Senin, 05 September 2022

Deja Vu: Pengertian, Sebab, dan Teori

Pernahkah kamu merasa sedikit aneh saat berkunjung ke tempat baru atau mengalami kejadian yang baru? Seperti kamu merasa sudah pernah datang ke tempat tersebut sebelumnya dan kamu tidak asing dengan suasananya. Fenomena ini sering disebut dengan deja vu.  Contoh lain dari fenomena deja vu bisa jadi seperti ini: katakanlah kamu sedang study tour ke Candi Borobudur bersama teman-teman sekolah. Lalu kamu melihat siswa dari sekolah lain dengan pakaian study tour-nya masing-masing. Tiba-tiba kamu merasa pernah mengalami hal tersebut namun tidak yakin karena seingatmu, baru saat itu kamu pergi ke Candi Borobudur. Tidak sedikit orang yang pernah mengalami dejavu, namun sebenarnya apa yang dimaksud dengan.   Pengertian dan jenis-jenis deja vu Deja vu atau dejavu adalah frasa yang berasal dari bahasa Perancis yang berarti “sudah pernah melihat atau merasakan”. Orang yang pertama kali menggunakannya adalah Emile Boirac seorang ilmuwan dan filosofis berkebangsaan Perancis pada tahun 1876.  Fenomena ini cukup rumit untuk dipahami dan banyak sekali ahli sudah mencoba menjelaskannya. Sigmund Freud menyebutkan bahwa dejavu berkaitan dengan keinginan terpendam dari seseorang. Di sisi lain Carl Jung mengidentifikasinya sebagai sesuatu yang ada hubungannya dengan alam bawah sadar manusia.  Adapun Arthur Funkhouser, seorang ilmuwan dari Swiss pernah menyebutkan bahwa dejavu dibagi menjadi dua jenis berdasarkan pengalaman yang dirasakan. Pertama adalah déjà visite (pernah mengunjungi). Contohnya, jika kamu datang ke suatu tempat dan merasa familiar dengan suasana di tempat tersebut, maka kamu sedang mengalami déjàvisite.  Yang kedua adalah déjà vecu (pernah mengalami). Misalnya kamu sedang berdiskusi tentang judul buku fiksi terbaik bersama teman-teman dan tiba-tiba kamu merasa sudah pernah membicarakan hal ini sebelumnya.  Selain déjà visite dan déjà vecu, rupanya ada tiga fenomena lain yang cukup jarang dibahas namun mirip seperti dejavu. Pertama, “deja entendu” (sudah pernah didengar) atau perasaan seperti pernah mendengar sesuatu sebelumnya seperti potongan lagu.  Kedua ada “Jamais Vu” (Tidak pernah dilihat) atau sebuah perasaan sangat asing ketika melihat sesuatu secara tiba-tiba. Ketiga “Presque Vu” (hampir terlihat) atau sebuah perasaan yang muncul di tengah-tengah pencerahan dan realisasi.Fenomena deja vu kerap muncul pada kehidupan sehari-hari. Seperti tertuang di novel “Deja vu” karya Vasca Vannisa. Berbagai kejadian ganjil yang terjadi seolah pernah hadir di dalam benaknya. Apakah Grameds pernah merasakan hal yang sama?  Mengapa kita bisa mengalami dejavu? Seperti yang disebutkan sebelumnya, fenomena deja vu cukup rumit untuk dipahami namun bukan berarti tidak ada yang coba mempelajarinya. Banyak sekali ilmuwan meneliti deja vu, sayangnya tidak ada yang bisa mendapatkan kepastian.  Kemungkinan karena fenomena ini terjadi sangat cepat dan tidak ada tanda-tanda yang bisa dijadikan acuan sebelumnya. Akan tetapi sejauh ini ada beberapa teori yang dipercaya menjadi penyebab terjadinya deja vu.  1. Teori Tentang Ingatan Manusia Ilmuwan-ilmuwan di dunia mengemukakan adanya kemungkinan fenomena deja vu berhubungan dengan ingatan manusia. Dengan kata lain, pusat ingatan manusia dalam otak bertanggung jawab atas fenomena ini.  Untuk sampai pada kesimpulan ini, banyak penelitian yang sudah dilakukan. Salah satunya oleh Akira O’Connor di Universitas St Andrews United Kingdom. Penelitian ini mencoba untuk memasukan memori palsu kepada partisipan dengan tujuan agar dapat membangkitkan perasaan familiar yang salah di otak partisipan.   Peneliti meminta partisipan mengingat rangkaian kata yang berhubungan dengan tidur–seperti kasur, mimpi, malam, bantal, dan sebagainya–tapi tidak ada kata tidur di dalamnya. Lalu peneliti menanyakan sebuah pertanyaan “pernahkah kamu mendengar kata yang diawali oleh huruf S?” Tidak ada satupun partisipan yang menjawab. Peneliti lanjut menanyakan “pernahkah kamu mendengar kata ‘sleep’?”  Tebak bagaimana respon partisipan? Tidak ada partisipan yang menjawab dengan yakin pertanyaan tersebut. Mereka hanya mengatakan bahwa kata “sleep” terasa familiar meskipun pada kenyataannya mereka juga tahu tidak ada kata tersebut.  Selama proses penelitian, para partisipan menjalani pemindaian otak melalui mesin functional magnetic resonance imaging (fMRI). Hasilnya memperlihatkan bahwa bagian depan otak partisipan menunjukan ciri-ciri sedang berusaha menentukan apakah perasaan familiar yang mereka rasakan benar atau tidak.  Selanjutnya ada ilmuwan yang tergabung dalam kelompok Leeds Memory Group mereka ulang fenomena dejavu pada tahun 2006. Mereka menanamkan ingatan kepada pasien yang berada di bawah pengaruh hipnosis.  Dari kedua percobaan tersebut, ilmuwan menyimpulkan bahwa deja vu adalah fenomena yang berhubungan dengan ingatan. Banyak ilmuwan telah melakukan riset untuk lebih menjiwai sistem saraf dan otak, seperti yang terangkum dalam buku “Neurosains, Menjiwai Sistem Saraf dan Otak”  Teori split perception menerangkan bahwa dejavu terjadi saat kamu melihat sesuatu yang sama dalam dua waktu yang berbeda. Saat kamu melihat sesuatu untuk pertama kali, ada kemungkinan saat itu perhatianmu sedang teralihkan oleh sesuatu yang lain.  Karena itu, otakmu hanya merekam secara singkat apa yang kamu lihat di dalam ingatan. Akibatnya kamu juga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengingatnya kembali karena informasi yang ada tidak sempurna.  Anggap saja ingatan itu seperti kepingan puzzle. Jika kepingannya utuh, kamu bisa melihat gambarnya lebih cepat karena tidak ada bagian yang hilang dan kamu tidak perlu menebak-nebak sisa gambarnya. Sedangkan saat kepingannya tidak utuh kamu butuh waktu lebih lama untuk menebak sisa kepingannya dan menentukan gambarnya secara utuh.  Contoh lainnya, ketika kamu masuk ke sebuah rumah untuk pertama kali lalu mengalami dejavu saat berbincang-bincang dengan tuan rumah di teras. Dalam kasus seperti itu, otakmu sudah mengolah berbagai informasi dari rumah tersebut secara visual (seperti suara, bau khas, dan lain-lain). Dengan demikian, saat kamu sudah berada di dalamnya, muncul perasaan seakan-akan kamu sudah pernah masuk ke ruangan tersebut.  Fenomena deja vu merupakan hal yang normal. Hal tersebut merupakan aktivitas otak manusia yang selalu distimulus agar kinerja otak bekerja maksimal. Seperti yang tertuang dalam buku “Melejitkan Potensi Otak Kanan”, buku ini berisikan tips untuk menggali potensi dalam upaya melahirkan kesuksesan manusia.  Teori lainnya menyatakan deja vu terjadi saat ada gangguan pada otak kecil. Umumnya, bagian otak yang bertugas untuk mengenali kejadian yang sedang terjadi dan bagian lain yang bertugas mengingat ingatan masa lalu aktif secara bersama-sama.  Singkatnya, otakmu mengira bahwa apa yang sedang kamu alami adalah ingatan masa lalu yang pernah terjadi sebelumnya.  Gangguan otak lain yang bisa menyebabkan dejavu adalah proses yang tertunda. Katakanlah kamu sedang mengobservasi sesuatu namun informasi yang disampaikan ke otak melalui dua jalur yang berbeda.  Kemudian salah satu jalur mengantarkan informasi lebih cepat dari jalur yang lainnya. Yang terjadi selanjutnya adalah otakmu mengira satu kejadian sebagai dua kejadian yang berbeda.  Teori medis tentang deja vu Sebagian orang yang mengalami deja vu tidak dibarengi dengan masalah kesehatan yang lainnya. Meski sangat jarang terjadi, akan tetapi deja vu juga bisa dipicu oleh gangguan pada lobus temporal atau bagian otak yang bertugas menyimpan memori.  Teori ini menyebutkan bahwa aktivitas gelombang listrik di otak seseorang yang merasakan dejavu mirip dengan yang dimiliki oleh pasien epilepsi. Meski begitu, kamu tidak perlu khawatir jika hanya merasakan dejavu sesekali saja. Karena itu memang normal.  Fakta-fakta tentang deja vu Walaupun sulit untuk dipahami, nyatanya sampai sekarang ilmuwan dan para ahli berhasil menemukan beberapa fakta tentang deja vu. Lantas apa saja yang sudah diketahui tentang deja vu?  1. Usia Fakta pertama adalah mengenai rentang usia yang sering mengalami deja vu. Menurut penelitian yang dilakukan oleh J. S. Levin, ditemukan bahwa dejavu lebih banyak dirasakan oleh kelompok usia muda. Biasanya usia 15 sampai 25 tahun merupakan kelompok usia yang rentan mengalami dejavu. Kemudian seiring bertambahnya usia, frekuensinya terus berkurang.  2. Jenis Kelamin Tidak seperti usia, deja vu bisa dirasakan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Meskipun tidak ada angka pasti untuk hal ini mengingat fenomena deja vu secara acak dan tidak bisa diperkirakan. Sampai saat ini belum ditemukan penelitian yang menyebutkan dengan pasti perbedaan jenis kelamin dapat mempengaruhi frekuensi terjadinya dejavu.  3. Status sosial Menurut beberapa penelitian, orang-orang yang berasal dari status sosial ekonomi yang tinggi dan memiliki latar belakang pendidikan yang juga tinggi, lebih sering mengalami dejavu. Sementara orang-orang dari kelas sosial yang lebih rendah justru hanya mengalami dejavu beberapa kali saja.  Tidak ada yang bisa menjelaskan dengan tepat alasan dibalik kesimpulan ini, namun fakta tersebut juga tidak bisa dikesampingkan begitu saja.  4. Frekuensi Bepergian Orang-orang yang senang bepergian ternyata lebih mungkin mengalami deja vu. Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 1967 menemukan bahwa dari seluruh jumlah partisipan, hanya 11% dari orang yang tidak pernah bepergian mengalami dejavu.  Jumlah tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan orang yang bepergian sebanyak satu sampai empat kali dalam satu tahun. 41% dari kelompok kedua mengalami setidaknya satu kali dejavu dalam hidupnya.  Lalu untuk kelompok ketiga, yakni kelompok yang bepergian lebih dari lima kali dalam satu tahun, 44% dari mereka melaporkan pernah mengalami deja vu. Singkatnya, semakin sering kamu bepergian, semakin besar kemungkinan kamu akan mengalami deja vu.  5. Stress Fakta lain yang menarik adalah deja vu ditemukan sering terjadi saat tubuh sedang kelelahan dan stress. Sebuah studi mengatakan bahwa banyak tentara mengalami dejavu saat mereka mulai mendekati medan perang.  Jadi sangat disarankan kamu tetap menjaga kesehatan mental dan pikiran agar tidak terlalu stress dan menjadi rentan mengalami deja vu.  6. Drugs Dalam penelitian lainnya yang dilakukan tahun 2011, menyebutkan bahwa seorang laki-laki sehat berusia 39 tahun mengalami deja vu ketika dia meminum amantadine dan phenylpropanolamine secara bersamaan untuk mengobati flu.  Meski begitu masih belum diketahui obat apa saja yang bisa menyebabkan deja vu. Oleh karena itu kinerja otak senantiasa dirangsang dengan melatih aktivitas yang baik bagi otak. Buku “ Kunci Melatih Otak Super” memaparkan dengan jelas peranan otak, fungsi, mitos, hingga tips melatih otak kita agar jadi genius.  Apakah deja vu berbahaya? Tidak sama sekali. Jika melihat kembali penjelasan dari teori yang ada, dapat disimpulkan deja vu hanya fenomena yang terjadi di otak manusia. Jadi tidak ada yang berbahaya darinya. Bahkan bisa dikatakan deja vu adalah hal yang normal.  Terlebih ada sekitar 70% orang mengatakan pernah mengalami dejavu. Rata-rata terjadi dalam waktu yang sangat singkat, yaitu 10 sampai 30 detik. Meskipun tidak ada yang tahu secara pasti kapan fenomena ini akan terjadi dan siapa yang akan mengalaminya. Semuanya terjadi begitu saja, secara acak.  Ada juga yang mengaitkan deja vu dengan mental illness, seperti anxiety, schizophrenia, dan dissociative identity disorder. Akan tetapi tidak ada yang mampu membuktikannya secara empiris.  Enam tahun yang lalu, ditemukan sebuah kasus menarik yang berkaitan dengan dejavu. Seorang pemuda asal Inggris berusia 23 tahun terjebak lingkaran dari tahun 2007 sampai 2015. Tepatnya ketika dia baru masuk kampus dan memulai kehidupan barunya sebagai seorang mahasiswa.  Untuk beberapa menit–kadang lebih lama–pria itu merasa sedang melakukan hal yang sudah pernah dia lakukan sebelumnya. Dia mendeskripsikan yang dialaminya seperti episode dalam sebuah film thriller psikologis, Donnie Darko.  Suatu hari pria ini pergi ke tempat pangkas rambut untuk mencukur rambutnya. Saat di dalam ruangan, dia merasakan dejavu lalu muncul dejavu dalam dejavu, pada akhirnya dia sendiri tidak dapat memikirkan hal yang lainnya.  Seorang neuropsikolog kognitif di University of Bourgogne, Moulin, mengatakan bahwa pria tersebut memiliki sejarah kecemasan dan depresi. Dia pernah mengkonsumsi obat LSD ketika kuliah. Kasus yang dialami pria ini memang berbahaya, namun masuk ke dalam kasus yang sangat langka dan belum pernah ditemukan lagi sampai sekarang.  Kapan Kita Harus Merasa Khawatir tentang Deja Vu? Meskipun sangat jarang terjadi, namun deja vu kadang-kadang merupakan tanda kejang, khususnya untuk penderita epilepsi. 60% penderita epilepsi mengalami kejang fokal yang terjadi di salah satu bagian otak, yaitu lobus temporal.  Beberapa orang yang mengalami kejang fokal mungkin mengalami dejavu yang cukup intens dan biasanya dibarengi dengan ciri-ciri lainnya, yaitu:  Kedutan atau ketidakmampuan untuk menggerakan otot tertentu Merasakan, mendengar, melihat, atau mencium sesuatu yang tidak nyata Perasaan senang, marah, sedih, atau mual yang tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan Perilaku aneh yang terjadi berulang kali, seperti berkedip, berkedut, atau menggerakkan mulut tanpa sadar. Sensasi yang tidak biasa dan mengindikasikan bahwa kejang akan terjadi yang biasa disebut dengan aura. Jika kamu merasakan semua ciri-ciri tersebut, sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli agar segera mendapatkan bantuan.  Selain itu, kadang dejavu muncul lebih sering dari seharusnya namun karena gejala dan ciri-cirinya tidak bisa diklasifikasikan secara spesifik, namun diagnosa dari ahlinya hal ini belum dipastikan. Bisa saja itu bukan dejavu, melainkan penyakit lain yang gejalanya mirip seperti dejavu.  Karena itu Grameds jangan pernah berasumsi sendiri jika sering merasakan dejavu, ya. Sebaiknya langsung hubungi dokter atau psikiater untuk memastikannya. Dengan bantuan mereka, kamu akan mendapatkan pemeriksaan menyeluruh–seperti fisik dan yang lainnya–yang memang diperlukan.  Siapa saja dapat mengalami perasaan aneh seolah-olah pernah berada di suatu tempat atau mengalami sebuah kejadian sebelumnya. Biasanya, terjadi dengan sangat cepat–sekian detik saja.  Umumnya dejavu merupakan pertanda bahwa kamu membutuhkan tidur yang lebih lama atau membutuhkan hiburan yang mampu meringankan tingkat stress-mu sendiri. Namun bisa juga menjadi sesuatu yang lebih serius jika kamu memiliki ciri-ciri lainnya.  Itulah pembahasan mengenai dejavu dan informasi-informasi yang harus Grameds ketahui. Ternyata fenomena yang berlangsung dalam hitungan detik saja sampai saat ini belum dapat dijelaskan dengan utuh. Namun itu juga menjadi bagian dari keunikan manusia.  Jadi bagi Grameds yang pernah mengalami dejavu, jangan langsung mengaitkannya dengan hal mistis dan ghaib ya karena ada penjelasan ilmiah yang bisa membantu kamu memahaminya–meskipun belum utuh sepenuhnya. Sampai jumpa di pembahasan lainnya, semoga bermanfaat!  Grameds, ulasan kita mengenai deja vu telah sampai pada ujungnya. Gramedia selalu siap menjadi #SahabatTanpaBatas mu dengan buku-buku terbaik kami.
Pernahkah kamu merasa sedikit aneh saat berkunjung ke tempat baru atau mengalami kejadian yang baru? Seperti kamu merasa sudah pernah datang ke tempat tersebut sebelumnya dan kamu tidak asing dengan suasananya. Fenomena ini sering disebut dengan deja vu.

Contoh lain dari fenomena deja vu bisa jadi seperti ini: katakanlah kamu sedang study tour ke Candi Borobudur bersama teman-teman sekolah. Lalu kamu melihat siswa dari sekolah lain dengan pakaian study tour-nya masing-masing. Tiba-tiba kamu merasa pernah mengalami hal tersebut namun tidak yakin karena seingatmu, baru saat itu kamu pergi ke Candi Borobudur. Tidak sedikit orang yang pernah mengalami dejavu, namun sebenarnya apa yang dimaksud dengan. 

Pengertian dan jenis-jenis deja vu

Deja vu atau dejavu adalah frasa yang berasal dari bahasa Perancis yang berarti “sudah pernah melihat atau merasakan”. Orang yang pertama kali menggunakannya adalah Emile Boirac seorang ilmuwan dan filosofis berkebangsaan Perancis pada tahun 1876.

Fenomena ini cukup rumit untuk dipahami dan banyak sekali ahli sudah mencoba menjelaskannya. Sigmund Freud menyebutkan bahwa dejavu berkaitan dengan keinginan terpendam dari seseorang. Di sisi lain Carl Jung mengidentifikasinya sebagai sesuatu yang ada hubungannya dengan alam bawah sadar manusia.

Adapun Arthur Funkhouser, seorang ilmuwan dari Swiss pernah menyebutkan bahwa dejavu dibagi menjadi dua jenis berdasarkan pengalaman yang dirasakan. Pertama adalah déjà visite (pernah mengunjungi). Contohnya, jika kamu datang ke suatu tempat dan merasa familiar dengan suasana di tempat tersebut, maka kamu sedang mengalami déjàvisite.

Yang kedua adalah déjà vecu (pernah mengalami). Misalnya kamu sedang berdiskusi tentang judul buku fiksi terbaik bersama teman-teman dan tiba-tiba kamu merasa sudah pernah membicarakan hal ini sebelumnya.

Selain déjà visite dan déjà vecu, rupanya ada tiga fenomena lain yang cukup jarang dibahas namun mirip seperti dejavu. Pertama, “deja entendu” (sudah pernah didengar) atau perasaan seperti pernah mendengar sesuatu sebelumnya seperti potongan lagu.

Kedua ada “Jamais Vu” (Tidak pernah dilihat) atau sebuah perasaan sangat asing ketika melihat sesuatu secara tiba-tiba. Ketiga “Presque Vu” (hampir terlihat) atau sebuah perasaan yang muncul di tengah-tengah pencerahan dan realisasi.Fenomena deja vu kerap muncul pada kehidupan sehari-hari. Seperti tertuang di novel “Deja vu” karya Vasca Vannisa. Berbagai kejadian ganjil yang terjadi seolah pernah hadir di dalam benaknya. Apakah Grameds pernah merasakan hal yang sama?

Mengapa kita bisa mengalami dejavu?

Seperti yang disebutkan sebelumnya, fenomena deja vu cukup rumit untuk dipahami namun bukan berarti tidak ada yang coba mempelajarinya. Banyak sekali ilmuwan meneliti deja vu, sayangnya tidak ada yang bisa mendapatkan kepastian.

Kemungkinan karena fenomena ini terjadi sangat cepat dan tidak ada tanda-tanda yang bisa dijadikan acuan sebelumnya. Akan tetapi sejauh ini ada beberapa teori yang dipercaya menjadi penyebab terjadinya deja vu.

1. Teori Tentang Ingatan Manusia

Ilmuwan-ilmuwan di dunia mengemukakan adanya kemungkinan fenomena deja vu berhubungan dengan ingatan manusia. Dengan kata lain, pusat ingatan manusia dalam otak bertanggung jawab atas fenomena ini.

Untuk sampai pada kesimpulan ini, banyak penelitian yang sudah dilakukan. Salah satunya oleh Akira O’Connor di Universitas St Andrews United Kingdom. Penelitian ini mencoba untuk memasukan memori palsu kepada partisipan dengan tujuan agar dapat membangkitkan perasaan familiar yang salah di otak partisipan.

Peneliti meminta partisipan mengingat rangkaian kata yang berhubungan dengan tidur–seperti kasur, mimpi, malam, bantal, dan sebagainya–tapi tidak ada kata tidur di dalamnya. Lalu peneliti menanyakan sebuah pertanyaan “pernahkah kamu mendengar kata yang diawali oleh huruf S?” Tidak ada satupun partisipan yang menjawab. Peneliti lanjut menanyakan “pernahkah kamu mendengar kata ‘sleep’?”

Tebak bagaimana respon partisipan? Tidak ada partisipan yang menjawab dengan yakin pertanyaan tersebut. Mereka hanya mengatakan bahwa kata “sleep” terasa familiar meskipun pada kenyataannya mereka juga tahu tidak ada kata tersebut.

Selama proses penelitian, para partisipan menjalani pemindaian otak melalui mesin functional magnetic resonance imaging (fMRI). Hasilnya memperlihatkan bahwa bagian depan otak partisipan menunjukan ciri-ciri sedang berusaha menentukan apakah perasaan familiar yang mereka rasakan benar atau tidak.

Selanjutnya ada ilmuwan yang tergabung dalam kelompok Leeds Memory Group mereka ulang fenomena dejavu pada tahun 2006. Mereka menanamkan ingatan kepada pasien yang berada di bawah pengaruh hipnosis.

Dari kedua percobaan tersebut, ilmuwan menyimpulkan bahwa deja vu adalah fenomena yang berhubungan dengan ingatan. Banyak ilmuwan telah melakukan riset untuk lebih menjiwai sistem saraf dan otak, seperti yang terangkum dalam buku “Neurosains, Menjiwai Sistem Saraf dan Otak”

Teori split perception menerangkan bahwa dejavu terjadi saat kamu melihat sesuatu yang sama dalam dua waktu yang berbeda. Saat kamu melihat sesuatu untuk pertama kali, ada kemungkinan saat itu perhatianmu sedang teralihkan oleh sesuatu yang lain.

Karena itu, otakmu hanya merekam secara singkat apa yang kamu lihat di dalam ingatan. Akibatnya kamu juga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengingatnya kembali karena informasi yang ada tidak sempurna.

Anggap saja ingatan itu seperti kepingan puzzle. Jika kepingannya utuh, kamu bisa melihat gambarnya lebih cepat karena tidak ada bagian yang hilang dan kamu tidak perlu menebak-nebak sisa gambarnya. Sedangkan saat kepingannya tidak utuh kamu butuh waktu lebih lama untuk menebak sisa kepingannya dan menentukan gambarnya secara utuh.

Contoh lainnya, ketika kamu masuk ke sebuah rumah untuk pertama kali lalu mengalami dejavu saat berbincang-bincang dengan tuan rumah di teras. Dalam kasus seperti itu, otakmu sudah mengolah berbagai informasi dari rumah tersebut secara visual (seperti suara, bau khas, dan lain-lain). Dengan demikian, saat kamu sudah berada di dalamnya, muncul perasaan seakan-akan kamu sudah pernah masuk ke ruangan tersebut.

Fenomena deja vu merupakan hal yang normal. Hal tersebut merupakan aktivitas otak manusia yang selalu distimulus agar kinerja otak bekerja maksimal. Seperti yang tertuang dalam buku “Melejitkan Potensi Otak Kanan”, buku ini berisikan tips untuk menggali potensi dalam upaya melahirkan kesuksesan manusia.

Teori lainnya menyatakan deja vu terjadi saat ada gangguan pada otak kecil. Umumnya, bagian otak yang bertugas untuk mengenali kejadian yang sedang terjadi dan bagian lain yang bertugas mengingat ingatan masa lalu aktif secara bersama-sama.

Singkatnya, otakmu mengira bahwa apa yang sedang kamu alami adalah ingatan masa lalu yang pernah terjadi sebelumnya.

Gangguan otak lain yang bisa menyebabkan dejavu adalah proses yang tertunda. Katakanlah kamu sedang mengobservasi sesuatu namun informasi yang disampaikan ke otak melalui dua jalur yang berbeda.

Kemudian salah satu jalur mengantarkan informasi lebih cepat dari jalur yang lainnya. Yang terjadi selanjutnya adalah otakmu mengira satu kejadian sebagai dua kejadian yang berbeda.

Teori medis tentang deja vu

Sebagian orang yang mengalami deja vu tidak dibarengi dengan masalah kesehatan yang lainnya. Meski sangat jarang terjadi, akan tetapi deja vu juga bisa dipicu oleh gangguan pada lobus temporal atau bagian otak yang bertugas menyimpan memori.

Teori ini menyebutkan bahwa aktivitas gelombang listrik di otak seseorang yang merasakan dejavu mirip dengan yang dimiliki oleh pasien epilepsi. Meski begitu, kamu tidak perlu khawatir jika hanya merasakan dejavu sesekali saja. Karena itu memang normal.

Fakta-fakta tentang deja vu

Walaupun sulit untuk dipahami, nyatanya sampai sekarang ilmuwan dan para ahli berhasil menemukan beberapa fakta tentang deja vu. Lantas apa saja yang sudah diketahui tentang deja vu?

1. Usia

Fakta pertama adalah mengenai rentang usia yang sering mengalami deja vu. Menurut penelitian yang dilakukan oleh J. S. Levin, ditemukan bahwa dejavu lebih banyak dirasakan oleh kelompok usia muda. Biasanya usia 15 sampai 25 tahun merupakan kelompok usia yang rentan mengalami dejavu. Kemudian seiring bertambahnya usia, frekuensinya terus berkurang.

2. Jenis Kelamin

Tidak seperti usia, deja vu bisa dirasakan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Meskipun tidak ada angka pasti untuk hal ini mengingat fenomena deja vu secara acak dan tidak bisa diperkirakan. Sampai saat ini belum ditemukan penelitian yang menyebutkan dengan pasti perbedaan jenis kelamin dapat mempengaruhi frekuensi terjadinya dejavu.

3. Status sosial

Menurut beberapa penelitian, orang-orang yang berasal dari status sosial ekonomi yang tinggi dan memiliki latar belakang pendidikan yang juga tinggi, lebih sering mengalami dejavu. Sementara orang-orang dari kelas sosial yang lebih rendah justru hanya mengalami dejavu beberapa kali saja.

Tidak ada yang bisa menjelaskan dengan tepat alasan dibalik kesimpulan ini, namun fakta tersebut juga tidak bisa dikesampingkan begitu saja.

4. Frekuensi Bepergian

Orang-orang yang senang bepergian ternyata lebih mungkin mengalami deja vu. Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 1967 menemukan bahwa dari seluruh jumlah partisipan, hanya 11% dari orang yang tidak pernah bepergian mengalami dejavu.

Jumlah tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan orang yang bepergian sebanyak satu sampai empat kali dalam satu tahun. 41% dari kelompok kedua mengalami setidaknya satu kali dejavu dalam hidupnya.

Lalu untuk kelompok ketiga, yakni kelompok yang bepergian lebih dari lima kali dalam satu tahun, 44% dari mereka melaporkan pernah mengalami deja vu. Singkatnya, semakin sering kamu bepergian, semakin besar kemungkinan kamu akan mengalami deja vu.

5. Stress

Fakta lain yang menarik adalah deja vu ditemukan sering terjadi saat tubuh sedang kelelahan dan stress. Sebuah studi mengatakan bahwa banyak tentara mengalami dejavu saat mereka mulai mendekati medan perang.

Jadi sangat disarankan kamu tetap menjaga kesehatan mental dan pikiran agar tidak terlalu stress dan menjadi rentan mengalami deja vu.

6. Drugs

Dalam penelitian lainnya yang dilakukan tahun 2011, menyebutkan bahwa seorang laki-laki sehat berusia 39 tahun mengalami deja vu ketika dia meminum amantadine dan phenylpropanolamine secara bersamaan untuk mengobati flu.

Meski begitu masih belum diketahui obat apa saja yang bisa menyebabkan deja vu. Oleh karena itu kinerja otak senantiasa dirangsang dengan melatih aktivitas yang baik bagi otak. Buku “ Kunci Melatih Otak Super” memaparkan dengan jelas peranan otak, fungsi, mitos, hingga tips melatih otak kita agar jadi genius.

Apakah deja vu berbahaya?

Tidak sama sekali. Jika melihat kembali penjelasan dari teori yang ada, dapat disimpulkan deja vu hanya fenomena yang terjadi di otak manusia. Jadi tidak ada yang berbahaya darinya. Bahkan bisa dikatakan deja vu adalah hal yang normal.

Terlebih ada sekitar 70% orang mengatakan pernah mengalami dejavu. Rata-rata terjadi dalam waktu yang sangat singkat, yaitu 10 sampai 30 detik. Meskipun tidak ada yang tahu secara pasti kapan fenomena ini akan terjadi dan siapa yang akan mengalaminya. Semuanya terjadi begitu saja, secara acak.

Ada juga yang mengaitkan deja vu dengan mental illness, seperti anxiety, schizophrenia, dan dissociative identity disorder. Akan tetapi tidak ada yang mampu membuktikannya secara empiris.

Enam tahun yang lalu, ditemukan sebuah kasus menarik yang berkaitan dengan dejavu. Seorang pemuda asal Inggris berusia 23 tahun terjebak lingkaran dari tahun 2007 sampai 2015. Tepatnya ketika dia baru masuk kampus dan memulai kehidupan barunya sebagai seorang mahasiswa.

Untuk beberapa menit–kadang lebih lama–pria itu merasa sedang melakukan hal yang sudah pernah dia lakukan sebelumnya. Dia mendeskripsikan yang dialaminya seperti episode dalam sebuah film thriller psikologis, Donnie Darko.

Suatu hari pria ini pergi ke tempat pangkas rambut untuk mencukur rambutnya. Saat di dalam ruangan, dia merasakan dejavu lalu muncul dejavu dalam dejavu, pada akhirnya dia sendiri tidak dapat memikirkan hal yang lainnya.

Seorang neuropsikolog kognitif di University of Bourgogne, Moulin, mengatakan bahwa pria tersebut memiliki sejarah kecemasan dan depresi. Dia pernah mengkonsumsi obat LSD ketika kuliah. Kasus yang dialami pria ini memang berbahaya, namun masuk ke dalam kasus yang sangat langka dan belum pernah ditemukan lagi sampai sekarang.

Kapan Kita Harus Merasa Khawatir tentang Deja Vu?

Meskipun sangat jarang terjadi, namun deja vu kadang-kadang merupakan tanda kejang, khususnya untuk penderita epilepsi. 60% penderita epilepsi mengalami kejang fokal yang terjadi di salah satu bagian otak, yaitu lobus temporal.

Beberapa orang yang mengalami kejang fokal mungkin mengalami dejavu yang cukup intens dan biasanya dibarengi dengan ciri-ciri lainnya, yaitu:

  • Kedutan atau ketidakmampuan untuk menggerakan otot tertentu
  • Merasakan, mendengar, melihat, atau mencium sesuatu yang tidak nyata
  • Perasaan senang, marah, sedih, atau mual yang tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan
  • Perilaku aneh yang terjadi berulang kali, seperti berkedip, berkedut, atau menggerakkan mulut tanpa sadar.
  • Sensasi yang tidak biasa dan mengindikasikan bahwa kejang akan terjadi yang biasa disebut dengan aura.

Jika kamu merasakan semua ciri-ciri tersebut, sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli agar segera mendapatkan bantuan.

Selain itu, kadang dejavu muncul lebih sering dari seharusnya namun karena gejala dan ciri-cirinya tidak bisa diklasifikasikan secara spesifik, namun diagnosa dari ahlinya hal ini belum dipastikan. Bisa saja itu bukan dejavu, melainkan penyakit lain yang gejalanya mirip seperti dejavu.

Karena itu Grameds jangan pernah berasumsi sendiri jika sering merasakan dejavu, ya. Sebaiknya langsung hubungi dokter atau psikiater untuk memastikannya. Dengan bantuan mereka, kamu akan mendapatkan pemeriksaan menyeluruh–seperti fisik dan yang lainnya–yang memang diperlukan.

Siapa saja dapat mengalami perasaan aneh seolah-olah pernah berada di suatu tempat atau mengalami sebuah kejadian sebelumnya. Biasanya, terjadi dengan sangat cepat–sekian detik saja.

Umumnya dejavu merupakan pertanda bahwa kamu membutuhkan tidur yang lebih lama atau membutuhkan hiburan yang mampu meringankan tingkat stress-mu sendiri. Namun bisa juga menjadi sesuatu yang lebih serius jika kamu memiliki ciri-ciri lainnya.

Itulah pembahasan mengenai dejavu dan informasi-informasi yang harus Grameds ketahui. Ternyata fenomena yang berlangsung dalam hitungan detik saja sampai saat ini belum dapat dijelaskan dengan utuh. Namun itu juga menjadi bagian dari keunikan manusia.

Jadi bagi Grameds yang pernah mengalami dejavu, jangan langsung mengaitkannya dengan hal mistis dan ghaib ya karena ada penjelasan ilmiah yang bisa membantu kamu memahaminya–meskipun belum utuh sepenuhnya. Sampai jumpa di pembahasan lainnya, semoga bermanfaat.


Referensi : Deja Vu: Pengertian, Sebab, dan Teori