Kamis, 22 September 2022

Tanya jawab : Perbedaan Talak Satu, Dua, dan Tiga

Pertanyaan  Saya masih bingung perbedaan talak 1, 2, dan 3 itu apa. Boleh tolong jelaskan perbedaan ketiganya? Sebelumnya terima kasih.  Arti Talak Secara Umum  Talak adalah salah satu bentuk pemutusan hubungan ikatan perkawinan karena sebab-sebab tertentu yang tidak memungkinkan lagi bagi suami istri meneruskan hidup berumah tangga dalam Islam. Demikian yang dijelaskan Sudarsono dalam buku Hukum Perkawinan Nasional (hal. 128).  Arti talak itu sendiri menurut Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.[1]  Merujuk pada definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa talak yang diakui secara hukum negara adalah talak yang diucapkan oleh suami di hadapan Pengadilan Agama.  Untuk dapat mengucapkan talak, suami dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai alasan agar diadakan sidang untuk keperluan tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 129 KHI:  Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.  Lantas, bagaimana jika suami mengucapkan talak di luar Pengadilan Agama? Nasrulloh Nasution dalam artikel Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan menerangkan, talak yang diucapkan di luar pengadilan hanya sah menurut hukum agama saja, tetapi tidak sah menurut hukum yang berlaku di negara Indonesia karena tidak dilakukan di Pengadilan Agama. Konsekuensinya, ikatan perkawinan antara suami-istri tersebut belum putus secara hukum.  Talak Satu dan Talak Dua  Talak satu dan talak dua adalah talak yang masih dapat dirujuk atau kawin kembali.  Ketentuan mengenai talak satu dan dua diatur dalam Al Qur’an surah Al-Baqarah (2) ayat 229:  Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan bak atau melepaskan dengan baik.  Sayuti Thalib dalam buku Hukum Kekeluargaan Indonesia (hal. 103-104) menerangkan, dilihat dari bentuk cara terjadinya dan akibat hukumnya, talak satu dan dua dibedakan menjadi:  Talak raj’i atau talak ruj’I adalah talak yang masih boleh dirujuk. Sedangkan menurut Pasal 118 KHI, talak raj'i adalah talak kesatu atau kedua, di mana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.  Yang termasuk talak raj’i yaitu:  Talak satu atau talak dua tidak pakai ‘iwadh (sejumlah uang pengganti yang merupakan syarat jatuhnya talak) dan keduanya telah bersetubuh (ba’da al dukhul);  Perceraian dalam bentuk talak yang dijatuhkan oleh hakim agama berdasarkan proses ila’, yaitu sumpah si suami tidak akan mencampuri istrinya;  Perceraian dalam bentuk talak yang dijatuhkan oleh hakim agama berdasarkan persamaan pendapat dua hakam karena adanya syiqaq (keretakan yang sangat hebat antara suami dan istri), tidak pakai ‘iwadh.  Talak ba’in shugra adalah talak yang tidak dapat dirujuk lagi, tetapi keduanya dapat kawin lagi sesudah masa iddah habis. Senada dengan hal tersebut, Pasal 119 KHI mendefinsikan talak ba`in shughra sebagai talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.  Jadi, apabila suami menjatuhkan talak satu atau talak dua sebagaimana dimaksud di atas, maka ia dan istri yang ditalaknya itu masih bisa rujuk atau kawin kembali.  Menurut Sayuti, yang dimaksud dengan rujuk kembali ialah kembali terjadi hubungan suami-istri antara suami yang telah menjatuhkan talak kepada istrinya dengan istri yang telah ditalak-nya itu dengan cara yang sederhana, yakni suami mengucapkan “saya kembali kepadamu” di hadapan 2 orang saksi laki-laki yang adil.  Sedangkan yang dimaksud dengan kawin kembali ialah kedua mantan suami-istri menikah kembali sesuai dengan prosedur dan syarat perkawinan menurut hukum Islam, yaitu ada akad nikah, saksi, dan lain-lainnya untuk menjadikan mereka menjadi suami-istri kembali. Dalam praktiknya, masyarakat Indonesia kerap menyebut kawin kembali itu dengan sebutan rujuk (hal. 101).  Masa Iddah  Sebelum membahas tentang talak tiga, perlu Anda ketahui terlebih dahulu mengenai masa iddah yang sudah disinggung dalam penjelasan sebelumnya. Masa iddah adalah waktu yang berlaku bagi seorang istri yang putus perkawinannya dari bekas suaminya. Masa iddah dikenal pula dengan sebutan waktu tunggu Talak Tiga  Talak tiga adalah salah satu bentuk dari talak ba’in besar, yakni talak yang tidak boleh rujuk lagi. Konsekuensi dari talak tiga ini yakni keduanya tidak boleh rujuk dan kawin lagi sebelum mantan istri kawin dengan orang lain, demikian menurut pendapat Sayuti dalam buku yang sama (hal. 104).  Ketentuan mengenai talak tiga diatur dalam Al Qur’an surah Al-Baqarah (2) ayat 230, yang menyatakan:  Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.  Terkait ayat tersebut, Sayuti menerangkan, dalam hal suami menjatuhkan talak tiga, maka agar keduanya dapat menikah kembali, perlu adanya muhallil atau orang yang menghalalkan. Maksudnya, si istri harus kawin dahulu dengan seorang laki-laki lain, yang disebut muhallil, dan melakukan persetubuhan dengannya. Kalau keduanya kemudian bercerai, maka barulah mantan pasangan suami-istri yang berpisah akibat talak tiga tersebut dapat kawin kembali (hal. 101-102).  Pengaturan mengenai talak tiga atau talak ba’in kubra ini juga dapat kita temui dalam Pasal 120 KHI:  Talak ba'in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da al dukhul dan habis masa iddahnya.  Namun demikian, dalam praktik, ada pihak yang berupaya mencari celah hukum dengan membayar seorang laki-laki untuk menjadi muhallil dan menikah dengan mantan istrinya yang telah ditalak tiga untuk beberapa waktu tertentu, kemudian mentalaknya sehingga nantinya mantan suami-istri yang bercerai akibat talak tiga dapat kawin kembali.  Terkait fenomena ini, Sudarsono menjelaskan bahwa hal tersebut tidak dibenarkan dalam syariat Islam (hal. 128-129). Sayuti juga berpendapat demikian, bahwasannya perbuatan muhallil upahan ini yang telah sejak semula direncanakan hanya untuk kawin sebentar saja, kemudian bercerai adalah perbuatan yang terlarang dalam hukum Islam

Pertanyaan

Saya masih bingung perbedaan talak 1, 2, dan 3 itu apa. Boleh tolong jelaskan perbedaan ketiganya? Sebelumnya terima kasih.

Arti Talak Secara Umum

Talak adalah salah satu bentuk pemutusan hubungan ikatan perkawinan karena sebab-sebab tertentu yang tidak memungkinkan lagi bagi suami istri meneruskan hidup berumah tangga dalam Islam. Demikian yang dijelaskan Sudarsono dalam buku Hukum Perkawinan Nasional (hal. 128).

Arti talak itu sendiri menurut Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.[1]

Merujuk pada definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa talak yang diakui secara hukum negara adalah talak yang diucapkan oleh suami di hadapan Pengadilan Agama.

Untuk dapat mengucapkan talak, suami dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai alasan agar diadakan sidang untuk keperluan tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 129 KHI:

Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Lantas, bagaimana jika suami mengucapkan talak di luar Pengadilan Agama? Nasrulloh Nasution dalam artikel Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan menerangkan, talak yang diucapkan di luar pengadilan hanya sah menurut hukum agama saja, tetapi tidak sah menurut hukum yang berlaku di negara Indonesia karena tidak dilakukan di Pengadilan Agama. Konsekuensinya, ikatan perkawinan antara suami-istri tersebut belum putus secara hukum.

Talak Satu dan Talak Dua

Talak satu dan talak dua adalah talak yang masih dapat dirujuk atau kawin kembali.

Ketentuan mengenai talak satu dan dua diatur dalam Al Qur’an surah Al-Baqarah (2) ayat 229:

Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan bak atau melepaskan dengan baik.

Sayuti Thalib dalam buku Hukum Kekeluargaan Indonesia (hal. 103-104) menerangkan, dilihat dari bentuk cara terjadinya dan akibat hukumnya, talak satu dan dua dibedakan menjadi:

Talak raj’i atau talak ruj’I adalah talak yang masih boleh dirujuk. Sedangkan menurut Pasal 118 KHI, talak raj'i adalah talak kesatu atau kedua, di mana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.

Yang termasuk talak raj’i yaitu:

Talak satu atau talak dua tidak pakai ‘iwadh (sejumlah uang pengganti yang merupakan syarat jatuhnya talak) dan keduanya telah bersetubuh (ba’da al dukhul);

Perceraian dalam bentuk talak yang dijatuhkan oleh hakim agama berdasarkan proses ila’, yaitu sumpah si suami tidak akan mencampuri istrinya;

Perceraian dalam bentuk talak yang dijatuhkan oleh hakim agama berdasarkan persamaan pendapat dua hakam karena adanya syiqaq (keretakan yang sangat hebat antara suami dan istri), tidak pakai ‘iwadh.

Talak ba’in shugra adalah talak yang tidak dapat dirujuk lagi, tetapi keduanya dapat kawin lagi sesudah masa iddah habis. Senada dengan hal tersebut, Pasal 119 KHI mendefinsikan talak ba`in shughra sebagai talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.

Jadi, apabila suami menjatuhkan talak satu atau talak dua sebagaimana dimaksud di atas, maka ia dan istri yang ditalaknya itu masih bisa rujuk atau kawin kembali.

Menurut Sayuti, yang dimaksud dengan rujuk kembali ialah kembali terjadi hubungan suami-istri antara suami yang telah menjatuhkan talak kepada istrinya dengan istri yang telah ditalak-nya itu dengan cara yang sederhana, yakni suami mengucapkan “saya kembali kepadamu” di hadapan 2 orang saksi laki-laki yang adil.

Sedangkan yang dimaksud dengan kawin kembali ialah kedua mantan suami-istri menikah kembali sesuai dengan prosedur dan syarat perkawinan menurut hukum Islam, yaitu ada akad nikah, saksi, dan lain-lainnya untuk menjadikan mereka menjadi suami-istri kembali. Dalam praktiknya, masyarakat Indonesia kerap menyebut kawin kembali itu dengan sebutan rujuk (hal. 101).

Masa Iddah

Sebelum membahas tentang talak tiga, perlu Anda ketahui terlebih dahulu mengenai masa iddah yang sudah disinggung dalam penjelasan sebelumnya. Masa iddah adalah waktu yang berlaku bagi seorang istri yang putus perkawinannya dari bekas suaminya. Masa iddah dikenal pula dengan sebutan waktu tunggu Talak Tiga

Talak tiga adalah salah satu bentuk dari talak ba’in besar, yakni talak yang tidak boleh rujuk lagi. Konsekuensi dari talak tiga ini yakni keduanya tidak boleh rujuk dan kawin lagi sebelum mantan istri kawin dengan orang lain, demikian menurut pendapat Sayuti dalam buku yang sama (hal. 104).

Ketentuan mengenai talak tiga diatur dalam Al Qur’an surah Al-Baqarah (2) ayat 230, yang menyatakan:

Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.

Terkait ayat tersebut, Sayuti menerangkan, dalam hal suami menjatuhkan talak tiga, maka agar keduanya dapat menikah kembali, perlu adanya muhallil atau orang yang menghalalkan. Maksudnya, si istri harus kawin dahulu dengan seorang laki-laki lain, yang disebut muhallil, dan melakukan persetubuhan dengannya. Kalau keduanya kemudian bercerai, maka barulah mantan pasangan suami-istri yang berpisah akibat talak tiga tersebut dapat kawin kembali (hal. 101-102).

Pengaturan mengenai talak tiga atau talak ba’in kubra ini juga dapat kita temui dalam Pasal 120 KHI:

Talak ba'in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da al dukhul dan habis masa iddahnya.

Namun demikian, dalam praktik, ada pihak yang berupaya mencari celah hukum dengan membayar seorang laki-laki untuk menjadi muhallil dan menikah dengan mantan istrinya yang telah ditalak tiga untuk beberapa waktu tertentu, kemudian mentalaknya sehingga nantinya mantan suami-istri yang bercerai akibat talak tiga dapat kawin kembali.

Terkait fenomena ini, Sudarsono menjelaskan bahwa hal tersebut tidak dibenarkan dalam syariat Islam (hal. 128-129). Sayuti juga berpendapat demikian, bahwasannya perbuatan muhallil upahan ini yang telah sejak semula direncanakan hanya untuk kawin sebentar saja, kemudian bercerai adalah perbuatan yang terlarang dalam hukum Islam