Rabu, 21 September 2022

Talak ba'in shugra, yaitu talak yang kurang dari 3 kali dan tidak boleh dirujuk tapi boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri meskipun dalam masa iddah atau di luar masa iddahnya

Talak ba'in shugra, yaitu talak yang kurang dari 3 kali dan tidak boleh dirujuk tapi boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri meskipun dalam masa iddah atau di luar masa iddahnya, Misalnya setelah  4 bulan, atau 1 tahun, 3 tahun 5 tahun, 10 tahun setelahnya jika memang jodohnya dan demi anak atau buah hatinya tersebut.   Pada dasarnya cerai gugat merupakan perbuatan yang dihalalkan, akan tetapi perbuatan ini disenangi oleh Iblis karena cerai gugat berdampak buruk bagi kehidupan. Adapun yang ditimbulkan oleh cerai gugat adalah (1) Bagi Istri yang meminta cerai pada suaminya tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syara’ maka tidak dapat masuk surga karena  mencium bau surga saja tidak bisa. (2) Cerai gugat berakibat jatuhnya talak ba’in shugra artinya  suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya, apabila suami ingin kembali kepada istrinya maka harus dengan akad nikah baru.(3) Akibat cerai gugat terhadap  anak yang belum mumayyiz mendapatkan hadhanah dari ibunya sedangkan yang mumayyiz memiliki hak khiyar (memilih) yakni memilih ayah atau ibunya.      Perkawinan merupakan jalan yang diberikan Allah kepada manusia untuk mendapatkan keturunan dan mengembangkan keturunan tersebut. Selain dari itu perkawinan juga sebagai penyalur dari kebutuhan seksualitas yang ada pada manusia itu sendiri. Dengan itu, perkawinan juga bertujuan untuk membentuk keluarga yang kekal, bahagia. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat ar-Rum Ayat 21:     Artinya:  “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”  Islam telah memberi ketentuan tentang batas-batas hak dan tanggung jawab bagi suami isteri supaya perkawinan berjalan dengan keluarga sakinah, mawadah dan rahmah. Bila ada di antara suami isteri berbuat diluar haknya maka Islam memberi petunjuk bagaimana cara mengatasinya dan mengembalikannya kepada yang hak. Tetapi apabila dalam suatu rumah tangga terjadi krisis yang tidak dapat diatasi lagi, maka Islam memberikan jalan keluar yang salah satunya dengan perceraian.  Angka Perceraian di Pengadilan Agama Kota Padang terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2014 tercatat 186 perkara yang masuk ditambah sisa perkara yang belum selesai pada tahun 2013 sebanyak 1.354 kasus maka total keseluruhan 1.540 perkara dan yang telah diputus sebanyak 1.362 perkara. Seiring dengan itu pada tahun 2015, sisa perkara tahun 2014 ditambah dengan perkara yang masuk pada tahun 2015 maka total keseluruhan sebanyak 1.282 dan yang telah diputus sebanyak 1.148 perkara. Angka cerai talak pada tahun ini terdiri dari 23 kasus sedangkan cerai gugat 95 kasus. Sementara itu pada tahun 2016 terjadi lonjakan drastis yakni sisa perkara pada tahun 2015 ditambah kasus yang masuk selama tahun 2016 maka total keseluruhannya adalah 1.612 dan perkara yang belum putus sebanyak 186 kasus.  Berdasarkan data yang diproleh di Pengadilan Agama Kota Padang ini, diketahui maraknya isteri menggugat cerai suaminya. Hal ini menarik dibahas apa sebenarnya cerai gugat dan bagaimana dampak atau akibat hukum yang ditimbulkan dari cerai gugat.      Pengertian cerai gugat Perkawinan harus dimaknai dengan seluruh aspek yang terdapat di dalamnya, menempuh kehidupan bersama sepanjang hidup, membina keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Namun realitanya banyak perkawinan yang berakhir atau putus karena perceraian. Agar tidak terjadinya perceraian harus ada beberapa upaya-upaya yang dilakukan yaitu: suami dan isteri harus melakukan usaha damai dengan melibatkan keluarga dari kedua belah pihak, jika usaha ini tidak bisa dilakukan maka salah satu pihak boleh mengajukan gugatan ke pengadilan agama.  Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, atas putusan Pengadilan. Perceraian dikenal dengan dua bentuk, yaitu cerai talak dan cerai gugat. Adapun yang dimaksud dengan cerai talak adalah cerai yang berlangsung atas permohonan suami kepada Pengadilan Agama dengan alasan-alasan yang ditentukan, kemudian setelah Pengadilan Agama memandang sudah cukup alasan-alasan yang ditentukan, maka pengadilan memberi izin kepada suami untuk mengucapkan ikrar talak di depan sidang pengadilan.  Seiring dengan itu, cerai gugat dapat terjadi disebabkan adanya suatu gugatan oleh pihak isteri atau kuasa hukumnya kepada pengadilan. Di dalam PP No. 9 Tahun 1975 disebutkan cerai gugat adalah suatu gugatan perceraian yang diajukan oleh pihak isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.  Cerai gugat dalam Islam disebut juga khulu’ yang menurut bahasa adalah melepaskan atau menanggalkan. Hal itu karena suami dan istri ibarat pakaian dan bila terjadi khulu’ maka lepasnya ikatan pernikahan diantara mereka. Pengertian khulu’ menurut para ulama mazhab:  Menurut Hanafiah khulu’ adalah: الخلع هو إزالة ملك النكا ح المتوفقة على قبول المرأة بلفظ الخلع أوما فى معناه.  Khulu’ adalah putusnya ikatan perkawinan tergantung kepada  penerimaan istri dengan adanya lafaz khulu’ atau yang semakna dengannya.     Menurut Malikiyah, khulu’ adalah: معناه ان تبذل المرأة أوغيرها لرجل مالا على ان يطلقها أوتسقط عنه حقا لها عليه فتقع بذلك طلقة با ئنة .  Istri atau pihak istri menyerahkan harta kepada suami atas talak yang diminta istri atau jatuh atau gugurnya hak talak dari suami kepada istri maka pada hal yang demikian merupakan talak ba’in.     Menurut Syafi’iyah, khulu’ adalah: هو اللفظ الدال على الفراق بين الزوجين بعوض متوفرة فيه الشروط.  Lafaz yang menunjukkan perceraian antara suami dan istri dengan iwadh (ganti rugi), yang harus memenuhi persyaratan tertentu.     Menurut Ahmad bin Hanbal, khulu’ adalah: هو فراق الزوج إمرأته بعوض يأخذه الزوج من إمرأته أو غيرها بألفاظ   مخصوصة  Berpisahnya suami istri dengan adanya iwadh(tebusan) yang diambil suami dari istri atau pihak istri dengan menggunakan lafaz tertentu.        Berdasarkan definisi di atas yang dikemukakan para imam mazhab tersebut dapat dilihat bahwa arti cerai gugat atau khulu’ menurut syara’ hampir sama saja redaksinya, dapat disimpulkan khulu’ adalah permintaan istri kepada suami agar menceraikannya karena takut tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah yaitu taat kepada suami dengan adanya iwadh (tebusan) yang diberikan kepada suami sebagai tebusan dirinya agar suami menceraikannya dengan menggunakan lafaz khulu’ atau semakna dengan itu dari suami.  Kompilasi Hukum Islam (KHI) membedakan cerai gugat dengan khulu’. Perbedaanya adalah cerai gugat tidak selamanya membayar uang iwadh (tebusan) sedangkan khulu’ uang iwadh dijadikan dasar akan terjadinya khulu’. Persamaan cerai gugat dan khulu’ adalah keinginan bercerai sama-sama datang dari pihak istri (baik khulu’ atau cerai gugat).  Landasan Cerai Gugat Adapun yang menjadi landasan cerai gugat adalah al-Qur’an, hadis Nabi dan ijma’ ulama.  Firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah: 229     Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.  Hal ini salah satu perlindungan terhadap wanita di dalam Islam karena dahulunya sebelum ayat ini turun baik umat Islam maupun orang Jahiliyah tidak mempunyai batasan bilangan talak sehingga hal ini justru menganiaya wanita. Mereka ditinggalkan tanpa suami dan tidak boleh pula bersuami lagi lalu turunlah ayat ini.  Selanjutnya Allah menyuruh melepaskan wanita dengan baik dan tidak boleh mengambil barang-barang yang telah diberikan kepada istrinya bila terjadi perceraian, baik berupa maskawin dan lain-lain, tetapi bila dalam suatu perkawinan terdapat hal-hal yang menyebabkan suami istri tidak dapat lagi melaksanakan ketentuan Allah, maka khulu’ boleh dilakukan dengan memberikan tebusan.  Ibnu Katsir berkata bahwa banyak kalangan salaf dan Imam Khalaf mengatakan, “Susungguhnya tidak diperbolehkan melakukan khulu’ kecuali jika perselisihan dan kedurhakaan itu datangnya dari pihak wanita maka ketika itu si suami berhak menerima tebusan.  Didalam tafsir al-Qurtubi disebutkan bahwa ayat ayat ini merupakan landasan bolehnya khulu’. Menurut jumhur ulama khulu’ (talaq dalam bentuk tebusan) hukumnya jaiz (boleh). Ayat ini tidak ada disebutkan secara jelas bahwa tebusan wajibdalam melakukan khulu’. Hanya istri dibolehkan membayarkan tebusan bila ingin meminta khulu’. Jadi ayat ini menjadi dalil kebolehan melakukan khulu’.  Rasulullah SAW bersabda,  عن ابن عبا س ان امرأة ثا بت بن قيس اتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يارسول الله، ثابت بن قيس، ماأعتب عليه فى خلق ولا دين، ولكني أكره الكفر فى الاسلا م، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:أترد ين عليه حديقة؟ نعم، قالت رسول الله صلى الله عليه وسلم:"اقبل الحديقة وطلقها تطليقة" ( رواه النسائ ).   Ibnu Abbas menceritakan bahwa istri tsabit bin qais menemui nabi saw lalu berkata, ya Rasulullah! Aku tidak mencela Tsabit bin Qais itu mengenai akhlak dan cara beragamanya, tetapi aku takut kafir dalam Islam. Rasulullah SAW menjawab, apakah engkau mau mengembalikan kebun kormanya (yang jadi maskawinnya dahulu) kepadanya? “ dia menjawab: ya, kemudian rasul memanggil Tsabit bin Qais dan menyarankan kepadanya. Terimalah kembali kebunmu dan talaklah istrimu itu satu kali!” (H.R. Bukhari).     Hadis ini menjelaskan bahwa istridibolehkan meminta khulu’ dia takut akan kafir dalam Islam. Maksudnya pengingkaran terhadap nikmat bergaul dengan suami dan tidak akan dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dan tidak menunaikan haknya suami sehingga dia dibolehkan menebus dirinya ganti dari talak yang di terimanya.  Hadis diatas menguatkan ayat al-Quran mengenai hujjah kebolehan cerai gugat. Hadis-hadis tersebut menceritakan seorang istri yaitu istri Tsabit bin Qais yang ingin meminta cerai dari suaminya. Penyebab istri Tsabit bin Qais melakukan cerai gugat disebutkan bahwa istri Tsabit bin Qais melakukan hal itu karena ia sangat membenci rupa suaminya. Sehingga ia tidak sanggup lagi dan mengadukannya kepada Rasulullah SAW. Cerai gugat istri Tsabit bin Qais merupakan cerai gugat pertama kali dalam Islam pada masa Nabi Muhammad SAW. Adapun istri Tsabit bin Qais bernama Jamilah binti Abdullah bin Salul. Menurut ibnu Majah Jamilah binti Salul sedangkan menurut Abu Daud dan an-Nasa’i ia bernama Habibah binti Sahal.  Terakhir, landasan kebolehan cerai gugat adalah ijma’ para ulama yang sepakat membolehkan khulu’ atau istri meminta cerai dari suami. Cerai gugat ini dapat dilakukan apa bila kedua belah pihak takut tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, atau istri membenci suami baik itu rupa ataupun akhlaknya, atau karena di zalimi oleh suaminya.  Akibat Hukum Cerai Gugat cerai gugat dengan cara yang telah ditetapkan Allah merupakan penolakan terjadinya permusuhan dan untuk menegakkan hukum-hukum Allah SWT. Adapun akibat hukum cerai gugat adalah:  Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah يما امرأة سألت زوجها الطلاق فى غير ما بأس فحرم عليها رانحة الجنة Artinya wanita manapun yang meminta suaminya untuk menceraikannya, tanpa ada alasan yang dibenarkan, maka dia diharamkan mencium bau sorga.  Cerai gugat termasuk kedalam talak ba’in shugra. Jadi cerai gugat mengurangi jumlah talak tetapi suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya, apabila suami ingin kembali kepad istrinya maka harus dengan akad nikah baru. Hal ini dipertegas dalamKompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 119 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa:  Talak Ba’in Sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. Talak Ba’in Sughra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah Talak yang terjadi qabla al dukhul Talak dengan tebusan atau khulu’ Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama Talak ba’in shugra, yaitu talak yang kurang dari 3 kali dan tidak boleh dirujuk tapi boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri meskipun dalam masa iddah.  Dengan adanya cerai gugat mantan istri menguasai dirinya secara penuh, segala urusan mantan istri berada di tangannya sendiri, sebab ia telah menyerahkan sejumlah uang kepada suaminya guna untuk melepaskan dirinya itu. Pasal 156 KHI dijelaskan akibat perceraian karena cerai gugat terhadap anak yakni: Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia maka kedudukannya diganti oleh: Wanita-wanita dalam garis keturunan lurus ke atas dari ibu   Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari Ayah Apabila anak sudah mumayyiz maka berhak memilih untuk mendapat hak hadhanah dari ayah atau ibunya. Apabila pemegang hadhanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain, yang mempunyai hak hadhanah pula. Biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak dewasa dan dapat mengurus diri sendiri yakni berusia 21 tahun. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (c). Pengadilan dapat pula dengan mengingatkan kemampuan ayahnya dengan menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.   Berdasarkan pembahasan tersebut disimpulkan sebagai berikut:  Cerai gugat sama dengan khulu’ yang ada dalam Islam yakni permintaan istri kepada suami agar menceraikannya karena takut tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah yaitu taat kepada suami dengan adanya iwadh (tebusan) yang diberikan kepada suami sebagai tebusan dirinya agar suami menceraikannya dengan menggunakan lafaz khulu’ atau semakna dengan itu dari suami. Kompilasi Hukum Islam (KHI) membedakan cerai gugat dengan khulu’. Perbedaanya adalah cerai gugat tidak selamanya membayar uang iwadh (tebusan) sedangkan khulu’ uang iwadh dijadikan dasar akan terjadinya khulu’.  Akibat cerai gugat Bagi Istri yang meminta cerai pada suaminya tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syara’ maka tidak dapat masuk surga karenamencium bau surga saja tidak bisa. Dengan adanya cerai gugat mantan istri menguasai dirinya secara penuh, segala urusan mantan istri berada di tangannya sendiri, sebab ia telah menyerahkan sejumlah uang kepada suaminya guna untuk melepaskan dirinya itu Cerai gugat berakibat jatuhnya talak ba’in shugra. Jadi cerai gugat mengurangi jumlah talak tetapi suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya, apabila suami ingin kembali kepad istrinya maka harus dengan akad nikah baru. Akibat cerai gugat pada anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia maka kedudukannya diganti. Sedangkan pada anak yang sudah mumayyiz anak memiliki hak khiyar (memilih) yakni memilih untuk mendapat hak hadhanah dari ayah atau ibunya. Saran Berdasarkan hal tersebut penulis menyarankan sebagai kepada siapun yang hendak menikah hendaknya memahami betul hakikat pernikahan. Dengan pemahaman yang baik diharapkan orang tersebut mampu mengayuh biduk rumah tangga dengan baik agar cobaan dan masalah yang dihadapi dapat diselasaikan dengan cara yang baik dan jauh dari perceraian.     Bustami, Isni. Perkawinan dan Perceraian dalam Islam. Padang: IAIN IB Press, 1999.     Jaza’i, Ibnu al- Qawanina al-Fiqhiyah. Beirut:dar al-Fikri, tt.     Jaziri, Abdurrahman. Kitabal Fiqhu ‘Ala al Mazahibu al Arba’ah Mesir al Maktabah at- Tijariyatul Qubra.     Rahman, Abdhul. Perkawinan dalam Syari’at Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1996.     Ritongga, Iskandar. Hak-Hak Wanita dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Nuansa Madani, 1999.     Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.     Sayis, Ali. Ahwal as- Asy Syarakhshi. Tafsir Ayat Al-Ahkam. Beirut: dar al-kutub al-ilmiyah.     Sayuti, Jalal ad-Din. Beirut: Dar al-Fikr, tt.     Shabuny, Muhammad Ali. Cahaya al-Quran Tafsir  Tematik Surat al-Baqarah al-An’am, Penerjemah Kathur Suhardi. Judul Asli “Qabas min Nur  al-Quran Dirasah Tahliliyyah Muwassa’ah bi Ahdaf wa Maqashid as- Suway al- Karimah”. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000.     Soimin, Soedharya. Hukum Orang dan Keluarga Persektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Jakarta: Sinar Graika Offset, 2002.     Syaukani, Imam. NailurAuthar. Jakarta : Pustaka Azzam. 2000. Imam asy-Syaukani, NailurAuthar, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2000), Juz 5, h. 508 Departemen Agama RI,al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung : CV Diponegoro, 2005) 52-54 Isni Bustami, Perkawinan dan Perceraian dalam Islam, (Padang: IAIN IB Press, 1999), h.,107 Iskandar Ritongga, Hak-Hak Wanita dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Nuansa Madani, 1999), h. 93 Ibid., h. 103 Soedharya Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Persektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, (Jakarta: Sinar Graika Ofset, 2002), h. 661 Abdurrahman al-Jaziri, Kitabal Fiqhu ‘Ala al Mazahibu al Arba’ah Mesir al Maktabah at- Tijariyatul Qubra, (tt), juz 4, h. 387 Ibnu Jaza’i, al- Qawanina al-Fiqhiyah (Beirut:dar al-Fikri, tt), h.201 Ibid, h.392  Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h.,301-302 Ali as- Sayis Asy Syarakhshi, Tafsir Ayat Al-Ahkam, (Beirut: dar al-kutub al-ilmiyah, tt), h. 150 Jalal ad-Din as-Sayuti, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) Juz 5, h. 123 Maksudnya : ia (istri  Tsabit) ingin berpisah dari suaminya bukan karena talak suaminya yang buruk atau tidak baiknya agama suaminya, karena ia tidak menyukai muka atau rupa suaminya. Muhammad Ali ash Shabuny, Cahaya al-Quran Tafsir  Tematik Surat al-Baqarah al-An’am, Penerjemah Kathur Suhardi, Judul Asli “Qabas min Nur  al-Quran Dirasah Tahliliyyah Muwassa’ah bi Ahdaf wa Maqashid as- Suway al- Karimah”, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000
Talak ba'in shugra, yaitu talak yang kurang dari 3 kali dan tidak boleh dirujuk tapi boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri meskipun dalam masa iddah atau di luar masa iddahnya, Misalnya setelah  4 bulan, atau 1 tahun, 3 tahun 5 tahun, 10 tahun setelahnya jika memang jodohnya dan demi anak atau buah hatinya tersebut. 

Pada dasarnya cerai gugat merupakan perbuatan yang dihalalkan, akan tetapi perbuatan ini disenangi oleh Iblis karena cerai gugat berdampak buruk bagi kehidupan. Adapun yang ditimbulkan oleh cerai gugat adalah (1) Bagi Istri yang meminta cerai pada suaminya tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syara’ maka tidak dapat masuk surga karena  mencium bau surga saja tidak bisa. (2) Cerai gugat berakibat jatuhnya talak ba’in shugra artinya  suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya, apabila suami ingin kembali kepada istrinya maka harus dengan akad nikah baru.(3) Akibat cerai gugat terhadap  anak yang belum mumayyiz mendapatkan hadhanah dari ibunya sedangkan yang mumayyiz memiliki hak khiyar (memilih) yakni memilih ayah atau ibunya.

Perkawinan merupakan jalan yang diberikan Allah kepada manusia untuk mendapatkan keturunan dan mengembangkan keturunan tersebut. Selain dari itu perkawinan juga sebagai penyalur dari kebutuhan seksualitas yang ada pada manusia itu sendiri. Dengan itu, perkawinan juga bertujuan untuk membentuk keluarga yang kekal, bahagia. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat ar-Rum Ayat 21:

 

Artinya:  “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

Islam telah memberi ketentuan tentang batas-batas hak dan tanggung jawab bagi suami isteri supaya perkawinan berjalan dengan keluarga sakinah, mawadah dan rahmah. Bila ada di antara suami isteri berbuat diluar haknya maka Islam memberi petunjuk bagaimana cara mengatasinya dan mengembalikannya kepada yang hak. Tetapi apabila dalam suatu rumah tangga terjadi krisis yang tidak dapat diatasi lagi, maka Islam memberikan jalan keluar yang salah satunya dengan perceraian.

Angka Perceraian di Pengadilan Agama Kota Padang terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2014 tercatat 186 perkara yang masuk ditambah sisa perkara yang belum selesai pada tahun 2013 sebanyak 1.354 kasus maka total keseluruhan 1.540 perkara dan yang telah diputus sebanyak 1.362 perkara. Seiring dengan itu pada tahun 2015, sisa perkara tahun 2014 ditambah dengan perkara yang masuk pada tahun 2015 maka total keseluruhan sebanyak 1.282 dan yang telah diputus sebanyak 1.148 perkara. Angka cerai talak pada tahun ini terdiri dari 23 kasus sedangkan cerai gugat 95 kasus. Sementara itu pada tahun 2016 terjadi lonjakan drastis yakni sisa perkara pada tahun 2015 ditambah kasus yang masuk selama tahun 2016 maka total keseluruhannya adalah 1.612 dan perkara yang belum putus sebanyak 186 kasus.

Berdasarkan data yang diproleh di Pengadilan Agama Kota Padang ini, diketahui maraknya isteri menggugat cerai suaminya. Hal ini menarik dibahas apa sebenarnya cerai gugat dan bagaimana dampak atau akibat hukum yang ditimbulkan dari cerai gugat.

  

  1. Pengertian cerai gugat

Perkawinan harus dimaknai dengan seluruh aspek yang terdapat di dalamnya, menempuh kehidupan bersama sepanjang hidup, membina keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Namun realitanya banyak perkawinan yang berakhir atau putus karena perceraian. Agar tidak terjadinya perceraian harus ada beberapa upaya-upaya yang dilakukan yaitu: suami dan isteri harus melakukan usaha damai dengan melibatkan keluarga dari kedua belah pihak, jika usaha ini tidak bisa dilakukan maka salah satu pihak boleh mengajukan gugatan ke pengadilan agama.

Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, atas putusan Pengadilan. Perceraian dikenal dengan dua bentuk, yaitu cerai talak dan cerai gugat. Adapun yang dimaksud dengan cerai talak adalah cerai yang berlangsung atas permohonan suami kepada Pengadilan Agama dengan alasan-alasan yang ditentukan, kemudian setelah Pengadilan Agama memandang sudah cukup alasan-alasan yang ditentukan, maka pengadilan memberi izin kepada suami untuk mengucapkan ikrar talak di depan sidang pengadilan.

Seiring dengan itu, cerai gugat dapat terjadi disebabkan adanya suatu gugatan oleh pihak isteri atau kuasa hukumnya kepada pengadilan. Di dalam PP No. 9 Tahun 1975 disebutkan cerai gugat adalah suatu gugatan perceraian yang diajukan oleh pihak isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.

Cerai gugat dalam Islam disebut juga khulu’ yang menurut bahasa adalah melepaskan atau menanggalkan. Hal itu karena suami dan istri ibarat pakaian dan bila terjadi khulu’ maka lepasnya ikatan pernikahan diantara mereka. Pengertian khulu’ menurut para ulama mazhab:

  • Menurut Hanafiah khulu’ adalah:

الخلع هو إزالة ملك النكا ح المتوفقة على قبول المرأة بلفظ الخلع أوما فى معناه.

Khulu’ adalah putusnya ikatan perkawinan tergantung kepada  penerimaan istri dengan adanya lafaz khulu’ atau yang semakna dengannya.

 

  • Menurut Malikiyah, khulu’ adalah:

معناه ان تبذل المرأة أوغيرها لرجل مالا على ان يطلقها أوتسقط عنه حقا لها عليه فتقع بذلك طلقة با ئنة .

Istri atau pihak istri menyerahkan harta kepada suami atas talak yang diminta istri atau jatuh atau gugurnya hak talak dari suami kepada istri maka pada hal yang demikian merupakan talak ba’in.

 

  • Menurut Syafi’iyah, khulu’ adalah:

هو اللفظ الدال على الفراق بين الزوجين بعوض متوفرة فيه الشروط.

Lafaz yang menunjukkan perceraian antara suami dan istri dengan iwadh (ganti rugi), yang harus memenuhi persyaratan tertentu.

 

  • Menurut Ahmad bin Hanbal, khulu’ adalah:

هو فراق الزوج إمرأته بعوض يأخذه الزوج من إمرأته أو غيرها بألفاظ

 مخصوصة

Berpisahnya suami istri dengan adanya iwadh(tebusan) yang diambil suami dari istri atau pihak istri dengan menggunakan lafaz tertentu.

 

 

Berdasarkan definisi di atas yang dikemukakan para imam mazhab tersebut dapat dilihat bahwa arti cerai gugat atau khulu’ menurut syara’ hampir sama saja redaksinya, dapat disimpulkan khulu’ adalah permintaan istri kepada suami agar menceraikannya karena takut tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah yaitu taat kepada suami dengan adanya iwadh (tebusan) yang diberikan kepada suami sebagai tebusan dirinya agar suami menceraikannya dengan menggunakan lafaz khulu’ atau semakna dengan itu dari suami.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) membedakan cerai gugat dengan khulu’. Perbedaanya adalah cerai gugat tidak selamanya membayar uang iwadh (tebusan) sedangkan khulu’ uang iwadh dijadikan dasar akan terjadinya khulu’. Persamaan cerai gugat dan khulu’ adalah keinginan bercerai sama-sama datang dari pihak istri (baik khulu’ atau cerai gugat).

  1. Landasan Cerai Gugat

Adapun yang menjadi landasan cerai gugat adalah al-Qur’an, hadis Nabi dan ijma’ ulama.

Firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah: 229

 

Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.

Hal ini salah satu perlindungan terhadap wanita di dalam Islam karena dahulunya sebelum ayat ini turun baik umat Islam maupun orang Jahiliyah tidak mempunyai batasan bilangan talak sehingga hal ini justru menganiaya wanita. Mereka ditinggalkan tanpa suami dan tidak boleh pula bersuami lagi lalu turunlah ayat ini.

Selanjutnya Allah menyuruh melepaskan wanita dengan baik dan tidak boleh mengambil barang-barang yang telah diberikan kepada istrinya bila terjadi perceraian, baik berupa maskawin dan lain-lain, tetapi bila dalam suatu perkawinan terdapat hal-hal yang menyebabkan suami istri tidak dapat lagi melaksanakan ketentuan Allah, maka khulu’ boleh dilakukan dengan memberikan tebusan.

Ibnu Katsir berkata bahwa banyak kalangan salaf dan Imam Khalaf mengatakan, “Susungguhnya tidak diperbolehkan melakukan khulu’ kecuali jika perselisihan dan kedurhakaan itu datangnya dari pihak wanita maka ketika itu si suami berhak menerima tebusan.

Didalam tafsir al-Qurtubi disebutkan bahwa ayat ayat ini merupakan landasan bolehnya khulu’. Menurut jumhur ulama khulu’ (talaq dalam bentuk tebusan) hukumnya jaiz (boleh). Ayat ini tidak ada disebutkan secara jelas bahwa tebusan wajibdalam melakukan khulu’. Hanya istri dibolehkan membayarkan tebusan bila ingin meminta khulu’. Jadi ayat ini menjadi dalil kebolehan melakukan khulu’.

Rasulullah SAW bersabda,

عن ابن عبا س ان امرأة ثا بت بن قيس اتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يارسول الله، ثابت بن قيس، ماأعتب عليه فى خلق ولا دين، ولكني أكره الكفر فى الاسلا م، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:أترد ين عليه حديقة؟ نعم، قالت رسول الله صلى الله عليه وسلم:"اقبل الحديقة وطلقها تطليقة" ( رواه النسائ ). 

Ibnu Abbas menceritakan bahwa istri tsabit bin qais menemui nabi saw lalu berkata, ya Rasulullah! Aku tidak mencela Tsabit bin Qais itu mengenai akhlak dan cara beragamanya, tetapi aku takut kafir dalam Islam. Rasulullah SAW menjawab, apakah engkau mau mengembalikan kebun kormanya (yang jadi maskawinnya dahulu) kepadanya? “ dia menjawab: ya, kemudian rasul memanggil Tsabit bin Qais dan menyarankan kepadanya. Terimalah kembali kebunmu dan talaklah istrimu itu satu kali!” (H.R. Bukhari).

 

Hadis ini menjelaskan bahwa istridibolehkan meminta khulu’ dia takut akan kafir dalam Islam. Maksudnya pengingkaran terhadap nikmat bergaul dengan suami dan tidak akan dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dan tidak menunaikan haknya suami sehingga dia dibolehkan menebus dirinya ganti dari talak yang di terimanya.

Hadis diatas menguatkan ayat al-Quran mengenai hujjah kebolehan cerai gugat. Hadis-hadis tersebut menceritakan seorang istri yaitu istri Tsabit bin Qais yang ingin meminta cerai dari suaminya. Penyebab istri Tsabit bin Qais melakukan cerai gugat disebutkan bahwa istri Tsabit bin Qais melakukan hal itu karena ia sangat membenci rupa suaminya. Sehingga ia tidak sanggup lagi dan mengadukannya kepada Rasulullah SAW. Cerai gugat istri Tsabit bin Qais merupakan cerai gugat pertama kali dalam Islam pada masa Nabi Muhammad SAW. Adapun istri Tsabit bin Qais bernama Jamilah binti Abdullah bin Salul. Menurut ibnu Majah Jamilah binti Salul sedangkan menurut Abu Daud dan an-Nasa’i ia bernama Habibah binti Sahal.

Terakhir, landasan kebolehan cerai gugat adalah ijma’ para ulama yang sepakat membolehkan khulu’ atau istri meminta cerai dari suami. Cerai gugat ini dapat dilakukan apa bila kedua belah pihak takut tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, atau istri membenci suami baik itu rupa ataupun akhlaknya, atau karena di zalimi oleh suaminya.

  1. Akibat Hukum Cerai Gugat
  2. cerai gugat dengan cara yang telah ditetapkan Allah merupakan penolakan terjadinya permusuhan dan untuk menegakkan hukum-hukum Allah SWT.

Adapun akibat hukum cerai gugat adalah:

  • Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
  • يما امرأة سألت زوجها الطلاق فى غير ما بأس فحرم عليها رانحة الجنة

Artinya wanita manapun yang meminta suaminya untuk menceraikannya, tanpa ada alasan yang dibenarkan, maka dia diharamkan mencium bau sorga.

  • Cerai gugat termasuk kedalam talak ba’in shugra. Jadi cerai gugat mengurangi jumlah talak tetapi suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya, apabila suami ingin kembali kepad istrinya maka harus dengan akad nikah baru.

Hal ini dipertegas dalamKompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 119 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa:

  1. Talak Ba’in Sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
  2. Talak Ba’in Sughra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah
  • Talak yang terjadi qabla al dukhul
  • Talak dengan tebusan atau khulu
  • Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama

Talak ba’in shugra, yaitu talak yang kurang dari 3 kali dan tidak boleh dirujuk tapi boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri meskipun dalam masa iddah.

  1. Dengan adanya cerai gugat mantan istri menguasai dirinya secara penuh, segala urusan mantan istri berada di tangannya sendiri, sebab ia telah menyerahkan sejumlah uang kepada suaminya guna untuk melepaskan dirinya itu.
  • Pasal 156 KHI dijelaskan akibat perceraian karena cerai gugat terhadap anak yakni:
  1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia maka kedudukannya diganti oleh:
  • Wanita-wanita dalam garis keturunan lurus ke atas dari ibu
  •  
  • Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah
  • Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
  • Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari Ayah
  1. Apabila anak sudah mumayyiz maka berhak memilih untuk mendapat hak hadhanah dari ayah atau ibunya.
  2. Apabila pemegang hadhanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain, yang mempunyai hak hadhanah pula.
  3. Biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak dewasa dan dapat mengurus diri sendiri yakni berusia 21 tahun.
  4. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (c).
  5. Pengadilan dapat pula dengan mengingatkan kemampuan ayahnya dengan menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.
 

Berdasarkan pembahasan tersebut disimpulkan sebagai berikut:

  • Cerai gugat sama dengan khulu’ yang ada dalam Islam yakni permintaan istri kepada suami agar menceraikannya karena takut tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah yaitu taat kepada suami dengan adanya iwadh (tebusan) yang diberikan kepada suami sebagai tebusan dirinya agar suami menceraikannya dengan menggunakan lafaz khulu’ atau semakna dengan itu dari suami.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) membedakan cerai gugat dengan khulu’. Perbedaanya adalah cerai gugat tidak selamanya membayar uang iwadh (tebusan) sedangkan khulu’ uang iwadh dijadikan dasar akan terjadinya khulu’.

  • Akibat cerai gugat
  1. Bagi Istri yang meminta cerai pada suaminya tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syara’ maka tidak dapat masuk surga karenamencium bau surga saja tidak bisa.
  2. Dengan adanya cerai gugat mantan istri menguasai dirinya secara penuh, segala urusan mantan istri berada di tangannya sendiri, sebab ia telah menyerahkan sejumlah uang kepada suaminya guna untuk melepaskan dirinya itu
  3. Cerai gugat berakibat jatuhnya talak ba’in shugra. Jadi cerai gugat mengurangi jumlah talak tetapi suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya, apabila suami ingin kembali kepad istrinya maka harus dengan akad nikah baru.
  4. Akibat cerai gugat pada anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia maka kedudukannya diganti. Sedangkan pada anak yang sudah mumayyiz anak memiliki hak khiyar (memilih) yakni memilih untuk mendapat hak hadhanah dari ayah atau ibunya.
  1. Saran

Berdasarkan hal tersebut penulis menyarankan sebagai kepada siapun yang hendak menikah hendaknya memahami betul hakikat pernikahan. Dengan pemahaman yang baik diharapkan orang tersebut mampu mengayuh biduk rumah tangga dengan baik agar cobaan dan masalah yang dihadapi dapat diselasaikan dengan cara yang baik dan jauh dari perceraian.

 

Bustami, Isni. Perkawinan dan Perceraian dalam Islam. Padang: IAIN IB Press, 1999.

 

Jaza’i, Ibnu al- Qawanina al-Fiqhiyah. Beirut:dar al-Fikri, tt.

 

Jaziri, Abdurrahman. Kitabal Fiqhu ‘Ala al Mazahibu al Arba’ah Mesir al Maktabah at- Tijariyatul Qubra.

 

Rahman, Abdhul. Perkawinan dalam Syari’at Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1996.

 

Ritongga, Iskandar. Hak-Hak Wanita dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Nuansa Madani, 1999.

 

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.

 

Sayis, Ali. Ahwal as- Asy Syarakhshi. Tafsir Ayat Al-Ahkam. Beirut: dar al-kutub al-ilmiyah.

 

Sayuti, Jalal ad-Din. Beirut: Dar al-Fikr, tt.

 

Shabuny, Muhammad Ali. Cahaya al-Quran Tafsir  Tematik Surat al-Baqarah al-An’am, Penerjemah Kathur Suhardi. Judul Asli “Qabas min Nur  al-Quran Dirasah Tahliliyyah Muwassa’ah bi Ahdaf wa Maqashid as- Suway al- Karimah”. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000.

 

Soimin, Soedharya. Hukum Orang dan Keluarga Persektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Jakarta: Sinar Graika Offset, 2002.

 

  • Syaukani, Imam. NailurAuthar. Jakarta : Pustaka Azzam. 2000.
  • Imam asy-Syaukani, NailurAuthar, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2000), Juz 5, h. 508
  • Departemen Agama RI,al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung : CV Diponegoro, 2005) 52-54
  • Isni Bustami, Perkawinan dan Perceraian dalam Islam, (Padang: IAIN IB Press, 1999), h.,107
  • Iskandar Ritongga, Hak-Hak Wanita dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Nuansa Madani, 1999), h. 93
  • Ibid., h. 103
  • Soedharya Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Persektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, (Jakarta: Sinar Graika Ofset, 2002), h. 661
  • Abdurrahman al-Jaziri, Kitabal Fiqhu ‘Ala al Mazahibu al Arba’ah Mesir al Maktabah at- Tijariyatul Qubra, (tt), juz 4, h. 387
  • Ibnu Jaza’i, al- Qawanina al-Fiqhiyah (Beirut:dar al-Fikri, tt), h.201
  • Ibid, h.392 
  • Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h.,301-302
  • Ali as- Sayis Asy Syarakhshi, Tafsir Ayat Al-Ahkam, (Beirut: dar al-kutub al-ilmiyah, tt), h. 150
  • Jalal ad-Din as-Sayuti, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) Juz 5, h. 123
  • Maksudnya : ia (istri  Tsabit) ingin berpisah dari suaminya bukan karena talak suaminya yang buruk atau tidak baiknya agama suaminya, karena ia tidak menyukai muka atau rupa suaminya.
  • Muhammad Ali ash Shabuny, Cahaya al-Quran Tafsir  Tematik Surat al-Baqarah al-An’am, Penerjemah Kathur Suhardi, Judul Asli “Qabas min Nur  al-Quran Dirasah Tahliliyyah Muwassa’ah bi Ahdaf wa Maqashid as- Suway al- Karimah”, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000



Pengaruh Uang atau Rejeki halal dan uang rejeki yang haram bagai kelangsungan kehidupan keluarga dan masyarakat, Segala puji hanya milik Allah Swt yang telah menurunkan kepada kita syari’at-Nya yang sarat dengan hikmah ini. Karenanya, Anda dapatkan bahwa segala perintah agama walaupun kadang kala menimbulkan kesusahan dan kesan kerugian, akan tetapi kemaslahatannya jauh melebihi kesusahan yang ada. Dan sebaliknya, segala larangan, walaupun kadang kala mendatangkan keuntungan, akan tetapi kerugian yang melekat padanya jauh lebih banyak dari keuntunganya.

Ibnu taimiyyah berkata: “Mungkin saja pelaku hal-hal yang diharamkan, berupa perbuatan syirik, minum khamer, berjudi, berzina, dan berlaku lalim, mendapatkan beberapa keuntungan dan tujuan. Akan tetapi tatkala kerugian dan kerusakannya lebih banyak dibanding keuntungannya, maka Allah dan Rasul-Nyapun melarangnya. Sebaliknya, banyak dari perintah agama, seperti amal ibadah, jihad, dan menginfakkan harta, kadang kala mengandung kerugian. Akan tetapi karena keuntungannya lebih besar dibanding kerugiannya, maka Allah-pun memerintahkannya.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 1/265, 16/165, & 24/278)

Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petuah kepada umatnya dengan bersabda:

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ. متفق عليه

“(pintu-pintu) Surga itu diselimuti oleh hal-hal yang menyusahkan dan (pintu-pintu) neraka diselimuti oleh segala yang menyenangkan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Imam An Nawawi menjelaskan maksud hadits ini dengan berkata: “Tidaklah surga dapat digapai melainkah setelah anda menerjang tabir kesusahan yang menyelimutinya. Sebagaimana neraka tidak akan menjadi nasib anda melainkan setelah anda menerjang tabir syahwat/kesenangan yang menyelimutinya. Demikianlah surga dan neraka ditutupi oleh dua hal tersebut. Maka barang siapa telah menyingkap tabir penutup, niscaya ia akan masuk ke dalam apa yang ada dibelakangnya. Menyingkap tabir penutup surga dengan menerjang kesusahan, dan menyingkap tabir penutup neraka dengan menuruti syahwat.” (Syarah Shahih Muslim oleh Imam An Nawawi 17/165)

Sebagai seorang muslim yang mendapat karunia akal sehat, tentu anda akan memilih surga dengan sedikit menahan rasa sakit dan derita yang senantiasa menyelimuti jalan-jalan surga. Sebagaimana sudah spatutnya bagi anda untuk tidak tergiur dengan secuil kesenangan fana yang menyelimuti jalan-jalan neraka.

Sobat! Dahulu nenek moyang kita berpetuah melalui puisi berikut:

Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu.
Bersenang-senang kemudian.

Demikianlah kira-kira petuah nenek moyang kita yang menggambarkan makna hadits di atas.

Selanjutnya terserah anda, apakah anda tergiur sehingga bersenang-senang dahulu lalu selanjutnya bersakit-sakit selamanya, ataukah anda berpikir rasional, sehingga bersakit-sakit dahulu untuk bersenang-senang kemudian dan untuk selama-lamanya? Silahkan tentukan pilihan anda.

Berikut beberapa dampak negatif dari harta haram:

1. Sumber Kemurkaan Allah di Dunia dan Akhirat

Saudaraku! Allah Ta’ala telah melapangkan jalan di depan anda, berbagai pintu rizki halal dibuka selebar-lebarnya untuk anda. Akan tetapi bila anda tetap juga mencari jalan yang berliku dan sempit, maka sudah sepantasnya Allah akan menimpakan kemurkaanya kepada anda di dunia dan akhirat:

كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَلَا تَطْغَوْا فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبِي وَمَن يَحْلِلْ عَلَيْهِ غَضَبِي فَقَدْ هَوَى

“Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia.” (Qs. Thaha: 81)

Pada ayat ini Allah Ta’ala dengan tegas memerintahkan Bani Israil untuk memakan rizki yang baik lagi halal. Sebagaimana Allah melarang mereka dari berbuat melampaui batas dalam urusan rizki, yaitu dengan mencarinya dari jalan-jalan yang haram, dan membelanjakannya dijalan yang haram. Bila mereka melakukan hal itu, maka Allah telah mengancam mereka dengan kemurkaan.

Ibnu Jarir menjelaskan maksud dari kebinasaan yang dimaksud pada ayat ini dengan berkata: “Barang siapa yang telah mendapat ketentuan untuk ditimpa kemurkaan-Ku, maka ia sungguh telah terjerumus dan pasti akan sengsara.” (Tafsir Ibnu Jarir 18/347)

Saudaraku! Coba anda bertanya kepada diri sendiri: Untuk apakah aku bekerja dan mencari harta? Saya yakin jawabannya ialah agar dapat hidup enak dan bahagia. Akan tetapi apa pendapat anda bila ternyata pekerjaan dan penghasilan anda malah menyebabkan anda sengsara? Akankah anda meneruskan pekerjaan dan penghasilan anda itu? Dan apakah perasaan anda bila ternyata harta yag berhasil anda kumpulkan tidak mendatang kebahagian bagi anda malah menyebabkan anda menderita dan sengsara? Renungkan baik-baik saudaraku!

2. Harta Haram Adalah Bara Neraka

Sebagai dampak langsung dari rizki haram ialah akan harta tersebut akan mejadi bara api neraka. Ketahuilah saudaraku, bahwa harta benda anda bila anda peroleh dari jalan yang tidak halal, atau anda tidak menunaikan kewajiban anda padanya, sehingga harta anda menjadi haram, maka harta tersebut akan menjadi alat untuk menyiksa diri anda kelak di hari kiamat.

Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar suara dua orang yang bersengketa di depan rumahnya. Maka beliaupun segera keluar guna mengadili persengketaan mereka berdua. Beliau bersabda kepada mereka:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ ، وَإِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَىَّ ، وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِى نَحْوَ مَا أَسْمَعُ ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا فَلاَ يَأْخُذْهُ ، فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ. متفق عليه

“Sesungguhnya aku adalah manusia biasa, sedangkan kalian berdua membawa persengketaan kalian kepadaku. Mungkin saja salah seorang dari kalian lebih lihai dalam membawakan alasannya dibanding lawannya, sehingga akupun memutuskan berdasarkan apa yang aku dengar dari kalian. Maka barang siapa yang sebagian hak saudaranya aku putuskan untuknya, maka hendaknya ia tidak mengambil hak itu; karena sesungguhnya aku telah memotongkan untuknya sebongkah bara api neraka.” (Muttafaqun ‘alaih)

Pada hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan bahwa hak saudara anda yang anda rampas melalui jalur hukum, digambarkan sebagai bongkahan bara api neraka. Coba anda bayangkan, anda anda duduk di hadapan seorang hakim, lalu ia pada saat pembacaan amar putusan, ia memberi anda sebongkah bara api. Mungkinkah anda dengan senang hati dan kedua tangan anda menyambut bara api itu lalu menyimpannya dalam saku atau di dalam rumah anda?

Ibnu Hajar Al Asqalaani menjelaskan bahwa perumpamaan bongkahan bara api ini menggambarkan kepada anda betapa pedihnya siksa yang akan menimpa anda. (Fathul Bari 13/173)

Pada hadits lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bentuk lain dari siksa yang menimpa perampas hak saudaranya:

مَنِ اقْتَطَعَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا طَوَّقَهُ اللَّهُ إِيَّاهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ. رواه مسلم

“Barang siapa yang mengambil sejengkal tanah dengan cara-cara zhalim (tidak dibenarkan), niscaya kelak pada hari kiamat Allah akan mengalungkan kepadanya tanah itu dari tujuh lapis bumi.” (Riwayat Muslim)

Demikianlah, bila akibatnya bila anda merampas hak-hak saudara anda.

Adapun bila harta haram yang anda miliki adalah karena anda tidak menunaikan kewajiban anda padanya, zaitu zakat, maka simaklah siksa yang telah menanti anda:

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ {34} يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَـذَا مَا كَنَزْتُمْ لأَنفُسِكُمْ فَذُوقُواْ مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu di dalam neraka Jahannam, lalu dahi mereka, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya, (lalu dikatakan) kepada mereka: Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan.” (Qs. At Taubah: 34-35)

Ibnu Katsir berkata: “Barang siapa yang mencintai sesuatu dan lebih mendahulukannya dibanding ketaatan kepada Allah, niscaya ia akan disiksa dengannya. Karena orang-orang yang disebutkan pada ayat ini semasa hidupnya di dunia lebih mencintai harta bendanya dibanding keridhaan Allah, di akhirat mereka disiksa dengan hartanya. Sebagaimana halnya Abu Lahab -semoga laknat Allah selalu menimpanya-, dengan dibantu oleh istri tercintanya berusaha sekuat tenaga untuk memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka kelak di hari kiamat, istri tercintanya berbalik turut menyiksa dirinya:

فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ

“Yang di lehernya ada tali dari sabut.” (Qs. Al Lahab: 5). Maksudnya, kelak di neraka istri Abu Lahab itu terus menerus mengumpulkan kayu bakar lalu mencampakkannya kepada suaminya yaitu Abu Lahab. Dengan demikian siksa neraka terasa semakin pedih baginya, karena orang yang paling ia cintai di dunia turut menyiksa dirinya.

Demikian pula halnya dengan harta benda. Harta benda yang begitu disayang oleh para pemiliknya, sehingga mereka enggan menunaikan zakat, maka kelak di hari kiamat, harta itu menjadi alat penyiksa yang paling menyakitkan. Harta benda itu akan dipanaskan lalu para pemiliknya akan dipanggang dengannya. Betapa panasnya api yang ia rasakan kala itu. Dahi, pinggang dan punggungnya akan dipanggang dengannya.” (Tafsir Ibnu Katsir 4/141)

Sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengisahkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً ، فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ، لَهُ زَبِيبَتَانِ، يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ – يَعْنِى شِدْقَيْهِ – ثُمَّ يَقُولُ أَنَا مَالُكَ ، أَنَا كَنْزُكَ. ثُمَّ تَلاَ ولاَ يَحْسِبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ . إلى آخر الآية متفق عليه

“Barang siapa yang telah Allah beri harta kekayaan, lalu ia tidak menunaikan zakatnya, niscaya kelak pada hari kiamat harta kekayaannya akan diwujudkan dalam bentuk ular berkepala botak, di atas kedua matanya terdapat dua titik hitam. Kelak pada hari kiamat, ular itu akan melilit lehernya, lalu dengan rahangnya ular itu menggigit tangannya, Selanjutnya ular itu berkata kepadanya: ‘Aku adalah harta kekayaanmu, aku adalah harta timbunanmu,’ selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Ta’ala:

وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُواْ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Ali Imran: 180). (Muttafaqun ‘alaih)

Ibnu Hajar Al Asqalaani berkata: “Hikmah dikembalikannya seluruh harta yang pernah ia miliki, padahal hak Allah (zakat) yang wajib ditunaikan hanyalah sebagiannya saja, adalah karena zakat yang harus ditunaikan menyatu dengan seluruh harta dan tidak dapat dibedakan. Ditambah lagi karena harta yang tidak dikeluarkan zakatnya adalah harta yang tidak suci.” (Fathul Bari 3/305)

Saudaraku! ketahuilah bahwa surga adalah tempat segala kebaikan, dan tidak ada kejelekan sedikitpun di dalamnya. Karenanya hendaknya anda senantiasa waspada agar tidak ada sedikitpun dari tubuh anda atau keluarga anda yang tumbuh dari  harta haram. Relakah anda bila sebagian dari tubuh anda yang tidak layak masuk surga dan harus masuk neraka?

كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ. رواه الحاكم والبيهقي وصححه الألباني

“Setiap jasad yang tumbuh dari harta haram, maka nerakalah yang lebih tepat menjadi tempatnya.” (Riwayat Al Hakim, Al Baihaqi dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)

3. Harta Haram Biang Petaka di Dunia

Saudaraku! Andai anda memiliki suatu alat elektronik atau kendaraan produk perusahaan A, akankah anda merawat dan mereparasinya dengan cara-cara yang diajarkan oleh perusahaan B?

Coba anda bayangkan, apa yang terjadi bila anda merawat dan mereparasi kendaraan Mercedes Benz anda dengan cara-cara yang dilakukan dan diajarkan oleh kusir pedati atau andong?

Apa penilaian anda terhadap orang yang ingin menjalankan kendaraannya akan ia mengganti bensin dengan seikat rumput atau sepiring nasi, mungkinkah kendaraannya dapat berjalan?

Demikianlah kira-kira gambaran orang yang hendak memakmurkan dunia, menjaga kelestarian ekosistem alam, dan mencegah petaka menimpa dunia dengan cara-cara yang menyelisihi syari’at Allah.

Anda pasti beriman bahwa alam semesta beserta isinya adalah ciptaan Allah, tentu andapun beriman bahwa satu-satunya cara yang tepat untuk memakmurkan dan menjaga kelestariannya ialah dengan mengindahkan syari’at Allah.

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Barang siapa yang beramal sholeh, baik lelaki maupun perempuan sedangkan ia beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. An Nahl: 97)

Saudaraku! Ketahuilah, banyak dari cara-cara yang kita tempuh dalam mengembangkan dan mengelola harta karunia Allah nyata-nyata melanggar syari’at-Nya. Tidak heran bila kemurkaan Allah Ta’ala sering menghampiri kehidupan kita dan berbagai bencana silih berganti mewarnai hari-hari kita.

Bila dahulu negri kita terkenal dengan negri yang makmur, subur dan aman sentosa, akan tetapi sekarang senantiasa dirundung bencana dan musibah. Bila musin hujan, banjir bandang menghancurkan kehidupan banyak saudara kita, bila kemarau tiba kekeringanpun melanda. Gunung meletus, tanah longsor, bumi memuntahkan isi perutnya, dan harga kebutuhan pokok terus berlari menjauhi kita.

Anda ingin tahu apa sebabnya? Simaklah jawabannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلاَّ أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَؤُنَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ، وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلاَّ مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ وَلَوْلاَ الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا. رواه ابن ماجة والحاكم والبيهقي وحسنه الألباني

“Tidaklah mereka berbuat curang dalam hal takaran dan timbangan melainkan mereka akan ditimpa paceklik, biaya hidup mahal, dan perilaku jahat para penguasa. Dan tidaklah mereka enggan untuk membayar zakat harta mereka, melainkan mereka akan dihalangi dari mendapatkan air hujan dari langit, andailah bukan karena binatang ternak, niscaya mereka tidak akan diberi hujan.” (Riwayat Ibnu Majah, Al Hakim, Al Baihaqi dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Al Albani)

Saudaraku! Apa yang menimpa perekonomian dunia sekarang ini cukuplah menjadi pelajaran bagi anda. Masyarakat dunia sekarang ini begitu ambisi untuk mendapatkan kekayan dengan cara membudi-dayakan riba. Tidak heran bila pada zaman sekarang, anda merasa kesulitan untuk menghindari jaring-jaring riba. Akan tetapi apakah masyarakat dunia sekarang ini dapat menikmati kekayaan mereka yang diperoleh dari praktek-praktek riba?

Berapa banyak konglomerat yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri? Berapa banyak orang kaya yang ditimpa penyakit komplikasi? Berapa banyak orang kaya yang didera masalah di pengadilan? Berapa banyak orang kaya yang tidak berani menikmati kekayaannya, karena takut akan berbagai penyakit dan resiko dari perbuatannya.

Tidak heran bila untuk makan di restoran saja mereka merasa tidak aman, takut kolesterol, gula dan lainnya. Sehingga bila anda perhatikan hidupnya, di rumah ia hanya bisa menikmati pakaian kolor, di ranjang yang mewah ia tidak bisa merasakan indahnya tidur nyenyak, di luar ia takut perampok, dan ketika duduk di meja makan, ia hanya bisa menikmati beberapa gram nasi putih, beberapa lembar sayur-mayur, dan ketika minum ia hanya berani minum air putih, ditambah lagi setelah makan ia harus minum segenggam obat-obatan. Menurut anda, nikmatkah kehidupan semacam ini?

Inilah sebagian dari wujud nyata dari ancaman Allah Ta’ala terhadap para pemakan riba:

يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Qs. Al Baqarah: 276)

(إِنَّ الرِّبَا وَإِنْ كَثُرَ، عَاقِبَتُهُ تَصِيْرُ إِلَى قَلَّ)  رواه أحمد الطبراني والحاكم وحسنه الحافظ ابن حجر والألباني

“Sesungguhnya (harta)  riba, walaupun banyak jumlahnya, pada akhirnya akan menjadi sedikit.” (Riwayat Imam Ahmad, At Thabrany, Al  Hakim dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Ibnu Hajar dan Al Albany)

4. Harta Haram Adalah Jaring-jaring Setan

Bila menempuh jalan-jalan halal dan memakan harta halal adalah syari’at Allah, maka kebalikannya, yaitu menempuh jalan-jalan haram dan memakan harta haram adalah ajaran setan.

Setan berusaha merekrut anda untuk menjadi pengikutnya. Ia berusaha mengekang akal sehat dan iman anda tetesan air liur anda yang mengalir karena tergiur oleh manisnya harta kekayaan dan nikmatnya syahwat dunia.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

“Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu.” (Qs. Al Baqarah: 178)

Renungkanlah ayat di atas dengan baik, betapa Allah menjadikan sikap mencukupkan diri dengan makanan halal nan baik sebagai lawan dari langkah-langkah setan.

Saudaraku, tahukah anda apa akibatnya bila anda telah mulai mengikuti langkah-langkah setan? Temukan jawabannya pada firman Allah Ta’ala berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar.Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. An Nur: 21)

Allah Ta’ala menjelaskan bahwa orang yang telah terperangkap oleh jaring-jaring setan sehingga mengikuti jejaknya, maka sesungguhnya setan hanyalah akan menuntunnya kepada perbuatan keji dan mungkar. Bila telah demikian keadaannya, maka ia akan tercebur dalam kubangan perbuatan maksiat dan dosa.

Saudaraku! Coba anda kembali mengoreksi diri anda, mungkin selama ini anda ringan tangan untuk berbuat maksiat dan berat hati bila hendak beramal sholeh, padahal anda telah banyak mendengar nasehat,membaca ayat dan hadits, serta menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah. Walau demikian, ternyata semua itu tak juga dapat mensucikan jiwa dan amalan anda.

Mungkin saja jawaban dari keadaan yang anda hadapi ini adalah pada permasalahan ini. Mungkin saja ada dari sebagian harta kekayaan anda yang harus dibersihkan, sehingga hati andapun dapat disucikan, amalan dan ucapan andapun diridhai Allah.

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

“Ucapan dan amalan tidak baik adalah pasangan bagi laki-laki tidak baik, dan laki-laki tidak baik adalah pasangan bagi ucapan dan amalan tidak baik (pula). Sedangkan ucapan dan amalan baik adalah pasangan bagi laki-laki baik dan laki-laki baik adalah pasangan bagi ucapan dan amalan baik (pula).” (Qs. An Nur: 26)

Kebanyakan ulama’ ahli tafsir menjelaskan bahwa amalan dan ucapan buruk adalah kebiasaan dari orang-orang yang buruk pula. Sebaliknyapun demikian, amalan dan ucapan baik adalah kebiasaan dari orang-orang baik pula. (Baca Tafsir Ibnu Jarir At Thabari19/142, Tafsir Al Qurthubi 21/211 & Tafsir Ibnu Katsir 6/34)

Saudaraku! Mungkin saja selama ini anda merasa kesusahan dalam mendidik istri dan putra-putra anda? Bila benar, maka mungkin saja sumber permasalahannya adalah nafkah yang selama ini anda berikan kepada mereka. Karenanya alangkah baiknya bila anda kembali mengoreksi asal-usul nafkah yang anda berikan kepada mereka.

5. Harta Haram Penghalang Terkabulnya Doa

Saudaraku, saya yakin anda banyak memanjatkan doa kepada Allah Ta’ala, akan tetapi, coba anda kembali mengamati doa-doa anda, berapakah perbandingan antara doa yang telah dikabulkan dari yang belum? Bila anda merasa pernah berdoa memohon sesuatu kepada Allah akan tetapi anda merasa bahwa doa anda tidak dikabulkan, maka ada baiknya bila anda mencari tahu peyebab tidak terkabulkannya doa anda.

Ketahuilah saudaraku, bahwa diantara hal yang dapat menghalangi terkabulnya doa anda adalah karena anda pernah makan, minum atau mengenakan harta haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ :يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ. وَقَالَ :يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ. ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ. رواه مسلم

“Wahai umat manusia! Sesungguhnya Allah itu baik, sehingga tidaklah akan menerima kecuali yang baik pula. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum mukminin dengan perintah yang telah Ia tujukan kepada para rasul. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan: (Qs. Al Mukminun: 51). Dan Allah juga berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki-rizki baik yang telah Kami karuniakan kepadamu.” Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seorang lelaki yang bersafar jauh, hingga penampilannya menjadi kusut dan lalu  ia menengadahkan kedua tangannya ke langit sambil berkata: ‘Ya Rab, Ya Rab,’ sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dahulu ia diberi makan dari makanan yang haram, maka mana mungkin permohonannya dikabulkan.” (Riwayat Muslim)

Pada lelaki yang dikisahkan berdoa dalam hadits ini terdapat berbagai hal yang dapat mendukung terkabulkannya doa:

  1. Sedang dalam perjalanan.
  2. Mengangkat tangan ke langit.
  3. Bertawassul dengan menyebut salah satu nama Allah Ta’ala.
  4. Sedang dalam keadaan susah.

Walau demikian halnya, akan tetapi doanya tidak dikabulkan, dan sebabnya ialah rizki haram yang ia makan, minum, kenakan dan yang pernah disuapkan kepadanya semasa ia kanak-kanak.

Saudaraku, anda pasti mengimpikan untuk memiliki anak sholeh yang senantiasa berdoa untuk anda. Dengan demikian walaupun anda telah mati, pahala amal sholeh tetap mengalir kepada anda.

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. رواه مسلم

“Bila anak Adam telah meninggal dunia, niscaya pahala amalannya akan terputus, kecuali dari tiga jenis amalan: shodaqah jariyah, ilmu yang berguna, atau anak shaleh yang senantiasa mendoakannya.” (Riwayat Muslim)

Akan tetapi, apa perasaan anda, andai anda mengetahui bahwa doa anak anda tidak akan pernah dikabulkan Allah? Betapa hancurnya hati anda di saat mengetahui bahwa doa-doa anak keturunan anda tidak mungkin dikabulkan Allah?

Bila anda tidak mengharapkan keadaan itu menimpa anda dan keturunan anda, maka bersikap hati-hatilah dalam urusan harta benda dan nafkah keluarga anda. Jangan sampai ada sesuap nasipun yang masuk ke dalam perut mereka yang berasalkan dari hasil haram.

6. Harta Haram Adalah Biang Kebangkrutan di Hari Kiamat

Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui sahabatnya lalu bertanya kepada mereka: “Tahukah kalian, siapakah sebenarnya orang yang pailit?” Spontan para sahabat menjawab: “Menurut kami orang yang pailit adalah orang yang tidak lagi memiliki uang atau barang.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawaban sahabatnya ini dengan bersabda:

إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِى النَّارِ . رواه مسلم

“Sesungguhnya orang yang benar-benar pailit dari umatku ialah orang yang kelak pada hari kiamat datang dengan membawa pahala sholat, puasa dan zakat. Akan tetapi ia datang dalam keadaan telah mencaci ini, menuduh ini, memakan harta ini, menumpahkan darah ini. Sehingga ini diberi tebusan dari pahala amal baiknya, dan inipun diberi tebusan dari pahala amal baiknya. Selanjutnya bila pahala kebaikannya telah sirna padahal tanggungan dosanya belum lunas tertebus, maka diambilkan dari dosa kejelekan mereka, lalu dicampakkan kepadanya, dan akhirnya ia diceburkan ke dalam neraka.” (Riwayat Muslim)

Pada riwayat lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا ، فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ ، فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ. رواه البخاري

“Barang siapa yang pernah melakukan kezhaliman terhadap saudaranya, hendaknya segera ia meminta saudaranya agar memaafkannya sekarang juga, karena kelak (di hari kiamat) tidak ada lagi uang dinar atau dirham (harta benda), dan sebelum sebagian dari pahala kebaikannya diambil guna menebus apa yang pernah ia lakukan terhadap saudaranya. Dan bila ia telah tidak lagi memiliki pahala kebaikan, maka akan diambilkan dari dosa-dosa saudaranya lalu dicampakkan kepadanya.” (Riwayat Bukhari)

Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengisahkan:

يؤخذ بيد العبد أو الأمة فينصب على رؤوس الأولين والآخرين ثم ينادي مناد هذا فلان بن فلان فمن كان له حق ليأت إلى حقه، فتفرح المرأة أن يدور لها الحق على ابنها وأخيها أو على أبيها أو على زوجها ثم قرأ ابن مسعود: فَلاَ أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَتَسَاءلُونَ. المؤمنون 101 . فيقول الرب تعالى للعبد: ائت هؤلاء حقوقهم، فيقول: يا رب فنيت الدنيا فمن أين أوتيهم، فيقول للملائكة: خذوا من أعماله الصالحة فأعطوا لكل إنسان بقدر طلبته، فإن كان ولياً لله فضلت من حسناته مثقال حبة من خردل من خير ضاعفها حتى يدخله بها الجنة، ثم يقرأ: إِنَّ اللّهَ لاَ يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِن تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِن لَّدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا  النساء 40 . وإن كان عبداً شقياً، قالت الملائكة، يا رب فنيت حسناته وبقي طالبون، فيقول للملائكة: خذوا من أعمالهم السيئة فأضيفوا إلى سيئاته وصكوا له صكاً إلى النار .

“Kelak pada hari kiamat, setiap hamba akan dihadapkan kepada seluruh makhluk, lalu seorang penyeru berkata: ‘Ini adalah fulan bin fulan, maka barang siapa yang memiliki hak atasnya, hendaknya segera datang.’ Pada saat itu seorang wanita merasa girang bila menyadari bahwa ia memiliki hak atas anaknya, atau saudaranya, atau ayahnya atau suaminya. Selanjutnya Abdullah bin Mas’ud berdalil dengan menyebutkan firman Allah Ta’ala:

فَلاَ أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَتَسَاءلُونَ

“Maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertegur sapa.” (Qs. Al Mukminun: 101). Selanjutnya Allah berfirman kepada hamba itu: ‘Tunaikan hak-hak mereka!’ Hamba itupun menjawab: ‘Wahai Tuhanku, kehidupan dunia telah sirna, darimanakah aku dapat menunaikan hak-hak mereka?’ Maka Allah berfirman kepada para Malaikat: ‘Ambillah dari pahala amalan shalehnya, lalu berikan kepada setiap penuntut haknya sebesar tuntutannya.’ Bila ia adalah seorang wali Allah (banyak beramal shaleh) maka akan tersisa sedikit -sebesar biji sawi- dari pahala amal kebaikannya. Dan pahala yang tersisa itu akan Allah liupat gandakan hingga ia dengan pahala itu dimasukkan ke dalam surga. Lalu Abdullah bin Mas’ud berdalil dengan membaca firman Allah Ta’ala:

إِنَّ اللّهَ لاَ يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِن تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِن لَّدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا .

“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarah, dan jika ada kebajikan sebesar zarah, niscaya Allah akan melipat gandakan dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (Qs. An Nisa’: 40). Adapun bila ia adalah seorang hamba yang sengsara (jelek amalannya) maka Malaikat akan berkata: ‘Ya Allah! Pahala amal shalehnya telah sirna, sedangkan orang-orang yang menuntut haknya masih tersisa?’ Maka Allah-pun berfirman kepada pra Malaikat: ‘Ambillah dari dosa amal buruk mereka, lalu tambahkanlah kepada dosa amal buruknya, dan segera campakkanlah ia ke dalam neraka.'” (Riwayat Ibnu Jarir At Thabari 8/363, Al Ahwal oleh Ibnu Abid Dunya 250, dan Hilyatul Auliya’ oleh Abu Nu’aim Al Ashfahaani 4/202)

Saudaraku! Relakah anda bila semua jerih payah anda beribadah kepada Allah Ta’ala, sholat, zakat, puasa haji dan lainnya akan sirna begitu saja karena dijadikan tebusan atas harta orang lain yang anda ambil dengan cara yang tidak benar? Senangkah anda bila anda yang bersusah payah beramal, sedangkan orang lain yang menikmati pahalanya?

Sekali lagi renungkan! Sudikah anda bila orang lain yang berzina, mencuri, merampas harta orang lain, dan berbuat maksiat lainnya, akan tetapi pada akhirnya anda yang menanggung dosanya?

Penutup

Sebagai penutup pertemuan kita kali ini, alangkah baiknya bila anda mengetahui jenis-jenis harta haram. Dengan mengetahui macam-macam harta haram, anda dapat menentukan sikap dengan baik dan benar.

Para ulama’ telah membagi harta haram menjadi dua bagian:

A. Harta haram karena barangnya.

Contoh nyata dari barang haram jenis ini ialah babi, khamer, kucing, anjing, bangkai binatang buas yang bertaring, burung yang berkuku tajam nan kuat, dan lainnya.

Bila harta haram yang anda miliki adalah jenis ini, maka agar anda terbebas dari dosanya dan taubat anda sempurna ialah dengan cara memusnahkannya atau membuangnya. Tidak dibenarkan bagi anda untuk menjualnya, walaupun dahulu untuk memperolehnya anda membelinya dengan harga mahal. Karena bila suatu barang telah diharamkan, maka haram pula hasil penjualannya:

إنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئاً حَرَّمَ ثَمَنَهُ

“Sesungguhnya Allah bila telah mengharamkan sesuatu, pasti Ia mengharamkan pula hasil penjualannya.” (Riwayat Imam Ahmad, Al Bukhary dalam kitab At Tarikh Al Kabir, Abu Dawud, Ibnu Hibban, At Thabrany, dan Al Baihaqy dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu. Hadits ini dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Ibnu Hibban dan Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zadul Ma’ad 5/746)

Dan tentang Khamer, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا

“Sesungguhnya Dzat Yang telah mengharamkan untuk meminumnya –yaitu khamer- telah mengharamkan pula penjualannya.” (Riwayat Muslim)

Pada suatu hari Abu Thalhah bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang harta warisan anak yatim yang berupa khamer, beliau menjawab:

أَهْرِقْهَا. قَالَ: أَفَلاَ أَجْعَلُهَا خَلاًّ؟ قَالَ: لاَ. رواه أبو داود والترمذي وحسنه الألباني

“Tumpahkanlah (buanglah)” Abu Thalhah kembali bertanya: ‘Apa tidak lebih baik bila saya membuatnya menjadi cuka?’ Beliau menjawab: ‘Tidak.'” (Riwayat Abu Daawud, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Al Albany)

Saudaraku! bila demikian petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyikapi khamer warisan anak yatim, maka selain mereka tentu lebih layak lagi untuk melakukan sikap yang sama.

Dapat disimpulkan, bahwa berhadapan dengan harta haram jenis pertama ini tidak ada cara bagi anda untuk terbebas dari dosanya selain dengan membuang atau memusnahkannya.

B. Harta haram karena cara memperolehnya.

Bila anda mengambil harta atau hak milik saudara anda tanpa izin darinya alias dengan cara-cara yang tidak dibenarkan, maka harta dan hak itupun haram untuk anda gunakan. Misalnya dari harta haram jenis ini ialah harta hasil riba, atau harta hasil curian, penipuan, dan yang serupa

Dan untuk melepaskan diri dari dosa harta haram ini, anda memiliki dua pilihan solusi:

Solusi Pertama: Mengembalikan kepada pemiliknya.

Simaklah firman Allah Ta’ala tentang solusi melepaskan diri dari riba yang terlanjur anda sepakati dengan saudara anda:

وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ

“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Qs. Al Baqarah: 280)

Dan tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di padang Arafah, beliau bersabda:

وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ. رواه مسلم

“Riba jahiliyyah dihapuskan, dan riba pertama yang aku hapuskan ialah riba kami (kabilah kami), yaitu riba Abbas bin Abdul Mutthalib, sesungguhnya ribanya dihapuskan semua.” (Riwayat Imam Muslim)

Dan pada harta saudara anda yang anda ambil tanpa seizinnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَأْخُذْ أَحَدُكُمْ عَصَا أَخِيهِ، وفي رواية: مَتَاعَ أَخِيهِ لاَعِبًا أَوْ جَادًّا فَمَنْ أَخَذَ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرُدَّهَا إِلَيْهِ. رواه أبو داوج والترمذي وحسنه الألباني

“Janganlah salah seorang darimu mengambil tongkat saudaranya, -pada riwayat lain: barang saudaranya- baik karena bermain-main atau sungguh-sungguh. Dan barang siapa yang terlanjur mengambil tongkat saudaranya, hendaknya ia segera mengembalikan tongkat itu kepadanya.” (Riwayat Abu Dawud, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Al Albani)

Bila barang yang anda ambil terlanjur rusak atau berubah wujud, sedangkan tidak didapatkan gantinya, maka anda dapat menebus harganya.

Solusi Kedua: Meminta maaf kepada pemiliknya.

Bila solusi pertama karena suatu hal tidak dapat anda lakukan , maka anda memiliki soslusi kedua, yaitu meminta maaf kepada pemiliknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا ، فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ ، فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ. رواه البخاري

“Barang siapa yang pernah melakukan kezhaliman terhadap saudaranya, hendaknya segera ia meminta saudaranya agar memaafkannya sekarang juga, karena kelak (di hari kiamat) tidak ada lagi uang dinar atau dirham (harta benda), dan sebelum sebagian dari pahala kebaikannya diambil guna menebus apa yang pernah ia lakukan terhadap saudaranya. Dan bila ia telah tidak lagi memiliki pahala kebaikan, maka akan diambilkan dari dosa-dosa saudaranya lalu dicampakkan kepadanya.” (Riwayat Bukhari)

Demikianlah dua solusi yang dapat anda tempuh guna melepaskan diri dari dosa harta haram.

Semoga apa yang telah dipaparkan di atas berguna bagi kita, bila anda mendapatkan kebenaran maka itu datangnya dari Allah Ta’ala, dan bila terdapat kesalahan atau kekurangan, maka itu datangnya dari kejahilan diri saya dan bisikan setan. Wallahu a’alam bisshawab.

اللَّهُمَّ اكْفِنِا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

“Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami dengan rizqi-Mu yang halal dari memakan harta yang Engkau haramkan, dan cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu dari mengharapkan uluran tangan selain-Mu.”




Assalamualaikum Ustadz,  Saat ini saya khawatir telah memakan uang haram, baik langsung maupun tidak langsung, padahal saya telah berusaha untuk menghindarinya, namun saya takut tanpa saya sadari telah memakannya.  Saya pernah mendengar dalam suatu Khotbah Jum’at, Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa siapa yang memakan barang haram tidak akan diterima ibadahnya selama 40 tahun, tentu saya sangat takut dan pesimis sehingga berfikir akan sia-sia saja untuk memperbanyak ibadah, sementara ini Alhamdulillah saya tetap rajin beribadah meskipun masih khawatir tidak akan diterima (saya takut nanti akan berfikir percuma ibadah kalau tidak diterima).  Pertanyaan saya, Apakah yang harus saya lakukan agar Allah mengampuni saya dari memakan uang haram yang mengakibatkan ibadah saya tidak diterima selama itu ?  Waalaikumussalam Wr Wb  Terdapat hadits yang berbunyi,”Barangsiapa yang memakan sesuap saja dari yang haram maka tidaklah diterima shalatnya sebanyak 40 malam dan tidaklah diterima doanya selama 40 pagi dan setiap daging yang tumbuh dari (sesuatu) yang haram maka api neraka menjadi lebih utama baginya. Sesungguhnya sesuap dari yang haram akan menumbuhkan daging.” (HR. ad Dailami dari Ibnu Masud)  Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits tersebut munkar, tidak dikenal kecuali dari riwayat al Fadhl bin Abdullah. Sementara Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa hadits tersebut maudhu’ (palsu)  Adapun tentang bertaubat dari memakan barang yang diharamkan Allah maka sesungguhnya pintu taubat senantiasa terbuka selama nyawa belum sampai di tenggorokan atau matahari belum terbit dari barat. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nyawanya belum sampai ke tenggorokan.”  Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Musa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: ” Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan senantiasa membuka lebar-lebar tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa pada siang hari dan Allah senantiasa akan membuka tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat orng yang berbuat dosa pada malam hari, dan yang demikian terus berlaku hingga matahari terbit dari barat.”  Cukuplah bagi anda melakukan taubat nashuha terhadap perbuatan memakan barang yang diharamkan tersebut dengan memenuhi syarat-syaratnya :  1. Menyesali atas apa yang anda lakukan pada masa lalu. 2. Meninggalkan kemaksiatan tersebut saat diri anda bertaubat. 3. Bersungguh-sungguh untuk tidak kembali melakukan perbuatan tersebut selamanya pada masa yang akan datang. 4. Jika dalam perbuatan tersebut terdapar penzhaliman terhadap kepemilikan orang lain maka diwajibkan bagi anda untuk mengembalikannya berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu.  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang pernah berbuat aniaya (zhalim) terhadap kehormatan saudaranya atau sesuatu apapun hendaklah dia meminta kehalalannya (maaf) pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang ketika itu tidak bermanfaat dinar dan dirham. Jika dia tidak lakukan, maka (nanti pada hari qiyamat) bila dia memiliki amal shalih akan diambil darinya sebanyak kezholimannya. Apabila dia tidak memiliki kebaikan lagi maka keburukan saudaranya yang dizholiminya itu akan diambil lalu ditimpakan kepadanya”  Dan mudah-mudahan dengan taubat yang sungguh-sungguh Allah akan menggantikan keburukan tersebut dengan kebaikan :  إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا  Artinya : “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Furqan : 70)  وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  Artinya : “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nuur : 31)


Assalamualaikum Ustadz,

Saat ini saya khawatir telah memakan uang haram, baik langsung maupun tidak langsung, padahal saya telah berusaha untuk menghindarinya, namun saya takut tanpa saya sadari telah memakannya.

Saya pernah mendengar dalam suatu Khotbah Jum’at, Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa siapa yang memakan barang haram tidak akan diterima ibadahnya selama 40 tahun, tentu saya sangat takut dan pesimis sehingga berfikir akan sia-sia saja untuk memperbanyak ibadah, sementara ini Alhamdulillah saya tetap rajin beribadah meskipun masih khawatir tidak akan diterima (saya takut nanti akan berfikir percuma ibadah kalau tidak diterima).

Pertanyaan saya, Apakah yang harus saya lakukan agar Allah mengampuni saya dari memakan uang haram yang mengakibatkan ibadah saya tidak diterima selama itu ?

Waalaikumussalam Wr Wb

Terdapat hadits yang berbunyi,”Barangsiapa yang memakan sesuap saja dari yang haram maka tidaklah diterima shalatnya sebanyak 40 malam dan tidaklah diterima doanya selama 40 pagi dan setiap daging yang tumbuh dari (sesuatu) yang haram maka api neraka menjadi lebih utama baginya. Sesungguhnya sesuap dari yang haram akan menumbuhkan daging.” (HR. ad Dailami dari Ibnu Masud)

Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits tersebut munkar, tidak dikenal kecuali dari riwayat al Fadhl bin Abdullah. Sementara Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa hadits tersebut maudhu’ (palsu)

Adapun tentang bertaubat dari memakan barang yang diharamkan Allah maka sesungguhnya pintu taubat senantiasa terbuka selama nyawa belum sampai di tenggorokan atau matahari belum terbit dari barat. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nyawanya belum sampai ke tenggorokan.”

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Musa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: ” Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan senantiasa membuka lebar-lebar tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa pada siang hari dan Allah senantiasa akan membuka tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat orng yang berbuat dosa pada malam hari, dan yang demikian terus berlaku hingga matahari terbit dari barat.”

Cukuplah bagi anda melakukan taubat nashuha terhadap perbuatan memakan barang yang diharamkan tersebut dengan memenuhi syarat-syaratnya :

1. Menyesali atas apa yang anda lakukan pada masa lalu.
2. Meninggalkan kemaksiatan tersebut saat diri anda bertaubat.
3. Bersungguh-sungguh untuk tidak kembali melakukan perbuatan tersebut selamanya pada masa yang akan datang.
4. Jika dalam perbuatan tersebut terdapar penzhaliman terhadap kepemilikan orang lain maka diwajibkan bagi anda untuk mengembalikannya berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang pernah berbuat aniaya (zhalim) terhadap kehormatan saudaranya atau sesuatu apapun hendaklah dia meminta kehalalannya (maaf) pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang ketika itu tidak bermanfaat dinar dan dirham. Jika dia tidak lakukan, maka (nanti pada hari qiyamat) bila dia memiliki amal shalih akan diambil darinya sebanyak kezholimannya. Apabila dia tidak memiliki kebaikan lagi maka keburukan saudaranya yang dizholiminya itu akan diambil lalu ditimpakan kepadanya”

Dan mudah-mudahan dengan taubat yang sungguh-sungguh Allah akan menggantikan keburukan tersebut dengan kebaikan :

إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

Artinya : “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Furqan : 70)

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya : “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nuur : 31)


Cinta dan tamak harta merupakan sifat, tabiat dan watak manusia, Allâh Azza wa Jalla berfirman :


وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا


Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan [al-Fajr/89:20]


Usaha yang baik dan halal merupakan hal yang terpuji dalam agama Islam, karena Allâh Azza wa Jalla memerintahkan manusia agar berkerja dan berusaha keras, sebagaimana firman-Nya :


هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ


Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya.Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. [al-Mulk/67:15]


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Amr bin al-’Âs,‘Wahai Amr, Nikmat harta yang baik adalah yang dimiliki laki-laki yang shalih’(diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya)


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :


مَا أكَلَ أَحَدٌ طَعَاماً قَطُّ خَيْراً مِنْ أنْ يَأكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِه ، وَإنَّ نَبيَّ الله دَاوُدَ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَأكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ


‘Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik daripada memakan hasil jerih payahnya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud Alaihissallam makan dari hasil jerih payahnya sendiri’. [HR. al-Bukhâri]


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :


لأَنْ يَأخُذَ أحَدُكُمْ أحبُلَهُ ثُمَّ يَأتِيَ الجَبَلَ ، فَيَأْتِيَ بحُزمَةٍ مِنْ حَطَب عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا ، فَيكُفّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَسْألَ النَّاسَ ، أعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ


Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allâh mencukupkan kebutuhan hidupnya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi ataupun tidak’[HR. al-Bukhâri]


Allâh Azza wa Jalla menjadikan rasa suka dan cinta terhadap harta sebagai cobaan dan ujian. Karena, Allâh Azza wa Jalla , Dzat yang Mahaagung yang telah menetapkan ketuhanan dan keesaan-Nya dalam ayat-ayat al-Qur’ân kemudian juga mengingatkan bahwa Dialah satu-satunya yang mengatur hukum halal dan haram, satu-satunya Pencipta dan Pemberi rezeki, yang berhak mengatur kehidupan dunia ini. Jadi hak untuk menetapan hukum halal dan haram hanyalah milik-Nya semata.


Allâh Azza wa Jalla berfirman :


يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ


Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. [al-Baqarah/2:168]


Allâh Azza wa Jalla berfirman :


وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ


Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allâh telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allâh yang kamu beriman kepada-Nya.[al-Mâidah/5:88]


Halalan thayyiban dalam ayat di atas sesuatu yang dihalakan bagi kalian dan bukan diperoleh dengan cara yang diharamkan, seperti merampas, merampok, mencuri, riba, risywah atau sogokan, korupsi, penipuan dan berbagai macam mu’âmalah haram lain.


Thayyiban maksudnya tidak al-khabîts, yakni tidak kotor atau najis, seperti bangkai, daging babi atau anjing, minuman keras dan yang sejenisnya.


Orang-orang yang memiliki harta halal dan mata pencaharian yang halal adalah orang-orang yang paling selamat agamanya, paling tenang hati dan pikirannya, paling lapang dadanya, paling sukses kehidupannya. Kehormatan dan harga diri mereka bersih dan terjaga, rezeki mereka penuh berkah dan citra mereka dimasyarakat selalu indah.


Mencari harta halal dengan cara yang halal adalah sifat mulia yang telah dicerminkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Mereka, para assalafus shâlih juga selalu saling mengingatkan untuk berhati-hati dalam masalah makanan, minuman dan mata pencaharian.


Dari Abi Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


مَنْ أكَلَ طَيِّبًا ، وعَمِلَ فِي سُنَّةٍ ، وَأَمِنَ الناسُ بَوَائِقَهُ ، دَخَلَ الْجَنَّةَ


Barangsiapa mengkonsumsi sesuatu yang baik, melaksanakan sunnah dan masyarakat sekitarnya tidak terganggu dengan keburukannya, maka dia masuk surga’. [HR. Tirmidzi]


Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ، فَلاَ عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيثٍ، وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِى طُعْمة


Ada empat hal, bila keempatnya ada pada dirimu, maka segala urusan dunia yang luput darimu tidak akan membahayakanmu : menjaga amanah, berkata benar, akhlak baik dan menjaga urusan makanan’.


SIKAP ORANG-ORANG SHALIH

Banyak sekali potret orang-orang shalih terdahulu sebagai bukti kehati-hatian dan kewaspadaan mereka dalam masalah ini. Diantaranya :


1. Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu anhu . Suatu ketika hamba sahayanya membawa sesuatu makanan dan Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu anhu memakannya. Lalu hamba sahaya itu berkata, “Wahai tuanku, tahukah Anda dari mana makanan ini?” Abu Bakar Radhiyallahu anhu menjawab, ‘Dari mana engkau dapat makanan ini?’ Budak itu menjawab, “Dahulu saya pernah berlagak seperti orang pintar (dukun), padahal saya tidak pandai ilmu perdukunan. Saya hanya menipunya. Lalu (di kemudian hari) dia menjumpaiku dan memberikan upah kepadaku. Makanan yang tadi Anda makan adalah bagian pemberian tersebut.” Mendengar hal itu Abu Bakar Radhiyallahu anhu langsung memasukkan jari-jarinya ke mulutnya sampai ia memuntahkan semua makanan yang baru beliau makan.


2. Suatu ketika Umar Radhiyallahu anhu diberi minum susu dan beliau Radhiyallahu anhu begitu senang. Kemudian beliau Radhiyallahu anhu bertanya kepada orang yang memberinya minum, “Dari manakah engkau mendapatkan susu ini?” Orang itu menjawab, ‘Aku berjalan melewati seekor unta sedekah, sementara mereka sedang berada dekat dengan sumber air. Lalu aku mengambil air susunya.’ Mendengar cerita orang itu, seketika itu pula Umar Radhiyallahu anhu memasukkan jari ke mulutnya agar ia memuntahkan susu yang baru diminumnya.

3. Kisah seorang wanita shalihah yang menasehati suami tercintanya dengan ucapannya, “Wahai suamiku! Bertakwalah engkau kepada Allâh saat mencari rezeki untuk kami! Karena sesungguhnya kami mampu menahan lapar dan dahaga, akan tetepi kami tak akan mampu menahan panas api neraka.”


Begitulah sikap wara’ orang-orang shalih, dalam rangka menjaga agama mereka, merealisasikan ketakwaan mereka serta menjauhkan diri-diri mereka dari perkara-perkara syubhat (yang tidak jelas).


Lalu bagaimanakah nasib mereka yang dengan sengaja mencari yang haram untuk mengisi perutnya sendiri dan memenuhi kebutuhan keluarganya?


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ


Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman, yang saat itu seseorang tidak peduli lagi dari mana dia mendapatkan harta, apakah dari jalan halal ataukah yang haram’. [HR. al-Bukhâri]


Rakus dan tamak terhadap dunia, mengekor kepada syahwat dan tamak akan rezeki serta melupakan hari perhitungan menjadikan manusia terbuai untuk memburu angan-angan gemerlap dan kelezatan dunia tanpa memperhatikan sumber penghasilan dan usahanya.


Dari Khudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berkata, “Kemarilah kalian semua!’ Kemudian para shahabat beliau menghampirinya dan duduk menghadapnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,‘Ini ada utusan Allâh malaikat Jibril. Ia membisikkan ke dalam benakku bahwa satu jiwa tidak akan wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya sekalipun rezekinya terlambat datang kepadanya. Karena itu, hendaklah kamu bertakwa kepada Allâh dan lakukanlah usaha dengan cara yang baik! Janganlah kedatangan rezeki yang terlambat menyeretmu untuk bermaksiat kepada Allâh Azza wa Jalla , karena apa yang ada di sisi Allâh hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya.” [HR. Bazzâr dalam Musnadnya dengan sanad yang shahih]


Kalimat أجملوا في الطلب (lakukanlah usaha dengan cara yang baik!) dalam hadits di atas maksudnya adalah usaha mencari rezeki agar memperoleh pendapatan dunia.


PENGARUH MAKANAN HARAM

Adakalanya seorang Muslim bersungguh-sungguh dalam melakukan amal shalih akan tetapi ia memandang remeh dan kurang peduli dengan masalah mengkonsumsi harta yang haram, padahal akibatnya sangat fatal. Orang seperti ini akan rugi di dunia dan di akhirat. Amal ibadahnya tertolak, doanya tidak akan diijabahi (tidak dikabulkan oleh Allâh Azza wa Jalla) dan harta serta usahanya tidak akan diberkahi.


Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla baik dan Dia tidak akan menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allâh telah memerintahkan kepada orang-orang Mukmin dengan apa yang telah diperintahkan kepada para Rasul. sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman :


يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ


Wahai sekalian para Rasul, makanlah yang baik-baik dan beramal shalihlah, sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan [al-Mukminûn/23:51]


Allâh juga berfirman :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ


“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik dari rezeki yang Kami berikan kepada kalian”[al-Baqarah/2:172].


Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan perihal seorang lelaki yang sedang melakukan safar (perjalanan jauh), yang berambut kusut, kusam dan berdebu, yang menadahkan tangan ke langit lalu berdoa: Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!… Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dia dikenyangkan dengan makanan yang haram, maka bagaimana bisa doa dikabulkan? [HR. Muslim]


Oleh sebab itu, sedekah dari harta yang haram akan tertolak dan tidak diterima. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةً بِغَيْرِ طَهُورٍ ، وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ


Allâh tidak akan menerima shalat seseorang tanpa berwudlu (bersuci), dan tidak akan menerima sedekah dengan harta ghulul (curian/korupsi) [HR. Muslim]


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


إِذَا أَدَّيْتَ زَكَاةَ مَالِكَ فَقَدْ قَضَيْتَ مَا عَلَيْكَ، وَمَنْ جَمَعَ مَالًا حَرَامًا ثُمَّ تَصَدَّقَ مِنْهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهِ أَجْرٌ وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ


‘Jika engkau telah menunaikan zakat hartamu maka engkau telah melaksanakan kewajiban dan barang siapa yang mengumpulkan harta dari jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya’. [HR. Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân dalam Shahihnya]


Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ


Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram. [HR. Ibn Hibban dalam Shahîhnya]


Dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdabda :


يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحتٍ إلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَولَى بِهِ


Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali neraka lebih utama atasnya. [HR. Tirmidzi]


Kata السحت dalam hadits di atas maksudnya adalah semua yang haram dalam segala bentuk dan macamnya, seperti hasil riba, hasil sogokan, mengambil harta anak yatim dan hasil dari berbagai bisnis yang diharamkan syari’at.


Hendaklah setiap individu Muslim selalu ingat, bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menanyakan di hari Kiamat tentang harta masing-masing orang, dari mana ia memperolehnya dan kemana ia infakkan? Sebuah pertanyaan untuk sebuah penegasan dan penghitungan, yang kemudian diiringi balasan dah hukuman yang adil.


Baca Juga  Menghilangkan Uang Ribawi Disyaratkan Mengambilnya dari Uang di Bank?

Maka barangsiapa melatih dirinya agar memiliki sifat takwa, wara’ (menahan dari yang haram), ‘iffah (menjaga kehormatan), qanâ’ah (merasa cukup dengan yang ada dan halal) serta menjadi orang senantiasa melakukan introspeksi diri, maka sifat itu akan menjadi tabiat dan karakternya.


Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :


قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَىٰ وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا


Katakanlah! “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” [an-Nisâ’/4:7]


Dari Khaulah al-Anshâriyah Radhiyallahu anha bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


إِنَّ رِجَالًا يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمْ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


Sesungguhnya ada sebagian orang yang mengambil harta milik Allâh bukan dengan cara yang haq, sehingga mereka akan mendapatkan neraka pada hari Kiamat’ [HR. al-Bukhâri]


GHULUL, DOSA BESAR YANG DIREMEHKAN

Diantara dosa besar yang dianggap sepele oleh sebagian besar masyarakat adalah al-ghulûl. al-Ghulûl maksudnya mengambil sesuatu yang bukan miliknya dari harta bersama, atau memanfaatkan barang-barang inventaris kantor untuk kepentingan pribadi atau keluarganya bukan untuk kepentingan umum. Prilaku seperti ini termasuk perbuatan zhalim yang berat bisa menyeret masyarakat pada kerusakan, terutama pelakunya. Pelaku tindak kezhaliman ini terancam hukuman yang keras di dunia dan juga di akhirat, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’ân. Allâh Azza wa Jalla berfirman :


وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


Barangsiapa berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu” [ali Imrân/3:161]


Dari Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mempekerjakan seseorang dari kabilah al-Azdi yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Setelah bekerja ia datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Ini untuk Anda dan yang ini untukku, aku diberi hadiahkan. Mendengar ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar seraya bersabda :‘Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, ‘Ini untukmu dan ini hadiah untukku!’ Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan melihat, apakah ia diberi hadiah ataukah tidak? Demi Allâh Azza wa Jalla , tidaklah seseorang datang dengan mengambil sesuatu dari yang tidak benar melainkan ia akan datang dengannya pada hari Kiamat, lalu dia akan memikulnya di lehernya. (Jika yang ia ambil adalah) unta, maka akan keluar suara unta. Jika sapi, maka akan keluar suara sapi; Jika kambing, maka akan keluar suara kambing.


Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami bisa melihat putih kedua ketiak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, ‘Wahai Allâh! Aku telah menyampaikannya?’[HR. al-Bukhâri dan Muslim]


Dari Buraidah Radhiyallahu anhu , dia mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam barsabda, “Barangsiapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami telah menetapkan rezeki (gaji atau upah), maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah ghulûl (pengkhianatan, korupsi atau penipuan)’. [HR. Abu Daud]


Permasalahannya, bukan pada banyak atau sedikitnya barang yang diambil, akan tetapi ini merupakan asas atau sendi, juga merupakan aturan agama yang mereka anut, serta akhlak yang menghiasi diri mereka serta amanah yang wajib mereka tunaikan. Jika virus ghulûl (korupsi) dibiarkan, maka dia akan membesar. Orang yang sudah terbiasa mengambil suatu yang kecil, suatu ketika dia akan berani mengambil sesuatu yang lebih besar.


Jika ghulûl (mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya) sudah menjadi hal jamak atau lumrah pada sebuah masyarakat, dimana si pelaku tanpa rasa sungkan dan malu mengambil harta yang bukan haknya, itu artinya akhlak yang hina ini telah tersebar di kalangan mereka. Padahal setiap akhlak tercela itu menyeret pelakunya pada prilaku yang lebih buruk sehingga terjebak dalam sebuah rangkaian perbuatan maksiat yang terus-menerus merusak hati dan menghancurkan moral serta membangkitkan egois. Semua ini akan menyeret seseorang untuk berbuat zhalim, menyulut rasa dengki dan mengakibatkan perpecahan.

Kerusakan pada managemen kantor dan keuangan bisa juga memberikan dampak negatif pada masyarakat, keterpurukan akhlak, kemiskinan serta kerusakan agama mereka, juga membuka peluang untuk berbuat korup dan merebaknya budaya sogok. Sehingga sering terdengar, banyak orang yang tidak bisa mendapatkan hak kecuali dengan sogok.


Kalau amanah sudah ditinggalkan maka banyak hak yang terabaikan, keadilan akan melemah, kezhaliman merajalela, rasa aman hilang dan masyarakat dilanda ketakutan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam harits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :

Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’. Dan Ibn Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Yang pertama kali hilang dari agamamu adalah amanah.”

Kita diperintahkan untuk memakan yang halal dan menjauhi yang haram sebagaimana dalam doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi, no. 3563; Ahmad, 1:153; dan Al-Hakim, 1:538. Hadits ini dinilai hasan menurut At-Tirmidzi. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy menyetujui hasannya hadits ini sebagaimana dalam Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 2:509-510).

Dan ingat rezeki yang halal walau sedikit itu pasti lebih berkah. Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin Taimiyyah Al-Harrani (661-728 H) rahimahullah pernah berkata,

وَالْقَلِيلُ مِنْ الْحَلَالِ يُبَارَكُ فِيهِ وَالْحَرَامُ الْكَثِيرُ يَذْهَبُ وَيَمْحَقُهُ اللَّهُ تَعَالَى

Sedikit dari yang halal itu lebih bawa berkah di dalamnya. Sedangkan yang haram yang jumlahnya banyak hanya cepat hilang dan Allah akan menghancurkannya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646)

Dalam mencari rezeki, kebanyakan kita mencarinya asalkan dapat, namun tidak peduli halal dan haramnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari sudah mengatakan,

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Akhirnya ada yang jadi budak dunia. Pokoknya dunia diperoleh tanpa pernah peduli aturan. Inilah mereka yang disebut dalam hadits,

تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ

Celakalah wahai budak dinar, dirham, qothifah (pakaian yang memiliki beludru), khomishoh (pakaian berwarna hitam dan ada bintik-bintik merah). Jika ia diberi, maka ia rida. Jika ia tidak diberi, maka ia tidak rida.” (HR. Bukhari, no. 2886, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Lantas Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

وَهَذَا هُوَ عَبْدُ هَذِهِ الْأُمُورِ فَلَوْ طَلَبَهَا مِنْ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ إذَا أَعْطَاهُ إيَّاهَا رَضِيَ ؛ وَإِذَا مَنَعَهُ إيَّاهَا سَخِطَ وَإِنَّمَا عَبْدُ اللَّهِ مَنْ يُرْضِيهِ مَا يُرْضِي اللَّهَ ؛ وَيُسْخِطُهُ مَا يُسْخِطُ اللَّهَ ؛ وَيُحِبُّ مَا أَحَبَّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَيُبْغِضُ مَا أَبْغَضَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ

“Inilah yang namanya budak harta-harta tadi. Jika ia memintanya dari Allah dan Allah memberinya, ia pun rida. Namun ketika Allah tidak memberinya, ia pun murka. ‘Abdullah (hamba Allah) adalah orang yang rida terhadap apa yang Allah ridai, dan ia murka terhadap apa yang Allah murkai, cinta terhadap apa yang Allah dan Rasul-nya cintai serta benci terhadap apa yang Allah dan Rasul-Nya benci.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:190)

Ada pula yang masih peka hatinya namun kurang mendalami halal dan haram. Yang kedua ini disuruh untuk belajar muamalah terkait hal halal dan haram.

‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,

مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ

“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.”

‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan,

لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا

“Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.” (Lihat Mughni Al-Muhtaj, 6:310)

Kalau halal-haram tidak diperhatikan, dampak jeleknya begitu luar biasa. Kali ini kita akan lihat apa saja dampak dari harta haram.

 

Pertama: Memakan harta haram berarti mendurhakai Allah dan mengikuti langkah setan.

Dalam surah Al-Baqarah disebutkan,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)

Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Badai’ Al-Fawaid (3:381-385), ada beberapa langkah setan dalam menyesatkan manusia, jika langkah pertama tidak bisa, maka akan beralih pada langkah selanjutnya dan seterusnya:

Langkah pertama: Diajak pada kekafiran, kesyirikan, serta memusuhi Allah dan Rasul-Nya.

Langkah kedua: Diajak pada amalan yang tidak ada tuntunan (bidah).

Langkah ketiga: Diajak pada dosa besar (al-kabair).

Langkah keempat: Diajak dalam dosa kecil (ash-shaghair).

Langkah kelima: Disibukkan dengan perkara mubah (yang sifatnya boleh, tidak ada pahala dan tidak ada sanksi di dalamnya) hingga berlebihan.

Langkah keenam: Disibukkan dalam amalan yang kurang afdal, padahal ada amalan yang lebih afdal.

 

Kedua: Akan membuat kurang semangat dalam beramal saleh

Dalam ayat disebutkan,

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thayyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun: 51). Yang dimaksud dengan makan yang thayyib di sini adalah makan yang halal sebagaimana disebutkan oleh Sa’id bin Jubair dan Adh-Dhahak. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 5:462.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimush sholaatu was salaam untuk memakan makanan yang halal dan beramal saleh. Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal adalah yang menyemangati melakukan amal saleh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:462).

 

Ketiga: Memakan harta haram adalah kebiasaan buruk orang Yahudi.

Sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَتَرَىٰ كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS. Al-Maidah: 62-63)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa rabbaniyyun adalah para ulama yang menjadi pelayan melayani rakyatnya. Sedangkan ahbar hanyalah sebagai ulama. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:429.

Ayat berikut membicarakan kebiasaan Yahudi yang memakan riba,

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرً, وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 160-161)

Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah telah melarang riba pada kaum Yahudi, namun mereka menerjangnya dan mereka memakan riba tersebut. Mereka pun melakukan pengelabuan untuk bisa menerjang riba. Itulah yang dilakukan mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:273).

Siapa yang mengambil riba bahkan melakukan tipu daya dan akal-akalan supaya riba itu menjadi halal, berarti ia telah mengikuti jejak kaum Yahudi. Dan inilah yang sudah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ  . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ  وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ

Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?” (HR. Bukhari, no. 7319)

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ

Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim, no. 2669).

Ibnu Taimiyah menjelaskan, tidak diragukan lagi bahwa umat Islam ada yang kelak akan mengikuti jejak Yahudi dan Nashrani dalam sebagian perkara. Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 27: 286.


Keempat: Badan yang tumbuh dari harta yang haram akan berhak disentuh api neraka.

Yang pernah dinasihati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Ka’ab,

يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

 

Kelima: Doa sulit dikabulkan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا} وَقَالَ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌوَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَه

Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (thayyib), tidak menerima kecuali yang baik (thayyib). Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu.’ (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seseorang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dari yang haram, bagaimana mungkin doanya bisa terkabul.” (HR. Muslim, no. 1015)

Empat sebab terkabulnya doa sudah ada pada orang ini yaitu:

  1. Keadaan dalam perjalanan jauh (safar).
  2. Meminta dalam keadaan sangat butuh (genting).
  3. Menengadahkan tangan ke langit.
  4. Memanggil Allah dengan panggilan “Yaa Rabbii” (wahai Rabb-ku) atau memuji Allah dengan menyebut nama dan sifat-Nya, misalnya: “Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam” (wahai Rabb yang memiliki keagungan dan kemuliaan), “Yaa Mujiibas Saa’iliin” (wahai Rabb yang Mengabulkan doa orang yang meminta kepada-Mu), dan lain-lain.

Namun dikarenakan harta haram membuat doanya sulit terkabul.

 

Keenam: Harta haram membuat kaum muslimin jadi mundur dan hina

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah (salah satu transaksi riba), mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud, no. 3462. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 9:242).

 

Ketujuh: Karena harta haram banyak musibah dan bencana terjadi

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ

Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al-Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Imam Adz-Dzahabi mengatakan, hadits ini shahih. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighairi sebagaimana disebut dalam Shahih At-Targhib wa Tarhib, no. 1859).