يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta kalian sesama kalian dengan cara batil.”
Memakan harta manusia dengan cara batil adalah makan harta yang haram dan makan makanan yang tidak baik. Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintah manusia agar mengonsumsi makanan yang halalan thayyiban, halal dan baik, sebagaimana firman-Nya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلٗا طَيِّبٗا وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٌ ١٦٨
“Wahai manusia, makanlah dari makanan yang halal dan yang baik dari apa yang terdapat di bumi ini. Dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (al-Baqarah: 168)
Anjuran agar mengonsumsi makanan yang halal dan baik ini ditinjau dari sisi zat makanannya dan dari sisi cara mendapatkannya. Daging babi dan minuman keras, misalnya. Secara asal zatnya, keduanya merupakan makanan dan minuman yang haram sehingga dikatakan tidak halal dan tidak baik. Misal yang kedua, harta riba dan hasil curian. Keharamannya karena didapatkan dan diperoleh dengan cara yang batil, meski asal muasal zatnya halal.
Hadirin rahimakumullah,
Ketahuilah, pertumbuhan jasmani seseorang yang berasal dari makanan dan minuman haram akan terancam siksa neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ جِسْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Setiap tubuh yang tumbuh dari makanan yang haram, maka neraka yang paling berhak dengannya.” (HR. Ahmad)
Makanan, minuman, dan pakaian haram yang dikonsumsi atau dikenakan oleh seseorang merupakan salah satu penyebab tidak terkabulnya doa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkisahtentang seseorang yang menengadahkan kedua tangannya untuk berdoa, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku!” Akan tetapi, makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan sumber gizinya dari harta yang haram. Bagaimana mungkin doanya akan terkabulkan?! (HR. Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Di antara harta haram yang didapatkan dengan cara batil adalah harta riba. Semoga kita dijauhkan dari harta yang mendulang petaka ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٣٠
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba yang berlipat-lipat (bunganya) dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (Ali ‘Imran: 130)
Pada ayat yang lain Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (al-Baqarah: 275)
Riba adalah harta yang tidak berkah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَمۡحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰاْ وَيُرۡبِي ٱلصَّدَقَٰتِۗ
“Allah akan mencabut berkah dariharta riba. Dan Allah akan memelihara harta yang disedekahkan.” (al-Baqarah: 276)
Bermuamalah dengan praktik riba dan makan harta dari riba merupakan dosa besar yang akan membinasakan pelakunya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اجْتَنِبُو السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ
“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan!”
Para sahabat radhiallahu ‘anhum bertanya, “Apa saja wahai Rasulullah?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
الشِّرْكُ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِ تَالِ
Ketujuh dosa yang membinasakan tersebut adalah:
- Syirik
- Sihir
- Membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah tanpa alasan yang dibenarkan
- Memakan harta riba
- Memakan harta anak yatim
- Lari ketika perang sedang berkecamuk
- Menuduh wanita mukminah yang menjaga kehormatannya dengan tuduhan keji. (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Pemakan, pemberi, juru tulis, saksi muamalah harta riba adalah orang-orang yang dilaknat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat si pemakan riba dan pemberinya.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat al-Imam at-Tirmidzi ada tambahan lafadz, “
وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ
“Juga yang menjadi saksi dan juru tulisnya.”
Sungguh, keberadaan riba di rumah tangga dan lingkungan kita sangat mengerikan bahayanya dan sangat buruk akibatnya. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kaum muslimin untuk segera meninggalkannya.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ٢٧٨
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ فَأۡذَنُواْ بِحَرۡبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ
“Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”
وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَٰلِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ ٢٧٩
“Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (al-Baqarah: 278—279)
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ، أَقُولُ مَا تَسْمَعُونَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوهُ وَتُوبُوا إِلَيْهِ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمِ
KHUTBAH KEDUA
الْحَمْدُ وَالصَّ ةَالُ وَالسَّ مَالُ عَلَى رَسُولِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ؛ أَمَّا بَعْدُ: فَإِلَى اللهِ الْمُشْتَكَى …
Hanya kepada Allah-lah kita mengadu atas merebaknya praktik riba di masyarakat kita sekarang ini. Berbagai bentuk muamalah riba ada dan terjadi di lingkungan kita.
Ada yang melakukan jual beli emas atau perak dengan sistem tukar tambah. Perhiasan emas yang lama langsung ditukar dengan yang baru di toko emas dengan tambahan biaya.
Praktik riba seperti inilah yang disebut riba fadhl dan dilarang keras oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ
“Janganlah kalian berjual-beli emas dengan emas, kecuali harus sama dengan timbangannya.”
وَلَا تَشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ
“Janganlah kalian melebihkan sebagian atas yang lain (maksudnya tukar tambah emas).”
وَلَا تَبِيْعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلاَّ مِثْ بِمِثْلٍ
“Janganlah kalian jual beli perak dengan perak kecuali sama timbangannya.”
وَلَا تَشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ
Janganlah kalian melakukan tukar tambah antara perak dengan perak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu)
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْ بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْ بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا
“Emas dengan emas harus dengan timbangan yang sama, perak dengan perak harus dengan timbangan yang sama. Barang siapa melebihkan atau meminta untuk dilebihkan, maka itulah riba.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Kaum muslimin rahimakumullah,
Di antara praktik riba yang terjadi di tengah masyarakat kita adalah jual beli emas/perak dengan sistem bayar angsur (kredit) atau sebaliknya, dengan pembayaran di muka sedangkan emas/perak yang dibeli diterima pada lain waktu.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
الذَّهَبُ بِالْوَرِقِ رِبًا إِلاَّ هَاءً وَهَاءً
“Emas dibayar dengan perak adalah riba kecuali jika dibayar tunai.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari Umar radhiallahu ‘anhu)
وَلاَ تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ
“Janganlah kalian jual beli emas/perak dengan utang-piutang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu)
Hal yang semisal dengan emas dan perak adalah mata uang yang berfungsi sebagai alat tukar/transaksi. Tidak dibenarkan tukar-menukar mata uang yang sejenis (misalnya rupiah dengan rupiah) kecuali harus sama jumlah nominalnya dan harus tunai diterima pada satu majelis.
Tidak dibenarkan pula tukar-menukar dua mata uang yang berbeda (misalnya rupiah dengan dollar) kecuali keduanya harus diterima secara tunai dan pada satu majelis.
Di antara praktik riba yang tumbuh subur di masyarakat kita adalah simpan-pinjam dengan sistem bunga. Riba jenis inilah yang dimaksud dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Ali ‘Imran ayat 130,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan
bertambah berlipat-lipat….” sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ahli tafsir.
Perlu kita sadari bahwa praktik riba seringkali disitilahkan dengan bahasa yang menarik dan memikat. Padahal penamaan tidaklah mengubah hakikat. Dengan istilah yang baru, riba tersebut menjadi terselubung.
Akan tetapi, riba tetaplah riba meskipun dinamakan “dana kredit” atau “mudharabah”, yang hakikatnya adalah pinjaman berbunga. Praktik-praktik seperti inilah yang menjadi salah satu sebab kehinaan pada suatu kaum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memperingatkan kita dari hal ini,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian telah berjual beli dengan sistem ‘inah, kalian memegang ekor-ekor sapi (sibuk dengan ternak), kalian puas dengan cocok tanam, dan kalian meninggalkan jihad, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan menimpakan kehinaan kepada kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, dinyatakan sahih oleh al-Albani)
Sistem ‘inah adalah salah satu bentuk riba yang terselubung. Gambarannya, Si A menjual barang kepada Si B secara kontan. Kemudian barang tersebut dibeli kembali oleh Si A dengan harga yang lebih tinggi dengan pembayaran secara tempo.
Hakikatnya, Si A meminjam uang dari Si B dan harus mengembalikannya dengan nilai lebih tinggi.
Referensi : Riba Mendatangkan Petaka