This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Kamis, 28 Juli 2022

Memakan Yang Halal dan Baik

Memakan Yang Halal dan Baik, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah”. 

(QS.  Al Baqarah: 172)

Diantara tuntutan kesabaran yang Allah serukan pada ayat ketiga ialah sabar dari memakan harta haram, syubhat maupun makanan yang tidak baik. Oleh karenanya, Allah perintahkan orang-orang beriman dalam ayat ini untuk mencukupkan diri dengan makanan yang halal. Hal itu dikarenakan makanan halal sangat menentukan kualitas keimanan dan keberhasilan mereka menjadi penolong agama Allah serta penegak syariat di muka bumi.

Ayat ini terletak diantara ayat-ayat yang ditujukan kepada orang-orang kafir yang enggan mengikuti perintah Allah serta mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan. Maka Allah Ta’ala melarang orang-orang beriman mengikuti orang-orang kafir dengan memerintahkan mereka memakan yang halal dan baik.

Kandungan ayat ini mengulangi apa yang Allah perintahkan kepada seluruh manusia pada ayat 168 untuk memakan yang halal dan thayyib (baik), sebagai bentuk kekhususan bagi orang-orang beriman. Meski dalam ayat ini tidak digunakan lafadh “halal” dikarenakan dengan keimanannya, mereka -seharusnya- tidak memakan yang haram dan syubhat karena Allah menghalalkan semua yang baik-baik untuk mereka.

Hal itu ditegaskan pada ayat setelahnya, dimana Allah mengharamkan empat hal -pada saat ayat itu turun- yaitu : bangkai, darah, daging babi dan hewan yang disembelih untuk selain Allah. Dapat kita fahami bahwa apa yang Allah haramkan lebih sedikit daripada semua yang Allah halalkan, sehingga semua nikmat tersebut menuntut mereka untuk bersyukur kepada Allah Ta’ala sebagai bentuk menyempurnakan ibadah kepada-Nya. Dan Allah berfirman kepada orang-orang beriman: “Wahai orang-orang beriman, makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah kami rizkikan kepada kalian.”

Mematuhi perintah memakan yang halal merupakan sebuah kemuliaan bagi orang-orang beriman, karena perintah yang sama Allah tujukan kepada para Nabi dan Rasul, sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sabdakan: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Dia perintahkan kepada orang-orang beriman sebagaimana perintah-Nya kepada para Rasul.

Allah berfirman: “Hai para Rasul, makanlah di antara rezeki yang baik-baik dan berbuat  amal sholehlah, sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”. (QS. Al Mukminun : 51).

Dan Allah berfirman:  “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah.” Kemudian beliau menceritakan seorang laki-laki yang banyak bepergian, rambutnya kusut, berdebu, dia menegadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: ‘Wahai Rabb, Wahai Rabb, sementara makanan, minuman dan pakaiannya dari harta haram dan diapun diberikan asupan gizi dari yang haram, maka bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan”. (HR. Muslim dari shahabat Abu Hurairah).

Tatkala tuntutan menegakkan syariat membutuhkan kesabaran yang besar, Allah serukan dalam ayat ini agar orang-orang beriman hanya memakan harta yang halal. Perintah ini bukanlah menambah beban maupun membatasi sumber daya dan pendapatan orang-orang beriman, akan tetapi dengannya Allah menghibur mereka, memberikan kebahagiaan karena harta yang halal menjadikan hati bahagia, membawa kelapangan dan mashlahat.

Dan orang beriman memiliki hati yang baik, tidak memilih kecuali harta yang baik, teman yang baik, perkataan yang baik dan perbuaatan yang baik. Sedangkan harta haram hanya menimpakan kecemasan, kesempitan dan banyak mendatangkan kerusakan. Orang yang mencari harta haram maupun syubhat, hakekatnya dia mengikuti langkah-langkah syetan yang dia hiasi seakan-akan terlihat indah, lebih mudah dan menjanjikan kesusksesan.

Seorang tabi’in bernama Yusuf bin Asbat rahimahullah berkata: “Ketika seorang pemuda terlihat beribadah, Iblis berkata kepada pasukannya: lihatlah dari mana sumber makanannya! Apabila makanannya bersumber dari harta haram, dia berkata: biarkan dia, jangan sibukkan kalian dengannya, biarkan dia bersungguh-sungguh dan lelah beribadah, sungguh harta haram telah menolong kalian mengalahkannya”.

Dan langkah-langkah syetan hakekatnya hanyalah langkah pendek, sempit, penuh dengan jebakan maut dibandingkan luasnya langit dan bumi, luasnya daratan dan lautan sebagai sumber rezeki seluruh makhluk Allah di bumi dan jauh lebih sedikit ketimbang “thayyibaat” (rezeki yang baik-baik) yang Allah sediakan tidak hanya untuk orang-orang beriman akan tetapi untuk seluruh manusia karena Allah memerintahkan semuanya memakan yang halal dan baik, yang artinya Allah sediakan untuk mereka jumlah yang cukup.

Setelah memerintah orang-orang beriman memakan harta yang halal, Allah wajibkan mereka bersyukur kepada-Nya atas semua nikmat dan rezeki yang Dia karuniakan. Mensyukurinya tidak hanya dengan menyebut kata syukur dengan lisan, namun dengan menjadikannya sebagai sarana meningkatkan ketaatan kita kepadanya, karena nikmat yang tidak digunakan untuk taat akan berbuah bencana dan laknat.

Para salaf menafsirkan syukur dalam hal ini dengan beramal, artinya mensyukuri nikmat haruslah dengan beramal. Dan karena Allah perintahkan kepada para Rasul setelah memakan yang halal untuk beramal shaleh.

Hal ini menegaskan bahwa mensyukuri nikmat haruslah dengan beramal dan makanan yang halal menjadi salah satu sebab yang mendorong seseorang berbuat taat dan beramal shaleh serta sebab keberhasilan dan diterimanya amal ibadahnya terlebih melakukan amal ibadah yang besar seperti berdakwah, berjihad, beramar makruf nahi munkar dan menegakan Islam di muka bumi.

Kewajiban ini ditegaskan dengan penyebutan lafadh “Allah” secara langsung dan tidak menggantinya dengan dhamir (kata ganti) nahnu (kami) sebagaimana dalam kalimat sebelumnya yaitu “Rezeki baik-baik yang kami berikan”. Dapat kita fahami kalimat ini menegaskan akan Uluhiyyah Allah Ta’ala, bahwa tidak ada yang memberikan rezeki, memudahkan semua urusan, memberikan sarana kepada orang-orang beriman untuk menjaga keimanan mereka dan menolong mereka dalam menegakkan agama-Nya selain dari Allah Ta’ala.

Terlebih bahwa bersyukur adalah ibadah dan ibadah hanyalah kita persembahkan kepada Allah. Oleh karena itu, Allah tegaskan di akhir ayat ini dengan mengatakan “dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu beribadah”. Sehingga orang yang tidak bersyukur, dia tidak memurnikan ibadahnya hanya kepada Allah. Dan akhir ayat ini semakin menegaskan bahwa memakan yang halal dan ibadah syukur haruslah menjadi karakter yang melekat pada orang-orang beriman dengan menggunakan kata iyyahu (hanyalah) dan ta’budun (kata kerja sekarang dan akan datang yang artinya beribadah).

Seorang mukmin yang berusaha melaksanakan syariat dan meninggikan agama Allah dan keluarga yang memiliki visi masuk surga bersama, hendaknya meneladani Nabi dan para salaf dalam menjaga diri dan keluarga dari harta haram dan syubhat.

Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu menceritakan: “Sesungguhnya aku pulang menemui keluargaku, terkadang mendapati sebutir kurma terjatuh di atas tempat tidur atau di dalam rumah, lalu aku mengambilnnya untuk memakannya, namun timbul kekhawatiran barangkali itu bagian dari kurma zakat, maka aku letakkan kembali kurma itu.” (HR. Imam Bukhari).

Subhanallah! kurma yang barangkali kita akan memaklumi orang yang memakannya karena hanya sebutir kurma, namun tidak dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Ayahnya Imam Abdullah bin Al Mubarak yaitu Mubarak tidak dapat membedakan mana delima yang manis dan masam karena meski bekerja di kebun delima namun beliau tidak pernah berani memakan satupun buah delima karena dilarang mengambil kecuali diizinkan pemiliknya. Lalu pemilik kebun menikahkannya dengan putri yang kemudian lahirlah imam Abdullah bin Al Mubarak yang kita kenal dengan keilmuan, kewara’annya dan jihadnya fi sabilillah.

Demikian halnya dengan ayahnya Imam Bukhari yang bernama Ismail. Ahmad bin Hafsh bercerita: Aku menjenguk Abul Hasan Ismail -ayahnya imam Bukhari- menjelang wafatnya, lantas beliau berkata : “Tidak ada satu dirhampun dari hartaku yang berasal dari harta haram maupun harta syubhat”.

Mendengar itu akupun merasa betapa rendahnya diri ini sambil berkata: sungguh kesholehan seorang ayah berpengaruh kepada kesholehan anaknya, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dahulu bapak keduanya adalah orang yang sholeh” (QS. Al Kahfi : 82).

Mudah-mudahan Allah menjaga kita dari mengambil harta haram dan syubhat, agar dalam beramal tidak hanya mendapat lelah namun sejatinya telah kalah oleh syetan dengan tipu daya langkah-langkahnya (khuthuwaat syaithan).

Referensi:

Al Jami’ Li Ahkamil Quran – Imam Al Qurthubi.

Tafsir Al Quran Al Adhim – Imam Ibnu Katsir.

Taisir Al Karim Ar Rahman  – Syekh Abdurrahman Al Sa’di.

At Tahrir wa At Tanwir – Syekh Ath Thahir bin ‘Asyur.

Al Quran Tadabbur wa Amal – Tim Pakar Al quran Syirkah Khibrat Adz Dzakiyyah

At Tafsir wal Bayan li Ahkamil Quran – Syekh Abdul Aziz Ath Thuraifi.


Islam merupakan agama yang telah disempurnakan oleh Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al Maa-idah Ayat 3 yang artinya “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [Al-Maa-idah: 3]. Islam sebagai agama yang sempurna telah mencangkup segala aspek kehidupan manusia, sebagai pedoman hidup manusia agar dapat memperoleh kebahagian dunia dan akhierat. Salah satu aspek yang diatur dalam Islam adalah yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi. Manusia melakukan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, dan papan. Salah satu kegiatan ekonomi yang sering dilakukan oleh manusia adalah kegiatan jual beli.

Allah SWT telah menghalalkan praktek jual beli yang sesuai dengan ketentuan dan syari’atNya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 275 yang artinya:” …Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan  riba…(Q.S. al-Baqarah: 275). Rasullullah SAW bersabda: Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim). Maka berdasarkan hadits ini, jual beli merupakan aktivitas yang disyariatkan. Namun disisi lain, Rasullullah SAW juga bersabda “Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat), para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah Asy Syamilah. Oleh karena itu seseorang muslim yang melaksanakan transaksi jual beli, sebaiknya mengetahui syarat-syarat praktek jual beli berdasarkan ketentuan Al Qur’an dan Hadits, agar dapat melaksanakannya sesuai dengan syari’at sehingga tidak terjerumus kedalam tindakan-tindakan yang dilarang dan diharamkan.

Syarat-syarat praktek jual beli yang sesuai dengan syariat Islam yaitu:

Transaksi jual beli dilakukan dengan Ridha dan sukarela

Transaksi jual beli yang dilakukan oleh kedua belah pihak, hendaknya dilaksanakan berdasarkan kebutuhan, dan dilakukan dengan ridha dan sukarela tanpa ada paksaan dari pihak manapun, sehingga salah satu pihak (baik penjual maupun pembeli) tidak ada yang dirugikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat An-Nisaa ayat 29 yang artinya : ““… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (Q.S. An-Nisaa: 29). Berdasarkan ayat ini juga, maka diketahui bahwa transaksi jual beli harus dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten yaitu orang-orang yang paham mengenai jual beli, dan mampu menghitung atau mengatur uang. Sehingga tidak sah transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil yang tidak pandai atau tidak mengetahui masalah jual beli.

Objek jual beli bukan milik orang lain

Objek jual beli merupakan hak milik penuh salah satu pihak yang terlibat dalam transaksi jual beli. Seseorang bisa menjual barang yang bukan miliknya apabila telah mendapatkan ijin dari pemilik barang. Rasullullah SAW bersabda: Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud)

Transaksi jual beli dilakukan secara jujur

Transaksi jual beli hendaknya dilakukan dengan jujur. Rasullulah SAW bersabda: “Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban).

Salah satu contoh transaksi jual beli yang jujur adalah dengan cara penjual menyempurnakan takaran. Hal ini dapat diketahui dalam Allah berfirman asy Syu’araa ayat 181-183 yang artinya adalah ”Sempurnakanlah takaran jangan kamu termasuk orang-orang yang merugi, dan timbanglah dengan timbangan yang lurus, dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan”(Q.S. Asy Syu’araa: 181-183). Allah SWT juga berfirman dalam surat Al Muthaffifiin ayat 1-6 yang artinya: ”Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang ini menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan di bangkitkan, pada suatu hari yang besar (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam ini” (Q. S. Al Muthaffifiin; 1-6). Transaksi jual beli juga dikatakan dilakukan dengan jujur apabila seorang penjual menjelaskan dengan jujur kondisi barang yang dijualnya kepada pembeli. Penjual akan memberitahukan kepada pembeli apabila terdapat cacat pada barang yang dia jual. Hal ini sesuai dengan sabda Rasullullah SAW yang artinya: Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah)

Transaksi jual beli barang yang halal

Transaksi jual beli yang dilakukan haruslah barang atau jasa yang halal dan atau tidak di larang oleh syariat Islam, seperti jual beli narkoba, dan minuman keras. Rasullullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan atas suatu kaum memakan sesuatu, maka diharamkan pula hasil penjualannya” (HR Abu Daud dan Ahmad).

Objek jual beli dapat diserahterimakan

Barang yang menjadi objek jual beli, haruslah barang yang dapat diserah terimakan segera dari penjual kepada pembeli. Rasullullah bersabda: Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim). Sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara, hasil sawah yang belum dipanen, dan lain-lain. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena mengandung spekulasi atau judi. Allah SWT berfirman dalam Surat Al Baqarah ayat 219 dan Surat Al Maidah ayat 90-91 yang artinya “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi, katakanlah bahwa pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” (Al-Baqarah: 219). Hai orang–orang yang beriman sesungguhnya arak, judi, berhala dan mengundi nasib adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian dengan khamr dan judi, menghalangi kalian dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Al Maidah: 90-91)

Sedangkan jual beli yang dilarang menurut syari’at Islam adalah:

Transaksi jual beli yang menjauhkan dari ibadah

Transaksi jual beli yang dilakukan, hendaklah tidak melupakan kewajiban manusia untuk menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam Surat Al Jumuah ayat 9-10 yang artinya” “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS Al Jumuah : 9-10). Allah SWT juga berfirman dalam Surat Annur ayat 37 yang artinya: laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.

Transaksi jual beli barang yang haram

Transaksi jual beli yang dilarang menurut syari’at Islam adalah jual beli barang yang diharamkan seperti jual beli minuman keras, narkoba, barang hasil pencurian dan lain-lain. Karena hal ini juga berarti ikut serta melakukan dan menyebarluaskan keharaman di muka bumi. Rasullullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan atas suatukaum memakan sesuatu, maka diharamkan pula hasil penjualannya” (HR Abu Daud dan Ahmad)

Transaksi jual beli harta riba

“Rasulullah SAW melaknat orang yang makan riba, yang memberi makannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau bersabda : “Mereka itu sama”. (HR. Muslim). Dalam hadits tersebut dapat kita ketahui bahwa Islam melarang transaksi jual beli harta riba.

Transaksi jual beli hasaath

Rasulullah SAW bersabda: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim). Transaksi jual beli hasaath  dilarang karena jual beli dengan kerikil yang dilempar untuk menentukan barang. Membuat pembeli tidak bisa memilih, memilah barang yang sesuai keinginan dan sesuai kualitas barangnya. Sehingga ada salah satu pihak (pembeli) yang dirugikan dalam transaksi jual beli ini. Itulah mengapa jual beli hasaath tidak diharamkan dalam Islam.


Mengajarkan yang Haram Termasuk Dosa Jariyah

Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah senantiasa memberikan nikmat dan rahmat-Nya kepada ustadz dan keluarga.. Aamiin

‘Afwan ustadz izin bertanya.

Apabila seseorang mengenalkan hal tidak baik kepada orang lain , misalkan memainkan alat musik, atau kesenian lainnya, apakah bisa disebut dosa jariyah jika orang yang diajarkan tetap memainkan alat musik ?

Bagaimana cara untuk menghapus dosa jariyah tersebut ?

جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم

Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Semoga Allah memberikan rahmatNya kepada kita semua.

Seorang akan mendapatkan akibat dari setiap perbuatannya, kalau seandainya dia mengajarkan kebaikan, maka dia akan mendapat pahala jariyah,  kalau seandainya dia mengajarkan keburukan, maka dia akan mendapatkan dosa jariyah selama orang yang diajarkan melakukannya. Sebagaimana sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ , وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa yang memulai mengerjakan perbuatan baik dalam Islam, maka dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mencontoh perbuatan itu, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memulai kebiasaan buruk, maka dia akan mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”

(Muslim : 1691)

Cara berlepas diri dari dosa tersebut adalah, dengan bertaubat nasuha kepada Allah, memperbanyak istighfar serta amalan – amalan sunnah, beramar ma’ruf nahi munkar, kemudian berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah orang yang telah dia ajarkan dahulu dari perbuatan tersebut. Dan jikalau seandainya setelah dia berusaha namun orang tersebut (yang dahulunya diajari keburukan) tidak mau berhenti, maka lepaslah tanggung jawabnya.

Sebagaimana firman Allah ta’ala:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ

“Allah tidak membebani seorang hamba kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (QS Al-Baqarah : 286)








Jual Beli dalam Islam & Hukumnya

Islam merupakan agama yang telah disempurnakan oleh Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al Maa-idah Ayat 3 yang artinya “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [Al-Maa-idah: 3]. Islam sebagai agama yang sempurna telah mencangkup segala aspek kehidupan manusia, sebagai pedoman hidup manusia agar dapat memperoleh kebahagian dunia dan akhierat. Salah satu aspek yang diatur dalam Islam adalah yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi. Manusia melakukan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, dan papan. Salah satu kegiatan ekonomi yang sering dilakukan oleh manusia adalah kegiatan jual beli.

Allah SWT telah menghalalkan praktek jual beli yang sesuai dengan ketentuan dan syari’atNya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 275 yang artinya:” …Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan  riba…(Q.S. al-Baqarah: 275). Rasullullah SAW bersabda: Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim). Maka berdasarkan hadits ini, jual beli merupakan aktivitas yang disyariatkan. Namun disisi lain, Rasullullah SAW juga bersabda “Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat), para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah Asy Syamilah. Oleh karena itu seseorang muslim yang melaksanakan transaksi jual beli, sebaiknya mengetahui syarat-syarat praktek jual beli berdasarkan ketentuan Al Qur’an dan Hadits, agar dapat melaksanakannya sesuai dengan syari’at sehingga tidak terjerumus kedalam tindakan-tindakan yang dilarang dan diharamkan.

Syarat-syarat praktek jual beli yang sesuai dengan syariat Islam yaitu:

Transaksi jual beli dilakukan dengan Ridha dan sukarela

Transaksi jual beli yang dilakukan oleh kedua belah pihak, hendaknya dilaksanakan berdasarkan kebutuhan, dan dilakukan dengan ridha dan sukarela tanpa ada paksaan dari pihak manapun, sehingga salah satu pihak (baik penjual maupun pembeli) tidak ada yang dirugikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat An-Nisaa ayat 29 yang artinya : ““… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (Q.S. An-Nisaa: 29). Berdasarkan ayat ini juga, maka diketahui bahwa transaksi jual beli harus dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten yaitu orang-orang yang paham mengenai jual beli, dan mampu menghitung atau mengatur uang. Sehingga tidak sah transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil yang tidak pandai atau tidak mengetahui masalah jual beli.

Objek jual beli bukan milik orang lain

Objek jual beli merupakan hak milik penuh salah satu pihak yang terlibat dalam transaksi jual beli. Seseorang bisa menjual barang yang bukan miliknya apabila telah mendapatkan ijin dari pemilik barang. Rasullullah SAW bersabda: Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud)

Transaksi jual beli dilakukan secara jujur

Transaksi jual beli hendaknya dilakukan dengan jujur. Rasullulah SAW bersabda: “Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban).

Salah satu contoh transaksi jual beli yang jujur adalah dengan cara penjual menyempurnakan takaran. Hal ini dapat diketahui dalam Allah berfirman asy Syu’araa ayat 181-183 yang artinya adalah ”Sempurnakanlah takaran jangan kamu termasuk orang-orang yang merugi, dan timbanglah dengan timbangan yang lurus, dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan”(Q.S. Asy Syu’araa: 181-183). Allah SWT juga berfirman dalam surat Al Muthaffifiin ayat 1-6 yang artinya: ”Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang ini menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan di bangkitkan, pada suatu hari yang besar (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam ini” (Q. S. Al Muthaffifiin; 1-6). Transaksi jual beli juga dikatakan dilakukan dengan jujur apabila seorang penjual menjelaskan dengan jujur kondisi barang yang dijualnya kepada pembeli. Penjual akan memberitahukan kepada pembeli apabila terdapat cacat pada barang yang dia jual. Hal ini sesuai dengan sabda Rasullullah SAW yang artinya: Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah)

Transaksi jual beli barang yang halal

Transaksi jual beli yang dilakukan haruslah barang atau jasa yang halal dan atau tidak di larang oleh syariat Islam, seperti jual beli narkoba, dan minuman keras. Rasullullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan atas suatu kaum memakan sesuatu, maka diharamkan pula hasil penjualannya” (HR Abu Daud dan Ahmad).

Objek jual beli dapat diserahterimakan

Barang yang menjadi objek jual beli, haruslah barang yang dapat diserah terimakan segera dari penjual kepada pembeli. Rasullullah bersabda: Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim). Sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara, hasil sawah yang belum dipanen, dan lain-lain. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena mengandung spekulasi atau judi. Allah SWT berfirman dalam Surat Al Baqarah ayat 219 dan Surat Al Maidah ayat 90-91 yang artinya “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi, katakanlah bahwa pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” (Al-Baqarah: 219). Hai orang–orang yang beriman sesungguhnya arak, judi, berhala dan mengundi nasib adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian dengan khamr dan judi, menghalangi kalian dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Al Maidah: 90-91)

Sedangkan jual beli yang dilarang menurut syari’at Islam adalah:

Transaksi jual beli yang menjauhkan dari ibadah

Transaksi jual beli yang dilakukan, hendaklah tidak melupakan kewajiban manusia untuk menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam Surat Al Jumuah ayat 9-10 yang artinya” “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS Al Jumuah : 9-10). Allah SWT juga berfirman dalam Surat Annur ayat 37 yang artinya: laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.

Transaksi jual beli barang yang haram

Transaksi jual beli yang dilarang menurut syari’at Islam adalah jual beli barang yang diharamkan seperti jual beli minuman keras, narkoba, barang hasil pencurian dan lain-lain. Karena hal ini juga berarti ikut serta melakukan dan menyebarluaskan keharaman di muka bumi. Rasullullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan atas suatukaum memakan sesuatu, maka diharamkan pula hasil penjualannya” (HR Abu Daud dan Ahmad)

Transaksi jual beli harta riba

“Rasulullah SAW melaknat orang yang makan riba, yang memberi makannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau bersabda : “Mereka itu sama”. (HR. Muslim). Dalam hadits tersebut dapat kita ketahui bahwa Islam melarang transaksi jual beli harta riba.

Transaksi jual beli hasaath

Rasulullah SAW bersabda: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim). Transaksi jual beli hasaath  dilarang karena jual beli dengan kerikil yang dilempar untuk menentukan barang. Membuat pembeli tidak bisa memilih, memilah barang yang sesuai keinginan dan sesuai kualitas barangnya. Sehingga ada salah satu pihak (pembeli) yang dirugikan dalam transaksi jual beli ini. Itulah mengapa jual beli hasaath tidak diharamkan dalam Islam.


Mengajarkan yang Haram Termasuk Dosa Jariyah

Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah senantiasa memberikan nikmat dan rahmat-Nya kepada ustadz dan keluarga.. Aamiin

‘Afwan ustadz izin bertanya.

Apabila seseorang mengenalkan hal tidak baik kepada orang lain , misalkan memainkan alat musik, atau kesenian lainnya, apakah bisa disebut dosa jariyah jika orang yang diajarkan tetap memainkan alat musik ?

Bagaimana cara untuk menghapus dosa jariyah tersebut ?

جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم

Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Semoga Allah memberikan rahmatNya kepada kita semua.

Seorang akan mendapatkan akibat dari setiap perbuatannya, kalau seandainya dia mengajarkan kebaikan, maka dia akan mendapat pahala jariyah,  kalau seandainya dia mengajarkan keburukan, maka dia akan mendapatkan dosa jariyah selama orang yang diajarkan melakukannya. Sebagaimana sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ , وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa yang memulai mengerjakan perbuatan baik dalam Islam, maka dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mencontoh perbuatan itu, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memulai kebiasaan buruk, maka dia akan mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”

(Muslim : 1691)

Cara berlepas diri dari dosa tersebut adalah, dengan bertaubat nasuha kepada Allāh, memperbanyak istighfar serta amalan – amalan sunnah, beramar ma’ruf nahi munkar, kemudian berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah orang yang telah dia ajarkan dahulu dari perbuatan tersebut. Dan jikalau seandainya setelah dia berusaha namun orang tersebut (yang dahulunya diajari keburukan) tidak mau berhenti, maka lepaslah tanggung jawabnya.

Sebagaimana firman Allah ta’ala:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ

“Allah tidak membebani seorang hamba kecuali sesuai dengan kemampuannya.”

(QS Al-Baqarah : 286)









Mengajarkan yang Haram Termasuk Dosa Jariyah

Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah senantiasa memberikan nikmat dan rahmat-Nya kepada ustadz dan keluarga.. Aamiin

‘Afwan ustadz izin bertanya.

Apabila seseorang mengenalkan hal tidak baik kepada orang lain , misalkan memainkan alat musik, atau kesenian lainnya, apakah bisa disebut dosa jariyah jika orang yang diajarkan tetap memainkan alat musik ?

Bagaimana cara untuk menghapus dosa jariyah tersebut ?

جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم

Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Semoga Allah memberikan rahmatNya kepada kita semua.

Seorang akan mendapatkan akibat dari setiap perbuatannya, kalau seandainya dia mengajarkan kebaikan, maka dia akan mendapat pahala jariyah,  kalau seandainya dia mengajarkan keburukan, maka dia akan mendapatkan dosa jariyah selama orang yang diajarkan melakukannya. Sebagaimana sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ , وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa yang memulai mengerjakan perbuatan baik dalam Islam, maka dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mencontoh perbuatan itu, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memulai kebiasaan buruk, maka dia akan mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”

(Muslim : 1691)

Cara berlepas diri dari dosa tersebut adalah, dengan bertaubat nasuha kepada Allāh, memperbanyak istighfar serta amalan – amalan sunnah, beramar ma’ruf nahi munkar, kemudian berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah orang yang telah dia ajarkan dahulu dari perbuatan tersebut. Dan jikalau seandainya setelah dia berusaha namun orang tersebut (yang dahulunya diajari keburukan) tidak mau berhenti, maka lepaslah tanggung jawabnya.

Sebagaimana firman Allah ta’ala:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ

“Allah tidak membebani seorang hamba kecuali sesuai dengan kemampuannya.”

(QS Al-Baqarah : 286)








Makna Syahadatain, Rukun, Syarat, Konsekuensi, dan yang Membatalkannya

Ilustrasi : Makna Syahadatain, Rukun, Syarat, Konsekuensi, dan yang Membatalkannya

A. Makna Syahadat “Laa ilaaha illallah”

Yaitu beri’tikad dan berikrar bahwasanya tidak ada yang berhak disembah dan menerima ibadah kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, menta’ati hal tersebut dan mengamalkannya. La ilaaha menafikan hak penyembahan dari selain Allah, siapa pun orangnya. Illallah adalah penetapan hak Allah semata untuk disembah. Jadi makna kalimat ini secara ijmal (global) adalah, “Tidak ada sesembahan yang hak selain Allah”. Khabar “Laa ” harus ditaqdirkan “bi haqqi” (yang hak), tidak boleh ditaqdirkan dengan “maujud ” (ada). Karena ini menyalahi kenyataan yang ada, sebab tuhan yang disembah selain Allah banyak sekali. Hal itu akan berarti bahwa menyembah tuhan-tuhan tersebut adalah ibadah pula untuk Allah. Ini Tentu kebatilan yang nyata.

Kalimat “Laa ilaaha illallah” telah ditafsiri dengan beberapa penafsiran yang batil, antara lain:

1. “Laa ilaaha illallah” artinya:

“Tidak ada sesembahan kecuali Allah”, Ini adalah batil, karena maknanya: Sesungguhnya setiap yang disembah, baik yang hak maupun yang batil, itu adalah Allah.

2. “Laa ilaaha illallah” artinya:

“Tidak ada pencipta selain Allah” . Ini adalah sebagian dari arti kalimat tersebut. Akan tetapi bukan ini yang dimaksud, karena arti ini hanya mengakui tauhid rububiyah saja, dan itu belum cukup.

3. “Laa ilaaha illallah” artinya:

“Tidak ada hakim (penentu hukum) selain Allah”. Ini juga sebagian dari makna kalimat ” “. Tapi bukan itu yang dimaksud, karena makna tersebut belum cukup

Semua tafsiran di atas adalah batil atau kurang. Kami peringatkan di sini karena tafsir-tafsir itu ada dalam kitab-kitab yang banyak beredar. Sedangkan tafsir yang benar menurut salaf dan para muhaqqiq (ulama peneliti), tidak ada sesembahan yang hak selain Allah) seperti tersebut di atas.

B. Makna Syahadat “Anna Muhammadan Rasulullah”

Yaitu mengakui secara lahir batin bahwa beliau adalah hamba Allah dan RasulNya yang diutus kepada manusia secara keseluruhan, serta mengamalkan konsekuensinya: menta’ati perintahnya, membenarkan ucapannya, menjauhi larangannya, dan tidak menyembah

Allah kecuali dengan apa yang disyari’atkan.

RUKUN SYAHADATAIN

A. Rukun “Laa ilaaha illallah”

Laa ilaaha illallah mempunyai dua rukun:

An-Nafyu atau peniadaan: “Laa ilaha” membatalkan syirik dengan segala bentuknya dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah.

Al-Itsbat (penetapan): “illallah” menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya.

Makna dua rukun ini banyak disebut dalam ayat Al-Qur’an, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

“Artinya : Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beri-man kepada Allah, makasesungguhnya ia telah berpegang kepa-da buhul tali yang amat kuat …” [Al-Baqarah: 256]

Firman Allah, “siapa yang ingkar kepada thaghut” itu adalah makna dari “Laa ilaha” rukun yang pertama. Sedangkan firman Allah, “dan beriman kepada Allah” adalah makna dari rukun kedua, “illallah”. Begitu pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi Ibrahim alaihis salam :

“Artinya : Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku …”. [Az-Zukhruf: 26-27]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala , “Sesungguhnya aku berlepas diri” ini adalah makna nafyu (peniadaan) dalam rukun pertama. Sedangkan perkataan, “Tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku”, adalah makna itsbat (penetapan) pada rukun kedua.

B. Rukun Syahadat “Muhammad Rasulullah”

Syahadat ini juga mempunyai dua rukun, yaitu kalimat “‘abduhu wa rasuluh ” hamba dan utusanNya). Dua rukun ini menafikan ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith (meremehkan) pada hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah hamba dan rasulNya. Beliau adalah makhluk yang paling sempurna dalam dua sifat yang mulia ini, di sini artinya hamba yang menyembah. Maksudnya, beliau adalah manusia yang diciptakan dari bahan yang sama dengan bahan ciptaan manusia lainnya. Juga berlaku atasnya apa yang berlaku atas orang lain.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Artinya : Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, …’.” [Al-Kahfi : 110]

Beliau hanya memberikan hak ubudiyah kepada Allah dengan sebenar-benarnya, dan karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memujinya:

“Artinya : Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hambaNya.” [Az-Zumar: 36]

“Artinya : Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur’an) …”[Al-Kahfi: 1]

“Artinya : Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram …” [Al-Isra’: 1]

Sedangkan rasul artinya, orang yang diutus kepada seluruh manusia dengan misi dakwah kepada Allah sebagai basyir (pemberi kabar gembira) dan nadzir (pemberi peringatan).

Persaksian untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dua sifat ini meniadakan ifrath dan tafrith pada hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena banyak orang yang mengaku umatnya lalu melebihkan haknya atau mengkultuskannya hingga mengangkatnya di atas martabat sebagai hamba hingga kepada martabat ibadah (penyembahan) untuknya selain dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka ber-istighatsah (minta pertolongan) kepada beliau, dari selain Allah.

Juga meminta kepada beliau apa yang tidak sanggup melakukannya selain Allah, seperti memenuhi hajat dan menghilangkan kesulitan. Tetapi di pihak lain sebagian orang mengingkari kerasulannya atau mengurangi haknya, sehingga ia bergantung kepada pendapat-pendapat yang menyalahi ajarannya, serta memaksakan diri dalam mena’wilkan hadits-hadits dan hukum-hukumnya.

SYARAT-SYARAT SYAHADATAIN

A. Syarat-syarat “Laa ilaha illallah”

Bersaksi dengan laa ilaaha illallah harus dengan tujuh syarat. Tanpa syarat-syarat itu syahadat tidak akan bermanfaat bagi yang mengucapkannya. Secara global tujuh syarat itu adalah:

1. ‘Ilmu, yang menafikan jahl (kebodohan).

2. Yaqin (yakin), yang menafikan syak (keraguan).

3. Qabul (menerima), yang menafikan radd (penolakan).

4. Inqiyad (patuh), yang menafikan tark (meninggalkan).

5. Ikhlash, yang menafikan syirik.

6. Shidq (jujur), yang menafikan kadzib (dusta).

7. Mahabbah (kecintaan), yang menafikan baghdha’ (kebencian).

Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:

Syarat Pertama: ‘Ilmu (Mengetahui).

Artinya memahami makna dan maksudnya. Mengetahui apa yang ditiadakan dan apa yang ditetapkan, yang menafikan ketidaktahuannya dengan hal tersebut.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya :… Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa`at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini (nya). [Az-Zukhruf : 86]

Maksudnya orang yang bersaksi dengan laa ilaaha illallah, dan memahami dengan hatinya apa yang diikrarkan oleh lisannya. Seandainya ia mengucapkannya, tetapi tidak mengerti apa maknanya, maka persaksian itu tidak sah dan tidak berguna.

Syarat Kedua: Yaqin (yakin).

Orang yang mengikrarkannya harus meyakini kandungan sya-hadat itu. Manakala ia meragukannya maka sia-sia belaka persaksian itu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian mereka tidak ragu-ragu …” [Al-Hujurat : 15]

Kalau ia ragu maka ia menjadi munafik. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Siapa yang engkau temui di balik tembok (kebon) ini, yang menyaksikan bahwa tiada ilah selain Allah dengan hati yang meyakininya, maka berilah kabar gembira dengan (balasan) Surga.” [HR. Al-Bukhari]

Maka siapa yang hatinya tidak meyakininya, ia tidak berhak masuk Surga.

Syarat Ketiga: Qabul (menerima).

Menerima kandungan dan konsekuensi dari syahadat; menyem-bah Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selainNya.

Siapa yang mengucapkan, tetapi tidak menerima dan menta’ati, maka ia termasuk orang-orang yang difirmankan Allah:

“Artinya : Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ‘Laa ilaaha illallah’ (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?” [Ash-Shafat: 35-36]

Ini seperti halnya penyembah kuburan dewasa ini. Mereka mengikrarkan laa ilaaha illallah, tetapi tidak mau meninggalkan penyembahan terhadap kuburan. Dengan demikian berarti mereka belum me-nerima makna laa ilaaha illallah.

Syarat Keempat: Inqiyaad (Tunduk dan Patuh dengan kandungan Makna Syahadat).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya : Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” [Luqman : 22

Al-‘Urwatul-wutsqa adalah laa ilaaha illallah. Dan makna yuslim wajhahu adalah yanqadu (patuh, pasrah).

Syarat Kelima: Shidq (jujur).

Yaitu mengucapkan kalimat ini dan hatinya juga membenarkan-nya. Manakala lisannya mengucapkan, tetapi hatinya mendustakan, maka ia adalah munafik dan pendusta.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya : Di antara manusia ada yang mengatakan: ‘Kami beriman kepa-da Allah dan Hari kemudian’, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” [Al-Baqarah: 8-10]

Syarat Keenam: Ikhlas.

Yaitu membersihkan amal dari segala debu-debu syirik, dengan jalan tidak mengucapkannya karena mengingkari isi dunia, riya’ atau sum’ah. Dalam hadits ‘Itban, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Sesungguhnya Allah mengharamkan atas Neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illalah karena menginginkan ridha Allah.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Syarat Ketujuh: Mahabbah (Kecintaan).

Maksudnya mencintai kalimat ini serta isinya, juga mencintai

orang-orang yang mengamalkan konsekuensinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya : Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]

Maka ahli tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan ahli syirik mencintai Allah dan mencintai yang lainnya. Hal ini sangat bertentangan dengan isi kandungan laa ilaaha illallah.

B. Syarat Syahadat “Anna Muhammadan Rasulullah”

1. Mengakui kerasulannya dan meyakininya di dalam hati.

2. Mengucapkan dan mengikrarkan dengan lisan.

3. Mengikutinya dengan mengamalkan ajaran kebenaran yang telah dibawanya serta meninggalkan kebatilan yang telah dicegahnya.

4. Membenarkan segala apa yang dikabarkan dari hal-hal yang gha-ib, baik yang sudah lewat maupun yang akan datang.

5. Mencintainya melebihi cintanya kepada dirinya sendiri, harta, anak, orangtua serta seluruh umat manusia.

6. Mendahulukan sabdanya atas segala pendapat dan ucapan orang lain serta mengamalkan sunnahnya.

KONSKUENSI SYAHADATAIN

A. Konsekuensi “Laa ilaha illallah”

Yaitu meninggalkan ibadah kepada selain Allah dari segala ma-cam yang dipertuhankan sebagai keharusan dari peniadaan laa ilaaha illallah . Dan beribadah kepada Allah semata tanpa syirik sedikit pun, sebagai keharusan dari penetapan illallah.

Banyak orang yang mengikrarkan tetapi melanggar konsekuensinya. Sehingga mereka menetapkan ketuhanan yang sudah dinafikan, baik berupa para makhluk, kuburan, pepohonan, bebatuan serta para thaghut lainnya.

Mereka berkeyakinan bahwa tauhid adalah bid’ah. Mereka menolak para da’i yang mengajak kepada tauhid dan mencela orang yang beribadah hanya kepada Allah semata.

B. Konsekuensi Syahadat “Muhammad Rasulullah”

Yaitu mentaatinya, membenarkannya, meninggalkan apa yang dilarangnya, mencukupkan diri dengan mengamalkan sunnahnya, dan meninggalkan yang lain dari hal-hal bid’ah dan muhdatsat (baru), serta mendahulukan sabdanya di atas segala pendapat orang.

MEMBATALKAN SYAHADATAIN

Yaitu hal-hal yang membatalkan Islam, karena dua kalimat syahadat itulah yang membuat seseorang masuk dalam Islam. Mengucap-kan keduanya adalah pengakuan terhadap kandungannya dan konsisten mengamalkan konsekuensinya berupa segala macam syi’ar-syi’ar Islam. Jika ia menyalahi ketentuan ini, berarti ia telah membatalkan perjanjian yang telah diikrarkannya ketika mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut.

Yang membatalkan Islam itu banyak sekali. Para fuqaha’ dalam kitab-kitab fiqih telah menulis bab khusus yang diberi judul “Bab Riddah (kemurtadan)”. Dan yang terpenting adalah sepuluh hal, yaitu: Syirik dalam beribadah kepada Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya.” [An-Nisa’: 48]

“Artinya : … Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga, dan tempatnya ialah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” [Al-Ma’idah: 72]

Termasuk di dalamnya yaitu menyembelih karena selain Allah, misalnya untuk kuburan yang dikeramatkan atau untuk jin dan lain-lain.

Orang yang menjadikan antara dia dan Allah perantara-perantara. Ia berdo’a kepada mereka, meminta syafa’at kepada mereka dan bertawakkal kepada mereka. Orang seperti ini kafir secara ijma’. Orang yang tidak mau mengkafirkan orang-orang musyrik dan orang yang masih ragu terhadap kekufuran mereka atau mem-benarkan madzhab mereka, dia itu kafir.

Orang yang meyakini bahwa selain petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sempurna dari petunjuk beliau, atau hukum yang lain lebih baik dari hukum beliau. Seperti orang-orang yang mengutamakan hukum para thaghut di atas hukum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengutamakan hukum atau perundang-undangan manusia di atas hukum Islam, maka dia kafir.

Siapa yang membenci sesuatu dari ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekali pun ia juga mengamalkannya, maka ia kafir. Siapa yang menghina sesuatu dari agama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pahala maupun siksanya, maka ia kafir.

Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Artinya : Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu kafir sesudah beriman.” [At-Taubah: 65-66]

Sihir, di antaranya sharf dan ‘athf (barangkali yang dimaksud adalah amalan yang bisa membuat suami benci kepada istrinya atau membuat wanita cinta kepadanya/pelet). Barangsiapa melakukan atau meridhainya, maka ia kafir. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Artinya : … sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada se-orangpun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya co-baan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir’.”[Al-Baqarah: 102]

Mendukung kaum musyrikin dan menolong mereka dalam memusuhi umat Islam. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Artinya : Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” [Al-Ma’idah: 51]

Siapa yang meyakini bahwa sebagian manusia ada yang boleh keluar dari syari’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seperti halnya Nabi Hidhir boleh keluar dari syariat Nabi Musa alaihis salam, maka ia kafir. Sebagaimana yang diyakini oleh ghulat sufiyah (sufi yang berlebihan/ melampaui batas) bahwa mereka dapat mencapai suatu derajat atau tingkatan yang tidak membutuhkan untuk mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Berpaling dari agama Allah, tidak mempelajarinya dan tidak pula mengamalkannya. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Artinya : Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” [As-Sajadah: 22]

Syaikh Muhammad At-Tamimy berkata: “Tidak ada bedanya dalam hal yang membatalkan syahadat ini antara orang yang bercanda, yang serius (bersungguh-sungguh) maupun yang takut, kecuali orang yang dipaksa. Dan semuanya adalah bahaya yang paling besar serta yang paling sering terjadi. Maka setiap muslim wajib berhati-hati dan mengkhawatirkan dirinya serta mohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hal-hal yang bisa mendatangkan murka Allah dan siksaNya yang pedih.”

Sifat wara' dan sikap meninggalkan hal-hal yang berbau syubhat dilandasi oleh sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam yang sangat terkenal, yaitu yang diriwayatkan dari an-Nu'man bin Basyir, dia berkata, "Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, 'Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas. Sedangkan di antara keduanya terdapat hal-hal yang samar (syubhat), tidak diketahui oleh banyak orang; siapa saja yang menjauhi syubhat tersebut, maka ia telah berlepas diri bagi agama dan kehormatannya, dan siapa saja yang terjerumus ke hal yang syubhat, maka berarti ia telah terjerumus ke dalam hal yang haram, ibarat seorang penggembala yang menggembala di seputar pagar larangan di mana hampir saja gembalanya memakan tumbuhan yang ada di dalamnya. Ketahuilah, sesungguhnya setiap raja memiliki pagar larangan. Ketahuilah bahwa pagar larangan Allah Subhannahu wa Ta'ala adalah hal-hal yang diharamkan nya. Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal daging; bila ia baik, maka baiklah seluruh jasad dan bila ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, bahwa ia adalah qalbu." (Muttafaqun 'alaih)

Makna Syubhat

Terkait dengan hadits di atas, al-Hafizh Ibn Rajab berkata, "Maknanya adalah bahwa yang halal secara murni itu sudah jelas sekali, tidak ada kesamaran sedikit pun, demikian juga dengan yang haram, akan tetapi di antara kedua hal tersebut terdapat hal-hal yang masih samar bagi kebanyakan orang; apakah ia halal ataukah haram? Ada pun bagi orang-orang yang mumpuni ilmu (agama)-nya, maka tidak ada kesamaran sedikit pun. Mereka mengetahui mana yang termasuk dalam kedua bagian tersebut."

Sementara Imam Ahmad menafsirkan syubhat dengan "Suatu posisi yang berada di antara halal dan haram. Yakni, antara halal murni dan haram murni." Dalam hal ini, beliau mengatakan, "Barangsiapa yang menjauhinya, maka ia telah berlepas diri untuk agamanya." Terkadang beliau menafsirkannya dengan "percampuran antara halal dan haram."

Sikap Manusia terhadap Syubhat

Terdapat empat kelompok manusia dalam menyikapi syubhat:

Pertama; Orang yang mengetahui hukumnya; apakah ia halal atau haram. Artinya, ia beramal berdasarkan ilmunya. Ini merupakan kelompok yang paling baik.

Ke-dua; Orang yang tidak mengetahui hukumnya namun ia mengambil sikap menjauhi. Artinya, ia tidak mau memasukinya karena masih samar baginya. Inilah orang yang disebut telah berlepas diri untuk dien dan kehormatannya itu.

Ke-tiga; Orang yang tidak mengetahui hukumnya tetapi ia terjerumus ke dalamnya padahal baginya masih samar. Ini kelompok yang hampir terjerumus ke dalam haram murni.

Ke-empat; Orang yang terjerumus ke dalamnya padahal ia mengetahui bahwa syubhat tersebut termasuk dalam jenis haram murni. Ini adalah kelompok paling buruk.

Ada lagi kelompok ke lima, yaitu orang yang meninggalkan sesuatu yang diyakininya halal padahal menurut anggapan banyak orang termasuk syubhat. Hal ini ia lakukan (meninggalkannya) sebagai bentuk berlepas diri untuk kehormatannya. Ini pada hakikatnya dapat dimasukkan ke dalam kelompok pertama di atas.

Dalam hal ini, Ibn Rajab mengatakan bahwa orang yang semacam ini bila melakukannya, pada dasarnya tidak apa-apa di sisi Allah subhanahu wata’ala, akan tetapi bila ia khawatir mendapat tudingan miring dari orang-orang karena hal itu, maka meninggalkannya merupakan bentuk berlepas diri untuk kehormatannya dan ini adalah baik. Sama halnya dengan bila orang tersebut melakukannya karena menurut keyakinannya adalah halal, baik melalui ijtihad yang dapat ditolerir atau pun taqlid yang dapat ditolerir lalu keyakinannya itu ternyata salah. Sebaliknya, bila ijtihadnya itu lemah atau bukan termasuk taqlid yang dapat ditolerir tetapi hanya karena mengikuti hawa nafsu, maka posisinya sama dengan orang yang melakukan syubhat padahal masih samar baginya. Dan orang seperti ini sebagaimana dikabarkan Nabi shallallahu ‘alihi wasallam telah terjerumus ke dalam hal yang haram.

Di sini terdapat dua penafsiran:

Pertama; Bahwa orang tersebut melakukan syubhat disertai keyakinan bahwa ia adalah syubhat supaya dapat menjadi alasan melakukan hal yang haram di mana menurutnya hanya haram secara bertahap dan masih ada toleransi.

Ke dua; Bahwa orang yang nekad melakukan hal yang menurutnya syubhat itu tidak tahu apakah itu halal atau haram. Maka ketika itu ia juga tidak dapat menjamin keharaman urusan tersebut, lalu melanggarnya sedangkan dia tidak mengetahui bahwa itu haram.

Definisi Wara'

Ibrâhim bin Ad-ham berkata, "Wara' artinya meninggalkan semua syubhat, sedangkan meninggalkan apa yang tidak menjadi kepentinganmu yaitu meninggalkan hal-hal sampingan (yang melebihi dari urusan)."

Yahya bin Mu'âdz berkata, "Wara' artinya berhenti sebatas ilmu yang dimiliki tanpa menakwilnya."

Abu Sulaimân ad-Darâny berkata, "Wara' adalah hal pertama dari zuhud sebagaimana qana'ah (rasa puas diri) merupakan hal pertama dari ridha."

Yunus bin 'Ubaid berkata, "Wara' adalah keluar dari semua syubhat dan menghitung diri (muhasabah) dalam setiap saat."

Pendapat lain mengatakan bahwa Wara' adalah keluar dari hawa nafsu dan meninggalkan hal-hal yang buruk.

Urgensi Wara' Dan Buahnya

Imam Ibn al-Qayyim berkata di dalam kitabnya Madârij as-Sâlikîn (II:23), "Yang dimaksud bahwa Wara' dapat menyucikan kotoran dan najis yang menempel di hati sebagaimana air menyucikan kotoran dan najis yang ada pada pakaian. Nabi shallallahu ‘alihi wasallam telah menghimpun makna Wara' semuanya dalam satu kalimat, "Termasuk baiknya keislaman seseorang, meninggalkan hal yang tidak menjadi kepentingannya (yang tidak perlu)." (HR.at-Turmudzi dan Ibn Majah)

Ini mencakup juga meninggalkan hal-hal seperti berbicara, melihat, mendengar, bertindak keras (dengan tangan), berjalan, berfikir dan seluruh gerakan yang kelihatan secara fisik atau pun abstrak. Kalimat tersebut sudah lebih dari cukup ketika berbicara tentang Wara'."

Sedangkan di antara buah dari sikap Wara' adalah:

-Sebagaimana ucapan Abu 'Utsmân al-Hiry, "Pahala sikap Wara' adalah mendapat keringanan hisab kelak.

-Sebagaimana ucapan al-Hasan al-Bashary, "Wara' yang seberat Dzarrah adalah lebih baik daripada puasa dan shalat yang seberat Dzarrah."

-Meraih surga dan menjadi dekat kepada Allah. Abu Hurairah berkata, "Teman-teman duduk Allah  kelak adalah orang-orang yang bersikap Wara' dan zuhud."

-Menghitung diri (muhasabah) dan menyesali perbuatan yang telah lalu. Abu 'Utsman al-Hiri berkata, "Begitu aku melakukan suatu dosa, aku terus menangis sejak empat puluh tahun yang lalu. Ceritanya, suatu ketika saudaraku mengunjungiku, lalu aku membeli ikan panggang seharga seperenam dirham (satu Dâniq). Setelah selesai, aku mengambil sebongkah tanah dari dinding tetanggaku hingga ia membasuhnya dengan tangannya padahal aku belum meminta dihalalkan kepadanya."

Kisah lainnya, diceritakan bahwa Ibn al-Mubarak pernah pulang lagi dari Marw menuju Syam gara-gara pena yang dipinjamnya belum ia kembalikan kepada pemiliknya.

-Meninggalkan hal yang sebenarnya tidak apa-apa hanya untuk menghindari hal yang ada apa-apanya. Mengenai ini, terdapat hadits dari Hanzhalah al-Usaidy, ia berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,

”Seorang hamba belum mencapai kedudukan orang-orang yang bertaqwa hingga ia meninggalkan hal yang sebenarnya tidak apa-apa hanya untuk menghindari hal yang ada apa-apanya." (HR.at-Turmudzi dan Ibn Majah)

Sebagian shahabat berkata, "Kami meninggalkan 70 pintu halal karena khawatir terjerumus ke dalam satu pintu haram."

Tingkatan Wara'

Di dalam kitab Mukhtashar Minhâj al-Qâshidîn hal. 91 disebutkan, "Wara' memiliki empat tingkatan:

-Pertama, Menarik diri dari setiap hal yang oleh fatwa diindikasikan haram.

-Ke dua, Wara' dari setiap syubhat yang tidak wajib menjauhinya tetapi dianjurkan.

-Ke tiga, Wara' dari sebagian yang halal karena khawatir terjerumus ke dalam hal yang haram.

-Ke empat, Wara' dari semua hal yang bukan karena Allah Ta'ala. Inilah Wara' ash-Shiddiqin.






Meninggalkan Syubhat, Menumbuhkan Sikap Wara

Meninggalkan Syubhat, Menumbuhkan Sikap Wara. Sifat wara' dan sikap meninggalkan hal-hal yang berbau syubhat dilandasi oleh sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam yang sangat terkenal, yaitu yang diriwayatkan dari an-Nu'man bin Basyir, dia berkata, "Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, 'Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas. 

Sedangkan di antara keduanya terdapat hal-hal yang samar (syubhat), tidak diketahui oleh banyak orang; siapa saja yang menjauhi syubhat tersebut, maka ia telah berlepas diri bagi agama dan kehormatannya, dan siapa saja yang terjerumus ke hal yang syubhat, maka berarti ia telah terjerumus ke dalam hal yang haram, ibarat seorang penggembala yang menggembala di seputar pagar larangan di mana hampir saja gembalanya memakan tumbuhan yang ada di dalamnya. 

Ketahuilah, sesungguhnya setiap raja memiliki pagar larangan. Ketahuilah bahwa pagar larangan Allah Subhannahu wa Ta'ala adalah hal-hal yang diharamkan nya. Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal daging; bila ia baik, maka baiklah seluruh jasad dan bila ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, bahwa ia adalah qalbu." (Muttafaqun 'alaih)

Makna Syubhat

Terkait dengan hadits di atas, al-Hafizh Ibn Rajab berkata, "Maknanya adalah bahwa yang halal secara murni itu sudah jelas sekali, tidak ada kesamaran sedikit pun, demikian juga dengan yang haram, akan tetapi di antara kedua hal tersebut terdapat hal-hal yang masih samar bagi kebanyakan orang; apakah ia halal ataukah haram? Ada pun bagi orang-orang yang mumpuni ilmu (agama)-nya, maka tidak ada kesamaran sedikit pun. Mereka mengetahui mana yang termasuk dalam kedua bagian tersebut."

Sementara Imam Ahmad menafsirkan syubhat dengan "Suatu posisi yang berada di antara halal dan haram. Yakni, antara halal murni dan haram murni." Dalam hal ini, beliau mengatakan, "Barangsiapa yang menjauhinya, maka ia telah berlepas diri untuk agamanya." Terkadang beliau menafsirkannya dengan "percampuran antara halal dan haram."

Sikap Manusia terhadap Syubhat

Terdapat empat kelompok manusia dalam menyikapi syubhat:

Pertama; Orang yang mengetahui hukumnya; apakah ia halal atau haram. Artinya, ia beramal berdasarkan ilmunya. Ini merupakan kelompok yang paling baik.

Ke-dua; Orang yang tidak mengetahui hukumnya namun ia mengambil sikap menjauhi. Artinya, ia tidak mau memasukinya karena masih samar baginya. Inilah orang yang disebut telah berlepas diri untuk dien dan kehormatannya itu.

Ke-tiga; Orang yang tidak mengetahui hukumnya tetapi ia terjerumus ke dalamnya padahal baginya masih samar. Ini kelompok yang hampir terjerumus ke dalam haram murni.

Ke-empat; Orang yang terjerumus ke dalamnya padahal ia mengetahui bahwa syubhat tersebut termasuk dalam jenis haram murni. Ini adalah kelompok paling buruk.

Ada lagi kelompok ke lima, yaitu orang yang meninggalkan sesuatu yang diyakininya halal padahal menurut anggapan banyak orang termasuk syubhat. Hal ini ia lakukan (meninggalkannya) sebagai bentuk berlepas diri untuk kehormatannya. Ini pada hakikatnya dapat dimasukkan ke dalam kelompok pertama di atas.

Dalam hal ini, Ibn Rajab mengatakan bahwa orang yang semacam ini bila melakukannya, pada dasarnya tidak apa-apa di sisi Allah subhanahu wata’ala, akan tetapi bila ia khawatir mendapat tudingan miring dari orang-orang karena hal itu, maka meninggalkannya merupakan bentuk berlepas diri untuk kehormatannya dan ini adalah baik. Sama halnya dengan bila orang tersebut melakukannya karena menurut keyakinannya adalah halal, baik melalui ijtihad yang dapat ditolerir atau pun taqlid yang dapat ditolerir lalu keyakinannya itu ternyata salah. 

Sebaliknya, bila ijtihadnya itu lemah atau bukan termasuk taqlid yang dapat ditolerir tetapi hanya karena mengikuti hawa nafsu, maka posisinya sama dengan orang yang melakukan syubhat padahal masih samar baginya. Dan orang seperti ini sebagaimana dikabarkan Nabi shallallahu ‘alihi wasallam telah terjerumus ke dalam hal yang haram.

Di sini terdapat dua penafsiran:

Pertama; Bahwa orang tersebut melakukan syubhat disertai keyakinan bahwa ia adalah syubhat supaya dapat menjadi alasan melakukan hal yang haram di mana menurutnya hanya haram secara bertahap dan masih ada toleransi.

Ke dua; Bahwa orang yang nekad melakukan hal yang menurutnya syubhat itu tidak tahu apakah itu halal atau haram. Maka ketika itu ia juga tidak dapat menjamin keharaman urusan tersebut, lalu melanggarnya sedangkan dia tidak mengetahui bahwa itu haram.

Definisi Wara'

Ibrâhim bin Ad-ham berkata, "Wara' artinya meninggalkan semua syubhat, sedangkan meninggalkan apa yang tidak menjadi kepentinganmu yaitu meninggalkan hal-hal sampingan (yang melebihi dari urusan)."

Yahya bin Mu'âdz berkata, "Wara' artinya berhenti sebatas ilmu yang dimiliki tanpa menakwilnya."

Abu Sulaimân ad-Darâny berkata, "Wara' adalah hal pertama dari zuhud sebagaimana qana'ah (rasa puas diri) merupakan hal pertama dari ridha."

Yunus bin 'Ubaid berkata, "Wara' adalah keluar dari semua syubhat dan menghitung diri (muhasabah) dalam setiap saat."

Pendapat lain mengatakan bahwa Wara' adalah keluar dari hawa nafsu dan meninggalkan hal-hal yang buruk.

Urgensi Wara' Dan Buahnya

Imam Ibn al-Qayyim berkata di dalam kitabnya Madârij as-Sâlikîn (II:23), "Yang dimaksud bahwa Wara' dapat menyucikan kotoran dan najis yang menempel di hati sebagaimana air menyucikan kotoran dan najis yang ada pada pakaian. Nabi shallallahu ‘alihi wasallam telah menghimpun makna Wara' semuanya dalam satu kalimat, "Termasuk baiknya keislaman seseorang, meninggalkan hal yang tidak menjadi kepentingannya (yang tidak perlu)." (HR.at-Turmudzi dan Ibn Majah)

Ini mencakup juga meninggalkan hal-hal seperti berbicara, melihat, mendengar, bertindak keras (dengan tangan), berjalan, berfikir dan seluruh gerakan yang kelihatan secara fisik atau pun abstrak. Kalimat tersebut sudah lebih dari cukup ketika berbicara tentang Wara'."

Sedangkan di antara buah dari sikap Wara' adalah:

-Sebagaimana ucapan Abu 'Utsmân al-Hiry, "Pahala sikap Wara' adalah mendapat keringanan hisab kelak.

-Sebagaimana ucapan al-Hasan al-Bashary, "Wara' yang seberat Dzarrah adalah lebih baik daripada puasa dan shalat yang seberat Dzarrah."

-Meraih surga dan menjadi dekat kepada Allah. Abu Hurairah berkata, "Teman-teman duduk Allah  kelak adalah orang-orang yang bersikap Wara' dan zuhud."

-Menghitung diri (muhasabah) dan menyesali perbuatan yang telah lalu. Abu 'Utsman al-Hiri berkata, "Begitu aku melakukan suatu dosa, aku terus menangis sejak empat puluh tahun yang lalu. Ceritanya, suatu ketika saudaraku mengunjungiku, lalu aku membeli ikan panggang seharga seperenam dirham (satu Dâniq). Setelah selesai, aku mengambil sebongkah tanah dari dinding tetanggaku hingga ia membasuhnya dengan tangannya padahal aku belum meminta dihalalkan kepadanya."

Kisah lainnya, diceritakan bahwa Ibn al-Mubarak pernah pulang lagi dari Marw menuju Syam gara-gara pena yang dipinjamnya belum ia kembalikan kepada pemiliknya.

-Meninggalkan hal yang sebenarnya tidak apa-apa hanya untuk menghindari hal yang ada apa-apanya. Mengenai ini, terdapat hadits dari Hanzhalah al-Usaidy, ia berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,

”Seorang hamba belum mencapai kedudukan orang-orang yang bertaqwa hingga ia meninggalkan hal yang sebenarnya tidak apa-apa hanya untuk menghindari hal yang ada apa-apanya." (HR.at-Turmudzi dan Ibn Majah)

Sebagian shahabat berkata, "Kami meninggalkan 70 pintu halal karena khawatir terjerumus ke dalam satu pintu haram."

Tingkatan Wara', Di dalam kitab Mukhtashar Minhâj al-Qâshidîn hal. 91 disebutkan, "Wara' memiliki empat tingkatan:

  • -Pertama, Menarik diri dari setiap hal yang oleh fatwa diindikasikan haram.
  • -Ke dua, Wara' dari setiap syubhat yang tidak wajib menjauhinya tetapi dianjurkan.
  • -Ke tiga, Wara' dari sebagian yang halal karena khawatir terjerumus ke dalam hal yang haram.
  • -Ke empat, Wara' dari semua hal yang bukan karena Allah Ta'ala. Inilah Wara' ash-Shiddiqin.





Memelihara Islam dengan Barang Menjauhi Syubhat/Tidak jelas

Definisi syubhat adalah keragu-raguan atau kekurangjelasan tentang sesuatu apakah itu halal atau haram. Karena kurang jelas status hukumnya sehingga tidak dapat dipastikan sesuatu itu halal atau haram maka disebut syubhat. Umat Islam mengenal istilah syubhat untuk menyatakan tentang keadaan yang samar terkait kehalalan atau keharaman dari sesuatu. Syubhat juga dapat merujuk kepada sebuah keadaan kerancuan berpikir dalam memahami sesuatu hal. Sehingga mengakibatkan sesuatu yang salah terlihat benar atau sebaliknya.

Rasulullah Nabi Muhammad SAW dalam Shahih Bukhari bersabda menjauhkan diri dari syubhat sama dengan memelihara agama Islam dan kehormatannya. Rasulullah memperingatkan umatnya agar berhati-hati dengan sesuatu yang syubhat agar tidak tergelincir pada sesuatu yang haram. Rasulullah bersabda, "Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun di antara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barang siapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah memelihara agamanya dan kehormatannya. Dan barang siapa yang sampai jatuh (mengerjakan) pada perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya."

"Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan, dan ketahuilah batasan larangan Allah di bumi-Nya adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati." (Shahih Bukhari).

Banyak orang tidak mengetahui, apakah dirinya berada dalam wilayah halal atau berada dalam wilayah haram. Barangsiapa yang meninggalkan wilayah syubhat, demi menyelamatkan agama dan kehormatannya, maka dia akan selamat.

Allah selalu memiliki sifat kasih dan sayang kepada umat manusia, dan tidak membiarkan umat manusia dalam kondisi ketidakjelasan di antara perkara halal dan haram.

وَقَدۡ فَصَّلَ لَـكُمۡ مَّا حَرَّمَ عَلَيۡكُمۡ…

Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu. (QS: Al-An’am [6]:119).

Perkara syubhat ini dijelaskan lebih lanjut oleh Rasulullah Shallallalahu alaihi Wasallam, Nabi Muhammad bersabda,” Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallalahu alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ

“Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599).

Masalah yang sering muncul adalah masalah di antara halal dan haram, yang biasa disebut dengan syubhat. Syubhat artinya samar atau kurang jelas, yakni setiap perkara/persoalan yang tidak begitu jelas antara halal dan haramnya bagi sebagian besar manusia. Perkara syubhat biasa terjadi mungkin karena tidak jelasnya dalil atau mungkin tidak jelasnya jalan untuk menerapkan dalil yang ada terhadap suatu peristiwa atau realita yang ada.

Islam, sebagai agama yang sempurna telah mengajarkan kepada setiap muslim untuk bersikap hati-hati yang biasa disebut dengan wara’ yakni sikap berhati-hati karena takut berbuat haram. Sikap wara’ ini diharapkan muslim dapat menjauhkan diri dari masalah yang syubhat, sehingga tidak akan tersesat untuk berbuat kepada yang haram. Biasanya, muslim yang sudah terjatuh ke dalam perkara syubhat akan terjatuh ke perkara yang haram.

Syubhat/ragu-ragu tentang alasan yang menghalalkan dan yang mengharamkan

  1. Sesuatu yang dapat dimaklumi perihal keharamannya sebelum itu, kemudian timbullah suatu keragu-raguan perihal hal-hal yang dapat digunakan untuk menghalalkannya. Ini adalah termasuk dalam kesyubhatan. Apabila mendapatkan persoalan yang sedemikian, maka wajiblah kita menjauhinya dan haramlah kalua kita menerjuninya untuk melaksanakannya.
  2. Sesuatu yang sudah dimakluminya perihal kehalalnya, emudian timbul kerahu-raguan mengenai keharamannya sebab ada bukti bukti yang dapat ditunjukkannya, maka untuk menghadapi persoalan yang demikian baiklah ditetapi saja kehalalannya dan hukumnya dapat ditentukan dalam kehalalan.
  3. Sesuatu yang asalnya dianggap haram, tetapi tiba-tiba ada suatu sebab yang datang belakangan yang dapat menyebabkan dapat dianggap menjadi suatu yang halal, dengan alasan adanya keragu-raguan yang dapat dianggap menang. Jadi persoalannya tetap disangsikan, namun demikian hukum kehalalan dapat dimenangkan dalam masalah ini. Andaikan kemenangan penyangkalan itu dapat disandarkankepada suatu sebab yang boleh dianggap menurut syariat, lalu menurut pilihanya itu adalah hukum halalnya, maka dianggap sesuatu yang halal.
  4. Sesuatu yang sudah dimaklumi kehalalannya, namun kemudian timbul sesuatu yang baru yang menyebabkan dapat dimenangkan sangkaan bahwa hal itu menjadi haram. Sebab yang timbul itu itu tentulah harus yang dapat dianggap menurut syariat untuk memenangkan persangkaan tadi.

Jika ada sesuatu yang haram bercampur baur dengan sesuatu yang halal, sehingga persoalannya menjadi sukar untuk dibedakan dan diperinci satu persatu. Pencampuran itu terjadi atau berupa dari beberapa hal. Misalnya percampuran itu dapat terjadi dengan jumlah tertentu, seperti seekor bangkai yang bercampur dengan seekor atau sepuluh ekor yang disembelih secara halal. Syubhat yang demikian inilah yang wajib dijauhi menurut ijma’ ulama. Syubhat/ragu-ragu yang pada asalnya adalah halal nyata, tetapi oleh karena ada sebab-sebab yang baru datang, kemudian kalau hal tadi terus dilakukan, maka akan merupakan kemaksiatan.

Menyembelih binatang dengan menggunakan pisau yang diperoleh dari ghasab (mengambil tanpa izin pemiliknya) atau misalnya menjual atas jualan orang lain, juga tawaran diatas tawaran orang lain. Ringkasnya, semua larangan agama yang ada dalam persoalan jual beli atau akad yang asalnya bukan merupakan akad yang rusak atau tidak sah. Namun dilarangnya itu hanyalah karena ada sebab yang mendatang kemudian.

Tinggalkanlah yang Syubhat

erkara syubhat sebaiknya ditinggalkan, sebagaimana Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Jika perkaranya syubhat (samar), maka sepatutnya ditinggalkan. Karena jika seandainya kenyataan bahwa perkara tersebut itu haram, maka ia berarti telah berlepas diri. Jika ternyata halal, maka ia telah diberi ganjaran karena meninggalkannya untuk maksud semacam itu. Karena asalnya, perkara tersebut ada sisi bahaya dan sisi bolehnya.” (Fathul Bari, 4: 291).

Referensi Sebagai Berikut ini ;









Meninggalkan Perkara Syubhat/Tidak Jelas Antar Haram & Halal

Yang dimaksud syubhat adalah perkara yang masih samar hukumnya, apakah halal atau haram. Jika kita menemukan perkara semacam ini, maka lebih utama untuk ditinggalkan. Semacam seseorang mendapati perselisihan ulama, apakah mengambil foto diri itu dibolehkan atau tidak dalam keadaan non-darurat. Jika dalam masalah ini, kita tidak bisa menguatkan salah satu pendapat karena kuatnya dalil yang dibawakan dari pihak yang melarang dan pihak yang membolehkan, maka sikap wara’ dan hati-hati adalah tidak mengambil foto diri kecuali dalam keadaan darurat. Namun bagi yang sudah jelas baginya hukum setelah menimbang dalil, maka tidak masalah ia mengambil pendapat yang ia yakini. Pembahasan kali ini masih ada sangkut pautnya dengan pembahasan kita kemarin mengenai sikap wara’.““

Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ

“Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599)

Ada Tiga Pembagian Hukum

Ada pelajaran penting yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah. Beliau mengatakan, “Hukum itu dibagi menjadi tiga macam dan pembagian seperti ini benar. Karena sesuatu bisa jadi ada dalil tegas yang menunjukkan adanya perintah dan ancaman keras jika ditinggalkan. Ada juga sesuatu yang terdapat dalil untuk meninggalkan dan terdapat ancaman jika dilakukan. Ada juga sesuatu yang tidak ada dalil tegas apakah halal atau haram. Yang pertama adalah perkara halal yang telah jelas dalilnya. Yang kedua adalah perkara haram yang telah jelas dalilnya. Makna dari bagian hadits “halal itu jelas”, yang dimaksud adalah tidak butuh banyak penjelasan dan setiap orang sudah memahaminya. Yang ketiga adalah perkara syubhat yang tidak diketahui apakah halal atau haram.” (Fathul Bari, 4: 291).

Jadi intinya, ada tiga hukum yang disebutkan dalam hadits di atas, yaitu (1) halal, (2) haram, dan (3) syubhat.

Sedangkan masalah (problema) dibagi menjadi empat macam:

  1. Yang memiliki dalil bolehnya, maka boleh diamalkan dalil bolehnya.
  2. Yang memiliki dalil pengharaman, maka dijauhi demi mengamalkan dalil larangan.
  3. Yang terdapat dalil boleh dan haramnya sekaligus. Maka inilah masalah mutasyabih (yang masih samar). Menurut mayoritas ulama, yang dimenangkan adalah pengharamannya.
  4. Yang tidak terdapat dalil boleh, juga tidak terdapat dalil larangan, maka ini kembali ke kaedah hukum asal. Hukum asal ibadah adalah haram. Sedangkan dalam masalah adat dan muamalah adalah halal dan boleh.

Perkara Syubhat, Ada yang Tahu dan Ada yang Tidak Tahu

Yang dimaksud di sini adalah perkara tersebut masih samar (syubhat) menurut sebagian orang karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ‘kebanyakan orang tidak mengetahui perkara tersebut’.  Perkaran syubhat ini sering ditemukan oleh para ulama dalam bab jual beli karena perkara tersebut dalam jual beli amatlah banyak. Perkara ini juga ada sangkut pautnya dengan nikah, buruan, penyembelihan, makanan, minuman dan selain itu. Sebagian ulama sampai-sampai melarang penggunaan kata halal dan haram secara mutlak kecuali pada perkara yang benar-benar ada dalil tegas yang tidak butuh penafsiran lagi. Jika dikatakan kebanyakan orang tidak mengetahuinya, maka ini menunjukkan bahwa sebagian dari mereka ada yang tahu. Demikian kami ringkaskan dari perkataan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 4: 291.

Guru kami, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri -semoga Allah menjaga dan memberkahi umur beliau- mengatakan, “Perkara yang syubhat (samar) itu muncul pasti ada beberapa sebab, bisa jadi karena kebodohan, atau tidak adanya penelusuran lebih jauh mengenai dalil syar’i, begitu pula bisa jadi karena tidak mau merujuk pada perkataan ulama yang kokoh ilmunya.” (Syarh Al Arba’in An Nawawiyah Al Mukhtashor, hal. 63).

Orang Awam dalam Menghadapi Perselisihan Ulama

Menjauhi syubhat bisa jadi dalam masalah yang terdapat perselisihan ulama.

Syaikh Sa’ad Asy Syatsri menjelaskan, “Kesamaran (perkara syubhat) bisa saja terjadi pada perselisihan ulama. Hal ini ditinjau dari keadaan orang awam. Namun kaedah syar’iyah yang wajib bagi orang awam untuk mengamalkannya ketika menghadapi perselisihan para ulama setelah ia meneliti dan mengkaji adalah ia kuatkan pendapat-pendapat yang ada sesuai dengan ilmu dan kewara’an,  juga ia bisa memilih pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama. Karena pendapat kebanyakan ulama itu lebih dekat karena seperti syari’at. Dan perkataan orang yang lebih berilmu itu lebih dekat pada kebenaran karena bisa dinilai sebagai syari’at. Begitu pula perkataan ulama yang lebih wara’ (mempunyai sikap kehati-hatian), itu lebih baik diikuti karena serupa dengan syari’at.“ Lihat penjelasan beliau dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 65.

Kata guru kami, Syaikh Sholih Al Fauzan -semoga Allah menjaga dan memberkahi umur beliau, ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan, “Jika terdapat suatu masalah yang terdapat perselisihan ulama. Sebagian menfatwakan boleh, sebagian lagi mengharamkannya. Kedua fatwa tersebut sama-sama membawakan dalil, maka perkara ini dianggap sebagai syubhat karena tidak diketahui sisi halal dan haramnya. Perkara tersebut ditinggalkan sebagai bentuk kehati-hatian dan wara’ sampai jelas akan hukum masalah tersebut. Jika akhirnya diketahui perkara tersebut adalah haram, maka ia segera tinggalkan. Jika diketahui halal, maka ia silakan ambil (manfaatkan). Adapun perkara yang tidak jelas, masih syubhat, maka sikap hati-hati dan wara’ adalah meninggalkannya.” (Al Minhah Ar Robbaniyah fii Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 105).

Intinya, kalau orang awam tidak bisa menguatkan pendapat ketika menghadapi perselisihan ulama, maka hendaknya ia tinggalkan perkara yang masih samar tersebut. Jika ia sudah yakin setelah menimbang-nimbang dan melihat dalil, maka ia pilih pendapat yang ia yakini.

Dua Faedah Besar Karena Meninggalkan Syubhat

Dalam hadits yang kita kaji di atas, ada dua faedah besar jika seseorang meninggalkan perkara syubhat, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” Ini menunjukkan ada dua faedah besar di sini yaitu meninggalkan perkara syubhat dapat mensucikan (menjaga) agama kita, dan juga menjaga kehormatan kita. Dari dua faedah ini Syaikhuna, Syaikh Sholih Al Fauzan mengatakan, “Dari sini menunjukkan bahwa janganlah kita tergesa-gesa sampai jelas suatu perkara.” Lihat Al Minhah Ar Robbaniyah fii Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 106.

Syubhat Bisa Menjerumuskan dalam Keharaman

Dalam hadits di atas disebutkan, “Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” Hadits ini menunjukkan bahwa jika seseorang bermudah-mudahan dan seenaknya saja memilih yang ia suka padahal perkara tersebut masih samar hukumnya, maka ia bisa jadi terjerumus dalam keharaman.

Ibnu Daqiq Al ‘Ied mengatakan bahwa orang yang terjerumus dalam syubhat bisa terjatuh pada yang haram dilihat dari dua sisi: (1) barangsiapa yang tidak bertakwa pada Allah lalu ia mudah-mudahan memilih suatu yang masih syubhat (samar), itu bisa mengantarkannya pada yang haram, (2) kebanyakan orang yang terjatuh dalam syubhat, gelaplah hatinya karena hilang dari dirinya cahaya ilmu dan cahaya sifat wara’, jadinya ia terjatuh dalam keharaman  dalam keadaan ia tidak tahu. Bisa jadi ia berdosa karena sikapnya yang selalu meremehkan. Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, penjelasan Ibnu Daqiq Al ‘Ied, hal. 49.

Namun catatan yang perlu diperhatikan, sebagian orang mengatakan bahwa selama masih ada khilaf (perselisihan ulama), maka engkau boleh memilih pendapat mana saja yang engkau suka. Kami katakan, “Tidak demikian”. Khilaf ulama tidak menjadikan kita seenaknya saja memilih pendapat yang kita suka. Namun hendaknya kita pilih mana yang halal atau haram yang kita yakini. Karena jika sikap kita semacam tadi, dapat membuat kita terjatuh dalam keharaman. Lihat penjelasan yang amat baik dari Syaikh Sholih Al Fauzan dalam Al Minhah Ar Robbaniyah fii Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 107.

Jauhi Perkara Syubhat

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Jika perkaranya syubhat (samar), maka sepatutnya ditinggalkan. Karena jika seandainya kenyataan bahwa perkara tersebut itu haram, maka ia berarti telah berlepas diri. Jika ternyata halal, maka ia telah diberi ganjaran karena meninggalkannya untuk maksud semacam itu. Karena asalnya, perkara tersebut ada sisi bahaya dan sisi bolehnya.” (Fathul Bari, 4: 291)

Syaikh Sholih Al Fauzan mengatakan, “Sebagaimana pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya, maka demikian pula manusia. Ia tidak mampu mengendalikan dirinya dari terjerumus pada keharaman jika hal itu masih syubhat (hukumnya samar). Permisalan yang Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sampaikan dalam hadits ini adalah permisalan yang begitu jelas dan mudah dicerna. Hadits ini menunjukkan wajibnya kita menjauhi perkara syubhat supaya tidak membuat kita terjatuh pada keharaman.” (Al Minhah Ar Robbaniyah fii Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 108).

Referensi Sebagai berikut ini ;