Sabtu, 24 September 2022

Suami Istri Sering Bertengkar, Haruskah Bercerai?

Tak selamanya, hubungan suami-istri diwarnai kemesraan. Ada kalanya, kemesraan itu meredup akibat terpaan badai pertengkaran. Tak sedikit pasangan yang bisa mengatasi pertengkaran itu dengan baik. Namun, tak sedikit pula yang bernasib sebaliknya. Jika ini yang terjadi, mahligai perkawinan pun berada di ujung tanduk.  Menurut Mei Shofia Romas Psi, psikolog sekaligus manajer Divisi Pendampingan Rifka Annisa Research and Training Center, Yogyakarta, konflik antara suami-istri sebaiknya segera diselesaikan. Sebab jika tidak, konflik itu makin lama akan makin meruncing. Kaum wanita sendiri kerapkali memilih diam ketika rumah tangganya diguncang persoalan.  Alasannya macam-macam. Ada yang takut suaminya akan makin 'meledak', ada pula yang merasa malu jika masalah rumah tangga ini diketahui orang lain, dan beragam alasan lainnya. Padahal, dalam pandangan psikolog yang akrab disapa Shofi ini, perbedaan pendapat antara suami-istri merupakan hal yang wajar. ''Karena itu, suami-istri perlu saling berkomunikasi untuk mengungkapkan pendapat masing-masing dan meluruskannya.''  Tapi tentu saja, Anda mesti mematuhi 'rambu-rambu' jika ingin mengemukakan pendapat pada suami. Tahan dulu pendapat Anda jika suami tampak letih. Sebab, jika Anda langsung melontarkan pendapat pada saat itu, bisa-bisa ia tambah marah. ''Jadi, dalam berdialog, suami-istri pun harus melihat situasi dan kondisi.''  Bagaimana jika konflik tak kunjung teratasi meski telah mencoba berdialog? Tak ada salahnya meminta bantuan orang lain untuk mengurai benang kusut konflik ini. ''Penyelesaian persoalan rumah tangga itu kadang perlu melibatkan orang lain,'' ungkap alumnus Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia (UII) ini.  Namun, tak semua pasangan suami-istri yang tengah terlibat konflik mau melakukan hal ini. Ada kalanya, suami tak mau ada pihak ketiga yang ikut campur, sementara solusi masalah dengan sang istri tak kunjung ditemukan. Dalam kondisi sulit ini, tak jarang para istri memberanikan diri mencari solusi lewat lembaga pendampingan seperti Rifka Annisa.  Di Rifka Annisa, menurut Shofi, ketika seorang istri datang berkonsultasi, maka sang suami akan diundang pula ke lembaga ini. ''Kami akan lihat, kira-kira komitmen suami untuk memperbaiki kondisi rumah tangganya seperti apa. Kalau dia sama sekali tidak mau memperbaiki, komitmen apa kira-kira yang dia inginkan untuk rumah tangganya.  Di sini diperlukan keberanian dari istri untuk memiliki posisi tawar terhadap suaminya.'' Dan yang pasti, lanjut Shofi, konflik rumah tangga akan cepat teratasi jika suami maupun istri memiliki keinginan yang sama untuk melakukan perbaikan. Menurut dia, suami-istri juga harus jujur mengakui kesalahan. ''Kalau masing-masing merasa dirinya benar, maka masalah akan sulit diselesaikan.''  Satu kunci lagi, jangan buru-buru berpikir untuk bercerai. Sebab, masalah rumah tangga tak selalu harus berujung pada perceraian. Di Rifka Annisa misalnya, dari 223 kasus kekerasan terhadap istri yang ditangani lembaga ini, tak sampai 10 persen yang berakhir dengan perceraian. Selebihnya, memutuskan untuk kembali membina rumah tangga.  Jadi, ketika riak percekcokan mendera biduk rumah tangga Anda, cobalah berkepala dingin. Upayakan menyelesaikannya semaksimal mungkin. Jangan buru-buru melontarkan kata cerai, yang mungkin akan menimbulkan penyesalan di belakang hari.
Tak selamanya, hubungan suami-istri diwarnai kemesraan. Ada kalanya, kemesraan itu meredup akibat terpaan badai pertengkaran. Tak sedikit pasangan yang bisa mengatasi pertengkaran itu dengan baik. Namun, tak sedikit pula yang bernasib sebaliknya. Jika ini yang terjadi, mahligai perkawinan pun berada di ujung tanduk.

Menurut Mei Shofia Romas Psi, psikolog sekaligus manajer Divisi Pendampingan Rifka Annisa Research and Training Center, Yogyakarta, konflik antara suami-istri sebaiknya segera diselesaikan. Sebab jika tidak, konflik itu makin lama akan makin meruncing. Kaum wanita sendiri kerapkali memilih diam ketika rumah tangganya diguncang persoalan.

Alasannya macam-macam. Ada yang takut suaminya akan makin 'meledak', ada pula yang merasa malu jika masalah rumah tangga ini diketahui orang lain, dan beragam alasan lainnya. Padahal, dalam pandangan psikolog yang akrab disapa Shofi ini, perbedaan pendapat antara suami-istri merupakan hal yang wajar. ''Karena itu, suami-istri perlu saling berkomunikasi untuk mengungkapkan pendapat masing-masing dan meluruskannya.''

Tapi tentu saja, Anda mesti mematuhi 'rambu-rambu' jika ingin mengemukakan pendapat pada suami. Tahan dulu pendapat Anda jika suami tampak letih. Sebab, jika Anda langsung melontarkan pendapat pada saat itu, bisa-bisa ia tambah marah. ''Jadi, dalam berdialog, suami-istri pun harus melihat situasi dan kondisi.''

Bagaimana jika konflik tak kunjung teratasi meski telah mencoba berdialog? Tak ada salahnya meminta bantuan orang lain untuk mengurai benang kusut konflik ini. ''Penyelesaian persoalan rumah tangga itu kadang perlu melibatkan orang lain,'' ungkap alumnus Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia (UII) ini.

Namun, tak semua pasangan suami-istri yang tengah terlibat konflik mau melakukan hal ini. Ada kalanya, suami tak mau ada pihak ketiga yang ikut campur, sementara solusi masalah dengan sang istri tak kunjung ditemukan. Dalam kondisi sulit ini, tak jarang para istri memberanikan diri mencari solusi lewat lembaga pendampingan seperti Rifka Annisa.

Di Rifka Annisa, menurut Shofi, ketika seorang istri datang berkonsultasi, maka sang suami akan diundang pula ke lembaga ini. ''Kami akan lihat, kira-kira komitmen suami untuk memperbaiki kondisi rumah tangganya seperti apa. Kalau dia sama sekali tidak mau memperbaiki, komitmen apa kira-kira yang dia inginkan untuk rumah tangganya.

Di sini diperlukan keberanian dari istri untuk memiliki posisi tawar terhadap suaminya.'' Dan yang pasti, lanjut Shofi, konflik rumah tangga akan cepat teratasi jika suami maupun istri memiliki keinginan yang sama untuk melakukan perbaikan. Menurut dia, suami-istri juga harus jujur mengakui kesalahan. ''Kalau masing-masing merasa dirinya benar, maka masalah akan sulit diselesaikan.''

Satu kunci lagi, jangan buru-buru berpikir untuk bercerai. Sebab, masalah rumah tangga tak selalu harus berujung pada perceraian. Di Rifka Annisa misalnya, dari 223 kasus kekerasan terhadap istri yang ditangani lembaga ini, tak sampai 10 persen yang berakhir dengan perceraian. Selebihnya, memutuskan untuk kembali membina rumah tangga.

Jadi, ketika riak percekcokan mendera biduk rumah tangga Anda, cobalah berkepala dingin. Upayakan menyelesaikannya semaksimal mungkin. Jangan buru-buru melontarkan kata cerai, yang mungkin akan menimbulkan penyesalan di belakang hari.