This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Rabu, 20 Juli 2022

Cara Memperbaiki Akhlak Menjadi Lebih Baik

Cara Memperbaiki Akhlak Menjadi Lebih Baik, Perbaikilah akhlakmu, maka engkau berada dalam barisan orang-orang telah dijanjikan dekat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kelak di hari kiamat.” Jawab sang ustadz. Tahukah Anda? Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ القِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا

Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat kedudukannya denganku di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya. (HR. Tirmidzi : 2018). Sebagaimana konsep akhlak dalam Islam yang telah kita pelajari, ternyata akhlak itu terbagi menjadi dua, yakni akhlak yang sudah ada sejak lahir dan akhlak yang perlu upaya untuk merubahnya menjadi lebih baik.

Bagaimana caranya agar kita bisa memiliki akhlak yang baik? Tentu semua itu ada ilmunya. Maka dari itu, mari kita pelajari bersama bagaimana cara memperbaiki akhlak agar menjadi lebih baik. Berikut ini ada 20 cara memperbaiki akhlak yang kami rangkum :

1. Membenarkan Akidah

Akidah yang benar (yakni akidah ahlus sunnah wal jama'ah) dapat menjadikan akhlak kita menjadi lebih baik. Hal ini telah terbukti bahwa akidah para salafus shalih mampu menghantarkan mereka kepada akhlak yang mulia dan menghindarkan mereka dari akhlak yang tercela.

Selain itu, kualitas akidah kita juga sangat mempengaruhi kualitas akhlak kita. Apabila akidah dan keimanan kita baik, maka baik pula akhlak yang kita miliki.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

Orang beriman yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya. (HR. Abu Dawud : 4682)

Hadits ini menunjukkan bahwa keimanan dan akhlak memiliki hubungan yang sangat erat.  Oleh karena itu, tidaklah kita memperbaiki akhlak kecuali dengan membenarkan akidah dan meningkatkan keimanan terlebih dahulu.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan :

الدِّينُ كُلُّهُ خُلُقٌ. فَمَنْ زَادَ عَلَيْكَ فِي الْخُلُقِ: زَادَ عَلَيْكَ فِي الدِّينِ. وَكَذَلِكَ التَّصَوُّفُ

Agama itu semuanya adalah akhlak. Barang siapa yang bertambah akhlaknya, maka bertambah pula agamanya. Seperti itulah tasawwuf.

2. Beribadah

Ibadah adalah sebuah cara dan wasilah yang paling utama untuk melatih dan mendidik diri kita untuk menjadi lebih baik.Ibadah tidak hanya menjadi wasilah untuk mendidik aspek ruhiyyah saja. Namun, ibadah juga mendidik aspek jismiyyah, ijtima’iyyah, khuluqiyyah, jamaliyyah, maupun aqliyyah. Semua aspek tersebut akan terlatih apabila kita istiqomah melaksanakan ibadah-ibadah yang telah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. 

Tentunya semua itu harus tetap kita niatkan untuk mengharapkan wajah-Nya.

3. Membaca Al Quran

Al Quran adalah petunjuk utama dalam berakhlak mulia. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus, (QS. Al-Israa’ : 9)

Rasulullah sendiri menjadikan Al Quran sebagai tolak ukur bagi dirinya dalam berakhlak. Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim wajib membaca dan mempelajari Al Quran. Dengan membaca dan mempelajarinya maka kita akan mengetahui bagaimana cara berakhlak yang benar. Ketahuilah..! Sesungguhnya Al Quran merupakan obat hati, petunjuk, dan rahmat bagi orang yang beriman.

Allah  Swt berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus : 57)

4. Melatih Diri

Akhlak yang mulia tidak dapat diperoleh dengan hanya berdiam diri. Justru dengan berlatih itulah maka Allah akan memperbaiki akhlak kita.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

وَإِنَّهُ مَنْ يَسْتَعِفَّ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ، وَلَنْ تُعْطَوْا عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ

Sesungguhnya barang siapa yang berusaha menjaga diri dari meminta-minta maka Allah akan menjaganya dari meminta-minta, dan barang siapa yang berusaha menyabarkan diri maka Allah berikan dia kesabaran, dan barang siapa yang berusaha merasa cukup maka Allah berikan ia kecukupan. Kalian tidak akan pernah diberikan pemberian yang terbaik dan terluas dari pada sebuah kesabaran. (HR. Bukhari : 6470)

5. Memotivasi Diri

Apabila kita ingin memperoleh akhlak yang mulia maka hendaknya kita senantiasa memotivasi diri dengan mengkaji keutamaan-keutamaan akhlak mulia yang telah disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan motivasi diri inilah kita menjadi lebih semangat dan senantiasa berusaha memperbaiki akhlak menjadi lebih baik.

6. Merasa Takut Akan Akibat Akhlak Tercela

Buruknya akhlak dapat mengurangi kedudukan kita di sisi Allah. Karena buruknya akhlak juga merupakan perbuatan maksiat. Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan :

وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: سُقُوطُ الْجَاهِ وَالْمَنْزِلَةِ وَالْكَرَامَةِ عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ خَلْقِهِ، فَإِنَّ أَكْرَمَ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاهُمْ، وَأَقْرَبَهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَطْوَعُهُمْ لَهُ، . . .

Diantara akibat dari perbuatan maksiat adalah hilangnya kehormatan, kedudukan, dan kemuliaan di sisi Allah dan juga makhluk-Nya.

Karena sesungguhnya makhluk yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara mereka, dan yang paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah yang paling taat di antara mereka.

Apabila kita senantiasa berakhlakul karimah maka kedudukan kita akan semakin tinggi di sisi Allah. Sebaliknya, apabila kita berakhlak buruk maka kedudukan kita akan semakin menurun di sisi Allah. Bahkan sebaik apapun ibadah kita kepada Allah, hanya akan menghantarkan kita ke dalam neraka apabila kita memiliki akhlak yang buruk. 

Perhatikan hadits di bawah ini!!

قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ فُلَانَةَ يُذْكَرُ مِنْ كَثْرَةِ صَلَاتِهَا، وَصِيَامِهَا، وَصَدَقَتِهَا، غَيْرَ أَنَّهَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا، قَالَ: هِيَ فِي النَّارِ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، فَإِنَّ فُلَانَةَ يُذْكَرُ مِنْ قِلَّةِ صِيَامِهَا، وَصَدَقَتِهَا، وَصَلَاتِهَا، وَإِنَّهَا تَصَدَّقُ بِالْأَثْوَارِ مِنَ الْأَقِطِ، وَلَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا، قَالَ: هِيَ فِي الْجَنَّةِ

Ada seorang lelaki berkata : “Wahai Rasulullah, ada seorang wanita yang dikenal banyak shalatnya, banyak berpuasa, dan banyak bersedekah, akan tetapi ia menyakiti tetangga dengan lisannya”

Rasulullah menjawab : “Ia di neraka.”

Ia bertanya lagi : “Ada juga seorang wanita yang dikenal sedikit puasanya, sedikit sedekahnya, bahkan ia hanya menyedekahkan sepotong keju dari susu yang dibekukan, namun ia tidak menyakiti tetangga dengan lisannya.”

Rasulullah menjawab : “Ia di surga.” (HR. Ahmad : 9675)

7. Amar Makruf Nahi Mungkar dan Saling Menasihati

Kita sebagai manusia yang tidak pernah luput dari kesalahan tentu akan sangat membutuhkan orang-orang yang mengingatkan kesalahan yang kita perbuat.

Oleh karena itu, Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kita untuk selalu memerintahkan manusia pada kebaikan, mencegah kemungkaran, dan saling menasihati.

Allah Swt berfirman :

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Adz-Dzariyat : 55)

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran : 104)

Amar makruf nahi mungkar dan saling menasihati adalah upaya terbaik yang dipraktekkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya dalam mendidik akhlak manusia.

8. Bercita-cita Tinggi

Cita-cita yang tinggi dan mulia sangatlah diperlukan untuk menunjang kemuliaan akhlak kita. 

Seorang yang bercita-cita rendah, tidak memiliki tekad yang kuat, mudah putus asa dan selainnya merupakan sifat akhlak yang tercela. Ibnu Al-Qayyim rahimahullah mengatakan :

فَمَنْ عَلَتْ هِمَّتُهُ، وَخَشِعَتْ نَفْسُهُ؛ اتَّصَفَ بِكُلِّ خُلُقٍ جَمِيْلٍ، وَمَنْ دَنَتْ هِمَّتُهُ، وَطَغَتْ نَفْسُهُ؛ اتَّصَفَ بِكُلِّ خُلُقٍ رَذِيْلٍ

Barang siapa yang memiliki cita-cita yang tinggi dan ketundukan jiwa maka ia telah memperoleh semua sifat akhlak yang mulia.

Barang siapa yang rendah cita-citanya dan durhaka jiwanya maka ia telah memperoleh semua sifat akhlak yang tercela.[3]

9. Sabar

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan :

وَحُسْنُ الْخُلُقِ يَقُومُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَرْكَانٍ لَا يُتَصَوَّرُ قِيَامُ سَاقِهِ إِلَّا عَلَيْهَا: الصَّبْرُ، وَالْعِفَّةُ، وَالشَّجَاعَةُ، وَالْعَدْلُ

Akhlak yang baik berdiri di atas empat rukun yang mendirikannya tidak boleh berpindah kecuali berada di atasnya (yaitu) : sabar, menjaga diri dari yang buruk, berani, dan adil.

Sabar itu ada tiga jenis, diantaranya :

  • Sabar dengan Allah
  • Sabar untuk Allah
  • Sabar bersama Allah

Pertama : Sabar dengan Allah adalah kita senantiasa bersabar meminta pertolongan kepada-Nya agar tetap dalam kesabaran. Karena sesungguhnya sabarnya seorang hamba adalah berkat pertolongan dari Rabbnya, bukan dari dirinya.

Allah Swt berfirman :

وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ

Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah (QS. An-Nahl : 127) Kedua : Sabar untuk Allah adalah hendaknya kita bersabar dalam rangka meraih cintanya Allah, dan menginginkan wajah-Nya. Ketiga : Sabar bersama Allah adalah kita bersabar menetap bersama apa yang Allah kehendaki terhadap diri kita dan bersabar menjalani hukum-hukum agama-Nya.

10. Wejangan dan Nasihat

Mendengarkan nasihat sangatlah dibutuhkan untuk menanamkan nilai-nilai akhlak di dalam diri kita. Terlebih lagi apabila kita sedang dalam keadaan futur. Sesungguhnya jiwa kita ini bagaikan tanaman sedangkan nasihat itu bagaikan air. Apabila jiwa ini tidak pernah disiram dengan nasihat maka ia akan layu dan mati.

11. Saling Berwasiat

Berwasiat yang dimaksud adalah saling mewasiatkan perihal akhlakul karimah. Caranya adalah dengan terus menebarkan kebaikan dan menyampaikan fadhilah berakhlak mulia kepada orang lain.

Selain itu, kita juga harus memperingatkan orang lain agar tidak terjerumus ke dalam akhlak yang buruk. Kemudian kita berikan mereka dorongan serta motivasi agar kembali berakhlak mulia. Ketahuilah bahwa sesungguhnya akhlak mulia adalah bagian dari Al-Haq (kebenaran) Maka saling mewasiatkannya adalah suatu keniscayaan. Barang siapa yang meninggalkannya maka ia termasuk golongan orang-orang yang merugi. 

Allah ta’ala berfirman :

وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ﴿٣﴾

Demi masa.  Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, (2)

kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (3) (QS. Al-Ashr : 1 – 3)

Dikisahkan pula tentang pentingnya saling berwasiat di kalangan para sahabat:

كَانَ الرَّجُلَانِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا الْتَقَيَا لَمْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَقْرَأَ أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ: {وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ} [العصر: 2] ، ثُمَّ يُسَلِّمَ أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ

Dahulu apabila ada dua orang dari sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam saling bertemu maka mereka berdua tidak akan berpisah hingga salah seorang diantara mereka membaca surat Al-‘Ashr kepada kawannya, kemudian barulah salah seorang diantara mereka berdua memberi salam kepada kawan yang satunya.(HR. Thabrani : 5124)

12. Menjadikan Orang Lain Ukuran Bagi Dirinya

Manusia yang berakal adalah mereka yang melihat orang lain lalu menjadikan orang lain itu sebagai ukuran bagi dirinya.

Setiap hal yang apabila ia diperlakukan dengan hal itu oleh orang lain lantas ia membencinya maka ia akan menjauhi hal itu dan tidak melakukannya.

Sebaliknya, setiap hal yang apabila ia diperlakukan dengan hal itu lantas ia menyukainya maka ia akan lakukan hal itu untuk orang lain.

13. Panutan dalam Kebaikan

Tidak diragukan lagi, bahwa panutan terbaik bagi seluruh umat muslim adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Allah ta’ala berfirman :

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab : 21) Begitu pula para Nabi sebelumnya dan para pengikutnya yang patut kita jadikan teladan dalam berakhlak. 

Contohnya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam serta orang beriman yang mengikutinya, Allah ta’ala berfirman :

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia (QS. Al-Mumtahanah : 4)

Demikian pula orang-orang setelah mereka, mulai dari para sahabat Nabi, para tabiin, para ulama, serta orang-orang saleh yang mengikuti mereka hingga datangnya hari kiamat.

Ketahuilah! Sesungguhnya tidak ada zaman kecuali pasti ada panutan dalam kebaikan serta menegakkan kebenaran, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لاَ يَزَالُ مِنْ أُمَّتِي أُمَّةٌ قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللَّهِ، لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ، وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ

Akan senantiasa ada umat dari umatku yang tegak di atas perkara Allah. Tidak akan membahayakan mereka orang yang menghina mereka, tidak pula orang yang menyelisihi mereka hingga datang ketetapan Allah kepada mereka dan mereka tetap dalam keadaan itu. (HR. Bukhari : 3641)

Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim hendaknya juga menjadikan orang-orang yang masih hidup di zaman ini; baik itu dari kalangan ulama, dai, orang salih dan selainnya yang senantiasa menegakkan kebenaran sebagai teladan dalam berakhlak.

14. Bersahabat dengan Orang Berakhlak Mulia

Tahukah Anda? Bahwa sejatinya akhlak kita sangat dipengaruhi oleh orang-orang yang kita jadikan sebagai sahabat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang itu tergantung agama temannya, maka hendaklah salah seorang kalian memperhatikan siapa yang dijadikannya sebagai teman. (HR. Abu Dawud : 4833)

Oleh karena itu, agar kita bisa memperoleh akhlak yang baik, maka bersahabat dengan orang-orang yang berakhlak mulia adalah suatu keniscayaan.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مَثَلُ الجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ، كَحَامِلِ المِسْكِ وَنَافِخِ الكِيرِ، فَحَامِلُ المِسْكِ: إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الكِيرِ: إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً

“Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi.

Penjual minyak wangi bisa jadi akan memberimu minyak wangi atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau harum darinya.

Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari : 5534)

15. Bertempat di Lingkungan yang Baik

Termasuk penunjang terbesar yang dapat memudahkan kita untuk memperoleh akhlak yang baik adalah dengan bertempat tinggal di lingkungan yang baik.

Lingkungan juga sangat mempengaruhi tabiat kita. Karena apabila kita bertempat di lingkungan yang penuh kemaksiatan maka sesungguhnya hati kita sangatlah lemah.

Seandainyapun kita tidak terpengaruh dengan buruknya lingkungan, setidaknya kita akan mengalami kesulitan dalam melakukan kebaikan dan membenahi akhlak.

Oleh karena itulah Nabi dan para sahabat berhijrah ke Madinah dalam rangka menolong agama mereka agar mereka lebih mudah menjalankan agamanya.

16. Mengunjungi Orang yang Berakhlak Mulia

Apabila kita banyak berkunjung dan bertemu dengan orang-orang yang berakhlak mulia dan mempelajari akhlak mereka maka kita akan dimudahkan untuk memperbaiki akhlak.

Tahukah Anda..? Bahwa penyebab mulianya akhlak para sahabat adalah karena mereka senantiasa mengunjungi Nabi dalam rangka mempelajari akhlak dan adab beliau.

Cara itu kemudian diwariskan kepada para generasi setelahnya, dimana mereka mempelajari akhlak guru mereka sebagaimana mempelajari ilmu dari mereka.

Ibnu Sirin rahimahullah mengatakan :

كَانُوا يَتَعَلَّمُونَ الْهَدْيَ كَمَا يَتَعَلَّمُونَ الْعِلْمَ

Mereka dahulu mempelajari tingkah laku sebagaimana mempelajari ilmu. Bahkan mereka lebih banyak mempelajari akhlak dan adab dari pada ilmu. Abu Al-Husain bin Al-Munaadi Al-Baghdadi meriwayatkan dengan sanadnya sampai Al-Husain bin Ismail, ia berkata : Aku mendengar bapakku mengatakan :

كُنَّا نَجْتَمِعُ فِي مَجْلِسِ الْإِمَامِ أَحْمَد، زَهَاء خَمْسَة آلَافٍ، أَوْ يَزِيْدُوْنَ، أَقَلُّ مِنْ خَمْسَمِائَةٍ يَكْتُبُوْنَ، وَالْبَاقِي يَتَعَلَّمُوْنَ مِنْهُ: حُسْنَ الْأَدَبِ وَحُسْنَ السُّمْتِ

Dahulu kami berkumpul di majelisnya imam Ahmad, kurang lebih 5000 orang lebih. Kurang dari 500 orang menulis, sedangkan sisanya mereka belajar adab dan diam yang baik dari beliau.[8]

17. Mendesak Masyarakat Agar Bermasyarakat Islami

Masyarakat yang islami adalah sarana untuk menanamkan nilai-nilai akhlak islami ke dalam setiap individu yang hidup di lingkungan masyarakat tersebut.

Setiap dari kita tentu tidak akan terlepas dari tatanan masyarakat. Apabila masyarakat yang kita tempati adalah masyarakat yang islami, maka hal ini dapat memudahkan kita mengamalkan nilai-nilai Islam.

Maka dari itu kita sebagai seorang muslim hendaknya juga bermasyarakat serta mendesak mereka agar terbentuk masyarakat yang islami.

Upaya ini dapat kita lakukan melalui berbagai sarana tergantung posisi kita masing-masing dalam tatanan masyarakat.

Apabila posisi kita saat itu adalah seorang kyai atau ustadz maka kita bisa mengisi ceramah di masjid setempat, mengadakan kajian agama Islam, mengimami shalat berjamaah, dan sebagainya.

Apabila posisi kita saat itu adalah seorang pemimpin maka kita bisa membuat kebijakan-kebijakan yang berlandaskan nilai-nilai Islam.

Apabila posisi kita saat itu adalah orang kaya maka kita bisa menginfaqkan sebagian harta kita untuk mendirikan yayasan pendidikan islam, masjid, dan semacamnya.

Apabila posisi kita saat itu hanyalah sebagai warga biasa maka kita bisa memberikan dukungan apapun yang menunjang terbentuknya masyarakat islami, seperti mengikuti shalat berjamaah, mengikut pengajian, dan sebagainya.

18. Mempelajari Perjalanan Hidup Nabi

Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan :

من أَرَادَ خير الْآخِرَة وَحِكْمَة الدُّنْيَا وَعدل السِّيرَة وَالْاحتواء عَلَى محَاسِن الْأَخْلَاق كلهَا وَاسْتِحْقَاق الْفَضَائِل بأسرها فَلْيَقْتَدِ بِمُحَمد رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وَلْيَسْتَعْمِلْ أَخْلَاقَهُ وَسيره مَا أَمْكَنَهُ

Barang siapa yang menghendaki kebaikan akhirat, hikmah dunia dan perjalanan hidup yang adil serta memiliki seluruh akhlak yang baik serta memperoleh keunggulan yang memikat, Maka hendaknya ia meneladani Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mengamalkan akhlaknya dan meneladani perjalanan kehidupannya dengan segenap kemampuannya. Oleh karena itu, tidaklah mungkin kita meneladani Rasulullah kecuali dengan mempelajari perjalanan kehidupan beliau.

19. Mempelajari Perjalanan Hidup Para Salafus Shalih

Ketahuilah bahwa salafus shalih adalah manusia yang paling mengetahui kebenaran dan merekalah yang menjadi penerang dalam kegelapan.  Mereka telah memperoleh warisan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berupa ilmu dan akhlak yang mulia. Maka dari itu, kita juga harus mempelajari perjalanan hidup mereka dan menelaah ihwal mereka.  Kitab yang paling terkenal untuk mempelajari ihwal mereka adalah kitab “Siiru A’laami An-Nubala” yang ditulis oleh imam Adz-Dzahabi rahimahullah.

20. Mengangkat Pemimpin yang Adil

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah memberikan contoh kepada kita bagaimana beliau memimpin pemerintahan di kota Madinah. Beliau senantiasa berbuat adil kepada rakyatnya dan senantiasa berupaya melalui berbagai cara guna membentuk masyarakat yang berakhlak yang mulia. Oleh karena itu, mengangkat pemimpin yang adil begitu penting dalam rangka membentuk masyarakat yang berakhlak mulia.

Referensi sebagai berikut ini ;










Etika dalam mencari Nafkah dalam hukum islam

Sering kita dengar ungkapan “Cari yang haram aja susah, apalagi cari yang Halal”. Ungkapan ini seolah olah telah menjadi legalitas untuk mencari harta dengan cara-cara yang tak halal. Begitulah sebagian kenyataan yang ada. Khususnya dalam urusan mencari rezeki, hanya sedikit yang mau peduli dengan rambu-rambu syari’at.

14 abad yang lalu, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam telah mengingatkan dan mengabarkan kepada umatnya akan perilaku-perilaku yang tidak benar, perilaku-perilaku yang menyimpang, sebagaimana yang termuat di dalam hadits, yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari (semoga Allah merhmatinya) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, ”Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka tidak peduli lagi dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang halal ataukah dengan cara yang haram.

Dan sekarang ini, banyak kita dapati atau kita saksikan lewat berbagai media, dimana banyak orang untuk mendapatkan harta,  mereka menggunakan cara-cara yang diharamkan, bahkan mereka memuaskan kebutuhannya dengan benda-benda yang haram, baik haram zatnya, haram sumbernya maupun haram cara mendapatkannya. Padahal, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam telah menyampaikan ancaman, terhadap orang-orang yang memakan harta yang haram (baik itu haram zatnya, haram sumbernya atau haram cara mendapatkannya). Sebagaimana hadits yang diriwayatkan al-Imam al-Bukhari dan Ad Darimi (semoga Allah merahmati mereka), dimana Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, ”Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta yang haram. Neraka lebih pantas untuknya.”

Dan ketahuilah bahwa Allah Azza Wa jalla marah terhadap orang-orang yahudi, karena sifat mereka yang suka memakan  harta haram , sebagaimana al-Qur’an Surah Al-Maidah ayat 42 : “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram”

Al-Imam Al-Qurtubi Rahimahullah dalam tafsirnya yang kami nukil dari As-Sunnah menyebutkan, bahwa salah satu bentuk memakan harta yang haram adalah menerima SUAP. Jadi jangan pernah coba-coba untuk menyuap atau menerima suap.

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam sangat-sangat menekankan, agar kita umatnya mencari harta dari sumber dan cara yang halal. Karna ada dua pertanyaan ketika kiamat yang terarah berkaitan dengan harta, yakni tentang asal harta dan bagaimana membelanjakannya. Diaman di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam At Tirmidzi dan al-Imam Ad-Darimi (semoga Allah merahmati mereka) dari Abu Barzah Al Aslam Radhiyallahu Anhu, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, ”Tidak akan bergeser telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat, sampai ia ditanya tentang empat perkara. (yaitu) tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang jasadnya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya darimana ia mendapatkannya dan tentang ilmunya, apa yang telah ia amalkan.”

Di dalam hadits yang dibawakan oleh Al Hakim dan yang lainnya, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam menjelaskan kepada kita urgensi mencari rezeki yang halal, dimana beliau bersabda,  ”Tidak ada satupun amalan yang mendekatkan kalian ke surga, melainkan telah aku perintahkan kalian kepadanya. Dan tidak ada satu pun amalan yang mendekatkan kalian ke neraka melainkan aku telah melarang kalian darinya. Janganlah kalian menganggap rezeki kalian terhambat. Sesungguhnya, malaikat Jibril telah mewahyukan ke dalam hati sanubariku, bahwa tidak ada seorangpun meninggalkan dunia ini, melainkan telah sempurna rezekinya. Bertakwalah kamu kepada Allah, wahai sekalian manusia. Carilah rezeki dengan cara yang baik. Jika ada yang merasa rezekinya terhambat, maka janganlah ia mencari rezeki dengan berbuat maksiat, karena karunia Allah tidaklah didapat dengan perbuatan maksiat”.

Sebuah petunjuk yang agung. Yang dapat kita jadikan hujah dan tuntunan kita dalam mencari rezeki. Dimana kita diperintahkan agar memeriksa setiap rezeki yang telah kita peroleh.  Dimana kita harus bersiap diri dengan dua pertanyaan, dari mana harta diperoleh dan kemana dibelanjakan? Oleh karena itu, kita mesti mengambil yang halal dan menyingkirkan yang haram. Jauhkan rizky yang didapat dengan cara haram. Mulai sekarang stop harta haram.  Baik zat, sumber dan cara mendapatkannya. Bahkan, sebaiknya harta yang mengandung syubhat, hendaknya juga kita jauhi.

Di dalam sebuah hadits dari An-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu Anhu, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, ”Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu juga jelas. Diantara keduanya ada perkara-perkara syubhat yang tidak di ketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barang siapa yang menjaga diri dari perkara syubhat, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa terjerumus kedalam perkara syubhat, maka ia akan terjerumus kepada perkara haram.” Hadits ini diriwayatkan oleh Muttafaqun ‘Alaih. 

Jadi, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat Ridwanallahu ‘Alaihim Jami’an telah mencontohkan prinsip-prinsip penting tersebut secara jelas. Betapa ketatnya mereka dalam memperhatikan urusan rezeki ini. Mereka selalu memastikan dengan sungguh-sungguh, apakah rezeki yang mereka peroleh itu halal lagi baik ataukah haram. Dan inilah yang harus kita contoh. Sikap inilah yang harus kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai suatu gaya hidup yang islami yang sesuai dengan Sunnah nabawiyah yang shohihah. Wallahu ‘Alam.

Di dalam sebuah atsar para sahabat Ridwanallahu ‘Alaihim Jami’an, yang diriwayatkan oleh al-Imam Al-Bukhari (Semoga Allah Merahmatinya), dari ‘Aisyah Radiallahu Anha,  ia bercerita, bahwa Abu Bakar (ayahnya) memiliki seorang budak yang ditugaskan membawa bekal untuknya setiap hari. Dan Abu Bakar Radhiyallahu Anhu selalu makan dari bekal tersebut. Pada suatu hari, budak itu datang membawa makanan. Maka Abu Bakar menyantap makanan tersebut. Kemudian budak itu bertanya,”Tahukah tuan, dari mana makanan itu?” Abu Bakar balik bertanya, ”Mengapa ? Berkata si Budak,”Pada masa jahiliyah dulu, aku pernah berlagak menjadi dukun untuk mengobati seseorang, padahal aku tidak mengerti perdukunan, hanya semata-mata untuk menipunya. Lalu ia bertemu lagi denganku dan memberiku makanan yang engkau makan itu.” Mendengar hal itu, spontan Abu Bakar Radhiyallahu Anhu memasukkan jarinya ke dalam mulut dan mengorek-ngoreknya sehingga memuntahkan semua isi perutnya.  Subhanallah !!

Ada beberapa prasyarat mencari nafkah yang ditulis oleh al-ustadz Abu Ihsan Al Atsari Al Maidani Hafidzahullah, yang di kutip dari As-Sunnah, dimana hal ini tentunya perlu diperhatikan oleh kita selaku seorang muslim.

Adapun Prasyarat Yang pertama yakni Ilmu. Jadi kita haruslah Berilmu sebelum berkata dan berbuat. Dan prinsip ini adalah prinsip yang disepakati . Demikian juga dalam hal jual beli. Kita hendaklah memahami apa saja yang wajib kita ketahui berkaitan dengan amalan yang akan kita kerjakan. Dala sebuah atsar di dalam As-Sunnah, Ummar ibnu Khaththab Radhiyallahu Anhu pernah melarang para pedagang yang tidak mengetahui hukum-hukum jual beli untuk memasuki pasar.

Selain itu dilarang berlaku curang dalam timbangan dan takaran. Hal ini Allah Azza Wa jalla tegaskan dalam firman-Nya surah Muthaffifiin ayat 1-3

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang.   (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”

Dan bagi pekerja kantoran atau pegawai pemerintahan, maka harus tahu, apa saja yang dilarang berkaitan dengan pekerjaan. Satu contoh  bahwa didalam islam, seorang pegawai pemerintah dilarang mengambil hadiah pada saat bertugas atau dinas atas nama Jabatan yang diamanahkan. Karena hal ini termasuk GHULUL (komisi) yang diharamkan. Sebagaimana hadits dari Abu Humaid As-Saa’idi Radhiyallahu Anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, ”Hadiah bagi para amil (pegawai) termasuk GHULUL !, hadits ini shohih, dan dishohihkan oleh Al-Alamah Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani (semoga Allah Merahmatinya) di dalam Irwaaul Ghalil.

Prasyarat yang kedua yakni TAKWA, Takwa adalah sebaik-baik bekal. Pedagang , pegawai atau apapun profesinya maka haruslah memiliki bekal takwa. Dan secara umum Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam telah mengingatkan agar menjauhi sifat fajir yakni sifat yang tidak mengindahkan rambu-rambu syariat. Sehingga  terjatuh kedalam larangan-larangan, seperti bersumpah palsu, menipu, khianat curang dan lain sebagianya. Demikian juga untuk para pegawai, bagi pegawai harus berbekal takwa. Maraknya kasus-kasus korupsi , suap menyuap, kecurangan, pungli, serta menarik biaya yang tidak dibebankan kepada masyarakat untuk kocek pribadi merupakan akibat hilangnya ketakwaan. Sehingga membuat seseorang menjadi gelap mata saat melihat gemerlapnya dunia.

Ketahuilah didalam islam tidak dikenal istilah Robin Hood. Yang mencuri untuk rakyat miskin. Sungguh, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam telah bersabda, ”Barang siapa mengumpulkan harta haram kemudian menyedekahkannya, maka ia tidak memperoleh pahala darinya dan dosanya terbebankan pada dirinya.” Hadits ini shohih diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Jalur Darraj Abu Samah dari Ibnu Hujairah dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu.

Jadi, Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik. Maka jadilah pedagang dan pegawai  yang berilmu dan bertakwa. Sebab, ilmu dan takwa merupakan kunci sukses dalam mencari rezeki yang halal lagi baik. Wallahu ‘alam bishowa.

Referensi sebagai berikut ini ;








Doa Penangkal Harta Haram Saat Sedang diberikan Cobaan Miskin

Doa Penangkal Harta Haram Saat Sedang diberikan Cobaan Miskin.  Doa Penangkal Harta Haram Saat Miskin. Doa ini diajarkan Rasulullah kepada Ali bin Abi Thalib, dan para penanggung utang – meski utang sebesar gunung, niscaya Allah Swt akan melunasi utang itu. Harta haram memang mengerikan dampaknya. Kendatipun demikian, banyak orang yang nekat melahapnya. Alasan mereka pun macam-macam. Ada yang karena tamak. Ada pula yang karena himpitan ekonomi. Salah satunya ketika seseorang terlilit utang atau putus asa mendapat lapangan kerja yang halal dengan penghasilan yang memadai, penghasilan haram akan menjadi fitnah besar baginya. Lantas apakah penangkal fitnah yang berbahaya ini? Mari kita simak hadis berikut,

Dari Abu Wa-il (Syaqieq bin Salamah), katanya, “Ada seseorang yang menghampiri Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu seraya berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, aku sudah tak mampu lagi mencicil uang untuk menebus kemerdekaanku, maka bantulah aku.’ Ali menjawab, ‘Maukah kau kuajari beberapa kalimat yang pernah Rasulullah ajarkan kepadaku? Dengan membacanya, walaupun engkau menanggung utang sebesar gunung Shier, niscaya Allah akan melunasinya bagimu!’ ‘Mau’, jawab orang itu. ‘Ucapkan:

اللَّهُمَّ اكْفِنِي بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

Ya Allah, cukupilah aku dengan rezeki halal-Mu agar terhindar dari yang Kau haramkan. Jadikanlah aku kaya karena karunia-Mu, bukan karena karunia selain-Mu.

(HR. Abdullah bin Ahmad dalam Zawa-idul Musnad No. 1319; At-Tirmidzi No. 3563 dan Al-Hakim 1/537. At-Tirmidzi mengatakannya sebagai hadis hasan, dan dihasankan pula oleh Syaikh Al-Albani. Sedangkan Al-Hakim mensahihkannya)

Dalam syariat Islam, seorang hamba sahaya dibolehkan menebus kemerdekaan dirinya dari majikannya, dengan membayar sejumlah uang sesuai kesepakatan. Uang bisa diperoleh dari hasil kerja si budak, atau dari zakat yang diberikan kepadanya. Dalam riwayat lain, yang dinamakan Shabier adalah sebuah gunung di daerah suku Thay atau sebuah gunung di Yaman.

Hadis tersebut mengajarkan pada kita agar tidak melupakan Allah yang menguasai nasib kita di dunia. Dia-lah yang memberi ujian berupa kesempitan. Dan Dia pula yang dapat dengan mudah melapangkannya kembali. Oleh karenanya, tidak sepantasnya seorang Mukmin hanya bertumpu pada usahanya dan lupa bertawakal kepada Allah. Usaha memang harus dilakukan. Namun ia tidak akan memberi hasil yang sempurna kecuali atas izin Allah dan restu-Nya. Untuk mendapatkan restu tersebut, cara yang paling efektif adalah memperbanyak doa. Baik lewat ucapan lisan maupun amal salih. Ucapan yang paling dicintai Allah adalah yang menegaskan ketauhidan-Nya.

Doa yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengandung penegasan akan nilai tauhid, yaitu ketika hamba hanya memohon kecukupan dan karunia dari Allah, serta meminta agar tidak merasa kaya berkat karunia selain-Nya.

Ini merupakan ibadah yang agung, yang menunjukkan bahwa si hamba benar-benar menggantungkan harapannya kepada Allah semata, bukan kepada selain-Nya. Dalam hadis tersebut juga terkandung pelajaran mengenai pentingnya tauhid sebagai penutup suatu permohonan.

Sedangkan dalam hadis lainnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Mu’adz bin Jabal,

“Maukah engkau kuajari sebuah doa yang bila kau ucapkan, maka walaupun engkau memiliki utang sebesar gunung Uhud, Allah akan melunasinya? Katakan hai Mu’adz, ‘

اَللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلكَ مِمَّنْ تَشَاءُ، وُتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ، بِيَدِكَ الخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، رَحْمَـانَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَرَحِيْمَهُمَا، تُعْطِيهِمَا مَنْ تَشَاءُ وَتَمْنَعُ مِنْهُمَا مَنْ تَشَاءُ، اِرْحَمْنِي رَحْمَةً تُغْنِينِي بِهَا عَنْ رَحْمَةِ مَنْ سِوَاكَ

Ya Allah, Pemilik Seluruh Kekuasaan. Engkau beri kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau mencabutnya dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau memuliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau menghinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu-lah segala kebaikan, dan Engkau Maha Berkuasa Atas Segala Sesuatu. Wahai Penyayang dan Pengasih di Dunia dan Akhirat, Engkau memberi keduanya (dunia dan akhirat) kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan menahan keduanya dari siapa yang Engkau kehendaki. Rahmatilah aku dengan rahmat-Mu yang menjadikanku tak lagi memerlukan belas kasih selain-Mu.”

(Diriwayatkan oleh At-Thabrani dalam Al-Mu’jamus Shaghier dengan sanad yang dianggap jayyid oleh Al-Mundziri. Sedangkan Syaikh Al-Albani menghasankannya; lihat Shahih at-Targhieb wat Tarhieb No. 1821).

Kalau dalam hadis sebelumnya terdapat isyarat agar kita mengakhiri doa dengan penegasan akan nilai tauhid, dalam hadis ini sebaliknya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk memulai permintaan dengan menegaskan masalah tauhid. Karenanya beliau memulainya dengan kalimat-kalimat yang menunjukkan kemahaesaan Allah dari sisi Rububiyyah. Lalu mengikutinya dengan kalimat yang berhubungan dengan tauhid asma’ was sifat. Yaitu dengan menetapkan bahwa semua kebaikan berada di tangan-Nya, dan bahwasanya Dia berkuasa atas segala sesuatu. Demikian pula dengan kalimat berikutnya, yang merupakan seruan kepada Allah, dengan menyebut dua di antara nama-nama Allah yang indah, yaitu Rahman dan Rahiem. Kemudian barulah si hamba menyebutkan hajat utamanya, yaitu agar Allah melunasi utangnya dan mengentaskannya dari kemiskinan.

Tentunya, doa ini tidak akan efektif jika hanya diucapkan tanpa diresapi maknanya dan diwujudkan esensinya dalam kehidupan sehari-hari. Percuma saja jika seseorang mengucapkan doa tersebut namun tidak mempedulikan status penghasilannya: halal ataukah haram. Percuma juga jika ia rajin mengucapkan doa tersebut namun masih berlumuran dengan syirik akbar yang membatalkan seluruh amalnya.

Oleh karena itu, agar doa ini efektif dan mustajab, kita harus mengucapkannya sembari berusaha memahami ajaran agama semaksimal mungkin, agar tahu mana yang halal dan mana yang haram.

Manusia dianjurkan untuk berusaha sekuat tenaga dalam mencari rezeki yang halal. Hal ini dikarenakan, dari rezeki yang halal barulah hidup seseorang penuh berkah.

Namun, manusia adalah makhluk yang penuh khilaf. Ada kalanya, tanpa sengaja rezeki haram terselip dalam penghasilan kita.

Tentu Anda tak ingin doa dan usaha yang telah Anda lakukan selama ini ditolak oleh Allah SWT karena terdapat harta yang haram di dalamnya. Untuk meminta perlindungan dari pemasukan yang haram, dianjurkan untuk membaca doa di bawah ini.

"Allaahummakfinii bihalaalika ‘an haraamika wa agninii bifadlika ‘amman siwaaka."

Artinya:

" Ya Allah, cukupilah diriku dengan kehalalan rezeki-Mu dari yang Engkau haramkan, dan cukupilah diriku dengan karunia-Mu dari meminta kepada selain-Mu."

Dari Abu Hurairah, bersab Rasulullah SAW : Wahai sekalian manusi sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu  melainkan dari yang thoyyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya: ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Dan Allah juga berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang  telah kami rezekikan kepadamu.'” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?”

Menurutnya, sangat disesalkan seorang hamba Allah yang beriman doanya tertolak hanya karena makanan yang diharamkan. Padahal berdoa merupakan ibadah yang diperintahkan oleh Allah swt baik itu kepada nabi atau pun seorang hamba biasa.

"Doa menjadi senjata dan amunisi bagi setiap pribadi muslim dalam kehidupan sehari-harinya," katanya. Karena kata Ustaz Luky dengan berdoa terjalin komunikasi antara seorang hamba dengan Tuhannya.Berdoa juga menjadi cara yang ampuh untuk memohon kepada Sang Khaliq segala keinginan dan kebutuhan, baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi.

Tentunya setiap doa-doa yang dipanjatkan ingin sekali segera diijabah dan dikabulkan oleh Allah. Apalagi Allah swt telah memproklamirkan bahwa siapa pun di antara hambanya yang berdoa meminta kepadanya, niscaya Ia pasti akan mengabulkannya.

Referensi sebagai berikut ini ;













Do'a Diberikan Rezeki yang Halal & Supaya Dijauhkan dari Rezeki Haram

Doa Ini Agar Dijauhkan dari Rezeki Haram. manusia dianjurkan untuk berusaha sekuat tenaga dalam mencari rezeki yang halal. Hal ini dikarenakan, dari rezeki yang halal barulah hidup seseorang penuh berkah. Akan tetapi, manusia adalah makhluk yang penuh khilaf. Ada kalanya, tanpa sengaja rezeki haram terselip dalam penghasilan kita.
Tentu Anda tak ingin doa dan usaha yang telah Anda lakukan selama ini ditolak oleh Allah SWT karena terdapat harta yang haram di dalamnya. Untuk meminta perlindungan dari pemasukan yang haram, dianjurkan untuk membaca doa di bawah ini.
 
"Allaahummakfinii bihalaalika ‘an haraamika wa agninii bifadlika ‘amman siwaaka."
 
Artinya:

" Ya Allah, cukupilah diriku dengan kehalalan rezeki-Mu dari yang Engkau haramkan, dan cukupilah diriku dengan karunia-Mu dari meminta kepada selain-Mu."


Rerefensi sebagai berikut ini ;





Ciri-ciri penghuni surga & Ciri- ciri penghuni neraka

Penghuni surga dan penghuni neraka pastinya berbeda. Sebab, surga dan neraka akan dihuni oleh manusia dengan karakter yang saling bertolak belakang. Lantas, bagaimana ciri-ciri penghuni surga dan penguni neraka. Allah SWT menyiapkan surga dan neraka sebagai imbalan terhadap setiap amalan yang di kerjakan umat manussia di dunia. Surga adalah tempat yang penuh kenikmatan bagi kaum muslimin yang telah menjalankan amal baiknya selama di dunia.

Allah Swt telah menjadikan surga untuk hambanya yang saleh dan taat dalam menjalani kehidupan di dunia, Dan Allah memuliakan mereka di dalam surga dengan kenikmatan melihat dzat-nya yang maha mulia. Dan banyak lagi kebahagiaan dan kesenangan di surga.

Penghuni Surga punya ciri yang di jabarkan dalam al-quran dan sunnah. Semuannya merujuk pada sifat saleh di dunia dan mereka bahagia tinggal di dalam surga. Neraka adalah tempat yang menjadi ganjaran bagi mereka yang amal buruknya (dosa dan kesalahan) lebihh berat daripada amal naiknya. Untuk mereka yang amal buruknnya lebih berat daripada amal baiknya, terdapat 7 tinngkatan neraka yang akan menjadi di tempat tinggal mereka kelak di akhirat.

Ciri-ciri penghuni surga

1. Orang yang suka memberi makan kepada orang yang membutuhkannya

Rasulullah SAW bersabda,” sembahlah Allah yang Maha Rahman, berikanlah makan, tebarkanlah salam, niscaya kamu akan masuk surga dengan selamat.”(HR.Tirmidzi).

2. Menyambung silaturahiim dengan sesama muslim

Rasulullah SAW bersabda,” tidak akan masuk surga orang suka memuutuskan, Sufyan berkata dalam riwayatnya, yakni memutuskan tali persauudaraan.”(HR.Bukhari dan Muslim).

3. Mendirikan shalat malam

Allah SWT berfirman, “ Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamuu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhan mu mengankat kamuu ke tempat yang terpuju.” (QS.Al-Isra ayat 79).

4. Memudahkan urusan orang lain

Rasuluullah SAW bersabda,” barangsiapa memuudahkan orang yang kesuulitan, Allah memuudahkannya di duunia dan di akhirat.”(HR.Ibnu Majah dan Abu Hurairah).

5. Berjihad fi sabilillah di jalan Allah SWT

Berjihad di jalan allah untuk kebenaran islam untuk memerangi kafir-kafir. Berjihad dengan pengorbanan jiwa dan harta untuk mendapat ridho dari Allah SWT.


Ciri- ciri penghuni neraka

1. Mengingkari suami

Salah satu penghuni neraka adalah golongan wanita yang suka menjelek-jelekkan suami dan mengingkari setiap kebaikan yang di berikan suaminya. Hal ini sesai dengan yang dii riwayatkan ooleh Rasuul. Di riwayatkan oleh Abdullah bin Abbas RA, dia berkata, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Saya di perlihatkan Neraka. Saya tidak pernah melihat pemandangan yang sangat mengerikan. Dan syaa melihat sebagian besar penghni Neraka adalah para Wanita. Mereka bertanya,’ kenapa wahai rasulullahh SAW? Beliau bersabda, di karenakan kekufurannya. Lalu ada yang berkata,’ apakah kufur kepada Allah? Beliauu menjawab, ‘kufur terhadap pasangannya, maksudnya adalah mengingkari kebaikannya. Jika anda berbuat baik kepada salah seorang wanita sepanjang tahun, kemudian dia melihat anda ,’ saya tidak melihat pertunjukkan dari anda.” (HR,,Bukhari)

2. Menyembah selain Allah Swt

Orang yang menyembah selain Allah juga di ancam akan mask ke dalam neraka jahanam. Syirik atau mempersekutukan Allahh dengan zat lain adalah dosa besar dalam Islam. Allah berfirman dalam surat Al-Bayyinah ayat 6

ان الذين كفروامن اهل الكتاب والمشر كين في نارجهنم خالدين فيه اولئك هم شرالبرية

Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang yang msyriik (akan masuk) ke nereka Jahanam mereka kekal di dalamnnya. Mereka itu adalah seburuk-buruknya mahkluk.

قل انماان يسرمثلكم يم حئ الي انما الهكم اله واحد فمن كا ن يرجولقاءربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه احدا

Katakanlah sesuungguhhya akku manusia bbiiasa seperti kamu, yang diiwahyukan kepadakkuu:’ bahwa sesuunggya Tuhan kamuu itu adalah Tuhan Yang Esa “. Barngsiiapa mengharap perjuumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekuutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (Al-Kahfi:110)

3. Tabaruj

Allah Swt berfirman dalam Al-Ahzab ayat 33 berikut artinya:

Dan hendaklah kamuu tetap di rumahmuu dann janganlah kamuu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan diirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasulnya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamuu, hai ahll bait dan membersihkan kamuu sebersih-bersihnya.


Referensi sebagai berikut ini ;













Ciri-ciri Ahli Surga atau Neraka

Ketika hidup, kita tidak pernah tahu siapa yang dijamin masuk surga atau neraka. Selama ini, kita hanya tahu para ahli surga adalah mereka yang sudah jelas dijamin oleh Rasulullah Muhammad SAW. Tentu, mereka adalah para sahabat Nabi SAW seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, dan lain sebagainya. Sementara di generasi kita, tidak diketahui siapa yang merupakan ahli surga. Mengutip Abdullah bin Zaid RA, Abdul Wahab As Sya'rani dalam kitabnya Mukhtasar At Tadzkirah lil Qurtubi menjelaskan, ada ciri-ciri tertentu untuk bisa mengenali seseorang sebagai ahli surga. Ciri-ciri tersebut sebenarnya disebutkan dalam Alquran.

Beberapa ciri itu seperti hidupnya penuh dengan kesedihan dan takut pada azab Allah SWT. Kesedihan di sini bukan karena perkara dunia, namun karena bagaimana dia dekat dengan Allah dan kekhawatiran akan masa depannya di akhirat kelak. Dalam Surat At Thur ayat 26-27, Allah berfirman,

"Mereka berkata, 'Sesungguhnya kami dahulu sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab). Maka Allah Swt memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka."

Ciri ahli neraka juga disebutkan dalam Alquran. Dalam Surat Al Insyiqaq ayat 13, Allah menunjukkan ciri orang yang masuk golongan ahli neraka.

" Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya."

Makna ayat di atas adalah mereka yang bersenang-senang dengan urusan duniawi. Sampai-sampai, mereka tidak memikirkan urusan akhirat.

Meski begitu, bukan kemudian kita harus terus menerus memikirkan akhirat dan melupakan urusan dunia sepenuhnya. Kita tetap harus memikirkan dunia, membuat berbagai inovasi, namun tidak larut dengan urusan-urusan di luar akhirat.

Referensi sebagai berikut ini ;






Calon Penghuni Surga Ternyata Sudah Nampak di Dunia

Ciri Calon Penghuni Surga Ternyata Sudah Nampak di Dunia, Salah Satunya Mereka yang Miliki Hati Inabah. Surga menjadi tempat terindah yang didambakan bagi setiap umat manusia. Begitu banyak kenikmatan luar biasa yang terdapat didalamnya, namun tentu saja surga tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang. Hanya mereka yang sesuai dengan kriteria lah yang akan menjadi penghuni surga. Hal ini membuat orang bertanya-tanya, apa saja kriteria dan syarat untuk menjadi penghuni surga tersebut. 

Ternyata Allah Swt telah menetapkan kriteria tersendiri agar manusia bisa menjadi penghuni surga. Bahkan kriteria penghuni surga ini telah nampak saat ia masih menjalani hidup di dunia. Apa sajakah ciri penghuni surga yang sudah nampak saat di dunia itu? calon penghuni surga yang sudah nampak ketika masih hidup di dunia adalah orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang Allah sebutkan dalam surat qaf.

Allah  Swt berfirman, "Dan didekatkan lah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tidak jauh dari mereka. Inilah yang dijanjikan kepadamu yaitu kepada setiap hamba yang selalu kembali kepada Allah lagi memelihara semua peraturan-peraturannya yaitu orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang dia tidak kelihatan olehnya dan dia datang dengan hati yang bertaubat." (Alquran surat qaf ayat 31-33)

1. Hamba yang selalu kembali kepada Allah Swt

Ciri pertama calon penghuni surga adalah orang yang memiliki sifat yakni mereka yang kembali kepada Allah dari kemaksiatan. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan dimaksudkan yaitu kembali bertaubat dan tidak mengulangi dosanya lagi.

Sudah menjadi sifat manusia selalu salah dan lupa akan tetapi sebaik-baiknya manusia adalah yang selalu bertaubat kepada Allah setelah melakukan kesalahan tersebut karena sesungguhnya Allah maha pengampun atas dosa-dosa hambanya.

2. Mereka yang memiliki sifat Hafiz yakni orang yang selalu memelihara aturan-aturan Allah Swt . Ibnu Abbas mengatakan bahwa maksud dari memelihara semua peraturan Allah adalah ia memelihara apapun yang sudah diamanahkan oleh Allah kepadanya dan mengerjakan apa yang sudah diwajibkan oleh Allah kepadanya. Orang yang memiliki sifat hafidz ini akan senantiasa beriman kepada Allah dengan mengerjakan salat dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tiada berguna.

3. Orang yang memiliki rasa takut kepada Allah Swt.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah orang yang takut kepada Allah dalam kesendiriannya meskipun tiada orang yang melihatnya selain Allah subhanahu wa ta'ala. Yang dimaksud dengan rasa takut adalah rasa cemas gundah dan khawatir terkena azab Allah akibat melakukan perbuatan haram. Jika Allah Swt  tidak menerima amal sholehnya dengan rasa takut ini jiwa akan terhalau dari hal-hal yang diharamkan dan bergegas melakukan hal-hal kebaikan. Orang yang memiliki rasa takut seperti ini dijanjikan oleh Allah akan mendapatkan ganjaran besar berupa surga,

4. Mereka yang memiliki hati yang inabah.

Syekh Abdullah bin Shalih al-fauzan hafizhahullah berkata, "inabah semakna dengan tobat akan tetapi para ulama mengatakan bahwa inabah memiliki derajat yang lebih tinggi daripada Taubat karena tobat itu memiliki sikap meninggalkan maksiat, menyesal dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya kembali".

Referensi sebagai berikut ini ;









Ciri-ciri Penduduk Surga Allah Swt

Segala puji bagi Allah Swt yang telah menciptakan surga bagi hamba-hamba yang beriman dan menciptakan neraka bagi orang-orang kafir. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada nabi dan rasul akhir zaman, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Berikut ini adalah sebagian ciri-ciri dan karakter orang-orang yang dijanjikan oleh Allah mendapatkan surga beserta segala kenikmatan yang ada di dalamnya, yang sama sekali belum pernah terlihat oleh mata, belum terdengar oleh telinga, dan belum terlintas dalam benak manusia. Semoga Allah menjadikan kita termasuk di antara penduduk surga-Nya.

1. Beriman dan beramal salih

Allah Swt berfirman,

وَبَشِّرِ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ

“Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih bahwasanya mereka akan mendapatkan balasan berupa surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai” (Qs. al-Baqarah: 25)

Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah mengatakan,

وأنَّ الإيمانَ قَولٌ باللِّسانِ، وإخلاَصٌ بالقلب، وعَمَلٌ بالجوارِح، يَزيد بزيادَة الأعمالِ، ويَنقُصُ بنَقْصِها، فيكون فيها النَّقصُ وبها الزِّيادَة، ولا يَكْمُلُ قَولُ الإيمانِ إلاَّ بالعمل، ولا قَولٌ وعَمَلٌ إلاَّ بنِيَّة، ولا قولٌ وعَمَلٌ وَنِيَّةٌ إلاَّ بمُوَافَقَة السُّنَّة

“Iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan amal dengan anggota badan. Ia bertambah dengan bertambahnya amalan dan berkurang dengan berkurangnya amalan. Sehingga amal-amal bisa mengalami pengurangan dan ia juga merupakan penyebab pertambahan -iman-. Tidak sempurna ucapan iman apabila tidak disertai dengan amal. Ucapan dan amal juga tidak sempurna apabila tidak dilandasi oleh niat -yang benar-. Sementara ucapan, amal, dan niat pun tidak sempurna kecuali apabila sesuai dengan as-Sunnah/tuntunan.” (Qathfu al-Jani ad-Dani karya Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, hal. 47)

al-Baghawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu bahwa yang dimaksud amal salih adalah mengikhlaskan amal. Maksudnya adalah bersih dari riya’. Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu mengatakan, “Amal salih adalah yang di dalamnya terdapat empat unsur: ilmu, niat yang benar, sabar, dan ikhlas.” (Ma’alim at-Tanzil [1/73] as-Syamilah)

2. Bertakwa

Allah Swt  berfirman,

لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ

“Bagi orang-orang yang bertakwa terdapat balasan di sisi Rabb mereka berupa surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, begitu pula mereka akan mendapatkan istri-istri yang suci serta keridhaan dari Allah. Allah Maha melihat hamba-hamba-Nya.” (Qs. Ali Imran: 15)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menguraikan jati diri orang bertakwa. Mereka itu adalah orang-orang yang bertakwa kepada Rabb mereka. Mereka menjaga diri dari siksa-Nya dengan cara melakukan apa saja yang diperintahkan Allah kepada mereka dalam rangka menaati-Nya dan karena mengharapkan balasan/pahala dari-Nya. Selain itu, mereka meninggalkan apa saja yang dilarang oleh-Nya juga demi menaati-Nya serta karena khawatir akan tertimpa hukuman-Nya (Majalis Syahri Ramadhan, hal. 119 cet Dar al-‘Aqidah 1423 H).

Termasuk dalam cakupan takwa, yaitu dengan membenarkan berbagai berita yang datang dari Allah dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan syari’at, bukan dengan tata cara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Ketakwaan kepada Allah itu dituntut di setiap kondisi, di mana saja dan kapan saja. Maka hendaknya seorang insan selalu bertakwa kepada Allah, baik ketika dalam keadaan tersembunyi/sendirian atau ketika berada di tengah keramaian/di hadapan orang (lihat Fath al-Qawiy al-Matin karya Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah, hal. 68 cet. Dar Ibnu ‘Affan 1424 H)

an-Nawawi rahimahullah menjelaskan, salah satu faktor pendorong untuk bisa menumbuhkan ketakwaan kepada Allah adalah dengan senantiasa menghadirkan keyakinan bahwasanya Allah selalu mengawasi gerak-gerik hamba dalam segala keadaannya (Syarh al-Arba’in, yang dicetak dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 142 cet Markaz Fajr dan Ulin Nuha lil Intaj al-I’lami)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah memaparkan bahwa keberuntungan manusia itu sangat bergantung pada ketakwaannya. Oleh sebab itu Allah memerintahkan (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah, mudah-mudahan kamu beruntung. Dan jagalah dirimu dari api neraka yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Qs. Ali Imron: 130-131). Cara menjaga diri dari api neraka adalah dengan meninggalkan segala sesuatu yang menyebabkan terjerumus ke dalamnya, baik yang berupa kekafiran maupun kemaksiatan dengan berbagai macam tingkatannya. Karena sesungguhnya segala bentuk kemaksiatan -terutama yang tergolong dosa besar- akan menyeret kepada kekafiran, bahkan ia termasuk sifat-sifat kekafiran yang Allah telah menjanjikan akan menempatkan pelakunya di dalam neraka. Oleh sebab itu, meninggalkan kemaksiatan akan dapat menyelamatkan dari neraka dan melindunginya dari kemurkaan Allah al-Jabbar. Sebaliknya, berbagai perbuatan baik dan ketaatan akan menimbulkan keridhaan ar-Rahman, memasukkan ke dalam surga dan tercurahnya rahmat bagi mereka (Taisir al-Karim ar-Rahman)

Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengimbuhkan, bahwa tercakup dalam ketakwaan -bahkan merupakan derajat ketakwaan yang tertinggi- adalah dengan melakukan berbagai perkara yang disunnahkan (mustahab) dan meninggalkan berbagai perkara yang makruh, tentu saja apabila yang wajib telah ditunaikan dan haram ditinggalkan (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 211 cet Dar al-Hadits 1418 H)

Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan riwayat dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Mu’adz ditanya tentang orang-orang yang bertakwa. Maka beliau menjawab, “Mereka adalah suatu kaum yang menjaga diri dari kemusyrikan, peribadahan kepada berhala, dan mengikhlaskan ibadah mereka hanya untuk Allah.” al-Hasan mengatakan, “Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah kepada mereka dan menunaikan kewajiban yang diperintahkan kepada mereka.” Umar bin Abdul Aziz rahimahullah juga menegaskan bahwa ketakwaan bukanlah menyibukkan diri dengan perkara yang sunnah namun melalaikan yang wajib. Beliau rahimahullah berkata, “Ketakwaan kepada Allah bukan sekedar dengan berpuasa di siang hari, sholat malam, dan menggabungkan antara keduanya. Akan tetapi hakikat ketakwaan kepada Allah adalah meninggalkan segala yang diharamkan Allah dan melaksanakan segala yang diwajibkan Allah. Barang siapa yang setelah menunaikan hal itu dikaruni amal kebaikan maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan.” Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena mengharapkan pahala dari Allah, serta kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut hukuman Allah.” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam)

Pokok dan akar ketakwaan itu tertancap di dalam hati. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Pada hakikatnya ketakwaan yang sebenarnya itu adalah ketakwaan dari dalam hati, bukan semata-mata ketakwaan anggota tubuh. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu dikarenakan barang siapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu semua muncul dari ketakwaan yang ada di dalam hati.” (Qs. al-Hajj: 32). Allah juga berfirman (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah -hewan kurban itu-, akan tetapi yang akan sampai kepada Allah adalah ketakwaan dari kalian.” (Qs. al-Hajj: 37). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketakwaan itu sumbernya di sini.” Seraya beliau mengisyaratkan kepada dadanya (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).” (al-Fawa’id, hal. 136 cet. Dar al-‘Aqidah 1425 H)

Perlu diingat bahwa hal itu bukan berarti kita boleh meremehkan amal-amal lahir, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Petunjuk yang paling sempurna adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu, beliau adalah orang yang telah menunaikan kedua kewajiban itu -lahir maupun batin- dengan sebaik-baiknya. Meskipun beliau adalah orang yang memiliki kesempurnaan dan tekad serta keadaan yang begitu dekat dengan pertolongan Allah, namun beliau tetap saja menjadi orang yang senantiasa mengerjakan sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. Bahkan beliau juga rajin berpuasa, sampai-sampai dikatakan oleh orang bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berjihad di jalan Allah. Beliau pun berinteraksi dengan para sahabatnya dan tidak menutup diri dari mereka. Beliau sama sekali tidak pernah meninggalkan amalan sunnah dan wirid-wirid di berbagai kesempatan yang seandainya orang-orang yang perkasa di antara manusia ini berupaya untuk melakukannya niscaya mereka tidak akan sanggup melakukan seperti yang beliau lakukan. Allah ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk menunaikan syari’at-syari’at Islam dengan perilaku lahiriyah mereka, sebagaimana Allah juga memerintahkan mereka untuk mewujudkan hakikat-hakikat keimanan dengan batin mereka. Salah satu dari keduanya tidak akan diterima, kecuali apabila disertai dengan ‘teman’ dan pasangannya…” (al-Fawa’id, hal. 137 cet. Dar al-‘Aqidah 1425 H)

3. Taat kepada Allah Swt dan Rasul-Nya

AllahSwtberfirman,

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيم

“Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (Qs. an-Nisa’: 13)

Allah Swt berfirman tentang mereka,

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Sesungguhnya ucapan orang-orang yang beriman itu ketika diseru untuk patuh kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul itu memutuskan perkara di antara mereka maka jawaban mereka hanyalah, ‘Kami dengar dan kami taati’. Hanya mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. an-Nur: 51)

Allah Swt menyatakan,

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

“Barang siapa taat kepada Rasul itu maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah Swt.” (Qs. An-Nisaa’ : 80)

Allah Swt berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul, ketika menyeru kalian untuk sesuatu yang akan menghidupkan kalian. Ketahuilah, sesungguhnya Allah yang menghalangi antara seseorang dengan hatinya. Dan sesungguhnya kalian akan dikumpulkan untuk bertemu dengan-Nya.” (Qs. al-Anfal: 24)

Ketika menjelaskan kandungan pelajaran dari ayat ini, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya kehidupan yang membawa manfaat hanyalah bisa digapai dengan memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang tidak muncul pada dirinya istijabah/sikap memenuhi dan mematuhi seruan tersebut maka tidak ada kehidupan sejati padanya. Meskipun sebenarnya dia masih memiliki kehidupan ala binatang yang tidak ada bedanya antara dia dengan hewan yang paling rendah sekalipun. Oleh sebab itu kehidupan yang hakiki dan baik adalah kehidupan pada diri orang yang memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya secara lahir dan batin. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar hidup, walaupun tubuh mereka telah mati. Adapun selain mereka adalah orang-orang yang telah mati, meskipun badan mereka masih hidup. Oleh karena itulah maka orang yang paling sempurna kehidupannya adalah yang paling sempurna di antara mereka dalam memenuhi seruan dakwah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya di dalam setiap ajaran yang beliau dakwahkan terkandung unsur kehidupan sejati. Barang siapa yang luput darinya sebagian darinya maka itu artinya dia telah kehilangan sebagian unsur kehidupan, dan di dalam dirinya mungkin masih terdapat kehidupan sekadar dengan besarnya istijabahnya terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (al-Fawa’id, hal. 85-86 cet. Dar al-‘Aqidah)

4. Cinta dan Benci karena Allah

Allah Swt  berfirman,

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Tidak akan kamu jumpai suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkasih sayang kepada orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya meskipun mereka itu adalah bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, maupun sanak keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang ditetapkan Allah di dalam hati mereka dan Allah kuatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya, Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah, ketahuilah sesungguhnya hanya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. al-Mujadalah: 22)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ ».

“Barang siapa yang mencintai karena Allah. Membenci karena Allah. Memberi karena Allah. Dan tidak memberi juga karena Allah. Maka sungguh dia telah menyempurnakan imannya.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [10/181] as-Syamilah)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai aku lebih dicintainya daripada orang tua dan anak-anaknya.” (HR. Bukhari)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

آيَةُ الْإِيمَانِ حُبُّ الْأَنْصَارِ وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الْأَنْصَارِ

“Ciri keimanan yaitu mencintai kaum Anshar, sedangkan ciri kemunafikan yaitu membenci kaum Anshar.” (HR. Bukhari)

5. Berinfak di kala senang maupun susah

Allah Swt berfirman,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ  الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ  وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Bersegeralah menuju ampunan Rabb kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menginfakkan hartanya di kala senang maupun di kala susah, orang-orang yang menahan amarah, yang suka memaafkan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Dan orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri maka mereka pun segera mengingat Allah lalu meminta ampunan bagi dosa-dosa mereka, dan siapakah yang mampu mengampuni dosa selain Allah. Dan mereka juga tidak terus menerus melakukan dosanya sementara mereka mengetahuinya.” (Qs. Ali Imron: 133-135)

Membelanjakan harta di jalan Allah merupakan ciri orang-orang yang bertakwa. Allah ta’ala berfirman,

الم  ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ  الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

“Alif lam mim. Ini adalah Kitab yang tidak ada keraguan padanya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang beriman kepada perkara gaib, mendirikan sholat, dan membelanjakan sebagian harta yang Kami berikan kepada mereka.” (Qs. al-Baqarah: 1-3)

Syaikh as-Sa’di memaparkan, infak yang dimaksud dalam ayat di atas mencakup berbagai infak yang hukumnya wajib seperti zakat, nafkah untuk istri dan kerabat, budak, dan lain sebagainya. Demikian juga ia meliputi infak yang hukumnya sunnah melalui berbagai jalan kebaikan. Di dalam ayat di atas Allah menggunakan kata min yang menunjukkan makna sebagian, demi menegaskan bahwa yang dituntut oleh Allah hanyalah sebagian kecil dari harta mereka, tidak akan menyulitkan dan memberatkan bagi mereka. Bahkan dengan infak itu mereka sendiri akan bisa memetik manfaat, demikian pula saudara-saudara mereka yang lain. Di dalam ayat tersebut Allah juga mengingatkan bahwa harta yang mereka miliki merupakan rezki yang dikaruniakan oleh Allah, bukan hasil dari kekuatan mereka semata. Oleh sebab itu Allah memerintahkan mereka untuk mensyukurinya dengan cara mengeluarkan sebagian kenikmatan yang diberikan Allah kepada mereka dan untuk berbagi rasa dengan saudara-saudara mereka yang lain (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman [1/30] cet. Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)

6. Memiliki hati yang selamat

Allah Swt berfirman,

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ  إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

“Pada hari itu -hari kiamat- tidak bermanfaat lagi harta dan keturunan, melainkan bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Qs. as-Syu’ara: 88-89)

Abu Utsman an-Naisaburi rahimahullah mengatakan tentang hakikat hati yang selamat, “Yaitu hati yang terbebas dari bid’ah dan tenteram dengan Sunnah.” (disebutkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya [6/48] cet Maktabah Taufiqiyah)

Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan bahwa hakikat hati yang selamat itu adalah, “Hati yang bersih dari syirik dan keragu-raguan. Adapun dosa, maka tidak ada seorang pun yang bisa terbebas darinya. Ini adalah pendapat mayoritas ahli tafsir.” (Ma’alim at-Tanzil).

Imam al-Alusi rahimahullah juga menyebutkan bahwa terdapat riwayat dari para ulama salaf seperti Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Ibnu Sirin, dan lain-lain yang menafsirkan bahwa yang dimaksud hati yang selamat adalah, “Hati yang selamat dari penyakit kekafiran dan kemunafikan.” (Ruh al-Ma’ani)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pengertian paling lengkap tentang makna hati yang selamat itu adalah hati yang terselamatkan dari segala syahwat yang menyelisihi perintah Allah dan larangan-Nya. Hati yang bersih dari segala macam syubhat yang bertentangan dengan berita dari-Nya. Oleh sebab itu, hati semacam ini akan terbebas dari penghambaan kepada selain-Nya. Dan ia akan terbebas dari tekanan untuk berhukum kepada selain Rasul-Nya…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Hati yang selamat artinya yang bersih dari: kesyirikan, keragu-raguan, mencintai keburukan, dan terus menerus dalam bid’ah dan dosa-dosa. Konsekuensi bersihnya hati itu dari apa-apa yang disebutkan tadi adalah ia memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengannya. Berupa keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kebaikan dan memandang indah kebaikan itu di dalam hati, dan juga kehendak dan kecintaannya pun mengikuti kecintaan Allah, hawa nafsunya tunduk mengikuti apa yang datang dari Allah.” (Taisir al-Karim ar-Rahman hal. 592-593 cet.  Mu’assasah ar-Risalah)

Ibnul Qayyim rahimahullah juga menjelaskan karakter si pemilik hati yang selamat itu, “… apabila dia mencintai maka cintanya karena Allah. Apabila dia membenci maka bencinya karena Allah. Apabila dia memberi maka juga karena Allah. Apabila dia mencegah/tidak memberi maka itupun karena Allah…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah). Demikianlah sekelumit yang bisa kami tuangkan dalam lembaran ini. Semoga bermanfaat bagi yang menulis, membaca maupun yang menyebarkannya. semoga Amal Ibadah kita di terima Allah Swt, manusia  tidak luput dari salah dan dosa, segera bertaubat kepada Allah Swt semoga Allah Swt menerima taubat kita, Aamin.

Referensi sebagai berikut ini ;







Zakat Harta Haram & Hukum Dalam Islam

Zakat Harta Haram & Hukum Dalam Islam. Secuil makanan yang haram akan mengendap dalam perut seseorang. Ia akan tumbuh bersama daging dan darah. Tubuh manusia manapun yang tumbuh berkembang dan yang haram, maka nerakalah yang paling layak untuknya. Para salafus shaleh tahu benar dari mana mereka makan rasa mereka menjadi bersih, badan menjadi sehat, hati bersinar. Ketika makanan dan minuman orang-orang terkemudian rusak, cahaya petunjuk dalam hati mereka menjadi redup. Dalam sebuh hadits Rasulullah bersabda, "Tidaklah seorang hamba makan makanan lebih baik daripada ia makan makanan dari hasil usaha tangannya sendiri, dan sungguh Nabi Daud AS makan makanan dari hasil usaha tangannya sendiri.”

Nabi Zakaria AS adalah seorang tukang kayu, Nabi Daud seorang tukang pandai besi, Nabi Muhammad dan beberapa nabi lain SAW pernah menggembala kambing.

Islam menyeru kepada usaha dan mencari rizki, tetapi dari pintu-pintu yang dihalalkan. Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih baik.” (QS. Al-lsra’, 34).

Dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." (QS. An-Nisa’, 10).

Semakna dengan ayat tersebut Allah juga berfirman, "Dan janganlah sebahagian kamu makan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu ke hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah, 188).

Selain itu, harta haram dari riba juga mendapat ancaman. Sebagaimana firman Allah SWT, "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila." (QS. Al-Baqarah, 275).

Demikian juga harta yang didapat dari hasil korupsi dan sogokan. Rasulullah SAW bersabda, “Allah melaknat orang yang menyogok dan yang disogok.”

Ibnul Qayyim AJ-Jauzi mengisahkan kepada kita dalam Shaidul Khatir bahwa ia makan makanan syubhat, hatinya kemudian berubah dan gelap untuk beberapa lama. Oleh karena itu. karena kesucian hati para salaf merasakan perubahan pada hati mereka.

Orang yang tidak mempedulikan kehalalan makanan dan minuman yang masuk melalui tenggorokannya sudah pasti akan menjadikannya berperilaku yang haram pula. Karena setiap darah dan daging yang memproduksi energinya berasal dari yang haram, tentu energi yang dia hasilkan akan menjurus kepada yang haram pula.

Sebagian mereka minum minuman keras dan yang memabukkan dengan segala macam dan jenisnya. Mereka ini sama sekali tidak akan merasakan lezatnya ibadah dan manisnya ketaatan kepada Allah. Mereka akan hidup dalam keadaan gundah, cemas, tak dapat merasakan kebahagiaan, dan tidak mempunyai waktu saat doanya dikabulkan Allah.

Oleh karena itu, orang yang tidak membuat perutnya berpuasa, maka ia seakan-akan tidak berpuasa. Orang yang berpuasa dari yang haram, berhati-hati dalam makanan dan minuman ia akan masuk surga.

Secuil makanan yang haram akan mengendap dalam perut seseorang. Ia akan tumbuh bersama daging dan darah. Tubuh manusia manapun yang tumbuh berkembang dan yang haram, maka nerakalah yang paling layak untuknya.

Para salafus shaleh tahu benar dari mana mereka makan rasa mereka menjadi bersih, badan menjadi sehat, hati bersinar. Ketika makanan dan minuman orang-orang terkemudian rusak, cahaya petunjuk dalam hati mereka menjadi redup.

Dalam sebuh hadits Rasulullah bersabda, "Tidaklah seorang hamba makan makanan lebih baik daripada ia makan makanan dari hasil usaha tangannya sendiri, dan sungguh Nabi Daud AS makan makanan dari hasil usaha tangannya sendiri.”

Nabi Zakaria AS adalah seorang tukang kayu, Nabi Daud seorang tukang pandai besi, Nabi Muhammad dan beberapa nabi lain SAW pernah menggembala kambing.

Islam menyeru kepada usaha dan mencari rizki, tetapi dari pintu-pintu yang dihalalkan. Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih baik.” (QS. Al-lsra’, 34).

Dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." (QS. An-Nisa’, 10).

Semakna dengan ayat tersebut Allah juga berfirman, "Dan janganlah sebahagian kamu makan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu ke hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah, 188).

Selain itu, harta haram dari riba juga mendapat ancaman. Sebagaimana firman Allah SWT, "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila." (QS. Al-Baqarah, 275).

Demikian juga harta yang didapat dari hasil korupsi dan sogokan. Rasulullah SAW bersabda, “Allah melaknat orang yang menyogok dan yang disogok.” Ibnul Qayyim AJ-Jauzi mengisahkan kepada kita dalam Shaidul Khatir bahwa ia makan makanan syubhat, hatinya kemudian berubah dan gelap untuk beberapa lama. Oleh karena itu. karena kesucian hati para salaf merasakan perubahan pada hati mereka.

Orang yang tidak mempedulikan kehalalan makanan dan minuman yang masuk melalui tenggorokannya sudah pasti akan menjadikannya berperilaku yang haram pula. Karena setiap darah dan daging yang memproduksi energinya berasal dari yang haram, tentu energi yang dia hasilkan akan menjurus kepada yang haram pula.

Sebagian mereka minum minuman keras dan yang memabukkan dengan segala macam dan jenisnya. Mereka ini sama sekali tidak akan merasakan lezatnya ibadah dan manisnya ketaatan kepada Allah. Mereka akan hidup dalam keadaan gundah, cemas, tak dapat merasakan kebahagiaan, dan tidak mempunyai waktu saat doanya dikabulkan Allah Swt. Oleh karena itu, orang yang tidak membuat perutnya berpuasa, maka ia seakan-akan tidak berpuasa. Orang yang berpuasa dari yang haram, berhati-hati dalam makanan dan minuman ia akan masuk surga.

Referensi sebagai berikut ini ;