Ada yang menyebut Zainal Abidin atau Zainul Abidin, nama aslinya adalah ‘Ali bin Al-Husain adalah anak cucu atau cicit baginda Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal amat dermawan. Di antara bentuk dermawannya adalah ia rajin bersedekah namun tidak senang diketahui orang banyak. Ini beberapa cerita tentang beliau yang kami sarikan langsung dari kitab sejarah yaitu Siyar A’lam An-Nubala’ karya Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Adz-Dzahabi rahimahullah.
‘Ali bin Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib bin ‘Abdil Muththalib bin Hasyim bin ‘Abdu Manaf. Ia disebut dengan Zainul ‘Abidin. Ia adalah Al-Hasyimi Al-‘Alawi Al-Madani, dengan kunyah Abul Husain, ada juga yang menyebut Abul Hasan, Abu Muhammad, Abu ‘Abdillah. Ibunya adalah ummu walad (budak wanita), namanya Sallamah Sulafah binti Malik Al-Faros Yazdajird.
Zainul Abidin lahir pada tahun 38 H. Abu Ja’far Al-Baqir mengatakan, “Ayahku hidup selama 58 tahun.” Kata Yahya saudara laki-laki dari Muhammad bin ‘Abdillah bin Hasan, ‘Ali bin Al-Husain meninggal dunia pada 14 Rabi’ul Awwal, malam Selasa, pada tahun 94 H. Ja’far Ash-Shadiq meriwayatkan pula kalau Zainul Abidin meninggal dunia pada tahun 94 H. Kuburnya berada di Baqi’, kata Imam Adz-Dzahabi.
Di antara sifat-sifat baik dari Zainul Abidin atau ‘Ali bin Al-Husain adalah semangatnya dalam bersedekah secara diam-diam.
Ibnu ‘Uyainah, dari Abu Hamzah Ats-Tsimaali, ia berkata bahwa ‘Ali bin Al-Husain rahimahullah biasa memikul roti (gandum) di atas punggungnya ke rumah-rumah orang miskin di tengah kegelapan malam. ‘Ali berkata,
إِنَّ الصَّدَقَةَ فِي سَوَادِ اللَّيْلِ تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ
“Sesungguhnya sedekah di tengah gelap malam itu akan meredam murka Rabb (Allah Ta’ala).”
Yunus bin Bakir, dari Muhammad bin Ishaq berkata,
كَانَ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ المدِيْنَةِ يَعِيْشُوْنَ، لاَ يَدْرُوْنَ مِنْ أَيْنَ كَانَ مَعَاشُهُمْ، فَلَمَّا مَاتَ عَلِيٌّ بْنُ الحُسَيْنِ، فَقَدُوا ذَلِكَ الَّذِي كَانُوْا يُؤْتُوْنَ بِاللَّيْلِ
“Dulu penduduk kota tersebut hidup dan tidak mengetahui dari mana asal jatah roti tersebut. Ketika ‘Ali bin Al-Husain meninggal dunia, mereka tidak mendapatkan jatah roti itu lagi yang biasa mereka dapatkan tiap malam.”
Jarir bin ‘Abdul Hamid, dari. ‘Amr bin Tsabit, ia berkata,
لماَّ مَاتَ عَلِيٌّ بْنُ الحُسَيْنِ، وَجَدُوا بِظَهْرِهِ أَثَرًا مِمَّا كَانَ يَنْقُلُ الجُرُبَ باِللَّيْلِ إِلَى مَنَازِلِ الاَرَامِلِ
“Ketika ‘Ali bin Al-Husain meninggal dunia, mereka mendapati di punggungnya itu ada bekas karena seringnya memikul kantong kulit pada malam hari ke rumah-rumah orang-orang yang susah.”
Syaibah bin Na’aamah berkata,
لما مَاتَ عَلِيٌّ وَجَدُوْهُ يَعُوْلُ مِئَةَ أَهْلِ بَيْتٍ
“Ketika ‘Ali bin Al-Husain meninggal dunia, mereka dapati bahwa ‘Ali itu mencukupi nafkah seratu ahli bait.”
Imam Adz-Dzahabi berkata,
لِهَذَا كَانَ يَبْخَلُ، فَإِنَّهُ يُنْفِقُ سِرًّا وَيَظُنُّ أَهْلُهُ أَنَّهُ يَجْمَعُ الدَّرَاهِمَ
“Karena ini ia terkenal pelit. Padahal ia biasa berinfak diam-diam. Keluarganya mengira kalau ‘Ali bin Al-Husain terus saja menumpuk-numpuk dirham.”
Sebagian mereka mengatakan,
مَا فَقَدْنَا صَدَقَةَ السِّرِّ، حَتَّى تُوُفِّيَ عَلِيٌّ
“Kami tidak pernah tidak mendapati sedekah diam-diam sampai ‘Ali bin Al-Husain meninggal dunia.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 4:393-394).
Di samping ‘Ali bin Al-Husain adalah orang yang rajin sedekah, ia juga adalah orang yang rajin menolong orang lain dalam hal utang.
Hatim bin Abi Shaghirah, dari ‘Amr bin Dinar, ia berkata bahwa ‘Ali bin Al-Husain masuk menemui Muhammad bin Usamah bin Zaid ketika ia sakit. Muhammad ketika itu menangis. Lantas ‘Ali bin Al-Husain bertanya, “Kenapa kamu?” Muhammad menjawab, “Aku memiliki beban utang.” ‘Ali bin Al-Husain bertanya lagi, “Berapa itu?” Muhammad menjawab,
بِضْعَةُ عَشَر أَلْفِ دِيْنَارٍ
“Ada sepuluh ribuan dinar.”
Lantas Ali bin Al-Husain menjawab,
فَهِيَ عَلَيَّ
“Biar utang tersebut aku yang menanggungnya.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 4:394)
Doa ‘Ali bin Al-Husain yang amat bagus,
اللَّهُمَّ لاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي فَأَعْجَزَ عَنْهَا وَلاَ تَكِلْنِي إِلَى المخْلُوْقِيْنَ فَيُضَيِّعُوْنِي
“ALLAHUMMA LAA TAKILNI ILAA NAFSII FA-A’JAZA ‘ANHA. WA LAA TAKILNII ILAAL MAKHLUUQIIN FA-YUDHOYYI’UUNII (artinya: Ya Allah janganlah menyandarkan—urusanku—pada diriku sendiri, lantas membuat diriku lemah; jangan jadikan diriku bergantung pada makhluk, karena mereka bisa menelantarkanku).” (Siyar A’lam An-Nubala’, 4:396).
Referensi : Zainal Abidin (Cicit Nabi) dengan Sedekah Rahasianya