Dari ini diketahui, cara penghapusan dosa dengan melakukan kebalikannya itu, mempunyai landasan syari'atnya. Yaitu syari'at memerintahkan menghapus dosa membunuh dengan membebaskan budak. Kemudian jika ia telah melakukan itu semua, tetap tidak mencukupi untuk menebus dosanya jika ia belum mengeluarkan hak orang lain yang ada padanya akibat kezaliman yang ia lakukan. Kezaliman terhadap orang lain itu dapat berupa jiwa, harta, kehormatan diri, dan hati, maksudnya tindakan aniaya.
Sedangkan jiwa, jika ia melakukan pembunuhan dengan tidak sengaja, maka taubatnya itu adalah dengan memberikan diyat [Dosa ini juga mempunyai cara penghapusan yang lain, yaitu membebaskan hamba sahaya yang mu'min, dan jika ia tidak menemukan hamba itu maka ia dapat pula melakukan puasa sebanyak dua bulan berturut-turut.], dan menyampaikan diyat itu kepada orang yang berhak. Diyat itu dikeluarkan darinya atau dari keluarganya. Dan ia masih belum bebas selama diyat itu belum sampai kepada yang berhak. Namun jika pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja dan mengharuskan ia diqishash maka penebusan itu adalah dengan qisas. Jika ia tidak diketahui, maka ia harus mengakuinya kepada keluarganya, dan meminta agar mereka menghukumnya. Jika mereka mau maka mereka memaafkannya, dan jika mereka mau dapat pula mereka membunuhnya. Dan tanggungannya itu tidak jatuh kecuali dengan cara itu, dan ia tidak boleh menyembunyikan diri.
Tidak demikian halnya jika ia berzina, atau minum minuman keras, mencuri, merampok, atau melakukan tindakan yang mewajibkannya menanggung had Allah SWT. Dalam hal seperti ini, ketika ia ingin taubat, ia tidak harus membuka rahasia pribadinya itu, kemudian meminta kepada pihak yang berwenang untuk menunaikan hak Allah SWT. Namun sebaliknya, ia harus menutupi dirinya itu, dan melakukan hukum Allah atas dirinya sendiri dengan berbagai macam mujahadah dan penyiksaan diri. Karena ampunan dari pelanggaran terhadap hak-hak Allah SWT amat dekat dengan orang-orang yang menyesal dan bertaubat.
Namun jika perbuatannya itu kemudian ia laporkan kepada pihak yang berwenang, dan ia kemudian dikenakan had sebagai hukumannya, maka taubatnya menjadi sah dan diterima oleh Allah SWT. Dengan dalil dari hadits sahih bahwa Ma'iz bin Malik datang kepada Rasulullah Saw dan berkata: wahai Rasulullah Saw, aku telah berlaku zhalim terhadap diriku dan aku telah berzina, saat ini aku ingin agar baginda membersihkan saya! Kemudian Rasulullah Saw menyuruhnya pulang. Pada keesokan harinya ia kembali berkata: wahai Rasulullah Saw, aku telah berzina! Kemudian Rasulullah Saw kembali menyuruhnya pulang. Dan pada kesempatan yang ketiga Rasulullah Saw memerintahkan agar menggali sebuah lobang dan merajamnya. Saat itu manusia mempunyai dua pendapat: satu kelompok berpendapat: ia telah binasa, dan kesalahannya itu menghancurkannya! Sementara pihak yang lain berkata: tidak ada taubat yang lebih lurus dari taubatnya. Kemudian Rasulullah Saw bersabda:
"Sesungguhnya ia telah bertaubat dengan taubat yang jika dibagi kepada seluruh umat niscaya akan mencukupinya " [Hadits dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Buraidah bin Khashib]
Kemudian tentang qishash dan had qadzaf (menuduh zina orang baik-baik), harus diteliti orang yang berhak atas had itu.
Dan jika yang ia lakukan berkaitan dengan harta, seperti melakukan ghashab, khianat atau menipu dalam berjual beli dengan bermacam cara pengelabuan, seperti beriklan dengan tidak benar, menutupi kekurangan barang yang ia jual, mengurangi bayaran terhadap orang yang ia sewa atau tidak memberikan uang lelahnya sama sekali... seluruh perkara itu harus ia teliti kembali, tidak dari masa balighnya, tapi dari awal keberadaannya di muka bumi. Maka jika ada suatu kewajiban yang terdapat dalam harta seorang anak kecil, maka saat baligh kewajiban itu harus ia tunaikan, jika orang yang menjadi walinya tidak melaksanakannya.
Jika ia tidak menunaikannya maka ia menjadi orang yang zalim dan terus harus menunaikannya. Karena dalam masalah harta, hak orang dewasa dengan anak-anak adalah sama. Maka ia harus menghitung hingga harta sekecil biji beras sekalipun, dari semenjak awal kehidupannya hingga hari taubatnya. Sebelum ia ditanyakan di hari kiamat nanti. Hendaklah ia berdialog secara terbuka dengan dirinya sendiri sebelum ia diteliti nanti. Siapa yang tidak memperhitungkan dirinya di dunia, maka perhitungannya itu akan dijalankan di akhirat.
Jika ia telah mencapai suatu pendapat yang kuat, disertai semacam ijtihad sedapat mungkin, maka hendaklah ia menulisnya, dan menulis orang-orang yang mempunyai hak atasnya satu-persatu. Kemudian ia mencari mereka ke seluruh penjuru dunia, dan meminta maaf serta meminta dihalalkan oleh mereka, atau ia menunaikan hak-hak mereka. Taubat seperti ini sulit untuk dilakukan oleh orang yang biasa berlaku zhalim, juga bagi para pedagang, karena mereka tidak dapat meminta maaf kepada seluruh orang yang berinteraksi dengan mereka, juga kepada para ahli warisnya. Namun masing-masing mereka dapat melakukan sejauh apa yang mereka dapat kerjakan. Dan jika mereka tidak dapat melakukannya maka tidak ada jalan lagi baginya, kecuali hanya dengan memperbanyak kebaikan, hingga pada hari kiamat nanti kebaikan itu dapat diambil oleh orang-orang yang ia zalimi. Dan hendaknya kebaikannya itu sebanyak kezaliman yang telah ia lakukan. Karena jika kebaikan itu tidak mencukupi untuk membayar kezaliman yang telah ia lakukan, maka ia akan dibebani dengan dosa orang-orang yang ia zalimi itu, maka ia pun binasa karena keburukan orang lain itu!!
Inilah cara seluruh orang yang melakukan taubat dalam mengembalikan kezaliman yang mereka kerjakan. Dan itu akan menghabiskan seluruh usia mereka untuk melakukan kebaikan, jika usianya memang panjang, sesuai dengan panjangnya masa dan luasnya kezaliman mereka. Padahal ia tidak tahu kapan ia mati? Dan barangkali ajalnya sudah dekat? Usaha keras dia untuk melakukan kebaikan itu amat dituntut, karena waktu yang ia miliki amat sempit, dibandingkan waktu saat ia melakukan keburukan. Ini adalah hukum kezaliman yang masih berada dalam tanggungannya.
Sedangkan harta yang saat ini ada di tangannya, hendaklah ia kembalikan kepada pemiliknya, jika ia mengetahui siapa pemiliknya. Dan jika ia tidak mengetahuui siapa pemiliknya, maka hendaklah ia mensedekahkan harta itu. Jika yang halal bercampur dengan yang haram, maka hendaklah ia mengetahui kadar harta yang haram semampu dia. Kemudian mensedekahkan jumlah itu seperti telah dijelaskan dalam buku al halal wa al haram.
Sedangkan kesalahan menyakiti hati orang adalah dengan meminta maat kepada orang yang ia sakiti atau ia bicarakan keburukannya (ghibah). Hendaklah ia meminta maaf kepada semua orang yang ia telah sakiti dengan lidahnya, atau ia sakiti hatinya dengan suatu perbuatannya, secara satu persatu. Sedangkan orang yang telah mati atau tidak ia temukan, maka ia hanya dapat menutup kesalahannya kepada mereka itu dengan memperbanyak kebaikan, dan nnantinya kebaikan itu akan diambil sebagai ganti tindakan aniayanya oleh orang yang ia aniaya tadi, pada hari kiamat. Sedangkan orang yang dapat ia temukan, kemudian orang itu memaafkannya dengan ridha, maka ia telah mendapatkan penghapus kesalahannya. Dan ia harus memberitahukan kesalahan yang telah ia lakukan kepadanya. Karena meminta maaf dari kesalahan yang tidak jelas adalah tidak cukup. Karena kalau ia tahu tindakan buruk dan aniaya yang ia lakukan kepadanya, barangkali orang itu tidak akan memaafkannya. Dan ia akan menyimpan itu pada hari kiamat, hingga nanti ia mengambil kebaikan orang yang berbuat jahat kepadanya itu atau ia nanti membebani kesalahannya.
Sedangkan kesalahan kepada orang lain yang jika ia beritahukan akan membuat orang lain itu teraniaya, seperti ia telah berzina dengan budaknya, atau keluarganya, atau ia menyebutkan salah satu aibnya yang tersembunyi, yang akan membuatnya amat marah, maka pintu untuk maaf kepadanya baginya telah tertutup. Namun ia tetap harus mendapatkan maafnya, dan kezaliman yang ia lakukan itu ia tebus dengan amal kebaikan, seperti kezaliman terhadap orang yang telah mati atau tidak ada.
Sedangkan jika ia menyebutnya dan mengakuinya, itu akan menjadi keburukan baru yang harus ia mintakan maaf lagi. Meskipun ia telah menyebutkan kesalahannya dan ia mengakuinya kepada orang yang telah menjadi korbannya, kemudian orang itu tidak memaafkannya maka ia tetap menanggung kesalahan itu. Karena itu adalah haknya, dan ia harus siap menghadapinya. Dan berusaha untuk menjalankan kepentingan dan tujuannya. Serta menunjukkan cinta dan sayang kepadanya, sehingga hatinya senang. Karena manusia adalah hamba dari kebaikan. Orang yang lari dari keburukan akan mendekat karena kebaikan. Dan jika hatinya telah senang karena ia telah berusaha terus berbuat baik kepadanya, maka dirinya dapat memaafkannya. Jika ia terus tidak memaafkan, maka usaha berbaik-baik dengannya itu akan menjadi bagian dari kebaikan yang mungkin dapat menebus kesalahannya pada hari kiamat nanti. Dan usaha untuk berbuat baik dengannya itu hendaklah sama dengan kadar usaha yang telah ia lakukan untuk membuatnya teraniaya. Sehingga keduanya ditimbang, dan keburukannya masih lebih banyak, maka Allah SWT akan mengambil kebaikannya itu sebagai ganti keburukan pada hari kiamat nanti. Seperti orang yang telah mencuri harta orang lain, kemudian ia ingin mengganti dengna jumlah yang sama, namun orang yang ia curi tidak mau menerima dan tidak pula memaafkannya, maka hakim memutuskan baginya untuk menangkap orang yang mencuri itu. Baik ia mau atau tidak. Begitu pula hukum pada hari kiamat nanti oleh Allah Yang Mengadili dan Yang Maha Adil.
Sedangkan tekad yang berkaitan dengan masa depan, adalah ia berjanji kepada Allah SWT dengan janji yang kuat, serta bersumpah dengan setinggi-tinggi sumpah, bahwa ia tidak akan kembali menjalankan dosa itu atau sejenisnya. Seperti orang yang tahu saat ia sakit bahwa apel akan membuat sakitnya makin parah, maka ia bertekad untuk tidak memakan apel itu selama ia sakit. Dan tekad itu ia pancangkan saat itu juga, meskipun ia tahu bahwa ia dapat dikalahkan oleh syahwatnya untuk memakannya. Namun orang tidak mungkin bertaubat jika ia belum sepenuhnya bertekad saat itu juga [Ihya Ulumuddin: juz 4 hal. 34-38, dengan sedikit peringkasan dalam pengutipan]
Penjelasan al Ghazali tentang perkara yang berkaitan dengan hak-hak hamba, secara global dapat diterima bersama. Namun Ibnu Qayyim mempunyai penjelasan terperinci tentang beberapa hal, seperti akan kami sebutkan nanti.
Sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak Allah SWT, ada pendapat lain berkaitan dengan shalat, dan qadhanya. Menurut pendapat madzhab yang empat: harus diqadha shalat yang telah ia tinggalkan itu, meskipun telah lewat puluhan tahun, ia mengqadhanya sebanyak yang telah ia tinggalkan sepanjang waktu itu.
Pendapat kedua mengatakan: shalat yang dapat diqadha adalah shalat yang ia tinggalkan karena tidur atau terlupa saja, seperti disebutkan dalam hadits sahih. Sedangkan shalat yang sengaja ia tinggalkan, maka ia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengqadhanya. Ia hanya dapat menebusnya dengan memperbanyak shalat sunnah, menjalankan shalat waktu dengan baik sesuai dengan yang disenangi Allah SWT, dalam ruku', sujud dan khusyu'.
Pendapat ini melihat orang yang baru mulai shalat setelah lama tidak mengerjakannya, seperti orang yang baru masuk Islam. Ia memulai lembaran barunya dengan Allah SWT, dan mengejar untuk melakukan perbuatan baik, serta dengan segera mencapai ampunan Rabbnya dan surga yang seluas langit dan bumi.
Tentang masalah ini terdapat banyak pendapat. Dapat dilihat pada juz 1 dari kitab "madarij Salikin" karya Ibnu Qayyim. Ibnu Qayyim dan syeikhnya Ibnu Taymiah menguatkan pendapat yang mengatakan tidak dapat diqadha. Dan pendapat itu pula yang aku condong untuk memilihnya, bagi orang yang telah telah menghabiskan usianya yang panjang namun ia tidak pernah melakukan shalat.