Golongan manusia yang pertama masuk neraka? Apakah orang kafir? Apakah orang munafik? Apakah orang yang berbuat zina? Ternyata bukan salah satu dari mereka. Ada tiga golongan yang pertama masuk neraka.
Imam Muslim berkata: Telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Habib Al-Haritsi, dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Khalid bin Al-Haritsi, dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij, dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Yunus bin Yusuf, dari Sulaiman bin Yasaar, dia (Sulaiman bin Yasaar) berkata, “Ketika orang-orang telah meninggalkan Abu Hurairah, maka berkatalah Naatil bin Qais al Hizamy Asy-Syamiy (seorang penduduk palestina dan beliau adalah seorang tabiin), ‘Wahai Syaikh, ceritakanlah kepadaku suatu hadits yang engkau telah dengar dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.’ ‘Ya, aku akan ceritakan,’ jawab Abu Hurairah.
Abu Hurairah berkata: Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam bersabda, “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, ‘Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berkata, ‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka.’
Selanjutnya Rasulullah Sahallahu alaihi wa sallam melanjutkan sabdanya, “Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al-Qur-an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, ‘Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca al-Qur-an hanyalah karena Engkau.’ Allah berkata, ‘Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca al-Qur-an supaya dikatakan seorang qari’ (pembaca al-Qur-an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’
Rasulullah Sahallahu alaihi wa sallam menceritakan orang selanjutnya yang pertama kali masuk neraka, “Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya, ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab, ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berkata, ‘Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka’,” (Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim, dan derajadnya Shohih).
Hadits di atas menjelaskan tentang ditolaknya suatu amal karena dilandasi dengan riya’. Syarat pokok diterima suatu amal shalih adalah ikhlas karena Allah semata, dan amal tersebut harus sesuai dengan contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Inilah dua landasan amal yang diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Referensi : Ini Dia 3 Golongan yang Pertama Masuk Neraka
Mendengar kata neraka, kita akan membayangkan keadaan yang menyeramkan dan menakutkan. Setiap orang pasti tak ingin menjadi penghuni neraka karena kengerian yang ada di dalamnya. Na'udzubillahi min dzalik! Tahukah Anda, ada tiga golongan manusia yang pertama kali diseret ke neraka. Siapakah mereka? Berikut pesan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam yang membuat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu menangis.
Hadis tersebut disampaikan oleh Rasulullah kepada Abu Hurairah ketika tidak ada orang lain bersama mereka. Ketika menyampaikan hadis ini kepada para sahabat, Abu Hurairah beberapa kali menangis hingga jatuh pingsan. Beliau mengabarkan tiga golongan manusia yang pertama kali masuk neraka adalah ulama (Ahli Qur'an); orang yang mati fisabilillah (Mujahidin); dan orang kaya (Dermawan).
Apa yang membuat mereka dimasukkan pertama kali ke dalam neraka? Mari kita simak Hadis Sahih berikut yang diriwayatkan Imam Muslim berikut: Abu Hurairah berkata: Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari Kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya (mengakuinya).
Allah bertanya kepadanya, "Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?" Ia menjawab, 'Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.' Allah berkata: "Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu)." Kemudian diperintahkan (Malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka." Rasulullah melanjutkan sabdanya: "Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur'an (para ulama dan ahli Qur'an).
Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, "Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?" Ia menjawab, 'Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca Al-Qur'an hanyalah karena Engkau'. Allah berkata, "Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang 'Alim (yang berilmu) dan engkau membaca Al-Qur'an supaya dikatakan seorang Qari' (pembaca Al-Qur'an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (Malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka." Rasulullah menceritakan orang selanjutnya yang pertama kali masuk neraka, "Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda.
Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Allah bertanya, "Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?" Ia menjawab, 'Aku tidak pernah meninggalkan sedekah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau'. Allah berkata: "Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu)'. Kemudian diperintahkan (Malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka". (Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Sahih)
Penyebab ketiga golongan muslin itu masuk neraka ternyata karena amal yang dilandasi Riya'. Kelihatannya sepele, tetapi Riya menyebabkan orang-orang yang berilmu dan punya harta dimasukkan ke dalam neraka. Pengasuh Al-Fachriyah, Al-Habib Jindan bin Novel Salim Jindan dalam satu tausiyahnya mengatakan, Riya' adalah penyakit hati yang dapat menyebabkan seorang muslim dimurkai Allah. Orang yang Riya ingin menunjukkan amalannya kepada orang lain dengan harapan mendapat pujian. Mereka beramal bukan untuk Allah, tetapi untuk mengharapkan sanjungan manusia. Bahayanya Riya ini dapat merontokkan pahala dan mendatangkan kemurkaan Allah.
Disebutkan oleh Habib Jindan, orang-orang saleh terdahulu apabila beramal mereka sangat khawatir amalannya diketahui orang lain. Kisah Imam Ali Zainal Abidin Berkaca dari kisah Salafus Saleh terdahulu mereka selalu menyembunyikan puasanya, menyembunyikan sholatnya dan merahasiakan sedekahnya. Bahkan ada yang berpuasa 20 tahun, sholat Tahajud tak pernah tinggal. Mereka menyembunyikan amalannya dan tidak perduli pujian dari manusia. Seperti Imam Ali Zainal Abidin setiap malamnya sholat sunnah 1.000 rakaat. Beliau seorang Tabiin yang sangat saleh.
Dikenal sebagai ahli ibadah dan juga seorang dermawan. Beliau merupakan anak keturunan Rasulullah dari jalur Sayidina Ali radhiyallahu 'anhu. Diceritakan oleh Habib Jindan, setiap malam beliau mengeluarkan sedekah kepada fakir miskin. Sebanyak 150 rumah orang miskin dinafkahi beliau selama bertahun-tahun dan tak seorang pun mengetahui kebiasaan beliau tersebut. Setelah meninggal dunia dan jasadnya dimandikan barulah amalan beliau diketahui penduduk Madinah. Orang-orang terkejut saat melihat bekas yang terdapat di tubuhnya.
Di punggung Imam Ali Zainal Abidin, terdapat bekas hitam karena sering memikul karung berisi tepung yang dibagikannya kepada kaum fakir. Kemudian di bawah matanya terdapat goresan bekas kucuran air mata yang setiap malam menangis kepada Allah Ta'ala. Subhanallah, begitulah dahsyatnya para Salafus Saleh yang beramal semata-mata untuk Allah.Semoga Allah berkenan melindungi kita dari pedihnya azab api neraka. Aamin. Golongan yang Pertama Masuk Surga Hadis Nabi di atas menjadi pelajaran berharga bagi kita agar ikhlas dalam beramal. Ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena yang lain. Dalam hadis lain, Rasulullah mengabarkan tiga golongan muslim yang pertama masuk surga.
Di antaranya, para Syuhada yang membela dan menegakkan agama Allah tanpa berharap pujian dari manusia. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: "Diperlihatkan kepadaku tiga (golongan) manusia dari umatku yang mula-mula masuk Surga (mereka adalah) orang yang mati sahid, orang fakir yang tidak meminta-meminta dan seorang budak yang tidak disibukkan oleh pekerjaannya dari taat beribadah kepada Allah." (HR at-Tirmidzi) Dalam riwayat lain disebutkan, dari Iyadh bin Himar berkata, "Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Penghuni surga itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu penguasa yang adil dan disenangi; orang yang mempunyai sifat penyayang dan lembut hati kepada sanak keluarganya dan sesama muslim, serta orang miskin yang menjaga kehormatannya sedangkan ia mempunyai keluarga." (HR Muslim)
Referensi : 3 Orang Ini Pertama Kali Dilempar ke Neraka
Dalam salah satu hadis sahih dari Abu Hurairah dikisahkan. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: “Ada dua orang laki-laki dari bani Isra’il yang saling bersaudara; salah seorang dari mereka suka berbuat dosa sementara yang lain giat beribadah. Orang yang giat beribadah itu selalu melihat saudaranya berbuat dosa hingga ia berkata, “Berhentilah.” Lalu pada suatu hari ia kembali mendapati saudaranya berbuat dosa, ia berkata lagi, “Berhentilah.” Orang yang suka berbuat dosa itu berkata, “Biarkan aku bersama Tuhanku, apakah engkau diutus untuk selalu mengawasiku!” Ahli ibadah itu berkata, “Demi Allah, sungguh Allah tidak akan mengampunimu atau tidak akan memasukkanmu ke dalam surga.”
Dikisahkan, Allah kemudian mencabut nyawa keduanya, sehingga keduanya berkumpul di sisi Tuhan semesta alam. Allah kemudian bertanya kepada ahli ibadah: “Apakah kamu lebih tahu dari-Ku? Atau, apakah kamu mampu melakukan apa yang ada dalam kekuasaan-Ku?” Allah lalu berkata kepada pelaku dosa: “Pergi dan masuklah kamu ke dalam surga dengan rahmat-Ku.” Dan berkata kepada ahli ibadah: “Pergilah kamu ke dalam neraka.” Abu Hurairah berkata, “Demi Dzat yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sungguh ia telah mengucapkan satu ucapan yang mampu merusak dunia dan akhiratnya.” (HR Abu Dawud no. 4255).
Kisah tersebut secara verbal terasa ironi. Jangan salah paham. Siapapun yang benar-benar berdosa, jangan terus berdosa, berhentilah berdosa. Sedangkan ahli ibadah jangan berkecil hati, teruslah beribadah dengan ikhlas tanpa riya. Hadis Nabi tersebut pesannya level hakikat dan makrifat. Sebagai ibrah. Nabi mengajarkan agar umat beriman yang alim dan ahli ibadah sekalipun haruslah rendah hati (tawadhu’) serta tidak boleh sombong dengan merasa paling benar dalam beragama. Menjadi polisi kebenaran. Lebih-lebih merasa telah memegang kunci sorga. Masuk sorga sendirian.
Memegang kebenaran merupakan keharusan (QS Al-Baqarah/2 : 147). Tetapi merasa diri paling benar, paling bersih, dan paling suci mesti dihindari agar tidak terjebak pada sikap berlebihan (ghuluw, ekstrem). Sikap berlebihan dalam hal apapun akan membuat diri menjadi seolah sebagai pengawas dan hakim kebenaran terhadap orang lain, yang belum tentu pihak lain berada di jalan salah atau sepenuhnya salah. Merasa menjadi polisi dunia. Padahal hidup bersama orang lain yang mesti setara dan berdialog, serta tidak dapat memaksakan kehendak dan pandangan sendiri.
Memang “saya ini siapa?”. Kenapa mesti gemar menghakimi orang lain dan keadaan dengan kacamata sendiri dalam aura absolut. Apalagi dengan kebiasaan menghardik, menghukumi, menyesat-nyesatkan, melabeli, dan sederet kata-kata digdaya. Bahkan memandang orang lain yang sama-sama menyuarakan dan membawa misi kebenaran dengan cara berbeda sebagai salah, lembek, dan rendah. Seolah diri berada di atas tahta kebenaran nan agung. Padahal, Nabi yang maksum dan dinobatkan Allah sebagai uswah hasnaah, begitu rendah hati dan bijaksana.
Kata pepatah, ingat di atas langit ada langit. Kenapa begiturupa merasa diri paling benar dan menjadi pengawal kebenaran? Apa salahnya suara kebenaran itu pun dibawa dengan cara hikmah, mauidhah hasanah, dan dialogis sebagaimana diajarkan Tuhan (QS An-Nahl: 125). Nabi Musa dan Nabi Harun yang pemberani dan gagah perkasa pun diajarkan untuk berlemah-lembut. “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut” (QS Thaha: 43-44). Bahwa pada akhirnya Fir’aun tidak mau mendengar dan tidak takut, itu sudah masuk urusan Tuhan, hingga berujung nestapa di Laut Merah.
Apalagi kebenaran yang bersifat pengetahuan, ilmu, dan menyangkut urusan kehidupan dunia atau muamalah-dunyawiyah. Ushul fikih mengajarkan, urusan muamalah itu hukumnya ibahah (boleh) kecuali yang terang dilarang menurut syariat. Hal yang disebut syar’i pun banyak aspek dan mazhabnya, tidaklah tunggal dan serba absolut. Maka, jangan memutlakkan pandangan soal urusan dunia seperti politik, ekonomi, hukum, budaya, dan sebagainya. Cara memahami dan menghadapi urusan dunia pun tidak bisa hitam-putih, perlu banyak pandangan dan langkah. Siapapun yang suka memutlakkan urusan dunia, lebih-lebih dengan kacamata sendiri, sama dengan tidak memahami kenyataan hidup secara luas, mendalam, dan terkoneksi satu sama lain dalam matarantai kehidupan yang kompleks.
Islam Mengajarkan Tidak Merasa Paling Benar
Islam mengajarkan umatnya agar tidak merasa diri paling benar, paling bersih. Pihak lain dianggap salah dan kotor. Allah mengingatkan umat beriman, “Apakah kami tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah mensucikan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.” (QS An-Nisa/4: 49). Sementara Nabi dalam hadis dari Abu Hurairah, baginda berkata, “Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.” (HR. Bukhari).
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah pernah berkata penuh ibrah, “Jika Allah Ta’ala membukakan untukmu pintu shalat malam, jangan memandang rendah orang yang tertidur. Jika Allah membukakan untukmu pintu puasa (sunnah), janganlah memandang rendah orang yang tidak berpuasa.”. Dikatakan, “Dan jika Allah membukakan untukmu pintu jihad, maka jangan memandang rendah orang lain yang tidak berjihad. Sebab, bisa saja orang yang tertidur, orang yang tidak berpuasa (sunnah), dan orang yang tidak berjihad itu lebih dekat kepada Allah ketimbang dirimu.”.
Di pagi hari yang jernih ini, sangatlah elok kita berefleksi diri. Ambilah ibrah, pelajaran sarat makna dari tempat manapun. Hisablah diri sebelum menghisab dan dihisab orang. Bila kita benar sekalipun, tidak perlu gemar menyalahkan orang lain. Jika diri perkasa, apakah tidak congkak menganggap orang lain lunak dan lemah. Seringlah merenung, siapa tahu kita salah menilai keadaan, ketika kita terlalu yakin akan kebenaran sendiri. Agar kita tidak zalim terhadap orang lain dan gagal paham tentang keadaan.
Imam Syafii yang luas ilmu dan luhur akhlaknya berkata bijak, kalamy shawaabu yahtamilu al-khathaa, wa kalamu ghairy hathau yahtamilu al-shawaaba. Artinya: “Pendapatku boleh jadi benar tetapi berpeluang salah, sedangkan pendapat orang lain bisa jadi salah namun berpeluang benar.”
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil. Dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. al-Baqarah: 188).
Harta adalah hal yang sakral
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menjelaskan kesakralan harta karena kehidupan dunia yang baik terwujud dengan adanya harta. Hal ini sebagaimana Allah menerangkan kesakralan agama yang dengannya akan terwujud kehidupan akhirat yang indah. Harta dan agama adalah hak Allah sehingga keduanya tidaklah dikelola kecuali dengan seizin-Nya. Karena itulah Allah mengaitkan harta dan agama pada diri-Nya sendiri sebagai bentuk penghormatan atas kesakralan keduanya.
Terkait harta, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya orang-orang yang memperolok-olok harta Allah (baca: menggunakannya dengan cara yang tidak benar), bagi mereka adalah neraka pada hari kiamat” (HR. Bukhari no. 3118).
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain” (QS. al-An’am: 68).
Allah Ta’ala menyebut pelanggaran terhadap harta dan agama-Nya sebagai khaudh (tindakan mengolok-olok).
Bentuk-bentuk pelanggaran terhadap harta
Pelanggaran terhadap harta bisa terjadi di tangan pemilik yang dianugerahi kepemilikan harta oleh Allah dan bisa terjadi di tangan orang lain. Manusia tidak sepenuhnya diperkenankan mengelola harta meski dia memilikinya, karena diri dan hartanya adalah milik Allah. Maka merusak harta pribadi adalah perbuatan yang diharamkan sebagaimana mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar.
Itulah mengapa Allah Ta’ala berfirman “تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ” yang secara harfiah berarti “janganlah kalian memakan harta kalian sendiri di antara kalian”. Pada ayat tersebut, Allah menyamakan antara orang yang memakan harta orang lain secara batil dan orang yang memakan harta pribadi secara batil. Orang pertama merusak harta orang lain, sedangkan orang kedua merusak harta pribadinya. Meskipun demikian, kesakralan harta pada dasarnya sama.
Ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa dengki, tamak, dan egois adalah faktor yang mendorong jiwa untuk berbuat melampaui batas terhadap hak-hak orang lain. Jiwa yang memandang hak orang lain sebagai hal yang sakral sebagaimana haknya sendiri, tentu akan menghormati harta orang lain sebagaimana dia menghormati harta pribadinya.
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menjelaskan bentuk pelanggaran terhadap harta dengan ketidakadilan yang dilakukan oleh orang yang tidak berhak, baik dengan cara merampas, mencuri, mempraktikkan riba dan gharar, atau hal yang semisal. Hal yang paling buruk dari itu semua adalah merampas harta halal dengan trik yang melegalkan dan menggugurkan hak pemilik yang sah. Hal ini bisa terjadi entah karena ketiadaan bukti yang dimiliki oleh pemilik setelah harta itu dirampas darinya atau karena perampasan dan pengguguran hak dari pemilik yang sah dilegalkan dengan cara yang batil.
Ali ibn Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu, beliau mengomentari ayat ini dengan perkataan beliau,
فهذا في الرجل يكون عليه مالٌ، وليس عليه فيه بيِّنة، فيجحد المال، فيخاصمهم فيه إلى الحكام وهو يعرف أنّ الحق عليه، وهو يعلم أنه آثم: آكلٌ حراما
“Ayat ini berkaitan dengan orang yang memiliki tanggungan harta (utang), namun tidak ada bukti yang mendukung hal tersebut. Akibatnya, dia pun menentang kewajiban itu dan membawa sengketa ini ke hakim, sementara dia tahu kebenaran berseberangan dengan dirinya dan tahu dia berdosa karena memakan hal yang haram” (Tafsir ath-Thabari, 3: 277; Tafsir Ibn Abi Hatim, 1: 321).
Padahal, seyogyanya orang beriman mengakui kekeliruan ketika bersalah, bukan malah membela diri dan mempertahankan kesalahan. Apalagi sampai membawa sengketa tersebut ke sidang pengadilan untuk sekadar membuktikan pada masyarakat bahwa dirinya tidak bersalah. Ibnu Abi Najih meriwayatkan dari Mujahid, beliau berkata,
لَا تُخَاصمْ وَأَنْتَ تعلمُ أنَّك ظَالِمٌ
“Janganlah kamu bersengketa, sedangkan kamu tahu bahwa dirimu berada di pihak yang zalim” (Tafsir Ibn Abi Hatim, 1: 321).
Putusan hakim yang keliru tidak mampu mengubah kebenaran
Ayat ini juga merupakan dalil bahwa ketetapan penguasa dan keputusan hakim tidaklah mengubah hak yang belum tersingkap, dalam kondisi si perampas mengetahui bahwa dia telah mengambil harta itu secara zalim. Putusan hakim hanya memutuskan perselisihan dan menyelesaikan sengketa yang nampak. Akan tetapi, ulama sepakat putusan terhadap harta tersebut tidak mengubah hak yang tersembunyi. Dalam hal ini, hakim boleh jadi diberi pahala atas putusannya selama tidak terlibat dalam tindak kezaliman tersebut, sedangkan tetap zalim lagi berdosa meski memenangkan putusan.
Firman Allah Ta’ala “وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ”, “dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”, berarti Engkau tahu kebenaran, tetapi Engkau menyembunyikannya dari orang yang berhak dengan berupaya melegalkan perampasan yang Engkau lakukan dengan berbagai ketetapan dan putusan karena ketiadaan bukti yang dimiliki oleh pemilik harta. Perbuatan seperti inilah yang diwanti-wanti oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda-Nya,
“Aku ini hanyalah manusia biasa dan sesungguhnya pertengkaran (sengketa) seringkali dilaporkan kepadaku. Dan bisa jadi salah seorang di antara kalian lebih pandai bersilat lidah daripada lainnya. Lalu aku menganggap dia benar, kemudian aku berikan kepadanya sesuai pengakuannya itu. Maka siapa saja yang aku putuskan menang dengan mencederai hak seorang muslim, berarti itu adalah potongan dari api neraka. Karena itu, hendaklah dia ambil atau ditinggalkannya” (HR. Bukhari no. 2458 dan Muslim no. 1713).
Islam melarang segala bentuk upaya mendapatkan rezeki dengan cara-cara yang zalim dan haram seperti memfitnah, menjatuhkan orang lain, menipu dan sebagainya. Menurutnya orang yang memperoleh rezeki dengan cara menzalimi orang lain akan berdampak pada perilaku kesehariannya. Hidupnya tidak tenang dan selalu mengerjakan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama. "Setiap asupan yang masuk ke dalam tubuh manusia akan mempengaruhinya, baik secara fisik, emosional, psikologis, maupun spiritual, dari makanan haram akan timbul pikiran dan perbuatan haram dan menyebabkan masuk neraka," kata Gus Fahrur. Rasulullah SAW bahkan mengingatkan sahabat Kaab bin Ujrah bahwa badan yang tumbuh dari perkara haram berhak dibakar api neraka. Keterangan ini dapat ditemukan pada hadits riwayat Imam Tirmidzi.
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” Sebaliknya, menurut Gus Fahrur, rezeki yang diperoleh dengan cara yang baik dan halal akan menghadirkan ketenangan dalam jiwa. Orang yang menggunakan rezeki yang halal hidupnya akan terarah dan penuh keberkahan. Selain itu menggunakan rezeki yang halal menurut Gus Fahrur menjadi syarat diterimanya setiap doa oleh Allah SWT. Sementara orang yang terbiasa menggunakan harta haram doanya pun terhalang. "Memakan harta haram berarti mendurhakai Allah SWT dan mengikuti langkah setan," katanya.
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” Orang yang memperoleh rezeki dengan cara batil atau dengan menzalimi pihak lainnya seperti menjatuhkan nama baik orang lain dengan menyebar hoaks telah melakukan dosa dan akan mendapat siksaan di neraka.
Referensi : Waspadalah, Ini Dampak Pekerjaan yang Dihasilkan dari Menzalimi Orang Lain
Hukum Memakan Harta Anak Yatim Menurut Agama Islam. Sebagai agama yang sempurna, Islam mengajarkan untuk memuliakan semua makhluk hidup, teutama sebagai sesama manusia. Anak yatim adalah salah satu yang dianjurkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW untuk disantuni. Untuk itu ada banyak keutamaan yang bisa didapatkan seorang muslim jika menyantuni anak yatim. Anak yatim hidup dengan kondisi yang sudah ditinggalkan seorang Ayah serta kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Untuk itu, tidak heran jika memang Islam memerintahkan kita untuk menyantuni anak-anak yatim dan jangan sekali-kali memakan harta anak yatim.
Dalam suatu riwayat, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mengambil anak yatim dari kalangan Muslimin, dan memberinya makan dan minum, Allah akan memasukannya kedalam surga, kecuali apabila ia berbuat dosa besar yang tidak terampuni.” (HR. Tirmidzi).
Hadits ini menunjukkan betapa mulianya orang-orang yang mau menyantuni anak yatim dalam hidupnya. Pahala dan surga menjadi jaminan bagi mereka, karena amalan yang telah dilakukan tersebut. Termasuk jika kita ingin memberikan sedekah dan zakat untuk anak yatim (sesuai dengan ketentuan golongan penerima zakat menurut Islam), maka ada keutamaan tersendiri
Namun, dalam Islam juga dilarang bagi kita untuk memakan harta anak yatim. Bahkan Allah memberikan kecaman yang luar biasa, bagi mereka yang melakukannya. Apalagi, anak yatim biasanya membutuhkan dukungan, bantuan, dan perlindungan lebih saat ayah atau orang tuanya telah tiada. Dalam sejarah masa lalu, tentu ada orang-orang yang tega berbuat hal tersebut. Berikut adalah penjelasan mengenai hukum memakan harta anak yatim dalam Islam.
Ayat dan Hadits tentang Memakan Harta Anak Yatim
Dalam Al-Quran dan hadits telah banyak disebutkan bahwa hukum memakan harta anak yatim atau mengambil harta anak yatim adalah suatu yang dosa dan Allah berjanji akan membalasnya kelak di akhirat dengan siksaan neraka. Untuk itu, perlu kita ketahui apa saja ayat dan hadits tersebut, agar kita bisa memahami dan meyakininya, sehingga kita menjauhi segala perkara yang menjerumuskan pada perilaku mengambil harta anak yatim tersebut.
1. QS Al-Ma’un: 1-2
Dalam Al-Quran surat Al-Ma’un ayat 1-2, Allah berfirman, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka mereka itulah orang yang menghardik anak yatim.”. Dalam ayat ini disebutkan bahwa menghardik anak yatim, dalam artian mencaci maki dan membiarkannya dalam kesulitan adalah dosa yang sangat besar. Untuk itu, jangankan mengambil hartanya, memakinya saja Allah memberikan kecaman yang luar biasa. Untuk itu, sayangi dan berilah perlindungan untuk mereka.
2. HR Bukhari dan Muslim
Dosa yang juga besar adalah termasuk jika kita mengambil dan memakan harta anak yatim, dimana harta tersebut bukanlah hak dari kita, tentu sebuah dosa yang sangat besar. Hal ini juga disebutkan dalam hadits. Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang merusak,” dan salah satu diantara perkara yang Rasulullah sebutkan adalah “Memakan harta anak yatim.” (HR. Bukhari dan Muslim).
3. HR Ibnu Jarir
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibu Jarir juga disebutkan bahwa balasan Allah begitu pedih saat mereka mengambil harta anak yatim. Tentu kita tidak ingin dibangkitkan dalam kondisi yang menyedihkan seperti ini bukan?
“Orang yang memakan harta anak yatim secara zalim akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam keadaan keluar nyala api dari mulut, telinga, hdiung, dan matanya. Siapapun yang melihatnya pasti akan mengetahui bahwa ia adalah pemakan harta anak yatim.”
4. QS An-Nisa: 10
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala (nereka)”. Dalam surat An-Nisa ayat 10 berikut, telah jelas bahwa ketika kita memakan harta anak yatim, maka sebenarnya kita sedang menjerumuskan diri sendiri ke dalam jurang neraka. Kita memakan api sendiri dan membuat diri kita tersiksa nantinya di akhirat. Tentu hal ini perlu kita hindari sahabat.
5. QS Al-An’am: 151-152
“Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepda ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti. Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabatmu dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia memerintahkan padamu agar kamu ingat.”
Dalam ayat ini, sudah sangat jelas bahwa mendekati harta anak yatim saja dilarang, apalagi mengambil dan menjadikannya hak yang bukan seharusnya oleh kita. Untuk itu, seharusnya kita menjaga hartanya, memelihara, dan membuat anak-anak yatim tersebut tumbuh berkembang menjadi anak-anak yang sukses.
Cara Menjauhi Harta Anak Yatim
Seperti penjelasan dari ayat-ayat Al-Quran dan hadits, Allah begitu mengecam orang-orang yang mengambil harta anak yatim untuk kebutuhan dirinya sendiri. Tentu hal ini perlu kita jauhi, agar kita pun terhindar dari api neraka. Untuk menjauhi harta anak yatim, kita bisa melakukan hal-hal berikut ini.
Carilah harta yang cukup dan halal, dengan begitu kita tidak akan mengganggu harta yang bukan milik kita sendiri
Cintai dan sayangi anak yatim. Bayangkan mereka adalah diri kita. Bagaimana perasaan dan nasib hidupnya jika kita mengambil harta mereka dan mendzaliminya
Jangan hardik anak yatim jika kita tidak mampu membantu dan memberikannya kebahagiaan. Berikanlah kasih sayang dan hati yang ikhlas untuk mereka, walaupun belum bisa memberikannya dengan materi.
Percayalah, bahwa Allah akan membalas segala amal perbuatan baik kita dan juga amal perbuatan buruk kita dengan balasan yang setimpal. Jika kita menyayangi, menyantuni, dan memenuhi kebutuhan anak-anak yatim, insya Allah kita adalah bagian dari golongan Rasulullah SAW dan balasan surga akan diberikan juga oleh Allah.
Referensi : Hukum Memakan Harta Anak Yatim Menurut Agama Islam
Sekarang ini orang tidak lagi peduli dari manakah hartanya berasal, apakah dari yang halal ataukah dari yang haram. Asalkan mengenyangkan perut, dapat memuaskan keluarga, itu sudah menyenangkan dirinya. Padahal harta haram sangat berpengaruh sekali dalam kehidupan seorang muslim, baik mempengaruhi ibadahnya, pengabulan do’anya dan keberkahan hidupnya. Di antara pengaruh dalam ibadah yaitu berdampak pada kesahan ibadahnya, seperti pada ibadah shalat, haji atau pun sedekahnya. Karena Allah hanyalah menerima yang thoyyib yaitu yang baik dan halal.
Hanya Diterima yang Halal
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik).“ (HR. Muslim no. 1015). Yang dimaksud dengan Allah tidak menerima selain dari yang thoyyib (baik) telah disebutkan maknanya dalam hadits tentang sedekah. Juga dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014).
Halal Mempengaruhi Amalan Sholih
Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam (1: 260) berkata, “Dalam hadits ‘Allah tidaklah menerima selain dari yang halal’ terdapat isyarat bahwa amal tidaklah diterima kecuali dengan memakan yang halal. Sedangkan memakan yang haram dapat merusak amal dan membuatnya tidak diterima.” Oleh karena itu, setelah mengatakan Allah tidak menerima melainkan dari yang halal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membawakan ayat yang berisi perintah yang sama pada para Rasul dan orang beriman,
“Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Mu’minun: 51).
“Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.’” (QS. Al Baqarah: 172).
Yang dimaksud dengan ayat tersebut, para Rasul dan umat mereka diperintahkan untuk mengkonsumsi yang halal dan diperintahkan pula untuk beramal sholih. Jika yang dikonsumsi adalah yang halal, maka amalan sholihnya diterima. Jika yang dikonsumsi adalah yang haram, maka bagaimana bisa diterima? Karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah di atas menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a,
“Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?“ (HR. Muslim no. 1014)
Dijelaskan pula oleh Syaikh Sholih Al Fauzan hafizhohullah, anggota Al Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa di Saudi Arabia) ketika menjelaskan hadits ‘Allah hanya menerima dari yang halal’ bahwa memakan makanan yang halal bisa menolong dalam melakukan ketaatan pada Allah karena beramal sholih diperintahkan setelah perintah memakan makanan yang halal. Jadi, semakin baik makanan yang kita konsumsi, semakin mudah pula kita dalam beramal. Lihat Al Minhah Ar Robbaniyyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 137. Juga lihat bahasan Syaikh Sholih Alu Syaikh dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 163.
Haji dan Shalat dengan Harta Haram
Dari pembahasan ini, para ulama memiliki bahasan apakah shalat di tanah rampasan itu sah ataukah tidak. Imam Ahmad berpendapat tidak sahnya. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat sahnya tetapi berdosa.
Begitu pula para ulama membahas bagaimana jika ada yang berhaji dengan harta haram, sahkah hajinya? Imam Ahmad memiliki dua pendapat dalam masalah ini, namun yang masyhur, hajinya tidak sah. Landasannya adalah hadits yang mengatakan bahwa Allah hanya menerima dari yang thoyyib. Sedangkan jumhur ulama berpendapat sahnya haji dengan harta haram, namun hajinya tidak mabrur. Sehingga wajib bagi yang ingin melaksanakan haj memperhatikan harta yang ia gunakan.
Kita dapat mengambil pelajaran pula bahwa Allah hanyalah menerima dari yang bertakwa, di antara bentuk takwa adalah menjaga diri dari penghasilan haram. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Allah hanya menerima dari orang yang bertakwa” (QS. Al Maidah: 27). Imam Ahmad pernah ditanya oleh seseorang mengenai makna ‘muttaqin’ (orang yang bertakwa) dalam ayat tersebut dan beliau menjawab bahwa yang dimaksud adalah menjaga diri dari sesuatu yang tidak halal yang masuk ke dalam perut. Demikian dinukil dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 262. Lihat pula pembahasan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath Thorifi dalam Shifat Hajjatin Nabi, hal. 39-40 dan Syaikh Sa’ad Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in, hal. 92.
Sedekah dengan Harta Haram
Mengenai sedekah dengan harta haram, maka bisa ditinjau dari tiga macam harta haram berikut:
1- Harta yang haram secara zatnya. Contoh: khomr, babi, benda najis. Harta seperti ini tidak diterima sedekahnya dan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau dimusnahkan.
2- Harta yang haram karena berkaitan dengan hak orang lain. Contoh: HP curian, mobil curian. Sedekah harta semacam ini tidak diterima dan harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik sebenarnya.
3- Harta yang haram karena pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta dari hasil dagangan barang haram. Sedekah dari harta jenis ketiga ini juga tidak diterima dan wajib membersihkan harta haram semacam itu. Namun apakah pencucian harta seperti ini disebut sedekah? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Intinya, jika dinamakan sedekah, tetap tidak diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim no. 224). Ghulul yang dimaksud di sini adalah harta yang berkaitan dengan hak orang lain seperti harta curian. Sedekah tersebut juga tidak diterima karena alasan dalil lainnya yang telah disebutkan, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014). Lihat bahasan Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 92-93.
Adapun bersedekah dengan harta yang berkaitan dengan hak orang lain (barang curian, misalnya), maka Ibnu Rajab membaginya menjadi dua macam,
1- Jika bersedekah atas nama pencuri, sedekah tersebut tidaklah diterima, bahkan ia berdosa karena telah memanfaatkannya. Pemilik sebenarnya pun tidak mendapatkan pahala karena tidak ada niatan dari dirinya. Demikian pendapat mayoritas ulama.
2- Jika bersedekah dengan harta haram tersebut atas nama pemilik sebenarnya ketika ia tidak mampu mengembalikan pada pemiliknya atau pun ahli warisnya, maka ketika itu dibolehkan oleh kebanyakan ulama di antaranya Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 264-268.
Di Manakah Menyalurkan Harta Haram?
Dari pendapat terkuat dari pendapat yang ada, harta haram harus dibersihkan, tidak didiamkan begitu saja ketika harta tersebut tidak diketahui lagi pemiliknya atau pun ahli warisnya. Namun di manakah tempat penyalurannya? Ada empat pendapat ulama dalam masalah ini:
Pendapat pertama, disalurkan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak khusus pada orang dan tempat tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pendapat kedua, disalurkan sebagai sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang terdapat maslahat, pemberian pada fakir miskin atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam Ghozali dari ulama Syafi’iyah.
Pendapat ketiga, disalurkan pada maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain untuk masjid. Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut berasal dari harta yang thohir (suci).
Pendapat keempat, disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.
Ringkasnya, pendapat pertama dan kedua memiliki maksud yang sama yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin seperti diberikan pada fakir miskin. Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan pembatasan pada jihad saja, namun menunjukkan afdholiyah. Sedangkan pendapat keempat dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaro’an (kehati-hatian) dalam masalah asal yaitu shalat di tanah rampasan (al ardhul maghsubah), di mana masalah kesahan shalat di tempat tersebut masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta haram tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid.
Referensi : Ibadah Dan Sedekah Dengan Harta Haram Tidak Akan di Terima Allah Swt
لأنْ تلقى الله تعالى بسبعين ذنباً فيما بينك وبينه؛ أهونُ عليك من أن تلقاه بذنب واحد فيما بينك وبين العباد
“Andai anda bertemu Allah dengan memikul 70 dosa yang kaitannya antara anda dan Dia, itu lebih ringan daripada engkau bertemu Allah, dengan membawa satu dosa, namun dosa itu kaitannya antara dirimu dengan manusia” (lihat: Tanbih al Ghofilin, hal. 380).
Karena Allah mudah bagi-Nya untuk mengampuni dosa-dosamu. Dia Tuhan yang Maha Pengampun lagi Penyayang. Adapun Dosa terhadap sesama manusia tidak bisa diampuni dengan shalat, puasa, ataupun zakat, tetapi dengan meminta maaf ke orang yang pernah dizaliminya.
Kezaliman yang tidak dibiarkan oleh Allah adalah kezaliman seorang hamba terhadap sesama mereka. Karena dipastikan akan ada saling tuntut. Mereka yang dizalimi akan menuntut keadilan Allah Ta'a di Hari Pembalasan nanti.
Dosa dengan sesama manusia, belum Allah ampuni jika orang yang dizalimi belum memberi maaf. Memfitnah, menyebarkan berita bohong, Mencaci, menggunjing (ghibah) orang lain kalau yang di dzalimi tidak merima, maka diakhirat akan ditagih dan dosanya akan ditimpakan ke orang yang mencaci dan menggunjinginya.
Begitu pula jika menganiaya, memakan harta orang lain, Menipu, sengaja tidak membayar hutang. Maka di akhirat akan mendapatkan hal yang sama, yakni dosa orang yang memberi hutang akan ditimpakan kepada orang yang berhutang.
Siapa yang merasa pernah berbuat zalim kepada saudaranya, baik berupa kehormatan badan dan harta atau lain-lainnya, hendaknya segera meminta maafnya, sebelum datang suatu hari yang tiada manfaat lagi seluruhnya.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Bersabda :
Barangsiapa berbuat kezhaliman terhadap saudaranya (orang lain), hendaklah dia meminta maaf atas kezhalimannya. Karena (pada hari Kiamat), di sana tidak ada dinar (dan) tidak pula dirham sebagai penebusnya, sebelum diambil kebaikan dari dirinya untuk saudaranya tersebut. Apabila dia tidak memiliki kebaikan, maka diambillah kejelekan saudaranya tersebut dan dilimpahkan kepadanya. (HR Bukhari No 2269)
Masuknya orang Islam ke neraka berbeda dengan masuknya orang beriman dan bertakwa ke tempat tersebut. Orang Islam masuk ke neraka karena timbangan amal kebajikannya lebih sedikit dibanding dengan keburukannya. Tentunya mereka akan terjatuh dari titian syirat, kemudian mendapat azab api neraka untuk membersihkan dosa-dosanya. Orang beriman dan bertakwa masuk ke neraka berupa kunjungan, untuk melihat-lihat orang-orang yang dikenalnya dulu di dunia. Hikmahnya supaya orang beriman lebih bersukur karena tidak disentuh api neraka dan mendapat kesempatan, membalas olok-olokan orang kafir atau munafik yang menyakitinya di dunia.
Firman Allah Swt:
Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut. (QS. Maryam: 71-72)
Hikmah yang lain masuknya orang beriman dan bertaqwa ke dalam neraka karena permohonannya di surga, dikabulkan untuk meberikan syafa’at kepada orang-orang yang dicintainya di dunia. Permohonan ahli surga niscaya akan dikabulkan, walaupun meminta untuk berkunjung ke neraka sekalipun. Tentunya suasana haru tidak bisa dihindari ketika bertemu dengan orang, yang dicintainya masuk neraka dan diselamatkan masuk surga. Kesempatan emas masuk surga tersebut tidak akan disia-siakan, bagi mereka yang masuk neraka untuk meminta tolong kepada orang beriman. Orang kafir dan munafik yang suka berbuat zalim dengan sombongnya, menolak kebenaran dan merendahkan orang lain akan dihinakan dengan berlutut sebagai orang berdosa
Firman Allah Swt :
Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. (QS. Ibrahim: 18)
Selama orang yang masuk neraka tersebut sampai akhir hayatnya masih tetap memeluk agama Islam, maka masih ada harapan untuk diberi syafaat dari orang yang dicintainya. Allah Yang Maha Penyayang dan Rasulullah SAW. juga bisa memberi syafa’at, sehingga dimasukkan ke surga tanpa harus menunggu sampai dosa-dosanya habis terbakar. Bagi mereka yang tidak mendapat syafa’at menunggu sampai dosa-dosanya habis terbakar, setelah bersih baru dimasukkan ke dalam surga. Neraka yang dipenuhi dengan api, tentunya suhunya sangat panas yang menyebabkan siapa saja akan kehausan atau dahaga yang berkepanjangan.
Firman Allah ta’ala:
Dan Kami akan menghalau orang-orang yang durhaka ke neraka Jahannam dalam keadaan dahaga. (QS. Maryam: 86)
Orang yang masuk neraka diazab dengan berbagai macam siksaan dari dalam dan luar dirinya. Azab dari dalam dirinya seperti rasa dahaga, lapar dan bentuk tubuh yang dihinakan oleh Allah seperti bentuk tubuh manusia berkepala binatang atau mukanya cacat seperti bibirnya sumbing. Azab dari luar dirinya berupa api yang bergejolak membakar sekujur tubuh sampai hangus menghitam. Pukulan cambuk dari besi dan siraman air mendidih atau yang diminumkan, sehingga memotong ususnya tidak bisa dibayangkan pedihnya azab tersebut. yang silih berganti tiada akhirnya.
Firman Allah ta’ala:
Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? (Yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, (QS. Al-Humazah: 4-8)
Begitu pedihnya azab api neraka tidak hanya menghanguskan kulit akan tetapi juga membakar sampai ke hati. Apalagi orang yang diazab dimasukkan ke dalam neraka yang tertutup, seperti dimasukkan ke dalam kuali besar untuk memasak manusia hidup-hidup. Pintu neraka yang berjumlah tujuh tentu sangat besar pada bagian luarnya dan sesuai dengan Hadis di dalam pintu tersebut ada orang yang disiksa dalam kuali tertutup. Dijelaskan juga di dalam Hadis lain bahwa para pemfitnah dan pengadu domba rahangnya lebih berat dari gunung Uhud dan lebar bahunya sejauh beberapa hari perjalanan. Hal ini berarti penduduk neraka ukuran tubuhnya sangat besar seperti raksasa dan azab untuk membakarnya akan sangat lama. Seperti membakar ikan paus akan lebih lama dibandingkan membakar kambing guling.
Firman Allah ta’ala:
Jahannam itu mempunyai tujuh pintu. Tiap-tiap pintu (telah ditetapkan) untuk golongan yang tertentu dari mereka. (QS. Al-Hijr: 44)
Surga mempuyai delapan pintu dan neraka memiliki tuju pintu, menunjukkan kasih sayang-Nya melebihi murka-Nya. Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang mengalahkan Maha Memberi Mudarat yang berarti rahmat atau kasih sayang-Nya meliputi alam semesta. Satu pintu surga saja sangat luas lebih dari 1.200 kilometer, kalau delapan pintu tentuya sangat luas dan apalagi luasnya surga itu sendiri tidak bisa dihitung. Satu derajat di surga tingginya antara langit dan bumi, kalau tingkatan surga mujahid saja 100 tingkatan bagaimana dengan 99 tingkatan lainnya hanya Dia yang tahu.
Firman Allah ta’ala:
Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya. (QS. Huud: 119)
Walapun begitu luas dan besarnya neraka akan tetapi Allah Yang Maha Memmberi Mudarat akan memenuhi neraka dengan jin dan manusia. Karena begitu banyaknya jin dan manusia yang ingkar pada-Nya sejak zaman Nabi Adam AS. sampai datangnya kiamat. Jumlah manusia saja puluhan atau ratusan milyar dan ditambah jin, yang dijelaskan di Hadis lebih banyak dari manusia. Hal ini disebakan satu manusia saja dikerubuti beberapa jin kafir atau setan yang akan menggodanya. Makin banyak manusia dan jin di neraka maka tentunya semakin panas nyalanya karena bahan bakar neraka manusia, jin dan batu. Semoga kita termasuk orang beriman yang sungguh-sungguh menyiapkan bekal iman dan amal saleh untuk kehidupan setelah kematian! Aamiin
Referensi : Apakah Setiap Orang Islam akan Disiksa Dulu di Neraka, Baru Masuk Surga?
Terdapat tujuh perbuatan yang bisa menyebabkan manusia masuk neraka. Terdapat tujuh perbuatan yang bisa menyebabkan manusia masuk neraka. Terdapat banyak amalan yang bisa mengarahkan seseorang ke neraka. Amalan tersebu beberapa di antaranya sangat familier dalam kehidupan sehari-hari. Pertama memakan harta riba. Allah SWT berfirman, “ …orang yang kembali (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS Al Baqarah [2]: 275).Kedua, memakan harta anak yatim. “Sesungguhnya, orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS An Nisa’ [4]: 10).
Ketiga, meninggalkan sholat. “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan, sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (QS al-Qalam [68]: 42-43).
Keempat, suka menggunjing. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka karena sebagian dari purbasangka itu dosa. Dan, janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hujurat [49]: 12).
Kelima, pemimpin yang menipu rakyatnya. Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang diberikan urusan oleh kaum Muslimin (sebagai pemimpin), lalu ia mengeksploitasi kekayaan mereka, kebutuhan mereka, kesulitan mereka, dan juga kemiskinan mereka niscaya Allah akan menghalanginya pada hari kiamat dari kekayaannya, kebutuhannya, kesulitannya, juga kemiskinannya.” (HR Abu Dawud).
Keenam, melakukan tindak korupsi. “Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS Ali Imran [3]: 161).
Dan, yang ketujuh berlaku kikir. Rasulullah bersabda, “Peliharalah diri kalian dari kezaliman karena itu adalah kegelapan pada hari kiamat. Peliharalah diri kalian dari kekikiran karena akan menjadikan umat sebelum kalian binasa. Kekikiran menjadikan mereka mudah menumpahkan darah dan menghalalkan semua hal yang dilarang Allah.” (HR Muslim).
Referensi : Terdapat tujuh perbuatan yang bisa menyebabkan manusia masuk neraka
Dari Jabir bin Abdillah RA, ia berkata, “Telah diriwayatkan kepada kami bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Wahai Kaab bin Ujroh, aku mohonkan perlindungan untukmu kepada Allah dari kepemimpinan orang-orang bodoh.’
Kaab bertanya, ‘Apakah itu, wa hai Rasulullah?’
Beliau menjawab, ‘Setelahku akan ada para penguasa di mana siapa yang ikut mereka dan membenarkan ucapannya serta mendukung kezalimannya maka mereka bukanlah golonganku dan aku tidak termasuk golongannya dan mereka tidak akan masuk dalam telagaku’.”
“Dan barang siapa yang tidak mau ikut mereka, tidak membenarkan ucapannya dan tidak mendukung kezalimannya, maka mereka termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya serta mereka akan masuk dalam telagaku.”
“Wahai Kaab bin Ujroh, shalat adalah taqarrub, puasa adalah benteng, sedekah menghapuskan kesalahan seperti air memadamkan api. Hai Kaab, tidak akan masuk surga orang yang dagingnya tumbuh dari makanan haram karena neraka lebih dekat dengannya.” (HR Muslim, Nasai, ad-Darami).
Allah memerintahkan kita agar selalu makan makanan halal dan menjauhi yang haram sebagai bentuk syukur untuk menambah keberkahan hidup. (QS al-Baqarah [2]: 172). Orang yang memakan makanan halal akan dilindungi dari api neraka.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, ia berkata, “Seseorang di bawah tanggungan Rasulullah SAW bernama Kirkiroh, kemudian ia meninggal. Namun Rasul berkata, ia akan masuk ke neraka. Maka, para sahabat pergi memeriksanya, ternyata mereka menemukan sebuah baju jubah hasil tipuan.” (Shahih Bukhari, hadis No. 2845).
Di antara bahaya memakan harta haram, pertama, pelakunya akan masuk neraka. “Barang siapa yang mengambil hak milik orang Muslim dengan menggunakan sumpah, maka Allah akan mewajibkannya masuk neraka dan diharamkan masuk surga.”
Seorang bertanya, “Walaupun barang yang kecil, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Walaupun sepotong kayu arok.” (HR Muslim, Nasai, ad-Darami dari Abu Umamah).
Kedua, pemakan haram tidak akan mencapai derajat takwa. Orang bertakwa adalah ahli surga. Dari Atiyyah as- Sa’di, Rasulullah SAW bersabda, “Seorang hamba tidak akan mencapai derajat muttaqin sampai meninggalkan sebagian yang halal karena khawatir terperosok pada yang haram.”
Ketiga, orang yang makan makanan haram kesadaran beragamanya sempit, artinya tidak banyak beramal yang mendapat pahala sehingga mudah masuk neraka. “Seorang mukmin akan berada dalam kelapangan agamanya selama tidak makan yang haram.” (HR Bukhari).
Keempat, pemakan harta haram tidak diterima amalnya dan ditolak doanya. “Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seorang yang memasukkan sekerat daging haram ke perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan barang siapa yang dagingnya tumbuh dari barang haram dan riba maka neraka lebih utama untuk membakarnya.” (HR Muslim, Tirmidzi, Ahmad dan ad-Darami).
Orang yang makan harta haram sama dengan berusaha menghancurkan dirinya, merusak ibadahnya, mempermainkan doanya dan menghancurkan keluarga serta keturunannya.
Tak semua hamba bisa lepas dari godaan dan tipu daya setan. Beratnya cobaan tersebu juga bisa menimpu ahli ilmu (alim) dan para ahli ibadah (abid).
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin, menjelaskan ada empat kategori orang yang tertipu. Pertama, orang yang mempelajari ilmu agama dan ilmu lain, tetapi ia tidak mengamalkan ilmunya. Ilmu tidak mendekatkan dirinya kepada Allah, menjauhkannya dari yang haram, dan membentuknya berakhlak mulia.
Ilmu yang dimiliki orang tersebut tidak berharga karena tidak membuahkan amalan yang baik. Pemilik ilmu ini termasuk orang pertama dan paling berat mendapat azab Allah di akhirat.
Nabi bersabda, ''Orang yang paling berat mendapat azab Allah adalah orang yang alim (berilmu), tetapi Allah tidak memberikan manfaat kepadanya melalui ilmunya. Ia salah seorang dari tiga golongan orang yang dikabarkan Nabi yang pertama merasakan azab api neraka.'' (Al-Hadis).
Kedua, orang yang banyak beribadah dan berupaya memberatkan diri melakukan amalan lahir, seperti memperbanyak shalat sunat dan puasa sunat. Namun, ia mengabaikan penelitian terhadap hati dan menyucikan hatinya dari berbagai penyakit batiniah, seperti iri, dengki, riya, dan sombong.
Penyakit batiniah bukan hanya membuat amalnya tidak bernilai, melainkan juga merusak dirinya. Padahal, Islam ingin mewujudkan keseimbangan antara amalan lahir dan batin, ibadah yang banyak dan berkualitas serta kesucian hati. Nabi bersabda, ''Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupamu dan harta yang kamu miliki, tetapi Ia melihat kepada hati dan amalmu.'' (Al-Hadis).
Ketiga, orang yang beribadah kepada Allah dengan penuh kehati-hatian, tetapi sikapnya tersebut sampai pada batas menyulitkan dirinya. Sikap hati-hati memang dianjurkan Islam, tetapi tidak boleh sampai menyulitkan.
Sebab, Allah menginginkan kemudahan kepada umatnya dalam pelaksanaan Islam, seperti firman-Nya, ''Allah menginginkan kemudahan kepadamu, dan Ia tidak menginginkan kesulitan terhadapmu.'' (QS 2: 185).
Kehati-hatian yang berlebihan tampak pada orang yang dihinggapi rasa waswas oleh godaan setan ketika berwudhu. Orang itu berkumur-kumur berulang kali dan menggosok dengan keras ketika air wudhu mengenai kulitnya.
Orang yang berwudhu seperti ini tertipu oleh amalnya karena Islam tidak menuntut seperti itu. Yang penting basuhan air wudhu cukup apabila telah membasahi anggota wudhu.
Alangkah baik kehati-hatian yang berlebihan ketika berwudhu dipakai dalam mencari rezeki halal. Dalam Islam mencari rezeki halal mempunyai kedudukan yang penting. Menggunakan rezeki halal untuk dikonsumsi turut menentukan keberkahan hidup Muslim.
Dan, pengabulan doa hamba oleh Allah terkait erat dengan rezeki yang dikonsumsinya. Nabi bersabda, ''Seorang laki-laki yang telah jauh perjalanannya, berambut kusut, penuh dengan debu, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berkata, 'Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku,' sedangkan makanan, minuman, dan pakaiannya haram, serta dikenyangkan dengan barang haram, maka bagaimana akan dikabulkan permintaannya (doanya).'' (HR Muslim).
Referensi : 4 Golongan yang Tertipu Meski Mereka Ahli Ibadah dan Berilmu