This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Senin, 03 Oktober 2022

Jangan Cuek Ketika Melihat Maksiat

Jangan Cuek Ketika Melihat Maksiat . Dari Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu ia berkata  يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ لَتَقْرَؤُوْنَ هَذِهِ الآيَةَ :ياأيها الذين آمَنُوْا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لاَ يَضُرُكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ  وَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: “إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوْا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ (رَوَاهُ أبو داود والترمذي وَغَيْرُهُمَا)  “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian benar-benar membaca ayat ini ‘Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk’ (Al-Maidah:105), karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sungguh manusia bila mereka menyaksikan orang zhalim namun tidak menghentikannya, dikhawatirkan Allah akan menjatuhkan hukumanNya pada mereka semua’ “ (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan lainnya)  Takhrij Hadits Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya no.4338, Imam At-Tirmidzi dalam Jami’-nya no.2169, Imam An-Nasai dalam Sunanul Kubra no.11157 , Imam Ibnu Majah dalam Sunan-nya no.4005 dengan sanad shahih.  Biografi Sahabat periwat hadits Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, inilah sebutan yang lebih populer, ‘mengalahkan’ gaung dari nama aslinya. Beliau bernama ‘Abdullah bin ‘Utsman bin ‘Amir bin ‘Amr, dari Bani Taim. Dilahirkan di Mekah, dua tahun beberapa bulan pasca Tahun Gajah. Predikat Ash-shiddiq disematkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam padanya setelah kejadian Isra Mira’j, karena beliau langsung mempercayainya disaat kaum musyrikin mendustakan kejadian tersebut.   Di masa jahiliyah, sudah dikenal berperangai baik, berakhlak mulia dan tidak menyukai khamr. Juga dikenal sebagai ahli nasab dan sejarah. Sementara pada masa Islam, termasuk insan yang pertama menyambut dakwah Islam, dan memiliki jasa besar dalam perjuangan dan perkembangan dakwah Islam. Beberapa Sahabat senior masuk Islam melalui tangannya: ’Utsman bin ‘Affan, Az-Zubair bin ‘Awwam, ‘Abdur Rahman bin ‘Auf dan Thalhah bin ‘Ubaidillah.   Wafat pada tahun 13 H dalam usia 63 tahun, setelah mengemban tanggung jawab khilafah selama 2,5 tahun. (‘Ashrul Khilafah Ar-Rasyidah, DR. Akram Al-‘Umari hlm.71-72, 74).  Penjelasan Hadits Memahami satu ayat bukanlah persoalan mudah, dan bukan menjadi konsumsi orang awam, sehingga kita tidak boleh berlaku ceroboh dengan mencoba menerjemahkan pengertiannya dan menjabarkan pengertiannya dengan sekedar modal bisa baca terjemah Al-Qur`an dan sedikit tahu tentang Bahasa Arab. Perlu diingat, sebagaimana tiap disiplin ilmu ada pakarnya sendiri-sendiri yang menjadi rujukan, demikian pula, bidang penafsiran ayat pun memiliki ahlinya tersendiri, yang dikenal dengan mufassiruun. Para ahli tafsir ini berderet mulai dari kalangan Sahabat, Tabi’in dan Ulama-ulama Tafsir pada generasi-generasi selanjutnya.   Pada hadits di atas, Sahabat Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu menangkap adanya kekeliruan dalam memahami firman Allah Ta’ala { ‘Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk’ }. Pada sebagian riwayat hadits ini, beliau mengatakan, “Kalian menempatkannya pada pemahaman yang tidak pada tempatnya (yang benar)”. (HR. Ahmad dalam Al-Musnad I/118).   Pemahaman yang keliru yang dimaksud, bila seseorang memaknai ayat tersebut dengan mengatakan ‘seseorang yang telah mendapatkan hidayah, maka kesesatan orang-orang tidak akan membahayakan dirinya, sebab ia telah istiqamah’. Atau dalam bahasa lain, ‘Yang penting aku kan dach baik, shaleh, menunaikan kewajiban agama; orang lain kagak bener itu urusan dia’. Pemahaman model ini bisa membekukan dan melumpuhkan semangat orang untuk amar ma’ruf nahi munkar, melahirkan manusia yang cuek dengan keadaan sekitar yang carut-marut, dan mengkondisikan hati tak bereaksi meski maksiat ada di depan matanya. Ya, dengan dalih, ‘yang penting aku sudah baik; orang lain salah, sesat dan berbuat maksiat, bukan bukan urusanku ’ (?!). Imam Ibnu Katsir (wafat tahun 774H) berkata, “Ayat ini tidak memuat satu petunjuk pun untuk meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar, apabila pelaksanaannya masih memungkinkan” (Tafsir Ibnu Katsir 3/212).  Imam Sa’id Ibnul Musayyab, dari generasi tabi’in senior berkata, “Jika engkau telah mengajak orang kepada kebaikan dan mencegah orang dari kemungkaran, maka orang yang sesat tidak membahayakan dirimu, selama engkau mendapat hidayah”. Dengan demikian, tergeraknya seseorang untuk amar ma’ruf nahi munkar itu termasuk bagian dari hidayah yang ia dapatkan.  Syaikh Al-Utsaimin mengatakan, “Sesungguhnya Allah mensyaratkan kita tidak terkena dampak buruk dari orang sesat, kalau kita tetap berada di atas petunjuk, sesuai dengan firmanNya { “tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk” }. Dan di antara bentuk mendapat hidayah ialah, kita melakukan amar ma’ruf nahi munkar, sehingga kita akan selamat dari efek buruk dari kesesatan. Karenanya, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Sesungguhnya aku telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sungguh manusia bila mereka menyaksikan orang zhalim namun tidak menghentikannya, dikhawatirkan Allah akan menjatuhkan hukumanNya pada mereka semua’. Maksudnya, kesesatan orang akan menyebabkan mereka tertimpa keburukan. Yaitu, jika mereka melihat orang sesat (atau berbuat maksiat), namun tidak mengajaknya kepada kebaikan (jalan lurus) dan melarangnya dari kemungkaran, dalam kondisi ini dikhawatirkan Allah akan menimpakan hukuman merata pada semua orang, menimpa pelaku kemungkaran dan orang yang lalai untuk mencegah orang dari kemunkaran”. (Syarh Riyaadhish Shalihin 1/512).  Syaikh As-Sa’di (wafat tahun 1376H) berkata, “Hidayah bagi seseorang tidak menjadi sempurna kecuali bila ia menjalankan apa yang menjadi kewajiban dirinya untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Memang betul, bila ia tidak mampu meningkari kemungkaran dengan tangan dan lisannya, dan sudah mengingkari dengan hatinya, kesesatan orang tidak membahayakan dirinya”. (Tafsir As-Sa’di hlm.243).   Maka, pertama-tama, kaum Mukminin dengan seluruh elemennya, dari penguasa hingga rakyat, diperintahkan untuk memperbaiki diri mereka dan mengerjakan amal kebaikan dengan sepenuh tenaga dan kemampuan mereka. Setelah itu, juga berkewajiban untuk bergerak memperbaiki sesama, dengan menjalankan praktek amar ma’ruf nahi munkar, sesuai dengan kemampuan masing-masing, yang merupakan safinatun najaati (sekoci penyelamat). Sebab, akan menyelamatkan umat dari siksa Allah yang bisa menimpa siapa saja, sebagaimana telah diutarakan oleh Syaikh Al-Utsaimin di atas.  Penyimpangan dan maksiat, pada prinsipnya akan merugikan dan membahayakan pelakunya semata. Namun, ia dapat menyeret orang baik-baik karena suka bergaul dengannya dan menjadi temen dekatnya. Fakta pun telah membuktikan, ada orang yang ikut diciduk pihak berwenang dan namanya tercoreng gara-gara kedapatan bersama orang-orang yang sedang asyik maksiat.   Jadi, tetap semangat ngajak temen-temen berbuat baik, dan menghindari keburukan dan maksiat, dan juga mencegah pelaku maksiat dari perbuatannya. Dan itu sudah bisa terwujud dengan komunikasi empat mata dengan temen, tidak mesti dengan ceramah di masjid atau mushalla.   Pelajaran dari hadits Kewajiban menghayati Al-Qur`an dan memahaminya. Larangan berbicara mengenai Al-Qur`an dengan dasar nalar belaka. Kesalahan memahami Al-Qur`an menyebabkan kesesatan dan penyimpangan Bahaya kemunkaran bila dibiarkan. Kewajiban umat Islam untuk saling menjaga keutuhan bersama. Kewajiban umat Islam untuk menggerakkan semangat amar ma’ruf nahi munkar di tengah mereka. Hukuman Allah menimpa orang zhalim karena kezhalimannya dan menimpa masyarakat karena mendiamkan dan membiarkannya. Pentingnya memahami Islam dengan berkaca pada pemahaman generasi Sahabat .

Jangan Cuek Ketika Melihat Maksiat . Dari Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu ia berkata

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ لَتَقْرَؤُوْنَ هَذِهِ الآيَةَ :ياأيها الذين آمَنُوْا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لاَ يَضُرُكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ  وَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: “إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوْا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ (رَوَاهُ أبو داود والترمذي وَغَيْرُهُمَا)

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian benar-benar membaca ayat ini ‘Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk’ (Al-Maidah:105), karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sungguh manusia bila mereka menyaksikan orang zhalim namun tidak menghentikannya, dikhawatirkan Allah akan menjatuhkan hukumanNya pada mereka semua’ “ (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan lainnya)

Takhrij Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya no.4338, Imam At-Tirmidzi dalam Jami’-nya no.2169, Imam An-Nasai dalam Sunanul Kubra no.11157 , Imam Ibnu Majah dalam Sunan-nya no.4005 dengan sanad shahih.

Biografi Sahabat periwat hadits

Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, inilah sebutan yang lebih populer, ‘mengalahkan’ gaung dari nama aslinya. Beliau bernama ‘Abdullah bin ‘Utsman bin ‘Amir bin ‘Amr, dari Bani Taim. Dilahirkan di Mekah, dua tahun beberapa bulan pasca Tahun Gajah. Predikat Ash-shiddiq disematkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam padanya setelah kejadian Isra Mira’j, karena beliau langsung mempercayainya disaat kaum musyrikin mendustakan kejadian tersebut. 

Di masa jahiliyah, sudah dikenal berperangai baik, berakhlak mulia dan tidak menyukai khamr. Juga dikenal sebagai ahli nasab dan sejarah. Sementara pada masa Islam, termasuk insan yang pertama menyambut dakwah Islam, dan memiliki jasa besar dalam perjuangan dan perkembangan dakwah Islam. Beberapa Sahabat senior masuk Islam melalui tangannya: ’Utsman bin ‘Affan, Az-Zubair bin ‘Awwam, ‘Abdur Rahman bin ‘Auf dan Thalhah bin ‘Ubaidillah. 

Wafat pada tahun 13 H dalam usia 63 tahun, setelah mengemban tanggung jawab khilafah selama 2,5 tahun. (‘Ashrul Khilafah Ar-Rasyidah, DR. Akram Al-‘Umari hlm.71-72, 74).

Penjelasan Hadits

Memahami satu ayat bukanlah persoalan mudah, dan bukan menjadi konsumsi orang awam, sehingga kita tidak boleh berlaku ceroboh dengan mencoba menerjemahkan pengertiannya dan menjabarkan pengertiannya dengan sekedar modal bisa baca terjemah Al-Qur`an dan sedikit tahu tentang Bahasa Arab. Perlu diingat, sebagaimana tiap disiplin ilmu ada pakarnya sendiri-sendiri yang menjadi rujukan, demikian pula, bidang penafsiran ayat pun memiliki ahlinya tersendiri, yang dikenal dengan mufassiruun. Para ahli tafsir ini berderet mulai dari kalangan Sahabat, Tabi’in dan Ulama-ulama Tafsir pada generasi-generasi selanjutnya. 

Pada hadits di atas, Sahabat Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu menangkap adanya kekeliruan dalam memahami firman Allah Ta’ala { ‘Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk’ }. Pada sebagian riwayat hadits ini, beliau mengatakan, “Kalian menempatkannya pada pemahaman yang tidak pada tempatnya (yang benar)”. (HR. Ahmad dalam Al-Musnad I/118). 

Pemahaman yang keliru yang dimaksud, bila seseorang memaknai ayat tersebut dengan mengatakan ‘seseorang yang telah mendapatkan hidayah, maka kesesatan orang-orang tidak akan membahayakan dirinya, sebab ia telah istiqamah’. Atau dalam bahasa lain, ‘Yang penting aku kan dach baik, shaleh, menunaikan kewajiban agama; orang lain kagak bener itu urusan dia’. Pemahaman model ini bisa membekukan dan melumpuhkan semangat orang untuk amar ma’ruf nahi munkar, melahirkan manusia yang cuek dengan keadaan sekitar yang carut-marut, dan mengkondisikan hati tak bereaksi meski maksiat ada di depan matanya. Ya, dengan dalih, ‘yang penting aku sudah baik; orang lain salah, sesat dan berbuat maksiat, bukan bukan urusanku ’ (?!).
Imam Ibnu Katsir (wafat tahun 774H) berkata, “Ayat ini tidak memuat satu petunjuk pun untuk meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar, apabila pelaksanaannya masih memungkinkan” (Tafsir Ibnu Katsir 3/212).

Imam Sa’id Ibnul Musayyab, dari generasi tabi’in senior berkata, “Jika engkau telah mengajak orang kepada kebaikan dan mencegah orang dari kemungkaran, maka orang yang sesat tidak membahayakan dirimu, selama engkau mendapat hidayah”.
Dengan demikian, tergeraknya seseorang untuk amar ma’ruf nahi munkar itu termasuk bagian dari hidayah yang ia dapatkan.

Syaikh Al-Utsaimin mengatakan, “Sesungguhnya Allah mensyaratkan kita tidak terkena dampak buruk dari orang sesat, kalau kita tetap berada di atas petunjuk, sesuai dengan firmanNya { “tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk” }. Dan di antara bentuk mendapat hidayah ialah, kita melakukan amar ma’ruf nahi munkar, sehingga kita akan selamat dari efek buruk dari kesesatan. Karenanya, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Sesungguhnya aku telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sungguh manusia bila mereka menyaksikan orang zhalim namun tidak menghentikannya, dikhawatirkan Allah akan menjatuhkan hukumanNya pada mereka semua’. Maksudnya, kesesatan orang akan menyebabkan mereka tertimpa keburukan. Yaitu, jika mereka melihat orang sesat (atau berbuat maksiat), namun tidak mengajaknya kepada kebaikan (jalan lurus) dan melarangnya dari kemungkaran, dalam kondisi ini dikhawatirkan Allah akan menimpakan hukuman merata pada semua orang, menimpa pelaku kemungkaran dan orang yang lalai untuk mencegah orang dari kemunkaran”. (Syarh Riyaadhish Shalihin 1/512).

Syaikh As-Sa’di (wafat tahun 1376H) berkata, “Hidayah bagi seseorang tidak menjadi sempurna kecuali bila ia menjalankan apa yang menjadi kewajiban dirinya untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Memang betul, bila ia tidak mampu meningkari kemungkaran dengan tangan dan lisannya, dan sudah mengingkari dengan hatinya, kesesatan orang tidak membahayakan dirinya”. (Tafsir As-Sa’di hlm.243). 

Maka, pertama-tama, kaum Mukminin dengan seluruh elemennya, dari penguasa hingga rakyat, diperintahkan untuk memperbaiki diri mereka dan mengerjakan amal kebaikan dengan sepenuh tenaga dan kemampuan mereka. Setelah itu, juga berkewajiban untuk bergerak memperbaiki sesama, dengan menjalankan praktek amar ma’ruf nahi munkar, sesuai dengan kemampuan masing-masing, yang merupakan safinatun najaati (sekoci penyelamat). Sebab, akan menyelamatkan umat dari siksa Allah yang bisa menimpa siapa saja, sebagaimana telah diutarakan oleh Syaikh Al-Utsaimin di atas.

Penyimpangan dan maksiat, pada prinsipnya akan merugikan dan membahayakan pelakunya semata. Namun, ia dapat menyeret orang baik-baik karena suka bergaul dengannya dan menjadi temen dekatnya. Fakta pun telah membuktikan, ada orang yang ikut diciduk pihak berwenang dan namanya tercoreng gara-gara kedapatan bersama orang-orang yang sedang asyik maksiat. 

Jadi, tetap semangat ngajak temen-temen berbuat baik, dan menghindari keburukan dan maksiat, dan juga mencegah pelaku maksiat dari perbuatannya. Dan itu sudah bisa terwujud dengan komunikasi empat mata dengan temen, tidak mesti dengan ceramah di masjid atau mushalla. 

Pelajaran dari hadits

  1. Kewajiban menghayati Al-Qur`an dan memahaminya.
  2. Larangan berbicara mengenai Al-Qur`an dengan dasar nalar belaka.
  3. Kesalahan memahami Al-Qur`an menyebabkan kesesatan dan penyimpangan
  4. Bahaya kemunkaran bila dibiarkan.
  5. Kewajiban umat Islam untuk saling menjaga keutuhan bersama.
  6. Kewajiban umat Islam untuk menggerakkan semangat amar ma’ruf nahi munkar di tengah mereka.
  7. Hukuman Allah menimpa orang zhalim karena kezhalimannya dan menimpa masyarakat karena mendiamkan dan membiarkannya.
  8. Pentingnya memahami Islam dengan berkaca pada pemahaman generasi Sahabat . 

Menghadapi Orang Tua Yang Bermaksiat

Menghadapi Orang Tua Yang Bermaksiat. Pada sebuah kesempatan, seorang remaja bertanya kepada Syaikh Abdul Aziz Bin Baaz –rahimahullah-, “Saya seorang remaja muslimah. Ayah saya adalah orang yang tidak menjalankan kewajiban-kewajiban agama yang telah ditetapkan Allah. Ia pun melakukan perbuatan-perbuatan dosa besar, semisal durhaka kepada orang tuanya, menelantarkan anak-anaknya, tidak peduli dan sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap dengan rumah tangganya. Ia pun sering menghina saya dihadapan orang-orang, di hadapan kerabat dekat, kerabat jauh, orang terpandang, maupun di hadapan orang biasa. Jika berbicara dengan saya, ia menggunakan kata-kata yang paling kotor. Ia pun tidak memenuhi hak-hak saya, baik dalam hal sandang ataupun pangan. Ia pun selalu berusaha menjatuhkan image saya di hadapan orang. Apakah saya boleh membalasnya dengan kata-kata hinaan? Ataukah saya cukup diam saja dan tidak membalas sedikitpun? Perlu diketahui, bahwa sikap dan perlakuannya terhadap orang lain pun sama buruknya sebagaimana ia memperlakukan anak dan istrinya”

Menghadapi Orang Tua Yang Bermaksiat. Pada sebuah kesempatan, seorang remaja bertanya kepada Syaikh Abdul Aziz Bin Baaz –rahimahullah-, “Saya seorang remaja muslimah. Ayah saya adalah orang yang tidak menjalankan kewajiban-kewajiban agama yang telah ditetapkan Allah. Ia pun melakukan perbuatan-perbuatan dosa besar, semisal durhaka kepada orang tuanya, menelantarkan anak-anaknya, tidak peduli dan sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap dengan rumah tangganya. Ia pun sering menghina saya dihadapan orang-orang, di hadapan kerabat dekat, kerabat jauh, orang terpandang, maupun di hadapan orang biasa. Jika berbicara dengan saya, ia menggunakan kata-kata yang paling kotor. Ia pun tidak memenuhi hak-hak saya, baik dalam hal sandang ataupun pangan. Ia pun selalu berusaha menjatuhkan image saya di hadapan orang. Apakah saya boleh membalasnya dengan kata-kata hinaan? Ataukah saya cukup diam saja dan tidak membalas sedikitpun? Perlu diketahui, bahwa sikap dan perlakuannya terhadap orang lain pun sama buruknya sebagaimana ia memperlakukan anak dan istrinya”    Syaikh Abdul Aziz Bin Baaz –rahimahullah– menjawab: “Allah Jalla Wa ‘Alaa berfirman dalam Al Qur’an Al Karim,  أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ * وَإِن جَاهَدَاكَ عَلى أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا  “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik” (QS. Luqman: 14-15)  Yang dibahas dalam ayat ini, kedua orang tua musyrik yang memerintahkan anaknya untuk berbuat musyrik. Namun Allah Ta’ala berfirman:  وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا  “Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik”  Sekali lagi, kedua orang tua ini adalah orang musyrik yang memerintahkan anaknya untuk berbuat musyrik.  Maka hendaknya anda bersabar, berbicaralah dengan orang tua anda dengan perkataan yang baik, doakan ia agar mendapat hidayah. Semisal anda mengatakan kepadanya ‘Hadaakallah‘ (Semoga Allah memberimu hidayah), atau ‘Afaakallah‘ (Semoga Allah memberimu kebaikan lahir batin), atau ‘Waffaqakallah‘ (Semoga Allah memberimu taufiq). Karena nyatanya ia bersikap demikian kepada anda dan juga kepada orang lain. Maka sudah semestinya anda bersabar dan tidak menghadapi ujian ini kecuali dengan kesabaran.  Bertutur-katalah sesuai dengan yang diperintahkan Allah Ta’ala:  وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا “Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik”  Andaikan ia tidak menunaikan shalat, maka ia diperlakukan sama seperti orang tua yang musyrik, yaitu sebagaimana firman Allah Ta’ala tersebut.  Bimbing dan tuntunlah ia ke jalan hidayah, dengan doa anda. Berdoalah kepada Allah di waktu-waktu yang mustajab untuk berdoa. Mintalah agar Allah melimpahkan hidayah kepadanya, melindunginya dari godaan setan, memberinya rahmat, agar ia luluh terhadap anak-anaknya, agar ia diberi taufiq untuk berbakti kepada orang tua dan doa yang lainnya.  Wajib bagi anda untuk bersabar dan memperlakukannya dengan baik serta mendoakan agar ia mendapatkan hidayah. Hendaknya anda juga mengusahakan cara-cara yang bisa menjadi sebab datangnya hidayah, misalnya dengan berbicara baik-baik kepada orang tuanya, menyarankan mereka untuk menasehati anaknya. Atau menyarankan teman dan kerabat baiknya untuk menasehatinya, atau cara-cara baik yang lain. Semoga Allah membalas kebaikan anda dan memberikan hasil yang baik bagi anda.”

Syaikh Abdul Aziz Bin Baaz –rahimahullah– menjawab: “Allah Jalla Wa ‘Alaa berfirman dalam Al Qur’an Al Karim,

أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ * وَإِن جَاهَدَاكَ عَلى أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik” (QS. Luqman: 14-15)

Yang dibahas dalam ayat ini, kedua orang tua musyrik yang memerintahkan anaknya untuk berbuat musyrik. Namun Allah Ta’ala berfirman:

وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik

Sekali lagi, kedua orang tua ini adalah orang musyrik yang memerintahkan anaknya untuk berbuat musyrik.

Maka hendaknya anda bersabar, berbicaralah dengan orang tua anda dengan perkataan yang baik, doakan ia agar mendapat hidayah. Semisal anda mengatakan kepadanya ‘Hadaakallah‘ (Semoga Allah memberimu hidayah), atau ‘Afaakallah‘ (Semoga Allah memberimu kebaikan lahir batin), atau ‘Waffaqakallah‘ (Semoga Allah memberimu taufiq). Karena nyatanya ia bersikap demikian kepada anda dan juga kepada orang lain. Maka sudah semestinya anda bersabar dan tidak menghadapi ujian ini kecuali dengan kesabaran.

Bertutur-katalah sesuai dengan yang diperintahkan Allah Ta’ala:

وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik

Andaikan ia tidak menunaikan shalat, maka ia diperlakukan sama seperti orang tua yang musyrik, yaitu sebagaimana firman Allah Ta’ala tersebut.

Bimbing dan tuntunlah ia ke jalan hidayah, dengan doa anda. Berdoalah kepada Allah di waktu-waktu yang mustajab untuk berdoa. Mintalah agar Allah melimpahkan hidayah kepadanya, melindunginya dari godaan setan, memberinya rahmat, agar ia luluh terhadap anak-anaknya, agar ia diberi taufiq untuk berbakti kepada orang tua dan doa yang lainnya.

Wajib bagi anda untuk bersabar dan memperlakukannya dengan baik serta mendoakan agar ia mendapatkan hidayah. Hendaknya anda juga mengusahakan cara-cara yang bisa menjadi sebab datangnya hidayah, misalnya dengan berbicara baik-baik kepada orang tuanya, menyarankan mereka untuk menasehati anaknya. Atau menyarankan teman dan kerabat baiknya untuk menasehatinya, atau cara-cara baik yang lain. Semoga Allah membalas kebaikan anda dan memberikan hasil yang baik bagi anda.”

Apakah Bencana Alam Bukan Karena Maksiat?

Apakah Bencana Alam Bukan Karena Maksiat? Bencana alam merupakan fenomena alam yang terjadi karena adanya aktifitas fisik dari berbagai benda-benda di alam. Lalu bagaimana mungkin terjadinya bencana alam dikaitkan dengan moralitas, kemaksiatan, kesyirikan, hal-hal yang bukan aktifitas fisik, bahkan abstrak? Bagi sebagian orang ini adalah hal yang mudah, namun bagi sebagian lagi ini menjadi hal yang sulit dicerna akal.  Islam bukan agama yang mengajarkan mistisme, supranatural, tahayul dan sejenisnya. Dimana dalam dunia semacam itu, keterputusan hubungan antara sebab dan akibat adalah hal biasa. Kena musibah karena mata berkedut, sulit mendapat jodoh karena berdiri di pintu, sakit bisul gara-gara duduk di meja, dan semacamnya. Ini bukan ajaran Islam bahkan Islam melarang mempercayai hal-hal tersebut. Bahkan Islam sangat memperhitungkan nalar dan ilmu pasti. Itu sangat jelas sehingga rasanya tidak perlu membawakan contoh untuk hal ini.  Namun bukan berarti percaya kepada hal yang tidak kasat mata, abstrak, gaib, itu tidak ada dalam Islam. Bahkan esensi dari iman adalah percara kepada yang gaib. Allah Ta’ala berfirman:  الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ  “Alif Laam Miim. Al Qur’an adalah kitab yang tidak terdapat keraguan. Ia adalah petunjuk bagi orang yang bertaqwa, yaitu orang yang percaya kepada yang gaib..” (QS. Al Baqarah: 1-2)  Mulai dari dzat Allah, tidak kasat mata. Kita shalat sehari lima kali, melakukan gerakan-gerakan berdiri, menunduk, sujud, berdiri lagi apakah dalam rangka berolah raga atau apa? Tidak lain itu kita lakukan dalam rangka mengharap sesuatu yang tidak kasat mata, yaitu pahala. Kita pergi haji mengeluarkan uang puluhan juta rupiah dengan segala tatacaranya yang ‘rumit’, semua itu rela dilakukan untuk mengharap sesuatu yang masih kasat mata, yaitu surga. Dan hampir dalam semua ajaran Islam, keyakinan kita terhadap sesuatu yang gaib dan kasat mata sangat esensial perannya. Andai kita tidak percaya Allah itu ada, tidak percaya adanya pahala, tidak percaya adanya surga, karena tidak bisa dinalar dan tidak kasat mata, lalu apa gunanya anda shalat? Apa gunanya anda bersyahadat? Apa gunanya berpuasa? Apa gunanya? Semuanya akan terasa hampa. Dan kita pun melepas semua sendi keislaman kita.  Jika demikian perkara gaib ada yang diingkari oleh Islam, ada pula yang wajib diyakini oleh setiap muslim. Lalu apa pembedanya? Bagi yang merenungkan ayat yang kami sitir di atas, tentu sudah mendapat jawabannya. Ya, perkara gaib yang dikabarkan Al Qur’an dan juga tentunya dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang telah divalidasi oleh Allah sebagai penjelas Al Qur’an. Kabar gaib dari mereka berdua adalah harga mati untuk diyakini. Karena Al Qur’an memilki nilai ‘tanpa keraguan’ atau dengan kata lain ‘pasti benar’, 100% mutlak benar. Tentu lain masalahnya jika anda, pembaca, adalah orang yang tidak mempercayai bahwa Al Qur’an adalah kalam ilahi dan menilai Al Qur’an itu belum tentu benar. Jika anda demikian, silakan tutup halaman ini dan tidak ada yang perlu kita bahas lagi.  Inilah yang menjadi modal berpikir kita untuk menilai perkara yang kita bahas. Karena Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an:  وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ  “Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (Qs. Asy-Syuura: 30)  Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala menceritakan keadaan umat-umat terdahulu:  فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ  “Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu krikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur (halilintar), dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Qs. Al-Ankabut: 40)  Keterkaitan antara bencana dengan maksiat adalah abstrak. Namun tinggal bagaimana sikap kita dengan ayat-ayat ini, percaya atau tidak? Renungkanlah, semoga Allah melimpahkan hidayah-Nya kepada kita semua.  Andai tidak maksiat, bencana tetap terjadi? Orang-orang yang bermodalkan dengan nalarnya, mengatakan: “Fenomena alam ini tetap terjadi walau tanpa atau dengan adanya maksiat”. Lalu mereka pun mempertanyakan bukti ilmiah, hasil penelitian, data statistik yang menunjukkan adanya keterkaitan antara bencana alam dengan maksiat.  Anggap saja belum pernah ada orang yang meneliti secara statistik, atau penelitian ilmiah bahwa bencana alam memiliki hubungan dengan adanya maksiat. Namun pernyataan “bencana alam tidak memiliki hubungan dengan adanya maksiat” pun merupakan sebuah hipotesa yang perlu pembuktian ilmiah. Dan untuk membuktikan hipotesa ini sendiri pun hampir tidak mungkin. Karena maksiat, kecilnya maupun besarnya, tersebar di seluruh dunia, di setiap waktu dan tempat. Hari ini saja, sudah berapa maksiat yang anda lakukan? Jawablah dengan jujur. Hampir tidak ada waktu dan tempat di dunia ini yang kosong dari maksiat. Saya, anda dan seluruh manusia tidak bisa lepas dari salah dan dosa. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:  كل بني آدم خطاء وخير الخطائين التوابون  “Setiap manusia itu banyak berbuat salah, dan orang terbaik di antara mereka adalah yang bertaubat” (HR. At Tirmidzi no.2687. Dihasankan Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi)  Jadi ternyata, orang yang mengatakan: “bencana alam tidak memiliki hubungan dengan adanya maksiat” hanya berlandaskan pada hipotesa yang lemah.  Jika ada hubungannya, mengapa kaum terbejat masih aman saja? Mereka memiliki alasan lain: “andai bencana dengan maksiat ada hubungannya, mengapa tempat yang banyak maksiat, bahkan negeri kafir, banyak yang jarang terkena bencana”.  Jika anda menginginkan setiap orang yang ketika berbuat maksiat tiba-tiba disambar petir dari langit lalu mati, tentulah semua orang serta-merta akan menjadi shalih semua. Tidak akan ada lagi maksiat, tidak ada ujian keimanan, tidak ada lagi taubat, tidak ada lagi amar ma’ruf nahi mungkar, tidak akan ada lagi istilah ‘maksiat’ di dalam kamus, dan mungkin bumi ini sudah bisa disebut surga.  Inilah bagian dari misteri ilahi. Allah Ta’ala terkadang menimpakan musibah pada kaum bejat saja, sebagaimana kaum Ad dan kaum Tsamud, dikarena kebejatan mereka. Dan terkadang Allah menimpakan musibah kepada kaum yang di dalamnya terdapat orang shalih juga. Allah Ta’ala berfirman:  وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ  “Takutlah pada musibah yang tidak hanya menimpa orang zhalim di antara kalian saja. Ketahuilah bahwa Allah memiliki hukuman yang pedih” (QS. Al Anfal: 25)  عن أم سلمة زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “إذا ظهرت المعاصي في أمتي، عَمَّهم الله بعذاب من عنده” . فقلت: يا رسول الله، أما فيهم أناس صالحون؟ قال: “بلى”، قالت: فكيف يصنع أولئك؟ قال: “يصيبهم ما أصاب الناس، ثم يصيرون إلى مغفرة من الله ورضوان“  “Dari Ummu Salamah, istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Jika maksiat telah menyebar diantara umatku, Allah akan menurunkan adzab secara umum”. Ummu Salamah bertanya: Wahai Rasulullah, bukankah di antara mereka ada orang shalih? Rasulullah menjawab: Ya. Ummu Salamah berkata: Mengapa mereka terkena juga? Rasulullah menjawab: Mereka terkena musibah yang sama sebagaimana yang lain, namun kelak mereka mendapatkan ampunan Allah dan ridha-Nya” (HR. Ahmad no.27355. Al Haitsami berkata: “Hadits ini ada 2 jalur riwayat, salah jalurnya diriwayatkan oleh para perawi yang shahih”, Majma Az Zawaid, 7/217 )  Dan inilah sebijak-bijaknya kebijakan dari Dzat Yang Paling Bijak. Karena dari kebijakan ini ribuan bahkan jutaan hikmah yang dapat dipetik oleh manusia, diantaranya adalah kesempatan bagi pelaku maksiat untuk bertaubat dan kesempatan untuk orang shalih untuk menuai pahala dan mempertebal keimanannya.  Tempat yang banyak orang shalih pun terkena bencana Mereka beralasan lagi: “andai bencana dengan maksiat ada hubungannya, mengapa tempat yang banyak orang shalih pun terkena bencana?”.  Ini pun salah satu misteri ilahi yang memiliki banyak hikmah. Salah satu hikmahnya adalah pentingnya dakwah dan menasehati untuk meninggalkan maksiat. Keshalihan tidak hanya dimiliki individu namun juga masyarakat. Ketika maksiat terjadi, sekecil apapun, ketika orang-orang shalih enggan menasehati dan mencegah maksiat tersebut, bukan tidak mungkin bencana akan datang. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:  والذي نفسي بيده، لتأمرن بالمعروف، ولتنهون عن المنكر، أو ليوشكن الله أن يبعث عليكم عِقابا من عنده، ثم لتَدعُنّه فلا يستجيب لكم  “Demi Allah, hendaknya kalian mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Atau Allah akan menimpakan hukuman kepada kalian, lalu kalian berdo’a namun tidak dikabulkan” (HR. At Tirmidzi no.2323, Ia berkata: “Hadits ini hasan”)  Korban bencana adalah ahli maksiat? Alasan mereka yang lain lebih sosialis. Yaitu jika kita mengaitkan bencana di suatu daerah dengan maksiat yang dilakukan penduduknya, sama saja menganggap korban-korban bencana adalah para ahli maksiat.  Dan hadits tersebut di atas jelas bahwa orang yang terkena bencana, bisa jadi benar ahli maksiat, atau bisa jadi orang shalih yang ikut terkena bencana yang disebabkan maksiat. Sehingga tidak ada yang bisa memastikan seseorang termasuk yang mana kecuali Allah Ta’ala. Dan tidak ada kepentingan sama sekali bagi kita untuk mengetahui apakah para korban itu termasuk golongan ahli maksiat atau orang shalih? Namun penting bagi kita untuk menyadari bahwa bencana ini karena sebab maksiat. Karena inilah yang membuat kita tersadar, bergegas untuk menyerahkan diri kepada-Nya, bersimpuh dan bertaubat kepada-Nya.  ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ  “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Ruum: 41)  Dari pada kita merasa sombong, tak merasa punya andil dalam menyebabkan bencana ini, merasa tidak berdosa dan congkak. Yang tentunya kesombongan itu akan berbalas, di dunia atau kelak di akhirat.  وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ  “Orang yang enggan bertaubat, mereka termasuk orang-orang yang zhalim” (QS. Al Hujurat: 11)  Allahlah Rabb alam semesta Ya memang, bencana alam ini adalah fenomena alam yang dapat dijelaskan oleh ilmu fisika atau ilmu alam. Dengan ilmu tersebut bisa diketahui penyebab fisiknya, atau mungkin bisa diramal kejadiannya dari tanda-tanda dan pola-pola yang ada. Namun ingatlah, jauh dibalik itu semua, semua yang terjadi di alam ini adalah kekuasan Allah, yang Maha Mengatur Alam Semesta. Ilmu manusia manapun tidak ada yang bisa melawan dan meramal kehendak Allah. Andai teori dan data menyatakan tidak akan terjadi bencana, jika Allah berkehendak pun tetap terjadi. Allah lah pengatur alam yang sebenarnya.  رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا الْعَزِيزُ الْغَفَّارُ  “Ialah Allah, Rabb langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS. Shaad: 66).  Oleh karena itu sungguh sangat logis, jika ingin menghindari bencana atau menghentikan bencana kita memohon, menuruti keinginan serta menjauhi larangan dari Yang Maha Mengatur Alam yang sebenarnya.  وَهُوَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ وَلَهُ اخْتِلَافُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ  “Dialah Allah yang menghidupkan dan mematikan, Dialah yang membolak-balikan siang dan malam, tidakkah engkau berpikir?” (QS. Al Qashas: 28 )
Apakah Bencana Alam Bukan Karena Maksiat? Bencana alam merupakan fenomena alam yang terjadi karena adanya aktifitas fisik dari berbagai benda-benda di alam. Lalu bagaimana mungkin terjadinya bencana alam dikaitkan dengan moralitas, kemaksiatan, kesyirikan, hal-hal yang bukan aktifitas fisik, bahkan abstrak? Bagi sebagian orang ini adalah hal yang mudah, namun bagi sebagian lagi ini menjadi hal yang sulit dicerna akal.

Islam bukan agama yang mengajarkan mistisme, supranatural, tahayul dan sejenisnya. Dimana dalam dunia semacam itu, keterputusan hubungan antara sebab dan akibat adalah hal biasa. Kena musibah karena mata berkedut, sulit mendapat jodoh karena berdiri di pintu, sakit bisul gara-gara duduk di meja, dan semacamnya. Ini bukan ajaran Islam bahkan Islam melarang mempercayai hal-hal tersebut. Bahkan Islam sangat memperhitungkan nalar dan ilmu pasti. Itu sangat jelas sehingga rasanya tidak perlu membawakan contoh untuk hal ini.

Namun bukan berarti percaya kepada hal yang tidak kasat mata, abstrak, gaib, itu tidak ada dalam Islam. Bahkan esensi dari iman adalah percara kepada yang gaib. Allah Ta’ala berfirman:

الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ

Alif Laam Miim. Al Qur’an adalah kitab yang tidak terdapat keraguan. Ia adalah petunjuk bagi orang yang bertaqwa, yaitu orang yang percaya kepada yang gaib..” (QS. Al Baqarah: 1-2)

Mulai dari dzat Allah, tidak kasat mata. Kita shalat sehari lima kali, melakukan gerakan-gerakan berdiri, menunduk, sujud, berdiri lagi apakah dalam rangka berolah raga atau apa? Tidak lain itu kita lakukan dalam rangka mengharap sesuatu yang tidak kasat mata, yaitu pahala. Kita pergi haji mengeluarkan uang puluhan juta rupiah dengan segala tatacaranya yang ‘rumit’, semua itu rela dilakukan untuk mengharap sesuatu yang masih kasat mata, yaitu surga. Dan hampir dalam semua ajaran Islam, keyakinan kita terhadap sesuatu yang gaib dan kasat mata sangat esensial perannya. Andai kita tidak percaya Allah itu ada, tidak percaya adanya pahala, tidak percaya adanya surga, karena tidak bisa dinalar dan tidak kasat mata, lalu apa gunanya anda shalat? Apa gunanya anda bersyahadat? Apa gunanya berpuasa? Apa gunanya? Semuanya akan terasa hampa. Dan kita pun melepas semua sendi keislaman kita.

Jika demikian perkara gaib ada yang diingkari oleh Islam, ada pula yang wajib diyakini oleh setiap muslim. Lalu apa pembedanya? Bagi yang merenungkan ayat yang kami sitir di atas, tentu sudah mendapat jawabannya. Ya, perkara gaib yang dikabarkan Al Qur’an dan juga tentunya dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang telah divalidasi oleh Allah sebagai penjelas Al Qur’an. Kabar gaib dari mereka berdua adalah harga mati untuk diyakini. Karena Al Qur’an memilki nilai ‘tanpa keraguan’ atau dengan kata lain ‘pasti benar’, 100% mutlak benar. Tentu lain masalahnya jika anda, pembaca, adalah orang yang tidak mempercayai bahwa Al Qur’an adalah kalam ilahi dan menilai Al Qur’an itu belum tentu benar. Jika anda demikian, silakan tutup halaman ini dan tidak ada yang perlu kita bahas lagi.

Inilah yang menjadi modal berpikir kita untuk menilai perkara yang kita bahas. Karena Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (Qs. Asy-Syuura: 30)

Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala menceritakan keadaan umat-umat terdahulu:

فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu krikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur (halilintar), dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Qs. Al-Ankabut: 40)

Keterkaitan antara bencana dengan maksiat adalah abstrak. Namun tinggal bagaimana sikap kita dengan ayat-ayat ini, percaya atau tidak? Renungkanlah, semoga Allah melimpahkan hidayah-Nya kepada kita semua.

Andai tidak maksiat, bencana tetap terjadi?

Orang-orang yang bermodalkan dengan nalarnya, mengatakan: “Fenomena alam ini tetap terjadi walau tanpa atau dengan adanya maksiat”. Lalu mereka pun mempertanyakan bukti ilmiah, hasil penelitian, data statistik yang menunjukkan adanya keterkaitan antara bencana alam dengan maksiat.

Anggap saja belum pernah ada orang yang meneliti secara statistik, atau penelitian ilmiah bahwa bencana alam memiliki hubungan dengan adanya maksiat. Namun pernyataan “bencana alam tidak memiliki hubungan dengan adanya maksiat” pun merupakan sebuah hipotesa yang perlu pembuktian ilmiah. Dan untuk membuktikan hipotesa ini sendiri pun hampir tidak mungkin. Karena maksiat, kecilnya maupun besarnya, tersebar di seluruh dunia, di setiap waktu dan tempat. Hari ini saja, sudah berapa maksiat yang anda lakukan? Jawablah dengan jujur. Hampir tidak ada waktu dan tempat di dunia ini yang kosong dari maksiat. Saya, anda dan seluruh manusia tidak bisa lepas dari salah dan dosa. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

كل بني آدم خطاء وخير الخطائين التوابون

Setiap manusia itu banyak berbuat salah, dan orang terbaik di antara mereka adalah yang bertaubat” (HR. At Tirmidzi no.2687. Dihasankan Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi)

Jadi ternyata, orang yang mengatakan: “bencana alam tidak memiliki hubungan dengan adanya maksiat” hanya berlandaskan pada hipotesa yang lemah.

Jika ada hubungannya, mengapa kaum terbejat masih aman saja?

Mereka memiliki alasan lain: “andai bencana dengan maksiat ada hubungannya, mengapa tempat yang banyak maksiat, bahkan negeri kafir, banyak yang jarang terkena bencana”.

Jika anda menginginkan setiap orang yang ketika berbuat maksiat tiba-tiba disambar petir dari langit lalu mati, tentulah semua orang serta-merta akan menjadi shalih semua. Tidak akan ada lagi maksiat, tidak ada ujian keimanan, tidak ada lagi taubat, tidak ada lagi amar ma’ruf nahi mungkar, tidak akan ada lagi istilah ‘maksiat’ di dalam kamus, dan mungkin bumi ini sudah bisa disebut surga.

Inilah bagian dari misteri ilahi. Allah Ta’ala terkadang menimpakan musibah pada kaum bejat saja, sebagaimana kaum Ad dan kaum Tsamud, dikarena kebejatan mereka. Dan terkadang Allah menimpakan musibah kepada kaum yang di dalamnya terdapat orang shalih juga. Allah Ta’ala berfirman:

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Takutlah pada musibah yang tidak hanya menimpa orang zhalim di antara kalian saja. Ketahuilah bahwa Allah memiliki hukuman yang pedih” (QS. Al Anfal: 25)

عن أم سلمة زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “إذا ظهرت المعاصي في أمتي، عَمَّهم الله بعذاب من عنده” . فقلت: يا رسول الله، أما فيهم أناس صالحون؟ قال: “بلى”، قالت: فكيف يصنع أولئك؟ قال: “يصيبهم ما أصاب الناس، ثم يصيرون إلى مغفرة من الله ورضوان

Dari Ummu Salamah, istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Jika maksiat telah menyebar diantara umatku, Allah akan menurunkan adzab secara umum”. Ummu Salamah bertanya: Wahai Rasulullah, bukankah di antara mereka ada orang shalih? Rasulullah menjawab: Ya. Ummu Salamah berkata: Mengapa mereka terkena juga? Rasulullah menjawab: Mereka terkena musibah yang sama sebagaimana yang lain, namun kelak mereka mendapatkan ampunan Allah dan ridha-Nya” (HR. Ahmad no.27355. Al Haitsami berkata: “Hadits ini ada 2 jalur riwayat, salah jalurnya diriwayatkan oleh para perawi yang shahih”, Majma Az Zawaid, 7/217 )

Dan inilah sebijak-bijaknya kebijakan dari Dzat Yang Paling Bijak. Karena dari kebijakan ini ribuan bahkan jutaan hikmah yang dapat dipetik oleh manusia, diantaranya adalah kesempatan bagi pelaku maksiat untuk bertaubat dan kesempatan untuk orang shalih untuk menuai pahala dan mempertebal keimanannya.

Tempat yang banyak orang shalih pun terkena bencana

Mereka beralasan lagi: “andai bencana dengan maksiat ada hubungannya, mengapa tempat yang banyak orang shalih pun terkena bencana?”.

Ini pun salah satu misteri ilahi yang memiliki banyak hikmah. Salah satu hikmahnya adalah pentingnya dakwah dan menasehati untuk meninggalkan maksiat. Keshalihan tidak hanya dimiliki individu namun juga masyarakat. Ketika maksiat terjadi, sekecil apapun, ketika orang-orang shalih enggan menasehati dan mencegah maksiat tersebut, bukan tidak mungkin bencana akan datang. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

والذي نفسي بيده، لتأمرن بالمعروف، ولتنهون عن المنكر، أو ليوشكن الله أن يبعث عليكم عِقابا من عنده، ثم لتَدعُنّه فلا يستجيب لكم

Demi Allah, hendaknya kalian mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Atau Allah akan menimpakan hukuman kepada kalian, lalu kalian berdo’a namun tidak dikabulkan” (HR. At Tirmidzi no.2323, Ia berkata: “Hadits ini hasan”)

Korban bencana adalah ahli maksiat?

Alasan mereka yang lain lebih sosialis. Yaitu jika kita mengaitkan bencana di suatu daerah dengan maksiat yang dilakukan penduduknya, sama saja menganggap korban-korban bencana adalah para ahli maksiat.

Dan hadits tersebut di atas jelas bahwa orang yang terkena bencana, bisa jadi benar ahli maksiat, atau bisa jadi orang shalih yang ikut terkena bencana yang disebabkan maksiat. Sehingga tidak ada yang bisa memastikan seseorang termasuk yang mana kecuali Allah Ta’ala. Dan tidak ada kepentingan sama sekali bagi kita untuk mengetahui apakah para korban itu termasuk golongan ahli maksiat atau orang shalih? Namun penting bagi kita untuk menyadari bahwa bencana ini karena sebab maksiat. Karena inilah yang membuat kita tersadar, bergegas untuk menyerahkan diri kepada-Nya, bersimpuh dan bertaubat kepada-Nya.

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Ruum: 41)

Dari pada kita merasa sombong, tak merasa punya andil dalam menyebabkan bencana ini, merasa tidak berdosa dan congkak. Yang tentunya kesombongan itu akan berbalas, di dunia atau kelak di akhirat.

وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Orang yang enggan bertaubat, mereka termasuk orang-orang yang zhalim” (QS. Al Hujurat: 11)

Allahlah Rabb alam semesta

Ya memang, bencana alam ini adalah fenomena alam yang dapat dijelaskan oleh ilmu fisika atau ilmu alam. Dengan ilmu tersebut bisa diketahui penyebab fisiknya, atau mungkin bisa diramal kejadiannya dari tanda-tanda dan pola-pola yang ada. Namun ingatlah, jauh dibalik itu semua, semua yang terjadi di alam ini adalah kekuasan Allah, yang Maha Mengatur Alam Semesta. Ilmu manusia manapun tidak ada yang bisa melawan dan meramal kehendak Allah. Andai teori dan data menyatakan tidak akan terjadi bencana, jika Allah berkehendak pun tetap terjadi. Allah lah pengatur alam yang sebenarnya.

رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا الْعَزِيزُ الْغَفَّارُ

Ialah AllahRabb langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS. Shaad: 66).

Oleh karena itu sungguh sangat logis, jika ingin menghindari bencana atau menghentikan bencana kita memohon, menuruti keinginan serta menjauhi larangan dari Yang Maha Mengatur Alam yang sebenarnya.

وَهُوَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ وَلَهُ اخْتِلَافُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Dialah Allah yang menghidupkan dan mematikan, Dialah yang membolak-balikan siang dan malam, tidakkah engkau berpikir?” (QS. Al Qashas: 28 )