Pada umumnya, jual beli yang diharamkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya disebabkan oleh dua hal, yaitu barang yang diperjualbelikan termasuk kategori yang diharamkan oleh agama dan karena faktor caranya yang tidak sesuai (dilarang) dengan ajaran agama.
Namun, perlu ditegaskan bahwa beberapa contoh jual beli yang dilarang dalam pembahasan ini merupakan sample atau beberapa contoh saja dari beberapa banyak jenis jual beli yang ada. Selain contoh-contoh yang disebutkan, tentu masih ada contoh-contoh lain yang tidak sempat kemukakan dalam pembahasan ini. Pembahasan tentang Asas-asas Bisnis Islam dan Etika Bisnis dalam Islam yang telah dijelaskan pada pembahasan terdahulu dapat dijadikan acuan atau barometer untuk mengukur halal atau tidaknya suatu aktifitas bisnis yang dijalankan oleh seseorang.
Diantara beberapa jenis jual beli yang dilarang dalam Islam antara lain;
Bai’ al-Talji’ah (بيع التلجئة)
Bai’ al-Talji’ah merupakan suatu bentuk jual beli yang dilakukan oleh seorang penjual yang dalam kondisi terdesak (terpaksa) karena khawatir hartanya diambil oleh orang lain. Atau harta yang masih dalam status sengketa sehingga agar tidak mengalami keruguan, harta tersebut dijual kepada pihak lain. Pilihan untuk menjual barang dilatarbelakangi oleh tujuan untuk menyelamatkan hartanya atau mendapatkan keuntungan lebih sebelum harta dibagi dengan pemilik lainnya. Jenis jual-beli seperti ini termasuk jenis jual beli yang dilarang dalam Islam, karena dapat menimbulkan ketidakpastian, sengketa di kemudian hari serta dapat menimbulkan kerugian pada salah satu pihak, terutama pihak pembeli.
Bahkan dalam fikih Islam dikenal istilah “al-Hajru” yaitu; pencegahan atau menahan seseorang untuk melakukan transaksi atau membelanjakan hartanya (termasuk menjual) karena dianggap belum cakap demi menjaga keselamatan harta benda tersebut. Pada dasarnya “al-Hajru” ini sering dikaitkan dengan persoalan ketidakcakapan seseorang dalam melakukan transaksi jual-beli jika pelakunya masih terlalu kecil, gila atau dalam kondisi tertentu yang tidak memungkinkan untuk melakukan transaksi secara sadar dan bertanggung jawab serta dapat mengakibattkan keruguan bagi yang bersangkutann maupun pihak lain. Namun “al-hajru” juga dapat diterapkan dalam kasus yang berbeda untuk menghindari kerugian bagi pihak lain maupun yang bersangkutan.
Diantara hikmah disyari’atkannya hal ini adalah; untuk menjaga hak orang lain, misalnya; orang yang sakit parah dilarang menjual hartanya melebih 1/3 hartanya, guna menjaga hak ahli warisnya. Atau salah seorang ahli waris dilarang menjual harta warisan sebelum harta warisan tersebut dibagikan kepada ahli waris lain yang masih memiliki hak kewarisan, dan lainnya. Hikmah yang lain adalah untuk menjaga haknya sendiri, misalnya; anak yang masih kecil atau orang gila, mereka harus dicegah untuk melakukan transaksi jual beli untuk menjaga hartanya dari kepunahan.
Adapun contoh bai’ al-talji’ah antara lain;: menjual barang atau tanah yang masih dalam posisi sengketa, atau menjual barang atau rumah untuk mengelak dari proses lelang yang akan dilakukan oleh bank atau pemberi hutang. Menjual barang yang masih dalam sengketa tentu merupakan tindakan yang tidak dibenarkan baik berdasarkan norma, hukum terlebih lagi agama.
Jual Beli dengan Sistem Uang Hangus (بيع العربون)
Jual-beli ‘Urbun (bai’ al-‘Urbun) adalah suatu sistem atau bentuk jual beli dimana pembeli membayar sejumlah uang (uang muka) untuk menunjukkan keseriusan dalam melakukan transaksi jual beli. Jika jual beli tersebut dilanjutkan, maka uang muka tersebut akan menjadi bagian dari harga barang yang diperjual belikan, sehingga pembeli hanya menggenapkan atau melengkapi kekurangan dari harga barang. Namun jika transaksi jual beli dibatalkan, maka keseluruhan uang muka menjadi milik calon penjual dan sedikitpun tidak dikembalikan kepada calon pembeli. Dalam istilah yang lebih populer jenis jual beli seperti ini sering disebut dengan “jual beli dengan sistem uang hangus”.
Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw melarang jenis jual beli ini, sebagaimana dijelaskan oleh para sahabat; “Naha Rasulullah saw ‘an bai’ al-‘Urbun” (Rasulullah saw telah melarang jual beli ‘Urbun).
Jenis jual beli ini termasuk yang diharamkan karena penuh dengan kezaliman, rekayasa serta mengambil hak orang lain secara bathil dan dapat merugikan pihak lain. Sebab pada prinsifnya uang muka merupakan hak milik pembeli, sehingga jika terjadi pembatalan transaksi karena faktor-faktor tertentu, maka uang muka harus dikembalikan kepada calon pembeli, karena pembeli tidak mengambil sedikitpun dari barang yang sedang ditransaksikan. Namun jika pembatalan itu dilakukan secara sepihak tanpa alasan yang dibenarkan dan dapat merugikan pihak calon penjual, maka calon penjual dapat meminta kompensasi yang wajar menurut kesepakatan dan keridhaan kedua belah pihak, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dan dikhianati.
Hal ini juga berlaku pada bisnis transportasi yang banyak ditemukan dewasa ini, seperti; seseorang memesan travel beberapa hari sebelumnya untuk tujuan tertentu, namun sehari atau pada saat jadwal pemberangkatan tiba si calon penumpang membatalkan secara sepihak dengan alasan tertentu. Maka pihak pemilik jasa travel merasa dirugikan oleh calon penumpangnya karena bangku yang sudah dipesan tidak dapat diberikan (dijual) kepada pemesan lainnya karena sudah terlanjur dipesan oleh calon penumpang pertama. Konsekwensinya adalah terjadi kekosongan yang mengakibatkan kerugian bagi pemilik jasa travel tersebut. Terhadap kasus seperti ini, pemilik travel dapat mengambil sebagian dari uang muka (seperti; 25% atau 50%) sebagai kompensasi terhadap kerugian yang dideritanya. Atau pihak pemilik jasa travel dapat membuat regulasi (peraturan) yang ditempelkan atau dipublikasikan sehingga diketahui oleh para calon penumpang, bahwa jika terjadi pembatalan pada hari pemberangkatan maka akan dipotong sebesar 25% atau lebih dari uang muka atau dari tarif yang telah ditentukan.
Bai’ Ihtikar (بيع الإحتكار)
Jual beli Ihtikar adalah salah satu jenis jual beli yang dilarang dalam Islam, yaitu suatu jenis jual beli dengan sistem penimbunan. Dimana seorang penjual (pedagang) sengaja memborong barang yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam jumlah yang sangat banyak lalu menimbunnya, sehingga menyebabkan kelangkaan barang di pasaran, yang pada akhirnya mengakibatkan harga barang melambung tinggi sehingga mengakibatkan kesulitan bagi masyarakat dan lemahnya daya beli mereka.
Motif utama dari pelaku jual beli ini adalah untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda, karena biasanya mereka akan menjual barang timbunannya setelah harga melonjak naik di pasaran. Oleh sebab itu Rasulullah saw melarang jenis jual beli ini dan dikategorikan sebagai bentuk kesalahan dan kezhaliman kepada orang lain. Rasulullah saw bersabda, sebagaimana diriwayatkan dari Ma’mar;
عَنْ يَحْيَ وَهُوَ ابْنُ سَعِيْدٍ قَالَ: كَانَ سَعِيْدُ ابْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ…. – رواه مسلم و أحمد و أبو داود
“Dari Yahya beliau adalah ibn Sa’id, ia berkata: Bahwa Sa’id ibn Musayyab memberitakan bahwa Ma’mar berkata: Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang menimbun barang, maka ia telah melakukan kesalahan (berdosa) …”(HR. Muslim, Ahmad dan Abu Dawu)
Dalam prakteknya, jenis jual beli ini sering kali terjadi di tengah masyarakat baik yang menyangkut kebutuhan pokok masyarakat (sembako) maupun kebutuuhan-kebutuhan lainnya, terutama dalam momen-momen tertentu seperti lebaran atau pergantian tahun, atau bahkan ketika berhembusnya wacana kenaikan harga barang oleh pemerintah. Sehingga tidak jarang karena kezhaliman ini, masyarakat kesulitan untuk mendapatkan minyak goreng, bumbu-bumbu dapur, bensin, solar, hingga air mineral.
Praktek seperti ini, disamping merupakan bentuk egoisme dan kezhaliman terhadap masyarakat luas, namun juga salah satu bentuk kebiadaban (kezhaliman) dan dosa kemanusiaan yang sangat besar.
Jual Beli Benda Najis
Pada dasarnya, yang dimaksud dengan benda-benda najis di sini adalah makanan, minuman atau hewan yang dianggap najis dan dilarang untuk dikonsumsi seperti babi, anjing, minuman keras, bangkai dan lain sebagainya. Benda-benda ini tidak hanya dilarang untuk dikonsumsi secara langsung, namun juga dilarang untuk diperjual belikan. Bahkan orang yang memakan hasil penjualannya sama dengan mengkonsumsi barang itu sendiri.
Dalam hadis nabi saw, banyak menjelaskan tentang larangan mengkonsumsi dan memperjual belikan benda-benda najis ini, antara lain:
عَنْ جَابِرِ ابْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ عَامَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ إِنَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيْرِ وَالأَصْنَامِ فَقِيْلَ يَارَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ شُحُوْمُ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُوْدُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ. فَقَالَ لاَ هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَالِكَ قَاتَلَ اللهُ الْيَهُوْدَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُوْمُهَا أَجْمَلُوْهُ ثُمَّ بَاعُوْهُ فَأَكَلُوْا ثَمُنَهُ. – رواه الجماعة
“Dari jabir Ibn Abdullah r.a. ia mendengar Rasulullah saw bersabda pada waktu tahun kmenangan, ketika itu beliau di Makkah: Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi dan berhala. Kemudian ditanyakan kepada beliau: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang lemak bangkai, karena ia dapat digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit, dan dapat digunakan oleh orang-orang untuk penerangan. Beliau bersabda: Tidak, ia adalah haram. Kemudian beliau bersabda: Allah melaknat orabr-orang Yahudi. Sesungguhnya Allah tatkala mengharamkan lemaknya, mereka mencairkan lemak itu, kemudian menjualnya dan makan hasil penjualannya”. (HR. al-Jama’a)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ حُرِّمَتْ عَلَيْهِمُ الشُّحُوْمُ فَبَاعُوْهَا وَ أَكَلُوْ أَثْمَانِهَا وَإِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْئٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ. – رواه أحمد و أبو داود
“Dari Ibnu Abbas Nabi saw bersabda: Allah melkanat orang-orang Yahudi, karean telah diharamkan kepada mereka lemak-lemak (bangkai) namun mereka menjualnya dan memakan hasil penjualannya. Sesungguhnya Allah jika mengharamkan kepada suatu kaum memakan sesuatu, maka haram pula hasil penjualannya”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Bahkan dalam hadis lain, Rasulullah saw menjelaskan tentang akibat dari mengkonsumsi barang najis seperti khamar dan lainnya, antara lain dalam hadisnya:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْغَافِقِيِّ وَأَبِي طُعْمَةَ مَوْلَاهُمْ أَنَّهُمَا سَمِعَا ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُعِنَتْ الْخَمْرُ عَلَى عَشْرَةِ أَوْجُهٍ بِعَيْنِهَا وَعَاصِرِهَا وَمُعْتَصِرِهَا وَبَائِعِهَا وَمُبْتَاعِهَا وَحَامِلِهَا وَالْمَحْمُولَةِ إِلَيْهِ وَآكِلِ ثَمَنِهَا وَشَارِبِهَا وَسَاقِيهَا – رواه أحمد و ابن ماجة
“Dari Abdurrahman bin Abdullah Al Ghafiqi dan Abu Thu’mah mantan budak mereka, keduanya mendengar Ibnu Umar berkata, “Rasulullah saw bersabda: ” dilaknat (akibat) khamar sepuluh pihak; dzatnya, yang memerasnya, yang minta diperaskan, penjualnya, yang minta dibelikan, yang membawanya, yang minta dibawakannya, yang memakan hasil penjualannya, peminumnya dan yang menuangkannya (pelayannya), “ (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Jual Beli dengan Penipuan
Jenis jual beli ini telah umumm dikenal di tengah masyarakat sebagai salah satu bentuk jual beli yang dilarang dan tidak disukai oleh masyarakat, baik dengan cara-cara tradisional hingga cara-cara penipuan yang moderen. Sehingga dalam pembahasan ini penulis hanya mengemukakan salah satu dalil yang melarang disertai beberapa contoh jenis jual-beli dengan penipuan yang banyak dijumpai di tengah-tengah masyarakat. Adapun salah satu dalil yang melarangnya adalah sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah ra:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيْهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ مَاهَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَارَسُوْلَ اللهِ قَالَ أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى. – رواه مسلم
“Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw lewat pada setumpuk makanan, kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan tersebut, maka jari-jari beliau terkena makanan yang basah. Beliau bertanya; Apa ini wahai pemilik (penjual) makanan ? Ia menjawab: Terkena hujan, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Mengapa kamu tidak menaruh yang basah ini di atas agar dapat dilihat orang ? Barangsiapa yang menipu, maka ia bukan golonganku”. (HR. Muslim)
Sedangkan contoh-contoh jenis jual-beli dengan penipuan yang banyak beredar di tengah-tengah masyarakat antara lain; menjual sembako (contoh: beras) dengan takaran atau neraca yang direkayasa (dilas atau dipasang magnet) sehingga berat barang tidak sesuai dengan realitanya, menjual buah yang sesungguhnya sudah tidak layak namun diberikan zat pewarna sehingga terkesan masih segar, menjual daging sapi namun dicampur dengan daging babi dan sejenisnya, menjual ayam yang sudah menjadi bangkai (ayam tiren) lalu direkayasa seolah ayam yang baru disembelih, barang kemasan yyang sudah kadaluarsa atau terbuat dari bahan-bahan haram lalu disembunyikan masa kadaluarsanya atau ditempelkan llabel halal, dan lain sebagainya.
Cara cerdas agar seseorang tidak menjadi korban penipuan dalam transaksi jual beli adalah; hendaknya para calon pembeli berhati-hati dan waspada dengan berbagai modus yang banyak dilakukan oleh para penipu yang hanya mementingkan keuntungan pinansial tanpa memikirkan dampak dan kerugian bagi para pembeli, tidak terlalu konsumtif dan harus jeli melihat barang yang akan dibelinya baik yang terkait dengan bahan dasarnya, rupanya hingga labelnya.
Bai’ al-wafa’ (بيع الوفاء)
Bai al-wafa’ adalah suatu jenis jual beli barang yang disyaratkan, dimana seorang menjual barangnya kepada pihak lain dengan syarat barang tersebut harus dijual pada dirinya (penjual) dengan harga tertentu dan pada saat tertentu sesuai dengan perjanjian. Atau menjual barang dalam batas waktu tertentu, jika waktu itu tiba maka seorang pembeli harus menjual kembali barangnya kepada penjual pertama itu. Misalnya penjual mengatakan kepada calon pembeli, barang ini saya jual dengan harga satu juta rupiah, dengan syarat tiga bulan yang akan datang kamu harus menjual barang tersebut kepada saya dengan harga tertentu.
Jenis jual beli ini termasuk jenis jual beli yang terlarang, karena termasuk rekayasa dan memberikan ketidakpastian, atau kepemilikan yang tidak utuh terhadap barang yang dibeli oleh seseorang. Padahal dalam syariat Islam, jual beli merupakan salah satu cara terjadinya perubahan kepemilikan (al-Taghayyur al-Milkiyah) dari seseorang kepada orang lain. Dengan terjadinya perubahan kepemilikan tersebut, maka seorang pembeli berhak memiliki barang yang dimilikinya tanpa terikat dengan waktu tertentu. Ia berhak untuk mengggunakannya dalam waktu yang dia inginkan serta berhak menghibahkan atau menjual barang (harta) nya kepada siapapun secara leluasa.
Jual Beli Muhaqalah, Mukhadharah, Mulamasah, Munabazah dan Muzabanah
Larangan tentang keempat jenis jual beli ini telah disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dari sahabat Anas bin Malik ra, sebagai berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُخَاضَرَةِ وَالْمُلاَمَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ والْمُزَابَنَةِ – رواه البخارى
“Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata: Rasulullah saw melarang jual beli al-Muhaqalah, al-Mukhadharah, al-Mulamasah, al-Munabazah dan jual beli al-Muzabanah.” (HR. Al-Bukhari)
Adapun pengertian dari kelima jenis jual beli tersebut adalah;
Jual beli al-Muhaqalah adalah; jenis jual beli dengan cara sewa menyewa tanah, baik berbentuk sawah, kebun maupun berbentuk tambak dengan cara hasilnya nanti dibagi antara pemilik tanah dengan penyewa tanah.
Jual beli al-Mukhadharah adalah; pengadaan jual beli buah-buahan yang masih berada di atas pohon yang belum diketahui secara pasti kualitas (baik-buruknya) buah yang masih diatas pohon itu pada saat terjadinya musim panen. Pengertian jual beli seperti ini daalam praktek masyarakat di Indonesia sering disebut dengan jual beli Ijon.
Jual beli al-Mulamasah adalah; mengadakan jual beli dengan cara meraba barang yang akan diperjual belikan dengan tanpa melihat barangnya.
Jual beli al-Munabazah adalah; mengadakan jual beli dengan cara saling melemparkan barang-barang yang akan dijual belikan dengan tampa memeriksanya kembali.
Jual beli al-Muzabanah adalah; mengadakan jual beli kurma basah dengan kurma kering yang masih berada di atas pohon. Hal ini juga berlaku terhadap semua jenis buah-buahan lainnya, sehingga taksiran perbedaan volume (baik secara kuantitas maupun kualitas) antara yang basah apabila telah kering tidak dapat diketahui.
Dengan melihat definisi dari kelima jenis jual beli yang dilarang tersebut, dapat difahami bahwa di antara faktor yang menyebabkan dilarangnya praktek jual beli tersebut antara lain; faktor jahalah (kesamaran atau ketidaktahuan) terhadap kuantitas dan kualitas barang, tidak memberikan kepastian, adanya unsur maisir (spekulasi yang tidak dibenarkan), mengandung unsur riba, kezhaliman terhadap salah satu pihak yang bertransaksi, berpeluang menimbulkan penyesalan dari salah satu di antara dua belah pihak karena dapat menyebabkan kerugian bahkan dapat memunculkan ketidak harmonisan karena ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan yang dihadapinya.
Faktor-faktor tersebut dapat dibuktikan, salah satunya ialah pada praktek jual beli Muzabanah. Secara substantif, definisi jual beli Muzabanah sebagaimana dikemukakan oleh para ulama adalah; setiap jual beli barang yang tidak/belum diketahui takaran, timbangan atau jumlahnya kemudian ditukar dengan barang lain yang sudah jelas timbangan atau jumlahya. Seperti; menukar kurma atau padi/beras yang sudah ditimbang dengan kurma atau padi yang masih berada di pohonnya. Dalam praktek seperti ini terdapat beberapa unsur larangan seperti; adanya unsur riba, karena tidak jelasnya takaran kedua kurma yang akan ditukar. Padahal syarat ketika menukar barang ribawi yang sejenis harus dengan cara tunai dan takaran yang sama. Pada contoh praktek tersebut juga terdapar unsur kezhaliman karena dapat merugikan salah satu pihak, serta adanya unsur maisir, karena adanya ketidakpastian dan spekulasi yang dilarang.
Oleh sebab itu, Rasulullah saw menegaskan dalam hadis lain dari sahabat Abdullah bin Umar ra;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُزَابَنَةِ وَالْمُزَابَنَةُ بَيْعُ الثَّمَرِ بِالتَّمْرِ كَيْلًا وَبَيْعُ الزَّبِيبِ بِالْكَرْمِ كَيْلًا – رواه البخاري ومسلم
“Dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasulullah saw melarang Al Muzaabanah. Al Muzaabanah adalah menjual kurma matang dengan kurma mentah yang ditimbang dan menjual anggur kering dengan anggur basah yang ditimbang. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Jual Beli ‘Inah
Selain dari kelima jenis jual beli di atas, masih terdapat lagi beberapa jenis jual beli yang dilarang oleh agama (Islam) karena memiliki unsur riba, yaitu jual beli ‘Inah, yaitu; suatu jenis jual beli dimana seseorang menjual barang kepada orang lain (pembeli) secara tidak tunai, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tersebut secara tunai dengan harga yang lebih murah.
Tujuan dari transaksi ini adalah untuk mengakal-akali memperdaya pihak lain agar mendapatkan keuntungan dari transaksi utang piutang yang dikemas dengan akad atau transaksi jual beli.
Contoh jual beli ‘Inah: “Seorang Pemilik tanah ingin dipinjami uang oleh seseorang (pihak lain atau calon pembeli). Karena pada saat transaksi pihak yang ditawarkan belum memiliki uang tunai, maka pemilik tanah mengatakan kepadanya; Saya jual tanah ini kepadamu secara kredit seharga 200 juta rupiah dengan tenggang waktu pelunasan sampai dua tahun ke depan. Namun beberapa waktu kemudian, pemilik tanah mengatakan kepada pihak pembeli, sekarang saya membeli tanah itu lagi dengan harga 170 juta secara tunai.
Sebenarnya di sini, pemilik tanah telah melakukan tipu muslihat, karena ia sesungguhnya ingin meminjamkan uang 170 juta dengan pengembalian lebih menjadi 200 juta. Tanah hanya sebagai perantara. Namun keuntungan dari utang di atas, itulah yang ingin dicari. Inilah yang disebut transaksi ‘inah. Ini termasuk di antara trik riba. Karena dalam hadis Nabi saw disebutkan: “setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, itu adalah riba.”
Sedangkan hadis yang melarang jenis jual beli ‘Inah ini terdapat dalam hadis riwayat Abu dawwud sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ قَالَ أَبُو دَاوُد الْإِخْبَارُ لِجَعْفَرٍ وَهَذَا لَفْظُهُ
“Dari Ibnu Umar ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Jika kalian berjual beli secara cara ‘inah, mengikuti ekor sapi, ridha dengan bercocok tanam dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” Abu Daud berkata, “Ini adalah riwayat Ja’far, dan hadits ini adalah lafadznya.” (HR. Abu Daud)
Bisnis (Jual Beli) Jasa Tato
Seni tato merupakan salah satu jenis bisnis yang cukup digemari oleh sebagian orang terutama anak-anak muda. Bahkan dianggap sebagai karya seni yang menjadi ciri khas dan identitas sekelompok orang. Orang yang menggunakannya pun merasa percaya diri, macho dan gaul, tetapi oleh sebagian orang, para penggunanya justru sering diidentikkan dengan penilaian-penilaian negatif, seperti preman, anak jalanan dan lain sebagainya.
Dalam Islam, praktek tato atau bertato ini mendapatkan perhatian yang sangat serius, bahkan termasuk salah satu perbuatan yang dikutuk atau dimurkai oleh Rasulullah saw. Maka jika hal ini termasuk perbuatan yang dimurkai (dilaknat) oleh Rasulullah saw, maka tentu memfasilitasi dan menjual jasa tato juga bagian yang terlarang. Hal ini dapat dijumpai penjelasannya dalam beberapa hadis Nabi saw, antara lain:
عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ رَأَيْتُ أَبِي فَقَالَ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ وَثَمَنِ الْكَلْبِ وَآكِلِ الرِّبَا وَمُوكِلِهِ وَالْوَاشِمَةِ وَالْمُسْتَوْشِمَةِ. – رواه البخاري
“Dari Aun bin Abu Juhaifah dia berkata; aku pernah melihat Ayahku berkata; sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hasil (menjual) darah dan hasil penjualan anjing, memakan riba dan yang memberi makan dan yang mentato dan yang meminta ditato.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam hadis lain disebutkan:
حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِي عَوْنُ بْنُ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ رَأَيْتُ أَبِي اشْتَرَى حَجَّامًا فَأَمَرَ بِمَحَاجِمِهِ فَكُسِرَتْ فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ وَثَمَنِ الْكَلْبِ وَكَسْبِ الْأَمَةِ وَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَآكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَلَعَنَ الْمُصَوِّرَ. – رواه البخاري
“Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Minhal telah menceritakan kepada kami Syu’bah berkata, telah mengabarkan kepada saya ‘Aun bin Abu Juhaifah berkata; Aku melihat Bapakku membeli tukang bekam lalu memerintahkan untuk menghancurkan alat-alat bekamnya. Kemudian aku tanyakan masalah itu. Lalu Bapakku berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang harga (uang hasil jual beli) darah, anjing, memeras budak wanita dan melarang orang yang membuat tato dan yang minta ditato dan pemakan riba’ dan yang meminjamkan riba, serta melaknat pembuat patung.” (HR. Al-Bukhari)
Bisnis (Jual Beli) Prostitusi
Prostitusi (zina/pelacuran) merupakan salah satu penyakit masyarakat (pekat) yang sudah lama muncul dan berkembang baik secara liar maupun secara terorganisir (baca: lokalisasi). Bahkan, bisnis ini dikembangkan oleh sebagian oknum untuk meraup keuntungan finansial sebanyak mungkin baik dengan cara yang santun maupun cara-cara pemaksaan, penculikan, penipuan dan berbagai cara yang tidak manusiawi.
Pada zaman moderen, penyakit masyarakat ini semakin mengkhawatirkan karena sering dijadikan solusi oleh sebagian orang untuk mencari dan mencukupi penghidupan. Jual beli kenikmatan ini telah diharamkan dan dilaknat oleh Rasulullah saw, sebagaimana dijelaskan dalam hadisnya;
ح عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ. – رواه البخاري
“Dari Abu Mas’ud Al Anshariy ra. bahwa Rasulullah saw melarang uang hasil jual beli anjing, mahar seorang pezina (prostitusi) dan upah bayaran dukun.” (HR. Al-Bukhari)
Jual Beli Babi dan Anjing
Keharaman dan kenajisan tentang dua jenis benda atau makhluk ini banyak dijumpai baik dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi saw. Berikut ini merupakan dalil tentang kenajisan sekaligus keharaman babi dan anjing baik dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi saw:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ…… – المائدة: 3
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkanjuga) mengundi nasib dengan anak panah…. “ (QS. Al-Ma’idah: 3)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ أَحَادِيثَ مِنْهَا وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِيهِ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ. – رواه مسلم
“Dari Abi Hurairah, Muhammad Rasulullah sawbersabda: “Sucikanlah bejana kalian apabila ia dijilat oleh anjing dengan mencucinya tujuh kali.” (HR. Muslim)
Selain ayat dan hadis tersebut di atas, secara khusus tentang keharaman mengkonsumsi dan memakan hasil penjualan anjing dapat ditemukan dalam beberapa hadis Nabi saw., antara lain:
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ. – رواه البخاري ومسلم
“Dari Abu Mas’ud ra., ia berkata; Nabi saw melarang untuk memakan hasil keuntungan dari anjing, dan dukun dan pelacur (prostitusi).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Jual Beli Khamar dan Obat Terlarang
Salah satu jenis jual beli yang dilarang adalah Jual beli khamar dan sejenisnya. Mengkonsumsi barang-barang terlarang ini telah disebutkan secara tegas baik dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi saw. Ketika Allah dan Rasulnya melarang mengkonsumsi sesuatu, maka sesuatu itupun dilarang untuk diperjual belikan, sebab memakan hasil penjualan barang haram sama dengan mengkonsumsinya. Adapun ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang keharaman mengkonsumsi khamar dan sejenisnya antara lain;
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا – البقرة: 219
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah; pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya….” (QS. Al-Baqarah: 219)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ – المائدة: 90
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma’idah: 90)
Sedangkan hadis Nabi yang melarang dan melaknat bisnis dan mengkonsumsi khamar antara lain;
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ لَمَّا أُنْزِلَتْ الْآيَاتُ مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِي الرِّبَا خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَقَرَأَهُنَّ عَلَى النَّاسِ ثُمَّ حَرَّمَ تِجَارَةَ الْخَمْرِ. – رواه البخاري
“Dari ‘Aisyah berkata; Ketika turun ayat-ayat dalam Surah al-Baqarah tentang masalah riba, Nabi saw keluar ke masjid lalu membacakan ayat-ayat tersebut kepada manusia. Kemudian beliau mengharamkan perdagangan khamar.” (HR. Al-Bukhari)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْغَافِقِيِّ وَأَبِي طُعْمَةَ مَوْلَاهُمْ أَنَّهُمَا سَمِعَا ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُعِنَتْ الْخَمْرُ عَلَى عَشْرَةِ أَوْجُهٍ بِعَيْنِهَا وَعَاصِرِهَا وَمُعْتَصِرِهَا وَبَائِعِهَا وَمُبْتَاعِهَا وَحَامِلِهَا وَالْمَحْمُولَةِ إِلَيْهِ وَآكِلِ ثَمَنِهَا وَشَارِبِهَا وَسَاقِيهَا. – رواه الترميذي و إبن ماجة
“Dari Abdurrahman bin Abdullah Al Ghafiqi dan Abu Thu’mah bekas budak mereka, keduanya mendengar Ibnu Umar berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Khamer dilaknat atas sepuluh bagian; dzatnya, yang memerasnya, yang minta diperaskan, penjualnya, yang minta dibelikan, yang membawanya, yang minta dibawakannya, yang memakan hasil penjualannya, peminumnya dan yang menuangkannya, “ (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Al-Qur’an surah Āli ‘Imrān/3 ayat 133-136
۞ وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ
Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.
(133) Allah menyuruh agar kaum Muslimin bersegera meminta ampun kepada-Nya bila sewaktu-waktu berbuat dosa dan maksiat, karena manusia tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Seorang Muslim tidak akan mau mengerjakan perbuatan yang dilarang, tetapi kadang-kadang karena kuatnya godaan dan tipu daya setan dia terjerumus ke dalam jurang maksiat, kemudian ketika sadar akan kesalahannya dan menyesal atas perbuatan itu dia lalu bertobat dan mohon ampun kepada Allah, maka Allah akan mengampuni dosanya. Allah adalah Maha Penerima tobat dan Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Bila seorang Muslim selalu menaati perintah Allah dan Rasul-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dan segera bertobat bila jatuh ke jurang dosa
dan maksiat, maka Allah akan mengampuni dosanya dan akan memasukkannya nanti di akhirat ke dalam surga yang amat luas sebagai balasan atas amal yang telah dikerjakannya di dunia yaitu surga yang disediakan-Nya untuk orang yang bertakwa.
QS. Āli ‘Imrān/3: 134
الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ
(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.
(134) Ayat ini langsung menjelaskan sifat-sifat orang yang bertakwa, yaitu: Pertama: Orang yang selalu menafkahkan hartanya baik dalam keadaan berkecukupan maupun dalam keadaan kesempitan (miskin), sesuai dengan kesanggupannya. Menafkahkan harta itu tidak diharuskan dalam jumlah yang ditentukan sehingga ada kesempatan bagi si miskin untuk memberi nafkah. Bersedekah boleh saja dengan barang atau uang yang sedikit nilainya, karena itulah apa yang dapat diberikan tetap akan memperoleh pahala dari Allah SWT
Diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mukminin bahwa dia bersedekah dengan sebiji anggur, dan di antara sahabat-sahabat Nabi ada yang bersedekah dengan sebiji bawang. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
اِتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ وَرَدُّوا السَّائِلَ وَلَوْ بِظُلْفٍ مُحْرَقٍ (رواه أحمد في مسنده)
“Peliharalah dirimu dari api neraka meskipun dengan menyedekahkan sepotong kurma, dan perkenankalah permintaan seorang peminta walaupun dengan memberikan sepotong kuku hewan yang dibakar.” (Riwayat Ahmad dalam Musnad-nya )
Bagi orang kaya dan berkelapangan tentulah sedekah dan dermanya harus disesuaikan dengan kesanggupan. Sungguh amat janggal bahkan memalukan bila seorang yang berlimpah-limpah kekayaannya hanya memberikan derma dan sedekah sama banyaknya dengan pemberian orang miskin. Ini menunjukkan bahwa kesadaran bernafkah belum tertanam di dalam hatinya. Allah berfirman:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا
Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan. (al-‘alaq/65:7).
Sifat kikir yang tertanam dalam hati manusia hendaklah diberantas dengan segala macam cara dan usaha, karena sifat ini adalah musuh masyarakat nomor satu. Tak ada satu umat pun yang dapat maju dan hidup berbahagia kalau sifat kikir ini merajalela pada umat itu. Sifat kikir bertentangan dengan perikemanusiaan.
Oleh sebab itu Allah memerintahkan untuk menafkahkan dan menjelaskan bahwa harta yang ditunaikan zakatnya dan didermakan sebagiannya, tidak akan berkurang bahkan akan bertambah. Firman Allah:
يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.… (al-Baqarah/2:276).; Imam Gazali menjelaskan bahwa memerangi suatu sifat yang buruk haruslah dengan membiasakan diri melawan sifat itu. Jadi kalau orang akan memberantas sifat kikir dalam dirinya hendaklah dia membiasakan berderma dan memberi pertolongan kepada orang lain. Dengan membiasakan diri akan hilanglah sifat kikirnya dengan berangsur-angsur.
Kedua: Orang yang menahan amarahnya. Biasanya orang yang memperturutkan rasa amarahnya tidak dapat mengendalikan akal pikirannya dan ia akan melakukan tindakan-tindakan kejam dan jahat sehingga apabila dia sadar pasti menyesali tindakan yang dilakukannya itu dan dia akan merasa heran mengapa ia bertindak sejauh itu. Oleh karenanya bila seseorang dalam keadaan marah hendaklah ia berusaha sekuat tenaga menahan rasa amarahnya lebih dahulu. Apabila ia telah menguasai dirinya kembali dan amarahnya sudah mulai reda, barulah ia melakukan tindakan yang adil sebagai balasan atas perlakuan orang terhadap dirinya.
Apabila seseorang telah melatih diri seperti itu maka dia tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang melampaui batas, bahkan dia akan menganggap bahwa perlakuan yang tidak adil terhadap dirinya itu mungkin karena khilaf dan tidak disengaja dan ia akan memaafkannya. Allah menjelaskan bahwa menahan amarah itu suatu jalan ke arah takwa. Orang yang benar-benar bertakwa pasti akan dapat menguasai dirinya pada waktu sedang marah.
Siti Aisyah pernah menjadi marah karena tindakan pembantunya, tetapi beliau dapat menguasai diri, karena sifat takwa yang ada padanya. Beliau berkata, “Alangkah baiknya sifat takwa itu, ia bisa menjadi obat bagi segala kemarahan.” Nabi Muhammad saw bersabda, “Orang yang kuat itu bukanlah yang dapat membanting lawannya tetapi orang yang benar-benar kuat ialah orang yang dapat menahan amarahnya.” Allah berfirman:
وَاِذَا مَا غَضِبُوْا هُمْ يَغْفِرُوْنَ
… Dan apabila mereka marah segera memberi maaf. (asy-Syura/42:37).; Ketiga: Orang yang memaafkan kesalahan orang lain. Memaafkan kesalahan orang lain sedang kita sanggup membalasnya dengan balasan yang setimpal, adalah suatu sifat yang baik yang harus dimiliki oleh setiap Muslim. Mungkin hal ini sulit dipraktekkan karena sudah menjadi kebiasaan bagi manusia membalas kejahatan dengan kejahatan tetapi bagi manusia yang sudah tinggi akhlak dan kuat imannya serta telah dipenuhi jiwanya dengan ketakwaan, maka memaafkan kesalahan itu mudah saja baginya.
Mungkin membalas kejahatan dengan kejahatan masih dalam rangka keadilan tetapi harus disadari bahwa membalas kejahatan dengan kejahatan pula tidak dapat membasmi atau melenyapkan kejahatan itu. Mungkin dengan adanya balas membalas itu kejahatan akan meluas dan berkembang.
Bila kejahatan dibalas dengan maaf dan sesudah itu diiringi dengan perbuatan yang baik, maka yang melakukan kejahatan itu akan sadar bahwa dia telah melakukan perbuatan yang sangat buruk dan tidak adil terhadap orang yang bersih hatinya dan suka berbuat baik. Dengan demikian dia tidak akan melakukannya lagi dan tertutuplah pintu kejahatan.
Keempat: Orang yang berbuat baik. Berbuat baik termasuk sifat orang yang bertakwa maka di samping memaafkan kesalahan orang lain hendaklah memaafkan itu diiringi dengan berbuat baik kepada orang yang melakukan kesalahan.
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, ada seorang jariah (budak perempuan) milik Ali bin Husain menolong tuannya menuangkan air dari kendi untuk mengambil wudu. Kemudian kendi itu jatuh dari tangannya dan pecah berserakan. Lalu Ali bin Husain menatap mukanya seakan-akan dia marah. Budak itu berkata, “Allah berfirman:
وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ
… Dan orang-orang yang menahan amarahnya … (Ali ‘Imran/3:134).” ; Ali bin Husain menjawab, “Aku telah menahan amarah itu.” Kemudian budak itu berkata pula, “Allah berfirman:
وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِ
… Dan memaafkan (kesalahan) orang lain … (Alii ‘Imran/3:134).” ;Dijawab oleh Ali bin Husain, “Aku telah memaafkanmu.” Akhirnya budak, itu berkata lagi, “Allah berfirman:
وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ
… Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. (Ali ‘Imran/3:134).” ; Ali bin Husain menjawab, “Pergilah kamu aku telah memerdekakanmu,” demi mencapai keridaan Allah.
Demikianlah tindakan salah seorang cucu Nabi Muhammad saw terhadap kesalahan seorang budak karena memang dia orang yang mukmin yang bertakwa, tidak saja dia memaafkan kesalahan budaknya bahkan pemberian maaf itu diiringinya dengan berbuat baik kepadanya dengan memerdekakannya.
QS. Āli ‘Imrān/3: 135
وَالَّذِيْنَ اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْۗ وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗ وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلٰى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.
(135) Orang yang mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri kemudian mereka segera meminta ampun kepada Allah dan tidak mengulangi lagi perbuatan itu.
Para mufasir membedakan antara perbuatan keji (fakhisyah) dengan menganiaya diri sendiri (dzulm). Mereka mengatakan, perbuatan keji ialah perbuatan yang bahayanya tidak saja menimpa orang yang berbuat dosa tetapi juga menimpa orang lain dan masyarakat. Menganiaya diri sendiri ialah berbuat dosa yang bahayanya hanya dirasakan oleh orang yang mengerjakan saja. Perbuatan keji seperti berzina, berjudi, memfitnah dan sebagainya. Perbuatan menganiaya diri sendiri seperti memakan makanan yang haram, memboroskan harta benda, menyia-nyiakannya dan sebagainya.
Mungkin seorang Muslim telanjur mengerjakan dosa besar karena kurang kuat imannya, karena godaan setan atau karena sebab-sebab lain, tetapi ia segera insaf dan menyesal atas perbuatannya kemudian ia memohon ampun kepada Allah dan bertobat dengan sebenar-benar tobat serta berjanji kepada diri sendiri tidak akan mengerjakannya lagi. Maka Allah akan menerima tobatnya dan mengampuni dosanya karena Allah adalah Maha Penerima tobat dan Maha Pengampun.
Bila seseorang berbuat dosa meskipun yang diperbuatnya itu bukan dosa besar tetapi mengerjakan terus menerus tanpa ada kesadaran hendak menghentikannya dan tidak ada penyesalan serta keinginan hendak bertobat kepada Allah, maka dosanya itu menjadi dosa besar. Nabi Muhammad saw pernah bersabda:
لاَ كَبِيْرَةَ مَعَ اْلاِسْتِغْفَارِ وَلاَ صَغِيْرَةَ مَعَ اْلاِصْرَارِ (رواه الديلمي عن ابن عبّاس)
“Dosa besar tidak menjadi dosa besar bila segera meminta ampun (kepada Allah). Dan dosa kecil akan menjadi dosa besar bila selalu dikerjakan.” (Riwayat ad-Dailami dari Ibnu Abbas). Meminta ampun kepada Allah bukan sekadar mengucapkan kalimat “Aku memohon ampunan kepada Allah”, tetapi harus disertai dengan penyesalan serta janji kepada diri sendiri tidak akan mengerjakan dosa itu lagi. Inilah yang dinamakan tobat nasuha, tobat yang diterima oleh Allah.
QS. Āli ‘Imrān/3: 136
اُولٰۤىِٕكَ جَزَاۤؤُهُمْ مَّغْفِرَةٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَجَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا ۗ وَنِعْمَ اَجْرُ الْعٰمِلِيْنَۗ
Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan (itulah) sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal.
(136) Demikianlah lima sifat di antara sifat-sifat orang yang bertakwa kepada Allah yang harus dimiliki oleh setiap Muslim. Setiap Muslim hendaknya berusaha agar terwujud di dalam dirinya kelima sifat itu dengan sempurna karena dengan memiliki sifat-sifat itu dia akan menjadi Muslim yang dapat memberi manfaat kepada dirinya sendiri dan dapat pula memberi manfaat kepada orang lain dan kepada masyarakat, nusa dan bangsanya.
Orang yang memiliki sifat-sifat itu akan dibalas Allah dengan mengampuni dosanya dan menempatkannya di akhirat kelak di dalam surga. Mereka kekal di dalamnya dan memang itulah ganjaran yang sebaik-baiknya bagi setiap orang yang beramal baik dan berusaha untuk memperbaiki dirinya, masyarakat dan umatnya.