Walau berusaha tak peduli, tetapi bayangan mantan suami dan kasak-kusuk tetangga akan selalu menghantui gerak langkah seorang single mother. Sekalipun berpura-pura tidak ada apa-apa, berusaha bersikap semua baik-baik saja, tetapi masa lalu yang buruk itu tetap menjadi beban. Itulah yang saya alami sejak berpisah dengan suami 6 tahun silam.
Saat itu usia saya masih sangat muda, 20 tahun. Berpisah karena perbedaan pendapat tentang tanggung jawab dalam berumah tangga. Itulah kekurangan menikah muda dengan kondisi mental yang belum stabil. Ikrar pernikahan segera runtuh hanya karena hal-hal yang sepele. Kata-kata kasar dan menyakitkan pun meluncur begitu saja, emosinya yang mengingkari tanggung jawab seorang suami menjalar pada si kecil. Anak kami yang tak tahu apa-apa ikut kena pahitnya lidah lelaki itu, orang yang seharusnya jadi lelaki panutan jiwa.
Sejak saat itu hati saya terluka, sejak saat itu rumah tangga saya pincang. Tanpa suami. Walau begitu, hidup banting tulang membiayai si kecil terasa jauh lebih baik jika dibanding harus bersama dengan mantan suami yang berlidah tajam. Selama kesendirian, saya berusaha terlihat baik-baik saja walau omongan miring tetangga (bahkan saudara sendiri) membuat saya merasa lebih hina daripada penjaja cinta di luaran sana. Dalam hati saya berikrar, buktikan saja bahwa saya ini ibu yang baik, bukan perempuan gatal tanpa suami yang rindu belaian. Tidak! Sekali-kali tidak!
Setelah berhasil mendapatkan akta cerai, saya merasa hidup kembali, merasa bebas dan bisa menggapai mimpi-mimpi lama yang sempat terbengkalai. Toh, si kecil sudah beranjak besar dan kakek nenek (orangtua saya) terus mendampingi pertumbuhannya dengan begitu baik. Hanya tinggal sedikit lagi, masa lalu akan pernikahan yang buruk bisa menghilang, tetapi..
mantan suami datang kembali.
Dia datang bukan untuk meminta rujuk atau apapun, bahkan bertanya kabar si kecil pun tidak. Lelaki tanpa tanggung jawab itu memamerkan keluarga barunya, seorang perempuan belia dan anak kecil bertubuh ringkih yang dengan bangga ia usung di bahu, bahu yang tak pernah ia gunakan untuk mengusung anak pertamanya, anak yang ia asingkan.
Sakit yang telah terkubur dalam, muncul lagi ke permukaan. Bagaimana tidak? Dulu, mantan suami menolak mencari nafkah untuk saya dan si kecil, alasannya karena belum siap. Dia juga mengatakan bahwa saya adalah perempuan yang tak sabaran dengan menyuruhnya lekas-lekas cari kerja. Lalu sekarang.. dia muncul dengan lagak seakan dulu saya yang membuang dia.
Lidah pahitnya kembali menyayat luka, ia bertanya “Kapan nikah lagi?”
Cengiran di bibirnya membuat hati saya seperti disayat-sayat dan disiram air garam. Cengiran yang seakan ingin menunjukkan bahwa ia yang benar. Cengiran yang seakan ingin menyoraki kesendirian saya hingga saat ini adalah karena karma, sebuah karma buruk karena sudah meminta tanggung jawab nafkah lahir dari seorang suami.
Ah, benarkah yang saya minta dulu itu salah? Saya tak pernah memintanya bekerja dengan ucapan kasar, sekali-kali tidak. Tetapi mungkin harga dirinya memandang salah, hingga pernikahan berakhir dengan dendam yang tersisa hingga saat ini.
“Kapan nikah?”
Lagi-lagi dia tanyakan itu, pertanyaan yang sama setiap bertegur sapa. Seakan dia belum puas mengatai saya sebagai mantan istri yang tak sabaran, yang tak tahu diuntung dan akan menjadi janda selamanya karena tak ada yang mau.
Ya Allah, kenapa luka masa lalu ini tak kunjung sembuh?
Kenapa drama pernikahan ini tak lekas usai?
Seandainya mantan suami tahu, betapa sulitnya saya menata hati sejak hancurnya mahligai pernikahan kami tempo hari. Andai dia tahu betapa sakitnya hati ini atas kata-kata kasar dan fitnah yang ia lontarkan sebelum perceraian, semua rasa sakit dan malu yang saya alami. Tak ada tempat dalam hati untuk cinta yang baru.
Saya perempuan, tak mau segera mencari pengganti karena si kecil. Karena dia butuh perhatian dan bimbingan penuh dari orangtua yang tak utuh, saya harus menjadi ibu dan ayah dalam satu kesempatan yang sama. Banyak pertimbangan untuk memulai rumah tangga yang baru, tak akan goyah hanya karena pertanyaan, “Kapan nikah lagi?” dari mantan suami berlidah pahit.
Berhentilah menanyakan hal sepele macam itu, wahai mantan suami. Saya dan kamu sudah tak ada urusan apapun, si kecil sudah mulai besar dan ia tahu siapa yang lebih sering menimangnya ketimbang kamu. Ia tak akan minta pertanggung jawabanmu sebagai seorang ayah, ia lelaki yang beda denganmu, ia lelaki kecil yang dididik menjadi calon imam dengan tanggung jawab penuh. Dia, lelaki kecil yang diajari cara memperlakukan wanita dengan sebaik-baiknya, kepada ibu, saudari, dan calon istrinya kelak.
Tetapi, bagaimanapun, terima kasih wahai mantan suami. Terima kasih sudah menorehkan luka sedemikian dalam. Terima kasih telah jadi tokoh yang membentuk saya seperti saat ini. Menjadi perempuan tangguh yang tak mudah goyah karena cinta, menjadi perempuan yang bertanggung jawab dan lebih menghargai setiap kasih sayang yang saya miliki sekarang.
Jangan tanyakan lagi kapan saya menikah! Suatu saat, Insyaallah, tak usah kamu ingatkan pun kelak saya akan menikah lagi, dengan seorang lelaki yang memang pantas saya jadikan pendamping hidup.