa “tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan pemiliknya”. Ini merupakan salah satu hal mengapa Islam melarang adanya pemungutan pajak. Namun, jika tidak dari pajak, dari mana lagi Indonesia memperoleh penghasilan?

Berdasarkan hasil diskusi Departemen Keilmuan dan Kajian Intelektual SEF UGM, ada dua jenis pajak dalam Islam, yaitu pajak rustum dan pajak mukus.Pajak rustum merupakan pajak yang dibayarkan oleh warga negara atas fasilitas yang disediakan oleh pemerintah seperti pajak bandara atau pajak jalan. Sedangkan pajak mucus yang dikenakan kepada warga negara karena mereka tinggal di wilayah negara tersebut. Menurut pendapat kami, sangatlah tidak realistis untuk menghentikan sistem pajak yang ada di Indonesia dewasa ini. Seharusnya, pengadaan barang publik dialokasikan dari pengelolaan sumber daya alam, bukan dari pajak. Akan tetapi, Indonesia tidak seperti negara Arab Saudi yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah dan mampu memanfaatkannya secara optimal sehingga tidak memungut pajak sepeserpun dari warga negaranya. Dikarenakan Indonesia tidak memiliki sumber daya alam yang begitu banyak dan beraneka ragam serta belum dapat memanfaatkan pengelolaan sumber dayanya, maka pajak diperbolehkan dengan berbagai syarat dan ketentuan tertentu, misalnya hanya orang yang berpendapatan di atas garis kemiskinan yang dapat dikenakan beban pajak. Kami juga menyarankan agar pengeluaran umat muslim dalam membayar zakat dapat menjadi salah satu faktor yang mengurangi jumlah pajak yang dibayarkan dikarenakan pada esensinya pajak dan zakat memiliki tujuan yang sama, hanya saja pajak untuk semua warga negara dan zakat hanya wajib bagi orang muslim.

Sementara itu, menurut UU No.10 tahun 1995 yang telah diubah dengan UU No.17 tahun 2006 tentang kepabeaan, kepabeanan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar. Dan otoritas untuk memungut biaya masuk maupun keluar di emban oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai.

Secara garis besar, bea cukai memiliki beberapa fungsi vital yang diantaranya yaitu untuk melindungi (community protection) dan sebagai penghimpun dana (revenue collection). Fungsi melindungi dari bea cukai dimaksudkan agar barang-barang yang masuk ke dalam negara tidak mengakibatkan kerugian bagi negara baik dalam bentuk finansial, perubahan sosial budaya, dan keamanan.Juga melindungi kepentingan masyarakat dari dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan ekspor. Seperti menahan barang-barang produktif yang dibutuhkan masyarakat, menggagalkan transaksi ilegal,dan lain-lain

Sementara itu yang menjadi perdebatan ulama dalam menentukan boleh tidaknya bea cukai dalam Islam yaitu terkait dengan fungsi bea cukai sebagai penghimpun dana atau revenue collection. Di dalam bahasa arab dikenal istilah yaitu al-maksu. Secara bahasa al-maksu berarti pengurangan atau penzaliman. Dan secara istilah berarti pungutan yang diambil dari pedagang yang memasuki sebuah negeri. (Kamus Mu’jam Al-Wasith, 2011).

Para ulama sepakat bahwasanya al-maksu haram dalam Islam. Hal ini dilandasi oleh beberapa dalil seperti: Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya tentang dirajamnya wanita dari suku al Ghamidiyyah setelah melahirkan anak karena zina. Nabishallallahu ‘alaihiwasallam bersabda tentang wanita tersebut, “Demi zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh wanita ini telah bertaubat dengan suatu taubat yang seandainya penarik maks (baca: pajak) bertaubat seperti itu niscaya Allah akan mengampuninya” (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Daud). Dan masih banyak lagi dalil yang mengharamkan praktik maks ini.

Namun beberapa ulama masih memiliki perbedaan pendapat apakah bea cukai (pajak) termasuk dalam al-maksu atau tidak. Dan sebagian ulama terkemuka juga membolehkan bea dan cukai ini dengan berbagai ketentuan. Seperti pendapat Imam Al-Ghazali yang menyatakan bahwa memungut uang pada rakyat selain zakat diperbolehkan dengan ketentuan negara sangat membutuhkan dan kondisi baitul mal kosong, akan tetapi apabila baitul mal negara masih ada, maka dilarang untuk menarik dana dari masyarakat selain zakat. Selain itu pendapat dibolehkanya bea dan cukai oleh sebagian ulama dilandasi atas diberlakukanya pungutan bagi pedagang dari luar negeri dalam masa pemerintahan Umar bin Khatab dan dilanjutkan oleh kepemimpinan Khalifah Harun Ar-rasyid. Di mana beliau menarik pungutan sebesar 10 % dari pedagang kafir harbi, 5% dari pedagang kafir dzimmi, dan 2,5 % dari pedagang muslim. Namun apabila pedagang muslim telah bersumpah telah membayar pajak, maka dibebaskan dari uang pungutan. Dan barang haram yang dibawa oleh pedagang kafir juga tetap dibebankan uang pungutan. Atau pada masa itu disebut sebagai usyr. Dan usyr dikenakan apabila barang dagangan yang dibawa bernilai minimal 200 dirham.

Sehingga dibolehkan atau tidaknya bea cukai dan pajak dalam Islam, masih menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Akan tetapi sebagai umat muslim yang senantiasa merindukan keberkahan rizki dan surga-Nya, hendaklah kita berhati-hati dalam urusan dunia untuk mendapatkan hal yang lebih besar untuk urusan akhirat. Dan hendaklah pula kita meninggalkan keragu-raguan.


Referensi sebagai berikut ini ;










Bagaimana Menyikapi Penguasa Zalim

Bagaimana Menyikapi Penguasa Dzalim, Penguasa yang zalim lantaran ia banyak penyimpangan dan pelanggaran, fasiq, korup, otoriter, kesesatan, kufur, menentang hukum Allah Swt. Selalu ada sejak pasca masa-masa khulafa’ur rasyidin hingga sekarang. Mereka memusuhi ulama dan para da’i Islam, bahkan mengejar, mengirim mata-mata, memenjarakan dan membunuhnya, namun ada pula yang justru ‘dibeli’ untuk kepentingan “status quonya”. Para ulama dan da’i tersebut menjadi skrup penguat kedudukan penguasa tersebut. Namun, pada umumnya para ulama dan da’i selalu berseberangan dan menjadi penentang utama penguasa yang zalim, bahkan manusia secara umum tidak akan sejalan dengan penguasa seperti itu.

Bagaimana Islam menyikapi penguasa yang zalim? Paling tidak, ada tiga tahapan yang bisa dilakukan untuk menyikapinya. Pertama, menasehatinya dengan hikmah dan pelajaran yang baik agar ia kembali kepada Allah Swt. Kedua, tidak mentaatinya sampai penguasa itu taat kembali kepada Allah Swt dan rasulNya. Ketiga, mencopotnya dari jabatannya. Namun yang terakhir ini diperselisihkan legalitasnya. Bahkan ada yang tega menuduh upaya mencopot penguasa yang zalim merupakan perilaku khawarij, yang dahulu pernah memberontak kepada Ali radhiallahu ‘anhu.

Sikap-sikap ini akan kita lihat paparannya menurut Al Qur’an, As Sunnah AS Shahihah, dan pandangan ulama ternama masa lalu.

Sikap Pertama. Memberikan Nasihat

Memberikan nasihat kepada penguasa zalim merupakan perintah klasik Allah Jalla wa ‘ Ala kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimas salam untuk meluruskan kezaliman Fir’aun. Ini menunjukkan bahwa nasihat dan ajakan kepada kebaikan merupakan upaya penyembuhan pertama bagi penguasa zalim, bahkan bagi siapa saja yang menyimpang. Para fuqaha’ sepakat bahwa hukuman di dunia bagi orang yang meninggalkan shalat secara sengaja baru bisa ditegakkan bila ia enggan bertaubat setelah diperintahkan untuknya bertaubat. Memerangi orang kafir pun baru dimulai ketika da’wah telah ditegakkan, namun mereka membangkang.

Allah Swt berfirman:

“Pergilah engkau (Musa) kepada Fir’aun karena ia telah thagha” (QS. Thaha:24, Qs. An Nazi’at: 17)

“Pergilah engkau berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun karena ia telah thagha” (QS. Thaha: 43)

Thagha adalah melampaui batas dalam kesombongan dan melakukan penindasan (diktator) (Khalid Abdurrahman al ‘Ik, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim, hal. 313) juga berarti menyimpang dan sesat (ibid, hal. 314) dan kufur kepada Allah ‘Azza wa Jalla (Ibid, hal. 584)

Berkata Imam Ibnu Katsir -rahimahullah “Maksudnya (Fir’aun) telah melakukan penindasan dan menyombongkan diri.” (Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul Azhim, 4/ 468)

Beliau juga berkata, “Pergilah engkau (Musa) kepada Fir’aun, penguasa Mesir, yang telah mengusir dan memerangimu, ajaklah ia untuk ibadah kepada Allah satu-satunya, tiada sekutu bagiNya, dan hendaknya ia berbuat baik kepada Bani Israel, jangan menyiksa mereka. Sesungguhnya ia telah melampaui batas dan membangkang, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia dan melupakan Rabb yang Maha Tinggi.” (Ibid, 3/146)

Jadi, ada alasan yang jelas kenapa Fir’aun harus diluruskan karena ia melampaui batas, sombong, menindas, sesat, kufur dan membangkang kepada Allah Ta’ala. Inilah ciri khas penguaza zalim, bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja dan kapan saja.

Mengutarakan nasihat dan kalimat yang haq kepada penguasa yang zalim merupakan amal mulia, bahkan disebut sebagai afdhalul jihad (jihad paling utama) (HR. Imam Abu Daud), dan jika ia mati terbunuh karena amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa yang zalim maka ia termasuk penghulu para syuhada, bersama Hamzah bin Abdul Muthalib (HR. Imam Hakim, shahih, dan disepakati Imam Adz Dzahabi)

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad Dari radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Agama itu nasihat”, Kami bertanya, “Bagi siapa?”, beliau menjawab, “Bagi Allah, KitabNya, RasulNya, Imam-Imam kaum muslimin dan orang-orang umumnya. “ (HR. Imam Muslim. Riadhus Shalihin no. 181. Bab Fi an Nashihah. Lihat juga Bulughul Maram no. 1339, Bab at Targhib fi Makarimil Akhlaq)

Nasihat yang bagaimana?

Nasihat berasal dari kata nashaha yang berarti menasehati, atau membersihkan dan memurnikan. Jadi, nasihat merupakan upaya pembersihan terhadap kotoran, kesalahan, dan dosa, yang harus dilakukan dengan cara bersih pula.

Tentang da’wah terhadap Fir’aun Allah Swt  berfirman:

“Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun karena ia telah melampaui batas. Lalu katakanlah untuknya kalimat yang lemah lembut, agar ia ingat dan takut.” (QS. Thaha: 43-44)

Subhanallah! Terhadap fir’aun yang super zalim, Allah Tabaraka wa Ta’ala memerintahkan dua orang utusanNya menda’wahi dengan kata-kata yang lemah lembut (qaulan layyinan), bukan dengan menghardik dan merendahkannya. Sebab -pada hakikatnya- dengan kezaliman yang diperbuatnya, posisinya sudah rendah di mata rakyatnya, dan Allah pun telah merendahkannya. Adapun menda’wahi dengan kekasaran ucapan dan sikap, justru semakin membuatnya keras dan sombong, bahkan ia memiliki bala tentara untuk memberangus lawan-lawannya. Tentunya ini tidak membawa kebaikan bagi da’wah.

Apa tujuannya? ..agar ia ingat dan takut. Ya, agar ia ingat untuk kembali (taubat) dan meninggalkan kesesatannya (Shafwatul Bayan, hal. 314) bukan agar binasa dan berakhir kekuasaannya. Sebab bila masih ada kesempatan untuk menjadi orang baik, maka upaya menasihati dengan bijak adalah lebih utama.

Imam Ibnu Qudamah meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal radhiallahu ‘anhu ucapannya, “Janganlah sekali-kali engkau menentang penguasa, karena pedangnya selalu terhunus. Tentang apa yang dilakukan orang-orang salaf (terdahulu) yang berani menentang para penguasa, karena para penguasa itu enggan kepada ulama. Jika para ulama itu datang, maka mereka akan menghormati dan tunduk kepada mereka.” (Minhajul Qashidin, hal. 160. Pustaka Al Kautsar, cet. 1. oktober 1997)

Namun demikian, betapapun lemah lembutnya menda’wahi penguasa yang zalim, konsistensi terhadap kebenaran, tidak basa-basi dengan penyimpangan, adalah sikap yang harus terus dijaga. Sebab biasanya bila sudah memasuki pintu-pintu penguasa maka keberanian manusia jauh berkurang, terjadi banyak pemakluman terhadap kedurhakaannya, itulah sebabnya Nabi Musa ‘Alaihis salam berdo’a ketika hendak menda’wahi Fir’aun, Rabbisyrahli shadri wa yassirli amri (Tuhanku lapangkan dadaku, mudahkan urusanku)…dst dan ia juga minta kepada Allah Jalla wa ‘Ala berupa bantuan saudaranya, Nabi Harun ‘Alaihis salam, agar kekuatannya bertambah.

Sangat banyak kisah salafus shalih yang enggan mendekati pintu-pintu istana khawatir fitnah yang dilahirkannya. Namun tidak sedikit pula salafus shalih yang berani amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa.

Beberapa kisah nasihat untuk para Penguasa

Said bin Amir pernah berkata kepada khalifah Umar bin al Khathab radhiallahu ‘anhu, “Sesungguhnya aku akan memberimu nasihat, berupa kata-kata Islam dan ajaran-ajarannya yang luas maknanya: Takutlah kepada Allah dalam urusan manusia dan janganlah takut kepada manusia dalam urusan Allah, janganlah perkataanmu berbeda dengan perbuatanmu, karena sebaik-baik perkataan adalah yang dibenarkan perbuatan. Cintailah orang-orang muslim yang dekat dan jauh seperti engkau cintai bagi dirimu dan anggota keluargamu. Tuntunlah kebodohan kepada kebenaran selagi engkau mengetahuinya. Janganlah takut celaan orang-orang yang suka mencela.”

Umar bertanya, “Lalu siapa orang yang bisa berbuat seperti itu wahai Abu Said?”

Dia menjawab,”Siapa yang bisa memanggul di atas pundaknya seperti siapa yang memanggul di atas pundakmu.”

Ada seorang tua renta dari Al Azd yang memasuki tempat tinggal khalifah Mu’awiyah, lalu dia berkata kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah wahai Mu’awiyah, dan ketahuilah setiap hari ada yang keluar dari dirimu dan setiap malam ada yang dating kepadamu, yang tidak memberi tambahan bagi dunia melainkan semakin jauh dan tidak menambahkan bagi akhirat melainkan semakin dekat. Di belakangmu ada yang mencari dan engkau tidak bisa mengelak darinya. Engkau telah mendapatkan ilmu yang tidak bisa engkau lewatkan. Betapa cepat ilmu yang engkau dapat. Betapa cepat yang mencarimu akan menghampirimu. Apa yang ada pada dirimu akan segera berlalu, sementara yang akan kita datangi tetap abadi. Kebaikan pasti akan dibalas kebaikan dan kejelekan pasti akan dibalas dengan kejelekan pula.”

Suatu kali khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata kepada Abu Hazim, “Berilah aku nasihat!”

Abu Hazim berkata, “Kalau begitu tidurlah telentang, kemudian anggaplah seakan-akan kematian ada di dekat kepalamu, lalu pikirkanlah sesuatu yang engkau inginkan saat itu, maka ambillah sekarang juga, sedangkan apa yang engkau benci pada saat itu, buanglah!” (Ibid, hal. 160-165)

Pada bulan Rajab 1366H Imam Syahid Hasan al Banna radhiallahu ‘anhu mengirim surat kepada raja Faruq I (Penguasa Mesir dan Sudan), juga kepada Musthafa an Nuhas Pasya kepala pemerintahan (perdana menteri) saat itu, juga ditujukan kepada raja-raja, penguasa, pemimpin negeri-negeri Islam lainnya, dan juga kepada orang-orang yang berpengaruh dalam urusan agama dan dunia. Inilah mukaddimah surat itu:

Bismillahirrahmanirahim

Segala puji bagi Allah, dan selawat dan salam atas sayyidina Muhammad dan keluarganya, beserta para sahabatnya. “Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dar sisiMu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami.” (QS. Al Kahfi:10)

Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.

Wa ba’du, Kami persembahkan surat ini kehadapan Tuan yang mulia, dengan keinginan yang kuat untuk memberi bimbingan kepada umat, yang urusan mereka telah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah bebankan ke pundak Anda saat ini. Suatu bimbingan yang semoga dapat mengarahkan umat di atas jalan yang terbaik. Sebuah jalan yang dibangun oleh sistem hidup terbaik, bersih dari keguncangan yang tidak pasti, dan telah teruji dalam sejarah hidup yang panjang.

Kami tidak mengharap apa pun dari Anda, melainkan bahwa dengan ini kami telah menunaikan kewajiban dan menyampaikan nasihat untuk Anda. Dan Pahala dari Allah adalah yang lebih baik dan kekal. (Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Majmu’ah Rasail, hal.63-67. Risalah Nahwan nur, Al Maktabah At Taufiqiyah, tanpa tahun)

Demikianlah cuplikan beberapa nasihat para ulama untuk para penguasa, baik penguasa adil atau yang yang zalim. Saat ini nasihat untuk penguasa bisa dilakukan melalui surat terbuka di media massa, surat langsung untuk presiden, bisa melalui parlemen, open hause, bahkan demonstrasi. Untuk ini (demo) para ulama kontemporer berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Wallahu A’lam

Sikap Kedua. Tidak Mentaatinya

Tidak mentaati penguasa yang telah keluar dari tuntunan syara’, baik perilakunya, keputusannya, dan undang-undangnya, telah dikemukakan Al Qur’an dan As Sunnah yang suci. Al Qur’an dan As Sunnah tidak pernah memberikan ketaatan mutlak kepada makhluk. Ketaatan mutlak hanya kepada Allah dan RasulNya. Ini telah menjadi kesepakatan ulama sejak dahulu hingga kini, dan tak ada perselisihan di antara mereka.

Allah Swt  berfirman:

“Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada RasulNya, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir …” (QS. An Nisa: 59)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di dalam tafsirnya berkata, “Perintah taat kepada Ulil Amri terdiri dari para penguasa, pemimpin, dan ahli fatwa.” Ia mengatakan ini bukanlah perkara yang mutlak, “tetapi dengan syarat bahwa ia tidak memerintahkan maksiat kepada Allah. Sebab jika mereka diperintah berbuat demikian, maka tidak ada ketaatan seorang makhluk dalam kemaksiatan terhadap Khaliq. Mungkin inilah rahasia peniadaan fiil amr (kata kerja perintah) untuk mentaati mereka (athi’u), yang tidak disebutkan sebagaimana layaknya ketaatan pada Rasul. Karena Rasul hanya memerintah ketaatan kepada Allah, dan barangsiapa yang mentaatinya, ia telah taat kepada Allah. Sedangkan Ulil Amri, maka perintah mentaati mereka terikat syarat, yaitu sebatas tidak melanggar atau bukan maksiat.” (Tafsirul Karim ar rahman fi Tafsir Kalam al Manan, 2/42)

Imam Ibnu Katsir berkata, tentang makna Ulil Amri, “Ahli fiqh dan Ahli Agama, demikian juga pendapat Mujahid, ‘Atha, Hasan al Bashri, dan Abul ‘Aliyah.” Ibnu Katisr juga mengatakan Ulil Amri bisa bermakna umara. Lalu ia berkata: (Taatlah kepada Allah) maksudnya ikuti kitabnya, (taatlah kepada Rasul) maksudnya ambillah sunahnya, (dan ulil amri di antara kalian) yaitu dalam hal yang engkau diperintah dengannya berupa ketaatan kepada Allah dan bukan maksiat kepada Allah, karena tidak ada ketaatan kepada makluk dalam maksiat kepada Allah. Sebagaimana dalam hadits shahih “Sesungguhnya ketaatan hanya dalam hal yang ma’ruf” (HR. Bukhari). dan imam Ahmad meriwayatkan dari Imran bin Hushain bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah.” (Tafsir Al Qur’anul Azhim, 1/518)

Imam al Baidhawi, berkata tentang makna Ulil Amri di antara kamu , “Para pemimpin umat Islam pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan setelahnya secara umum, seperti penguasa, hakim,dan panglima perang, dimana manusia diperintah untuk mentaati mereka setelah perintah untuk berbuat adil. Kewajiban taat ini berlaku selama mereka dalam kebenaran.” (Anwarut Tanzil w a Asrarut Ta’wil, 2/94-95)

Imam ar Razi berkata, “Ketaatan kepada para pemimpin hanya jika mereka di atas kebenaran. Sedangkan taat kepada para pemimpin dan sultan yang zalim tidak wajib, bahkan haram.” (Mafatihul Ghaib, 3/244)

Masih banyak ayat lain yang memerintahkan tidak mentaati manusia (penguasa) yang zalim. Di antaranya firman Allah Ta’ala:

“Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampuai batas.(yaitu) mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy Syu’ara: 151-152)

Berkata Abul A’la al Maududi dalam Al Hukumah Al Islamiyah, “Janganlah engkau semua mentaati perintah para pemimpin dan panglima yang kepemimpinannya akan membawa kerusakan terhadap tatanan kehidupan kalian.”

Ayat lain:

“Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami dan ia mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan.” (QS. Al Kahfi: 28)

Taat kepeda penguasa yang zalim merupakan bentuk ta’awun (tolong menolong) dalam dosa dan kesalahan, padahal Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan kesalahan.” (QS. Al Maidah:2)

Dalam hadits juga tidak sedikit tentang larangan mentaati perintah kemaksiatan, di antaranya:

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Dengar dan taat atas seorang muslim dalam hal yang ia sukai dan ia benci, selama ia tidak diperintah untuk maksiat. Jika diperintah untuk maksiat, maka jangan dengar dan jangan taat.” (HR. Bukhari. Al Lu’lu’ wal Marjan, no. 1205)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya taat itu hanya dalam hal yang ma’ruf” (HR. Bukhari dari Ali radhiallahu ‘anhu. Al lu’lu’ wal Marjan, no. 1206)

Abu bakar Ash Shidiq radhiallahu ‘anhu berkata pasca pengangkatannya menjadi khalifah, “Taatlah kalian kepadaku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya, apabila aku melanggar Allah dan RasulNya, maka jangan taat kepadaku.” (Al Bidayah wa An Nihayah, 5/248)

Khalifah Umar al Faruq radhiallahu ‘anhu juga berkata dalam salah satu khutbahnya, “Sesungguhnya tidak ada hak untuk ditaati bagi orang yang melanggar perintah Allah.”

Ringkasnya, Al Qur’an, As Sunnah, atsar sahabat, mufasirin dan fuqaha, semua sepakat bahwa taat kepada pemimpin hanya jika ia di atas kebenaran, jika dalam pelanggaran maka tidak boleh ditaati.

Sikap Ketiga: Mencopot Pemimpin Zalim dari Jabatannya

Pemimpin merupakan representasi dari umat, merekalah yang mengangkatnya melalui wakilnya (Ahlul Halli wal Aqdi), maka mereka juga berhak mencopotnya jika ada alasan yang masyru’ dan logis.

Menurut Ubnu Khaldun, meminta copot pemimpin yang zalim bukanlah termasuk pemberontakan dan pembangkangan (bughat) apalagi disebut khawarij seperti tuduhan sebagian kalangan, pembangkangan hanyalah layak disebut jika meminta pencopotan terhadap pemimpin yang benar dan adil. Bukti yang paling jelas adalah perlawanan keluarga Husein radhiallahu ‘anhu terhadap khalifah Yazid bin Mu’awiyah. Ibnu Khaldun menyebut Husein ‘Seorang syahid yang berpahala’, atau perlawanannya seorang tabi’in ternama, Said bin Jubeir terhadap gubernur zalim bernama Al Hajjaj. Ketahuilah, yang dilawan oleh kaum khawarij adalah pemimpin yang sah dan adil, yaitu Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Sedangkan yang kita bincangkan adalah perlawanan terhadap penguasa yang zalim dan tiran, sebagaimana yang banyak dilakukan aktifis gerakan Islam di banyak negara saat ini. Tentu nilai perlawanan ini tidak sama.

Ternyata pandangan ini dibenarkan oleh banyak ulama (sebenarnya para ulama berselisih pendapat tentang pencopotan penguasa yang zalim).

Imam at Taftazani dalam Syarah al Aqaid an Nafsiyah meriwayatkan bahwa Imam Asy Syafi’i radhiallahu ‘anhu berpendapat bahwa Imam bisa dicopot karena kefasikan dan pelanggarannya, begitu juga setiap hakim dan pemimpin lainnya.

Imam Abdul Qahir al Baghdadi mengatakan, “Jika pemimpin menjauhkan diri dari penyimpangan, maka kepemimpinannya dipilih karena keadilannya, sehingga kesalahannya tertutup oleh kebenaran. Jika ia menyimpang dari jalan yang benar, maka harus dilakukan pergantian, mengadilinya, dan mengambil kekuasaannya. Dengan demikian, ia telah diluruskan oleh umat atau ditinggalkan sama sekali.”

Imam al Mawardi menyatakan ada dua hal seorang Imam telah keluar dari kepemimpinannya, yaitu ia tidak adil dan cacat fisiknya. Cacat keadilannya bisa bermakna mengikuti hawa nafsu dan melakukan syubhat. Ketidakadilan bisa juga bersifat individu seperti meninggalkan shalat, minum khamr, atau urusan umum seperti menyalahgunakan jabatan.

Imam al Ghazali berkata, “Seorang penguasa yang zalim hendaknya dicopot dari kekuasaannya; baik dengan cara ia mengundurkan diri atau diwajibkan untuk dicopot. Dengan itu ia tidak dapat berkuasa.”

Imam al Iji mengatakan, “Umat berhak mencopot Imam tatkala ada sebab yang mengharuskannya, atau sebagaimana yangdikatakan pensyarah, sebab yang membahayakan umat dan agama.”

Imam Ibnu Hazm berkata, “Imam Ideal wajib kita taati, sebab ia mengarahkan manusia dengan kitabullah dan sunah rasulNya. Jika ada menyimpang dari keduanya, maka harus diluruskan, bahkan jika perlu diberi hukuman had . jika hal itu tidak membuatnya berubah, maka ia harus dicopot dari jabatannya dan diganti orang lain.”

Sebenarnya para ulama ini berbeda pendapat Menuruttentang alasan pencopotannya. Imam Syafi’i dan Imam al Haramain mensyaratkan jika penguasa itu fasik dan melanggar. Imam asy Syahrustani mengatakan; kebodohan, pelanggaran, kesesatan, dan kekufuran. Imam al Baqillani menyebutkan jika Imam telah kufur, meninggalkan shalat wajib, fasik, mengambil harta orang lain, mengajak ke yang haram, mempersempit hak sosial, dan membatalkan hukum-hukum syariat. Imam al Mawardi menyatakan; ketidak adilan dan cacat fisik.

Sementara Ulama lain (pandangan ahli hadits) yang berpendapat agar kita bersabar terhadap pemimpin yang zalim, ada juga ulama yang membenarkan keduanya, antara bersabar atau memberikan perlawanan agar ia dicopot dari jabatannya.

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

Tambahan dari beliau

Berikut ini pandangan Imam Abul Hasan Al Mawardi tentang keadaan yang membuat dibolehkannya dicopotnya seorang pemimpin dalam kitab Al Ahkam As Sulthaniyah:

وإذا قام الإمام بما ذكرناه من حقوق الأمة فقد أدى حق الله تعالى فيما لهم وعليهم ، ووجب له عليهم حقان الطاعة والنصرة ما لم يتغير حاله والذي يتغير به حاله فيخرج به عن الإمامة شيئان : أحدهما جرح في عدالته والثاني نقص في بدنه .

فأما الجرح في عدالته وهو الفسق فهو على ضربين : أحدهما ما تابع فيه الشهوة .

والثاني ما تعلق فيه بشبهة ، فأما الأول منهما فمتعلق بأفعال الجوارح وهو ارتكابه للمحظورات وإقدامه على المنكرات تحكيما للشهوة وانقيادا للهوى ، فهذا فسق يمنع من انعقاد الإمامة ومن استدامتها ، فإذا طرأ على من انعقدت إمامته خرج منها ، فلو عاد إلى العدالة لم يعد إلى الإمامة إلا بعقد جديد …..

Jika imam (pemimpin) sudah menunaikan hak-hak umat seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, maka otomatis ia telah menunaikan hak-hak Allah Ta’ala, hak-hak mereka, dan kewajiban-kewajiban mereka. Jika itu telah dia lakukan, maka dia punya dua hak dari umatnya. Pertama, ketaatan kepadanya. Kedua, membelanya selama keadaan dirinya belum berubah.

Ada dua hal yang dapat merubah keadaan dirinya, yang dengan berubahnya kedua hal itu dia mesti mundur dari kepemimpinannya:

  1. Adanya cacat dalam ke- ’adalah-annya.
  2. Cacat tubuhnya

Ada pun cacat dalam ‘adalah (keadilan) yaitu kefasikan, ini pun ada dua macam; Pertama, dia mengikuti syahwat; Kedua, terkait dengan syubhat. Bagian pertama (fasik karena syahwat) terkait dengan perbuatan anggota badan, yaitu dia menjalankan berbagai larangan dan kemungkaran, baik karena menuruti hawa syahwat, dan tunduk kepada hawa nafsu. Kefasikan ini membuat seseorang tidak boleh diangkat menjadi imam (pemimpin), dan juga sebagai pemutus kelangsungan imamah (kepemimpinan)-nya. Jika sifat tersebut terjadi pada seorang pemimpin, maka dia harus mengundurkan diri dari imamah-nya. Jika ia kembali adil (tidak fasik), maka imamah tidak otomatis kembali kepadanya, kecuali dengan pengangkatan baru. ………. (Imam Abul Hasan Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 28. Mawqi’ Al Islam)

Sedangkan tentang pendapat Imam Asy Syafi’i, Imam At Taftazani, dan beberapa yang lainnya, ada dalam kitab berjudul “Bai’at”. Sayangnya saya kehilangan kitab itu sudah lama. Tulisan ini juga saya buat sejak 4 atau 5 tahun lalu.

Insya Allah Swt, jika waktunya cukup saya akan carikan lagi.

Wallahu A’lam

Untuk menentukan penguasa zalim atau tidak, kita melihat menurut Al Quran dan As Sunnah:

  1. Jika penguasa itu melakukan kesyirikan. (Innasy syirka la zhulmun ‘azhim)
  2. Tidak menggunakan hukum Allah Swt. (man lam yahkum bimaa anzalallah faulaika humuz zhalimun)
  3. Para Diktator, dalilnya: Sesungguhnya di neraka jahanam ada sebuah lembah, di lembah tersebut terdapat sumur yang dinamakan Hab Hab, yang Allah Ta’ala tetapkan sebagai tempat tinggal bagi setiap diktator.” (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Ausath, 8/193/3683. Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shaihihain, 20/179/8918. Imam Al Haitsami mengatakan sanadnya hasan. Majma’uz Zawaid, 5/197. Ini lafaz milik Al Hakim)

Nah .. dgn ukuran inilah kita bisa melihat zalim tidaknya pemimpin dan penguasa. Zaman dahulu tidak memerlukan mahkamah syariah untuk menentukan zalim tidaknya pemimpin … sebab dahulu mudah untuk dipahami. Saat ini memang seharusnya dibutuhkan konsultasi dengan para ulama, walau patokan2nya telah kita ketahui juga. Adapun jika ulama-nya adalah milik penguasa, maka memang tidak mungkin berharap mereka memfatwakan tentang kezaliman mereka. Jika sudah begitu, mesti berkonsultasi dengan ulama-ulama independen. Ada pun berbicara keras di depan forum-forum, tidak selalu bermakna khawarij, sebab itu pernah dilakukan para imam seperti yg telah saya sebutkan, tapi sebagusnya pilih cara yg bijak dan minim potensi fitnah dan mudharatnya.


Referensi sebagai berikut ini ;












Harta dari Bunga Bank

Cara bertaubat dari uang/barang jenis ini adalah dengan cara mengembalikan barang/uang kepada pemiliknya. Maka uang hasil korupsi wajib dikembalikan kepada pihak yang dirugikan, uang hasil jual beli dengan cara penipuan wajib dikembalikan selisih antara harga normal dengan harga yang dijual kepada pembelinya, begitu juga dengan jual beli barang dengan cara terpaksa.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

"Siapa yang menzalimi kehormatan atau harta saudaranya maka hendaklah di hari ini ia minta saudaranya merelakan hal tersebut sebelum datang suatu hari yang tidak ada dinar dan dirham. Jika ia mempunyai amal sholeh maka diambil amalan tersebut seukuran kezalimannya dan jika ia tidak mempunyai kebaikan diambil dosa dosa orang yang dizalimi lalu dipikulkan kepadanya." (HR Bukhari).

Seseorang membuka rekening di bank yang ada saat ini (bank ribawi). Dan menjadi jelas baginya setelah itu bahwa bunga ditambahkan ke rekeningnya. Dan kita tahu bahwa Allah SWT berfirman dalam wahyunya yang bersifat muhkam:

﴿وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ﴾

“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (TQS al-Baqarah 2: 279)

Ada para syaikh dan ulama kontemporer yang memperbolehkan mengambil harta ini dan tidak meninggalkannya untuk bank dengan dalih tidak membantu bank atas keharaman dan tidak melakukan keharaman lain dengan meninggalkan bunga tersebut untuk bank.

Pertanyaannya: apa yang harus dia lakukan dengan harta yang ditambahkan kepada harta pokoknya itu? Apakah boleh ia mengambil harta bunga itu dan membelanjakannya terhadap orang-orang fakir atau membayar utangnya? Dan apakah ia mendapat pahala atas pembelanjaan harta itu kepada orang-orang fakir? Berilah jawaban kepada kami. Semoga Alah memberikan berkah-Nya kepada Anda dan menguatkan langkah Anda.

Jawab:

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah w barakatuhu.

Sebelum menjawab tentang (apa yang harus dia lakukan dengan harta riba…)… maka yang wajib bagi orang yang melakukan transaksi (muamalah) ribawi dengan bank adalah menghentikan muamalah ribawinya segera, dan bertaubat kepada Allah SWT dengan taubat nashuha. Allah SWT berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا﴾

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nashuha (taubat yang semurni-murninya).”(TQS at-Tahrim [66]: 8)

Allah juga berfirman:

﴿إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا﴾

“Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (TQS an-Nisa’ [4]: 146)

Imam at-Tirmidzi telah mengeluarkan dari Anas bahwa Nabi saw bersabda:

«كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ»

“Setiap Anak Adam bisa berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah mereka yang bertaubat.”

Sehingga taubat itu sah dan Allah mengampuni orang yang bertaubat itu dari dosa tersebut, maka wajib bagi orang yang bertaubat itu melepaskan diri dari kemaksiyatan itu, menyesal karena telah melakukannya, dan bertekad bulat untuk tidak mengulangi semisalnya. Dan jika kemaksiyatan itu berkaitan dengan hak adami, maka disyaratkan mengembalikan kezaliman itu kepada yang berhak atau mendapatkan pembebasan dari mereka. Jika ia memiliki harta yang dia ambil dari mereka dengan jalan mencuri atau ghashab maka wajib harta itu dikembalikan kepada pemiliknya. Dan ia harus melepaskan diri dari pendapatan haram itu menurut ketentuan syara’. Jika ia mendapatkan harta dengan jalan haram maka kesudahannya adalah keburukan. Imam Ahmad telah mengeluarkan dari Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:

«…وَلَا يَكْسِبُ عَبْدٌ مَالًا مِنْ حَرَامٍ… إِلَّا كَانَ زَادَهُ إِلَى النَّارِ»

“… dan tidaklah seorang hamba memperoleh harta dari jalan haram … kecuali harta itu menjadi bekalnya ke neraka.”

Imam at-Tirmidzi telah mengeluarkan dari Ka’ab bin Ujrah bahwa Rasulullah saw bersabda kepadanya:

«يَا كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ، إِنَّهُ لَا يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلَّا كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ»

“Ya Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidaklah suatu daging tumbuh dari harta haram kecuali neraka lebih layak dengannya.”

Adapun berkaitan dengan riba bank atas hartanya dan bagaimana melepaskan diri darinya, maka jawabannya sebagai berikut:

Jika dia berkata kepada bank, saya ingin harta pokok saya saja, dan aturan bank memperbolehkannya mengambil harta pokoknya saja maka cukup seperti itu, dan ia mengambil harta pokoknya saja…

Adapun jika aturan bank tidak memperbolehkannya… tetapi aturan tersebut mewajibkannya mengambil riba beserta harta pokoknya sekaligus dan jika tidak maka bank tidak akan memberikan harta pokoknya, dalam kondisi ini ia mengambil harta pokoknya dan riba tersebut dan dia melepaskan diri dari riba, dan dia letakkan di tempat-tempat kebaikan secara diam-diam (rahasia) tanpa menampakkan bahwa ia bersedekah dengannya, sebab itu adalah harta haram, akan tetapi yang dituntut adalah ia melepaskan diri dari harta haram itu… Misalnya, bisa saja ia mengirimkannya ke masjid tanpa seorang pun tahu atau mengirimkannya kepada keluarga fakir tanpa mereka tahu siapa pengirimnya, dan dengan cara yang di dalamnya tidak tampak bahwa ia bersedekah… atau semacam itu.

Adapun pahala atas infaknya itu, maka tidak ada pahala atas infak harta haram. Pembelanjaannya di jalan kebaikan itu bukanlah shadaqah sebab bukan merupakan harta halal yang ia miliki… Akan tetapi, in syâ’a Allâh, ia mendapat pahala karena meninggalkan keharaman, yakni menghapus muamalah ribawinya dengan bank dan melepaskan diri dari harta haram. Allah SWT menerima taubat dari hamba-Nya dan tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang memperbagus amal (melakukan amal dengan ihsan).

Referensi sebagai berikut ini ;










Dosa Zalim yang mendatangkan murka Allah SWT

Dosa zalim yang mendatangkan murka Allah SWT, Ada tiga jenis dosa zalim yang bisa mendatangkan murka Allah SWT. Seorang muslim sudah seharusnya selalu berkelakuan baik dan menghindari perbuatan zalim. Setiap orang yang berbuat zalim pasti diberikan kesempatan oleh Allah SWT untuk bersadar diri. Apabila kesalahan tersebut terus dilakukan berulang kali, si pelakunya bisa terkena dampak buruk berupa murka Allah SWT. Hal ini sudah dijelaskan melalui Al-Furqan ayat 19.

Dosa zalim yang mendatangkan murka Allah adalah sebagai berikut ;

Kezaliman seorang hamba kepada Tuhan-Nya Setiap manusia yang hidup di dunia sudah pasti akan mendapatkan cobaan. Setiap manusia tersebut tetap dilarang kufur dan ini ada dalam Al-Baqarah ayat 254. "Dan orang-orang kafir itulah orang-orang zalim." 

Kezaliman yang tidak termaafkan oleh Allah SWT adalah kekafiran. Kezaliman yang satu ini ditandai dengan munculnya perbuatan syirik maupun mempersekutukan Allah dengan selain Allah Swt. Tindakan seperti ini akan dihukum kekal selamanya berada di dalam neraka. Penjelasan tentang tindakan buruk mempersekutukan Allah masuk dosa besar ada dalam surat Luqman ayat 13.

"Sesungguhnya mempersekutukan Allah Swt adalah benar-benar kezaliman yang besar." 

Kezaliman terhadap manusia

Perbuatan yang dimaksudkan untuk menganiaya manusia sangat dibenci oleh Allah SWT. Penganiayaan yang dimaksud bisa saja berkaitan dengan fisik maupun mental. Sedangkan bentuk tindakan yang menganiaya ini bisa berupa banyak hal. Misalkan saja mengambil harta yang bukan haknya dan harta tersebut merupakan harta milik orang lain yang mana alasan pengambilannya tidak benar. Tindakan tersebut sangat dimurkai oleh Allah SWT.

Dijelaskan bahwa Allah SAWT akan mengambil amalan dari orang yang zalim dan memberikan kepada orang yang dizalimi. Jika amalan orang yang zalim tidak cukup dengan kadar zalim terhadap orang lain, maka Allah SWT akan memindahkan dosa dari orang yang dizalimi ke orang yang menzalimi. Intinya, perbuatan zalim ini harus dihindari oleh sesama muslim. Bahkan orang muslim terhadap orang non-muslim juga harus baik dan tetap tidak boleh menzalimi mereka.

Hukuman bagi orang yang menzalimi orang lain ada dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari. Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa yang berbuat zalim kepada saudaranya, baik terhadap kehormatannya maupun sesuatu yang lainnya, maka hendaklah ia meminta kehalalannya darinya hari ini juga sebelum dinar dan dirham tidak lagi ada. Jika ia punya amal salih, maka amalannya itu akan diambil sesuai dengan kadar kezaliman yang dilakukannya. Dan jika ia tidak punya kebaikan, maka keburukan orang yang ia zalimi itu dibebankan kepadanya." (HR Bukhari)

Zalim terhadap diri sendiri

zalim terhadap diri sendiri ini bisa sangat bermacam-macam. Misalkan saja melakukan banyak dosa yang bisa menjerumuskannya ke dalam neraka kelak. Segela bentuk pelanggaran dan kemaksiatan dilarang oleh Allah SWT dan ini tercantum dalam Al-Baqarah ayat 57.

"Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri." Tiga perbuatan zalim ini hendaknya dijauhi setiap Muslim agar terhindar dari murka Allah SWT.“

Referensi sebagai berikut ini ;





Sabtu, 16 Juli 2022

Ciri Istri Durhaka menurut Islam, Cemburuan hingga Terlalu Sibuk

Ciri Istri Durhaka menurut Islam, Cemburuan hingga Terlalu Sibuk. Sadar atau tidak, tindakan ini menunjukkan ciri-ciri istri yang durhaka. Istri yang salihah merupakan anugerah tersendiri yang diberikan Allah untuk suami. Karakteristik istri yang salihah ialah selalu taat kepada Allah, termasuk melakukan segala yang diperintahkan-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Seorang istri juga akan melibatkan Allah di dalam setiap urusannya. Tak hanya taat kepada Allah, seorang istri juga seharusnya taat kepada suami. Terkadang, ridanya suami itu juga merupakan rida Allah. Maka dari itu, penting untuk memahami definisi istri salihah yang bisa membawa surga, baik kepada dirinya maupun kepada suami dan keluarganya.

Agar tidak terjerumus ke dalam dosa-dosa tersebut, ada baiknya mengetahui tanda-tanda istri yang dianggap durhaka menurut Islam. Beberapa dari bentuk dosa ini bahkan sering tidak disadari.

1. Keluar rumah atau pergi tanpa izin dari suami

Ciri istri durhaka menurut Islam yang pertama ialah keluar rumah atau pergi tanpa seizin suami. Istri yang keluar rumah tanpa mendapat izin dari suaminya, maka setiap langkahnya dilaknat oleh para malaikat.Hukum dari keluar rumah atau pergi tanpa seizin dari suami ialah haram. Salah satu alasan yang membuatnya haram karena meninggalkan suami mengarah pada terjadinya perceraian.

2. Menuntut kesempurnaan dalam rumah tangga

Layaknya manusia, tidak ada rumah tangga yang sempurna di dunia ini. Selalu ada perdebatan di rumah tangga, baik kecil maupun besar. Rumah tangga pun tidak akan semulus seperti kisah cinta di film-film atau novel-novel.Seorang istri yang menuntut kesempurnaan dalam rumah tangga bisa dibilang ia menunjukkan ciri istri yang durhaka. Itu artinya ia tidak bisa menerima kekurangan rumah tangganya, apalagi saat ada selisih.Ia pun seolah tidak bisa menerima kekurangan suaminya sebagai manusia biasa

3. Mengingkari segala bentuk kebaikan suami

Seorang perempuan yang kufur nikmat atas kebaikan suami juga menjadi salah satu ciri istri yang durhaka. Pasalnya, itu merupakan perbuatan yang tidak menunjukkan rasa terima kasih atas kerja keras suami yang telah memberikan hal-hal baik, misalnya seperti gaji.Istri yang diberi nafkah kemudian merasa tidak puas dengan nominal yang diberikan, maka sudah menunjukkan bahwa dirinya tidak bersyukur atas nikmat Allah yang dianugerahkan melalui suami.

4. Mengungkit kebaikan yang pernah dilakukan

Sebagai seorang istri, ada banyak kebaikan yang bisa dilakukan. Mulai dari menjaga rumah tangga, memelihara anak-anak dan keluarganya, taat kepada suami, dan lain sebagainya.Namun, ketika kebaikan itu diungkit-ungkit seakan-akan harus dibalas, itu menunjukkan tindakan istri yang durhaka. Seorang yang melakukan kebaikan seharusnya tidak mengharap imbalan yang lebih, sehingga keikhlasan bisa tercapai.

5. Cemburu berlebihan terhadap suami

Cemburu memanglah sifat yang lumrah, terutama pada kaum perempuan. Satu hal yang dilupakan perempuan, yakni cemburu harus berdasar atau memiliki alasan yang kuat.Akan jadi berlebihan apabila istri terlampau cemburu, sehingga menjadikan suami terkekang. Di zaman sekarang, tindakan ini disebut dengan overprotektif, yakni cemburu buta yang biasanya tidak memiliki alasan logis dan hanya berasal dari suuzan.

6. Terlalu sibuk kegiatan luar rumah

Tak ada salahnya apabila seorang istri memiliki kegiatan tambahan di luar rumah. Namun, pastinya hal itu harus mendapatkan izin dari suami dan tidak menjadikannya lupa dengan tanggung jawab sebagai istri.Hal yang paling sering terjadi ialah ketika istri terlalu sibuk dengam kegiatan luar, sehingga dia cenderung abai terhadap keluarganya. Inilah salah satu ciri istri yang durhaka karena tidak peduli dengan rumah tangganya.

7. Kurang atau tak bisa menjaga perasaan suami

Suami dan istri harus bisa menyenangkan hati pasangannya satu sama lain. Ada banyak jalan untuk menyenangkan hati pasangan, mulai dari mengucapkan kalimat-kalimat yang baik, menunjukkan wajah yang ramah, dan memberikan perhatian terhadap pasangan.Apabila seorang istri tidak bisa melakukan itu semua, dampaknya akan terasa pada perasaan suami. Ia akan merasa sedih dan merasa tidak dihargai apabila hal-hal baik seperti itu tidak diperolehnya.

Lebih parahnya lagi, apabila istri melontarkan kalimat-kalimat kasar yang menyakitkan hati. Hal ini jelas merupakan ciri istri yang durhaka terhadap suami.

8. Menceritakan keburukan suami atau keluarga

Perempuan memang dikenal kerap bercengkerama dengan perempuan lain. Tidak bisa dipungkiri, terkadang aktivitas tersebut terlalu berlebihan, sehingga mengarahkannya pada gibah. Allah SWT sangat melarang hamba-Nya bergibah karena itu seperti memakan daging bangkai saudaranya sendiri.

Istri yang menceritakan keburukan suami dan keluarganya, maka ia menunjukkan perilaku gibah. Padahal, seorang istri harus menutupi aib dirinya sendiri, suami, dan keluarga.

Istri yang bercerita tentang keburukan suami atau keluarga terhadap orang lain, berarti ia telah membuka aib sendiri.

9. Berkhianat, berhubungan dengan orang lain

Berkhianat atau menjalin hubungan dengan orang lain yang merupakan lawan jenis termasuk bentuk dosa besar.

Seseorang yang berkhianat atau berselingkuh menunjukkan bahwa ia tidak bisa memelihara rumah tangganya. Oleh karena itu, istri yang berkhianat tentu menunjukkan ciri istri yang durhaka karena telah mengingkari suaminya.

10. Membelanjakan uang suami secara berlebihan

Seorang suami bertanggungjawab dalam memberikan nafkah kepada istri dan keluarganya untuk hidup. Namun, apabila nafkah tersebut tidak dipergunakan dengan sebaik-baiknya, maka ini akan menjadi mudarat.Apalagi jika seorang istri berbohong tentang uang suami. Misalnya, hendak membeli sebuah rice cooker, namun berbohong soal nominalnya hanya agar ia bisa membeli kebutuhan pribadinya.Ini menjadi salah satu ciri istri yang durhaka karena berdusta dengan suami.

11. Sering mengeluhkan kehidupan rumah tangga

Berkaitan dengan fakta atau kenyataan bahwa tidak ada rumah tangga yang sempurna, ada baiknya bagi manusia untuk selalu bersyukur dan tabah dalam segala hal, terutama ketika dihadapi dengan urusan rumah tangga yang pelik.Istri yang sering mengeluhkan tentang kehidupan rumah tangganya, maka ia menunjukkan ciri dari istri yang durhaka. Pasalnya, itu artinya ia tidak bersyukur atas segala nikmat dan karunia di rumah tangganya.

12. Memaksa suami melakukan apa dimau

Terkadang, ada beberapa tindakan istri yang mengarah pada terkekangnya suami. Tindakan seperti overprotektif, materialistis, hingga perasaan ingin didengar tanpa mau mendengar, menjadi ciri dari istri yang durhaka.

Baik suami maupun istri sudah seharusnya melakukan segala hal (dalam kebaikan) yang diinginkan karena itu merupakan haknya. Namun, apabila istri secara koersif meminta suami melakukan hal yang sebenarnya tidak ingin suami lakukan, maka hal itu termasuk zalim. Istri yang salihah tentu menghindari tindakan tersebut.


Referensi sebagai berikut ini ;




Ilustrasi Gambar : Ciri Istri Durhaka menurut Islam, Cemburuan hingga Terlalu Sibuk