Tidak setiap perkara cerai gugat dapat dibebankan kewajiban nafkah iddah dan mut’ah kepada pihak suami, namun harus memenuhi kondisi-kondisi tertentu. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama telah mengeluarkan kebijakan terkait jaminan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian melalui surat Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Nomor 1960/DJA/HK.00/6/2021 tanggal 18 Juni 2021 dan pemberlakuan ringkasan kebijakan (policy brief)
Salah satu poin penting dalam kebijakan tersebut adalah pihak istri sebagai Penggugat dalam perkara cerai gugat dapat mengajukantuntutan akibat perceraian yang mencakup nafkah iddah dan mut’ah, sebagaimana terdapat dalam blangko gugatan yang wajib disediakan.
Tuntutan yang demikian tentu merupakan hal baru dalam praktik hukum di lingkungan Peradilan Agama, dan dapat menuai kontroversi. Alasannya karena tidak ada dasar hukum bagi Penggugat dalam perkara cerai gugat untuk menuntut nafkah iddah dan mut’ah.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 119 ayat 2 huruf c dan Pasal 149 huruf b Kompilasi Hukum Islam (KHI), talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama (dalam perkara cerai gugat) termasuk talak bain sughra, dan istri yang dijatuhi talak bain dan tidak dalam kondisi hamil, tidak berhak mendapatkan nafkah iddah.
Sementara mut’ah hanya menjadi kewajiban suami yang menjatuhkan talak terhadap istri yang telah dicampuri (ba’da dukhul) dan belum ditetapkan mahar (Pasal 158 KHI), dan dianjurkan bagi suami yang menjatuhkan talak tanpa syarat (Pasal 159 KHI). Oleh karena itu tidak ada dasar hukum bagi Penggugat untuk menuntut nafkah iddah dan mut’ah dalam perkara cerai gugat.
Meski tidak ada ketentuan dalam KHI yang menjadi dasar hukum bagi Penggugat untuk menuntut nafkah iddah dan mut’ah, namun berdasarkan Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019, hakim karena jabatannya (ex-officio) memiliki kewenangan untuk membebankan kewajiban kepada Tergugat untuk memberikan nafkah iddah dan mut’ah kepada Penggugat. Hal ini sesuai dengan hasil rapat pleno Kamar Agama Mahkamah Agung RI yang dituangkan dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2018 yang menyatakan bahwa istri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan mut’ah dan nafkah ‘iddah sepanjang tidak nusyuz.
Ketentuan Pasal 41 huruf c tersebut sebenarnya merupakan bentuk kompromi antara ketentuan hukum perdata Barat dan hukum Islam dalam hal tunjangan pasca perceraian. Dalam hukum perdata Barat, pembebanan kewajiban tunjangan pasca perceraian didasarkan atas kemampuan pihak, sedangkan dalam hukum Islam didasarkan atas jenis kelamin, yaitu laki-laki sebagai suami.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana argumentasi hukum untuk mewujudkan keadilan terkait pembebanan kewajiban nafkah iddah dan mut’ah dalam perkara cerai gugat? Dalam yurisprudensi putusan Mahkamah Agung RI nomor 137 K/AG/2007 tanggal 6 Februari 2008 terdapat kaidah hukum bahwa meski gugatan diajukan oleh istri, tetapi istri tidak berbuat nusyuz, pihak suami harus dihukum untuk memberikan nafkah iddah kepada istri, karena istri harus menjalani masa iddah yang antara lain bertujuan untuk mengetahui kebersihan rahim (istibra’) dan hal demikian terkait dengan kepentingan suami.
Sementara dalam doktrin hukum Islam atau pendapat ulama fikih, sebagaimana terdapat dalam kitab karya Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Cet. IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1983, juz II, hlm. 287, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan yang ditalak bain berhak mendapatkan nafkah seperti perempuan yang ditalak raj’i. Alasannya karena perempuan tersebut (mabtutah) harus menyelesaikan masa ‘iddah di rumah bekas suaminya, maka dia dianggap memiliki hak atas kewajiban yang dilakukannya;
Selain itu, terdapat ketentuan hukum yang dapat dijadikan analogi dalam hal hak nafkah bagi istri yang mengajukan perceraian yakni pada Pasal 8 ayat 6 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Intinya, dalam mana istri mengajukan cerai karena kesalahan dari pihak suami, maka istri tetap berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya.
Terkait dengan mut’ah, terdapat yurisprudensi putusan Mahkamah Agung RI Nomor 184 K/AG/1995 tanggal 30 September 1996 dan putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 276 K/AG/2010 tanggal 30 Juli 2010 yang mengandung kaidah hukum bahwa sekalipun perceraian karena gugatan istri atau talak yang dijatuhkan adalah talak bain sughra, namun penyebab perceraian karena kesalahan dari pihak suami, suami diwajibkan membayar mut’ah kepada istrinya.
Dari berbagai referensi hukum di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembebanan kewajiban nafkah iddah dan mut’ah kepada pihak suami (Tergugat) dalam perkara cerai gugat untuk mewujudkan keadilan dapat diberikan dalam hal istri tidak nusyuz (melakukan kesalahan yang menjadi sebab perceraian). Berdasarkan argumentasi hukum bahwa istri tetap wajib menyelesaikan masa iddah meski tidak dapat rujuk atas talak bain sughra yang dijatuhkan oleh pengadilan dalam cerai gugat, dan harus melakukan akad nikah baru apabila ingin kembali hidup bersama dengan mantan suami, dan istri mengajukan cerai karena kesalahan dari pihak suami.
Oleh karena itu, tidak setiap perkara cerai gugat dapat dibebankan kewajiban nafkah iddah dan mut’ah kepada pihak suami, namun harus memenuhi kondisi-kondisi di atas untuk dapat mewujudkan keadilan dan tidak semata-mata memberikan privilege kepada perempuan, yang justru akan bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender dan equality before the law dalam penegakan hukum.
Untuk itu, peran hakim dalam menggunakan kewenangan yang dimiliki karena jabatannya (ex-officio) menjadi sangat penting untuk mewujudkan keadilan dalam memeriksa dan mengadili perkara cerai gugat dengan pembebanan kewajiban nafkah iddah dan mut’ah terhadap pihak suami (Tergugat).
Dengan menggunakan nalar keadilan yang demikian, maka pembaruan hukum keluarga Islam melalui putusan pengadilan agama, termasuk dalam hal pembebanan kewajiban nafkah iddah dan mut’ah dalam perkara cerai gugat, diharapkan tetap mampu diwujudkan di tengah konstruksi hukum perceraian Islam yang masih sarat dengan bias budaya patriarki dalam hukum acara perceraian, yang membedakan kedudukan suami dan istri dalam perceraian, sehingga jenis perkara perceraian pun dibedakan antara cerai talak dengan cerai gugat.
Referensi : Nalar Keadilan Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian dalam Cerai Gugat