This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Kamis, 29 September 2022

Tidak Boleh Ihram Untuk Dua Haji

Pertanyaan. Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Seseorang mengambil upah untuk haji (3000 riyal tanpa dam), dan dia melaksanakan haji dengan sempurna. Apakah dia mendapatkan pahala haji ? Ataukah pahala haji seperti itu hanya untuk orang yang meninggal yang digantikan dan orang yang membayar ongkos haji tersebut, sedangkan orang yang menggantikan haji dengan upah tidak mendapatkan pahala ?  Sebab ada sebagian orang yang memfatwakan bahwa orang yang haji dengan upah tidak mendapatkan pahala, tapi hanya mendapatkan upah haji yang telah diambilnya. Kami ingin mengetahui yang benar dalam ketidak jelasan ini. Mohon penjelasan.  Jawaban Jika seseorang mengambil upah untuk menggantikan orang lain karena ingin mendapatkan dunia, maka dia dalam keadaan bahaya besar dan dikhawatirkan tidak diterima hajinya. Sebab dengan itu berarti dia lebih mengutamakan dunia atas akhirat. Tapi jika seseorang mengambil upah badal haji karena ingin mendapatkan apa yang di sisi Allah, memberikan kemanfaatan kepada suadaranya yang muslim dengan menggantikan hajinya, untuk bersama-sama kaum muslimin dalam mensyi’arkan haji, ingin mendapatkan pahala thawaf dan shalat di Masjidil haram, serta menghadiri majelis-majelis ilmu di tanah suci, maka dia mendapatkan keuntungan besar dan diharapakan dia mendapatkan pahala haji seperti pahala orang yang digantikannya.  MENINGGAL BELUM HAJI DAN TIDAK MEWASIATKAN  Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz  Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika seorang meninggal dan tidak mewasiatkan kepada seseorangpun untuk menggantikan hajinya, apakah kewajiban haji dapat gugur darinya jika anaknya haji untuknya .?  Baca Juga  Tidak Bermalam Di Mina Pada Hari Tasyriq Tanpa Alasan Syar'i Jawaban Jika anaknya yang Muslim menggantikan haji bapaknya dan ia sendiri telah haji maka kewajiban haji orang tuanya telah gugur darinya. Demikian pula jika yang menggantikan haji selain anaknya dan dia juga telah haji untuk dirinya sendiri. Sebab terdapat hadits dalam shahihain dari Ibnu Abbas :  أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى الرَّاحِلَةِ فَهَلْ يَقْضِي عَنْهُ أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ قَالَ نَعَم  “Bahwa seorang wanita dari suku Khats’am bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban Allah kepada hamba-hamba-Nya telah berlaku kepada ayahku yang sudah tua yang tidak mampu mengerjakan haji. Apakah aku dapat haji menggantikan dia ?”. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam berkata : ” Ya. “. [Muttafaqun ‘alaihi] Pertanyaan Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apakah sah ihram dengan dua haji atau dua umrah ? Apakah makna talbiyah, syarat-syarat dan hukumnya ?  Jawaban Tidak sah satu ihram untuk dua haji, dan tidak diperbolehkan haji kecuali hanya satu kali dalam setahun. Sebagaimana tidak sah juga niat ihram untuk dua umrah dalam satu waktu. Juga tidak boleh menjadikan satu haji untuk dua orang, sebagaimana tidak boleh menjadikan satu umrah untuk dua orang. Sebab tidak terdapat dalil yang menunjukkan demikian itu.  Adapun talbiyah adalah, jawaban atas panggilan Allah dalam firman-Nya.  وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ   “Dan serukanlah kepada manusia untuk mengerjakan haji” [Al-Haj/22 : 27]  Adapun redaksi talbiyah adalah :  لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ  “Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah dan tiada sekutu apapun bagi-Mu. Sesungguhnya puji, nikmat, dan kekuasaan hanya bagi-Mu tanpa sekutu apapun bagi-Mu”  Tidak boleh menambahkan redaksi tersebut dengan apa yang mudah kamu lakukan seperti kamu mengucapkan.  “Aku penuhi panggilan-Mu, dan bahagia memenuhi panggilan-Mu. Semua kebaikan ada di tangan-Mu, dan keburukan tidak kembali kepada-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu dengan penuh suka cita dalam menghadap kepada-Mu dan beramal. Aku penuhi panggilan-Mu, bagi-Mu dengan sepenuhnya dalam mengabdi dan merendahkan diri” [Muttafaqun ‘Alaihi]  Sedang hukum talbiyah adalah sunnah muakkad. Namun sebagian ulama mengatakan talbiyah sebagai rukun dalam haji karena talbiyah merupakan syi’ar lahiriah bagi orang yang haji dan umrah.  Adapun waktu talbiyah adalah setelah niat seiring ihram ketika di masjid. Seyogianya talbiyah dilakukan ketika naik atau turun kendaraan, ketika mendaki atau turun lembah, ketika mendengar orang yang talbiyah, ketemu kawan, sehabis shalat wajib, menjelang malam atau menjelang pagi, dan lain-lain dari perubahan keadaan. Wallahu A’lam. Pertanyaan. Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Seseorang mengambil upah untuk haji (3000 riyal tanpa dam), dan dia melaksanakan haji dengan sempurna. Apakah dia mendapatkan pahala haji ? Ataukah pahala haji seperti itu hanya untuk orang yang meninggal yang digantikan dan orang yang membayar ongkos haji tersebut, sedangkan orang yang menggantikan haji dengan upah tidak mendapatkan pahala ?  Sebab ada sebagian orang yang memfatwakan bahwa orang yang haji dengan upah tidak mendapatkan pahala, tapi hanya mendapatkan upah haji yang telah diambilnya. Kami ingin mengetahui yang benar dalam ketidak jelasan ini. Mohon penjelasan.  Jawaban Jika seseorang mengambil upah untuk menggantikan orang lain karena ingin mendapatkan dunia, maka dia dalam keadaan bahaya besar dan dikhawatirkan tidak diterima hajinya. Sebab dengan itu berarti dia lebih mengutamakan dunia atas akhirat. Tapi jika seseorang mengambil upah badal haji karena ingin mendapatkan apa yang di sisi Allah, memberikan kemanfaatan kepada suadaranya yang muslim dengan menggantikan hajinya, untuk bersama-sama kaum muslimin dalam mensyi’arkan haji, ingin mendapatkan pahala thawaf dan shalat di Masjidil haram, serta menghadiri majelis-majelis ilmu di tanah suci, maka dia mendapatkan keuntungan besar dan diharapakan dia mendapatkan pahala haji seperti pahala orang yang digantikannya.  MENINGGAL BELUM HAJI DAN TIDAK MEWASIATKAN  Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz  Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika seorang meninggal dan tidak mewasiatkan kepada seseorangpun untuk menggantikan hajinya, apakah kewajiban haji dapat gugur darinya jika anaknya haji untuknya .?  Baca Juga  Tidak Bermalam Di Mina Pada Hari Tasyriq Tanpa Alasan Syar'i Jawaban Jika anaknya yang Muslim menggantikan haji bapaknya dan ia sendiri telah haji maka kewajiban haji orang tuanya telah gugur darinya. Demikian pula jika yang menggantikan haji selain anaknya dan dia juga telah haji untuk dirinya sendiri. Sebab terdapat hadits dalam shahihain dari Ibnu Abbas :  أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى الرَّاحِلَةِ فَهَلْ يَقْضِي عَنْهُ أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ قَالَ نَعَم  “Bahwa seorang wanita dari suku Khats’am bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban Allah kepada hamba-hamba-Nya telah berlaku kepada ayahku yang sudah tua yang tidak mampu mengerjakan haji. Apakah aku dapat haji menggantikan dia ?”. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam berkata : ” Ya. “. [Muttafaqun ‘alaihi]
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apakah sah ihram dengan dua haji atau dua umrah ? Apakah makna talbiyah, syarat-syarat dan hukumnya ?

Jawaban
Tidak sah satu ihram untuk dua haji, dan tidak diperbolehkan haji kecuali hanya satu kali dalam setahun. Sebagaimana tidak sah juga niat ihram untuk dua umrah dalam satu waktu. Juga tidak boleh menjadikan satu haji untuk dua orang, sebagaimana tidak boleh menjadikan satu umrah untuk dua orang. Sebab tidak terdapat dalil yang menunjukkan demikian itu.

Adapun talbiyah adalah, jawaban atas panggilan Allah dalam firman-Nya.

وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ 

Dan serukanlah kepada manusia untuk mengerjakan haji” [Al-Haj/22 : 27]

Adapun redaksi talbiyah adalah :

لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah dan tiada sekutu apapun bagi-Mu. Sesungguhnya puji, nikmat, dan kekuasaan hanya bagi-Mu tanpa sekutu apapun bagi-Mu”

Tidak boleh menambahkan redaksi tersebut dengan apa yang mudah kamu lakukan seperti kamu mengucapkan.

“Aku penuhi panggilan-Mu, dan bahagia memenuhi panggilan-Mu. Semua kebaikan ada di tangan-Mu, dan keburukan tidak kembali kepada-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu dengan penuh suka cita dalam menghadap kepada-Mu dan beramal. Aku penuhi panggilan-Mu, bagi-Mu dengan sepenuhnya dalam mengabdi dan merendahkan diri” [Muttafaqun ‘Alaihi]

Sedang hukum talbiyah adalah sunnah muakkad. Namun sebagian ulama mengatakan talbiyah sebagai rukun dalam haji karena talbiyah merupakan syi’ar lahiriah bagi orang yang haji dan umrah.

Adapun waktu talbiyah adalah setelah niat seiring ihram ketika di masjid. Seyogianya talbiyah dilakukan ketika naik atau turun kendaraan, ketika mendaki atau turun lembah, ketika mendengar orang yang talbiyah, ketemu kawan, sehabis shalat wajib, menjelang malam atau menjelang pagi, dan lain-lain dari perubahan keadaan. Wallahu A’lam.

Shalat Dua Rakaat Ihram Bukan Syarat Sahnya Ihram

Pertanyaan  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah sah ihram haji atau ihram umrah dengan tanpa melaksanakan shalat dua rakaat ihram ? Dan apakah mengucapkan niat ihram juga sebagai syarat sahnya ihram ?    Jawaban  Shalat sebelum ihram bukan sebagai syarat sahnya ihram, tapi hukumnya sunnah menurut mayoritas ulama. Adapun caranya adalah dengan wudhu dan shalat dua rakaat kemudian niat dalam hati apa yang ingin dilakukan dari haji atau umrah dan melafazkan hal tersebut dengan mengucapkan, “Labbaik Allahuma umratan ” jika untuk umrah saja, atau “Labbaik Allahumma hajjatan ” jika ingin haji saja, atau “Labbaykallumma hajjan wa ‘umratan ” jika ingin melaksanakan haji dan umrah sekaligus (haji qiran) seperti dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dana para sahabatnya, semoga Allah meridhai mereka. Namun niat seperti tersebut tidak harus dilafazkan dalam bentuk ucapan, bahkan cukup dalam hati, kemudian membaca talbiyah. ” Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, dengan tanpa menyekutukan apa pun kepada-Mu. Sungguh puji, nikmat, dan kekuasaan hanya bagi-Mu tanpa sekutu apapun bagi-Mu”.    Talbiyah ini adalah talbiyah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti disebutkan dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim serta kitab-kitab hadits lain.    Sebagai dalil jumhur ulama bahwa shalat dua raka’at hukumnya sunnah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ihram setelah shalat, maksudnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Dzhuhur kemudian ihram dalam haji wada’ dan beliau berkata : “Datang kepadaku seseorang (malaikat) dari Rabbku dan berkata, “Shalatlah kamu di lembah yang diberkati ini dan katakan : ‘Umrah dalam haji'”. Jumhur ulama mengakatan bahwa hadits ini menunjukkan disyari’atkannya shalat dua rakaat dalam ihram.    Tapi sebagian ulama mengatakan, bahwa dalam hadits tidak terdapat nash (teks) yang menunjukkan diperintahkannya shalat dua rakaat ihram. Sebab redaksi : “Datang kepadaku seseorang (malaikat) dari Rabbku dan berkata, “Shalatlah kamu di lembah yang diberkati ini” boleh jadi bahwa yang dimaksud adalah shalat wajib lima waktu dan bukan nash tentang shalat dua rakaat ihram. Sedangkan keberadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ihram setelah shalat wajib adalah tidak menunjukkan bahwa jika seseorang ihram umrah atau ihram haji setelah shalat adalah lebih utama jika dia dapat melakukan hal tersebut.

Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah sah ihram haji atau ihram umrah dengan tanpa melaksanakan shalat dua rakaat ihram ? Dan apakah mengucapkan niat ihram juga sebagai syarat sahnya ihram ?


Jawaban

Shalat sebelum ihram bukan sebagai syarat sahnya ihram, tapi hukumnya sunnah menurut mayoritas ulama. Adapun caranya adalah dengan wudhu dan shalat dua rakaat kemudian niat dalam hati apa yang ingin dilakukan dari haji atau umrah dan melafazkan hal tersebut dengan mengucapkan, “Labbaik Allahuma umratan ” jika untuk umrah saja, atau “Labbaik Allahumma hajjatan ” jika ingin haji saja, atau “Labbaykallumma hajjan wa ‘umratan ” jika ingin melaksanakan haji dan umrah sekaligus (haji qiran) seperti dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dana para sahabatnya, semoga Allah meridhai mereka. Namun niat seperti tersebut tidak harus dilafazkan dalam bentuk ucapan, bahkan cukup dalam hati, kemudian membaca talbiyah. ” Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, dengan tanpa menyekutukan apa pun kepada-Mu. Sungguh puji, nikmat, dan kekuasaan hanya bagi-Mu tanpa sekutu apapun bagi-Mu”.


Talbiyah ini adalah talbiyah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti disebutkan dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim serta kitab-kitab hadits lain.


Sebagai dalil jumhur ulama bahwa shalat dua raka’at hukumnya sunnah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ihram setelah shalat, maksudnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Dzhuhur kemudian ihram dalam haji wada’ dan beliau berkata : “Datang kepadaku seseorang (malaikat) dari Rabbku dan berkata, “Shalatlah kamu di lembah yang diberkati ini dan katakan : ‘Umrah dalam haji'”. Jumhur ulama mengakatan bahwa hadits ini menunjukkan disyari’atkannya shalat dua rakaat dalam ihram.


Tapi sebagian ulama mengatakan, bahwa dalam hadits tidak terdapat nash (teks) yang menunjukkan diperintahkannya shalat dua rakaat ihram. Sebab redaksi : “Datang kepadaku seseorang (malaikat) dari Rabbku dan berkata, “Shalatlah kamu di lembah yang diberkati ini” boleh jadi bahwa yang dimaksud adalah shalat wajib lima waktu dan bukan nash tentang shalat dua rakaat ihram. Sedangkan keberadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ihram setelah shalat wajib adalah tidak menunjukkan bahwa jika seseorang ihram umrah atau ihram haji setelah shalat adalah lebih utama jika dia dapat melakukan hal tersebut.

Ragu Dalam Putaran Thawaf yang Telah Dilakukan

Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah sah ihram haji atau ihram umrah dengan tanpa melaksanakan shalat dua rakaat ihram ? Dan apakah mengucapkan niat ihram juga sebagai syarat sahnya ihram ?  Jawaban Shalat sebelum ihram bukan sebagai syarat sahnya ihram, tapi hukumnya sunnah menurut mayoritas ulama. Adapun caranya adalah dengan wudhu dan shalat dua rakaat kemudian niat dalam hati apa yang ingin dilakukan dari haji atau umrah dan melafazkan hal tersebut dengan mengucapkan, “Labbaik Allahuma umratan ” jika untuk umrah saja, atau “Labbaik Allahumma hajjatan ” jika ingin haji saja, atau “Labbaykallumma hajjan wa ‘umratan ” jika ingin melaksanakan haji dan umrah sekaligus (haji qiran) seperti dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dana para sahabatnya, semoga Allah meridhai mereka. Namun niat seperti tersebut tidak harus dilafazkan dalam bentuk ucapan, bahkan cukup dalam hati, kemudian membaca talbiyah. ” Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, dengan tanpa menyekutukan apa pun kepada-Mu. Sungguh puji, nikmat, dan kekuasaan hanya bagi-Mu tanpa sekutu apapun bagi-Mu”.  Talbiyah ini adalah talbiyah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti disebutkan dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim serta kitab-kitab hadits lain.  Sebagai dalil jumhur ulama bahwa shalat dua raka’at hukumnya sunnah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ihram setelah shalat, maksudnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Dzhuhur kemudian ihram dalam haji wada’ dan beliau berkata : “Datang kepadaku seseorang (malaikat) dari Rabbku dan berkata, “Shalatlah kamu di lembah yang diberkati ini dan katakan : ‘Umrah dalam haji'”. Jumhur ulama mengakatan bahwa hadits ini menunjukkan disyari’atkannya shalat dua rakaat dalam ihram.  Baca Juga  Tidak Boleh Ihram Untuk Dua Haji Tapi sebagian ulama mengatakan, bahwa dalam hadits tidak terdapat nash (teks) yang menunjukkan diperintahkannya shalat dua rakaat ihram. Sebab redaksi : “Datang kepadaku seseorang (malaikat) dari Rabbku dan berkata, “Shalatlah kamu di lembah yang diberkati ini” boleh jadi bahwa yang dimaksud adalah shalat wajib lima waktu dan bukan nash tentang shalat dua rakaat ihram. Sedangkan keberadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ihram setelah shalat wajib adalah tidak menunjukkan bahwa jika seseorang ihram umrah atau ihram haji setelah shalat adalah lebih utama jika dia dapat melakukan hal tersebut. Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Pada bulan Ramadhan yang lalu saya melaksanakan umrah, tapi ketika pada akhir thawaf saya ragu dalam hitungan putaran, apakah enam atau tujuh. Dan karena takut kurang dalam hitungan putaran thawaf dan untuk memutuskan keraguan maka saya thawaf dengan menambahkan satu putaran. Saya tidak mengerti, apakah yang saya lakukan itu benar atau tidak ? Dan apakah saya wajib melakukan sesuatu dalam hal tersebut .? Jawaban Sungguh bagus apa yang kamu lakukan. dan demikian itu adalah yang wajib bagi kamu lakukan. Sebab yang wajib bagi orang yang ragu dalam hitungan putaran thawaf dan sa’i adalah berpedoman kepada yang diyakininya, yaitu mengambil yang sedikit. Seperti orang yang ragu dalam shalat, apakah dia telah shalat tiga raka’at ataukah empat rakaat, maka dia harus menetapkan kepada yang yakin, yaitu mengambil yang sedikit, lalu dia melakukan raka’at yang keempat, dan dia sujud sahwi jika dia menjadi imam atau sendirian. Adapun jika dia makmum maka dia mengikuti imamnya. Demikian juga dalam thawaf. Jika seseorang ragu dalam thawafnya, apakah dia telah thawaf enam atau tujuh putaran, maka dia menetapkan kepada yang yakin, yaitu mengambil yang sedikit, lalu dia melaksanakan putaran thawaf ke tujuh. Dan untuk itu dia tidak terkena kafarat. HUKUM DAN TEMPAT SHALAT DUA RAKAAT THAWAF Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah shalat dua rakaat thawaf di belakang maqam Ibrahim merupakan keharusan bagi setiap orang yang thawaf ? Dan apa hukum orang yang lupa melakukannya .? Jawaban Shalat dua rakaat setelah thawaf tidak harus dilakukan di belakang maqam Ibrahim, tapi dapat dilakukan di tempat mana saja di Masjidil Haram. Bagi orang yang lupa melakukannya, maka tidak berdosa karenanya. Sebab shalat dua raka’at setelah thawaf hukmnya sunnah, dan bukan wajib.TIDAK MAMPU MELAKSANAKAN THAWAF QUDUM Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Seseorang tidak mampu thawaf qudum karena dia sampai di Mekkah pada waktu ashar hari Arafah. Apakah dia langsung pergi ke Arafah tanpa harus melewati Masjidil Haram ? Dan apa yang haris dilakukan jika hal itu terjadi .? Jawaban Dia memilih salah satu dari dua hal : Pertama, masuk ke Masjidil Haram untuk thawaf dan sa’i. Lalu dengan tetap dalam ihram, dia pergi ke Arafah untuk wukuf walaupun pada malam hari. Kemudian dia pergi ke Muzdalifah untuk mabit di sana. Kedua, dia langsung ke Arafah dan wukuf hingga maghrib, lalu pergi bersama manusia ke Muzdalifah dan shalat maghrib dan isya dengan jama’ ketika di Muzdalifah dan bermalam di Muzdalifah. Kemudian setelah itu dia thawaf dan sa’i pada hari ‘Idul Adha atau setelahnya. Untuk itu dia tidak harus membayar dam jika dia ihram untuk haji saja (haji ifrad). Adapun jika dia ihram untuk haji dan umrah sekaligus (haji qiran atau haji tamattu) maka dia harus membayar dam, yaitu sepertujuh unta, atau sepertujuh sapi, atau satu kambing yang disembelih di Mina atau di Mekkah, dan dia makan sebagian darinya dan sebagian disedekahkan kepada fakir miskin berdasarkan firman Allah. لِّيَشْهَدُوْا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْلُوْمٰتٍ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۚ فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْبَاۤىِٕسَ الْفَقِيْرَ “Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan atau rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak, Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi miskin”. [Al-Hajj/22 : 28] MENINGGAL DUNIA SEBELUM THAWAF IFADHAHPertanyaan Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Seseorang telah melaksanakan amal-amal haji selain thawaf ifadhah lalu dia meninggal, apakah thawafnya digantikan oleh orang lain ataukah tidak ? Jawaban Orang yang telah melaksanakan amal-amal haji selain thawaf ifadhah kemudian meninggal sebelum thawaf ifadhah, maka thawafnya tidak digantikan. Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu berkata : “Artinya : Ketika seseorang wukuf bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba dia jatuh dari untanya, maka dia meninggal. Lalu hal itu dilaporkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda : “Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, dan kafankanlah dia dengan dua baju ihramnya, jangan kamu berikan parfum dan jangan kamu tutup kepalanya. Sebab Allah akan membangkitkan dia pada hari kiamat dalam keadaan berihram” [Hadits Riwayat Bukhari, Muslim dan Ahlus Sunnan] Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk menggantikan thawafnya, bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan berihram karena dia masih dalam ihram sedangkan dia belum thawaf dan juga tidak digantikan thawafnya. MENGAKHIRKAN SA’I DARI THAWAF IFADHAH Oleh Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta Pertanyaan Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Apa hukum orang yang telah thawaf ifadhah dan belum sa’i hingga matahari terbenam pada akhir hari tasyriq ? Dan apa hukum sa’i jika dilakukan setelah matahari terbenam pada hari pelaksanaan dan setelah hari-hari tasyriq ? Jawaban Sa’i yang dilakukan pada akhir hari tasyriq atau setelah hari-hari tasyriq adalah sah hukumnya dan tidak dosa karena mengakhirkannya. Sebab syarat sahnya sa’i tidak harus dilakukan bersambung dengan thawaf ifadhah, tapi sebaiknya sa’i dilakukan langsung setelah thawaf ifadhah karena mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah sah ihram haji atau ihram umrah dengan tanpa melaksanakan shalat dua rakaat ihram ? Dan apakah mengucapkan niat ihram juga sebagai syarat sahnya ihram ?  Jawaban Shalat sebelum ihram bukan sebagai syarat sahnya ihram, tapi hukumnya sunnah menurut mayoritas ulama. Adapun caranya adalah dengan wudhu dan shalat dua rakaat kemudian niat dalam hati apa yang ingin dilakukan dari haji atau umrah dan melafazkan hal tersebut dengan mengucapkan, “Labbaik Allahuma umratan ” jika untuk umrah saja, atau “Labbaik Allahumma hajjatan ” jika ingin haji saja, atau “Labbaykallumma hajjan wa ‘umratan ” jika ingin melaksanakan haji dan umrah sekaligus (haji qiran) seperti dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dana para sahabatnya, semoga Allah meridhai mereka. Namun niat seperti tersebut tidak harus dilafazkan dalam bentuk ucapan, bahkan cukup dalam hati, kemudian membaca talbiyah. ” Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, dengan tanpa menyekutukan apa pun kepada-Mu. Sungguh puji, nikmat, dan kekuasaan hanya bagi-Mu tanpa sekutu apapun bagi-Mu”.  Talbiyah ini adalah talbiyah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti disebutkan dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim serta kitab-kitab hadits lain.  Sebagai dalil jumhur ulama bahwa shalat dua raka’at hukumnya sunnah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ihram setelah shalat, maksudnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Dzhuhur kemudian ihram dalam haji wada’ dan beliau berkata : “Datang kepadaku seseorang (malaikat) dari Rabbku dan berkata, “Shalatlah kamu di lembah yang diberkati ini dan katakan : ‘Umrah dalam haji'”. Jumhur ulama mengakatan bahwa hadits ini menunjukkan disyari’atkannya shalat dua rakaat dalam ihram.  Baca Juga  Tidak Boleh Ihram Untuk Dua Haji Tapi sebagian ulama mengatakan, bahwa dalam hadits tidak terdapat nash (teks) yang menunjukkan diperintahkannya shalat dua rakaat ihram. Sebab redaksi : “Datang kepadaku seseorang (malaikat) dari Rabbku dan berkata, “Shalatlah kamu di lembah yang diberkati ini” boleh jadi bahwa yang dimaksud adalah shalat wajib lima waktu dan bukan nash tentang shalat dua rakaat ihram. Sedangkan keberadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ihram setelah shalat wajib adalah tidak menunjukkan bahwa jika seseorang ihram umrah atau ihram haji setelah shalat adalah lebih utama jika dia dapat melakukan hal tersebut.

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Pada bulan Ramadhan yang lalu saya melaksanakan umrah, tapi ketika pada akhir thawaf saya ragu dalam hitungan putaran, apakah enam atau tujuh. Dan karena takut kurang dalam hitungan putaran thawaf dan untuk memutuskan keraguan maka saya thawaf dengan menambahkan satu putaran. Saya tidak mengerti, apakah yang saya lakukan itu benar atau tidak ? Dan apakah saya wajib melakukan sesuatu dalam hal tersebut .?
Jawaban
Sungguh bagus apa yang kamu lakukan. dan demikian itu adalah yang wajib bagi kamu lakukan. Sebab yang wajib bagi orang yang ragu dalam hitungan putaran thawaf dan sa’i adalah berpedoman kepada yang diyakininya, yaitu mengambil yang sedikit. Seperti orang yang ragu dalam shalat, apakah dia telah shalat tiga raka’at ataukah empat rakaat, maka dia harus menetapkan kepada yang yakin, yaitu mengambil yang sedikit, lalu dia melakukan raka’at yang keempat, dan dia sujud sahwi jika dia menjadi imam atau sendirian. Adapun jika dia makmum maka dia mengikuti imamnya. Demikian juga dalam thawaf. Jika seseorang ragu dalam thawafnya, apakah dia telah thawaf enam atau tujuh putaran, maka dia menetapkan kepada yang yakin, yaitu mengambil yang sedikit, lalu dia melaksanakan putaran thawaf ke tujuh. Dan untuk itu dia tidak terkena kafarat.
HUKUM DAN TEMPAT SHALAT DUA RAKAAT THAWAF
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah shalat dua rakaat thawaf di belakang maqam Ibrahim merupakan keharusan bagi setiap orang yang thawaf ? Dan apa hukum orang yang lupa melakukannya .?
Jawaban
Shalat dua rakaat setelah thawaf tidak harus dilakukan di belakang maqam Ibrahim, tapi dapat dilakukan di tempat mana saja di Masjidil Haram. Bagi orang yang lupa melakukannya, maka tidak berdosa karenanya. Sebab shalat dua raka’at setelah thawaf hukmnya sunnah, dan bukan wajib.TIDAK MAMPU MELAKSANAKAN THAWAF QUDUM
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Seseorang tidak mampu thawaf qudum karena dia sampai di Mekkah pada waktu ashar hari Arafah. Apakah dia langsung pergi ke Arafah tanpa harus melewati Masjidil Haram ? Dan apa yang haris dilakukan jika hal itu terjadi .?
Jawaban
Dia memilih salah satu dari dua hal :
Pertama, masuk ke Masjidil Haram untuk thawaf dan sa’i. Lalu dengan tetap dalam ihram, dia pergi ke Arafah untuk wukuf walaupun pada malam hari. Kemudian dia pergi ke Muzdalifah untuk mabit di sana.
Kedua, dia langsung ke Arafah dan wukuf hingga maghrib, lalu pergi bersama manusia ke Muzdalifah dan shalat maghrib dan isya dengan jama’ ketika di Muzdalifah dan bermalam di Muzdalifah. Kemudian setelah itu dia thawaf dan sa’i pada hari ‘Idul Adha atau setelahnya. Untuk itu dia tidak harus membayar dam jika dia ihram untuk haji saja (haji ifrad). Adapun jika dia ihram untuk haji dan umrah sekaligus (haji qiran atau haji tamattu) maka dia harus membayar dam, yaitu sepertujuh unta, atau sepertujuh sapi, atau satu kambing yang disembelih di Mina atau di Mekkah, dan dia makan sebagian darinya dan sebagian disedekahkan kepada fakir miskin berdasarkan firman Allah.
لِّيَشْهَدُوْا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْلُوْمٰتٍ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۚ فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْبَاۤىِٕسَ الْفَقِيْرَ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan atau rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak, Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi miskin”. [Al-Hajj/22 : 28]
MENINGGAL DUNIA SEBELUM THAWAF IFADHAHPertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Seseorang telah melaksanakan amal-amal haji selain thawaf ifadhah lalu dia meninggal, apakah thawafnya digantikan oleh orang lain ataukah tidak ?
Jawaban
Orang yang telah melaksanakan amal-amal haji selain thawaf ifadhah kemudian meninggal sebelum thawaf ifadhah, maka thawafnya tidak digantikan. Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu berkata :
“Artinya : Ketika seseorang wukuf bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba dia jatuh dari untanya, maka dia meninggal. Lalu hal itu dilaporkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda : “Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, dan kafankanlah dia dengan dua baju ihramnya, jangan kamu berikan parfum dan jangan kamu tutup kepalanya. Sebab Allah akan membangkitkan dia pada hari kiamat dalam keadaan berihram” [Hadits Riwayat Bukhari, Muslim dan Ahlus Sunnan]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk menggantikan thawafnya, bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan berihram karena dia masih dalam ihram sedangkan dia belum thawaf dan juga tidak digantikan thawafnya.
MENGAKHIRKAN SA’I DARI THAWAF IFADHAH
Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Apa hukum orang yang telah thawaf ifadhah dan belum sa’i hingga matahari terbenam pada akhir hari tasyriq ? Dan apa hukum sa’i jika dilakukan setelah matahari terbenam pada hari pelaksanaan dan setelah hari-hari tasyriq ?
Jawaban
Sa’i yang dilakukan pada akhir hari tasyriq atau setelah hari-hari tasyriq adalah sah hukumnya dan tidak dosa karena mengakhirkannya. Sebab syarat sahnya sa’i tidak harus dilakukan bersambung dengan thawaf ifadhah, tapi sebaiknya sa’i dilakukan langsung setelah thawaf ifadhah karena mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Hukum dan Waktu Mabit Di Muzdalifah

Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Pada bulan Ramadhan yang lalu saya melaksanakan umrah, tapi ketika pada akhir thawaf saya ragu dalam hitungan putaran, apakah enam atau tujuh. Dan karena takut kurang dalam hitungan putaran thawaf dan untuk memutuskan keraguan maka saya thawaf dengan menambahkan satu putaran. Saya tidak mengerti, apakah yang saya lakukan itu benar atau tidak ? Dan apakah saya wajib melakukan sesuatu dalam hal tersebut .?  Jawaban Sungguh bagus apa yang kamu lakukan. dan demikian itu adalah yang wajib bagi kamu lakukan. Sebab yang wajib bagi orang yang ragu dalam hitungan putaran thawaf dan sa’i adalah berpedoman kepada yang diyakininya, yaitu mengambil yang sedikit. Seperti orang yang ragu dalam shalat, apakah dia telah shalat tiga raka’at ataukah empat rakaat, maka dia harus menetapkan kepada yang yakin, yaitu mengambil yang sedikit, lalu dia melakukan raka’at yang keempat, dan dia sujud sahwi jika dia menjadi imam atau sendirian. Adapun jika dia makmum maka dia mengikuti imamnya. Demikian juga dalam thawaf. Jika seseorang ragu dalam thawafnya, apakah dia telah thawaf enam atau tujuh putaran, maka dia menetapkan kepada yang yakin, yaitu mengambil yang sedikit, lalu dia melaksanakan putaran thawaf ke tujuh. Dan untuk itu dia tidak terkena kafarat.  HUKUM DAN TEMPAT SHALAT DUA RAKAAT THAWAF  Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz  Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah shalat dua rakaat thawaf di belakang maqam Ibrahim merupakan keharusan bagi setiap orang yang thawaf ? Dan apa hukum orang yang lupa melakukannya .?  Jawaban Shalat dua rakaat setelah thawaf tidak harus dilakukan di belakang maqam Ibrahim, tapi dapat dilakukan di tempat mana saja di Masjidil Haram. Bagi orang yang lupa melakukannya, maka tidak berdosa karenanya. Sebab shalat dua raka’at setelah thawaf hukmnya sunnah, dan bukan wajib. Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum mabit di Muzdalifah, berapa lama waktunya, dan kapan orang yang haji bertolak darinya ? Jawaban Menurut pendapat yang shahih, mabit di Muzdalifah adalah wajib. Tapi sebagian ulama mengatakan mabit di Muzdalifah sebagai rukun haji, dan sebagian lain mengatakan sunnah. Adapun yang benar dari pendapat tersebut, bahwa mabit di Muzdalifah adalah wajib. Maka siapa saja yang meninggalkannya wajib membayar dam. Adapun yang sunnah dalam mabit di Muzdalifah adalah tidak meninggalkan Muzdalifah melainkan setelah shalat Subuh dan setelah langit menguning sebelum matahari terbit. Di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat shubuh di Muzdalifah dan berdzikir setelah shalat, lalu setelah langit menguning beliau bertolak manuju ke Mina dengan bertalbiyah. Tetapi bagi orang-orang yang lemah, seperti wanita dan orang-orang tua, diperbolehkan meninggalkan Muzdalifah pada tengah malam kedua. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada mereka untuk hal tersebut. Adapun orang-orang yang kuat, maka yang sunnah bagi mereka adalah tetap di Muzdalifah hingga shalat shubuh dan banyak dzikir setelah shalat kemudian kemudian bertolak menuju Mina sebelum matahari terbit. Ketika berdo’a di Muzdalifah disunnahkan mengangkat kedua tangan seraya menghadap kiblat seperti ketika di Arafah. Dan bahwa kawasan Muzdalifah adalah tempat mabit. TIDAK MABIT DI MUZDALIFAH DAN HANYA MELINTASINYA Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bagaimana pedoman dalam mabit di Muzdalifah ? Dan apa hukum bagi orang yang berhalangan mabit di Muzdalifah dan hanya melintasinya ? Jawaban Wajib atas orang yang haji mabit di Muzdalifah hingga tengah malam. Dan jika seorang menyempurnakan mabit sampai shalat shubuh dan banyak dzikir serta istighfar setelah shalat hingga langit ke kuning-kuningan adalah lebih utama. Dan bagi orang-orang yang lemah, seperti kaum wanita, orang-orang tua dan yang seperti mereka, boleh meninggalkan Muzdalifah setelah lewat tengah malam. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada orang-orang yang lemah dari keluarga beliau dalam hal tersebut. Sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam di Muzdalifah dan shalat shubuh di sana dengan membaca dzikir, tahlil (la ilaha illallah) dan istighfar (astagfirullah) setelah shalat. Lalu ketika langit telah sangat menguning, beliau bertolak ke Mina. Maka yang paling sempurna bagi orang-orang yang haji adalah meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal tersebut. Namun bagi orang-orang yang lemah diperbolehkan meninggalkan Muzdalifah sebelum shubuh seperti telah disebutkan. Baca Juga  Tentara Menunaikan Haji Tanpa Seizin Komandannya Adapun bagi orang yang meninggalkan mabit di Muzdailifah tanpa alasan syar’i, maka dia wajib membayar dam (menyembelih kurban) karena melanggar sunnah dan perkataan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu. “Barangsiapa meninggalkan satu ibadah (dalam haji) atau lupa darinya, maka dia harus menyembelih kurban” [Hadits Riwayat Malik] Tidak diragukan bahwa mabit di Muzdalifah adalah ibadah besar dalam haji hingga sebagian ulama mengatakan sebagai rukun haji, meskipun ada yang mengatakan sunnah. Tetapi pendapat yang paling tengah, bahwa mabit di Muzdalifah wajib dalam haji dimana yang meninggalkannya wajib membayar dam disertai taubat dan mohon ampunan kepada Allah bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i. TIDAK MABIT DI MUZDALIFAH KARENA MACET Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kita melihat saat sekarang ini bila berangkat dari Arafah ke Muzdalifah, maka akan ada kemacetan besar di mana orang yang haji sampai ke Muzdalifah tidak mampu mabit di sana dan mendapat kesulitan dalam hal tersebut. Apakah boleh meninggalkan mabit di Muzdalifah dan adakah sangsi bagi orang yang meninggalkannya ? Apakah shalat Maghrib dan Isya mencukupi dari wukuf dan mabit di Muzdalifah, di mana orang yang haji shalat maghrib dan isya di Muzdalifah kemudian langsung ke Mina ? Dan apakah sah wukuf di Muzdalifah dengan cara seperti itu ? Mohon penjelasan tentang hal tersebut beserta dalilnya. Jawaban Mabit di Muzdalifah adalah kewajiban dari beberapa kewajiban dalam haji karena mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mabit dan shalat Shubuh di Muzdalifah lalu berdzikir setelah shalat hingga langit kekuning-kuningan, dan beliau bersabda : “Ambillah manasikmu dariku”. Maka orang yang haji tidak dinilai telah melaksanakan kewajiban ini jika dia shalat Maghrib dan Isya di Muzdalifah dengan jama’ kemudian meninggalkan Muzdalifah. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan keringanan meninggalkannya melainkan kepada orang-orang yang kemah setelah tengah malam. Baca Juga  Ibadah Haji Dengan Passport Palsu Dan jika seseorang tidak mabit di Muzdalifah, maka dia wajib membayar dam karena meninggalkan kewajiban. Dan telah maklum bahwa diantara ulama terdapat perbedaan pendapat tentang hukum mabit di Muzdalifah, ada yang mengatakan rukun, ada yang mengatakan wajib, dan juga ada yang mengatakan sunnah. Tapi yang terkuat dari beberapa pendapat tersebut adalah, bahwa mabit wajib dalam haji, dan bagi orang yang meninggalkannya wajib menyembelih kurban dan hajinya sah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dan bahwa mabit di Muzdalifah tidak diberikan keringanan untuk meninggalkannya sampai tengah malam bagian kedua melainkan kepada orang-orang yang lemah. Adapun orang-orang yang kuat maka yang sunnah bagi mereka adalah tetap di Muzdalifah hingga shalat Shubuh dan memperbanyak dzikir serta berdo’a kepada Allah setelah shalat hingga langit kekuning-kuningan kemudian bertolak ke Mina sebelum terbit matahari karena mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa yang tidak mampu sampai di Muzdalifah melainkan sehabis tengah malam dari orang-orang yang lemah, maka cukup bagi mereka muqim di Muzdalifah pada sebagian waktu kemudian meninggalkan Muzdalifah karena mengambil rukhsah (dispensasi). Dan Allah adalah yang memberikan pertolongan kepada kebaikan. HUKUM MENINGGALKAN MABIT DI MUZDALIFAH Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah hukum bagi orang yang haji meninggalkan mabit di Muzdalifah pada malam idul Adha ? Jawaban Mabit di Muzdalifah adalah wajib, tapi diberikan keringanan bagi orang-orang yang lemah untuk meninggalkan Muzdalifah pada akhir malam. Adapun meninggalkannya karena sengaja maka dosa hukumnya dan harus membayar fidyah menurut jumhur ulama. Tapi jika karena tidak tahu maka hanya wajib membayar fidyah saja. Sedangkan bagi orang yang tidak mampu, maka mabit di Muzdalifah menjadi gugur sebagaimana kewajiban-kewajiban yang lain. Tapi bagi orang yang mendapatkan shalat shubuh pada awal waktu dan tetap di Muzdalifah setelah shalat dengan membaca dzikir dan do’a kemudian bertolak ke Mina maka demikian itu telah cukup baginya. Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Pada bulan Ramadhan yang lalu saya melaksanakan umrah, tapi ketika pada akhir thawaf saya ragu dalam hitungan putaran, apakah enam atau tujuh. Dan karena takut kurang dalam hitungan putaran thawaf dan untuk memutuskan keraguan maka saya thawaf dengan menambahkan satu putaran. Saya tidak mengerti, apakah yang saya lakukan itu benar atau tidak ? Dan apakah saya wajib melakukan sesuatu dalam hal tersebut .?  Jawaban Sungguh bagus apa yang kamu lakukan. dan demikian itu adalah yang wajib bagi kamu lakukan. Sebab yang wajib bagi orang yang ragu dalam hitungan putaran thawaf dan sa’i adalah berpedoman kepada yang diyakininya, yaitu mengambil yang sedikit. Seperti orang yang ragu dalam shalat, apakah dia telah shalat tiga raka’at ataukah empat rakaat, maka dia harus menetapkan kepada yang yakin, yaitu mengambil yang sedikit, lalu dia melakukan raka’at yang keempat, dan dia sujud sahwi jika dia menjadi imam atau sendirian. Adapun jika dia makmum maka dia mengikuti imamnya. Demikian juga dalam thawaf. Jika seseorang ragu dalam thawafnya, apakah dia telah thawaf enam atau tujuh putaran, maka dia menetapkan kepada yang yakin, yaitu mengambil yang sedikit, lalu dia melaksanakan putaran thawaf ke tujuh. Dan untuk itu dia tidak terkena kafarat.  HUKUM DAN TEMPAT SHALAT DUA RAKAAT THAWAF  Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz  Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah shalat dua rakaat thawaf di belakang maqam Ibrahim merupakan keharusan bagi setiap orang yang thawaf ? Dan apa hukum orang yang lupa melakukannya .?  Jawaban Shalat dua rakaat setelah thawaf tidak harus dilakukan di belakang maqam Ibrahim, tapi dapat dilakukan di tempat mana saja di Masjidil Haram. Bagi orang yang lupa melakukannya, maka tidak berdosa karenanya. Sebab shalat dua raka’at setelah thawaf hukmnya sunnah, dan bukan wajib.

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum mabit di Muzdalifah, berapa lama waktunya, dan kapan orang yang haji bertolak darinya ?
Jawaban
Menurut pendapat yang shahih, mabit di Muzdalifah adalah wajib. Tapi sebagian ulama mengatakan mabit di Muzdalifah sebagai rukun haji, dan sebagian lain mengatakan sunnah. Adapun yang benar dari pendapat tersebut, bahwa mabit di Muzdalifah adalah wajib. Maka siapa saja yang meninggalkannya wajib membayar dam.
Adapun yang sunnah dalam mabit di Muzdalifah adalah tidak meninggalkan Muzdalifah melainkan setelah shalat Subuh dan setelah langit menguning sebelum matahari terbit. Di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat shubuh di Muzdalifah dan berdzikir setelah shalat, lalu setelah langit menguning beliau bertolak manuju ke Mina dengan bertalbiyah.
Tetapi bagi orang-orang yang lemah, seperti wanita dan orang-orang tua, diperbolehkan meninggalkan Muzdalifah pada tengah malam kedua. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada mereka untuk hal tersebut. Adapun orang-orang yang kuat, maka yang sunnah bagi mereka adalah tetap di Muzdalifah hingga shalat shubuh dan banyak dzikir setelah shalat kemudian kemudian bertolak menuju Mina sebelum matahari terbit. Ketika berdo’a di Muzdalifah disunnahkan mengangkat kedua tangan seraya menghadap kiblat seperti ketika di Arafah. Dan bahwa kawasan Muzdalifah adalah tempat mabit.
TIDAK MABIT DI MUZDALIFAH DAN HANYA MELINTASINYA
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bagaimana pedoman dalam mabit di Muzdalifah ? Dan apa hukum bagi orang yang berhalangan mabit di Muzdalifah dan hanya melintasinya ?
Jawaban
Wajib atas orang yang haji mabit di Muzdalifah hingga tengah malam. Dan jika seorang menyempurnakan mabit sampai shalat shubuh dan banyak dzikir serta istighfar setelah shalat hingga langit ke kuning-kuningan adalah lebih utama. Dan bagi orang-orang yang lemah, seperti kaum wanita, orang-orang tua dan yang seperti mereka, boleh meninggalkan Muzdalifah setelah lewat tengah malam. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada orang-orang yang lemah dari keluarga beliau dalam hal tersebut. Sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam di Muzdalifah dan shalat shubuh di sana dengan membaca dzikir, tahlil (la ilaha illallah) dan istighfar (astagfirullah) setelah shalat. Lalu ketika langit telah sangat menguning, beliau bertolak ke Mina. Maka yang paling sempurna bagi orang-orang yang haji adalah meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal tersebut. Namun bagi orang-orang yang lemah diperbolehkan meninggalkan Muzdalifah sebelum shubuh seperti telah disebutkan.
Baca Juga  Tentara Menunaikan Haji Tanpa Seizin Komandannya
Adapun bagi orang yang meninggalkan mabit di Muzdailifah tanpa alasan syar’i, maka dia wajib membayar dam (menyembelih kurban) karena melanggar sunnah dan perkataan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu.
“Barangsiapa meninggalkan satu ibadah (dalam haji) atau lupa darinya, maka dia harus menyembelih kurban” [Hadits Riwayat Malik]
Tidak diragukan bahwa mabit di Muzdalifah adalah ibadah besar dalam haji hingga sebagian ulama mengatakan sebagai rukun haji, meskipun ada yang mengatakan sunnah. Tetapi pendapat yang paling tengah, bahwa mabit di Muzdalifah wajib dalam haji dimana yang meninggalkannya wajib membayar dam disertai taubat dan mohon ampunan kepada Allah bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i.
TIDAK MABIT DI MUZDALIFAH KARENA MACET
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kita melihat saat sekarang ini bila berangkat dari Arafah ke Muzdalifah, maka akan ada kemacetan besar di mana orang yang haji sampai ke Muzdalifah tidak mampu mabit di sana dan mendapat kesulitan dalam hal tersebut. Apakah boleh meninggalkan mabit di Muzdalifah dan adakah sangsi bagi orang yang meninggalkannya ? Apakah shalat Maghrib dan Isya mencukupi dari wukuf dan mabit di Muzdalifah, di mana orang yang haji shalat maghrib dan isya di Muzdalifah kemudian langsung ke Mina ? Dan apakah sah wukuf di Muzdalifah dengan cara seperti itu ? Mohon penjelasan tentang hal tersebut beserta dalilnya.
Jawaban
Mabit di Muzdalifah adalah kewajiban dari beberapa kewajiban dalam haji karena mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mabit dan shalat Shubuh di Muzdalifah lalu berdzikir setelah shalat hingga langit kekuning-kuningan, dan beliau bersabda : “Ambillah manasikmu dariku”. Maka orang yang haji tidak dinilai telah melaksanakan kewajiban ini jika dia shalat Maghrib dan Isya di Muzdalifah dengan jama’ kemudian meninggalkan Muzdalifah. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan keringanan meninggalkannya melainkan kepada orang-orang yang kemah setelah tengah malam.
Baca Juga  Ibadah Haji Dengan Passport Palsu
Dan jika seseorang tidak mabit di Muzdalifah, maka dia wajib membayar dam karena meninggalkan kewajiban. Dan telah maklum bahwa diantara ulama terdapat perbedaan pendapat tentang hukum mabit di Muzdalifah, ada yang mengatakan rukun, ada yang mengatakan wajib, dan juga ada yang mengatakan sunnah. Tapi yang terkuat dari beberapa pendapat tersebut adalah, bahwa mabit wajib dalam haji, dan bagi orang yang meninggalkannya wajib menyembelih kurban dan hajinya sah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dan bahwa mabit di Muzdalifah tidak diberikan keringanan untuk meninggalkannya sampai tengah malam bagian kedua melainkan kepada orang-orang yang lemah. Adapun orang-orang yang kuat maka yang sunnah bagi mereka adalah tetap di Muzdalifah hingga shalat Shubuh dan memperbanyak dzikir serta berdo’a kepada Allah setelah shalat hingga langit kekuning-kuningan kemudian bertolak ke Mina sebelum terbit matahari karena mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa yang tidak mampu sampai di Muzdalifah melainkan sehabis tengah malam dari orang-orang yang lemah, maka cukup bagi mereka muqim di Muzdalifah pada sebagian waktu kemudian meninggalkan Muzdalifah karena mengambil rukhsah (dispensasi). Dan Allah adalah yang memberikan pertolongan kepada kebaikan.
HUKUM MENINGGALKAN MABIT DI MUZDALIFAH
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah hukum bagi orang yang haji meninggalkan mabit di Muzdalifah pada malam idul Adha ?
Jawaban
Mabit di Muzdalifah adalah wajib, tapi diberikan keringanan bagi orang-orang yang lemah untuk meninggalkan Muzdalifah pada akhir malam. Adapun meninggalkannya karena sengaja maka dosa hukumnya dan harus membayar fidyah menurut jumhur ulama. Tapi jika karena tidak tahu maka hanya wajib membayar fidyah saja. Sedangkan bagi orang yang tidak mampu, maka mabit di Muzdalifah menjadi gugur sebagaimana kewajiban-kewajiban yang lain. Tapi bagi orang yang mendapatkan shalat shubuh pada awal waktu dan tetap di Muzdalifah setelah shalat dengan membaca dzikir dan do’a kemudian bertolak ke Mina maka demikian itu telah cukup baginya.


Sunnah Mengucapkan Niat Ketika Dalam Haji

Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah niat ihram harus diucapkan dengan lidah ? Dan bagaimana cara niat haji karena mewakili orang lain ?  Jawaban Tempat niat di dalam hati, bukan di lisan. Caranya adalah agar sesorang niat dalam hatinya bahwa dia akan haji atas nama fulan bin fulan. Demikian itulah niat. Namun untuk itu dia disunnahkan melafazkan seperti dengan mengatakan : “Labbaik Allahumma Hajjan an Fullan ” (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk haji atas nama fulan), atau “Labbaik Allahumma ‘Umratan ‘an Fulan ” (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah atas nama Fulan) hingga apa yang ada dalam hati dikuatkan dengan kata-kata. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melafazkan haji dan juga melafazkan umrah. Maka demikian ini sebagai dalil disyari’atkannya melafalkan niat karena mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana para sahabat juga melafazkan demikian itu seperti diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka mengeraskan suara mereka. Ini adalah sunnah. Tapi jika seseorang tidak melafazkan dan cukup niat dalam hati dan melaksanakan semua rukun haji seperti apa yang dilakukan untuk dirinya sendiri dengan talbiyah secara mutlak dan mengulang-ngulang talbiyah secara mutlak tanpa menyebutkan fulan dan fulan sebagaimana dia talbiyah untuk dirinya sendiri, maka seakan dia haji untuk dirinya sendiri. Tapi jika menentukan nama orang dalam talbiyahnya, maka demikian itu talbiyah yang utama, kemudian dia melanjutkan talbiyah sebagaimana dilakukan orang-orang yang haji dan umrah, yaitu :  “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah dan tiada sekutu apapun bagi-Mu. Sesungguhnya puji, nikmat dan kekuasaan hanya bagi-Mu tanpa sekutu apapun bagi-Mu. Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, Rabb kebenaran” Maksudnya, dia membaca talbiyah sebagaimana dia membaca talbiyah untuk dirinya sendiri dengan tanpa menyebutkan seseorang yang diwakili kecuali dalam awal ibadah dengan mengatakan : “Labbaik Allahumma Hajjan an Fulan ” (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk haji atas nama Fulan), atau : “Labbaik Allahumma ‘Umratan ‘an Fulan ” ( Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah si Fulan), atau : “Labbaikallahumma hajjan wa ‘umratan ‘an Fulan ” (Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu untuk haji dan umrah atas nama Fulan). Niat-niat seperti ini yang utama dilakukan pada awal niatnya ketika ihram.

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah niat ihram harus diucapkan dengan lidah ? Dan bagaimana cara niat haji karena mewakili orang lain ?

Jawaban
Tempat niat di dalam hati, bukan di lisan. Caranya adalah agar sesorang niat dalam hatinya bahwa dia akan haji atas nama fulan bin fulan. Demikian itulah niat. Namun untuk itu dia disunnahkan melafazkan seperti dengan mengatakan : “Labbaik Allahumma Hajjan an Fullan ” (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk haji atas nama fulan), atau “Labbaik Allahumma ‘Umratan ‘an Fulan ” (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah atas nama Fulan) hingga apa yang ada dalam hati dikuatkan dengan kata-kata. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melafazkan haji dan juga melafazkan umrah. Maka demikian ini sebagai dalil disyari’atkannya melafalkan niat karena mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana para sahabat juga melafazkan demikian itu seperti diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka mengeraskan suara mereka. Ini adalah sunnah. Tapi jika seseorang tidak melafazkan dan cukup niat dalam hati dan melaksanakan semua rukun haji seperti apa yang dilakukan untuk dirinya sendiri dengan talbiyah secara mutlak dan mengulang-ngulang talbiyah secara mutlak tanpa menyebutkan fulan dan fulan sebagaimana dia talbiyah untuk dirinya sendiri, maka seakan dia haji untuk dirinya sendiri. Tapi jika menentukan nama orang dalam talbiyahnya, maka demikian itu talbiyah yang utama, kemudian dia melanjutkan talbiyah sebagaimana dilakukan orang-orang yang haji dan umrah, yaitu :

“Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah dan tiada sekutu apapun bagi-Mu. Sesungguhnya puji, nikmat dan kekuasaan hanya bagi-Mu tanpa sekutu apapun bagi-Mu. Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, Rabb kebenaran”

Maksudnya, dia membaca talbiyah sebagaimana dia membaca talbiyah untuk dirinya sendiri dengan tanpa menyebutkan seseorang yang diwakili kecuali dalam awal ibadah dengan mengatakan : “Labbaik Allahumma Hajjan an Fulan ” (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk haji atas nama Fulan), atau : “Labbaik Allahumma ‘Umratan ‘an Fulan ” ( Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah si Fulan), atau : “Labbaikallahumma hajjan wa ‘umratan ‘an Fulan ” (Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu untuk haji dan umrah atas nama Fulan). Niat-niat seperti ini yang utama dilakukan pada awal niatnya ketika ihram.

Syarat Dalam Ibadah Haji

Syarat Dalam Ibadah Haji   Pertanyaan.  Mohon kejelasan hadis “Hujjiy wasy- tarithtiy anna mahil liy haitsu habasatniy = Tahallulku di mana aku terhalang” (HR al-Bukhâri dan Muslim). Pertanyaan:    Dengan melafazkan syarat ini, apakah boleh tahallul dari ihram yang terhalang tanpa membayar dam?  Bila halangan itu sudah tidak ada, apakah ihrâm harus diulangi lagi, dan harus dari miqat?  Ana berhajat sekali atas penjelasan antum sebagai bekal ana berhaji yang insya Allah berangkat tahun ini. Syukran. Jazâkumullâhu.    Jawaban.  Hadits yang anda maksud adalah hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:    عَنْ عَائِشَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهمَا قَالَتْ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ضُبَاعَةَ بِنْتِ الزُّبَيْرِ فَقَالَ لَهَا « أَرَدْتِ الْحَجَّ ». قَالَتْ وَاللَّهِ مَا أَجِدُنِى إِلاَّ وَجِعَةً. فَقَالَ لَهَا « حُجِّى وَاشْتَرِطِى وَقُولِى اللَّهُمَّ مَحِلِّى حَيْثُ حَبَسْتَنِى »    Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma beliau berkata: Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Dhubâ’ah bintu az-Zubair seraya berkata kepadanya: Apakah kamu ingin berhaji? Ia menjawab: Demi Allah aku selalu merasakan sakit. Maka beliau berkata kepadanya: Berhajilah dan buatlah syarat dan katakan: Ya Allah tempat tahallulku adalah tempat aku terhalang. [HR Muslim 2960].    Para Ulama mengambil dari kisah di atas hukum seorang yang berihrâm kemudian mendapatkan sesuatu yang menghalanginya, baik berupa sakit atau terhalang oleh musuh dari kesempurnaan manâsik. Maka, ia diperbolehkan bertahallul dan tidak dikenakan dam apabila mengucapkan syarat ini.    Syaikh Ibnu Utsaimîn rahimahullah berkata, “Bila seseorang telah menyampaikan syarat, maka tidak ada kewajiban qadha` dan tidak juga dam, kecuali apabila hajinya haji wajib secara syariat atau wajib karena nadzar, maka ia diwajibkan mengqadha walaupun telah bersyarat. [Syarhul-Mumti’ 7/413].    Apabila tidak mengucapkan syarat ini, maka diwajibkan menyembelih sembelihan sebagaimana diperintahkan Allah dalam firmanNya:    وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ       Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya.[al-Baqarah/2:196]    Demikian juga pernah terjadi pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika terhalangi dari umrah dalam perjanjian Hudaibiyah, beliau menyembelih sembelihan, lalu mencukur rambut dan bertahallul. Dengan demikian maka ibadah haji atau umrah tersebut batal.    Apabila halangan tersebut berlalu setelah bertahallul, maka kita melakukan ibadah umrah atau haji dari awal lagi.    Wallâhu a’lam.    [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]    SAFAR TANPA MAHRAM, HAJINYA SAH TAPI BERDOSA    Pertanyaan.  Assalamu’alaikum ustadz! Saya ingin bertanya. Apabila seorang wanita ingin menunaikan ibadah haji atau umrah tanpa muhrim. Bagaimana hukum safar? Apakah ibadah haji yang dilakukannya itu sah? Apakah benar muhrimnya itu bisa di gantikan oleh pemerintah? Jazâkallâh khair..    Jawaban.  Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Allâh menganugerahi kita semua semangat untuk terus beribadah sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .    Dalam istilah agama, kerabat pria yang tidak boleh menikahi seorang wanita disebut  mahram, bukan muhrim. Adapun muhrim adalah orang yang sedang melakukan ihram (haji atau umrah) atau orang yang sedang berada di tanah haram (tanah suci). Jadi pemakaian kata muhrim yang umum dipakai di masyarakat kita adalah kesalahan bahasa yang perlu diperbaiki.    Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang wanita untuk safar (bepergian jauh), kecuali jika ada mahram yang menemaninya. Beliau n bersabda:    لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ    Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allâh dan hari akhir untuk melakukan perjalanan dengan masa tempuh sehari semalam tanpa ada mahram bersamanya. [HR. Al-Bukhâri no. 1088 dan Muslim, no. 1339]    Aturan ini berlaku umum, termasuk dalam perjalanan haji, jika jaraknya adalah jarak safar. Jarak antara Indonesia dan Makkah juga tentunya terhitung jarak safar. Tidak ada kewajiban haji atas seorang wanita yang tidak memiliki mahram, sampai ada mahram yang menemaninya.    Sebagian Ulama berpendapat bahwa untuk haji wajib, seorang wanita boleh pergi tanpa mahramnya, tapi dia harus pergi bersama rombongan yang  amanah dan terpercaya. Namun pendapat yang tidak membolehkan wanita pergi tanpa mahram itu lebih kuat, karena keumuman hadits di atas, wallahu a’lam.    Dan perlu dicatat bahwa perbedaan pendapat ini hanya terjadi dalam masalah perjalanan haji wajib yaitu haji yang pertama. Di luar itu, haji kedua atau umrah sunnah misalnya, maka tidak ada Ulama yang membolehkan seorang wanita melakukan perjalanan jauh tanpa ditemani mahram.    Untuk para wanita yang hendak melakukan perjalanan jauh untuk haji hendaklah dia menunggu sampai ada mahram yang menemani. Dan jika hal itu terjadi, yakni ada seorang wanita melakukan perjalanan haji wajib tanpa mahram, hajinya tetap sah, namun ia berdosa. Artinya, hajinya sah karena syarat dan rukun hajinya sudah terpenuhi, kewajiban haji telah gugur dan tidak ada kewajiban untuk mengulanginya. Namun ia berdosa karena melanggar larangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.    Namun, seorang Muslim hendaknya dalam beribadah tidak hanya mentargetkan sahnya suatu amal ibadah, namun juga harus memperhatikan bagaimana agar amal ibadah yang dilakukan itu diterima (maqbul/mabrur) oleh Allâh Azza wa Jalla. Derajat mabrûr itu lebih tinggi dari sekedar sah. Dan salah satu syarat mabrûr adalah tidak bermaksiat selama menjalankan ibadah haji. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:    مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ    Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusuq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya. [HR. Muslim, no. 1350 dan yang lain, dan ini adalah lafazh Ahmad dalam kitab Musnad, no. 7136]    Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihram.    Fusuq adalah keluar dari ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla , apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusuq yang dimaksudkan dalam hadits di atas.    Termasuk di dalamnya melanggar larangan safar tanpa mahram bagi seorang wanita. Begitu juga mengganti mahram dengan anggota rombongan yang lain sebagaimana dilakukan sebagian orang. Hal itu merupakan pemalsuan data dan kedustaan yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allâh Azza wa Jalla .

Syarat Dalam Ibadah Haji 

Pertanyaan.

Mohon kejelasan hadis “Hujjiy wasy- tarithtiy anna mahil liy haitsu habasatniy = Tahallulku di mana aku terhalang” (HR al-Bukhâri dan Muslim). Pertanyaan:


Dengan melafazkan syarat ini, apakah boleh tahallul dari ihram yang terhalang tanpa membayar dam?

Bila halangan itu sudah tidak ada, apakah ihrâm harus diulangi lagi, dan harus dari miqat?

Ana berhajat sekali atas penjelasan antum sebagai bekal ana berhaji yang insya Allah berangkat tahun ini. Syukran. Jazâkumullâhu.


Jawaban.

Hadits yang anda maksud adalah hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:


عَنْ عَائِشَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهمَا قَالَتْ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ضُبَاعَةَ بِنْتِ الزُّبَيْرِ فَقَالَ لَهَا « أَرَدْتِ الْحَجَّ ». قَالَتْ وَاللَّهِ مَا أَجِدُنِى إِلاَّ وَجِعَةً. فَقَالَ لَهَا « حُجِّى وَاشْتَرِطِى وَقُولِى اللَّهُمَّ مَحِلِّى حَيْثُ حَبَسْتَنِى »


Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma beliau berkata: Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Dhubâ’ah bintu az-Zubair seraya berkata kepadanya: Apakah kamu ingin berhaji? Ia menjawab: Demi Allah aku selalu merasakan sakit. Maka beliau berkata kepadanya: Berhajilah dan buatlah syarat dan katakan: Ya Allah tempat tahallulku adalah tempat aku terhalang. [HR Muslim 2960].


Para Ulama mengambil dari kisah di atas hukum seorang yang berihrâm kemudian mendapatkan sesuatu yang menghalanginya, baik berupa sakit atau terhalang oleh musuh dari kesempurnaan manâsik. Maka, ia diperbolehkan bertahallul dan tidak dikenakan dam apabila mengucapkan syarat ini.


Syaikh Ibnu Utsaimîn rahimahullah berkata, “Bila seseorang telah menyampaikan syarat, maka tidak ada kewajiban qadha` dan tidak juga dam, kecuali apabila hajinya haji wajib secara syariat atau wajib karena nadzar, maka ia diwajibkan mengqadha walaupun telah bersyarat. [Syarhul-Mumti’ 7/413].


Apabila tidak mengucapkan syarat ini, maka diwajibkan menyembelih sembelihan sebagaimana diperintahkan Allah dalam firmanNya:


وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ   


Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya.[al-Baqarah/2:196]


Demikian juga pernah terjadi pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika terhalangi dari umrah dalam perjanjian Hudaibiyah, beliau menyembelih sembelihan, lalu mencukur rambut dan bertahallul. Dengan demikian maka ibadah haji atau umrah tersebut batal.


Apabila halangan tersebut berlalu setelah bertahallul, maka kita melakukan ibadah umrah atau haji dari awal lagi.


Wallâhu a’lam.


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


SAFAR TANPA MAHRAM, HAJINYA SAH TAPI BERDOSA


Pertanyaan.

Assalamu’alaikum ustadz! Saya ingin bertanya. Apabila seorang wanita ingin menunaikan ibadah haji atau umrah tanpa muhrim. Bagaimana hukum safar? Apakah ibadah haji yang dilakukannya itu sah? Apakah benar muhrimnya itu bisa di gantikan oleh pemerintah? Jazâkallâh khair..


Jawaban.

Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Allâh menganugerahi kita semua semangat untuk terus beribadah sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .


Dalam istilah agama, kerabat pria yang tidak boleh menikahi seorang wanita disebut  mahram, bukan muhrim. Adapun muhrim adalah orang yang sedang melakukan ihram (haji atau umrah) atau orang yang sedang berada di tanah haram (tanah suci). Jadi pemakaian kata muhrim yang umum dipakai di masyarakat kita adalah kesalahan bahasa yang perlu diperbaiki.


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang wanita untuk safar (bepergian jauh), kecuali jika ada mahram yang menemaninya. Beliau n bersabda:


لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ


Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allâh dan hari akhir untuk melakukan perjalanan dengan masa tempuh sehari semalam tanpa ada mahram bersamanya. [HR. Al-Bukhâri no. 1088 dan Muslim, no. 1339]


Aturan ini berlaku umum, termasuk dalam perjalanan haji, jika jaraknya adalah jarak safar. Jarak antara Indonesia dan Makkah juga tentunya terhitung jarak safar. Tidak ada kewajiban haji atas seorang wanita yang tidak memiliki mahram, sampai ada mahram yang menemaninya.


Sebagian Ulama berpendapat bahwa untuk haji wajib, seorang wanita boleh pergi tanpa mahramnya, tapi dia harus pergi bersama rombongan yang  amanah dan terpercaya. Namun pendapat yang tidak membolehkan wanita pergi tanpa mahram itu lebih kuat, karena keumuman hadits di atas, wallahu a’lam.


Dan perlu dicatat bahwa perbedaan pendapat ini hanya terjadi dalam masalah perjalanan haji wajib yaitu haji yang pertama. Di luar itu, haji kedua atau umrah sunnah misalnya, maka tidak ada Ulama yang membolehkan seorang wanita melakukan perjalanan jauh tanpa ditemani mahram.


Untuk para wanita yang hendak melakukan perjalanan jauh untuk haji hendaklah dia menunggu sampai ada mahram yang menemani. Dan jika hal itu terjadi, yakni ada seorang wanita melakukan perjalanan haji wajib tanpa mahram, hajinya tetap sah, namun ia berdosa. Artinya, hajinya sah karena syarat dan rukun hajinya sudah terpenuhi, kewajiban haji telah gugur dan tidak ada kewajiban untuk mengulanginya. Namun ia berdosa karena melanggar larangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Namun, seorang Muslim hendaknya dalam beribadah tidak hanya mentargetkan sahnya suatu amal ibadah, namun juga harus memperhatikan bagaimana agar amal ibadah yang dilakukan itu diterima (maqbul/mabrur) oleh Allâh Azza wa Jalla. Derajat mabrûr itu lebih tinggi dari sekedar sah. Dan salah satu syarat mabrûr adalah tidak bermaksiat selama menjalankan ibadah haji. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ


Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusuq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya. [HR. Muslim, no. 1350 dan yang lain, dan ini adalah lafazh Ahmad dalam kitab Musnad, no. 7136]


Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihram.


Fusuq adalah keluar dari ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla , apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusuq yang dimaksudkan dalam hadits di atas.


Termasuk di dalamnya melanggar larangan safar tanpa mahram bagi seorang wanita. Begitu juga mengganti mahram dengan anggota rombongan yang lain sebagaimana dilakukan sebagian orang. Hal itu merupakan pemalsuan data dan kedustaan yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allâh Azza wa Jalla .