Kisah Seorang Sahabat Ukasyah Bin Mihshan yang Menuntut Rasulullah SAW. Semua bermula setelah Surat An-Nashr diturunkan. Surat ini menandai wafat Rasulullah dalam waktu yang tidak lama setelah surat ini diturunkan. Demikian penafsiran Sahabat Ibnu Abbas, pakar tafsir di era sahabat.
إذا جاء نصر الله والفتح (1) ورأيت الناس يدخلون في دين الله أفواجا (2) فسبح بحمد ربك واستغفره إنه كان توابا
Tentang Surah An-Nashr ini, Jabir bin Abdillah dan Abdullah bin Abbas meriwayatkan bahwa setelah surat ini turun, Rasulullah SAW berkata, “Wahai Jibril. Jiwaku sudah terasa lelah.”
Jibril AS mengatakan, “Akhirat itu lebih baik bagimu daripada dunia. Dan, pasti Tuhanmu akan memberikan (sesuatu) kepadamu dan kamu merasa ridha.” Rasulullah lantas memerintahkan Bilal agar memanggil orang-orang untuk melaksanakan berkumpul di Masjid. Kaum Muslim segera berdatangan ke Masjid Nabawi, kemudian Rasulullah naik ke atas mimbar. Dari atas mimbar beliau memuji Allah kemudian menyampaikan khotbah yang membuat hati bergetar dan air mata berderai tangis.
“Wahai manusia. Nabi model apa aku ini bagi kalian?” Para sahabat menjawab, “Semoga Allah memberikan balasan kebaikan sebab kenabianmu. Engkau bagi kami bagaikan ayah yang penyayang, saudara yang bijak dan baik hati. Engkau telah menyampaikan risalah Allah dan engkau telah mengajak ke jalan Tuhanmu dengan cara yang bijak dan dengan tutur kata yang santun. Semoga Allah memberikan balasan kebaikan yang lebih besar dari balasan yang diterima oleh nabi lainnya.”
Nabi berkata, “Wahai kaum Muslim. Demi Allah dan demi hakku atas kalian. Barang siapa yang pernah aku zalimi tanpa sepengetahuanku, berdirilah dan balaslah kezalimanku itu.” Tidak seorang pun berdiri. Rasulullah lantas mengulangi ucapannya itu, dan tidak seorang pun yang berdiri. Rasulullah mengulangi kata-kata itu untuk ketiga kalinya, “Wahai kaum Muslim. Demi Allah dan demi hakku atas kalian. Barang siapa yang pernah aku zalimi tanpa sepengetahuanku, berdirilah dan balaslah kezalimanku itu, sebelum aku dibalas pada hari kiamat nanti.”
Tiba-tiba ada seorang kakek berdiri. Kakek itu melangkah melewati barisan jamaah hingga ia sampai di hadapan Rasulullah. Kakek itu bernama Ukasyah bin Mihshan. Ukasyah lantas berkata, “Demi ayah dan ibuku. Andai engkau tidak mengucapkan kalimat itu sampai tiga kali, pasti aku tidak akan maju. Dulu, aku pernah bersamamu dalam satu perang. Setelah perang selesai, dan kita mendapatkan kemenangan, kita segera pulang. Untaku dan untumu berjalan sejajar. Aku turun dari unta, mendekatimu karena aku ingin mencium pahamu. Namun, tiba-tiba engkau mengangkat pecut dan pecut itu mengenai perutku. Aku tidak tahu, apakah kejadian itu engkau sengaja atau engkau ingin memecut unta.”
Rasulullah langsung berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari perbuatan memecutmu dengan sengaja. Wahai Bilal. Pergilah engkau ke rumah Fathimah, dan ambilkan pecut yang tergantung.” Bilal langsung berangkat menuju rumah Fathimah. Tangan Bilal menepuk kepala sambil teriak histeris, “Luar biasa. Ini Utusan Allah meminta dirinya untuk diqisas (dibalas)!” Sampai di rumah Fathimah, Bilal mengetuk pintu dan berkata, “Wahai Putri Rasulullah. Ambilkan pecut yang tergantung itu. Serahkan kepadaku.” Fathimah bertanya, “Wahai Bilal. Apa yang akan dilakukan ayahku dengan pecut ini? Bukan hari ini adalah hari haji, bukan hari perang.”
Bilal menjawab, “Wahai Fathimah. Kamu pasti tahu akhlak ayahmu. Beliau menitipkan satu agama. Beliau akan meninggalkan dunia ini. Dan, beliau memberikan kesempatan pada siapa pun untuk membalas (qisas) kesalahannya.” Fathimah lantas berkata, “Wahai Bilal. Siapa orang yang tega menuntut balas (qisas) dari Rasulullah?! Katakanlah kepada Hasan dan Husein, agar keduanya saja yang menerima pembalasan itu, sebagai pengganti Rasulullah. Minta orang itu membalas (melakukan qisas) kepada Hasan dan Husein, dan jangan membalas Rasulullah.” Bilal kembali ke masjid dan meyerahkan pecut itu kepada Rasulullah. Rasulullah SAW lantas menyerahkan pecut itu kepada Ukasyah.
Abu Bakar dan Umar segera berdiri dan berkata kepada Ukasyah, “Wahai Ukasyah. Balaslah kepada kami berdua. Kami ada di hadapanmu. Jangan engkau balas Rasulullah.” Rasulullah berkata kepada Abu Bakar dan Umar, “Diamlah kalian berdua, wahai Abu Bakar dan Umar. Allah tahu ketinggian derajat kalian berdua.” Ali pun berdiri dan berkata, “Wahai Ukasyah. Sepanjang hidupku, aku selalu bersama Rasulullah. Sungguh aku tidak tega melihat Rasulullah dipecut. Ini badanku. Balaslah. Pecutlah aku seratus kali. Jangan kau balas Rasulullah.”
Rasulullah berkata, “Wahai Ali. Duduklah. Allah tahu derajatmu dan niat baikmu.” Selanjutnya Hasan dan Husein juga berdiri dan berkata, “Wahai Ukasyah. Engkau kan tahu bahwa kami adalah darah daging Rasulullah. Engkau membalas kepada kami sama dengan engkau membalas Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Duduklah, buah hatiku. Allah tidak akan melupakan kemuliaan kalian.” Rasulullah kemudian berkata kepada Ukasyah, “Wahai Ukasyah. Silakan. Pecutlah aku.” “Wahai Rasulullah. Ketika engkau memecut perutku, perutku dalam keadaan terbuka,” kata Ukasyah.
Rasulullah SAW langsung menyingkap pakaian hingga perutnya terbuka. Jamaah semakin histeris melihat pemandangan itu. Mereka menangis menjadi-jadi. Mereka menegur Ukasyah, “Apakah engkau betul-betul akan memecut Rasulullah, wahai Ukasyah?!..” Ukasyah lantas melihat perut Rasulullah, dan dia tak kuasa menahan diri, langsung merangsek tubuh Rasulullah SAW dan menciumi perutnya. “Demi ayah dan ibuku, siapa orang yang tega melakukan pembalasan kepadamu, wahai Rasulullah,” ujar Ukasyah. Rasulullah berkata, “Lastas katakanlah, kau ingin membalas atau memaafkan aku?” Ukasyah, “Sungguh aku telah memaafkanmu karena aku berharap mendapatkan ampunan dari Allah pada hari Kiamat.”
Rasulullah berkata, “Siapa yang ingin melihat temanku di surga nanti, lihatlah kakek ini.” Kaum Muslim langsung berdiri mengerubungi Ukasyah dan menciumi keningnya. Mereka berkata kepada Ukasyah, “Alangkah beruntungnya kamu. Alangkah beruntungnya kamu. Kamu akan mendapatkan derajat yang sangat tinggi, berdampingan dengan Rasulullah di surga.“ Setelah peristiwa tersebut, Rasulullah jatuh sakit selama delapan belas hari. Tepat pada hari Senin, Rasulullah wafat, meninggalkan dunia yang fana ini.
Nabi Muhammad SAW adalah seorang nabi dan rasul. Ia dijamin masuk surga, bahkan pasti berada di tempat paling tinggi dan paling mulia di sisi Allah. Namun, beliau begitu hati-hatinya terhadap manusia. Ia tidak ingin meninggalkan dunia ini, sementara masih ada orang yang “sakit hati” kepadanya. Beliau minta dibalas (diqisas) agar dirinya tidak dibalas di akhirat. Fitnah, dusta, caci-maki dan kezaliman lainnya yang disebarkan akan menjadi tanggung jawab penyebarnya di akhirat nanti. Herannya, para penyebar fitnah dan para pencaci tenang-tenang saja. Padahal, Nabi begitu gelisah hanya karena satu kesalahan yang tak disengaja terhadap Sahabat Ukasyah
Referensi : Kisah Seorang Sahabat Ukasyah Bin Mihshan yang Menuntut Rasulullah SAW
Sebut Dosa Zina Paling Sulit Dihapus, Tidak Diterima Taubat Kecuali Pelakunya Lakukan Ini (Buya Yahya). Dalam ajaran agama Islam, perbuatan zina termasuk salah satu dosa besar. Perbuatan ini sangat dilarang dan terkutuk. Dalam suatu majelis, Buya Yahya mengungkapkan bahwa semua dosa mudah dihapus kecuali dosa zina. Perbuatan ini sangat terhina bagi diri dan keluarga.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Bahjah ini mengatakan berzina tidak mudah karena tak ada seseorang yang melakukan zina kecuali manusia terhina. "Zina adalah dosa besar dan kehinaan. Semua dosa begitu mudah dihapus, kecuali zina," Lebih lanjut, Buya Yahya menyebut orang mulia itu susah berzina. Akan tetapi bagi siapapun yang sudah terpeleset dalam zina, ia masih bisa menjadi mulia.
Ditegaskan juga, tidak benar jika orang berzina tidak diampuni dosanya selama 40 tahun. Menurutnya, pernyataan itu adalah berita bohong. “Kalau dia setelah berzina taubat langsung diterima oleh Allah. Asal dia bertaubat, menangis, menyesal, bertaubat yang sesungguhnya,” ujarnya. Dalam kesempatan itu, Buya Yahya juga mengingatkan dosa zina adalah dosa yang harus ditutup sehingga pelakunya cukup mengadu kepada Allah. “Semakin dia bisa menutup di depan manusia, Allah akan tutup. Cukup dia menangis kepada Allah. Tidak perlu cerita kepada siapapun,” pungkasnya.
Buya Yahya mengisahkan seseorang yang terpeleset dalam perzinahan minta disucikan dengan cara dicambuk atau dirajam oleh Nabi Muhammad SAW. Namun Nabi Muhammad SAW diam dan menutupinya. Sehingga para ulama bersepakat bahwa tidak dianjurkan orang bertaubat dari zina mengadu ke mahkamah hakim untuk dihukum. Pasalnya, hal ini berkaitan dngan nama baik keluarga dan dirinya.
Referensi : Sebut Dosa Zina Paling Sulit Dihapus, Tidak Diterima Taubat Kecuali Pelakunya Lakukan Ini (Buya Yahya).
Hakikat taubat adalah kembali tunduk kepada Allah dari bermaksiat kepada-Nya kepada ketaatan kepada-Nya. Taubat ada dua macam: taubat mutlak dan taubat muqayyad (terikat). Taubat mutlak ialah bertaubat dari segala perbuatan dosa. Sedangkan taubat muqayyad ialah bertaubat dari salah satu dosa tertentu yang pernah dilakukan. Syarat-syarat taubat meliputi: beragama Islam, berniat ikhlas, mengakui dosa, menyesali dosa, meninggalkan perbuatan dosa, bertekad untuk tidak mengulanginya, mengembalikan hak orang yang dizalimi, bertaubat sebelum nyawa berada di tenggorokan atau matahari terbit dari arah barat. Taubat adalah kewajiban seluruh kaum beriman, bukan kewajiban orang yang baru saja berbuat dosa. Karena Allah berfirman,
“Dan bertaubatlah kalian semua wahai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.” (QS. An Nuur: 31) (lihat Syarh Ushul min Ilmil Ushul Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah, tentang pembahasan isi khutbatul hajah).
Allah Maha Pengampun, Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang
Allah menyifati diri-Nya di dalam Al Quran bahwa Dia Maha pengampun lagi Maha Penyayang hampir mendekati 100 kali. Allah berjanji mengaruniakan nikmat taubat kepada hamba-hambaNya di dalam sekian banyak ayat yang mulia. Allah ta’ala berfirman,
“Allah menginginkan untuk menerima taubat kalian, sedangkan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya ingin agar kalian menyimpang dengan sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa’: 27)
“Dan seandainya bukan karena keutamaan dari Allah kepada kalian dan kasih sayang-Nya (niscaya kalian akan binasa). Dan sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha bijaksana.” (QS. An Nuur: 10)
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ
“Sesungguhnya Tuhanmu sangat luas ampunannya.” (QS. An Najm: 32)
Allah ta’ala berfirman,
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
“Rahmat-Ku amat luas meliputi segala sesuatu.” (QS. Al A’raaf: 156)
Oleh Karenanya, Saudaraku yang Tercinta…
Pintu taubat ada di hadapanmu terbuka lebar, ia menanti kedatanganmu… Jalan orang-orang yang bertaubat telah dihamparkan. Ia merindukan pijakan kakimu… Maka ketuklah pintunya dan tempuhlah jalannya. Mintalah taufik dan pertolongan kepada Tuhanmu… Bersungguh-sungguhlah dalam menaklukkan dirimu, paksalah ia untuk tunduk dan taat kepada Tuhannya. Dan apabila engkau telah benar-benar bertaubat kepada Tuhanmu kemudian sesudah itu engkau terjatuh lagi di dalam maksiat, sehingga memupus taubatmu yang terdahulu, janganlah malu untuk memperbaharui taubatmu untuk kesekian kalinya. Selama maksiat itu masih berulang padamu maka teruslah bertaubat.
Allah ta’ala berfirman,
فَإِنَّهُ كَانَ لِلأَوَّابِينَ غَفُوراً
“Karena sesungguhnya Dia Maha mengampuni kesalahan hamba-hamba yang benar-benar bertaubat kepada-Nya.” (QS. Al Israa’: 25)
“Katakanlah kepada hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri-diri mereka, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa, sesungguhnya Dialah Zat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Maka kembalilah kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datangnya azab kemudian kalian tidak dapat lagi mendapatkan pertolongan.” (QS. Az Zumar: 53-54)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Seandainya kalian berbuat dosa sehingga tumpukan dosa itu setinggi langit kemudian kalian benar-benar bertaubat, niscaya Allah akan menerima taubat kalian.” (Shahih Ibnu Majah)
Maka di manakah orang-orang yang bertaubat dan menyesali dosanya? Di manakah orang-orang yang kembali taat dan merasa takut siksa? Di manakah orang-orang yang ruku’ dan sujud?
Berbagai Keutamaan Taubat
Pada hakikatnya taubat itulah isi ajaran Islam dan fase-fase persinggahan iman. Setiap insan selalu membutuhkannya dalam menjalani setiap tahapan kehidupan. Maka orang yang benar-benar berbahagia ialah yang menjadikan taubat sebagai sahabat dekat dalam perjalanannya menuju Allah dan negeri akhirat. Sedangkan orang yang binasa adalah yang menelantarkan dan mencampakkan taubat di belakang punggungnya. Beberapa di antara keutamaan taubat ialah:
Pertama: Taubat adalah sebab untuk meraih kecintaan Allah ‘azza wa jalla.
“Maka sesudah mereka (nabi-nabi) datanglah suatu generasi yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, niscaya mereka itu akan dilemparkan ke dalam kebinasaan. Kecuali orang-orang yang bertaubat di antara mereka, dan beriman serta beramal saleh maka mereka itulah orang-orang yang akan masuk ke dalam surga dan mereka tidaklah dianiaya barang sedikit pun.” (QS. Maryam: 59, 60)
Kelima: Taubat adalah sebab mendapatkan ampunan dan rahmat.
“Dan orang-orang yang mengerjakan dosa-dosa kemudian bertaubat sesudahnya dan beriman maka sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengampun dan Penyayang.” (QS. Al A’raaf: 153)
Keenam: Taubat merupakan sebab berbagai kejelekan diganti dengan berbagai kebaikan.
“Dan barang siapa yang melakukan dosa-dosa itu niscaya dia akan menemui pembalasannya. Akan dilipatgandakan siksa mereka pada hari kiamat dan mereka akan kekal di dalamnya dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman serta beramal saleh maka mereka itulah orang-orang yang digantikan oleh Allah keburukan-keburukan mereka menjadi berbagai kebaikan. Dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” (QS. Al Furqaan: 68-70)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang yang bertaubat dari suatu dosa sebagaimana orang yang tidak berdosa.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Ketujuh: Taubat menjadi sebab untuk meraih segala macam kebaikan.
Allah ta’ala berfirman,
فَإِن تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ
“Apabila kalian bertaubat maka sesungguhnya hal itu baik bagi kalian.” (QS. At Taubah: 3)
Allah ta’ala juga berfirman,
فَإِن يَتُوبُواْ يَكُ خَيْراً لَّهُمْ
“Maka apabila mereka bertaubat niscaya itu menjadi kebaikan bagi mereka.” (QS. At Taubah: 74)
Kedelapan: Taubat adalah sebab untuk menggapai keimanan dan pahala yang besar.
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, memperbaiki diri dan berpegang teguh dengan agama Allah serta mengikhlaskan agama mereka untuk Allah mereka itulah yang akan bersama dengan kaum beriman dan Allah akan memberikan kepada kaum yang beriman pahala yang amat besar.” (QS. An Nisaa’: 146)
Kesembilan: Taubat merupakan sebab turunnya barakah dari atas langit serta bertambahnya kekuatan.
“Wahai kaumku, minta ampunlah kepada Tuhan kalian kemudian bertaubatlah kepada-Nya niscaya akan dikirimkan kepada kalian awan dengan membawa air hujan yang lebat dan akan diberikan kekuatan tambahan kepada kalian, dan janganlah kalian berpaling menjadi orang yang berbuat dosa.” (QS. Huud: 52)
Kesepuluh: Keutamaan taubat yang lain adalah menjadi sebab malaikat mendoakan orang-orang yang bertaubat.
“Para malaikat yang membawa ‘Arsy dan malaikat lain di sekelilingnya senantiasa bertasbih dengan memuji Tuhan mereka, mereka beriman kepada-Nya dan memintakan ampunan bagi orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu maha luas meliputi segala sesuatu, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu serta peliharalah mereka dari siksa neraka.” (QS. Ghafir: 7)
Kesebelas: Keutamaan taubat yang lain adalah ia termasuk ketaatan kepada kehendak Allah ‘azza wa jalla.
“Dan Allah menghendaki untuk menerima taubat kalian.” (QS. An Nisaa’: 27). Maka orang yang bertaubat berarti dia adalah orang yang telah melakukan perkara yang disenangi Allah dan diridhai-Nya.
Kedua belas: Keutamaan taubat yang lain adalah Allah bergembira dengan sebab hal itu.
Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Sungguh Allah lebih bergembira dengan sebab taubat seorang hamba-Nya ketika ia mau bertaubat kepada-Nya daripada kegembiraan seseorang dari kalian yang menaiki hewan tunggangannya di padang luas lalu hewan itu terlepas dan membawa pergi bekal makanan dan minumannya sehingga ia pun berputus asa lalu mendatangi sebatang pohon dan bersandar di bawah naungannya dalam keadaan berputus asa akibat kehilangan hewan tersebut, dalam keadaan seperti itu tiba-tiba hewan itu sudah kembali berada di sisinya maka diambilnya tali kekangnya kemudian mengucapkan karena saking gembiranya, ‘Ya Allah, Engkaulah hambaku dan akulah tuhanmu’, dia salah berucap karena terlalu gembira.” (HR. Muslim)
Ketiga belas: Taubat juga menjadi sebab hati menjadi bersinar dan bercahaya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: Sesungguhnya seorang hamba apabila berbuat dosa maka di dalam hatinya ditorehkan sebuah titik hitam. Apabila dia meninggalkannya dan beristighfar serta bertaubat maka kembali bersih hatinya. Dan jika dia mengulanginya maka titik hitam itu akan ditambahkan padanya sampai menjadi pekat, itulah raan yang disebutkan Allah ta’ala,
“Sekali-kali tidak akan tetapi itulah raan yang menyelimuti hati mereka akibat apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Muthaffifin: 14) (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan dihasankan Al Albani)
Oleh karena itu, saudaraku yang kucintai…
Sudah sepantasnya setiap orang yang berakal untuk bersegera menggapai keutamaan dan memetik buah memikat yang dihasilkan oleh ketulusan taubat itu…, Saudaraku:
Tunaikanlah taubat yang diharapkan Ilahi
demi kepentinganmu sendiri
Sebelum datangnya kematian dan lisan terkunci
Segera lakukan taubat dan tundukkanlah jiwa
Inilah harta simpanan bagi hamba yang kembali taat dan baik amalnya
Tingkatan Jihad Melawan Syaitan
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: Jihad melawan syaitan itu ada dua tingkatan.
Pertama, berjihad melawannya dengan cara menolak segala syubhat dan keragu-raguan yang menodai keimanan yang dilontarkannya kepada hamba.
Kedua, berjihad melawannya dengan cara menolak segala keinginan yang merusak dan rayuan syahwat yang dilontarkan syaitan kepadanya.
Maka tingkatan jihad yang pertama akan membuahkan keyakinan sesudahnya. Sedangkan jihad yang kedua akan membuahkan kesabaran.
“Maka Kami jadikan di antara mereka para pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami karena mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah: 24)
Allah mengabarkan bahwasanya kepemimpinan dalam agama hanya bisa diperoleh dengan bekal kesabaran dan keyakinan. Kesabaran akan menolak rayuan syahwat dan keinginan-keinginan yang merusak, sedangkan dengan keyakinan berbagai syubhat dan keragu-raguan akan tersingkirkan.
Orang yang Pailit: Taubat Zina Setelah Kehilangan Nafsu Seks. Sahkah orang yang bertaubat menyesal berzina pada saat ia telah kehilangan nafsu seks? Begitu juga, penguasa yang zalim bertaubat tatkala ia telah diberhentikan dari kedudukannya, sehingga tidak mampu lagi berbuat zalim. Koruptor bertaubat pada saat ia sudah tidak menjadi pejabat lagi. Dan seluruh orang yang telah sampai pada titik ia tidak mempunyai dorongan lagi untuk berbuat maksiat. Ibnu Qayyim berkata: dalam masalah ini ada dua pendapat. Satu kelompok ulama berkata: taubatnya tidak sah. Karena taubat itu seharusnya dilakukan oleh orang yang masih mungkin menjalankan atau meninggalkan perbuatan maksiat yang ia tobatkan itu. Taubat dilakukan terhadap sesuatu yang dapat dikerjakan, bukan terhadap sesuatu yang mustahil dikerjakan.
Oleh karena itu tidak dapat dibayangkan taubat atas memindahkan gunung dari tempatnya, mengeringkan lautan, terbang di udara tanpa alat atau sejenisnya. Menurut mereka, taubat adalah mengalahkan dorongan nafsu, dan mengikuti panggilan kebenaran. Sementara dalam masalah tadi tidak ada dorongan nafsu lagi, karena ia tahu tidak akan mampu mengerjakannya. Ini adalah seperti orang yang dipaksa untuk meninggalkan sesuatu pekerjaan, dan ditugaskan secara paksa pula.
Orang yang seperti ini tidak sah taubatnya. Yang diterima fitrah dan akal manusia adalah, taubat orang yang pailit dan yang kejepit, adalah taubat yang tidak dapat diterima, dan tidak terpuji. Malah mereka menamakannya sebagai taubat orang pailit dan taubat orang kejepit. Seorang penyair berkata: "Maka segera ku tanyakan tentang tobatnya ku dapati ternyata taubatnya adalah taubat orang yang pailit"!
Ini juga menunjukkan bahwa teks-teks yang banyak dan jelas menunjukkan bahwa tobat yang dilakukan ketika datang maut adalah tidak bermanfaat. Karena itu adalah taubat orang yang kepepet dan tidak memiliki pilihan lain: Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَٰئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا "Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertobat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah tobatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: Sesungguhnya saya bertaubat sekarang. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih." [QS an Nisa: 17-18] Syaikh Yusuf al Qardhawi dalam bukunya yang berjudul "At Taubat Ila Allah" menjelaskan dan "al-jahalah" di sini maksudnya adalah: ketidak tahuan kerja, meskipun ia tahu akan keharaman itu. Qatadah berkata: para sahabat Rasulullah SAW berijma' bahwa seluruh perbuatan yang di dalamnya Allah SWT dimaksiati adalah kebodohan. Baik secara sengaja atau tidak. Dan seluruh orang yang maksiat kepada Allah SWT adalah orang yang bodoh. Sedangkan taubat secepatnya adalah: menurut mayoritas mufassir, taubat itu adalah taubat sebelum orang itu menghadapi ajalnya. Ikrimah berkata: ia adalah taubat sebelum mati. Dhahhak berkata: ia adalah taubat sebelum menjumpai malaikat maut. As-Sudi dan al Kulabi berkata: yaitu agar orang bertaubat pada waktu sehatnya dan sebelum ia sakit menjelang matinya.
Sayyid Rasyid Ridha memberikan komentar atas pendapat-pendapat itu. Manusia banyak tertipu dengan zahir pendapat-pendapat ini dalam menafsirkan ayat-ayat al Quran dan hadis-hadis itu, membuat mereka banyak menunda taubat, dan terus melakukan kemaksiatan, sehingga kemaksiatan itu melekat kuat dalam hati mereka, dan nafsu mereka menyenanginya. Hal itu kemudian menjadi instink dan kebiasaan yang tidak dapat atau sulit untuk mereka lepaskan, kecuali dalam kasus yang langka saja.
Hingga datang ajal mereka, sementara mereka masih bergelimang dalam nafsu mereka. Makna ayat itu bukanlah bahwa tobat yang diridhai dan dijamin diterima oleh Allah SWT adalah tobat atas kemaksiatan yang terus dilakukan oleh seseorang hingga menjelang sakratul maut, hingga beberapa jam atau beberapa menit sebelumnya.
Namun yang dimaksudkan adalah: bertaubat tidak lama setelah melakukan sesuatu dosa, sambil tidak mengulanginya lagi, seperti disebutkan pada ayat yang lain. Dan barangkali yang dimaksudkan Ikrimah, Dhahhak dan yang lainnya untuk menyesuaikan dengan makna hadis; bahwa Allah SWT akan menerima tobat seseorang yang berbuat maksiat selama orang itu belum sekarat. Maksudnya, seandainya ia bertaubat pada suatu waktu, sebelum datang sakaratul maut dan ajal tiba, niscaya tobatnya akan diterima. Dan itu tidak bertentangan dengan ayat.
Karena manusia mungkin ada yang datang keinginan taubatnya beberapa saat sebelum sakaratul maut atau ajalnya tiba, terhadap dosanya yang belum lama ia lakukan, namun jarang ada orang yang bertobat dari dosa yang telah ia lakukan semenjak lama dan terus menerus, dan jikapun ia bertobat dari macam dosa yang disebut terakhir itu, maka jarang sekali orang seperti itu dapat memperbaiki apa yang telah ia rusak, disebabkan dosa yang ia lakukan secara terus menerus itu.
Sesuai dengan firman Allah SWT: "Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar." Yang dimaksudkan adalah terus menerus melakukan dosa dan menunda-nunda untuk bertobat adalah berbahaya, meskipun tobat dari dosa semacam itu masih dapat diterima jika dilakukan dalam waktu ikhtiar (sebelum sakratul maut tiba). Namun biasanya orang mati dalam keadaan sebagaimana ia sehari-harinya, selama ini, oleh karena itu orang-orang yang tertipu dengan menunda-nunda tobatnya hendaknya ia berhati-hati. Dalam musnad dan kitab lainya dari Ibnu Umar dari Nabi SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah SWT akan menerima tobat seorang hamba selama ia belum sekarat mati " .
Orang yang bertobat saat sekarat, dan ia berkata: saat ini aku bertobat! Maka tobatnya tidak dapat diterima. Karena itu adalah tobat terpaksa bukan karena dorongan kesadaran diri. "Ia adalah seperti tobat setelah matahari terbit dari Barat, pada hari kiamat, dan ketika menemui ajal," tuturnya. Karena hakikat taubat adalah: mencegah diri dari mengerjakan sesuatu yang dilarang, dan tindakan itu dilakukan oleh orang yang mampu mengerjakannya.
Sedangkan orang yang tidak mungkin mengerjakannya, adalah tidak masuk akal jika nafsu dicegah untuk melakukan itu. Juga karena tobat adalah dengan membebaskan diri dari dosa, dan orang yang memang tidak dapat lagi mengerjakan dosa itu, bagaimana mungkin ia kemudian mencegah dirinya dari menjalankan dosa itu. Karena dosa adalah keinginan kuat untuk mengerjakan sesuatu yang diharamkan, serta diikuti dengan kemampuannya.
Dan taubat darinya berarti: tekad yang kuat untuk meninggalkan perbuatan dosa yang dapat ia kerjakan itu, dilanjutkan dengan meninggalkannya. Sedangkan tekad untuk mengerjakan sesuatu yang tidak dapat ia kerjakan adalah mustahil. Karena tekad untuk meninggalkan perbuatan yang memang ia tidak mampu mengerjakannya ini adalah sesuatu yang pasti terjadi, bukan tekad sesuatu yang tidak mampu ia kerjakan. Itu tidak lebih dari semisal meninggalkan keinginan terbang di udara, memindahkan gunung dan sebagainya.
referensi sbb : Orang yang Pailit : Taubat Zina Setelah Kehilangan Nafsu Seks
Unsur-unsur Taubat : Dalam bahasa Arab menunjukkan pengertian: pulang dan kembali. Sedangkan taubat kepada Allah SWT berarti pulang dan kembali ke haribaan-Nya serta tetap di pintu-Nya.
Karena pada dasarnya manusia harus bersama Allah SWT dan selalu berhubungan dengan-Nya, dan tidak menjauhi-Nya. Manusia tidak dapat membebaskan diri dari Allah SWT untuk memikirkan kehidupan fisiknya saja, juga tidak dapat membebaskan dirinya dari Allah SWT karena memikirkan kebutuhan hidup ruhaninya saja. Bahkan kebutuhannya kepada Allah SWT di akhirat akan lebih besar dari kebutuhannya di dunia. Karena kehidupan dan kebutuhan fisik itu secara bersamaan juga dilakukan oleh binatang yang tidak dapat berpikir, sementara kebutuhnan ruhani adalah sisi yang menjadi ciri pembeda manusia dari hewan dan binatang.
Allah SWT telah menciptakan manusia dari dua unsur. Di dalam tubuhnya terdapat unsur tanah, juga unsur ruh. Inilah yang menjadikannya layak dijadikan objek sujud oleh malaikat sebagai penghormatan dan pemuliaan kedudukannya. Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah". Maka apabila telah Ku sempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." QS. Shaad: 71-72..
Allah SWT tidak memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada Adam kecuali setelah Allah SWT memperbagus bentuknya dan meniupkan ruh ke dalam tubuhnya.
Ketika manusia ta'at kepada Rabbnya berarti tiupan ruh itu mengalahkan sisi tanahnya. Atau dengan kata lain, sisi ruhani mengalahkan sisi materi. Dan sisi Rabbani mengalahkan sisi tanah yang rendah. Maka manusia meningkat dan mendekat kepada Rabbnya, sesuai dengan usahanya untuk meningkatkan sisi ruhaninya ini.
Ketika manusia berbuat maksiat terhadap Rabbnya, maka posisi itu terbalik; sisi tanah mengalahkan sisi ruh, dan sisi materi yang rendah mengalahkan sisi Rabbani yang tinggi. Maka manusia merendah dan menjadi lebih hina, serta menjauh dari Allah SWT sesuai dengan seberapa jauh dosa dan kemaksiatan yang ia lakukan.
Kemudian taubat memberikan kesempatan kepadanya untuk mencapai apa yang tidak ia dapatkan, serta meluruskan kembali perjalanan hidupnya. Maka manusia itupun kembali menaik setelah kejatuhannya, dan mendekat kepada Rabbnya setelah ia menjauhi-Nya, serta kembali kepada-Nya setelah memberontak dari-Nya.
Taubat Nasuha
Taubat yang diperintahkan agar dilakukan oleh kaum mu'minin adalah taubat nasuha (yang semurni-murninya) seperti disebut dalam Al Quran:
"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya." QS. at-Tahrim: 8
Kemudian apa makna taubat nasuha itu.
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam kitab tafsirnya: "artinya adalah, taubat yang sebenarnya dan sepenuh hati, akan menghapus keburukan-keburukan yang dilakukan sebelumnya, mengembalikan keaslian jiwa orang yang bertaubat, serta menghapus keburukan-keburukan yang dilakukannya."
Sedangkan nasuha adalah redaksi hiperbolik dari kata nashiih. Seperti kata syakuur dan shabuur, sebagai bentuk hiperbolik dari syakir dan shabir. Dan terma "n-sh-h" dalam bahasa Arab bermakna: bersih. Dikatakan dalam bahasa Arab: "nashaha al 'asal" jika madu itu murni, tidak mengandung campuran. Sedangkan kesungguhan dalam bertaubat adalah seperti kesungguhan dalam beribadah. Dan dalam bermusyawarah, an-nush itu bermakna: membersihkannya dari penipuan, kekurangan dan kerusakan, dan menjaganya dalam kondisi yang paling sempurna. An nush-h (asli) adalah lawan kata al-gisysy-(palsu).
Pendapat kalangan salaf berbeda-beda dalam mendefinisikan hakikat taubat nasuha itu. Hingga Imam Al Qurthubi dalam tafsinrya menyebut ada dua puluh tiga pendapat. (Lihat: Tafsir al Qurthubi ayat ke delapan dari surah at Tahrim). Namun sebenarnya pengertian aslinya hanyalah satu, tetapi masing-masing orang mengungkapkan kondisi masing-masing, atau juga dengan melihat suatu unsur atau lainnya.
Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Ibnu Qayyim menyebutkan dari Umar, Ibnu Mas'ud serta Ubay bin Ka'b r.a. bahwa pengertian taubat nasuha: adalah seseorang yang bertaubat dari dosanya dan ia tidak melakukan dosa itu lagi, seperti susu tidak kembali ke payudara hewan. Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dengan marfu': taubat dari dosa adalah: ia bertaubat darinya (suatu dosa itu) kemudian ia tidak mengulanginya lagi." Sanadnya adalah dha'if. Dan mauquf lebih tepat, seperti dikatakan oleh Ibnu Katsir.
Hasan Al Bashri berkata: taubat adalah jika seorang hamba menyesal akan perbuatannya pada masa lalu, serta berjanji untuk tidak mengulanginya.
Al Kulabi berkata: Yaitu agar meminta ampunan dengan lidah, menyesal dengan hatinya, serta menjaga tubuhnya untuk tidak melakukannnya lagi.
Sa'id bin Musayyab berkata: taubat nasuha adalah: agar engkau menasihati diri kalian sendiri.
Kelompok pertama menjadikan kata nasuha itu dengan makna maf'ul (objek) yaitu orang yang taubat itu bersih dan tidak tercemari kotoran. Maknanya adalah, ia dibersihkan, seperti kata raquubah dan haluubah yang berarti dikendarai dan diperah. Atau juga dengan makna fa'il (subjek), yang bermakna: yang menasihati, seperti khaalisah dan shaadiqah.
Muhammad bin Ka'b al Qurazhi berkata: taubat itu diungkapkan oleh empat hal: beristighfar dengan lidah, melepaskannya dari tubuh, berjanji dalam hati untuk tidak mengerjakannya kembali, serta meninggalkan rekan-rekan yang buruk. (Madaarij Saalikiin : 1/ 309, 310. Cetakan As Sunnah Al Muhammadiyyah, dengan tahqiq Syaikh Muhammad Hamid al Faqi. Dan tafsir Ibnu Katsir : 4/ 391, 392).
Sekadar Bicara Taubat dengan Lidah Bukan Taubat
Taubat tidak sekadar mengucapkan dengan lidah, seperti dipahami oleh kalangan awam. Ketika salah seorang dari mereka datang kepada seorang tokoh agama ia berkata kepadanya: "Pak kiyai, berilah taubat kepada saya". Kiyai itu akan menjawab: "ikutilah perkataanku ini!": "aku taubat kepada Allah SWT, aku kembali kepada-Nya, aku menyesali dosa yang telah aku lakukan, dan aku berjanji untuk tidak melakukan maksiat lagi selamanya, serta aku membebaskan diri dari seluruh agama selain agama Islam".
Dan ketika ia telah mengikuti ucapan kiyai itu dan pulang, ia menyangka bahwa ia telah selesai melakukan taubat!.
Ini adalah bentuk kebodohan dua pihak sekaligus: kebodohan orang awam itu, serta sang kiyai juga. Karena taubat bukan sekadar ucapan dengan lidah saja, karena jika taubat hanya sekadar berbuat seperti itu, alangkah mudahnya taubat itu.
Taubat adalah perkara yang lebih besar dari itu, dan juga lebih dalam dan lebih sulit. Ungkapan lisan itu dituntut setelah ia mewujudkannya dalam tindakannya. Untuk kemudian ia mengakui dosanya dan meminta ampunan kepada Allah SWT. Sedangkan sekadar istighfar atau mengungkapkan taubat dengan lisan --tanpa janji dalam hati-- itu adalah taubat para pendusta, seperti dikatakan oleh Dzun Nun al Mishri. Itulah yang dikatakan oleh Sayyidah Rabi'ah al 'Adawiyah: "istighfar kita membutuhkan istighfar lagi!" Hingga sebagian mereka ada yang berkata: "aku beristighfar kepada Allah SWT dari ucapanku: 'aku beristighfar kepada Allah SWT'". Atau taubat yang hanya dengan lisan, tidak disertai dengan penyesalan dalam hati!
Sementara hakikat taubat adalah perbuatan akal, hati dan tubuh sekaligus. Dimulai dengan perbuatan akal, diikuti oleh perbuatan hati, dan menghasilkan perbuatan tubuh. Oleh karena itu, al Hasan berkata: "ia adalah penyesalan dengan hati, istighfar dengan lisan, meninggalkan perbuatan dosa dengan tubuh, dan berjanji untuk tidak akan mengerjakan perbuatan dosa itu lagi."
Taubat Seperti Dijelaskan oleh Al Ghazali
Taubat seperti dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya "Ihya ulumuddin" adalah sebuah makna yang terdiri dari tiga unsur: ilmu, hal dan amal. Ilmu adalah unsur yang pertama, kemudian yang kedua hal, dan ketiga amal.
Ia berkata: yang pertama mewajibkan yang kedua, dan yang kedua mewajibkan yang ketiga. Berlangsung sesuai dengan hukum (ketentuan) Allah SWT yang berlangsung dalam kerajaan dan malakut-Nya.
Ia berkata: "Sedangkan ilmu adalah, mengetahui besarnya bahaya dosa, dan ia adalah penghalang antara hamba dan seluruh yang ia senangi. Jika ia telah mengetahui itu dengan yakin dan sepenuh hati, pengetahuannya itu akan berpengaruh dalam hatinya dan ia merasakan kepedihan karena kehilangan yang dia cintai. Karena hati, ketika ia merasakan hilangnya yang dia cintai, ia akan merasakan kepedihan, dan jika kehilangan itu diakibatkan oleh perbuatannya, niscaya ia akan menyesali perbuatannya itu. Dan perasaan pedih kehilangan yang dia cintai itu dinamakan penyesalan. Jika perasaan pedih itu demikian kuat berpengaruh dalam hatinya dan menguasai hatinya, maka perasaan itu akan mendorong timbulnya perasaan lain, yaitu tekad dan kemauan untuk mengerjakan apa yang seharusnya pada saat ini, kemarin dan akan datang. Tindakan yang ia lakukan saat ini adalah meninggalkan dosa yang menyelimutinya, dan terhadap masa depannya adalah dengan bertekad untuk meninggalkan dosa yang mengakibatkannya kehilangan yang dia cintai hingga sepanjang masa. Sedangkan masa lalunya adalah dengan menebus apa yang ia lakukan sebelumnya, jika dapat ditebus, atau menggantinya.
Yang pertama adalah ilmu. Dialah pangkal pertama seluruh kebaikan ini. Yang aku maksudkan dengan ilmu ini adalah keimanan dan keyakinan. Karena iman bermakna pembenaran bahwa dosa adalah racun yang menghancurkan. Sedangkan yakin adalah penegasan pembenaran ini, tidak meragukannya serta memenuhi hatinya. Maka cahaya iman dalam hati ini ketika bersinar akan membuahkan api penyesalan, sehingga hati merasakan kepedihan. Karena dengan cahaya iman itu ia dapat melihat bahwa saat ini, karena dosanya itu, ia terhalang dari yang dia cintai. Seperti orang yang diterangi cahaya matahari, ketika ia berada dalam kegelapan, maka cahaya itu menghilangkan penghalang penglihatannya sehingga ia dapat melihat yang dia cintai. Dan ketika ia menyadari ia hampir binasa, maka cahaya cinta dalam hatinya bergejolak, dan api ini membangkitkan kekuatannya untuk menyelamatkan dirinya serta mengejar yang dia cintai itu.
Ilmu dan penyesalan, serta tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa saat ini dan masa akan datang, serta berusaha menutupi perbuatan masa lalu mempunyai tiga makna yang berkaitan dengan pencapaiannya itu. Secara keseluruhan dinamakan taubat. Banyak pula taubat itu disebut dengan makna penyesalan saja. Ilmu akan dosa itu dijadikan sebagai permulaan, sedangkan meninggalkan perbuatan dosa itu sebagai buah dan konsekwensi dari ilmu itu. Dari itu dapat dipahami sabda Rasulullah Saw : " Penyesalan adalah taubat" (Hafizh al 'Iraqi dalam takhrij hadits-hadits Ihya Ulumuddin berkata: hadits ini ditakhrijkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al Hakim. Serta ia mensahihkan sanadnya dari hadits Ibnu Mas'ud. Dan diriwayakan pula oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim dari hadits Anas r.a. dan ia berkata: hadits ini sahih atas syarat Bukhari dan Muslim), karena penyesalan itu dapat terjadi dari ilmu yang mewajibkan serta membuahkan penyesalan itu, dan tekad untuk meninggalkan dosa sebagai konsekwensinya. Maka penyesalan itu dipelihara dengan dua cabangnya, yaitu buahnya dan apa yang membuahkannya." (Ihya Ulumuddin (4: 3,4)
Referensi : Anjuran Dalam Bertaubat kepada Allah SWT
Mengkonsumsi makanan yang halal itu merupakan amanah syariah dari Allah. Amanah sekaligus kewajiban mengkonsumsi makanan yang halal ini disebutkan di dalam banyak ayat Al-Quran. Diantaranya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 168-169).
"Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik (yang halal), yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah (beribadah)." (QS. Al-Baqarah [2]:172).
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS. Al-Maidah [5]: 88)
Nabi saw juga, dalam banyak Haditsnya, memerintahkan dan berarti mewajibkan untuk mengkonsumsi yang halal, serta meninggalkan yang haram. Ini menunjukkan betapa pentingnya mengkonsumsi makanan yang halal itu, karena merupakan masalah keimanan, menunjukkan bukti ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta sebagai ibadah. Sebab, orang yang mengkonsumsi makanan yang tidak halal, maka ibadahnya tidak akan diterima Allah, doanya tidak akan diijabah. Kalau orang katanya mengerjakan ibadah haji, tetapi dengan harta yang haram, maka ibadah hajinya tidak Mabrur, tetapi Mardud, ditolak Allah.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata : “Telah bersabda Rasulullah: “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin (seperti) apa yang telah diperintahkan kepada para rasul, maka Allah telah berfirman: Wahai para Rasul, makanlah dari segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal shalih. Dan Dia berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah Kami berikan kepadamu.’ Kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, berambut kusut, dan berdebu menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhan, wahai Tuhan” , sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana orang seperti ini dikabulkan do’anya." [HR. Muslim, No. 1015].
Kalau orang mengkonsumsi yang tidak halal, atau yang haram, maka ia diancam dengan siksa neraka. Rasulullah saw berwasiat kepada shahabatnya, Ka’ab bin ‘Ujroh dengan Hadits yang bermakna: “Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya tidak tumbuh daging yang berasal dari makanan yang haram, kecuali neraka lebih berhak untuknya.” (HR. At-Turmudzi).
Proses Biologis
Lebih lanjut lagi, makanan yang dikonsumsi itu, secara biologis, akan diproses, diantaranya menjadi sari pati kehidupan berupa sel sperma dan/atau sel telur, yang berikutnya tumbuh dan berkembang menjadi janin, lalu lahir anak, sebagai generasi pelanjut kehidupan si orang tua, dan umat manusia secara umum.
Perhatikanlah makna ayat: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu sebagai Nutfah atau air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. 23: 12-14).
Kalau Nutfah itu tumbuh dan berkembang, berasal dari makanan yang halal, maka insya Allah, anak generasi pelanjut itu akan tumbuh dan berkembang pula dalam kehidupan dengan akhlak-perilaku yang halal. Sebagai anak yang Qurrota a’yun, penyejuk jiwa dan generasi yang bertaqwa (maksud QS. 25:74). Sebaliknya, kalau berasal dari makanan yang haram, maka dapat diduga akhlak dan perilakunya pun akan cenderung pada yang haram. Hal ini selaras dengan isyarat dalam Hadits Nabi saw yang telah disebutkan di atas.
Maka, bicara tentang makanan, halal-haram, berarti juga bicara tentang anak, generasi pelanjut kehidupan umat manusia, dengan karakteristik halal-haram itu. Dan dengan demikian berarti juga tentang peradaban yang terkait dengan kedua kondisi tersebut.
Dalam catatan sejarah, para ulama salafush-sholih tumbuh dan berkembang dari orang tua dan keluarga yang sangat menjaga kehalalan makanan yang mereka konsumsi dan menghindar dari yang haram. Dan demikian berlanjut generasi ke generasi yang sama-sama menjaga kehalalan makanan yang dikonsumsi. Sehingga terwujud kecemerlangan peradaban Islam yang mengagumkan.
Kisah Wara’ yang menjadi Teladan
Perhatikanlah, sebagai contoh, bagaimana Abu Bakar ash-Shiddiq, seorang shahabat Nabi saw yang mulia, amat wara’ dan sangat terkenal karena banyak memiliki keutamaan dan sifat-sifat utama dalam Islam. Disebutkan dalam satu riwayat oleh Imam Bukhari dari ‘Aisyah bahwa ayahnya, Abu Bakar ash-Shiddiq, memiliki seorang budak yang setiap hari selalu melayani Abu Bakar (berupa harta atau makanan) dan beliau makan sehari-hari dengan pelayanannya itu.
Suatu hari, budak tersebut membawa makanan, lalu Abu Bakar pun menyantapnya. Kemudian budak itu berkata kepada beliau: “Apakah anda mengetahui apa yang anda makan ini?”. Abu Bakar balik bertanya: “Makanan ini (dari mana)?” Budak itu pun menceritakan: “Dulu di jaman Jahiliyah, aku pernah melakukan praktek perdukunan untuk seseorang (yang datang kepadaku), padahal aku tidak bisa melakukannya, dan sungguh aku hanya menipu orang tersebut. Kemudian (beberapa wakltu lalu) aku bertemu orang tersebut (lagi), dan dia memberikan (hadiah) kepadaku (berupa) makanan yang anda makan ini”. Setelah mendengar pengakuan budaknya itu Abu Bakar segera memasukkan jari tangan beliau ke dalam mulut, lalu beliau memuntahkan semua makanan dalam perut beliau”. (HR. Bukhari no. 3629).
Kisah ini menggambarkan tingginya ketakwaan dan keimanan Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau sangat berhati-hati dalam menjaga anggota badan beliau dari mengkonsunmsi makanan yang tidak halal, dan inilah aplikasi dari sifat wara’ yang sebenarnya. (Lihat “Bahjatun Nadzirin”, 1/649).
Dalam kisah lain disebutkan pula secara lebih rinci, seorang lelaki shalih bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba ia melihat sebuah apel terjatuh di luar pagar suatu kebun buah-buahan. Melihat apel merah yang ranum itu tergeletak di tanah, terbitlah air liur Tsabit. Apalagi hari begitu panas dan Tsabit tengah kehausan. Tanpa berpikir panjang Tsabit memungut dan memakan apel itu. Tapi baru setengah memakannya Tsabit ingat: apel itu bukan miliknya, dan ia belum mendapat izin dari pemiliknya.
Tsabit pun bergegas masuk ke dalam kebun itu, hendak menemui si pemilik kebun dan memintanya agar menghalalkan sebuah apel yang telah dimakannya. Di kebun itu ia bertemu seorang lelaki. “Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda dapat menghalalkannya,” kata Tsabit kepada orang itu. Namun orang itu menjawab, “Aku bukan pemilik kebun ini. Aku hanya orang yang ditugaskan menjaga dan mengurus kebun ini.”
Tsabit pun bertanya, “Kalau begitu, dimanakah rumah pemilik kebun ini? Aku harus menemuinya untuk meminta ia menghalalkan apel yang telah kumakan setengah ini, dipungut jauh dari luar pagar kebun ini.”
“Rumahnya sangat jauh. Untuk sampai ke sana engkau harus menempuh perjalanan sehari semalam,” jawab si penjaga kebun. “Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa izin pemiliknya. Bukankah Rasulullah saw., sudah memperingatkan kita melalui sabdanya: ‘Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka’,” tukas Tsabit tegas.
Tsabit pergi ke arah yang ditunjuk si penjaga kebun. Ia menuju rumah si pemilik kebun. Dan setiba di sana ia langsung mengetuk pintu. Si pemilik rumah membukakan pintu. Tsabit langsung memberi salam dengan sopan. “Wahai Tuan, saya terlanjur memakan setengah dari sebuah apel yang terjatuh ke luar dari pagar kebun milik Tuan. Karena itu, saya datang untuk meminta Tuan menghalalkan apa yang sudah saya makan itu.”
Lelaki tua pemilik kebun itu mengamati Tsabit dengan cermat. Lalu ia berkata, “Tidak! Aku tidak akan menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.”
Tsabit khawatir tidak dapat memenuhi syarat itu. Namun, ia tidak punya pilihan. “Apa syarat itu, Tuan?” Si pemilik kebun menjawab di luar dugaan. “Engkau harus mengawini putriku!”
Tsabit bin Ibrahim terkejut. “Hanya karena aku makan setengah buah apel yang jatuh keluar pagar kebun Tuan, saya harus mengawini putri Tuan?” Tsabit membuat pertanyaan dengan warna penuh keheranan.
Tapi si pemilik kebun itu tidak peduli. Bahkan ia menambahkan, “Engkau juga harus tahu. Putriku punya kekurangan. Ia buta, bisu, dan tuli. Ia juga lumpuh.”
Tsabit terkejut. Haruskah ia menikahi perempuan seperti itu hanya karena ia memakan sebuah apel yang tidak dihalalkan baginya?
Si pemilik kebun itu kembali menegaskan sikapnya, “Aku tidak akan menghalalkan apel yang telah engkau makan kecuali engkau penuhi syarat itu.”
Tsabit yang tidak ingin di tubuhnya ada barang haram sedikit pun, dengan tegas menjawab, “Baik, aku terima karena aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul ‘alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepada-Nya karena aku amat berharap Allah meridhaiku. Mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta’ala.”
Pernikahan pun dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariah. Setelah akad nikah, Tsabit dipersilakan menemui istrinya. “Assalamu”alaikum!” Tsabit tetap mengucapkan salam, walau telah diberitahu bahwa istrinya tuli dan bisu.
Tsabit kaget. Ada suara wanita,menjawab salamnya. Tsabit masuk menghampiri wanita yang telah menjadi istrinya itu. Wanita itu mengulurkan tangan menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut.
Setelah duduk di samping istrinya, Tsabit bertanya, “Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa kamu buta. Mengapa?”
Wanita itu menjawab, “Ayahku benar. Karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah bagiku.”
Tsabit bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan kamu tuli, mengapa?”
“Ayahku benar. Karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat Allah ridha,” jawab wanita itu. “Ayahku pasti juga mengatakan kepadamu aku bisu dan lumpuh, bukan?” Tsabit mengangguk mengiyakan pertanyaan istrinya itu.
“Aku dikatakan bisu Aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut Asma Allah saja. Aku dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang membuat Allah murka.”
Mendapati kenyataan demikian, Tsabit merasa sangat bahagia. Ia memperoleh seorang istri yang shalihah. Apalagi wajahnya juga bagaikan bulan purnama di malam gelap. Dari pernikahan ini Tsabit dan istrinya dikaruniai seorang putra yang di kemudian hari menjadi ulama terkemuka, menjadi rujukan dunia Islam: Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit.
Dengan kaidah halal ini, peradaban Islam yang dihasilkan tampak mengandung nilai-nilai ketaatan dan pengagungan ibadah kepada Allah. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dari bentuk arsitektur bangunan, seni kaligrafi, gaya busana sampai pada senandung dan gubahan syair serta nasyid yang bernuansa doa dan penghambaan kepada Allah, Rabb alam semesta.
Sebaliknya, peradaban Barat yang sekularistik-hedonistik tidak mempedulikan kaidah halal yang asasi ini. Sehingga yang mengemuka adalah halal-haram hantam, memperturutkan syahwat yang kelam. Dan tampilannya menguat pada mengumbar nafsu dengan perilaku hidup bebas; free love, dan free sex, dll., dengan nuansa syahwat yang sangat kental-menjijikkan; seni patung yang vulgar, gambar porno, pertunjukan-film yang seronok, bahkan juga camp nudis. Bagaikan perilaku hewan. Bahkan lebih buruk lagi; sangat jorok menjadi homoseks; seperti gay dan lesbi, yang tidak pernah terjadi di dunia hewan. Ditingkahi pula dengan drugs; khamar maupun narkoba. Persis seperti diisyaratkan dalam ayat: “Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang mukmin dan beramal saleh ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan (neraka) jahannam adalah tempat tinggal mereka.” (QS. Muhammad [47]: 12).
Dengan demikian jelas, makanan yang dikonsumsi itu sangat menentukan kualitas generasi dan peradaban. Makanan yang halal menghasilkan generasi dan peradaban dengan gaya hidup dan kehidupan yang halal pula. Sedangkan makanan yang haram sebaliknya, menumbuhkan generasi serta peradaban dengan perilaku haram. Na’udzubillahi min dzalik
Referensi : Makanan Menentukan Kualitas Generasi dan Peradaban
Maraknya praktik perzinaan ini memang harus mendapat perhatian ektra, baik pemda, ulama maupun masyarakat Jambi. Apalagi, nampaknya zina atau praktik yang mengarah pada perzinaan seolah menjadi tren. Bukan saja melalui lokalisasi atau dalam hotel, tapi zina yang saat ini dibungkus dengan ragam istilah seperti: pacaran (disertai hubungan seks), ‘cabe-cabean’, selingkuh, seks bebas, dll—sepertinya sudah dianggap biasa oleh sebagian kalangan. Bahkan saat ini ada istilah ‘swinger’ (tukar pasangan seks) dan ‘pesta seks’. Alhasil, dari waktu ke waktu zina makin massif. Zina bahkan banyak dilakukan oleh para remaja. Zina pun dikaitkan dengan momentum tertentu seperti Valentine’s Day, pesta malam tahun baru, pekan kondom nasional, dll.
Padahal zina adalah dosa besar. Bahkan mendekati zina saja haram. Allah SWT berfirman : “Janganlah kalian mendekati zina karena zina itu tindakan keji dan jalan yang amat buruk”(QS al-Isra’: 32).
Allah SWT bahkan mengaitkan dosa zina dengan dosa besar lainnya, yakni syirik dan pembunuhan. Firman-Nya :“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan lain beserta Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan( alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada Hari Kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertobat” (QS al-Furqan: 68-70).
Di dunia, pelaku zina layak mendapat hukuman berupa hukum cambuk 100 kali (bagi yang belum pernah menikah) (QS an-Nur: 2) dan diasingkan selama setahun (HR al-Bukhari). Adapun pezina yang sudah menikah atau belum pernah menikah tetapi sering berzina dikenai hukum rajam (dilempari dengan batu) sampai mati. Diriwayatkan, saat Rasulullah SAW berada di masjid, datanglah seorang pria menghadap beliau dan melapor, “Ya Rasulullah, aku telah berzina.” Mendengar pengakuan itu Rasulullah SAW berpaling dari dia sehingga pria itu mengulangi pengakuannya sampai empat kali. Kemudian Rasulullah bertanya, “Apakah engkau gila?” Pria itu menjawab, “Tidak.” Rasulullah bertanya lagi, “Apakah kamu orang muhshan?” Pria itu menjawab, “Ya.” Lalu Rasulullah SAW memerintahkan kepada para sahabat, “Bawalah dia pergi dan rajamlah.” (HR al-Bukhari).
Selain itu zina juga bisa mengundang azab bagi masyarakat. Rasul SAW pernah bersabda, “Jika zina dan riba tersebar luas di suatu kampung, maka sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).
Hadis ini menjelaskan bahwa jika zina dan riba telah menyebar di tengah suatu masyarakat maka itu akan memancing turunnya azab Allah SWT. Keberkahan akan dicabut dari masyarakat yang seperti itu. Sebaliknya keburukan dan kerusakan akan terus mendera masyarakat tersebut selama mereka tidak berupaya mencegah penyebaran zina dan riba sekaligus menghilangkan zina dan riba dari kehidupan masyarakat.
Hadis ini juga didukung oleh sejumlah hadis lain yang senada. Di antaranya hadis dari Aisyah ra, Rasul SAW bersabda, “Umatku akan terus ada dalam kebaikan selama belum menyebar di tengah mereka anak (hasil) zina. Jika di tengah mereka menyebar anak (hasil) zina maka Allah nyaris meratakan sanksi (azab) atas mereka.” (HR Ahmad).
Rasulullah SAW sebenarnya telah memberikan ultimatum terkait maraknya perzinaan di tengah-tengah masyarakat. Sabdanya : ” Apabila perzinaan (pelacuran dan perilaku seks bebas) sudah meluas di masyarakat dan dilakukan secara terang-terangan (dianggap biasa), maka infeksi dan penyakit mematikan yang sebelumnya tidak terdapat pada zaman nenek moyangnya akan menyebar diantara mereka” (HR Ibnu Majah).
Hadis diatas sudah menjadi kenyataan dengan adanya AIDS, penyakit mematikan saat ini dan belum diketahui obatnya, yang mana nenek moyang dahulu belum pernah mengalaminya, karena AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981, pada lima laki-laki homoseksual di Los Angeles Amerika Serikat.
Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda : “Hendaknya kalian menjauhi perbuatan zina, karena akan mengakibatkan empat hal yang merusak, yaitu menghilangkan kewibawaan dan keceriaan wajah, memutuskan rezeki (mengakibatkan kefakiran), mengundang kutukan Allah, dan menyebabkan kekal dalam neraka” (HR.Thabrani dari Ibn Abbas).
Hadis ini sekaligus membantah pernyataan banyak orang yang sering menyatakan bahwa salah satu penyebab perbuatan zina adalah karena faktor ekonomi atau kemiskinan. Justru perbuatan zina itulah yang akan menjerumuskan pelakunya pada kemiskinan. Dan jika pun terlihat memiliki harta,itu hanya bersifat semu dan sementara. Yang pasti ujungnya akan habis tak berbekas, hartanya tidak berkah.
Adapun di akhirat, pezina layak mendapatkan azab yang amat keras di neraka. Abu Hurairah ra menuturkan bahwa Rasul SAW pernah bersabda, “Ada tiga golongan orang yang tidak akan dilihat oleh Allah ‘Azza wa Jala: orang tua yang berzina, penguasa pendusta dan orang miskin yang sombong.” (HR Ibn Abu ad-Dunya’).
Diriwayatkan pula dari Rasulullah SAW bahwa pezina akan menyeburkan diri di dalam azab di akhirat di dalam sebuah tungku api neraka yang bagian atasnya sempit dan bawahnya luas (HR al-Bukhari).
Bahkan maraknya perzinaan itu merupakan salah satu tanda dekatnya kedatangan Hari Kiamat. Sabdanya :” “Di antara tanda dekatnya kedatangan Hari Kiamat adalah: hilangnya ilmu; menonjolnya kebodohan; merajalelanya miras; dan maraknya zina.” (HR al-Bukhari).
Setiap muslim yang mengaku beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka dia terikat pula dengan segala bentuk aturan dan ketentuan syariat Islam. Bahkan kualitas keimanannya akan sangat banyak ditentukan dari sejauh mana dia taat dengan aturan-aturan syariah. Salah satu bentuk kongkrit bagaimana terikatnya setiap muslim dengan ketentuan dari Allah SWT, adalah haramnya memakan harta yang haram dengan jalan mengambil yang bukan haknya. Di masa lalu caranya lebih sederhana, tetapi di masa sekarang ini caranya lebih canggih dan kompleks. Namun lepas dari beragam trik dan cara, intinya memakan harta yang bukan haknya, apalagi yang nilainya besar, dalam syariah Islam merupakan dosa yang masuk wilayah dosa besar (kabair).
ياآيها الذين آمنوا لاتأكلوا أموالكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. An-Nisa' : 29). Bahkan dalam sistem hukum pidana Islam, maling yang terbukti mencuri dan lengkap segala syarat dan ketentuannya, oleh hakim wajib dijatuhi hukum potong tangan.
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. Al-Maidah : 38)
Meski tidak semua kasus pengambilan harta harus dipotong tangan, namun adanya syariat memotong tangan pencuri ini menunjukkan bahwa mengambil harta haram yang bukan miliknya termasuk pelanggaran syariat yang amat besar.
2. Larangan Memanfaatkan Harta Haram
Larangan untuk memanfaatkan harta haram ini merupakan turunan dari larangan sebelumnya. Logikanya sederhana saja, kalau mengambil wujud fisik bendanya sudah haram, maka mengambil manfaatnya juga otomatis haram. Keharamannya berdasarkan mengambil manfaat dari suatu benda yang bukan miliknya, dan tanpa seizin pemiliknya. Kalau maling itu berdosa karena mencuri TV misalnya, maka tiap kali dia menontonnya, akan terus bertambah lagi dosanya. Doa maling yang cuma menyimpan TV hasil jarahannya tanpa menontonnya lebih sedikit, dari pada maling TV yang aktif menontonnya. Sudah mencuri kemudian mengambil manfaatnya.
Intinya, harta yang diambil dengan cara haram tentu bukan hak kita dan bukan milik kita, tetapi milik orang lain. Oleh karena itu, kita tidak boleh mengambil manfaat dari harta yang bukan hak kita.
Mencuri Untuk Kebaikan, Bolehkah?
Ungkapan ini terdengar aneh di telinga. Mencuri itu tidak baik, tetapi bagaimana kalau tujuannya untuk kebaikan? Jawabannya mudah saja, yaitu tetap tidak boleh. Tetapi sayangnya, di tengah masyarakat kita yang awam terhadap hukum Islam ini, masih sering kita saksikan praktek yang kurang terpuji. Misalnya, kita masih menyaksikan perampok uang rakyat menyumbangkan sebagian hartanya buat masjid, dan pengurus masjidnya bukannya mencegah malah tutup mata saja. Kadang ada pesantren yang disumbang oleh pihak-pihak yang jelas terbukti kekayaannya didapat dari jalan yang tidak halal, tetapi pengurusnya tenang-tengan saja dan pura-pura tidak tahu.
Kadang kita juga menemukan ada juga maling yang rajin memberi sedekah kepada fakir miskin, para janda dan anak-anak yatim. Sementara pengurusnya tidak bisa berbuat apa-apa.Di setiap pemilihan pejabat, masyarakat kita terbiasa menerima uang 'serangan fajar'. Sebagian ada yang menghalalkan uang-uang seperti ini, padahal dari awalnya sudah jelas bahwa praktek itu termasuk money politik yang tidak dibenarkan agama dan undang-undang.
Namun sekali sayang, memang masyarakat kita terlanjur permisif dan menganut paham serba boleh dan serba halal. Kadang alasannya klise sekali, yang haram aja susah, apalagi yang halal. Logikanya kadang rada aneh,kataknya bahwa kesempatan mendapatkan harta besar itu jarang-jarang, masak begitu dapat kesempatan mengambil harta, tiba-tiba masih bicara halal dan haram?
Dakwah Menggunakan Harta Haram Adalah Haram Hukumnya
Kalau untuk hal-hal yang mubah saja, harta yang haram itu tidak boleh dipakai, apalagi bila digunakan untuk mengajak orang kepada kebaikan dan kehalalan.
Sungguh amat tidak masuk akal kalau kita mau mengajak orang untuk meninggalkan khamar, tetapi kita sendiri justru sedang minum khamar. Demikian juga, aneh sekali kalau kita melarang orang berzina, justru kita sendiri berzina. Dan amat memalukan kalau kita melarang orang melakukan pencurian, tetapi kita sendiri justru mengambil manfaat dari barang-barang hasil curian. Menghalalkan Yang Haram Lebih Jahat Lagi Namun masih ada lagi tindakan yang paling tidak terpuji, yaitu mengubah hukum yang sudah disepakati keharamannya menjadi halal. Contohnya adalah prilaku tidak terpuji sebagian orang, yaitu ketika semua sepakat bahwa berzina itu haram, lalu ada yang bilang bahwa kumpul kebo itu bukan zina, oleh karena itu tidak haram.
Dan contoh yang paling kongkrit adalah apa yang Anda tanyakan, ketika semua orang sepakat bahwa korupsi itu haram, lalu ada pihak yang bilang kalau buat kepentingan dakwah dan agama, hukumnya berubah menjadi halal. SIkap ini termasuk perbuatan keji, sebab mencampur-adukkan kebenaran dengan kebatilan. Seharusnya uang haram itu bukan disumbangkan buat dakwah, tetapi dikembali sesuai dari mana diambil sebelumnya. Semoga ke depan kita bisa menjadi generasi pelopor yang peduli dengan halal haram harta yang kita gunakan dalam kepentingan apapun, khususnya untuk kepentingan dakwah.
Referensi : Haram Dalam Biaya Operasional Dakwah Dari Harta Haram