Kamis, 29 September 2022

Walimah Ikan Besar

Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam pernah mengutus pasukan perang untuk mengintai kafilah dagang Quraisy dan untuk mendatangi suku Juhainah. Pasukan perang yang berjumlah tiga ratus orang itu dipimpin oleh Abu Ubaidah Ibnul Jarrah Radhiyallahu anhu. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam hanya memberi bekal satu kantong kurma kepada mereka, karena memang tidak ada bekal lain.    Abu Ubaidah sebagai pimpinan pasukan membagikan sebagian kurma itu kepada para prajuritnya. Ketika bekal kurma tinggal sedikit, Abu Ubaidah mengumpulkan sisa kurma dari prajuritnya dan beliau membagikan kembali sehingga masing-masing orang hanya mendapat satu biji kurma untuk satu hari. Kurma itu tidak langsung dimakan tapi hanya dihisap seperti bayi menyusu agar tidak cepat habis. Mereka melakukan yang demikian untuk mengurangi rasa lapar yang melilit mereka.    Sampai bekal kurma habis, akhirnya mereka memetik dedaunan yang dijumpai di perjalanan. Mereka menumbuk daun-daun tersebut dan mencampurkannya dengan air, setelah itu mereka memakan dedaunan tersebut.    Pasukan perang itu terus berjalan, hingga sampai ke suatu pantai di laut Merah dari arah Yanbu berjarak sekitar 180 km dari Madinah. Di sana mereka melihat sesuatu yang menyerupai sebuah bukit. Maka mereka pun berjalan mendekatinya. Ternyata, gundukan itu adalah bangkai seekor ikan yang sangat besar.    Abu Ubaidah pada awal mulanya melarang pasukan untuk memakan ikan tersebut karena dikiranya sebagai bangkai yang diharamkan karena bukan ikan hasil tangkapan. Lalu beliau berijtihad bahwa ikan tersebut boleh dimakan dikarenakan kondisi darurat dan ikan tersebut merupakan pertolongan Allah kepada hamba-hamba Nya yang sedang berjuang di jalan Nya.    Akhirnya, pasukan perang ini bertahan dan tinggal di tempat itu selama delapan belas hari.    Selama di tempat ini, makanan mereka adalah ikan besar itu. Hingga mereka menjadi gemuk, dan mereka tidak lagi kekurangan makanan. Ikan itu besar sekali. Cukup untuk dimakan pasukan perang yang berjumlah 300 orang selama sebulan.    Mereka menciduk minyak lemak dengan tempayan dari lubang matanya, dan mereka memotong daging ikan tersebut seperti memotong-motong daging sapi.    Abu Ubaidah menyuruh tiga belas orang dari rombongan pasukan untuk duduk pada lubang bekas mata, lalu Abu Ubaidah memerintahkan orang mengambil dua tulang kemudian ditegakkan. Lalu salah seorang prajurit yang paling tinggi tubuhnya menaiki seekor unta yang terbesar dan berjalan di bawah tulang itu tanpa kepalanya menempel tulang tersebut.  Ini menunjukkan ikan tersebut sangatlah besar.  Sebagian sahabat mengeringkan daging ikan itu dan dibuat dendeng. Setelah selesai tugas, pasukan perang itu kembali ke Madinah. Mereka kembali dengan membawa dendeng daging ikan tersebut.    Begitu sampai, mereka menghadap ke Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Diceritakanlah oleh mereka tentang ikan besar tersebut kepada beliau. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Itu adalah rezeki yang dikaruniakan Allah atas kalian. Apakah kalian masih menyimpan sisa daging itu untuk kami makan?”Maka dibawakanlah daging itu kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, lalu beliau ikut memakannya.    Kisah di atas terdapat dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan lainnya[1].    Dari kisah di atas banyak pelajaran yang bisa kita petik, di antaranya:    1. Bangkai ikan itu halal dimakan. Allah berfirman,    أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ ٱلْبَحْرِ وَطَعَامُهُۥ مَتَٰعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ    “Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagi kalian, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan…..” [Al Maidah/5: 96]    Ibnu Abbas dalam riwayat terkenal yang bersumber darinya mengatakan, yang dimaksud dengan saiduhu ialah hewan laut yang ditangkap dalam keadaan hidup-hidup. Sedangkan yang dimaksud dengan  ta’amuhu ialah hewan laut yang dicampakkan ke darat oleh laut dalam keadaan telah mati.    Hal yang sama telah diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Amru, Abu Ayyub Al-Ansari, dan Ikrimah, Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, Ibrahim An-Nakha’i serta Al-Hasan Al-Basri.    Ketika sahabat pulang ke Madinah dan menginginkan kejelasan dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, beliau ikut memakan daging ikan tersebut untuk memantapkan dan menghilangkan keraguan dari sebagian sahabat.    2. Kesabaran para sahabat dalam menaati perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.    3. Kesolidan dan persaudaraan yang kuat antara sesama muslim. Mereka saling berbagi dan tidak egois.  4. Di antara kiat untuk meraih kesuksesan adalah memiliki sifat tahan banting dan tangguh menghadapi berbagai kesulitan.    5. Bersama kesulitan akan datang kemudahan. Barangsiapa bertakwa kepada Allah maka Allah akan memberinya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Barangsiapa bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya.  Syaikh Abdus Sattar Asy Syaikh berkata, “Seorang mukmin yang kuat hubungannya dengan Allah, orientasinya akhirat, ikhlas kepada Allah, mengharapkan ridha Nya, mengerahkan segala sesuatu untuk melayani agama Nya, maka dunia akan mendatanginya.”[2]  [1] Hadits yang dimaksud : Dari Abu Abdillah Jabir bin Abdillah Raḍhiyallāhu ‘anhuma, ia berkata :  بَعَثَنَا رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ وَأَمَّرَ عَلَيْنَا أَبَا عُبَيْدَةَ، نَتَلَقَّى عِيرًا لِقُرَيْشٍ، وَزَوَّدَنَا جِرَابًا مِن تَمْرٍ لَمْ يَجِدْ لَنَا غَيْرَهُ، فَكانَ أَبُو عُبَيْدَةَ يُعْطِينَا تَمْرَةً تَمْرَةً، قالَ: فَقُلتُ: كيفَ كُنْتُمْ تَصْنَعُونَ بهَا؟ قالَ: نَمَصُّهَا كما يَمَصُّ الصَّبِيُّ، ثُمَّ نَشْرَبُ عَلَيْهَا مِنَ المَاءِ، فَتَكْفِينَا يَومَنَا إلى اللَّيْلِ، وَكُنَّا نَضْرِبُ بعِصِيِّنَا الخَبَطَ، ثُمَّ نَبُلُّهُ بالمَاءِ فَنَأْكُلُهُ، قالَ: وَانْطَلَقْنَا علَى سَاحِلِ البَحْرِ، فَرُفِعَ لَنَا علَى سَاحِلِ البَحْرِ كَهَيْئَةِ الكَثِيبِ الضَّخْمِ، فأتَيْنَاهُ فَإِذَا هي دَابَّةٌ تُدْعَى العَنْبَرَ، قالَ: قالَ أَبُو عُبَيْدَةَ: مَيْتَةٌ، ثُمَّ قالَ: لَا، بَلْ نَحْنُ رُسُلُ رَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، وفي سَبيلِ اللهِ، وَقَدِ اضْطُرِرْتُمْ فَكُلُوا، قالَ: فأقَمْنَا عليه شَهْرًا وَنَحْنُ ثَلَاثُ مِئَةٍ حتَّى سَمِنَّا، قالَ: وَلقَدْ رَأَيْتُنَا نَغْتَرِفُ مِن وَقْبِ عَيْنِهِ بالقِلَالِ الدُّهْنَ، وَنَقْتَطِعُ منه الفِدَرَ كَالثَّوْرِ، أَوْ كَقَدْرِ الثَّوْرِ، فَلقَدْ أَخَذَ مِنَّا أَبُو عُبَيْدَةَ ثَلَاثَةَ عَشَرَ رَجُلًا، فأقْعَدَهُمْ في وَقْبِ عَيْنِهِ، وَأَخَذَ ضِلَعًا مِن أَضْلَاعِهِ فأقَامَهَا ثُمَّ رَحَلَ أَعْظَمَ بَعِيرٍ معنَا، فَمَرَّ مِن تَحْتِهَا وَتَزَوَّدْنَا مِن لَحْمِهِ وَشَائِقَ، فَلَمَّا قَدِمْنَا المَدِينَةَ أَتَيْنَا رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، فَذَكَرْنَا ذلكَ له، فَقالَ: هو رِزْقٌ أَخْرَجَهُ اللَّهُ لَكُمْ، فَهلْ معكُمْ مِن لَحْمِهِ شيءٌ فَتُطْعِمُونَا؟ قالَ: فأرْسَلْنَا إلى رَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ منه فأكَلَهُ

Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam pernah mengutus pasukan perang untuk mengintai kafilah dagang Quraisy dan untuk mendatangi suku Juhainah. Pasukan perang yang berjumlah tiga ratus orang itu dipimpin oleh Abu Ubaidah Ibnul Jarrah Radhiyallahu anhu. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam hanya memberi bekal satu kantong kurma kepada mereka, karena memang tidak ada bekal lain.


Abu Ubaidah sebagai pimpinan pasukan membagikan sebagian kurma itu kepada para prajuritnya. Ketika bekal kurma tinggal sedikit, Abu Ubaidah mengumpulkan sisa kurma dari prajuritnya dan beliau membagikan kembali sehingga masing-masing orang hanya mendapat satu biji kurma untuk satu hari. Kurma itu tidak langsung dimakan tapi hanya dihisap seperti bayi menyusu agar tidak cepat habis. Mereka melakukan yang demikian untuk mengurangi rasa lapar yang melilit mereka.


Sampai bekal kurma habis, akhirnya mereka memetik dedaunan yang dijumpai di perjalanan. Mereka menumbuk daun-daun tersebut dan mencampurkannya dengan air, setelah itu mereka memakan dedaunan tersebut.


Pasukan perang itu terus berjalan, hingga sampai ke suatu pantai di laut Merah dari arah Yanbu berjarak sekitar 180 km dari Madinah. Di sana mereka melihat sesuatu yang menyerupai sebuah bukit. Maka mereka pun berjalan mendekatinya. Ternyata, gundukan itu adalah bangkai seekor ikan yang sangat besar.


Abu Ubaidah pada awal mulanya melarang pasukan untuk memakan ikan tersebut karena dikiranya sebagai bangkai yang diharamkan karena bukan ikan hasil tangkapan. Lalu beliau berijtihad bahwa ikan tersebut boleh dimakan dikarenakan kondisi darurat dan ikan tersebut merupakan pertolongan Allah kepada hamba-hamba Nya yang sedang berjuang di jalan Nya.


Akhirnya, pasukan perang ini bertahan dan tinggal di tempat itu selama delapan belas hari.


Selama di tempat ini, makanan mereka adalah ikan besar itu. Hingga mereka menjadi gemuk, dan mereka tidak lagi kekurangan makanan. Ikan itu besar sekali. Cukup untuk dimakan pasukan perang yang berjumlah 300 orang selama sebulan.


Mereka menciduk minyak lemak dengan tempayan dari lubang matanya, dan mereka memotong daging ikan tersebut seperti memotong-motong daging sapi.


Abu Ubaidah menyuruh tiga belas orang dari rombongan pasukan untuk duduk pada lubang bekas mata, lalu Abu Ubaidah memerintahkan orang mengambil dua tulang kemudian ditegakkan. Lalu salah seorang prajurit yang paling tinggi tubuhnya menaiki seekor unta yang terbesar dan berjalan di bawah tulang itu tanpa kepalanya menempel tulang tersebut.  Ini menunjukkan ikan tersebut sangatlah besar.

Sebagian sahabat mengeringkan daging ikan itu dan dibuat dendeng. Setelah selesai tugas, pasukan perang itu kembali ke Madinah. Mereka kembali dengan membawa dendeng daging ikan tersebut.


Begitu sampai, mereka menghadap ke Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Diceritakanlah oleh mereka tentang ikan besar tersebut kepada beliau. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Itu adalah rezeki yang dikaruniakan Allah atas kalian. Apakah kalian masih menyimpan sisa daging itu untuk kami makan?”Maka dibawakanlah daging itu kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, lalu beliau ikut memakannya.


Kisah di atas terdapat dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan lainnya[1].


Dari kisah di atas banyak pelajaran yang bisa kita petik, di antaranya:


1. Bangkai ikan itu halal dimakan. Allah berfirman,


أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ ٱلْبَحْرِ وَطَعَامُهُۥ مَتَٰعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ


“Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagi kalian, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan…..” [Al Maidah/5: 96]


Ibnu Abbas dalam riwayat terkenal yang bersumber darinya mengatakan, yang dimaksud dengan saiduhu ialah hewan laut yang ditangkap dalam keadaan hidup-hidup. Sedangkan yang dimaksud dengan  ta’amuhu ialah hewan laut yang dicampakkan ke darat oleh laut dalam keadaan telah mati.


Hal yang sama telah diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Amru, Abu Ayyub Al-Ansari, dan Ikrimah, Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, Ibrahim An-Nakha’i serta Al-Hasan Al-Basri.


Ketika sahabat pulang ke Madinah dan menginginkan kejelasan dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, beliau ikut memakan daging ikan tersebut untuk memantapkan dan menghilangkan keraguan dari sebagian sahabat.


2. Kesabaran para sahabat dalam menaati perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.


3. Kesolidan dan persaudaraan yang kuat antara sesama muslim. Mereka saling berbagi dan tidak egois.

4. Di antara kiat untuk meraih kesuksesan adalah memiliki sifat tahan banting dan tangguh menghadapi berbagai kesulitan.


5. Bersama kesulitan akan datang kemudahan. Barangsiapa bertakwa kepada Allah maka Allah akan memberinya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Barangsiapa bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya.

Syaikh Abdus Sattar Asy Syaikh berkata, “Seorang mukmin yang kuat hubungannya dengan Allah, orientasinya akhirat, ikhlas kepada Allah, mengharapkan ridha Nya, mengerahkan segala sesuatu untuk melayani agama Nya, maka dunia akan mendatanginya.”[2]

[1] Hadits yang dimaksud : Dari Abu Abdillah Jabir bin Abdillah Raḍhiyallāhu ‘anhuma, ia berkata :

بَعَثَنَا رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ وَأَمَّرَ عَلَيْنَا أَبَا عُبَيْدَةَ، نَتَلَقَّى عِيرًا لِقُرَيْشٍ، وَزَوَّدَنَا جِرَابًا مِن تَمْرٍ لَمْ يَجِدْ لَنَا غَيْرَهُ، فَكانَ أَبُو عُبَيْدَةَ يُعْطِينَا تَمْرَةً تَمْرَةً، قالَ: فَقُلتُ: كيفَ كُنْتُمْ تَصْنَعُونَ بهَا؟ قالَ: نَمَصُّهَا كما يَمَصُّ الصَّبِيُّ، ثُمَّ نَشْرَبُ عَلَيْهَا مِنَ المَاءِ، فَتَكْفِينَا يَومَنَا إلى اللَّيْلِ، وَكُنَّا نَضْرِبُ بعِصِيِّنَا الخَبَطَ، ثُمَّ نَبُلُّهُ بالمَاءِ فَنَأْكُلُهُ، قالَ: وَانْطَلَقْنَا علَى سَاحِلِ البَحْرِ، فَرُفِعَ لَنَا علَى سَاحِلِ البَحْرِ كَهَيْئَةِ الكَثِيبِ الضَّخْمِ، فأتَيْنَاهُ فَإِذَا هي دَابَّةٌ تُدْعَى العَنْبَرَ، قالَ: قالَ أَبُو عُبَيْدَةَ: مَيْتَةٌ، ثُمَّ قالَ: لَا، بَلْ نَحْنُ رُسُلُ رَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، وفي سَبيلِ اللهِ، وَقَدِ اضْطُرِرْتُمْ فَكُلُوا، قالَ: فأقَمْنَا عليه شَهْرًا وَنَحْنُ ثَلَاثُ مِئَةٍ حتَّى سَمِنَّا، قالَ: وَلقَدْ رَأَيْتُنَا نَغْتَرِفُ مِن وَقْبِ عَيْنِهِ بالقِلَالِ الدُّهْنَ، وَنَقْتَطِعُ منه الفِدَرَ كَالثَّوْرِ، أَوْ كَقَدْرِ الثَّوْرِ، فَلقَدْ أَخَذَ مِنَّا أَبُو عُبَيْدَةَ ثَلَاثَةَ عَشَرَ رَجُلًا، فأقْعَدَهُمْ في وَقْبِ عَيْنِهِ، وَأَخَذَ ضِلَعًا مِن أَضْلَاعِهِ فأقَامَهَا ثُمَّ رَحَلَ أَعْظَمَ بَعِيرٍ معنَا، فَمَرَّ مِن تَحْتِهَا وَتَزَوَّدْنَا مِن لَحْمِهِ وَشَائِقَ، فَلَمَّا قَدِمْنَا المَدِينَةَ أَتَيْنَا رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، فَذَكَرْنَا ذلكَ له، فَقالَ: هو رِزْقٌ أَخْرَجَهُ اللَّهُ لَكُمْ، فَهلْ معكُمْ مِن لَحْمِهِ شيءٌ فَتُطْعِمُونَا؟ قالَ: فأرْسَلْنَا إلى رَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ منه فأكَلَهُ