PERTANYAAN :
Assalamu’alaikum, Ustadz
تبدل سبب الملك قائم مقام تبدل الذات
Perubahan sebab kepemilikan (suatu barang) merubah kedudukan (hukum barang) secara dzatnya.
Jadi apabila ada seorang jual beli barang atau jasa yang halal, lalu ia dibayar dengan uang yang berasal dari riba misalnya, maka hukumnya adalah mubah/halal, karena ia memperoleh harta tersebut dari usaha yang halal.
Demikian pula dengan seorang isteri yang mendapatkan nafkah dari suami yang bekerja dari penghasilan haram. Maka ketika suami memberikan harta tersebut dengan cara halal ke isteri, maka harta tersebut halal untuk isteri, haram bagi suami.
Perlu diketahui, harta haram itu ada 2 macam :
- Haram lidzatihi (haram secara dzatnya), seperti Khamr, babi, anjing, dan lain-lain.
- Haram likasbihi (haram dari sebab perolehannya), seperti riba, judi, dan lain-lain.
Uangnya itu secara dzat halal, tapi cara perolehannya haram.
Untuk harta yang haram likasbihi, disebutkan ulama, sebagaimana dipaparkan Syaikh Ibnu Utsaimin :
أن ما حُرِّم لكسبه فهو حرام على الكاسب فقط، دون مَن أخذه منه بطريق مباح
Harta yang diharamkan likasbihi (cara pemerolehannya) maka haram bagi pelakunya saja, tidak haram bagi yang mengambilnya dengan cara mubah.
- Jika orang tersebut bekerja di tempat yang 100% penghasilannya haram, seperti di bank konvensional, atau PUB, maka lebih baik ditolak pemberiannya.
- Jika orang tersebut bekerja di tempat yang bercampur antara halal dan haram, misal asuransi, maka tidak mengapa.
JAWABAN :
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh.
Tidak demikian halnya.
Namun pekerjaan yang haram tetap haram. Akan berubah menjadi halal adalah, apabila terjadi perubahan kepemilikan.
Misalnya suami bekerja di bank. Penghasilannya adalah haram. Tapi ketika uang tersebut dia berikan kepada istrinya berarti terjadi perubahan kepemilikan. Sehingga di sini hukumnya adalah halal sebab terjadi perubahan kepemilikan dari cara yang haram ke halal.
Halal bagi istrinya untuk menerimanya, tetap haram bagi suaminya. Suaminya terkena ancaman keharaman dan dosa bagi suaminya namun tidak bagi istrinya.
Meski demikian, lebih selamat bersikap wara’ (kehati-hatian) apabila kita mendapat undangan makan atau pemberian uang dari orang yang kita tahu bahwasanya semua penghasilannya memang dari hasil yang haram. Dan memang satu-satunya pekerjaanya adalah di bank misalnya atau mungkin dia seorang perampok dimana tidak ada kemungkinan dia mendapatkan uang dari tempat lain, maka yang demikian ini lebih baik ditolak.
Mengenai hadits tentang, “Memberikan daging hidup dari yang haram” ini kaedahnya bagi sang pelaku yang melakukan hal ini.
Namun sama halnya jika sang istrinya yang dia tahu ketika suaminya bekerja di tempat yang haram, semisal tempat riba, lalu dia ridha dengannya. Si istri tidak mengingkarinya. Tapi ikut mengambil dan menikmati fasilitasnya serta bersenang-senang dengannya, maka hukumnya adalah haram.
Tapi ketika suami memberikan nafkah untuk kebutuhan hidup, sedangkan tidak ada lagi penghasilan yang lainnya karena satu-satunya hanya dari situ, sedangkan mereka harus meneruskan hidup maka ketika suami memberikan uang tersebut ke istrinya sebagai nafkah dari suami.
Nafkah itu adalah halal diterima istrinya dan isteriya memakainya seperlunya saja tidak berfoya-foya dengannya. Tapi ini tetap haram bagi suaminya. Dan suaminya terkena ancaman neraka.