Jumat, 16 September 2022

Mengajarkan Ilmu Agama, Menasehati Isteri Dengan Cara Yang Baik

Hubungan suami istri dalam rumah tangga tidak selalu harmonis. Adakalanya salah seorang berbuat kesalahan yang menyebabkan adanya permasalahan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, dibutuhkan tindakan yang bijaksana dari suami dalam menyikapi kesalahan istri.  Mengapa harus suami? Karena, suami adalah kepala rumah tangga, orang yang menjadi pembuatan keputusan dan juga pengayom.  Fitrah seorang istri memang membutuhkan pengarahan dari suami, seperti dalam sebuah hadist: “Perempuan tidak akan mampu lurus selamanya. Jika kamu merelakannya meski ada kebengkokan itu, kamu akan bahagia bersamanya. Tetapi jika kamu memaksa meluruskan kebengkokannya, kamu akan membuatnya patah, yaitu perceraian.” (H.R. Muslim).  Sebenarnya, tidak semua kesalahan istri harus ditegur. Sebagai suami yang bijak, Dads harus mengetahui waktu yang tepat. Seperti sebuah kisah tentang para istri nabi.  Tatkalan Nabi SAW menyampaikan beberapa perkara kepada istrinya, yaitu Hafshah RA, dan berpesan agar tidak menceritakannya kepada siapa pun.  Akan tetapi, Hafshah tidak menunaikan wasiat tersebut. Hafshah justru menceritakannya kepada ‘Aisyah RA. Lalu, Allah SWT pun memberi tahu Nabi SAW perihal kejadian tersebut, sehingga akhirnya Nabi pun menegur Hafshah atas sebagian kesalahannya saja, dan membiarkan (memaklumi kesalahan yang lain).  Baca Juga: Kenapa Suami Bersikap Dingin kepada Istri?  ADVERTISEMENT   Cara Menyikapi Kesalahan Istri Lantas, seperti apa cara menyikapi kesalahan istri yang perlu dilakukan oleh Dads? Ada beberapa cara menyikapi kesalahan istri menurut Islam yang bisa dijadikan rujukan. Berikut ulasannya seperti dikutip dari Muslim.or.id.  1. Mudah Memaafkan 4 Tips untuk Suami Menyikapi Kesalahan Istri Menurut Islam -1 Foto: ciri pasangan toxic 3.jpg  ADVERTISEMENT   Foto: Orami Photo Stock  Cara menyikapi kesalahan istri yang pertama adalah dengan memaafkannya. Allah SWT memberikan motivasi untuk menjadi pribadi yang mudah memafkan kesalahan orang lain dalam firman-Nya: “Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu [246]. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya,” (QS Ali ‘Imran: 159).  Begitu pula dalam menghadapi istri yang marah. Rasulullah mengajarkan untuk memaafkan kesalahan orang lain, apalagi istri sendiri.  Oleh karena itu, memafkan perbuatan istri saat sedang marah sangat dianjurkan karena istri marah, semua perkataan dan perbuatannya sedang dikendalikan oleh syetan. Oleh karena itu, dengan memaafkannya maka kita tidak akan menimbulkan masalah baru lainnya yang lebih pelik.  2. Tidak Membalasnya dengan Kemarahan 4 Tips untuk Suami Menyikapi Kesalahan Istri Menurut Islam -2 Foto: tanda pasangan posesif 3.jpg  Foto: Orami Photo Stock  Cara menyikapi kesalahan istri yang selanjutnya adalah dengan tidak membalasnya dengan kemarahan. Rasulullah merupakan uswatun hasanah atau sebaik-baiknya panutan. Dalam rumah tangga, Rasulullah SAW juga merupakan pribadi yang tidak pernah marah kepada istri.  Dalam beberapa hadist dari Imam Bukhari, terdapat sebuah kisah dari keutamaan rasul tidak menunjukkan rasa amarah.  Pada suatu hari, Rasulullah sedang menemui sejumlah tamu yakni para sahabat beliau. Tiba-tiba terdengar suara piring pecah.  Ternyata Aisyah baru saja memukul piring berisi makanan yang dibawa oleh pembantu Zainab untuk disuguhkan kepada Rasulullah. Piring itu pecah dan makanannya pun jatuh.  ADVERTISEMENT   Menyaksikan insiden tersebut Rasulullah tidak marah. Beliau tidak merasa kehormatannya dipermalukan. Beliau tidak merasa khawatir disebut sebagai suami yang tidak mampu mendidik istrinya untuk mengendalikan emosi. Sama sekali tidak.  Namun, Rasulullah mendekati keduanya dengan tenang lalu beliau memunguti makanan tersebut dan meletakkannya di sisa-sisa piring, kemudian membawanya kepada para tamu. “Maaf… ibu kalian sedang cemburu,” kata Rasulullah kepada para sahabatnya.  Demikianlah akhlak agung Rasulullah SAW. Beliau tidak mempermasalahkan masalah, namun menyelesaikan masalah. Dan Rasulullah memecahkan masalah dengan bijak.  Beliau tidak memarahi Aisyah karena memarahi istri yang sedang marah akan menimbulkan masalah baru.  Baca Juga: Sikap Suami Mendadak Berubah, Apa Penyebab dan Cara Menghadapinya?  3. Bersikap Sabar 4 Tips untuk Suami Menyikapi Kesalahan Istri Menurut Islam -3 Foto: Suami depresi bisa persulit peluang pasangan untuk hamil (1).jpg  Foto: Orami Photo Stock  ADVERTISEMENT   Cara menyikapi kesalahan istri yang selanjutnya adalah dengan bersikap sabar.  Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda kepada Aisyah; “Sesungguhnya aku dapat membedakan antara sikap kamu yang sedang marah kepadaku dan yang sedang suka kepadaku.” Aisyah bertanya, “Bagaimana engkau tahu itu?” Rasulullah menjawab, “Apabila kamu sedang tidak marah, kamu akan mengatakan, ‘Tidak, demi Tuhan Muhammad’ dan jika kamu sedang marah, kamu akan mengatakan, ‘Tidak, demi Tuhan Ibrahim’.” Aisyah pun membenarkan dan berkata, “Sesungguhnya aku hanya meninggalkan namamu saja.” (Muttafaq ‘alaih).  Dalam hadist tersebut, Rasulullah SAW mengajarkan akhlak terpuji yakni untuk selalu bersikap sabar. Demikian pula saat menyikapi kesalahan istri dan dalam posisi yang sedang marah.  Sikap sabar harus selalu dikedepankan. Karena Allah SWT sendiri dalam firmannya akan memberikan pahala yang luar biasa bagi mereka yang bersabar., Mengajarkan Ilmu Agama  Di antara hak seorang isteri yang harus dipenuhi suaminya adalah memberikan pendidikan dan pengajaran dalam perkara agama. Dengan memahami dan mengamalkan agamanya, seseorang akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.  Allah ‘Azza wa Jalla berfirman.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ  “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [At-Tahrim/66 : 6]  Menjaga keluarga dari api Neraka mengandung maksud menasihati mereka agar taat, bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan mentauhidkan-Nya serta menjauhkan syirik, mengajarkan kepada mereka tentang syari’at Islam, dan tentang adab-adabnya. Para Shahabat dan mufassirin menjelaskan tentang tafsir ayat tersebut sebagai berikut:  ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Ajarkanlah agama kepada keluarga kalian, dan ajarkan pula adab-adab Islam.”  Qatadah rahimahullaah berkata, “Suruh keluarga kalian untuk taat kepada Allah! Cegah mereka dari berbuat maksiyat! Hendaknya mereka melaksanakan perintah Allah dan bantulah mereka! Apabila kalian melihat mereka berbuat maksiyat, maka cegah dan laranglah mereka!”  Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullaah berkata: “Ajarkan keluarga kalian untuk taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla yang (hal itu) dapat menyelamatkan diri mereka dari api Neraka.”  Imam asy-Syaukani mengutip perkataan Ibnu Jarir: “Wajib atas kita untuk mengajarkan anak-anak kita Dienul Islam (agama Islam), serta mengajarkan kebaikan dan adab-adab Islam.” [1]  Untuk itulah, kewajiban seorang suami untuk membekali dirinya dengan thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu syar’i) dengan menghadiri majelis-majelis ilmu yang mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih -generasi yang terbaik, yang mendapat jaminan dari Allah-, sehingga dengan bekal tersebut dia mampu mengajarkannya kepada isteri dan keluarganya.  Jika ia tidak sanggup untuk mengajarkannya, hendaklah seorang suami mengajak isteri dan anaknya untuk bersama-sama hadir di dalam majelis ilmu yang mengajarkan Islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, mendengarkan apa yang disampaikan, memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan hadirnya suami-isteri di majelis ilmu akan menjadikan mereka sekeluarga dapat memahami Islam dengan benar, beribadah dengan ikhlas mengharapkan wajah Allah ‘Azza wa Jalla semata serta senantiasa meneladani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Insya Allah, hal ini akan memberikan manfaat dan berkah yang sangat banyak karena suami maupun isteri saling memahami hak dan kewajibannya sebagai hamba Allah.  Dalam kehidupan yang serba materialistis seperti sekarang ini, banyak suami yang melalaikan diri dan keluarganya. Berdalih mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, dia mengabaikan kewajiban yang lainnya. Seolah-olah dia merasa bahwa kewajibannya cukup hanya dengan memberikan nafkah berupa harta, kemudian nafkah batinnya, sedangkan pendidikan agama yang merupakan hal paling pokok justru tidak pernah dipedulikan.  Seringkali sang suami jarang berkumpul dengan keluarganya untuk menunaikan ibadah bersama-sama. Sang suami pergi ke kantor pada pagi hari ba’da Shubuh dan kembali ke rumahnya larut malam.   Pola hidup seperti ini adalah pola hidup yang tidak baik. Tidak pernah atau jarang sekali ia membaca Al-Qur’an, kurang sekali memperhatikan isteri dan anaknya shalat, dan tidak memperhatikan pendidikan agama mereka sehari-hari. Bahkan pendidikan anaknya dia percayakan sepenuhnya kepada pendidikan di sekolah, dan bangga dengan sekolah-sekolah yang memungut biaya sangat mahal karena alasan harga diri. Ia merasa bahwa tugasnya sebagai orang tua telah ia tunaikan seluruhnya.   Lantas bagaimana kita dapat mewujudkan anak yang shalih, sedangkan kita tahu bahwa salah satu kewajiban yang mulia seorang kepala rumah tangga adalah mendidik keluarganya. Sementara tidak bisa kita pungkiri juga bahwa pengaruh negatif dari lingkungan yang cukup kuat berupa media cetak dan elektronik seperti koran, majalah, tabloid, televisi, radio, VCD, serta peralatan hiburan lainnya sangat mudah mencemari pikiran dan perilaku sang anak. Bahkan media ini bisa menjadi orang tua ketiga, maka kita harus mewaspadai media-media yang ada dan alat-alat permainan yang sangat berpengaruh buruk terhadap perilaku anak-anak kita.  Oleh karena itu, kewajiban seorang suami harus memperhatikan pendidikan isteri dan anaknya, baik tentang Tauhid, shalat, bacaan Al-Qur’annya, pakaiannya, pergaulannya, serta bentuk-bentuk ibadah dan akhlak yang lainnya. Karena Islam telah mengajarkan semua sisi kehidupan, kewajiban kita untuk mempelajari dan mengamalkannya sesuai Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.  Begitu pula kewajiban seorang isteri adalah membantu suaminya mendidik anak-anak di rumah dengan baik. Seorang isteri diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah mengurus rumah dan anak-anak, serta menjauhkan diri dan keluarga dari hal-hal yang bertentangan dengan syari’at Islam.  7. Menasehati Isteri Dengan Cara Yang Baik  Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewasiatkan agar berbuat baik kepada kaum wanita, berlaku lemah lembut dan sabar atas segala kekurangannya, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang paling bengkok.  Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.    مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِي جَارَهُ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا  Baca Juga  Nasihat Untuk Suami Isteri  “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya. Berwasiatlah kepada wanita dengan kebaikan. Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau membiarkannya, ia akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berwasiat-lah kepada wanita dengan kebaikan.”[2]  8. Mengizinkannya Keluar Untuk Kebutuhan Yang Mendesak  Di antara hak isteri adalah suami mengizinkannya keluar untuk suatu kebutuhan yang mendesak, seperti pergi ke warung, pasar dan lainnya untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Berdasarkan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.  قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ  “Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kalian (para wanita) keluar (rumah) untuk keperluan (hajat) kalian.”[3]  Tetapi, keluarnya mereka harus dengan beberapa syarat, yaitu:  1. Memakai hijab syar’i yang dapat menutupi seluruh tubuh.  2. Tidak ikhtilath (berbaur) dengan kaum laki-laki.  3. Tidak memakai wangi-wangian (parfum).  Seorang suami pun dibolehkan untuk mengizinkan isterinya untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid apabila ketiga syarat di atas terpenuhi.  Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.  إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا  “Apabila isteri salah seorang dari kalian meminta izin untuk pergi ke masjid, janganlah ia menghalanginya”[4]  Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ  “Janganlah kalian melarang para wanita hamba Allah mendatangi masjid-masjid Allah”[5]  Referensi :6. Mengajarkan Ilmu Agama Di antara hak seorang isteri yang harus dipenuhi suaminya adalah memberikan pendidikan dan pengajaran dalam perkara agama. Dengan memahami dan mengamalkan agamanya, seseorang akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.  Allah ‘Azza wa Jalla berfirman.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ  “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [At-Tahrim/66 : 6]  Menjaga keluarga dari api Neraka mengandung maksud menasihati mereka agar taat, bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan mentauhidkan-Nya serta menjauhkan syirik, mengajarkan kepada mereka tentang syari’at Islam, dan tentang adab-adabnya. Para Shahabat dan mufassirin menjelaskan tentang tafsir ayat tersebut sebagai berikut:  ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Ajarkanlah agama kepada keluarga kalian, dan ajarkan pula adab-adab Islam.”  Qatadah rahimahullaah berkata, “Suruh keluarga kalian untuk taat kepada Allah! Cegah mereka dari berbuat maksiyat! Hendaknya mereka melaksanakan perintah Allah dan bantulah mereka! Apabila kalian melihat mereka berbuat maksiyat, maka cegah dan laranglah mereka!”  Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullaah berkata: “Ajarkan keluarga kalian untuk taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla yang (hal itu) dapat menyelamatkan diri mereka dari api Neraka.”  Imam asy-Syaukani mengutip perkataan Ibnu Jarir: “Wajib atas kita untuk mengajarkan anak-anak kita Dienul Islam (agama Islam), serta mengajarkan kebaikan dan adab-adab Islam.” [1]  Untuk itulah, kewajiban seorang suami untuk membekali dirinya dengan thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu syar’i) dengan menghadiri majelis-majelis ilmu yang mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih -generasi yang terbaik, yang mendapat jaminan dari Allah-, sehingga dengan bekal tersebut dia mampu mengajarkannya kepada isteri dan keluarganya.  Jika ia tidak sanggup untuk mengajarkannya, hendaklah seorang suami mengajak isteri dan anaknya untuk bersama-sama hadir di dalam majelis ilmu yang mengajarkan Islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, mendengarkan apa yang disampaikan, memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan hadirnya suami-isteri di majelis ilmu akan menjadikan mereka sekeluarga dapat memahami Islam dengan benar, beribadah dengan ikhlas mengharapkan wajah Allah ‘Azza wa Jalla semata serta senantiasa meneladani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Insya Allah, hal ini akan memberikan manfaat dan berkah yang sangat banyak karena suami maupun isteri saling memahami hak dan kewajibannya sebagai hamba Allah.  Dalam kehidupan yang serba materialistis seperti sekarang ini, banyak suami yang melalaikan diri dan keluarganya. Berdalih mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, dia mengabaikan kewajiban yang lainnya. Seolah-olah dia merasa bahwa kewajibannya cukup hanya dengan memberikan nafkah berupa harta, kemudian nafkah batinnya, sedangkan pendidikan agama yang merupakan hal paling pokok justru tidak pernah dipedulikan.  Seringkali sang suami jarang berkumpul dengan keluarganya untuk menunaikan ibadah bersama-sama. Sang suami pergi ke kantor pada pagi hari ba’da Shubuh dan kembali ke rumahnya larut malam.   Pola hidup seperti ini adalah pola hidup yang tidak baik. Tidak pernah atau jarang sekali ia membaca Al-Qur’an, kurang sekali memperhatikan isteri dan anaknya shalat, dan tidak memperhatikan pendidikan agama mereka sehari-hari. Bahkan pendidikan anaknya dia percayakan sepenuhnya kepada pendidikan di sekolah, dan bangga dengan sekolah-sekolah yang memungut biaya sangat mahal karena alasan harga diri. Ia merasa bahwa tugasnya sebagai orang tua telah ia tunaikan seluruhnya.   Lantas bagaimana kita dapat mewujudkan anak yang shalih, sedangkan kita tahu bahwa salah satu kewajiban yang mulia seorang kepala rumah tangga adalah mendidik keluarganya. Sementara tidak bisa kita pungkiri juga bahwa pengaruh negatif dari lingkungan yang cukup kuat berupa media cetak dan elektronik seperti koran, majalah, tabloid, televisi, radio, VCD, serta peralatan hiburan lainnya sangat mudah mencemari pikiran dan perilaku sang anak. Bahkan media ini bisa menjadi orang tua ketiga, maka kita harus mewaspadai media-media yang ada dan alat-alat permainan yang sangat berpengaruh buruk terhadap perilaku anak-anak kita.  Oleh karena itu, kewajiban seorang suami harus memperhatikan pendidikan isteri dan anaknya, baik tentang Tauhid, shalat, bacaan Al-Qur’annya, pakaiannya, pergaulannya, serta bentuk-bentuk ibadah dan akhlak yang lainnya. Karena Islam telah mengajarkan semua sisi kehidupan, kewajiban kita untuk mempelajari dan mengamalkannya sesuai Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.  Begitu pula kewajiban seorang isteri adalah membantu suaminya mendidik anak-anak di rumah dengan baik. Seorang isteri diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah mengurus rumah dan anak-anak, serta menjauhkan diri dan keluarga dari hal-hal yang bertentangan dengan syari’at Islam.  7. Menasehati Isteri Dengan Cara Yang Baik  Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewasiatkan agar berbuat baik kepada kaum wanita, berlaku lemah lembut dan sabar atas segala kekurangannya, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang paling bengkok.  Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.    مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِي جَارَهُ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا  Baca Juga  Nasihat Untuk Suami Isteri  “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya. Berwasiatlah kepada wanita dengan kebaikan. Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau membiarkannya, ia akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berwasiat-lah kepada wanita dengan kebaikan.”[2]  8. Mengizinkannya Keluar Untuk Kebutuhan Yang Mendesak  Di antara hak isteri adalah suami mengizinkannya keluar untuk suatu kebutuhan yang mendesak, seperti pergi ke warung, pasar dan lainnya untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Berdasarkan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.  قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ  “Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kalian (para wanita) keluar (rumah) untuk keperluan (hajat) kalian.”[3]  Tetapi, keluarnya mereka harus dengan beberapa syarat, yaitu:  1. Memakai hijab syar’i yang dapat menutupi seluruh tubuh.  2. Tidak ikhtilath (berbaur) dengan kaum laki-laki.  3. Tidak memakai wangi-wangian (parfum).  Seorang suami pun dibolehkan untuk mengizinkan isterinya untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid apabila ketiga syarat di atas terpenuhi.  Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.  إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا  “Apabila isteri salah seorang dari kalian meminta izin untuk pergi ke masjid, janganlah ia menghalanginya”[4]  Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ  “Janganlah kalian melarang para wanita hamba Allah mendatangi masjid-masjid Allah”[5]  Referensi : Mengajarkan Ilmu Agama, Menasehati Isteri Dengan Cara Yang Baik ,  Mengajarkan Ilmu Agama  Di antara hak seorang isteri yang harus dipenuhi suaminya adalah memberikan pendidikan dan pengajaran dalam perkara agama. Dengan memahami dan mengamalkan agamanya, seseorang akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.  Allah ‘Azza wa Jalla berfirman.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ  “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [At-Tahrim/66 : 6]  Menjaga keluarga dari api Neraka mengandung maksud menasihati mereka agar taat, bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan mentauhidkan-Nya serta menjauhkan syirik, mengajarkan kepada mereka tentang syari’at Islam, dan tentang adab-adabnya. Para Shahabat dan mufassirin menjelaskan tentang tafsir ayat tersebut sebagai berikut:  ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Ajarkanlah agama kepada keluarga kalian, dan ajarkan pula adab-adab Islam.”  Qatadah rahimahullaah berkata, “Suruh keluarga kalian untuk taat kepada Allah! Cegah mereka dari berbuat maksiyat! Hendaknya mereka melaksanakan perintah Allah dan bantulah mereka! Apabila kalian melihat mereka berbuat maksiyat, maka cegah dan laranglah mereka!”  Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullaah berkata: “Ajarkan keluarga kalian untuk taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla yang (hal itu) dapat menyelamatkan diri mereka dari api Neraka.”  Imam asy-Syaukani mengutip perkataan Ibnu Jarir: “Wajib atas kita untuk mengajarkan anak-anak kita Dienul Islam (agama Islam), serta mengajarkan kebaikan dan adab-adab Islam.” [1]  Untuk itulah, kewajiban seorang suami untuk membekali dirinya dengan thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu syar’i) dengan menghadiri majelis-majelis ilmu yang mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih -generasi yang terbaik, yang mendapat jaminan dari Allah-, sehingga dengan bekal tersebut dia mampu mengajarkannya kepada isteri dan keluarganya.  Jika ia tidak sanggup untuk mengajarkannya, hendaklah seorang suami mengajak isteri dan anaknya untuk bersama-sama hadir di dalam majelis ilmu yang mengajarkan Islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, mendengarkan apa yang disampaikan, memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan hadirnya suami-isteri di majelis ilmu akan menjadikan mereka sekeluarga dapat memahami Islam dengan benar, beribadah dengan ikhlas mengharapkan wajah Allah ‘Azza wa Jalla semata serta senantiasa meneladani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Insya Allah, hal ini akan memberikan manfaat dan berkah yang sangat banyak karena suami maupun isteri saling memahami hak dan kewajibannya sebagai hamba Allah.  Dalam kehidupan yang serba materialistis seperti sekarang ini, banyak suami yang melalaikan diri dan keluarganya. Berdalih mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, dia mengabaikan kewajiban yang lainnya. Seolah-olah dia merasa bahwa kewajibannya cukup hanya dengan memberikan nafkah berupa harta, kemudian nafkah batinnya, sedangkan pendidikan agama yang merupakan hal paling pokok justru tidak pernah dipedulikan.  Seringkali sang suami jarang berkumpul dengan keluarganya untuk menunaikan ibadah bersama-sama. Sang suami pergi ke kantor pada pagi hari ba’da Shubuh dan kembali ke rumahnya larut malam.   Pola hidup seperti ini adalah pola hidup yang tidak baik. Tidak pernah atau jarang sekali ia membaca Al-Qur’an, kurang sekali memperhatikan isteri dan anaknya shalat, dan tidak memperhatikan pendidikan agama mereka sehari-hari. Bahkan pendidikan anaknya dia percayakan sepenuhnya kepada pendidikan di sekolah, dan bangga dengan sekolah-sekolah yang memungut biaya sangat mahal karena alasan harga diri. Ia merasa bahwa tugasnya sebagai orang tua telah ia tunaikan seluruhnya.   Lantas bagaimana kita dapat mewujudkan anak yang shalih, sedangkan kita tahu bahwa salah satu kewajiban yang mulia seorang kepala rumah tangga adalah mendidik keluarganya. Sementara tidak bisa kita pungkiri juga bahwa pengaruh negatif dari lingkungan yang cukup kuat berupa media cetak dan elektronik seperti koran, majalah, tabloid, televisi, radio, VCD, serta peralatan hiburan lainnya sangat mudah mencemari pikiran dan perilaku sang anak. Bahkan media ini bisa menjadi orang tua ketiga, maka kita harus mewaspadai media-media yang ada dan alat-alat permainan yang sangat berpengaruh buruk terhadap perilaku anak-anak kita.  Oleh karena itu, kewajiban seorang suami harus memperhatikan pendidikan isteri dan anaknya, baik tentang Tauhid, shalat, bacaan Al-Qur’annya, pakaiannya, pergaulannya, serta bentuk-bentuk ibadah dan akhlak yang lainnya. Karena Islam telah mengajarkan semua sisi kehidupan, kewajiban kita untuk mempelajari dan mengamalkannya sesuai Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.  Begitu pula kewajiban seorang isteri adalah membantu suaminya mendidik anak-anak di rumah dengan baik. Seorang isteri diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah mengurus rumah dan anak-anak, serta menjauhkan diri dan keluarga dari hal-hal yang bertentangan dengan syari’at Islam.  7. Menasehati Isteri Dengan Cara Yang Baik  Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewasiatkan agar berbuat baik kepada kaum wanita, berlaku lemah lembut dan sabar atas segala kekurangannya, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang paling bengkok.  Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.    مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِي جَارَهُ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا  Baca Juga  Nasihat Untuk Suami Isteri  “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya. Berwasiatlah kepada wanita dengan kebaikan. Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau membiarkannya, ia akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berwasiat-lah kepada wanita dengan kebaikan.”[2]  8. Mengizinkannya Keluar Untuk Kebutuhan Yang Mendesak  Di antara hak isteri adalah suami mengizinkannya keluar untuk suatu kebutuhan yang mendesak, seperti pergi ke warung, pasar dan lainnya untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Berdasarkan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.  قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ  “Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kalian (para wanita) keluar (rumah) untuk keperluan (hajat) kalian.”[3]  Tetapi, keluarnya mereka harus dengan beberapa syarat, yaitu:  1. Memakai hijab syar’i yang dapat menutupi seluruh tubuh.  2. Tidak ikhtilath (berbaur) dengan kaum laki-laki.  3. Tidak memakai wangi-wangian (parfum).  Seorang suami pun dibolehkan untuk mengizinkan isterinya untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid apabila ketiga syarat di atas terpenuhi.  Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.  إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا  “Apabila isteri salah seorang dari kalian meminta izin untuk pergi ke masjid, janganlah ia menghalanginya”[4]  Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ  “Janganlah kalian melarang para wanita hamba Allah mendatangi masjid-masjid Allah”[5]  Referensi :
6. Mengajarkan Ilmu Agama

Di antara hak seorang isteri yang harus dipenuhi suaminya adalah memberikan pendidikan dan pengajaran dalam perkara agama. Dengan memahami dan mengamalkan agamanya, seseorang akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [At-Tahrim/66 : 6]

Menjaga keluarga dari api Neraka mengandung maksud menasihati mereka agar taat, bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan mentauhidkan-Nya serta menjauhkan syirik, mengajarkan kepada mereka tentang syari’at Islam, dan tentang adab-adabnya. Para Shahabat dan mufassirin menjelaskan tentang tafsir ayat tersebut sebagai berikut:

‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Ajarkanlah agama kepada keluarga kalian, dan ajarkan pula adab-adab Islam.”

Qatadah rahimahullaah berkata, “Suruh keluarga kalian untuk taat kepada Allah! Cegah mereka dari berbuat maksiyat! Hendaknya mereka melaksanakan perintah Allah dan bantulah mereka! Apabila kalian melihat mereka berbuat maksiyat, maka cegah dan laranglah mereka!”

Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullaah berkata: “Ajarkan keluarga kalian untuk taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla yang (hal itu) dapat menyelamatkan diri mereka dari api Neraka.”

Imam asy-Syaukani mengutip perkataan Ibnu Jarir: “Wajib atas kita untuk mengajarkan anak-anak kita Dienul Islam (agama Islam), serta mengajarkan kebaikan dan adab-adab Islam.” [1]

Untuk itulah, kewajiban seorang suami untuk membekali dirinya dengan thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu syar’i) dengan menghadiri majelis-majelis ilmu yang mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih -generasi yang terbaik, yang mendapat jaminan dari Allah-, sehingga dengan bekal tersebut dia mampu mengajarkannya kepada isteri dan keluarganya.

Jika ia tidak sanggup untuk mengajarkannya, hendaklah seorang suami mengajak isteri dan anaknya untuk bersama-sama hadir di dalam majelis ilmu yang mengajarkan Islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, mendengarkan apa yang disampaikan, memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan hadirnya suami-isteri di majelis ilmu akan menjadikan mereka sekeluarga dapat memahami Islam dengan benar, beribadah dengan ikhlas mengharapkan wajah Allah ‘Azza wa Jalla semata serta senantiasa meneladani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Insya Allah, hal ini akan memberikan manfaat dan berkah yang sangat banyak karena suami maupun isteri saling memahami hak dan kewajibannya sebagai hamba Allah.

Dalam kehidupan yang serba materialistis seperti sekarang ini, banyak suami yang melalaikan diri dan keluarganya. Berdalih mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, dia mengabaikan kewajiban yang lainnya. Seolah-olah dia merasa bahwa kewajibannya cukup hanya dengan memberikan nafkah berupa harta, kemudian nafkah batinnya, sedangkan pendidikan agama yang merupakan hal paling pokok justru tidak pernah dipedulikan.

Seringkali sang suami jarang berkumpul dengan keluarganya untuk menunaikan ibadah bersama-sama. Sang suami pergi ke kantor pada pagi hari ba’da Shubuh dan kembali ke rumahnya larut malam. 

Pola hidup seperti ini adalah pola hidup yang tidak baik. Tidak pernah atau jarang sekali ia membaca Al-Qur’an, kurang sekali memperhatikan isteri dan anaknya shalat, dan tidak memperhatikan pendidikan agama mereka sehari-hari. Bahkan pendidikan anaknya dia percayakan sepenuhnya kepada pendidikan di sekolah, dan bangga dengan sekolah-sekolah yang memungut biaya sangat mahal karena alasan harga diri. Ia merasa bahwa tugasnya sebagai orang tua telah ia tunaikan seluruhnya. 

Lantas bagaimana kita dapat mewujudkan anak yang shalih, sedangkan kita tahu bahwa salah satu kewajiban yang mulia seorang kepala rumah tangga adalah mendidik keluarganya. Sementara tidak bisa kita pungkiri juga bahwa pengaruh negatif dari lingkungan yang cukup kuat berupa media cetak dan elektronik seperti koran, majalah, tabloid, televisi, radio, VCD, serta peralatan hiburan lainnya sangat mudah mencemari pikiran dan perilaku sang anak. Bahkan media ini bisa menjadi orang tua ketiga, maka kita harus mewaspadai media-media yang ada dan alat-alat permainan yang sangat berpengaruh buruk terhadap perilaku anak-anak kita.

Oleh karena itu, kewajiban seorang suami harus memperhatikan pendidikan isteri dan anaknya, baik tentang Tauhid, shalat, bacaan Al-Qur’annya, pakaiannya, pergaulannya, serta bentuk-bentuk ibadah dan akhlak yang lainnya. Karena Islam telah mengajarkan semua sisi kehidupan, kewajiban kita untuk mempelajari dan mengamalkannya sesuai Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Begitu pula kewajiban seorang isteri adalah membantu suaminya mendidik anak-anak di rumah dengan baik. Seorang isteri diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah mengurus rumah dan anak-anak, serta menjauhkan diri dan keluarga dari hal-hal yang bertentangan dengan syari’at Islam.

7. Menasehati Isteri Dengan Cara Yang Baik

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewasiatkan agar berbuat baik kepada kaum wanita, berlaku lemah lembut dan sabar atas segala kekurangannya, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang paling bengkok.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.


مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِي جَارَهُ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا

Baca Juga  Nasihat Untuk Suami Isteri

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya. Berwasiatlah kepada wanita dengan kebaikan. Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau membiarkannya, ia akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berwasiat-lah kepada wanita dengan kebaikan.”[2]

8. Mengizinkannya Keluar Untuk Kebutuhan Yang Mendesak

Di antara hak isteri adalah suami mengizinkannya keluar untuk suatu kebutuhan yang mendesak, seperti pergi ke warung, pasar dan lainnya untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Berdasarkan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ

“Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kalian (para wanita) keluar (rumah) untuk keperluan (hajat) kalian.”[3]

Tetapi, keluarnya mereka harus dengan beberapa syarat, yaitu:

1. Memakai hijab syar’i yang dapat menutupi seluruh tubuh.

2. Tidak ikhtilath (berbaur) dengan kaum laki-laki.

3. Tidak memakai wangi-wangian (parfum).

Seorang suami pun dibolehkan untuk mengizinkan isterinya untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid apabila ketiga syarat di atas terpenuhi.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا

“Apabila isteri salah seorang dari kalian meminta izin untuk pergi ke masjid, janganlah ia menghalanginya”[4]

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ

“Janganlah kalian melarang para wanita hamba Allah mendatangi masjid-masjid Allah”[5]

Referensi : Mengajarkan Ilmu Agama, Menasehati Isteri Dengan Cara Yang Baik