Kamis, 29 September 2022

Aakah Umrah Sama Dengan Haji

Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kapan waktu mulai melontar jumrah pada hari-hari tasyriq dan kapan waktu terakhir ? Apakah sah melontar pada malam hari pada hari-hari tasyriq karena kepadatan dan kesulitan besar dalam melontar pada siang hari. Di mana sebagian manusia berpedoman dengan hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam shahihnya dari Ibnu Abbas, ia berkata:  كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْأَلُ يَوْمَ النَّحْرِ بِمِنَى فَيَقُوْلُ لاَحَرَجَ فَسَأَلَهُ رَجُلٌ فَقَالَ حَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَذْبَحَ قَالَ اِذْبَحْ وَلاَ حَرَجَ فَقَالَ رَمَيْتُ بَعْدَ مَاأَمْسَيْتُ فَقَالَ لاَ حَرَجَ  “Adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam ditanya pada hari nahar di Mina, maka beliau bersabda: “Tidak mengapa”. Lalu seseorang bertanya kepadanya seraya berkata: “Saya bercukur sebelum menyembelih kurban?”. Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda: “Sembelihlah, dan tidak mengapa”. Lalu seseorang berkata: “Saya melontar setelah sore?”. Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda: “Tidak mengapa“. [Hadits Riwayat Bukhari]  Mereka mengatakan, “Jika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam memperbolehkan seseorang melontar jumrah pada malam hari di hari nahar yang hukumnya wajib bagi setiap orang yang haji hingga dia dapat tahallul awal, lalu bagaimana dengan melontar pada tiga hari tasyriq yang lebih rendah tingkat wajibnya dari melontar pada hari nahar?. Ini menunjukkan bahwa melontar pada tiga hari tasyrik boleh dilakukan pada malam hari!”. Lalu apa hukum orang yang melontar jumrah pada malam hari dalam hari-hari tasyriq, dan apakah dia wajib membayar kifarat ? Mohon penjelasan hal ini beserta dalilnya.  Jawaban Waktu melontar jumrah pada hari-hari tasyriq adalah dari lengsernya matahari ke arah barat setelah dzhuhur berdasarkan riwayat Imam Muslim dalam shahihnya, bahwa Jabir Radhiallahu ‘anhu berkata :  رَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْ النَّحْرِ ضُحَى وَرَمَى بَعْدَ ذَلِكَ بَعْدَ الزَّوَالِ  “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melontar dalam hari nahar pada waktu dhuha dan melontar setelah (hari) itu ketika matahari telah bergeser ke barat” [Hadits Riwayat Muslim]  Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhu bahwa dia ditanya tentang hal tersebut, maka dia berkata.  كُنَّا نَتَحَيَّنُ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ رَمَيْنَا  “Adalah kami menunggu-nunggu waktu, maka ketika matahari bergeser ke barat kami melontar” .[Hadits Riwayat Bukhari]  Demikian ini adalah pendapat jumhur ulama. Tetapi jika dalam keadaan darurat sehingga mengharuskan ia menunda melontar hingga malam hari maka tidak mengapa. Akan tetapi yang lebih hati-hati adalah melontar sebelum Maghrib bagi orang yan mampu melakukan demikian itu karena berpedoman kepada Sunnah dan keluar dari peselisihan.  Adapun hadits Ibnu Abbas yang disebutkan, maka bukan sebagai dalil melontar pada malam hari. Sebab penanya bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari nahar. Maka perkataannya, “Saya melontar setelah saya memasuki waktu sore” itu artinya dia melontar setelah matahari bergeser ke barat. Akan tetapi yang dapat dijadikan dalil melontar pada malam hari adalah karena tidak adanya teks yang jelas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan tidak bolehnya melontar pada malam hari, sedang hukum asalnya adalah boleh. Namun melontar pada siang hari lebih utama dan lebih hati-hati. Dan ketika ada kebutuhan yang mendorong untuk melontar pada malam hari maka tidak mengapa bila melontarnya pada malam yang matahari sudah terbenam sampai akhir malam. Adapun melontar pada hari yang akan datang maka tidak dapat dilakukan pada malam yang lewat darinya selain malam nahar bagi orang-orang yang lemah pada setengah malam bagian akhir. Adapun bagi orang-orang yang kuat maka yang sesuai sunnah adalah mereka melontar Jumrah A’qabah setelah terbit matahari sebagaimana telah disebutkan karena menggabungkan beberapa hadits yang menjelaskan hal tersebut. Wallahu a’lam. Pertanyaan. Assalamu’alaikum Ustad! Saya mau Tanya. Manakah yang lebih dulu di kerjakan, haji dulu atau umrah? Bagaimanakah hukum melaksanakan ibadah umrah bagi kaum Muslimin ? Bolehkah umrah tanpa haji ?  Jawaban. Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Allâh memberikan taufik kepada Bapak untuk rajin beribadah sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .  Sudah kita ketahui bersama bahwa haji adalah wajib bagi muslim yang mampu, bahkan merupakan salah satu rukun Islam. Sedangkan kewajiban umrah diperselisihkan Ulama, dan yang lebih kuat adalah pendapat yang mewajibkan umrah. Hal itu berdasarkan beberapa hadits, antara lain hadits berikut:  الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَأَنْ تُقِيمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ وَتَعْتَمِرَ، وَتَغْتَسِلَ مِنَ الْجَنَابَةِ، وَأَنْ تُتِمَّ الْوُضُوءَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ  Islam adalah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Allâh dan bahwa Muhammad Rasûlullâh, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji dan umrah, mandi junub, menyempurnakan wudhu dan puasa Ramadhan  Dalam hadits ini umrah disebutkan bersama kewajiban-kewajiban Islam yang lain, bahkan fondasi-fondasi Islam. Hal itu menunjukkan kewajibannya.  Jadi haji dan umrah hukumnya wajib sekali seumur hidup bagi Muslim yang mampu. Namun keduanya bisa dilakukan secara beriringan atau bersama-sama. Orang yang saat haji memilih cara tamattu’, dia akan memulai perjalanan hajinya dengan umrah, baru setelah itu menunaikan ibadah haji. Adapun yang memilih cara qiran, ia akan menggabungkan haji dan umrah sekaligus dalam satu ibadah.  Haji lebih tegas kewajibannya daripada umrah, namun tidak ada aturan harus mendahulukan haji sebelum umrah. Bahkan orang yang berhaji  dengan cara tamattu’ pun akan memulai rangkaian amalah hajinya dengan umrah dulu. Maka boleh saja mendahulukan umrah, apalagi jika bekalnya hanya cukup untuk umrah saja dan tidak cukup untuk haji, atau antrian haji harus menunggu belasan atau puluhan tahun.  Boleh juga umrah tanpa haji, namun itu hanya menggugurkan kewajiban umrah saja atas dirinya. Kewajiban haji masih melekat padanya sampai dia menunaikannya suatu  saat nanti, karena keduanya adalah kewajiban yang berbeda.  Wallahu A’lam.  [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIX/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]  APAKAH UMRAH SAMA DENGAN HAJI?  Pertanyaan Ustadz mohon penjelasan tentang 1. Bagaimana hukum umroh, apakah sama dengan haji. 2. Apakah sah umrah yang dilakukan seseorang sebelum dia menunaikan ibadah haji? Apakah dengan menunaikan ibadah umrah sudah dapat menggugurkan kewajiban haji? mengingat pelaksanaan haji menunggu daftar tunggu sampai 8 tahun bahkan lebih, sementara ajal ditangan Allah Azza wa Jalla ?    Terima kasih. Penjelasan ustad sangat kami tunggu.  A.Chamdani Purwodadi Grobogan.  Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuhu    Jawaban  1. Haji dan umrah tentu tidak sama, karena haji merupakan salah satu rukun Islam sementara umrah bukan. Para Ulama sepakat tentang wajibnya haji bagi orang yang mampu, sedangkan mengenai hukum Umrah, para Ulama berbeda pendapat, apakah Umrah itu wajib atau tidak ? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Tentang hukum wajibnya Umrah, para Ulama memiliki dua pendapat. Dalam madzhab Syafi’i dan Ahmad terdapat dua pendapat, (namun) yang masyhur adalah Umrah itu wajib. Sementara pendapat kedua adalah Umrah tidak wajib. Ini adalah madzhab imam Malik rahimahullah dan Abu Hanifah rahimahullah. Pendapat ini lebih kuat karena Allah Azza wa Jalla yang mewajibkan haji dengan firman-Nya.    وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا    Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. [Ali Imran/3:97]    Tidak mewajibkan umrah. Hanya saja Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar menyempurnakan kedua ibadah tersebut [1]. Jadi Allah Azza wa Jalla mewajibkan orang yang melaksanakan keduanya untuk menyempurnakannya. Awalnya, Allah Azza wa Jalla mewajibkan haji begitu dengan hadits-hadits shahih yang mewajibkan haji. [Majmu Fatawa 26/5] [2]    Penjelasan tentang perbedaan pendapat para Ulama tentang Umrah juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam asy-Syarhul Mumti, 7/6-8, hanya saja beliau rahimahullah berbeda pilihan dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Apa yang diyakini oleh Syaikh Utsaimin rahimahullah sejalan dengan pendapat yang dianut oleh para Ulama yang tergabung dalam Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta [Fatawa Lajnah Daimah, 11/317]    2. Tentang bolehkah ibadah Umrah dilakukan oleh seseorang yang belum melaksanakan ibadah haji?  Pertanyaan ini pernah diajukan ke Lajnah Daimah. Inilah jawaban mereka, “ Seseorang boleh melaksanakan umrah sebelum ia melakukan ibadah haji, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat berumrah sebelum melakukan ibadah haji yang wajib (lihat Fatawa Lajnah Daimah jilid 11/318). Dan menurut Imam Ibnu Abdil Bar rahimahullah bahwa ini merupakan kesepakatan para ulama. Beliau rahimahullah mengutip pendapat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma ketika ditanya oleh Ikrimah bin Khalid Radhiyallahu anhu tentang umrah sebelum haji. Beliau Radhiyallahu anhuma menjawab : Tidak apa-apa karena Nabi umrah dan beliau belum melaksanakan haji. (syarh al-Muwatho). Namun umrah tidak menggantikan kewajiban haji, karena banyak rukun dan wajib haji tidak terdapat didalam umrah dan yang paling utama yaitu wukuf Arafah karena inilah puncak dari haji (alhajju arafah) dan ini tidak ada dalam rangkaian ibadah umrah. Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kapan waktu mulai melontar jumrah pada hari-hari tasyriq dan kapan waktu terakhir ? Apakah sah melontar pada malam hari pada hari-hari tasyriq karena kepadatan dan kesulitan besar dalam melontar pada siang hari. Di mana sebagian manusia berpedoman dengan hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam shahihnya dari Ibnu Abbas, ia berkata:  كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْأَلُ يَوْمَ النَّحْرِ بِمِنَى فَيَقُوْلُ لاَحَرَجَ فَسَأَلَهُ رَجُلٌ فَقَالَ حَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَذْبَحَ قَالَ اِذْبَحْ وَلاَ حَرَجَ فَقَالَ رَمَيْتُ بَعْدَ مَاأَمْسَيْتُ فَقَالَ لاَ حَرَجَ  “Adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam ditanya pada hari nahar di Mina, maka beliau bersabda: “Tidak mengapa”. Lalu seseorang bertanya kepadanya seraya berkata: “Saya bercukur sebelum menyembelih kurban?”. Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda: “Sembelihlah, dan tidak mengapa”. Lalu seseorang berkata: “Saya melontar setelah sore?”. Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda: “Tidak mengapa“. [Hadits Riwayat Bukhari]  Mereka mengatakan, “Jika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam memperbolehkan seseorang melontar jumrah pada malam hari di hari nahar yang hukumnya wajib bagi setiap orang yang haji hingga dia dapat tahallul awal, lalu bagaimana dengan melontar pada tiga hari tasyriq yang lebih rendah tingkat wajibnya dari melontar pada hari nahar?. Ini menunjukkan bahwa melontar pada tiga hari tasyrik boleh dilakukan pada malam hari!”. Lalu apa hukum orang yang melontar jumrah pada malam hari dalam hari-hari tasyriq, dan apakah dia wajib membayar kifarat ? Mohon penjelasan hal ini beserta dalilnya.  Jawaban Waktu melontar jumrah pada hari-hari tasyriq adalah dari lengsernya matahari ke arah barat setelah dzhuhur berdasarkan riwayat Imam Muslim dalam shahihnya, bahwa Jabir Radhiallahu ‘anhu berkata :  رَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْ النَّحْرِ ضُحَى وَرَمَى بَعْدَ ذَلِكَ بَعْدَ الزَّوَالِ  “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melontar dalam hari nahar pada waktu dhuha dan melontar setelah (hari) itu ketika matahari telah bergeser ke barat” [Hadits Riwayat Muslim]  Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhu bahwa dia ditanya tentang hal tersebut, maka dia berkata.  كُنَّا نَتَحَيَّنُ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ رَمَيْنَا  “Adalah kami menunggu-nunggu waktu, maka ketika matahari bergeser ke barat kami melontar” .[Hadits Riwayat Bukhari]  Demikian ini adalah pendapat jumhur ulama. Tetapi jika dalam keadaan darurat sehingga mengharuskan ia menunda melontar hingga malam hari maka tidak mengapa. Akan tetapi yang lebih hati-hati adalah melontar sebelum Maghrib bagi orang yan mampu melakukan demikian itu karena berpedoman kepada Sunnah dan keluar dari peselisihan.  Adapun hadits Ibnu Abbas yang disebutkan, maka bukan sebagai dalil melontar pada malam hari. Sebab penanya bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari nahar. Maka perkataannya, “Saya melontar setelah saya memasuki waktu sore” itu artinya dia melontar setelah matahari bergeser ke barat. Akan tetapi yang dapat dijadikan dalil melontar pada malam hari adalah karena tidak adanya teks yang jelas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan tidak bolehnya melontar pada malam hari, sedang hukum asalnya adalah boleh. Namun melontar pada siang hari lebih utama dan lebih hati-hati. Dan ketika ada kebutuhan yang mendorong untuk melontar pada malam hari maka tidak mengapa bila melontarnya pada malam yang matahari sudah terbenam sampai akhir malam. Adapun melontar pada hari yang akan datang maka tidak dapat dilakukan pada malam yang lewat darinya selain malam nahar bagi orang-orang yang lemah pada setengah malam bagian akhir. Adapun bagi orang-orang yang kuat maka yang sesuai sunnah adalah mereka melontar Jumrah A’qabah setelah terbit matahari sebagaimana telah disebutkan karena menggabungkan beberapa hadits yang menjelaskan hal tersebut. Wallahu a’lam.

Pertanyaan.
Assalamu’alaikum Ustad! Saya mau Tanya. Manakah yang lebih dulu di kerjakan, haji dulu atau umrah? Bagaimanakah hukum melaksanakan ibadah umrah bagi kaum Muslimin ? Bolehkah umrah tanpa haji ?

Jawaban.
Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Allâh memberikan taufik kepada Bapak untuk rajin beribadah sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Sudah kita ketahui bersama bahwa haji adalah wajib bagi muslim yang mampu, bahkan merupakan salah satu rukun Islam. Sedangkan kewajiban umrah diperselisihkan Ulama, dan yang lebih kuat adalah pendapat yang mewajibkan umrah. Hal itu berdasarkan beberapa hadits, antara lain hadits berikut:

الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَأَنْ تُقِيمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ وَتَعْتَمِرَ، وَتَغْتَسِلَ مِنَ الْجَنَابَةِ، وَأَنْ تُتِمَّ الْوُضُوءَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ

Islam adalah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Allâh dan bahwa Muhammad Rasûlullâh, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji dan umrah, mandi junub, menyempurnakan wudhu dan puasa Ramadhan

Dalam hadits ini umrah disebutkan bersama kewajiban-kewajiban Islam yang lain, bahkan fondasi-fondasi Islam. Hal itu menunjukkan kewajibannya.

Jadi haji dan umrah hukumnya wajib sekali seumur hidup bagi Muslim yang mampu. Namun keduanya bisa dilakukan secara beriringan atau bersama-sama. Orang yang saat haji memilih cara tamattu’, dia akan memulai perjalanan hajinya dengan umrah, baru setelah itu menunaikan ibadah haji. Adapun yang memilih cara qiran, ia akan menggabungkan haji dan umrah sekaligus dalam satu ibadah.

Haji lebih tegas kewajibannya daripada umrah, namun tidak ada aturan harus mendahulukan haji sebelum umrah. Bahkan orang yang berhaji  dengan cara tamattu’ pun akan memulai rangkaian amalah hajinya dengan umrah dulu. Maka boleh saja mendahulukan umrah, apalagi jika bekalnya hanya cukup untuk umrah saja dan tidak cukup untuk haji, atau antrian haji harus menunggu belasan atau puluhan tahun.

Boleh juga umrah tanpa haji, namun itu hanya menggugurkan kewajiban umrah saja atas dirinya. Kewajiban haji masih melekat padanya sampai dia menunaikannya suatu  saat nanti, karena keduanya adalah kewajiban yang berbeda.

Wallahu A’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIX/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]

APAKAH UMRAH SAMA DENGAN HAJI?

Pertanyaan
Ustadz mohon penjelasan tentang
1. Bagaimana hukum umroh, apakah sama dengan haji.
2. Apakah sah umrah yang dilakukan seseorang sebelum dia menunaikan ibadah haji? Apakah dengan menunaikan ibadah umrah sudah dapat menggugurkan kewajiban haji? mengingat pelaksanaan haji menunggu daftar tunggu sampai 8 tahun bahkan lebih, sementara ajal ditangan Allah Azza wa Jalla ?


Terima kasih. Penjelasan ustad sangat kami tunggu.

A.Chamdani Purwodadi Grobogan.

Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuhu


Jawaban

1. Haji dan umrah tentu tidak sama, karena haji merupakan salah satu rukun Islam sementara umrah bukan. Para Ulama sepakat tentang wajibnya haji bagi orang yang mampu, sedangkan mengenai hukum Umrah, para Ulama berbeda pendapat, apakah Umrah itu wajib atau tidak ? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Tentang hukum wajibnya Umrah, para Ulama memiliki dua pendapat. Dalam madzhab Syafi’i dan Ahmad terdapat dua pendapat, (namun) yang masyhur adalah Umrah itu wajib. Sementara pendapat kedua adalah Umrah tidak wajib. Ini adalah madzhab imam Malik rahimahullah dan Abu Hanifah rahimahullah. Pendapat ini lebih kuat karena Allah Azza wa Jalla yang mewajibkan haji dengan firman-Nya.


وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا


Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. [Ali Imran/3:97]


Tidak mewajibkan umrah. Hanya saja Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar menyempurnakan kedua ibadah tersebut [1]. Jadi Allah Azza wa Jalla mewajibkan orang yang melaksanakan keduanya untuk menyempurnakannya. Awalnya, Allah Azza wa Jalla mewajibkan haji begitu dengan hadits-hadits shahih yang mewajibkan haji. [Majmu Fatawa 26/5] [2]


Penjelasan tentang perbedaan pendapat para Ulama tentang Umrah juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam asy-Syarhul Mumti, 7/6-8, hanya saja beliau rahimahullah berbeda pilihan dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Apa yang diyakini oleh Syaikh Utsaimin rahimahullah sejalan dengan pendapat yang dianut oleh para Ulama yang tergabung dalam Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta [Fatawa Lajnah Daimah, 11/317]


2. Tentang bolehkah ibadah Umrah dilakukan oleh seseorang yang belum melaksanakan ibadah haji?

Pertanyaan ini pernah diajukan ke Lajnah Daimah. Inilah jawaban mereka, “ Seseorang boleh melaksanakan umrah sebelum ia melakukan ibadah haji, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat berumrah sebelum melakukan ibadah haji yang wajib (lihat Fatawa Lajnah Daimah jilid 11/318). Dan menurut Imam Ibnu Abdil Bar rahimahullah bahwa ini merupakan kesepakatan para ulama. Beliau rahimahullah mengutip pendapat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma ketika ditanya oleh Ikrimah bin Khalid Radhiyallahu anhu tentang umrah sebelum haji. Beliau Radhiyallahu anhuma menjawab : Tidak apa-apa karena Nabi umrah dan beliau belum melaksanakan haji. (syarh al-Muwatho). Namun umrah tidak menggantikan kewajiban haji, karena banyak rukun dan wajib haji tidak terdapat didalam umrah dan yang paling utama yaitu wukuf Arafah karena inilah puncak dari haji (alhajju arafah) dan ini tidak ada dalam rangkaian ibadah umrah.