Di dalam KHI Pasal 153 ayat (2) point b disebutkan, apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi janda yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi janda yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
Telah ada beberapa tulisan tentang perhitungan masa iddah seorang janda atupun duda dalam hal pemenuhan hak masing-masing mantan pasangan setelah mereka bercerai dan akan menikah lagi dengan pasangan yang baru. Berbagai solusi telah ditawarkan menyikapi hal tersebut. Katakanlah misalnya pada sebuah artikel yang ditulis oleh H. Fitriyadi, S.H.I.,S.H.,MH., Pemberlakuan Shibhul Iddah Bagi Laki-Laki Yang Bercerai Di Pengadilan Agama pada kolom Artikel Badan Peradilan Agama[2]. Yang pada kesimpulan merujuk dari pendapat beberapa ulama menginginkan pemberlakuan masa iddah bagi laki-laki yang salah satu pertimbangannya ditinjau dari aspek maslahah.
Kemudian penulis mencoba melakukan sharing pendapat kebeberapa Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) terkait masa iddah bagi laki-laki (cerai talak) dan seputar syarat administrasi dalam Pencatatan Perkawinan. Dari hasil diskusi ditemuka ketidak seragaman pendapat menyikapi hal tersebut. Ada yang berpendapat bila telah terpenuhi syarat administrasi yang salah satunya Akta Cerai maka pekawinan bisa dilanjutkan. Ada juga yang berpendapat harus dihitung dulu kapan terjadinya perceraian tersebut (cerai talak) terkait selesainya masa iddah istri. Bahkan ada yang berpendapat, semua tetap bisa jalan selama syarat administrasi terpenuhi (akta cerai) dan bila telah terjadi pernikahan kedua kemudian mempelai pria rujuk lagi dengan mantan istrinya yang dalam masa iddah maka bisa diajukan pembatalan perkawinan. Nah itu beragam pendapat yang penulis temukan dilapangan.
Ini merupakan waktu yang digunakan untuk seorang perempuan menunggu sejenak sebelum memutuskan menikah lagi dengan pria lain. Menurut Ustadz Abdul Somad, perempuan yang ditinggal mati oleh suami memiliki masa iddah selama 4 bulan 10 hari. Sementara, perempuan yang ditalak cerai suami memiliki masa iddah selama 3 bulan.
Salah satu hal yang harus diperhatikan oleh penghulu di Kantor Urusan Agama (KUA) ketika memeriksa dan memverifikasi data calon pengantin adalah status perkawinan calon istri, apakah ia berstatus belum menikah atau sudah janda. Bila diketahui calon istri berstatus janda, maka akan dilacak bukti pendukung statusnya tersebut. Bukti itu bisa berupa surat keterangan kematian suami yang sebelumnya atau akta cerai dari pengadilan agama. Selanjutnya penghulu akan menghitung apakah janda tersebut masih dalam masa iddah atau sudah melewatinya. Bila ia menjadi janda karena ditinggal mati suami, maka penghulu akan menghitung masa iddah mulai dari tanggal kematian suami sampai empat bulan 10 hari atau kurang lebih 130 hari ke depan; sedangkan bila status jandanya karena cerai dari suami sebelumnya, maka—biasanya sebagian—penghulu akan menghitung masa iddahnya dari tanggal keputusan perceraian yang ditetapkan pengadilan sampai 90 hari atau tiga bulan ke depan. Bila masa 90 hari atau tiga bulan telah berlalu dari tanggal keputusan perceraian itu, maka penghulu akan menganggap masa iddah telah selesai dan pernikahan yang mereka rencanakan bisa dilaksanakan. Bila masa tersebut belum lewat maka pernikahan belum bisa dilaksanakan.
Masa Iddah Janda dalam Al-Qur’an Bila dicermati lebih seksama sesungguhnya model penghitungan dan penetapan masa iddah bagi janda yang dicerai suaminya sebagaimana kasus di atas rawan terjadi kekeliruan. Mengapa? Karena masa iddah seorang istri yang dicerai pada dasarnya tidak ditentukan berdasarkan bilangan hari, tetapi berdasarkan peristiwa terjadinya masa suci, yakni tiga kali sucian sesuai (al-Baqarah ayat 228). Masa tiga kali suci ini tidak selalu terjadi selama 90 hari atau tiga bulan, tapi bisa jadi kurang atau bahkan lebih. Berbeda dengan masa iddah janda yang ditinggal mati suami, Al-Qur’an menyebutnya dengan bilangan hari yang pasti, yakni empat bulan 10 hari atau kurang lebih 130 hari (al-Baqarah ayat 234). Demikian pula berbeda dengan janda yang belum pernah haid atau yang sudah tidak mengalami haid, Al-Qur’an menetapkan masa iddahnya selama tiga bulan (at-Thalaq ayat 4). Janda yang dicerai suami dalam keadaan hamil masa iddahnya sampai melahirkan (at-Thalaq ayat 4). (Muhammad Ali as-Shabuni, Rawȃi’ul Bayȃn Tafsȋr Ayȃtil Ahkȃm, jilid I, halaman 327).
Kesalahan dalam Menentukan Masa Iddah Janda Lalu mengapa sebagian penghulu di banyak KUA sering menghitung dan menetapkan masa iddah perceraian dengan bilangan 90 hari atau tiga bulan? Kemungkinan besarnya adalah karena mereka keliru dalam memahami pasal masa iddah yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Di dalam KHI Pasal 153 ayat (2) point b disebutkan, apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi janda yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi janda yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
Kalimat “dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari” inilah yang kemungkinan disalahpahami oleh sebagian penghulu. Mereka memahami kalimat ini sebagai padanan dari masa tiga kali suci yang juga disebutkan pada ayat yang sama. Dalam pemahaman mereka dari ayat ini, masa iddah janda yang dicerai suaminya adalah tiga kali suci atau setara dengan masa 90 hari atau tiga bulan. Atas dasar pemahaman yang keliru ini kemudian mereka menghitung dan menetapkan masa iddah janda 90 hari sejak tanggal diputuskannya perceraian oleh pengadilan. Asal telah melewati masa 90 hari, maka seorang janda dianggap telah menyelesaikan masa iddahnya, tidak peduli apakah sejak tanggal perceraian ia telah mengalami tiga kali suci atau belum.
Cara Menentukan Masa Iddah Janda yang Benar Padahal bila dicermati, Pasal 153 ayat (2) b sesungguhnya mengamanatkan bahwa masa iddah perempuan yang dicerai adalah tiga kali suci, sama seperti yang tertera di dalam Al-Qur’an. Tidak ada maksud dan pemahaman lain. Adapun kalimat “dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari” dalam ayat tersebut bukan dimaksudkan sebagai padanan dari tiga kali suci sehingga seakan dipahami tiga kali suci itu sama dengan 90 hari. Tidak begitu.
Kalimat “dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari” dalam ayat tersebut—menurut hemat penulis—adalah memberi penjelasan batas minimal masa iddah tiga kali suci adalah 90 hari. Artinya, bila ada janda yang mengaku bahwa ia sudah mengalami tiga kali suci dalam waktu kurang dari 90 hari semenjak putusan pengadilan dan pengakuan itu bisa dibenarkan secara fiqih, maka masa iddahnya digenapkan menjadi 90 hari sebagai masa iddah minimal seperti yang ditetapkan oleh KHI. Dengan memahami waktu 90 hari sebagai batas minimal masa tiga kali suci, maka juga bisa dipahami bahwa ada kemungkinan seorang janda mengalami tiga kali suci dalam waktu yang jauh lebih lama dari 90 hari. Mengapa demikian, bagaimana hal ini bisa terjadi? Jawaban dari pertanyaan ini bisa kita dapatkan dari hukum fiqih tentang batasan minimal dan maksimal masa suci serta masa haid perempuan. Dalam hukum fiqih akan kita dapati ketentuan sebagai berikut: Minimal masa haid adalah satu hari satu malam, umumnya masa haid enam atau tujuh hari, dan maksimal masa haid 15 hari lima belas malam; sedangkan masa suci di antara dua masa haid paling cepat adalah 15 hari, umumnya 24 atau 23 hari, dan paling lama tidak terbatas. (Salim bin Sumair al-Hadlrami, Safînatun Najâh, [Beirut: Darul Minhaj, 2009], halaman 29).
Perincian Masa Iddah Janda Bila batasan masa suci dan masa haid di atas dikaitkan dengan tanggal putusan cerai dan masa iddah, maka setidaknya akan ada dua kemungkinan yang terjadi pada seorang janda. Pertama, bila ia mengalami siklus haid secara normal sebagaimana batasan di atas, maka ada kemungkinan masa iddahnya tepat 90 hari atau tidak menutup kemungkinan kurang dari 90 hari, tergantung bagaimana kondisinya saat putusan cerai terjadi, apakah dalam keadaan suci atau dalam keadaan sedang haid. Bila hal ini terjadi maka penghulu hendaknya menggenapkan masa iddahnya pada bilangan 90 hari sesuai batas minimal yang ditetapkan KHI. Langkah ini akan menjadi langkah yang lebih hati-hati atau ihtiyath. Kedua, bila seorang janda mengalami siklus haid yang tidak normal, di mana masa sucinya jauh lebih lama dari batasan di atas, maka masa iddahnya dimungkinkan lebih dari 90 hari. Dalam kasus tertentu bahkan masa iddahnya bisa mencapai berbulan-bulan hingga tahunan, mengingat masa suci paling lama di antara dua haid adalah tidak terbatas. Bila hal ini yang terjadi, maka penghulu hendaknya lebih berhati-hati dalam menentukan masa iddah. Menanyakan secara rinci siklus haid yang dialami calon pengantin sejak tanggal putusan cerai adalah langkah yang lebih tepat dibanding hanya sekedar menghitung waktu 90 hari.
Pemahaman bahwa waktu 90 hari bukanlah batas menentukan masa iddah juga bisa dipelajari dari Pasal 153 ayat (5) dan (6) KHI sebagai berikut: “Ayat 5. Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid. Ayat 6. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.”
Dari ayat (5) bisa dipahami, bila saat menjalani masa iddah seorang janda tidak mengalami haid karena menyusui, maka masa iddahnya setelah mengalami 3 kali haid. Kapan ia mulai mengalami haid? Kemungkinannya setelah ia tidak lagi menyusui bayinya. Ini berarti masa iddahnya bisa jadi akan lebih panjang dari 90 hari. Adapun dari ayat (6) bisa dipahami, bila saat menjalani masa iddah perempuan tidak mengalami haid bukan karena menyusui, tapi karena faktor lain seperti perubahan hormon misalnya, maka masa iddahnya adalah selama satu tahun, kurang lebih 360 hari. Jauh lebih lama dari 90 hari. Namun jika dalam kurun waktu satu tahun tersebut janda itu kembali mengalami haid, maka masa iddahnya kembali dihitung selama tiga kali suci mulai dari masa suci pertamanya sejak tanggal putusan pengadilan. Ini bisa jadi akan jauh lebih lama tergantung seberapa lama ia mengalami masa kekosongan haid dan seberapa lama ia mengalami masa tiga kali suci.
Dari semua gambaran kasus di atas dapat diambil simpulan, bahwa menjadikan waktu 90 hari sebagai patokan untuk menentukan masa iddah seorang janda dan mengijinkannya untuk menikah kembali bukanlah langkah yang tepat. Bagaimanapun masa iddah seorang janda yang dicerai dalam keadaan tidak hamil, sudah pernah berhubungan badan, dan masih mengalami haid adalah berpatokan pada siklus tiga kali suci yang tidak tentu bilangan harinya, bukan pada hitungan hari seperti masa iddah perempuan dalam kategori lainnya. Ini sangat penting untuk diperhatikan, mengingat secara fiqih akan terjadi runtutan hukum yang menjadi imbasnya.
Referensi : Cara yang Benar dalam Menentukan Masa Iddah Janda